Warta Madrasah - Sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Bagaimana Persepsi Seorang Muslim? Persepsi diartikan sebagai proses yang
dilakukan individu untuk memilih, mengatur dan menafsirkan ke dalam gambar yang
berarti dan masuk akal mengenai dunia. Dalam kehidupan sehari-hari, reaksi
setiap orang akan berbeda sekalipun stimuli yang dihadapi adalah sama
bentuknya, tempatnya dan waktunya. Umpamanya, dua orang pada lingkungan yang
sama akan berbeda bentuk reaksinya dalam menghadapi stimuli yang sama. Hal ini
karena komposisi potensi dan kapabilitas mereka berbeda dalam menunjukkan
kemampuan, kualitas berpikir dan keakuratan mengambil tindakan.
Dalam hubungannya dengan perilaku
konsumen muslim, perbedaan persepsi manusia ini tak dapat dielakkan. Namun,
demikian bukan berarti bahwa persepsi tidak memiliki rambu-rambu. Sebab, pada
dasarnya ada batasan-batasan tertentu yang harus ditaati persepsi agar dia
tidak liar. Hanya persepsi yang liarlah yang secara sadar mengontradiksikan
dirinya dengan ajaran agama.
Persepsi merupakan reaksi seseorang
mengenai realitas yang sifatnya subjektif. Aspek subjektivitas inilah yang
sebenarnya menjadi pemicu hadirnya persepsi manusia yang berbeda-beda.
Sekalipun subjektivitas merupakan cerminan perbedaan karakter manusia, dia
tidak berdiri sendiri. Sebab, sebenarnya subjektivitas reaksi manusia, dalam
hal ini persepsi tentang konsumsi, terbangun dari sebuah konsep berpikir yang
dianut oleh seorang konsumen. Bila persepsinya liar, berarti konsep berpikir
tersebut menganut asas kebebasan dimana rambu-rambu mengenai norma dan kebaikan
tidak berlaku dalam hajat hidupnya. Sedangkan bila persepsi jinak, berarti
konsep berpikir yang digunakan menganut asas kemanfaatannya dimana rambu-rambu
sengaja diciptakan supaya manusia selamat dari marabahaya. Dalam hal ini, hajat
hidupnya sengaja berpihak pada rambu-rambu tersebut.[1]
Ada dua konsep berfikir konsumen yang
hadir dalam dunia ilmu ekonomi hingga saat ini. Konsep yang pertama adalah utility, hadir dalam ilmu ekonomi
konvensional. Konsep utility
diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam konsumsi barang atau jasa.
Konsep yang kedua adalah mashlahah,
hadir dalam ilmu ekonomi Islam. Konsep mashlahah diartikan sebagai
konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas, dia
sangat berbeda dengan utility yang
pemetaan majemuknya tidak terbatas.
Dua konsep ini berbeda karena dibentuk
oleh masing-masing epistimologi yang berbeda
pula. Utility yang memiliki
karakteristik kebebasan lahir dari epistimologi Smithian yang mengatakan bahwa
motivasi hidup itu ialah from freedom to
natural liberty (dari kemerdekaan menuju kebebasan ilmiah). Ciri
kemerdekaan ala Smithian adalah unggulnya rasio dalam memimpin tingkah laku
manusia. Ciri ini memfungsikan kemerdekaan rasio sebagai alat kendali perilaku
manusia. Dengan demikian perilaku konsumen terintegrasi dengan corak
rasionalisme dan norma agama sengaja dikesampingkan.
Sementara itu, mashlahah lahir
dari epistimologi Islami. Sebenarnya motivasi konsep mashlahah serupa
dengan Smithian untuk mencapai kebebasan ilmiah. Namun dalam Islam aktualisasi
diri dan peranan manusia dalam mencapai kebebasan alamiah tidak sepenuhnya
dikendalikan oleh hukum rasio manusia, melainkan dikendalikan pula oleh
premis-premis risalah. Dengan demikian karena dia tidak menganut rasionalisme, maka
rasio selalu menyesuaikan alurnya dengan risalah.
Sikap hemat membatasi diri pada barang
yang halal dan prioritas terhadap kebutuhan pokok tidak ditemukan pada konsep utility, melainkan hanya pada konsep mashlahah.
Ini menunjukkan bahwa tampaknya sulit mencari titik temu dua konsep tersebut.
Oleh karena sulit dipertemukan maka tidak mungkin mentransformasi sifat
persepsi konsumen Islami ke dalam konsep utility.
Mereka memiliki proporsi yang berbeda.
Dari penelusuran berbagai literatur yang
membahas tentang utility, ditemukan
beberapa proporsi utility sebagai
berikut :
1.
Konsep
utility membentuk persepsi kepuasan
materialistis.
2.
Konsep
utility memengaruhi persepsi
keinginan konsumen.
3.
Konsep
utility mencerminkan peranan self-interest konsumen.
4.
Persepsi
tentang keinginan memiliki tujuan untuk mencapai kepuasan materialistis.
5.
Self-interest
memengaruhi persepsi kepuasan materialistis konsumen.
6.
Persepsi
kepuasan menentukan keputusan (pilihan) konsumen.[2]
Penggabungan proporsi di atas secara
sistematis menghasilkan teori utility yang
dipandang mampu menerangkan pengaruh konsep utility
terhadap keputusan konsumen. Secara diagramatis teori utility dapat
digambarkan sebagai berikut :
Teori Utility
Persepsi Tentang
Keinginan
Add caption |
Keputusan
Konsep Utility Persepsi Kepuasan Konsumen Materialistis
Self-interest
Dari teori ini dapat diterangkan mengapa
konsep utility tidak sama dengan mashlahah. Konsep utility, yang diturunkan oleh epistimologi Smithian, membaurkan
konsumen pada persepsi kepuasan materialistis. Kepuasan materialistis tersebut
terukur menurut nilai kepuasan yang didapat dari setiap jumlah barang dan jasa
yang dikonsumsi. Berbarengan dengan itu, persepsi tentang keinginan yang
merupakan pengembaraan rasional individu mengejar hasrat individu untuk
mencapai kepuasan yang sebenarnya memiliki titik jenuh. Dia bernafas dengan
motif self-intrerest dalam mencapai kepuasan. Namun, self-interest lebih
cenderung menonjolkan subjektivitas ego individu. Dengan demikian, secara
teoritis keputusan konsumsi individu yang secara langsung digerakkan oleh
persepsinya menganai kepuasan yang mungkin dicapai dari suatu jenis komoditi,
secara berantai digerakkan pula oleh persepsi tentang keinginan dan self-interest.[3]
Sedangkan pada berbagai literatur yang
menerangkan tentang perilaku konsumen Muslim, ditemukan beberapa proporsi
sebagai berikut :
1.
Konsep
mashlahah membentuk persepsi
kebutuhan manusia.
2.
Konsep
mashlahah membentuk persepsi tentang
penolakan terhadap kemudharatan.
3.
Konsep
mashlahah memanifestasikan persepsi
individu tentang upaya setiap pergerakan amalnya mardhatillah.
4.
Persepsi
tentang penolakan terhadap kemudharatan membatasi persepsinya hanya pada
kebutuhan.
5.
Upaya
mardhatillah mendorong terbentuknya
persepsi kebutuhan Islami.
6.
Persepsi
seorang konsumen dalam memenuhi kebutuhannya menentukan keputusan konsumsinya.
Dari proporsi di atas membentuk sebuah
teori mashlahah. Dalam teori tersebut, konsep mashlahah memengaruhi keputusan konsumen Muslim. Teori tersebut
digambarkan sebagai berikut :
Teori
Mashlahah
Persepsi Penolakan
terhadap Kemudharatan
Keputusan
Konsep Mashlahah Persepsi Kebutuhan Konsumen Islami
Persepsi
tentang
Mardhatillah
Teori mashlahah pada dasarnya
merupakan integrasi dari fakir dan zikir. Dia menggambarkan motif kesederhanaan
individu pada setiap bentuk keputusan konsumsinya. Dalam hal ini, karena mashlahah bertujuan melahirkan manfaat, persepsi
yang ditentukannya ialah konsumsi sesuai dengan kebutuhan. Konsep mashlahah tidak selaras dengan
kemudharatan, itulah sebabnya dia melahirkan persepsi yang menolak kemudharatan
seperti barang-barang yang haram, termasuk syubhat,
bentuk konsumsi yang mengabaikan kepentingan orang lain dan yang membahayakan
diri sendiri. Berbarengan dengan itu, niat dalam mendapatkan manfaat ini
disemangati oleh persepsi tentang mardhatillah
yang kemudian mendorongnya pada persepsi sesuai kebutuhan (kebutuhan Islami).
Tidak dikatakan mardhatillah apabila
sikap berlebihan dengan mendahulukan strata konsumsi mewah lebih diutamakan
daripada kebutuhan pokok. Karena hal ini akan mengabaikan aspek manfaat dan
menggantinya dengan aspek kesenangan. Dalam kondisi tertentu, persepsi
kebutuhan bisa menjangkau aspek sekunder dan tertier manakala yang pokok (dharuriyat) telah dipenuhi terlebih
dahulu.[4]
0 Response to "Bagaimana Persepsi Seorang Muslim?"
Post a Comment