Prinsip-prinsip Syari’ah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah

 Prinsip-prinsip Syari’ah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Warta Madrasah - Sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang  Prinsip-prinsip Syari’ah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. Dalam penghimpunan dana lembaga keuangan syari’ah menggunakan prinsip :
1.   Al-Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memikul atau berjalan. Pengertian memikul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seorang memikulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.[1] 
Dasar hukum al-mudharabah adalah hadits Nabi dari Shalih bin Shuhaib ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual (HR. Ibnu Majah no.2280, kitab at-Tijarah).
Secara umum mudharabah dibagi terbagi menjadi dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.[2]
2.   Al-Wadi’ah
Al-Wadi’ah dari segi bahasa dapat diartikan sebagi meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau di jaga. Dari aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak ynag lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus di jaga dan dikembalikan kapan saja di penitip kehendaki. Hubungan antara nasabah dengan bank adalah hubungan timbal balik.
Wadi’ah  ada dua jenis yaitu wadi’ah yad dhamanah dan wadi’ah yad dhamamah.[3]
Dalam penyaluran dana, lembaga keuangan syariah menggunakan prinsip :
1.   Prinsip Jual Beli
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni : jual beli murabahah, jual beli salam dan jual beli istishna.[4]
2.   Prinsip Sewa (Ijarah)
Ijarah adalah permindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership) atas barang itu sendiri.
Transaksi ijarah ditandai adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adlah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.[5]
3.   Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
Produk pembiayaan bank syari’ah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil terdiri dari :
a.   Al-Musyarakah
Al-musyarakah adalah kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.[6]
b.   Al-Mudharabah
Al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.[7]
Dalam bidang jasa lembaga keuangan syari’ah menggunakan prinsip :
1.   Al-Wakalah (deputyship)
Dalam perbankan wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/bank) untuk melaksanakan suatu wakil (tugas) atas nama pemberi kuasa. Islam mensyari’atkan wakalh karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakilinya.[8]
Wakalah dalam praktik perbankan digunakan dalam pengiriman transfer, penagihan hutang baik kliring maupun inkaso.[9]
2.   Al-Kafalah (Guaranty)
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab orang seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Oleh karena itu, kafalah dalam perbankan adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh kafil (peminjam/bank) kepada makful (pemerima jaminan) dan penjamin bertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi hak penerima jaminan.
Jenis-jenis kafalah, yaitu :
a.    Kafalah bin-nafs
b.   Kafalah bil-maal
c.    Kafalah bit-taslim
d.   Kafalah al-munjazah
e.   Kafalah al-muallaqah[10]
3.   Al-Hawalah
Al-Hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal’alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).[11]
4.   Ar-Rahn (Mortgage)
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Maka dalam perbankan, pengertian rahn adalah akad penyerahan barang atau harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang. [12]
5.   Al-Qardh (Soft and Benevolent loan)
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpe mengharam imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qard dikategorikan dalam ‘aqd tathawui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
Sedangkan pinjaman qard adalah penyedia dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu atau kesepakatan antara pinjaman dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meninjamkan dapat menerima imbalan namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan dalam perjanjian.[13]



[1] Ahmad Supriyadi, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hlm.99.

[2] Ibid, hlm.100.
[3] Ibid, hlm. 106-107
[4] Ibid, hlm. 126.
[5] Ibid, hlm. 131-132
[6] Ibid, hlm.133.
[7] Ibid, hlm.137.
[8] Ibid, hlm. 148.
[9] Ibid, hlm. 150.
[10] Ibid, hlm. 150-152.
[11] Ibid, hlm.154-156.
[12] Ibid, hlm.156.
[13] Ibid, hlm. 159.

0 Response to " Prinsip-prinsip Syari’ah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah"

Post a Comment