BAHASA GERAM
Warta Madrasah - Sahabat Warta Madrasah tulisan ini Bangsa ini sedang terserang virus apa
sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan
bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja
orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun
seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak
lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya
suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.
Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di
forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya
para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para
“pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”.
Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang
mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.
Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan”
ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan.
Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa
kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka.
Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah
dan makalah sejati.
Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar
lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan
mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat
pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu
atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada
semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.
Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari
perkotaan itu seiiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan
selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau
atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di
samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu
tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya.
Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya
adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti
salah. Dan yang salah pasti jahanam.
Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah,
khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat
sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu
kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan
bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk
mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang
ditulis oleh anonim itu.
Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang
bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut
akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi,
ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa
ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja
musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu
justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.
Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu
fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan
perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah.
Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi,
jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.
Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan
sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa,
pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3:
159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami
sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung
kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku,
tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang
menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih
memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir
r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah
tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang
memberi pelajaran dan memudahkan.
Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang
dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih
bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga
merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan
orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling
mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.
0 Response to "BAHASA GERAM"
Post a Comment