PENDIDIKAN FIQIH PEREMPUAN DI PONDOK PESANTREN
Warta Madrasah - Istilah pendidikan fiqih perempuan
dalam tradisi pengajaran di pondok pesantren memang relatif tidak dikenal. Karena pada umumnya pengajaran fiqih
perempuan masuk dalam pengertian besar “fiqih” saja. Maka untuk memeperjelas
apa yang dimaksud dengan istilah fiqih perempuan, perlu dijelaskan sebagaimana
uraian dibawah ini.
a. Pendidikan
Secara
etimologi, pendidikan me rupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris
education, E.L Thorndike dan Clarence L.
Bernhart dalam Advanced Junior Dictionary mengartikan education menjadi tiga bagian.
Pertama, Development in knowledge, skill, ability or character by teaching,
training, study or experience (membangun
pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan watak melalui pengajaran, pelatihan
dan pengalaman). Kedua, knowledge, skill, ability, or character developed by teaching, training,
study or experience (Pengetahuan,
keterampilan kemampuan dan watak dibangun melalui pengajaran, pelatihan dan pengalaman).
Dan ketiga, science and art that deals
with the principles, problem etc of teaching and learning .20 (ilmu dan seni
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip, permasalahan dan lainnya dengan
pengajaran dan belajar).
Pendidikan
dalam kamus pendidikan dan pengajaran dan umum disebutkan bahwa yang dinamakan
pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari seorang pendidik untuk
mengalihkan pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya.21
Sedangkan
pendidikan dibedakan menjadi dua pengertian, yakni pengertian bersifat teoritik
filosofis dan yang bersifat praktis.
Dalam arti teoritis filosofis pendidikan adalah pemikiran manusia terhadap
masalah-masalah kependidikan untuk memecahkan dan menyusun teori baru berdasarkan
kepada pemikiran normatif, rasional empirik, rasional filosofis, maupun
historik filosofik. Sedangkan dalam arti praktis pendidikan adalah suatu proses
pengetahuan atau pengembangan potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk
mencapai perkembangan secara optimal,
serta membudayakan manusia me lalui proses transformasi nilai-nilai yang
utama”.22
Dari beberapa pengertian diatas,
maka pendidikan mengandung unsur-unsur :23
1) Usaha
(kegiatan) ; usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan
dilakukan secara sadar.
2) Adanya pendidik
atau pembimbing, atau penolong.
3) Ada yang
dididik atau si terdidik.
4) Bimbingan itu
mempunyai dasar dan tujuan.
5) Dalam usaha itu
tentu ada alat yang dipergunakan.
Fiqih Perempuan
Berkaitan
dengan istilah “fiqih perempuan”, K.H Husein Muhammad dalam dialognya dengan
Marzuki Wahid menjelaskan bahwa sejak kapan munculnya istilah “fiqih” dikaitkan
dengan suatu tema tertentu, misalnya “fiqh zakat”, “fiqh siyasah (politik)”,
“fiqh jinayah (pidana)”, fiqh al-mar’ah atau fiqh al-nisa’ (perempuan)”, tidak
ia diketahui24.
Namun kalau
melihat sejarah, Imam Abu Hanifah pernah
mengenalkan beberapa istilah mengenai pembagian istilah ini. Beliau membagi
fiqh menjadi dua: fiqh akbar (fiqh besar) dan fiqh ashghar (fiqh kecil). Yang
dimaksud dengan fiqh besar adalah ilmu tentang ushul al-din atau aqidah atau
ilmu kalam (teologi). Sementara istilah yang kedua, fiqh ashgar, membicarakan
tentang tema-tema fiqh seperti yang dipahami sekarang ini (jurisprudensi),
yakni hukum-hukum parsial. Dalam pengertian ini fiqh dimaknai sebagai ilmu yang
didalamnya terkandung teori-teori dan metode-metode. Akan tetapi kebanyakan orang tidak menggunakan
metode-metode itu, dan banyaknya diambil hasilnya saja sebagai produk instan.
Menurut K.H.
Husein Muhammad, sekarang ini ada kesan yang berebeda dengan apa yang dimaksud
dengan ”fiqih perempuan” dan yang lainnya. Yang dibicarakan disini justru
sebagai objek bahasan. Artinya ”fiqih perempuan” adalah masalah-masalah
perempuan menurut fiqih, fiqih siyasah adalah masalah-masalah politik dalam
fiqh dan seterusnya. 25
Dan berikut
ini penulis mencoba melihat apa yang dimaksud dengan fiqih perempuan ( fiqh
al-mar’ah) yang menjadi bahasan pokok penelitian ini. Fiqih perempuan di sini
berarti kajian fiqih yang berkaitan dengan persoalan keperempuanan. Atau lebih
luasnya, bagaimana ajaran Islam mengenal dan memahami relasi teks keagamaan
dengan aktivitas kehidupan kaum wanita. Satu
contoh persoalan yang menjadi bagian dari ruang lingkup fiqih perempuan adalah
bagaimana persoalan kepemimpinan wanita, stereotype bagi perempuan haid,
perempuan menjadi imam shalat, perempuan menjadi hakim, kesaksian perempuan
dalam peradilan, dan lain sebagainya. 26 Dan yang perlu menjadi perhatian
adalah bahwa pembahasan fiqih perempuan disini adalah fiqih perempuan dengan perspektif
keadilan gender
Jadi
pengertian pendidikan fiqih perempuan disini adalah segala usaha (kegiatan)
yang dilakukan oleh pendidik (kyai/ustadz) untuk mentransfer pengalaman dan
pengetahuannya tentang fiqih perempuan terhadap peserta didik (santri).
1. Fiqih Perempuan
dan Ruang Lingkupnya
b. Perkembangan
Fiqih
Berbicara masalah fiqih tidak bisa
lepas dari Hukum Islam, karena jika dirunut secara konseptual fiqih yang
dipahami oleh sebagian umat Islam sebagai hukum Islam itu sendiri sebenarnya hanya
sebagian dari struktur dari konsep hukum Islam.
Fiqih (al-fiqh) secara bahasa berarti pemahaman, pengertian atau
pengetahuan (tentang sesuatu). 27 Dalam Al Qur’an kata fiqih juga digunakan
dalam pengertian yang umum, yaitu pemahaman, pengetahuan. Sebagaimana firman
Allah dalam Surat al-Taubah ayat 122.28
Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang yang mu’min
itu pergi semuanya (ke medan Perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
menjaga dirinya.” (Qs. Surat
al-Taubah ayat:122)
Lafadz “ liyatafaqqahu fi al-din ”
(untuk memahami masalah agama) yang
digunakan Al-Qur’an dan juga sabda Nabi; “ Allahumma faqqihu fi al-din “ (Ya
Allah berilah dia pemahaman yang mendalam) menunjukkan pengertian fiqih secara
umum yaitu pemahaman tentang agama Islam. Dari ungkapan yang digunakan Nabi itu
menunjukkan bahwasanya pada masa hidup Nabi istilah fiqih belum digunakan dalam
pengertian hukum secara kh usus, melainkan hanya pengertian luas mencakup semua
dimensi agama seperti teologi, politik ekonomi, asketisme, hukum dan lain-lain.
Jadi, fiqih dipahami sebagai “ilmu agama”
yang akan mengantarkan manusia pada kebaikan dan kemuliaan.29
Hal senada juga dinyatakan oleh
Murtadha Muthahari dalam bukunya
Pengantar Ushul Fiqh bahwasanya
dalam terminologi Al Qur’an dan Sunnah yang dinamakan fiqih adalah pengetahuan
yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas Islam dan tidak
memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu.30 Pada sejarah perkembangan fiqih terdapat
perbedaan pendapat di antara ahli fiqh. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa,
periodesasi perkembangan fiqih adalah sebagai berikut 31:
a. Periode
Risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan
Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini
kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber
hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada
masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah
seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
b. Periode
al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya
Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam
pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak
dijumpai secara jelas dalam nash.
c. Periode Awal
Pertumbuahn Fiqih.
Periode ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H.
Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah
semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan
Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
d. Periode
Keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad
ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban
Islam, periode ini termasuk dalam periode
Kemajuan Islam Pertama
(700-1000). Fiqih yang berkembang pada abad ini oleh Ibnu Khaldun dikategorikan
sebagai min al-ulum al-haditsati fi
al-millah (kategori ilmu modern dan agama).32
Seperti
periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat
ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Pada periode ini Dinasti Abbasiyah sangat mendorong
fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan
sosial yang semakin ko mpleks. Periode keemasan ini salah satunya ditandai
dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah
al-Muwaththa' oleh Imam Malik,
al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan
Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani.
e. Periode Tahrir,
Takhrij dan Tarjih dalam Madzhab Fiqih.
Periode ini dimulai dari pertengahan
abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir,
takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab
dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode
ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama
fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam
mazhab mereka masing-masing, sehingga
mujtahid mustaqill (mujtahid
mandiri) tidak ada lagi
f.
Periode Kemunduran Fiqih.
Periode ini dimulai pada pertengahan
abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah
al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum
Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada
periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada
periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga
dengan periode taqlid secara membabi buta.
Dalam perkembangan selanjutnya,
khususnya di zaman modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai
pendapat dari berbagai mazdhab fiqih sebagai satu kesatuan yang tidak
dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda,
khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa
pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Dalam perkembangan pemikiran fikih
di Indonesia, ada perkembangan yang cukup menarik saat ini. Dengan lahirnya era
globalisasi dan semakin beragamnya persoalan yang dihadapi masyarakat dibidang
kehidupan, muncul pemikiran-pemikiran baru dibidang fikih. Yang pemikiran
tersebut menunjukkan perubahan besar secara paradigmatik dalam mema ndang
fiqih. Perubahan tersebut adalah pergeseran paradigma berfiqih yang semula
sebgai “kebenaran ortodoksi” ke “pemaknaan sosial”, yaitu menggunakan fiqih sebagai
counter discourse (wacana tandingan)
dalam belantara politik pemaknaan realitas33.
Perubahan tersebut seperti ya ng
terlihat dalam khasanah pemikiran organisasi masyarakat Nahdlatul ulama’ (NU).
Sejak awal tahun 90-an ada lima hal yang menjadi tipikal pembaruan pemikiran NU
dalam fiqih. Pertama, interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Kedua,
perubahan pola bermadzhab, dari bermadzhab secara tekstual ( qauliy)
kearah bermadzhab secara metodologis (manhaji).
Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang ( furu’). Keempat, fiqih
dihadirkan sebagi etika sosial, dan bukan
sebagi hukum positif negara.
Kelima, pengenalan pendekatan dan metodologi pemikiran filosofis,
terutama dalam masalah sosial dan budaya. 34 Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan
pemikiran-pemikiran ulama’ NU ketika menyelesaikan problem sosial. Seperti; KH.
Sahal Mahfudz, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Husein Muhammad dan yang lainnya.
Selain munculnya paradigma yang baru
dalam berfiqih, para ahli fiqih mulai mengembangkan cabang-cabang baru fiqih,
seperti al-fiqh al-dasturi, al-fiqh
al-duali, al-fiqh al-mali, al-fiqh al-idari, al-fiqh al-jinai, al-fiqh al-ahwal
al-syakhsiyah , yang menata ketentuan-ketentuan
fiqhiyyah di bidang konstitusi, kenegaraan, keuangan, administrasi
negara, pidana dan perdata 35. Dan termasuk perkembangan mutakhir di bidang fi
qih saat ini salah satunya adalah fiqih perempuan (fiqh al-mar’ah).
c. Fiqih
Perempuan; Proses Dialektika Fiqih dan Wacana Gender
Munculnya
pembahasan fiqih perempuan dalam pentas pemikiran Islam tidak bisa dinafikan
dari perkembangan mutakhir kehidupan dunia modern. Perkembangan tersebut
diantaranya adalah munculnya wacana gerakan kesetaraan gender. Fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu yang
ada dalam agama Islam, yang secara spesifik berkaitan dengan al-ilmu amaliyat,
banyak sekali bicara masalah laki-laki
dan perempuan baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan yang secara mengejutkan
dalam disiplin ilmu fiqh banyak menjelaskan bahwa seakan-akan agama Islam mengafirmasi
ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Karena dalam banyak
literatur klasik (kitab kuning) dibidang fiqih, yang oleh banyak umat Islam
dijadikan sebagai sumber rujukan teknis dalam hukum, banyak ditemui
pendapat-pendapat ulama’ yang bias gender.
Berdasarkan
latar belakang inilah yang kemudian memicu beberapa pemikir Islam sekarang ini
mencoba untuk menilik kembali ajaran-ajaran tersebut. Sebab masih menjadi
keyakinan umat Islam bahwa agama Islam merupakan agama yang rahmatan lil’alamin.
Dalam
al-Qur’an ada beberapa prinsip yang menunjukan secara faktual akan persamaan
derajat tersebut. Pertama, laki-laki dan
perempuan dilahirkan sama-sama sebagai hamba Allah. Tentang prinsip ini, Allah
menegaskan dalam al-Qur’an surat al-Dzariyat:
56.
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.( QS. al-Dzariyat: 56.)37
Berkaca
pada ayat tersebut bisa ditegaskan bahwa sesungguhnya dalam kapasitas manusia
sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya
mempunyai potensi untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa
diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun). Dan untuk mencapai
derajat ini, tidak dikenal adanya perbedaan, baik itu etnis, suku maupun jenis
kelamin. Kedua, laki-laki dan perempuan
sebagai khalifah di muka bumi. Maksud diciptakannya manusia di muka bumi ini
adalah disamping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi
kepada Allah Swt, juga untuk menjadi khalifah di bumi. Seperti dijelaskan dalam
Al-Qur’an surat al-An’am ayat 165.
Artinya:
Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian
yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya
kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaanNya, dan
sesungguhnya Dia Maha pengampun lagi maha penyayang. (Qs. al-An’am ayat 165).
Ketiga,
laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial. Perjanjian ini bisa
dise but sebagai amanah yang diberikan Tuhan kepada manusia menjelang
kehadirannya di bumi. Perjanjian ini dijelaskan dalam surat al-A’raf ayat
172.
Artinya:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “
Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: Mereka menjawab: Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang “sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan) (Qs. al-A’raf ayat 172).
Perjanjian
primordial yang menjadi beban pertama serta tanggung jawab individual setiap
manusia. Dan hal ini berlangsung sejak manusia itu berada dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia
dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan
perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Keempat,
Adam dan Hawa, sebagai simbol bapak dan ibu manusia, terlibat secara aktif
sebagai dua individu dalam drama kosmis. Semua ayat yang menceritakan tentang
drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai
keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan
kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa.
d. Kerangka Dasar
Fiqih Perempuan
Dalam
kajian fiqih, ada dua kutub pemikiran yang sangat dominan secara umum yang
berlaku saat sekarag ini. Yaitu yang pertama, pendekatan formalis legalistik dan dan yang kedua, pendekatan historis. Dua pendekat an
tersebut dinilai belum bisa menjelaskan secara utuh bagaimana suatu proses
hukum berjalan dalam kondisi masyarakat tertentu, dengan ketentuan bersama
bahwa kehidupan tidak bisa lepas dari proses sosial politik yang mengitarinya.
Dengan
berpijak pada satu kata bahwa fiqih adalah sebagai upaya pencapaian
kemaslahatan bersama ( maslahah Ammah). Karenanya itu diperlukan pembahasan
fiqih yang lebih dinamis, perlu upaya kontekstualisasi, dengan harapan fiqi h
lebih akomodatif, adaptif, dan “membumi”, dan tidak stagnan. 40 Dalam menghadapi
problem-problem zaman.
Upaya
kontekstualisasi ini seperti yang telah dilakukan oleh K.H Husein Muhammad
dalam merespon wacana kesetaraan dan keadilan gender. Dalam upaya
kontekstualisasinya, gagasan K.H. Husein Muhammad tentang fiqih perempuan yang
berkeadilan gender didasarkan pada 2 hal :
Pertama, landasan teologis ( tauhid). Husein memahami tauhid sebagai
manifestasi atas penghargaan terhadap hak-hak manusia dari penindasan, dan
semua pembawa agama tauhid hadir ditengah masyarkat yang mengalami krisis
kemanusiaan.
Kedua,
prinsip-prinsip agama Islam. Yaitu prinsip yang didasarkan pada keadilan (
’adalah), musyawarah ( syura), persamaan (musawah), menghargai kemajemukan (
ta’addudiyah), bertoleransi terhadap perbedaan (tasamuh) dan perdamaian
(ishlah).41 Prinsip-prinsip agama Islam diatas yang digunakan K.H. Husein
Muhammad sebagai landasan pemikirannya seperti Studi komprehensif yang telah
dilakukan oleh para ilmu fiqih terdahulu. Diantaranya; Al-Qadhi Husain, Imam
Subki, Imam Ibn Abdus Salam, Imam Suyuthi, dan Imam Syathibi, yang merumuskan
bahwa kerangka dasar (umum) dari fiqih ialah: kepastian ( al-yaqin la yurfa’u
bisyak ), kemudahan (addharu yuzalu wa al-masyaqqatu tajlibu al-taysir ) dan kesepakatan
bersama yang sudah mantap ( al-’adah muhakkamah
Sedangkan
pola umum dari fiqih itu ialah kemaslahatan ( i’tibaru al-mashalih). Kerangka dasar dan pola umum fiqih tersebut
juga yang menjadi dasar dari pembahasan fiqih perempuan disini. Hal ini tidak terlepas
dari fiqih perempuan itu sendiri sebagai bagian wilayah refleksi dari syari’at.
Yang tujuan dari syari’at ( maqosid al syari’ah) tidak lain adalah kemaslahatan
( maslahah). Karena Kemaslahatan (maslahah) pada hakikatnya merupakan
pengejawantahan dari sendi dasar rahmah (kasih sayang) yang menandai syari’at
Nabi Muhammad saw.
Imam
Al-Ghazali r.a., Imam Syathibi r.a., dan Imam Amidi r.a., menyimpulkan bahwa
”kemaslahatan” itu berkisar pada dua hal pokok; mewujudkan manfaat atau
kegunaan ( jalbul manfa’ah ) dan menghindarkan kemelaratan ( daf’ul madharah ).
Atas dasar rumus mashalih al-ammah
(kepentingan umum) maka As-Syathibi merumuskan maqashid al-Syar’iyyah kedalam tiga varian – yang disebut al-kulliyat al-syar’iyyah ):dharuriyyah,
hajiyat,dan tahsiniyat/kamaliyat.44 Di dalam dlaruriyat diperlihatkan bahwa
tujuan syari’at adalah menjaga lima hal ( al-dlaruriyat al-khomsah). Kelima hal
itu adalah; (1) perlindungan terhadap agama ( hifdzud dien), (2) perlindungan terhadap akal ( hifdul aql), (3) perlindungan
terhadap harta ( hifdul maal ), (4) perlindungan terhadap keturunan ( hifdzun nasl),
(5) perlindungan terhadap jiwa (hifdzul’ nafs).
e. Urgensi Fiqih
Perempuan
Setidaknya
ada beberapa alasan mengapa kajian tentang fiqih perempuan dengan perspektif
keadilan gender saat ini menjadi penting. Diantaranya adalah :
1) Berkaitan
dengan wacana Islam, adanya fiqih perempuan dengan perspektif keadilan gender
dapat menepis anggapan bahwa agama Islam ikut mengafirmasi ketidakadilan gender
antara laki-laki dan perempuan. Dan
meneguhkan kembali bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin.
2) Berkaitan
dengan lembaga pendidikan pesantren, fiqih merupakan materi yang paling dominan
diajarkan diseluruh pondok pesantren di Indonesia. Maka upaya
mengkontekstalisaikan fiqih agar tetap relevan menjadi urgen.
3) Kajian secara
spesifik mengenai fiqih perempuan selama ini belum ada. Karena pembagian dalam
kajian fiqih yang ada masih terbatas pada tema-tema besar. Seperti tema ibadah
dan mu’amalah.
4) Sebagai salah
satu medan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Selain
itu, fiqih perempuan adalah konsep pemikiran fiqih dengan menempatkan problem
kemanusiaan sebagai basis studi dan tindakan.
Yang ingin mengembalikan semangat
fiqih yang selama ini menjadi luntur. Akibat terjadi disorientasi fiqih. Yang
semula pada awal kelahiranya adalah
sangat konsentrasi pada problem kemanusiaan, akan tetapi dalam pe rjalanannya
sampai sekarang fiqih menjadi kaku (rigid), lebih berorientasi pada nilai
ke-Ilahian (teosentrisme) ketimbang nilai kemanusiaan (antroposentrisme).
1. Fiqih Perempuan
Dalam Pendidikan Pesantren
Sudah jamak diketahui bahwa dalam
pendidikan pesantren fiqihlah yang diantara cabang ilmu agama Islam biasanya
dianggap paling penting. Sekitar seabad lampau, seorang sarjana dari belanda
L.W.C. van den Berg menerbitkan sebuah daftar kitab kuning yang pada waktu itu
digunakan pesantren-pesantren Jawa dan Madura.
Dalam sistem belajarnya, para santri
memulai pelajarannya dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah dengan
teks-teks yang sederhana seperti Safinah Al-Najah, Sullam At-Taufiq, Al-Sittin
Mas’alah, Mukhtashar oleh Ba-fadhl, dan Risalah oelh sayyid Ahamad bin
Zain Al-Habsyi. Mereka yang melanjutkan
akan mempelajari satu atau beberapa kitab-kitab fiqih berikut: Minhaj Al-Qawim, Al-Hawasyi Al-Madaniyah, Fath
Al-Qarib, Bajuri ( syarah fath al-qarib), Al-Iqna’, Bujairimi (Syarah Iqna’),
Fath al-Wahab, Tuhfatul Muhtaj, dan Fath al-Mu’in . Dan yang perlu diketahui
kurikulum pesantren tidak distandardisasi. Hampir setiap pesantren mengajarkan
kombinasi kitab yang berbeda-beda.
Sedangkan menurut Zamaksyari,
kitab-kitab yang diajarkan di pesantren yang dijadikan kurikulumnya meliputi
kitab yang kecil dan pendek sampai kitab yang berjilid- jilid, sehingga dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Kitab-kitab dasar; 2.
Kitab-kitab tingkat menengah; 3. Kitab-kitab besar. Diantara kitab-kitab tersebut yang
populer digunakan, yang termasuk kitab dasar antara lain; Bina (sorf), Awamil
(nahwu), Aqidat al- Awam (akidah), Washoya (akhlak). Kitab-kitab menengah
meliputi amsilat al-Tasrifiyah (sorf Tsanawiyah), Kailani, Maqshud (Sor f /
Aliyah), Jurumiyah, Imrithi, Muthamimah (nahwu/Tsanawiyah), Alfiyah, Ibnu Aqil
(nahwu/Aliyah), Taqrib, Safinah, Sullam al-Taufiq (fiqh/Tsanawiyah), Bayan
(Ushul Fiqh/Tsanawiyah-Aliyah), Fathul Mu’in, Fathul Qorib, Kifayatu al- Akhyar,
Fath al-Wahab, Mahalli, Tahrir (fiqh/Aliyah), Waraqot, Luma’ (Ushul
fiqh/Aliyah-Khawas), sanusi, Kifayat al-awam, Jauhar al-Tauhid, al-Husum
al-Hamidiyah (akidah/Tsanawiyah), Jalalain, Tafsir Munir, Ibnu Katsir, al-Itqon
(Tafsir-Ulum al-Tafsir/Aliyah) Bulugh al-Marom, Shahih Muslim, Arbain Nawawi,
Baiquniyah (Hadits, Ulum al-Hadits/Tsanawiyah), Riyadh al-Shalihin, Durrot
al-Nasihin, Minhaj al-Mughits (Hadits ulum Hadits /Aliyah) Ta’lim al-Muta’alim,
Bidayatul al-Hidayah (Akhlak/Tsanawiyah), Ihya’Ulum al-Din, Risalat
al-Munawanah (Akhlak /Aliyah), khulashah Nur al-Yaqin (tarikh). Kitab khawas (tinggi) meliputi, Jam’u
al-Jawami’, Al-Asybah wa-Nadhoir (Ushul fiqh), Fathu al Majid (akidah), Jami’
al-Bayan, al-Manar, Shahih Bukhori (Hadits).
Dari pemaparan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa selama ini pengajaran fiqih perempuan di pesantren,
kebanyakannya include dalam pembahasan
fiqih secara umum. Yakni dalam empat pokok komponen ajaran fiqih, yaitu ‘ubudiyah, mu’amalah, munakahah dan jinayah .
Dan rata-rata kitab yang menjadi rujukan di pesantren didominasi oleh madzhab
Syafi’i.
Ada satu kitab yang membahas tentang
hak-hak dan terutama kewajiban-kewajiban
isteri, yaitu kitab ‘Uqud
Al-Lujain Fi Huquq Al-Zaujain karya Imam Nawawi Banten. Kitab ini merupakan
materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Kitab ini dicetak
berulangkali oleh sejumlah penerbit dan diterjemahkan oleh banyak orang, baik
dalam bahasa Indonesia sendiri maupun bahasa Jawa.
Menurut Martin, kitab ‘ Uqud
al-Lujjayn ini juga diberikan komentar
dalam bahasa Jawa. Pertama, oleh Abu Muhammad Hassanudin dari pekalongan dalam
kitabnya yang berjudul Hidayat
al-Arifin dan kedua, oleh Sibt
al-Utsamni Ahdari al-Janqalani Al-Qudusi dalam
Su’ud Al-Kaunain. Sedangkan kitab lain yang juga banyak dibaca di
pesantren, meski tidak terlalu populer adalah
Qurrah al-’uyun fi an-nikah asy-syar’i, tulisan Idris al-Hasani. Kitab
ini mengkhususkan pembahasan soal hubungan seksual suami isteri dan etiknya.
0 Response to "PENDIDIKAN FIQIH PEREMPUAN DI PONDOK PESANTREN"
Post a Comment