MENGENAL PONDOK PESANTREN
Warta Madrasah – Sahabat Warta Madrasah Pesantren
merupakan warisan sekaligus kekayaan kebudayaan intelektual bangsa Indonesia
dalam rentangan sejarah masa lalu dan sekarang, dapat kita lihat besar
peranannya dalam proses perkembangan sistem pendidikan nasional, di samping
eksistensinya dalam melestarikan dan mempertahankan serta melestarikan
ajaran-ajaran agama Islam.
Perjalanan dan liku-liku yang panjang, pesantren
dengan berbagai keunikannya telah menyebabkan makin eksis, bahkan diramalkan
oleh segenap akademisi dan pengamat pendidikan sebagai lembaga pendidikan alternatif
yang mampu menjawab tantangan global, variasi tata nilai yang dimiliki penuh
dengan kedinamisan akan tumbuh dan berkembang menurut situasi dan kondisi.
1.
Pengertian
Pesantren
Menurut
asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an”
yang menunjukkan tempat, maka artinya
adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”sant” (manusia baik) dengan suku kata ”tra”
(suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan
manusia baik-baik.1
Lebih
jelas dan sangat terinci se kali Nurkholis Madjid mengupas asal usul perkataan santri, ia berpendapat
”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang
artinya melek huruf, dIkonotasikan dengan kelas literary ba gi orang jawa yang
disebabkan karena pengetahuan mereka
tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian
diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui
kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa me mbaca
al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama.
Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang
yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (ingat dalam istilah pewayangan)
tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu.2
Pesantren
juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa
Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan
kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”Funduq” yang
berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal
yang terbuat dari bambu.3
Sehingga
pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau
komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada
kyai atau guru ngaji, biasannya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar
kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Dalam pengertian istilah pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.4
Lebih luas lagi H.M. Arifin mendefinisikan pondok pesantren sebagai
suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat
sekitar, dengan sistem asrama (kampus). Di mana para santri menerima pendidikan
agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah
kedaulatan dari leadership seorang atau
beberapa orang kyai dengan ciri-ciri
khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.5
Sehingga Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa lembaga lembaga
pendidikan pesantren memili ki beberapa elemen dasar yang merupakan ciri khas
dari pesantren itu sendiri, elemen itu adalah:
a. Pondok atau asrama
b. Tempat belajar mengajar, biasanya berupa Masjid dan bisa berbentuk lain.
c. Santri
d. Pengajaran kitab-kitab agama klasik.
e. Kyai dan ustadz.6
Untuk
lebih jelasnya akan penulis berikan penjelasan tentang elemen-elemen pesantren
tersebut di atas sebagai berikut :
a. Pondok atau asrama
Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan unsur
penting yang harus ada dalam pesantren.
Pondok merupakan asrama di mana para santri tinggal bersama dan belajar di
bawah bimbingan kyai. Pada umumnya pondok ini berupa komplek yang dikelilingi
oleh pagar sebagai pembatas yang memisahkan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Namun ada pula yang tidak terbatas bahkan kadang berbaur dengan lingkungan
masyarakat.
b. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan dengan pesantren, masjid adalah bangunan sentral sebuah pesantren,
dibanding bangunan lain, masjidlah tempat serbaguna yang selalu ramai atau paling
banyak menjadi pusat kegiatan warga pesantren. Masjid yang mempunyai fungsi
utama untuk tempat melaksanakan sholat berjamaah, melakukan wirid dan do’a, i’tikaf
dan tadarus al-Qur'an atau yang sejenisnya. 7 Namun bagi pesantren dianggap
sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah dan pengajaran kitab-kitab agama klasik. Hal ini
dapat dilihat dalam tradisi pendidikan Islam, yang menempatkan masjid sebagai
manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.
c. Santri
Istilah ”santri” mempunyai dua konotasi atau pengertian, yang pertama; di
konotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan dan melaksanakan perintah
agama Islam, atau dalam terminologi lain sering disebut sebagai ”muslim
orotodks”. Yang dibedakan secara kontras dengan kelompok abangan, yakni
orang-orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam,
khususnya nilai-nilai yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha. 8 Yang kedua; dikonotasikan dengan orang-orang yang
tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan pesantren. Keduanya jelas berbeda,
tetapi jelas pula kesamaannya, yakni sama-sama taat dalam menjalankan syariat Islam.9
Dalam dunia pesantren santri dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu10 :
1. Santri mukim
Adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di
dalam pondok yang disediakan pesantren, biasanya mereka tinggal dalam satu kompleks
yang berwujud kamar-kamar. Satu kamar biasanya di isi lebih dari tiga orang,
bahkan terkadang sampai 10 orang lebih.
2. Santri kalong
Adalah santri yang tinggal di luar komplek
pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah penduduk di sekitar
lokasi pesantren, biasanya mereka datang ke pesantren pada waktu ada pengajian
atau kegiatan-kegiatan pesantren yang lain.
d. Pengajaran kitab-kitab agama klasik
Salah satu ciri khusus yang membedakan pesantren
dengan lembaga-lembaga pendidikan yang
lain adalah adanya pengajaran kitab-kitab agama klasik yang berbahasa arab,
atau yang lebih tren disebut dengan ”kitab kuning”. Spesifikasi kitab dilihat
dari format ( lay-out) nya terdiri dari dua bagian : materi, teks asal
(inti) dan syarh (komentar, teks penjelas
atas materi). Dalam pembagian semacam ini, materi selalu diletakkan di bagian
pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah - karena
penuturannya jauh lebih banyak dan panjang - diletakkan di bagian tengah kitab
kuning.11 Dan bila dilihat dari segi
cabang keilmuannya dapat dikelompokkan menjadi 8 kelompok, yaitu; a Nahwu
(syintaq) dan sharaf (morfologi); b. Fiqih; c. Ushul Fiqh; d. Hadits; e.
Tafsir; f. Tauhid; g. Tasawuf dan etika; h.
Cabang-cabang lain seperti tariekh dan balaghah.12
Ciri khas lain dalam kitab kuning adalah kitab
tersebut tidak dilengkapi dengan sandangan (syakal) sehingga kerapkali di
kalangan pesantren disebut dengan istilah ”kitab gundul”. Hal ini kemudian berakibat
pada metode pengajarannya yang bersifat tekstual dengan metode, sorogan dan
bandongan.
e. Kyai atau ustadz
Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren
merupakan elemen yang cukup esensial. Laksana jantung bagi kehidupan manusia begitu
urgen dan pentingnya kedudukan kyai, karena dialah yang merintis, mendirikan,
mengelola, mengasuh, memimpin dan terkadang pula sebagai pemilik tunggal dari
sebuah pesantren. Gelar kyai, sebagaimana diungkapkan Mukti Ali yang dikutip Imam
Bawani, biasanya diperoleh seseorang berkat kedalaman ilmu keagamaannya,
kesungguhan perjuangannya di tengah umat, kekhusyu’annya dalam beribadah, dan kewibawaannya sebagai pemimpin. Sehingga
kalau semata-mata hanya karena faktor pendidikan tidak dapat menjamin bagi
seseorang untuk memperoleh predikat kyai, melainkan faktor bakat dan seleksi
alamiah yang lebih menentukannya.13
Di lingkungan pesantren, seorang kyai adalah
hirarki kekuasaan satu-satunya yang ditegakkan di atas kewibawaan moral sebagai
penyelamat para santri dari kemungkingan melangkah ke arah kesesatan, kekuasaan
ini memiliki perwatakan absolut sehingga santri senantiasa terikat dengan
kyainya seumur hidupnya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang
moral dalam kehidupan pribadinya.14 Dan yang perlu diingat bahwa yang
digambarkan adalah pesantren yang masih dalam bentuknya yang murni, atau dalam
studi kepesantrenan disebut dengan istilah pesantren tradisional.
2.
Sistem Pendidikan dan
Pengajaran Pesantren
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa komponen
pesantren salah satunya adalah berupa pondok atau tempat tinggal, sehingga
dapat dipahami bahwa sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem asrama, di
mana santri tinggal satu komplek bersama kyai, dan juga adanya pengajaran
kitab-kitab klasik, yang berbahasa Arab
yang tentunya dalam memahaminya di perlukan adanya metode-metode khusus yang
menjadi ciri khas dari pondok pesantren. Pesantren sebagaimana kita keta hui,
biasanya didirikan oleh perseorangan (kyai) sebagai figur sentral yang
berdaulat dalam mengelola dan mengaturnya. Hal ini, menyebabkan sistem yang
digunakan di pondok pesantren, berbeda antara satu dan yang lainnya. Mulai dari
tujuan, kitab-kitab (atau materi) yang diajarkan, dan metode pengajarannya pun berbeda.
Namun secara garis besar terdapat kesamaan. Sebagai lembaga pendidikan
tradisional, pesantren pada umumnya tidak
memiliki rumusan tujuan pendidikan secara rinci, dijabarkan dalam sebuah sistem
pendidikan yang lengkap dan konsisten direncanakan dengan baik. Namun secara
garis besar, tujuan pendidikan pesantren dapat diasumsikan sebagai berikut :
a. Tujuan Umum, yaitu untuk membimbing anak didik (santri) untuk
menjadi manusia yang berkepribadian islami yang
sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui
ilmu dan amalnya.
b. Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang
yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh
kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.15 Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas,
umumnya pesantren menyelenggarakan proses pembelajaran dengan menggunakan kitab
kuning (kitab-kitab karya ulama terdahulu). Dalam penggunaan kitab kuning di
pesantren tidak ada ketentuan yang harus mewajibkan kitab-kitab tertentu,
biasanya hal ini disesuaikan dengan sistem pendidikan yang digunakan, ada yang
hanya menggunakan sistem pengajian, tanpa sistem madrasah, ada yang sudah
menggunakan sistem madrasah klasikal. Ada pula pesantren yang
menggabungkan sistem pengajian dan
sistem madrasah secara non klasikal.16
Pelaksanaan pengajaran kitab ini dilakukan secara
bertahap, dari kitab-kitab yang dasar yang merupakan kitab-kitab pendek dan
sederhana, kemudian ketingkat lanjutan menengah dan baru setelah selesai
menginjak kepada kitab-kitab takhasus, dan
dalam pengajarannya dipergunakan metode-metode seperti, sorogan,
bandongan, hafalan, mudzakaroh dan majlis ta’lim. Untuk lebih jelasnya akan
penulis paparkan masing-masing metode tersebut sebagaimana berikut :
1) Metode Hafalan
Metode hafalan adalah metode pengajaran dengan mengharuskan
santri membaca dan menghafalkan teks-teks kitab yang berbahasa arab secara
individual, biasanya digunakan untuk teks kitab nadhom, seperti aqidat al-awam,
awamil, imrithi, alfiyah dan lain-lain.
2) Metode Weton / Bandongan
Metode ini disebut weton, karena pengajiannya atas
inisiatif kyai sendiri, baik dalam menentukan kitab, tempat, waktunya, dan disebut bandongan, karena pengajian diberikan
secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri.17
3) Metode Sorogan
Metode ini, adalah metode pengajaran dengan sistem
individual, prosesnya adalah santri dan biasanya yang sudah pandai, menyodorkan
sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di depan kyai, dan kalau ada salahnya,
kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kyai.18
4) Metode Mudzakaroh / Musyawarah.
Metode mudzakaroh atau musyawarah adalah sistem pengajaran
dengan bentuk seminar untuk membahas setiap masalah keagamaan atau berhubungan
dengan pelajaran santri, biasanya hanya untuk santri tingkat tinggi.19
5) Metode Majlis ta’lim
Metode ini biasanya bersifat umum, sebagai suatu
media untuk menyampaikan ajaran Islam secara te rbuka, diikuti oleh jamaah yang
terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, juga berlatar belakang pengetahuan
bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin.
Pengajian ini dilakukan secara rutin atau waktu-waktu tertentu.
REFERENSI
1.
Amal Fathullah Zarkasy, Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
dan Dakwah ”dalam Adi Sasono… (et al.) Solusi Islam atas Problematika Umat :
(Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), Jakarta : Gema Risalah Press, 1998, hlm.
106
2.
Nurkholis Madjid,
Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997,
hlm. 19-20
3.
Amal Fathullah Zarkasyi, Op.Cit., hlm.105-106
4.
Mastuhu, Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994, hlm. 32
5.
H.M. Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara, 1995, hlm. 240
6.
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, Jakarta : LP3S, 1982, hlm. 44
7.
Imam Bawani, M.A., Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993, hlm. 91-92
8.
Ibid, hlm. 93.
9.
Imam Bawani, Op.Cit., hlm.
93
10.
Zamakhsyari Dhofir, Op.Cit.
hlm. 51-52.
11.
Affandi Mochtar, ”Tradisi Kitab Kuning : Sebuah Observasi
Umum”, dalam Marzuki Wahit, et.al.
(penyunting), Pesantren Masa Depan Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999, hlm.
233
12.
Zamaksyari Dhofier,
Op.Cit., hlm. 50
13.
Imam Bawani, Op.Cit., hlm.
90
14.
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai
Pesantren, Yogyakarta : Lkis, 2001, hlm.
6-7
15.
H.M. Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan (Umum dan Agama), Semarang:
Toha Putra, 1991, hlm. 110-111
0 Response to "MENGENAL PONDOK PESANTREN"
Post a Comment