IRONI PEMIMPIN RAKYAT
Warta Madrasah - Jumat
pagi (30/12/2016) pagi, Klaten gempar gara-gara Bupati Klaten, Sri Hartini,
tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Tujuh orang lainnya juga
ikut ditangkap oleh KPK. Bupati Klaten ditangkap terkait kasus suap promosi
jabatan. KPK juga menemukan sejumlah barang bukti, diantaranya uang sejumlah
dua milyar rupiah. KPK juga mengamankan enam orang pejabat yang terkait kasus
suap promosi jabatan. Selain menyita berkas, KPK menyegel beberapa mobil.
Sesaat setelah ditangkap KPK, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pun memecat
Sri Hartini.
Selanjutnya,
KPK menetapkan Sri Hartini dan Suramlan (Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama)
sebagai tersangka kasus suap promosi jabatan. Sri Hartini selaku penerima suap,
melanggar pasal 12 huruf a dan atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 29 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo. Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Sementara
Suramlan selaku pemberi suap, melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a dan atau pasal
13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomro 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut
keterangan dari Laode M. Syarif (Wakil Ketua KPK), kasus suap Sri Hartini
merupakan kasus jual beli jabatan pertama yang ditangani oleh KPK. Selanjutnya,
Laode akan menjadikan praktek jual beli jabatan dan suap sebagai prioritas KPK.
Sehingga, Laode meminta Kementerian Dalam Negeri memperkuat tim di
daerah-daerah untuk mengantisipasi praktek-praktek serupa. Karena praktek suap
dan jual beli jabatan sangat mungkin sudah menjadi kebiasaan di berbagai daerah
di Indonesia.
Kasus
suap yang melibatkan Sri Hartini ini semakin menarik karena Sri Hartini masuk
ke dalam lingkaran politik dinasti Klaten. Tahun 2000 sampai 2005, Haryanto
Wibowo (suami Sri Hartini) menjadi Bupati Klaten. Kemudian tahun 2010 sampai
2015, Sri Hartini (istri Haryanto Wibowo bupati Klaten 2000-2005) menjadi wakil
bupati mendampingi Sunarna (Sunarna terpilih lagi menjadi Bupati Klaten 2010 –
2015 setelah menjabat Bupati Klaten pada 2005-2010). Tahun 2016, Sri Hartini
terpilih menjadi Bupati Klaten 2016 – 2021 didampingi oleh Sri Mulyani (istri
Sunarna bupati Klaten 2005-2015).
Terdapat
beberapa hal menarik yang penting untuk dipahami. Pertama, sampai pada tahun
2016, sudah ada sekitar 119 anggota DPR dan DPRD, 5 orang Gubernur, dan 50
orang Bupati dan Walikota yang ditangkap KPK. Selain itu, menurut data yang
dirilis dalam laporan tahunan KPK, di tahun 2015 terdapat 19 anggota DPR dan
DPRD, 4 gubernur, 4 bupati/ walikota dan wakil yang terkena tindak pidana
korupsi. Sedangkan tindak pidana korupsi berdasarkan modus, penyuapan adalah
mdus yang paling banyak dengan jumlah 38 kasus di tahun 2015. Itu hanya kasus
yang melibatkan penyelenggara negara dan hanya di tahun 2015 dan 2016, belum lagi
kasus yang melibatkan pejabat sejak KPK didirikan pada 2002, yang mencapai
ribuan kasus. Jumlah itu adalah jumlah tindak pidana korupsi yang fantastis
untuk Indonesia yang katanya religius dan bangsa yang berbudaya ini.
Tingginya
jumlah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan
pejabat tersebut, mengindikasikan bahwa betapa buruknya dampak politik
transaksional. Kasus politik uang, kasus jual beli jabatan dan suap, serta
segala bentuk modus tindak pidana korupsi sudah sangat familiar, bahkan
dianggap “suatu kewajiban”. Oleh karena itu, tidak heran jika pedoman hidup jujur
bakal mujur diganti dengan jujur bakal ajur. Selain itu, ramalan saiki
jaman edan, yen ra edan ra bakal keduman (sekarang adalah jaman gila, jika
tidak bersikap ‘gila’ maka tidak dapat bagian) benar-benar terjadi.
Kedua, jual
beli jabatan disinyalir juga terjadi di berbagai daerah. Sungguh ironi di
negeri ini. Jabatan, yang merupakan sebuah amanah untuk melakukan tugas demi
kemajuan bangsa dan negara, didapatkan dengan suap menyuap, dengan jual beli.
Sehingga, prinsip the right man on the right place tidak bisa
dicapai. Konsekuensinya, kinerja pejabat menjadi tidak maksimal. Korbannya
adalah kualitas sendi-sendi yang membangun sebuah negara menjadi buruk.
Bagaimana
dinas pendidikan bisa menentukan arah pendidikan bangsa jika diisi oleh
orang-orang yang membeli jabatan? Bagaimana dinas sosial bisa menyelesaikan
permasalahan sosial dan mengentaskan kemiskinan rakyat jika dipenuhi
orang-orang yang menyuap? Bagaimana dinas olahraga dapat menciptakan kebijakan
untuk kemajuan olahraga jika ditangani oleh orang-orang yang tidak berkompeten?
Bagaimana dinas pariwisata dapat membangun pariwisata daerah yang berkualitas
jika diisi oleh orang-orang yang tidak berkapasitas?
Di
sisi lain, segala bentuk modus tindak pidana korupsi, termasuk jual beli
jabatan, merupakan cerminan betapa banyaknya orang yang menginginkan jalan
pintas demi sebuah kepentingan pribadinya. Jadi teringat dengan sebuah pepatah
Jawa yang dijadikan lirik lagu, akeh wong pengen mulya tapi kok padha
wegah rekasa (banyak orang ingin hidup mulia tetapi tidak mau bersusah
payah). Proses berpikir dan bersikap jalan pintas ini dalam psikologi dikenal
dengan heuristik. Heuristik adalah menyusun kesimpulan dalam waktu cepat tanpa
pertimbangan dan usaha yang komprehensif (Robert A. Baron & Donn Byrne, Psikologi
Sosial Jilid 1, 2004 : 85).
Banyak
pejabat yang mengambil jalan pintas dan menyimpulkan bahwa jalan pintas yang
ditempuhnya tidak membawa dampak negatif jika dilakukan dengan cara yang
“benar”. Kesimpulan ini jelas salah, karena KPK memiliki kewenangan dan sistem
yang bisa menelusuri berbagai macam perilaku korupsi. Sehingga, para pejabat
dan penyelenggara negara, hendaknya benar-benar memahami falsafah hidup sepandai
apapun menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Di sisi lain, politik
dinasti yang terjadi di Klaten mencerminkan fenomena melanggengkan kekuasaan
untuk memenuhi hasrat keserakahan duniawi dan materi.
Ada
hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus soal ini. Indonesia, khususnya
Jawa, memiliki salah satu nilai tentang penerimaan atau narima ing pandum.
Dalam Islam, prinsip ini dikenal dengan qana’ah. Indonesia yang dikenal
sebagai bangsa religius dan bangsa Timur yang penuh penerimaan, perlahan
prinsip ini menghilang. Mata rantai internalisasi nilai penerimaan ini putus
dan sangat jarang bahkan sudah tidak diajarkan seacara masif lagi. Modernitas
adalah suatu keniscayaan, namun jangan sampai melunturkan nilai kearifan lokal
yang bisa membangun karakter dan menciptakan integritas diri.
Konsep
penerimaan atau narima ing pandum ini berkaitan dengan bagaimana
seseorang harus mengelola hasratnya yang begitu besar, kemudian berpikir jangka
panjang mengenai dampak negatif yang akan didapatkannya di masa depan jika
menempuh jalan pintas untuk memenuhi hasrat duniawinya. Pengelolaan hasrat ini
tidak mudah. Oleh karena itu, setiap agama mengajarkan bahwa dunia dan materi
itu bukan tujuan utama dalam hidup sehingga tidak perlu dikejar mati-matian.
Bahkan ada kata mutiara “tidak perlu mengejar mati-matian sesuatu yang tidak
bisa dibawa mati”. Maka dari itu, setiap agama memiliki ibadah untuk mengelola
hawa nafsu dan meningkatkan kesadaran dan penerimaan diri.
Ketiga, Indonesia
memang baru 19 tahun pasca reformasi. Meskipun demikian, politik transaksional
yang terjadi di negara demokrasi ini sudah terlalu jelas memberikan gambaran
negatif betapa buruknya politik di negeri ini. Demokrasi di Indonesia belum
sepenuhnya berhasil melahirkan pemimpin yang benar-benar dikehendaki rakyat.
Partai politik masih harus berbenah karena belum berhasil mendidik kadernya dan
memunculkan tokoh yang memiliki integritas yang baik. Di sisi lain, pendidikan
pemilih juga masih harus diintensifkan, soal bagaimana kesadaran rakyat untuk
benar-benar melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Masyarakat
dan partai politik masih banyak yang terjebk pada pragmatisme demi kepentingan
sesaat. Masyarakat membutuhkan uang, kemudian partai politik yang ingin
memenangkan kompetisi memberikan uang untuk menyuap masyarakat. Kemudian yang
terjadi adalah masyarakat lebih mementingkan uang yang didapatkannya, bukan
berorientasi tokoh siapa yang dimunculkan dan bagaimana tokoh itu. Akhirnya,
tokoh yang menjadi pemimpin juga tidak memiliki kapasitas untuk memajukan
masyarakat.
Perlu
revolusi sistem, salah satunya dengan mengubah perilaku. Lingkaran kekuasaan
dan politik dikenal kotor. Jika tidak mengikuti arus, maka akan tersingkir.
Sehingga, banyak yang mengikuti arus dan memegang kendali. Meskipun masih ada
beberapa orang yang memiliki integritas. Sayangnya, orang-orang ini tidak
diberi ruang yang luas dalam memberikan pengaruhnya. Masyarakat harus memulai
dengan melawan arus ini. Dalam psikologi sosial, hal ini dikenal dengan istilah
konformitas, yaitu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan
tingkah laku agar sesuai dengan norma sosial yang ada (Robert A. Baron &
Donn Byrne, Psikologi Sosial Jilid 2, 2004 : 53).
Kuncinya,
gelombang besar harus diciptakan dalam menegakkan norma sosial bahwa pemimpin
harus berintegritas dan memiliki karakter. Gelombang ini dimulai dari
keluarga-keluarga kecil yang kemudian membentuk masyarakat. Selain itu, anggota
masyarakat yang berintegritas yang menjadi bagian dari partai politik juga
harus berani memberikan pengaruh dengan dukungan masyarakat. Seperti yang
dikatakan oleh Robert A. Baron & Donn Byrne dalam Psikologi Sosial
Jilid 2 (2004 : 56 – 57), bahwa konformitas dipengaruhi oleh beberapa hal.
Misalkan, kohesivitas atau derajat kekompakan. Semakin kohesiv gerakan untuk
melahirkan pemimpin yang berintegritas dan berkarakter, maka semakin besar
pengaruhnya.
Selain
itu, besar kelompok juga mempengaruhi bagian masyarakat lain untuk melakukan
sesuatu atau tidak. Jika kelompok yang menginginkan pemimpin yang bersih
sehingga mampu mencapai kohesivitas yang tinggi dan kemudian mampu
mengorganisir kelompoknya secara baik, maka akan mampu mengalahkan pengaruh
pihak yang menginginkan politik transaksional. Faktor yang mempengaruhi
konformitas yang lain adalah norma injungtif, yaitu norma yang menetapkan apa
yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang dapat diterima atau tidak dapat
diterima pada situasi tertentu. Norma semacam ini harus benar-benar ditegakkan
oleh kelompok masyarakat secara massif.
Dengan
gelombang besar, masyarakat dapat memunculkan sosok yang benar-benar
dikehendaki dan memiliki integritas yang tinggi serta memiliki kualitas yang
baik. Dalam hal ini, organisasi masyarakat terutama organisasi keagamaan yang
banyak memiliki pengikut “fanatik”, memiliki peran penting dalam membentuk
gelombang. Maka dari itu, organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan jangan
sampai menjadi alat politik untuk merebut simpati pada individu yang tidak
berkompeten. Organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan harus berdiri
independen. Selain itu, penegakan hukum juga harus direalisasikan sehingga
negara memiliki tanggung jawab atas kewajiban ini.
Penulis
adalah Dosen IAIN Surakarta, Sekretaris Lakpesdam PCNU Klaten.
Sumber : NU Online : http://www.nu.or.id
0 Response to "IRONI PEMIMPIN RAKYAT"
Post a Comment