BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PRESTASI SISWA

BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PRESTASI SISWA


   A.    Belajar Behavioristik
   1.      Pengertian Belajar Behavioristik
Pendidikan pada hakekatnya adalah pembentukan kepribadian sehingga didalamnya sangat terkait dengan psikologi.[1] Dalam dunia psikologi dan pendidikan suatu teori sangat vital untuk memajukan atau mengembangkan dan memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang itu.[2] Jadi, pendidikan terkait dengan pembelajaran memiliki teori-teori belajar yang tidak dapat dipungkiri bahwa teori tersebut berasal dari aliran psikologi.
Teori-teori yang dipelopori oleh para tokoh psikologi yang berhubungan dengan belajar menjadi teori-teori pembelajaran. Teori belajar merupakan suatu prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.[3]
Salah satu teori-teori belajar dari psikologi adalah teori belajar behavioristik atau teori belajar perilaku. Para tokoh psikologi behavioristik diantaranya ialah Pavlov, Thorndike, Skinner Watson dan Ghuthrie. Mereka sering disebut dengan “Comtemporary Behaviorist” atau “S-R Psicologis”.[4]
Teori belajar behavioristik yang berasal dari aliran behaviorisme ini semula berkembang di Rusia tetapi kemudian berkembang pula di Amerika dan merupakan aliran yang mempunyai pengaruh cukup lama.
Pada awal-awal sebelumnya psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat dan ilmu faal, karena psikologi masih dibicarakan dalam suatu kesatuan dalam bahasan materi gejala kejiwaan dan belum dipisah sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Setelah berdirinya laboratorium psikologi di Leipzig oleh Welhem Wundt pada tahun 1879, para sarjana mulai melakukan penyelidikan gejala-gejala kejiwaan secara sistematis dan obyektif. Metode-metode baru ditemukan, tidak lain hanya untuk pembuktian-pembuktian nyata dalam psikologi. Oleh karenanya lambat laun dapat tersusun teori-teori psikologi oleh beberapa ahli dan terlepas dari induknya.[5]
Pertama kali berdiri, behavioristik lebih banyak mempelajari tingkah laku binatang dan para ahli banyak yang melaksanakan penelitian. Kemudian karena tidak dapat membuktikan adanya kesadaran, maka dipelajarinya perilaku manusia. Perubahan-perubahan perilaku itu dapat dipelajari dari proses rangsang dari reaksinya (S-R).[6]
Aliran ini menitikberatkan peranan lingkungan atau peranan dunia luar sebagai faktor penting, dimana seseorang dipengaruhi seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang sebagai seorang yang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan.[7] Sehingga dalam pandangan behavioristik kepribadian manusia itu pada hakekatnya adalah perilaku. Perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya yang berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada manusia yang sama, karena pada kenyataannya manusia memiliki pengalaman yang berbeda dalam kehidupannya. Oleh karena itu apa yang dilakukan seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi dan stimulus yang diterimanya dan lingkungan merupakan stimulus bagi terbentuknya perilaku tertentu.
Adapun Ilmuwan yang pertama kali merintis aliran ini adalah Ivan M. Sekhenov (1829-1905). Dia adalah seorang fisiologis yang pernah belajar di University Of Berlin bersama orang-orang terkenal semacam Miller, Du Bois-Reymond dan Helm Bolts. Dia menghabiskan waktunya untuk mencampur secara kaku antara asosiasisme dengan materialisme dan dia menyimpulkan bahwa semua perilaku itu disebabkan oleh stimulasi.[8]
Semua ahli psikologi yang mendukung teori behavioristik berpendapat bahwa belajar mendasarkan tentang perilaku eksternal dan terbuka dari organisme. Perilaku eksternal merupakan perubahan yang dapat diamati sedangkan perilaku terbuka sebagai suatu tanda untuk menyimpulkan apa yang terjadi dalam perilaku seseorang.[9] Oleh sebab itu proses belajar behavioristik mengandung 3 unsur yaitu stimulus, respon dan penguat (reinforcement)[10]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar behavioristik menurut teori belajar adalah pembentukan kebiasaan yang diakibatkan oleh persyaratan atau menghubungkan stimulus dan respon dengan dikendalikan penguat dan tingkah laku yang terbentuk merupakan jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya terhadap  lingkungan. Teori belajar behavioristik berpandangan bahwa yang berperan aktif adalah pendidikan. Peserta didik memerlukan motivasi dalam belajar karena hal itu dapat menjadi penguat ataupun stimulus.     
2.      Teori-teori Belajar Dari Psikologi Behaviortistik
Psikologi behavioristik dikembangkan dengan lahirnya teori tentang belajar dipelajari oleh Pavlov, Thorndike, Skinner, Watson dan Ghuthie. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan berharga mengenai belajar. Adapun teori-teorinya lebih jelasnya sebagai berikut:
a.      Klassikal conditioning
Pada mulanya pemikiran dan eksperimen Pavlov hanya terbatas di Rusia, tetapi kemudian menyebar ke Amerika Serikat, terutama bagi ahli yang menolak digunakannya metode introspeksi dalam psikologi. Pavlov eksperimennya pada observed facts, pada keadaan yang benar-benar dapat diobservasinya.[11] Sesuai dengan ajaran behavioristik yang mengatakan bahwa belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Dimana hubungan ini akan menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pasa belajar. Jadi pada dasarnya kelakuan anak adalah terdiri atas respon-respon tertentu terhadap stimulus tertentu. Dengan latihan-latihan maka hubungan-hubungan itu akan semakin menjadi kuat.[12] Oleh karena itu apa yang dilakukan seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi dan stimulus yang diterimanya dan lingkungannya biasanya disebut dengan “Classical Conditioning”.[13]

1.      Eksperimen Pavlov
Dalam eksperimennya Pavlov menggunakan anjing sebagai binatang percobaan. Anjing dioperasi kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan si peneliti untuk mengukur dengan teliti air liur yang keluar sebagai respon (reaksi) apabila ada perangsang makanan ke mulutnya.
Eksperimen diatas diulang-ulang dengan berbagai variasi. Ringkasnya eksperimen tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Anjing dibiarkan lapar, setelah itu mentronom dibunyikan: anjing mendengarkan benar-benar terhadap bunyi mencronom itu. Setelah berbunyi selama 30 detik, makanan diberikan dan terjadilah refleks pengeluaran air liur.
b.      Percobaan tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
c.       Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi mentronom saja (± 30 detik) telah dapat menyebabkan keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau makanan diberikan.
Dalam eksperimen ini maka:
a.      Mentronom merupakan C5, dan makanan merupakan V5
b.      Keluarnya air liur karena mentronom merupakan C5
c.       Makanan atau perangsang wajar (V5) disebut juga reinforcer (pengukuh)
Karena memperkuat refleks bersyarat dan menimbulkan respons lebih kuat reflek bersyarat.
Kalau digambarkan secara bagan, maka eksperimen tersebut adalah sebagai berikut:
C51+U51 → R1(=UR)
C52+U52 → R2(=UR)
C5n+U5n → Rn(=CR+UR)
C535        → R32(=CR)[14]
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning Process) dimana refleks-reflek s yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi.[15]
2.      Stimulus Respon
Teori ini berkisar pada suatu proses utama yaitu proses pendidikan dan juga disebut teori (S-R), dimana S adalah perangsang yang dihadapi oleh benda hidup. Sedangkan R adalah reaksi benda hidup terhadap perangsang yang dihadapi itu. Kebiasaan merupakan konsep dasar teori tentang tingkah laku, yaitu kepribadian. Seseorang memperoleh kebiasaan-kebiasaannya adalah karena ia mempelajarinya. Sedang kepribadian itu adalah srtuktur tertentu yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan. Teori ini menguatkan pentingnya factor-faktor lingkungan yang dihadapi seseorang dalam hidupnya.
Oleh karena itu menurut behavioristik manusia sebagai satu susunan tertentu yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dan dipelajarinya. Sehingga manusia menjadi susunan yang terdiri dari berbagai unit kecil yang masing-masing mengandung pertalian antara S dan K. Hukum efek Thorndike berpendapat bahwa memperkuat/memperlemah hubungan antara stimulus dan respon tergantung pada bagaimana hasil dari respon yang bersangkutan. Apabila suatu stimulus itu memberikan hasil yang menyenangkan, maka hubungan stimulus dan respon menjadi kuat dan jika hasilnya tidak menyenangkan, maka hubungan stimulus respon akan melemah. Jadi jika suatu stimulus menimbulkan respon yang membawa reward maka stimulus respon menjadi kuat.[16] Teori belajar ini kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar ygdisebut law os effect.[17] Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya jika sebuah respon menghasilkan efek yang tidak memuaskan maka hubungan stimulus-respon akan melemah.
b.       Operant Conditioning
Belajar perilaku operan ini dikemukakan oleh B.F.Skinnner, menurut Skinner tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi sutu tindakan yang disengaja. Operan ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi, operan conditioning ini melibatkan pengendalian konsekuensi.[18] Menurut Skinner, perilaku individu terbentuk/dipertahankan sangat ditentukan oleh kosekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan sebagai ganjaran maka perilakunya cenderung diulang-ulang/dipertahankan. Sebaliknya jika konsekuensinya tidak menyenangkan sebagai hukuman maka perilakunya akan dikurangi.[19] Perilaku belajar merupakan perilaku yang non reflektif yang memiliki prinsip-prinsip yang lebih aktif dibandingkan dengan perilaku klasik.[20] Sedangkan tingkah laku adalah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku ini terletak diantara dua pengaruh, yaitu pengaruh yang mendahuluinya (stimulus) dan pengaruh yang mengikutinya.
Dengan demikan tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah stimulus, respon atau keduanya. Menurut skinner menjelaskan tingkah laku sebagai hubung antara perangsang dan respon. Dari itulah skinner membedakan dua macam respon, yaitu:
-    Perilaku yang dialami kemudian disebut responden behavior yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas, perilaku yang bersifat reflektif.
-    Perilaku operan, yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang tidak diketahui, tetapi semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Perilaku operan belum tentu diketahui oleh stimulus dari luar.[21]
1.      Eksperimen Skinner
Teori stimulus dari skinner menjelaskan bahwa suatu tingkah laku atau respon tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap suatu stimulus tertentu. Untuk menjelaskan teori S-R itu skinner mengadakan sebuah percobaan yang disebut proses kondisioning operant. Proses ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari proses kondisioning klasik dari Paulov. Akan tetapi dalam percobaan Paulov binatang percobaan bertingkah secara pasif dan dalam proses kondisioningnya skinner binatang percobaan bersifat aktif. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
Skinner memasukkan seekor tikus kedalam sebuah kotak yang dibuat khusus untuk percobaan. Tikus dibiarkan bergerak kesana kemari dan sesekali secara kebetulan ia akan menginjak sebuah alat penekan yang terdapat dalam kotak itu. Kemudian makanan dimasukkan (stimulus tak berkondisi). Setiap kali tikus menginjak alat penekan, tikus akan melihat makanan dan memakannya (respon tak berkondisi). Setelah beberapa kali percobaan dialang. Tikus akan tahu bahwa dengan menekan alat setcap kali ia membutuhkan makanan. Perbuatan menekan alat tersebut tingkah laku operant. Karena tikus itu sengaja melakukannya utnuk mengubah situasi (dari tidak ada makanan menjadi ada makanan). Adapun makanan merupakan imbalan (reward) dari perbuatan menekan alat itu. Pada tingkat selanjutnya, skinner hanya memberikan makanan kalau tikus menekan alat pada saat lampu menyala. Kalau lampu tidak menyala, walaupun alat ditekan, makanan tidak akan keluar. Maka tikus hanya akan menekan alat kalau lampu menyala. Sekarang tikus dapat membedakan kapan ia boleh menekan alat dan kapan ia tidak perlu menekan alat. Lampu sekarang menjadi stimulus deskriminasi.[22]
Dari eksperimennya skinner diatas dapat diketahui bahwa seseorang belajar itu menurut kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh lingkungan yang dapat membentuk seseorang menjadi lebih aktif dan mengarah pada sesuatu yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pendapatnya bahwa kebiasaan individu sebagai hasil dari paksaan dunia luar yang menghendaki seseorang untuk melakukan sesuatu.[23]
2.      Penguatan yang dikondisikan
Teori belajar penguatan/reinforcement lahir dari psikologi reinforcement yang dipimpin oleh Null. Pada prinsipnya teori ini tidak berbeda dengan teori belajar pengkondisian operan. Teori ini memberi penguatan pada respon-respon yang benar / yang sesuai dengan harapan. Bila siswa mendapat skor tinggi, ia diberi pujian. Bila siswa berprestasi maka ia diberi hadiah dan penghargaan. Pujian, hadiah dan penghargaan tersebut merupakan penguatan-penguatan agar individu tetap konsisten dengan tindakannya yang sudah baik atau bila perlu ditingkatkan lagi.[24]
Skinner memakai istilah reinforcement untuk difungsikan sebagai penguatan perilaku, agar kelak perilaku tersebut dapat berulang lagi atau dengan kata lain perilaku yang baik, yang diinginkan lagi dapat terjadi secara berulang-ulang. Adanya respon menyebabkan seseorang memperoleh penguatan dan hal ini menyebabkan seseorang memperolah penguatan dan hal ini menyebabkan respon tersebut condong untuk diulang-ulang. Jadi penguatan merupakan stimulus yang perlu diberikan/ dihilangkan untuk memungkinkan terjadinya respon. Berdasarkan ketentuan itu maka dikenal :
1.      Penguatan Positif, yaitu suatu penguatan terhadap tingkah laku yang baik yang diberikan berupa pujian, hadiah dan tanda penghargaan.[25] Misalnya bila siswa mendapat skor yang tinggi ia berhak menerima pujian, hadiah dan tanda penghargaan.
2.      Penguatan Negatif, yaitu setiap stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan respon yang terjadi.[26] Misalnya tugas yang terlalu berat perlu dihilangkan agar siswa tetap rajin belajar dan pengertian ini dapat diartikan bahwa seorang pendidik sebaiknya menghindari tindakan yang membebani/ memberatkan siswa, karena tindakan ini akan menyebabkan anak didik guru sehingga siswa tidak mempunyai motivasi untuk belajar pelajaran yang diajarkan guru.
3.      Pembentukan Perilaku
Kalau dalam pengkondisian klasik, stimulus yang dikondisikan (pada lampu percobaan) menjadi stimulus yang tidak dikondisikan (makanan). Namun proses ini tidak menunjukkan terjadinya sesuatu yang baru. Sebaliknya pengkondisian operan memakai peranan penting dalam perkembangan perilaku yang baru. Karena binatang percobaan skinner aktif untuk mendapatkan makanan melalui kebiasaan-kebiasaan.
Eksperimen yang dilakukan oleh para ahli jiwa adalah kebiasaan perilaku individu dengan cara pembentukan. Misalnya pada percobaan burung dara yang dilatih dengan membentuk respon operan untuk menemukan lokasi orang yang hilang dilaut. Kecerdikan itu bukan terletak pada binatang percobaannya tetapi pelatihnya yang menggunakan pengkondisian operan dan membentuk perilaku untuk membuahkan hasil seperti yang diinginkan.[27] Begitu juga dengan pembentukan perilaku pada manusia, yang tidak terjadi dengan sendirinya. Pembentukan senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan berkenaan dengan obyek tertentu. Dalam pembentukan dan perubahan perilaku terdapat berbagai faktor, diantaranya :
1.      Faktor Intern
Pengamatan dan penangkapan manusia senantiasa melibatkan suatu proses pilihan antara keseluruhan daripada perangsang-perangsang yang obyektif ada diluar diri kita. Dan pilihan tersebut berhubungan erat dengan motif-motif perilaku yang bekerja didalam diri kita dan mengarahkan minat diantara obyek tertentu yang kita perhatikan. Karena manusia tidak memperhatikan semua perangsang-perangsang yang datang dari lingkungannya dengan taraf perhatian yang sama. Misalnya apabila seseorang sedang lapar, maka ia akan lebih memperhatikan perangsang-perangsang dari lingkungannya yang dapat memberikan kepuasan dari kelaparan.
2.      Faktor Ekstern
Mengenai faktor ekstern diuraikan oleh M. Sherif yaitu melihat faktor-faktor ekstern, maka perilaku dapat dibentuk dan diubah karena :
-          Dalam interaksi kelompok, dimana terdapat (hubungan) timbal balik yang langsung antara manusia.
-          Karena komunikasi, dimana terdapat pengaruh-pengaruh (hubungan) langsung dari satu pihak saja.[28]
c.       Identifikasi
Identifikasi dalam psychology berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain.[29] anak secara tidak sadar mengambil oper sikap-sikap orang tua tempat identifikasi untuk dijadikan pedoman tingkah lakunya. Sejalan dengan perkembangannya, anak mendapatkan banyak sikap dan pola perilaku ortu mereka. Menurut Bandura, kebanyakan tingkah laku seseorang itu karena pengamatan/ belajar model/ biasa disebut dengan identifikasi.[30]
Dalam teori Freud, konsep identifikasi memegang peranan penting, sedangkan dalam teori psikoanalistik, identifikasi dihubungkan dengan proses tidak disadari yang dilalui seseorang dalam meniru karakteristik (sikap, pola, perilaku) orang lain.[31]
Sedangkan para ahli psikologi memandang identifikasi sebagai suatu bentuk kegiatan belajar, anak-anak menirukan perilaku tertentu dari orang tua karena diberi ganjaran untuk melaksanakan itu. Saudara kandung, teman sebaya, guru merupakan model lain yang terperan sebagai sumber identifikasi. Sehingga mereka memandang merupakan proses yang berkesinambungan pada saat respon baru diperoleh sebagai hasil pengalaman langsung dan tidak langsung bersama orang tua dan model lain.
Proses pengidentifikasian dimulai dari orang tua, tapi lambat laun setelah ia berkembang disekolah tempat identifikasi dapat beralih pada orang-orang yang dianggap hormat. Seperti guru atau pemimpin. Identifikasi yang dilakukan orang kepada orang lain yang dianggap ideal dalam suatu segi, untuk memperolah sistem norma, sikap-sikap dan nilai-nilainya yang dianggapnya ideal dan uang masih kurang dalam dirinya. Sehingga dalam identifikasi terdapat suatu hubungan yang saling menghormati dan menjunjung tinggi yang lain dan ingin belajar.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi identifikasi adalah :
1)      Ingin mengikuti jejak
2)      Ingin mencontoh
3)      Ingin belajar dari orang yang dianggapnya ideal.[32]



3.      Inti teori belajar behavioristik
Deskripsi singkat dari teori belajar behavioristik sesuai yang terdapat dalam buku “toeri belajar, motivasi dan keterampilan mengajar “ yang diterbitkan oleh Depdikbud : 1996, yaitu :
a.      Menurut tori belajar behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap sudah belajar sesuatu bila ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
“ Misalnya seorang siswa belum bisa membaca. Maka meskipun ia telah belajar keras atau bahkan sudah hafal huruf abjad (A-Z), namun bila siswa tersebut gagal mendemonstrasikan kemampuannya dalam membaca, maka ia bellum bisa dianggap telah belajar. Kemudian ia telah dianggap telah belajar apabila ia mampu menunjukkan suatu perubahan dalam perilaku (dari belum bisa menjadi bisa).
b.      Yang terpenting dalam teori belajar behavioristik ialah (input) yang berupa stimulus dan keluaran (output) yang berupa respon itu dianggap penting dan bisa diamati adalah stimulus – respon.
“Misalnya, apa saja yang diberikan oleh guru kepada siswa dalam rangka membantu belajarnya dalam hal tertentu. Stimulus mungkin berupa rangkaian alfabet, beberapa kalimat atau sebuah bacaan. Sedangkan respon ialah reaksi siswa terhadap stimulus yang diberikan gurunya. Menurut teori belajar behavioristik , apa saja yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa (respon) semuanya harus bisa diamati, diukur dan tidak boleh hanya implisit (tersirat).
c.       Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila ditambahkan positif reinforcement maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila penguat dikurangi negatif reinforcement responpun akan tetap dikuatkan.
“Misalnya seorang siswa bertambah giat belajar karena ketika ia berprestasi ia diberi sebuah penghargaan. Maka penghargaan ini disebut sebagai “ positif reinforcement ”. Sebaliknya, bila penghargaan tersebut dikurangi dan pengurangan penghargaan ini tetap membuat siwa berprestasi, maka penguraangan penghargaan ini disebut “negatif reinforcement”.
d.     Pelopor yang terpenting yang sekaligus para tokoh terpenting dalam teori belajar behavioristik antara lain : Ivan Pavlov, Thorndike, Skinner, J.B. Watson, Hull dan Guthri.[33]
Sedangkan menurut Oemar Hamalik dalam bukunya Psikologi Belajar Mengajar, secara teoritis inti dari belajar behavioristik adalah :
a.      Conditioning Theory
Simple cand atau teori continguity menekankan bahwa belajar behavioristik terdiri atas pembangkitan respon dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral. Melalui persinggungan (Continguity) stimulus dengan respon, stimulus yang tadinya netral akhirnya mampu menimbulkan respon.
b.      Connectionisme Theory
Conectionisme stimulus – respon atau teori reinforcement menenkankan bahwa belajar terdiri atas pembentukan ikatan atau hubungan – hubungan antara stimulus – respon yang terbentuk melalui pengulangan. 
c.       Field Theory
Field Theory yang dirumuskan adalah sebagai reaksi terhadap teori Conditioning dan reinforcement dipandang bersifat otomatis. Teori ini menekankan keseluruhan dari baian – bagian, bahwa bagian – bagian itu erat sekali hubungannya dan saling bergantung satu sama lain.[34]


4.        Implementasi belajar behavioristik dalam kegiatan belajar mengajar.
Teori belajar behavioristik mengaplikasikannya, pada dasrnya tergantung pada beberapa hal seperti materi pelajaran karakteristik siswa, media belajar dan fasilitas belajar yang tersedia. Adapun langkah – langkah yang bisa digunakan sebagai berikut :
a.      Merumuskan tujuan instruksional.
b.      Menganalisa lingkungan kelas yang ada termasuk melakukan identifikasi pengetahuan awal siswa “ entry behavior ”.
c.       Pemantauan materi pelajaran atau pokok bahasan.
d.     Memecah materi bahasan menjadi bagian kecil (subpokok bahasan) sampai ke judul.
e.      Menyajikan materi pelajaran.
f.        Memberikan stimulus yang bisa berupa tes pertanyaan artian dan tugas-tugas.
g.      Mengkaji dan mengamati respon yang telah diberikan.
h.      Memberikan penguatan (reinforcement).
i.        Memberikan stimulus baru.
j.        Mengamati respon dan yang diberikan (evaluasi hasil belajar).[35]
Sedangkan menurut skinner merancang sistem pengajaran yang kemudian disebut instrumental conditioning. Adapun ciri-ciri pengajarannya adalah :
a.      Bahan-bahan pengajaran dibagi menjadi unit-unit kecil dan disajikan secara berturut-turut.
b.      Diharapkan siswa mampu memberikan jawaban mendekati 100% benar.
c.       Siswa harus memusatkan perhatian sebab program berjalan continue dan siswa harus menjawab.
d.     Setiap siswa akan melangkah maju sesuai dengan masing-masing.
e.      Jawaban-jawaban siswa segera diikuti (reinforcement positif).
f.        Hukuman yang negatif tidak digunakan (reinforcement negatif).[36]
B.     Prestasi Belajar
1.      Pengertian Prestasi Belajar
Dalam dunia pendidikan, belajar merupakan kegitan pokok yang harus dilalui oleh setiap siswa. Karena belajar dapat mempengaruhi pertumbuhan jasmani dan rohani yang dimanifestasikan dalam perubahan tingkah laku dan kepribadian siswa. Disamping itu Allah SWT juga memandang bahwa belajar merupakan suatu kebajikan, karena dengan belajar manusia akan mendapatkan ilmu pengetahuan guna menjaga eksistensinya sebagai kholifah di muka bumi ini.
Islam memerintahkan umat-Nya untuk selalu belajar, karena dengan belajar seseorang memperoleh ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk membangun dunia ini. Belajar merupakan jalan yang wajib, sehingga Allah SWT berjanji kepada orang-orang yang berilmu akan diangkat derajatnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mujaadalah ayat :11 yaitu sebagai berikut :
يرفع الله الذين امنوامنكم والذين اوتوالعلم درجا ت( المجا دله :۱۱ )
Artinya :
 “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”
(Al-Mujaadalah : 11)[37]
Kata prestasi menurut Muhibbin Syah yang mengutip pendapat Arifin berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatieyang mengutip pendapat arifin berasal dari bahasa Belanda yaitu prestati yang berarti usaha.[38] Pengertian ini senada dengan pengertian yang dilakukan W.J.S. poerwadarminta dalam kamus bahsa indonesia. Bahwa prestasi belajar dari kata prestatie (bahasa Belanda) artinya apa yang dihasilkan atau dilakukan.[39]
Selanjutnya menurut D. Guarsa dalam buku Psikologi untuk Membimbing, prestasi adalah suatu hasil atau nilai yang ingin di capai anak dari keaktifan selama mengikuti proses belajar mengajar dalam kurun waktu tertentu setelah diadakan evaluasi.[40]
Sedangkan menurut Muhmmad Ali, secara umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan.[41] Sedangkan menurut Dede Rosyada yang mengutip pendapat Mansur, belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya kegiatan belajar merupakan perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap bahkan meliputi segenap aspek atau pribadi.[42]
Dari beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai setelah ada usaha. Dalam hal ini yang dimaksud adalah prestasi yang diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga prestasi tersebut akan menunjukkan baik dan buruknya hasil balajar. Sebagai contoh seorang siswa belajar dengan usaha yang giat kemudian hasil ulangannya termasuk kategori baik. Maka hasil yang ditunjukkan itulah yang dinamakan prestasi belajar.[43]
Dengan demikian prestasi belajar dapat dipahami sebagai hasil belajar yang berupa kemampuan-kemampuan tertentu setelah menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan ini meliputi tiga hal yaitu keterampilan dan ketangkasan pengetahuan dan sikap.
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar.
Berhasil tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan beberapa faktor diantaranya faktor yang datang dari individu itu sendiri dan ada pula dari luar individu tersebut.[44] Menurut Nana Sujana, mengatakan bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa atau faktor lingkungan.[45]
Dibawah ini dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian hasil belajar.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1.   Faktor internal  yaitu faktor yang timbul dari diri anak itu sendiri :
a.      Faktor psikologi yang meliputi: motivasi, bakat, sikap, perhatian, minat, tanggapan dan intelegensi.
1.      Adanya sifat ingin tahu menyelidiki dunia yang paling luas.
2.      Adanya sifat manusia yang kreatif dan keinginan untuk selalu maju.
3.      Adanya  keinginan untuk mendapatkan simpatik dari orang tua , guru dan teman.
4.      Adanya keinginan untuk memeraih kegagalan dimasa lalu dengan usaha yang lebih baik.
5.      Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
6.       Adanya ganjaran dan hukuman dalam belajar.[46]
b.      Faktor Fisiologis.
Yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yakni yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat siswa dalam belajarnya, seperti sakit kepala, demam, kurang gizi dan sebagainya, dapat menyebabkan seorang siswa kurang bergairah dan tidak konsentrasi terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru.[47]
2.  Faktor eksternal yaitu faktor yang timbul dari luar diri siswa.
  a. Faktor sosial
yaitu faktor sesasama manusia, baik berhubungan langsung maupun tidak langsung. Adapun faktor sosial disini meliputi :
1.      Orang tua.
Sebagai orang tua harus bisa memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi kepada anak, agar anak bersemangat dalam belajar.
2.      Sekolah.
Sekolah merupakan tempat pendidikan formal dalam terjadinya proses belajar mengajar, sehingga dapat menghidupkan suasana belajar siswa.
3.      Masyarakat.
Lingkungan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting terhadap keberhasilan anak, sebab perkembangan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.[48]
  b. Faktor non sosial.
Faktor non sosial melliputi dua faktor, yaitu:
1.      Sarana
Yaitu alat-alat yang dipakai dalam proses belajr mengajar, misalnya: buku-buku bacaan, alat tulis, papan tulis dan peraga lainnya.
2.      Lingkungan Fisik.
Meliputi gedung dan ruangan sekolah, keadaan udara, cuaca dan waktu.[49]
3.      Indikator Prestasi Belajar
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar idealnya meliputi segenap ranah psikologi yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya ranah rasa murid sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat dapat diraba. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta rasa maupun yang berdimensi karsa.[50]
Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah mengetahui garis-garis besar penunjukan adanya prestasi tertentu (indikator) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak dingkapkan atau diukur. Selanjutnya, agar pemahaman lebih mendalam mengenai kunci pokok tadi dan untuk memudahkan dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat dan valid, maka dibawah ini penulis sajikan sebuah tabel tentang jenis, indikator dancara evaluasi belajar siswa.[51] Tabel ini berasal dari berbagai sumber rujukan (Surya, 1982; Barlow, 1985) sebagaimana dikutip kembali oleh Muhibbin Syah dalam buku Psikologi Pendidikan.

TABEL  I
JENIS, INDIKATOR DAN CARA EVALUASI
PRESTASI BELAJAR [52]

Indikator
Cara Evaluasi
A.  Ranah Cipta (kognitif)
1. Pengamatan


2.Ingatan


3. Pemahaman


4. Penerapan



5. Analisis

6. Sintesis

1. Dapat menujukkan.
2. Dapat membandingkan
3. Dapat menghubungkan
1. dapat menyebutkan
2. dapat menunjukkan kembali

1. Dapat menjelaskan
2. Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri.
1. Dapat memberikan contoh
2. Dapat menggunakan secara tepat.

1. Dapat menguraikan
2. Dapatmengklasifikasikan
1. Dapat menghubungkan
2. Dapat memyimpulkan
3. Dapat menggeneralisasikan

1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3.Observasi
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3. Obsrvasi
1. Tes lisan
2. Tes tertulis

1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas
3. Observasi
1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas

1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas                                      
B. Ranah Rasa (Afektif)
1. Penerimaan


2. Sambutan


3. Apresiasi



4. Internalisasi


5. Karakterisasi

1. Menunjukkan sikap menerima
2. menunjukan sikap menolak
1. Kesediaan berpartisipasi
2. Kesediaan memanfaatkan

1.Menganggap penting dan manfaat
2. Menganggap indah
3. Mengagumi
1. Mengakui dan mengadakan
2. Mengingkari

1. Melembagakan dan mengadakan
2. Mengaplikasikan dalam perilaku.

1. Tes tertulis
2. Tes skala sikap
3. Observasi
1. Tes sikap
2.Pemberian tugas
3.Observasi
1. Tes sikap
2.Pemberian tugas
3.Observasi

1. Tes sikap
2.Pemberian tugas
3.Observasi
1.Pemberian tugas
2.Observasi

C. Ranah Psikomotor
1. Keterampilan bergerak dan bertindak

2. Kecakapan berekspresi verbal dan non verbal

1. Mengkoordinasikan gerak, mata, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya.
1. Mengucapkan
2. Membuat mimik dan gerakan jasmani.

1.Observasi
2. Tes tindakan

1. Tes lisan
2. Observasi
3. Tes tindakan

C.     Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq.
1.      Pengertian, fungsi dan tujuan Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq
Secara  etimologi (lughat) aqidah barakar dari kata ‘aqaaidu, ya’qidu, ‘aqdan,‘aqiidatan. Aqiidatan artinya sampul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah tebentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.[53]
Beberapa istilah lain tentang aqidah yaitu :
a.      Iman sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan.
b.      Tauhid, mengesakan Allah SWT.
c.       Ushuluddin, pokok-pokok agama.
d.     Ilmu kalam, kalam artinya berbicara atau pembicaraan.
e.      Fiqih akbar, artinya fiqih besar.[54]
Menurut Drs. H.M. Rifa’i bahwa aqidah ialah suatu perkara yang harus dibenarkan oleh hati yang dengannya menjadi tenang. Sehingga jiwa itu menjadi yakin dan mantap tidak dipengaruhi oleh keraguan ( syak ).[55] Dari batasan-batasan diatas, kiranya dapat ditarik pengertian dengan jelas bahwa aqidah adalah keimanan atau keyakinan seseorang yang mendarah daging terhadap keesaan Allah SWT dengan seluruh konsekuensinya. Dalam keimanan yang terpenting adalah mengesakan Allah SWT dan percaya bahwa tuhan itu satu ( monoteisme ). Sehingga ilmu aqidah bisa disebut ilmu tauhid, ilmu aqoid, ilmu kalam atau ilmu ushuluddin.[56]
Sedangkan secara definisi ahklak adalah daya ketaatan yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir atau direnungkan lagi.[57]
Aqidah akhlaq merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama islam yang bersumber dari al-qur’an dan hadis. Untuk kepentingan pendidikan, dikembangkan materi aqidah akhlaq pada tingkat yang lebih rinci sesuai jenjang pendidikan.[58]
Mata pelajaran Aqidah Akhlaq merupakan salah satu rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah yang secara integrative menjadi sumber nilai dan landasan moral spiritual yang kokoh dalam pengembangan keilmuan dan kajian keislaman, termasuk kajia yang terkait dengan ilmu dan teknologi.[59]
Adapun fungsi pengajaran mata pelajaran Aqidah Akhlaq adalah :
a.      Penanaman nilai ajran islam sebagai pedomanmencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di khirat.
b.      Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlaq mulia pesrta didik seoptimal mungkin, yang sebelumnya sudah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
c.       Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial.
d.     Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengalaman dalam ajaran Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e.      Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya asing yang dihadapinya sehari-hari.
f.        Pengajaran tentang informasi dan pengetahuan keimanan dan akhlaq, serta sistem dan fungsionalnya.
g.      Pembekalan bagi peserta didik unutk mendalami Aqidah Akhlaq pada jenjang yang lebih tinggi.[60]
Untuk tercapainya pengajaran aqidah akhlaq itu diperlukan suatu tujuan, sebab tujuan itu mempunyai arti penting. Tanpa tujuan, kegiatan yang telah dilakukan akan kurang bermakna bahkan akan membueng waktu dan tenaga dengan sia-sia. Adapun tujuan mata pelajaran aqidah akhlaq adalah sebagai berikut :
a.      Agar siswa dapat memahami dan mengamalkan ajaran islam dengan menggunakannya sebagai pedoman hidup.
b.      Membentuk manusia berakhlaq mulia sesuai dengan ajaran agama Islam
c.       Membentuk siswa sebagai individu yang memiliki keyakinan dan kepribadian yang teguh.[61]
2.      Ruang Lingkup Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq
Pelajaran Aqidah Akhlaq di Madrasah Aliyah berisi bahan pelajaran yang dapat mengarahkan pada pencapaian kemampuan dasar peserta didik untuk dapat memahami rukun iman secara ilmiah serta pengalaman dan pembiasaan berakhlak Islami, untuk dapat dijadikan perilaku sehari-hari. Ruang lingkup mata pelajaran aqidah akhlaq adalah sebagai berikut :
a.      Hubungan manusia dengan Allah SWT.
Hubungan manusia dengan Allah SWT dapat dikatakan hubungan vertikal mencakup dari segi aqidah meliputi keimanan kepada Allah SWT, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada utusan-utusan-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Hari akhir dan iman kepada qadla dan qadar.[62]
Dalam hubungan ini manusia menempati kedudukan sebagai mahluk  (ciptaan)sedangkan Allah SWT swebagai khaliknya( pencipta ). Kedudukan ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT :
و ما خلقت الجن والإ نس إلآّ ليعبدون ( الذ اريا ت : ٥٦)
Artinya :
”Dan tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzaariyaat:56)[63]
b.      Hubungan manusia dengan manusia.
Dalam hubungan manusia dengan manusia siswa diajarkan tentang akhlak dalam pergaulan sehari-hari atau hhidup dengan sesama. Kewajiban untuk membiasakan diri untuk berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain serta menjauhi perbuatan atau akhlak yang buruk. [64] Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Allah SWT telah memerintahkan kepada  manusia agar saling bersaudra. Dengan prinsip tersebut maka kehidupan antar sesama muslim akan tercipta ukhuwah islamiyah yang dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akan menumbuhkan sikap toleransi terhadap sesama manusia karena persamaan derajat seama hamba Allah SWT. Berdasarkan firman-Nya :
إ نّما المؤ منون اخوة فاصلحوا بين اخويكم ج واتّقواالله لعلّكم ترحمون ( الحجرات : ۱۰)
Artinya :
“ sesungguhnuya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”  ( Al-Hujuraat:10)[65]
c.       Hubungan manusia dengan lingkungan.
Dalam hubungan manusia dengan lingkungan, materi yang dipelajari siswa meliputi akhlak manussia dengan lingkungan, bauk lingkungan dalam arti luas maupun makhluk hidup selain manusia, yaitu hewan dan tumbuh-tumbuhan.[66]
Alam ini diciptakan Allah SWT memang untuk manusia, akan tetapi pemanfaatan alam yang berlebihan akan mengakibatkan rusaknya lingkungan tersebut. Kerusakan alam memang akibat dariperbuatan menusia itu senidri dan akibatnya pun akan menimpa dirinya sendiri. Allah SWT memperingatkan manusia lewat wahyu-Nya dalam Al-qur’an agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi, berdasarkan firman Allah SWT sebagai berikut :
واذا تولّى سعى فىالارض ليفسد فيها ويهلك الحرث والنّسلقلى والله لا يحبّ الفساد
 ( البقره :۲۰٥)
Artinya:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan dibumi untuk mengadakan kerusakan padanya dan termasuk tanaman-tanaman dan binatang-binatang ternak dan Allah tidak menyukai kbinasaan”

 (Al-Baqarah :205)[67]
3.      Evaluasi atau Penilaian dalam pelajaran Aqidah Akhlaq.
Untuk mengetahui kompetensi pesrta didik sebagai hasil pembelajaran Aiqdah Akhlak, perlu dilakukan penilaian dengan rambu-rambu sebagai berikut :
a.      Penilaian yang dilkaukan meliputi penilaian kemajuan belajar peserta didik yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan perilaku.
b.      Penilaian kemajuan belajar merupakan pengumpulan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan dasar yang dicapai peserta didik setelah mengukuti kegiatan pembelajaran dlam kurun waktu, unit satuan atau jenjang tertentu.
c.       Penilaian hasil belajar Aqidah dan Akhlaq addalah upaya pengumpulan informasi untuk menentukan tingkt penguasaan peserta didik terhadap suatu kompetensi meliputi ; pengetahuan, sikap dan nilai. Hasil penilaian dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam memasuki pendidikan jenjang berikutnya.
d.     Tehnik dan instrumen penilaian yang digunakan adalah yang dapat mengukur dengan tepat kemampuan dan usaha belajar peserta didik.
e.      Pengukuran terhadap ranah afektif dapat dilakukan dengan menggunakan cara non tes sepertiskala penilaian, observasi dan wawancara.
f.        Penilaian terhadap ranah psikomotorik dengan tes perbuatan dengan menggunakan lembar pengamatan atau intrumen lain.[68]
Adapun jenis dan bentuk penilaian :
a.      Jenis penilaian disekolah terdiri dari atas penilaian kelas dan ujian.
b.      Penilaian dilakukan melalui tes tertulis, tes lisan tes perbuatan atau praktek, pemberian tugas dan kumpulan hasil kerja siswa.
c.       Penilaian kelas dan ujian meliputi aspek kogitif, afektif dan psikomotor.[69]
D.    Pengaruh Belajar Behavioristik terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Bidang Studi Aqidah Akhlaq.
Belajar behovioristik yang diambil dari teori-teori belajar behovioristik dalam pembelajaran memiliki beberapa implikasi sebagai prosedur pengajaran pendidik terhadap pengembangan kemampuan psikomotor siswa. Adapun implikasinya sebagai berikut :
1.      Prosedur-Prosedur Mengembangkan Tingkah Laku Baru
Untuk memberikan tingkah laku baru dan memperkuatnya dapat menggunakan reinforcement dan untuk mengembangkannya dapat digunakan metode lain seperti shapping.
Shapping atau pembentukan biasanya digunakan dalam belajar behavioristik untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan baru/ perilaku-perilaku baru dengan memberikan reinforcement pada para siswa dalam mendekati perilaku akhir yang diinginkan.
2.      Prosedur-Prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku
Prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan tingkah laku sebagai berikut :

a)      Memperkuat Tingkah Laku
Dalam usaha mengubah tingkah laku yang tak diinginkan, diadakan penguatan tingkah laku yang diinginkan.[70]
b)     Ekstingsi
Ekstingsi dilakukan dengan membuang/ meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama dengan metode lain seperti identifikasi dan reinforcement.
c)      Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyeluruh seseorang perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah/ jera.
d)     Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli yang mempengaruhi tingkah laku.
e)      Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang dapat diinginkan dalam waktu singkat, akan tetapi perlu disertai dengan reinforcement.[71]
3.      Pengajaran Terprogram
 Pengajaran terprogram menerapkan prinsip-prinsip operant conditioning pada pembelajaran di sekolah. Adapun implikasi praktis teori belajar behavioristik dalam pembelajaran sebagai berikut :
a.      Tujuan-tujuan pembelajaran harus dirumuskan dalam bentuk perilaku tertentu yang dapat diukur dan diamati.
b.       Materi pelajaran perlu dipecah menjadi bagian-bagian kecil sehingga mudah dikuasai oleh peserta didik.
c.       Materi pelajaran dengan kegiatan belajar disusun dalam urutan yang logis sehingga memudahkan bagi peserta didik untuk melaluinya.
d.     Proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan belajar.[72]





[1] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, cet XIII, hlm. 10.
[2] Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, Erlangga, Jakarta, cet. II, 1996, hlm. 20.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet. V, hlm. 105.
[4] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, cet IV, hlm. 123.
[5] Sarlito W. Sarwono, Berkenaan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta, 2000, hlm. 12.
[6] Muh. Said dan Junimar Affan, Psikologi dari Zaman ke Zaman, Jenimars, Bandung, hlm. 162.
[7] Singgih D. Guarsa, Konseling dan Psikologi, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hlm. 191.
[8] George Boeree, Sejarah Psikologi Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern, Prismasophic, Jakarta, 2000, hlm. 385.
[9] Ratna Wilis Dahar, Op. Cit., hlm. 22.
[10] Sudjana, Strategi Pembelajaran, Falah Production, Bandung, 2000, cet. III, hlm. 59.
[11] Bimo Walgito, Pengantar Psikologis Umum, Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 54.
[12] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm. 38.
[13] Latipun, Psikologi Konseling, UMM, Malang, 2001, hlm. 107.
[14] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 264.
[15] Sarlito W. Sarwono, Op. Cit., hlm. 106.
[16] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 30.
[17] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 105.
[18] M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan, FIPIKIP, Yogyakarta, 1990, hlm. 123.
[19] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, UMM Press, Malang, 2002, hlm. 105.
[20] M. Dimyati Mahmud, Op. Cit., hlm. 124.
[21] Bimo Walgito, Op. Cit., hlm. 57.
[22] Sarlito W. Sarwono, Op. Cit., hlm. 114.
[23] Ivan Taniputera, Psikologi Kepribadian, Ar-ruzz, Yogyakarta, 2005, hlm. 51.
[24] Made Pidarta, Landasan Kepribadian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 204
[25] St. Patini Sudirman, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta IKIP, 1991, hlm. 76.
[26] Made Pidarta, Op.cit., hlm. 204.
[27] Rita L. Atkinso, Pengantar Psikologi, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 314.
[28] W. A. Gerungan, Psycology Sosial, PT. ERESCO, Jakarta, Bandung, 1983, hlm. 158.
[29] Ibid, hlm. 71.
[30] F. J. Monks et, al., Psikologi Perkembangan (Pengetahuan Dalam Berbagai Bagiannya), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 98, hlm. 196.
[31] Mulyana Sumantri dan Nana Syaodih, Perkembangan Peserta Didik, Universitas Terbuka, 2002, hlm. 124.
[32] W.A. Gerungan, Op. Cit., hlm. 159.
[33] Prasetya irawan dan suciati (ed ), teori belajar, motivasi dan keterampilan mengajar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, hlm.2
[34] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru, Algesindo, Bandung, 2002, hlm.49-50
[35] Prasetya Irawan, op.cit., hlm. 25
[36]  H. Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 86
[37] Al-Qur’an syrat Al-Mujadalah ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur’an, AlQur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 1990, hlm. 911
[38] Muhibbin Syah, profesionalisme Guru Agama dan Prestasi Belajar Agama (laporan hasil penelitian di SLTPN Sumedang Tahun 1997), PUSLIT IAIN Wali Songo, Semarang, 1998, hlm.21
[39] W. J. S. Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1985, hlm. 107
[40] Singgih D. Guarsa, Psikologi untuk Membimbing, Gunung Mulia, 1977, hlm. 21
[41] Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru, Algesindo, Bandung, 2002, hlm.14
[42] Mansur, materi pokok strategi belajar mengajar, derektorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Univaresitas Terbuka, Jakarta, 1998, hlm. 4
[43]    Muhibbin Syah, op.cit., hlm. 22
[44]  M. Dalyono, Op.cit., hlm. 55
[45]  Nana Sujana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru,  Bandung, 1999, hl.m. 9
[46] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali, Jakarta, 1987, hlm. 131-132
[47] Muhibbin Syah, Op.cit., hlm. 134
[48] Sunadi Suryabrata, Op.cit., hlm. 135
[49] Muhibbin Syah, Op.cit., hlm. 135
[50] Nana Sujana, Op.cit., hlm. 12
[51] Muhibbin Syah, Op.cit., hlm. 137
[52] Ibid.
[53]A. Warsara Munawir, Kamus Al-munawir, Pustaka Progresif, Yogyakarta, 1984, hlm. 1023
[54]  Yunahar Ilyas, Aqidah Islam, LPPI, UNY, 1995, hlm. 6
[55] M. Rifa’i, Aqidah Akhlak untuk MA Kelas I Kurikulum 1984, Wicaksana, 1989, hlm. 7
[56] Usman Said, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Proyek Pembinaan PT. Agama, Jakarta, 1981, hlm. 50
[57] Abdul Sonhaji, Aqidah Akhlak I, wicaksana, Semarang, 1990, hlm. 7
[58] Depag RI, Pedoman Khusus Aqidah Akhlak MA, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2004, hlm. 2
[59] Ibid, hlm. 2
[60] Depag RI, Standar Kompetensi, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2004, hlm. 22
[61] Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, Materi Pokok Aqidah Akhlaq MA, Jakarta, 1993, hlm. 2
[62] Depag RI, GBPP Pelajaran Aqidah Akhlak MA, Direktorat Jenderal Lembaga Islam, Jakarta, 1994, hlm. 2
[63] Al-Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat 56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 862
[64] Depag RI, Op.cit., hlm. 2
[65] Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 10, Yayasan Penyelenggara  Penerjemah/Penafsir Al-qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 846
[66] Depag RI, Op.cit., hlm. 2
[67] Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 205, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir A-qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 50
[68] UU. Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, (UURI No. 2 tahun 2003), SInar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 103
[69]  Ibid, hlm. 104
[70] Ratna Wills Dahar, Op. Cit., hlm. 27.
[71] Wasty Soemanto, Op. Cit., hlm. 223.
[72] Sudjana, Strategi Pembelajaran, Falah Production, Bandung, 2000, cet. III, hlm. 59.

0 Response to "BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PRESTASI SISWA"

Post a Comment