BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PRESTASI SISWA
A. Belajar
Behavioristik
1. Pengertian
Belajar Behavioristik
Pendidikan
pada hakekatnya adalah pembentukan kepribadian sehingga didalamnya sangat
terkait dengan psikologi.[1]
Dalam dunia psikologi dan pendidikan suatu teori sangat vital untuk memajukan
atau mengembangkan dan memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap
bidang itu.[2]
Jadi, pendidikan terkait dengan pembelajaran memiliki teori-teori belajar yang
tidak dapat dipungkiri bahwa teori tersebut berasal dari aliran psikologi.
Teori-teori
yang dipelopori oleh para tokoh psikologi yang berhubungan dengan belajar
menjadi teori-teori pembelajaran. Teori belajar merupakan suatu prinsip umum
atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas
sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.[3]
Salah
satu teori-teori belajar dari psikologi adalah teori belajar behavioristik atau
teori belajar perilaku. Para tokoh psikologi
behavioristik diantaranya ialah Pavlov, Thorndike, Skinner Watson dan Ghuthrie.
Mereka sering disebut dengan “Comtemporary Behaviorist” atau “S-R Psicologis”.[4]
Teori
belajar behavioristik yang berasal dari aliran behaviorisme ini semula
berkembang di Rusia tetapi kemudian berkembang pula di Amerika dan merupakan
aliran yang mempunyai pengaruh cukup lama.
Pada
awal-awal sebelumnya psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat dan ilmu
faal, karena psikologi masih dibicarakan dalam suatu kesatuan dalam bahasan
materi gejala kejiwaan dan belum dipisah sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Setelah berdirinya laboratorium psikologi di Leipzig oleh Welhem Wundt pada tahun 1879,
para sarjana mulai melakukan penyelidikan gejala-gejala kejiwaan secara
sistematis dan obyektif. Metode-metode baru ditemukan, tidak lain hanya untuk
pembuktian-pembuktian nyata dalam psikologi. Oleh karenanya lambat laun dapat
tersusun teori-teori psikologi oleh beberapa ahli dan terlepas dari induknya.[5]
Pertama
kali berdiri, behavioristik lebih banyak mempelajari tingkah laku binatang dan
para ahli banyak yang melaksanakan penelitian. Kemudian karena tidak dapat
membuktikan adanya kesadaran, maka dipelajarinya perilaku manusia.
Perubahan-perubahan perilaku itu dapat dipelajari dari proses rangsang dari
reaksinya (S-R).[6]
Aliran
ini menitikberatkan peranan lingkungan atau peranan dunia luar sebagai faktor
penting, dimana seseorang dipengaruhi seseorang belajar. Aliran ini memandang
perkembangan seseorang sebagai seorang yang tumbuh menjadi seperti apa yang
terbentuk oleh lingkungan.[7]
Sehingga dalam pandangan behavioristik kepribadian manusia itu pada hakekatnya
adalah perilaku. Perilaku yang dibentuk berdasarkan hasil dari segenap
pengalamannya yang berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya.
Tidak ada manusia yang sama, karena pada kenyataannya manusia memiliki
pengalaman yang berbeda dalam kehidupannya. Oleh karena itu apa yang dilakukan
seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi dan stimulus yang
diterimanya dan lingkungan merupakan stimulus bagi terbentuknya perilaku
tertentu.
Adapun
Ilmuwan yang pertama kali merintis aliran ini adalah Ivan M. Sekhenov
(1829-1905). Dia adalah seorang fisiologis yang pernah belajar di University Of Berlin bersama orang-orang terkenal
semacam Miller, Du Bois-Reymond dan Helm Bolts. Dia menghabiskan waktunya untuk
mencampur secara kaku antara asosiasisme dengan materialisme dan dia
menyimpulkan bahwa semua perilaku itu disebabkan oleh stimulasi.[8]
Semua
ahli psikologi yang mendukung teori behavioristik berpendapat bahwa belajar
mendasarkan tentang perilaku eksternal dan terbuka dari organisme. Perilaku
eksternal merupakan perubahan yang dapat diamati sedangkan perilaku terbuka
sebagai suatu tanda untuk menyimpulkan apa yang terjadi dalam perilaku
seseorang.[9]
Oleh sebab itu proses belajar behavioristik mengandung 3 unsur yaitu stimulus,
respon dan penguat (reinforcement)[10]
Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar behavioristik menurut teori
belajar adalah pembentukan kebiasaan yang diakibatkan oleh persyaratan atau
menghubungkan stimulus dan respon dengan dikendalikan penguat dan tingkah laku
yang terbentuk merupakan jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral
dengan stimulasinya terhadap lingkungan.
Teori belajar behavioristik berpandangan bahwa yang berperan aktif adalah
pendidikan. Peserta didik memerlukan motivasi dalam belajar karena hal itu
dapat menjadi penguat ataupun stimulus.
2. Teori-teori
Belajar Dari Psikologi Behaviortistik
Psikologi
behavioristik dikembangkan dengan lahirnya teori tentang belajar dipelajari
oleh Pavlov, Thorndike, Skinner, Watson dan Ghuthie. Mereka masing-masing telah
mengadakan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan berharga mengenai
belajar. Adapun teori-teorinya lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Klassikal
conditioning
Pada
mulanya pemikiran dan eksperimen Pavlov hanya terbatas di Rusia, tetapi
kemudian menyebar ke Amerika Serikat, terutama bagi ahli yang menolak
digunakannya metode introspeksi dalam psikologi. Pavlov eksperimennya pada
observed facts, pada keadaan yang benar-benar dapat diobservasinya.[11]
Sesuai dengan ajaran behavioristik yang mengatakan bahwa belajar ditafsirkan
sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Dimana
hubungan ini akan menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pasa belajar. Jadi
pada dasarnya kelakuan anak adalah terdiri atas respon-respon tertentu terhadap
stimulus tertentu. Dengan latihan-latihan maka hubungan-hubungan itu akan
semakin menjadi kuat.[12]
Oleh karena itu apa yang dilakukan seseorang merupakan cerminan dari
pengalaman, yaitu situasi dan stimulus yang diterimanya dan lingkungannya
biasanya disebut dengan “Classical Conditioning”.[13]
1. Eksperimen
Pavlov
Dalam
eksperimennya Pavlov menggunakan anjing sebagai binatang percobaan. Anjing
dioperasi kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan si peneliti
untuk mengukur dengan teliti air liur yang keluar sebagai respon (reaksi)
apabila ada perangsang makanan ke mulutnya.
Eksperimen
diatas diulang-ulang dengan berbagai variasi. Ringkasnya eksperimen tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Anjing
dibiarkan lapar, setelah itu mentronom dibunyikan: anjing mendengarkan
benar-benar terhadap bunyi mencronom itu. Setelah berbunyi selama 30 detik,
makanan diberikan dan terjadilah refleks pengeluaran air liur.
b. Percobaan
tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
c. Setelah diulang
32 kali, ternyata bunyi mentronom saja (± 30 detik) telah dapat menyebabkan
keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau makanan diberikan.
Dalam eksperimen ini
maka:
a. Mentronom
merupakan C5, dan makanan merupakan V5
b. Keluarnya air
liur karena mentronom merupakan C5
c. Makanan atau
perangsang wajar (V5) disebut juga reinforcer (pengukuh)
Karena memperkuat
refleks bersyarat dan menimbulkan respons lebih kuat reflek bersyarat.
Kalau digambarkan secara
bagan, maka eksperimen tersebut adalah sebagai berikut:
C51+U51
→ R1(=UR )
C52+U52
→ R2(=UR )
C5n+U5n
→ Rn(=CR+UR )
C535 → R32(=CR)[14]
Kesimpulan yang didapat
dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada
rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya
proses kondisioning (conditioning Process) dimana refleks-reflek s yang tadinya
dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan
dengan rangsang berkondisi.[15]
2. Stimulus Respon
Teori
ini berkisar pada suatu proses utama yaitu proses pendidikan dan juga disebut
teori (S-R), dimana S adalah perangsang yang dihadapi oleh benda hidup.
Sedangkan R adalah reaksi benda hidup terhadap perangsang yang dihadapi itu.
Kebiasaan merupakan konsep dasar teori tentang tingkah laku, yaitu kepribadian.
Seseorang memperoleh kebiasaan-kebiasaannya adalah karena ia mempelajarinya.
Sedang kepribadian itu adalah srtuktur tertentu yang terdiri dari
kebiasaan-kebiasaan. Teori ini menguatkan pentingnya factor-faktor lingkungan
yang dihadapi seseorang dalam hidupnya.
Oleh
karena itu menurut behavioristik manusia sebagai satu susunan tertentu yang
terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dan dipelajarinya. Sehingga
manusia menjadi susunan yang terdiri dari berbagai unit kecil yang
masing-masing mengandung pertalian antara S dan K. Hukum efek Thorndike
berpendapat bahwa memperkuat/memperlemah hubungan antara stimulus dan respon
tergantung pada bagaimana hasil dari respon yang bersangkutan. Apabila suatu
stimulus itu memberikan hasil yang menyenangkan, maka hubungan stimulus dan
respon menjadi kuat dan jika hasilnya tidak menyenangkan, maka hubungan
stimulus respon akan melemah. Jadi jika suatu stimulus menimbulkan respon yang
membawa reward maka stimulus respon menjadi kuat.[16]
Teori belajar ini kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar ygdisebut law
os effect.[17]
Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan maka hubungan
antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya jika sebuah respon
menghasilkan efek yang tidak memuaskan maka hubungan stimulus-respon akan
melemah.
b. Operant Conditioning
Belajar
perilaku operan ini dikemukakan oleh B.F.Skinnner, menurut Skinner tingkah laku
bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi sutu tindakan yang disengaja.
Operan ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi, operan
conditioning ini melibatkan pengendalian konsekuensi.[18]
Menurut Skinner, perilaku individu terbentuk/dipertahankan sangat ditentukan
oleh kosekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan sebagai
ganjaran maka perilakunya cenderung diulang-ulang/dipertahankan. Sebaliknya
jika konsekuensinya tidak menyenangkan sebagai hukuman maka perilakunya akan
dikurangi.[19]
Perilaku belajar merupakan perilaku yang non reflektif yang memiliki
prinsip-prinsip yang lebih aktif dibandingkan dengan perilaku klasik.[20]
Sedangkan tingkah laku adalah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi
tertentu. Tingkah laku ini terletak diantara dua pengaruh, yaitu pengaruh yang
mendahuluinya (stimulus) dan pengaruh yang mengikutinya.
Dengan
demikan tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah stimulus, respon atau
keduanya. Menurut skinner menjelaskan tingkah laku sebagai hubung antara
perangsang dan respon. Dari itulah skinner membedakan dua macam respon, yaitu:
-
Perilaku
yang dialami kemudian disebut responden behavior yaitu perilaku yang
ditimbulkan oleh stimulus yang jelas, perilaku yang bersifat reflektif.
-
Perilaku
operan, yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang tidak diketahui,
tetapi semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Perilaku operan
belum tentu diketahui oleh stimulus dari luar.[21]
1. Eksperimen
Skinner
Teori
stimulus dari skinner menjelaskan bahwa suatu tingkah laku atau respon tertentu
akan timbul sebagai reaksi terhadap suatu stimulus tertentu. Untuk menjelaskan
teori S-R itu skinner mengadakan sebuah percobaan yang disebut proses
kondisioning operant. Proses ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari proses
kondisioning klasik dari Paulov. Akan tetapi dalam percobaan Paulov binatang
percobaan bertingkah secara pasif dan dalam proses kondisioningnya skinner
binatang percobaan bersifat aktif. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut
:
Skinner
memasukkan seekor tikus kedalam sebuah kotak yang dibuat khusus untuk
percobaan. Tikus dibiarkan bergerak kesana kemari dan sesekali secara kebetulan
ia akan menginjak sebuah alat penekan yang terdapat dalam kotak itu. Kemudian
makanan dimasukkan (stimulus tak berkondisi). Setiap kali tikus menginjak alat
penekan, tikus akan melihat makanan dan memakannya (respon tak berkondisi). Setelah
beberapa kali percobaan dialang. Tikus
akan tahu bahwa dengan menekan alat setcap kali ia membutuhkan makanan.
Perbuatan menekan alat tersebut tingkah laku operant. Karena tikus itu sengaja
melakukannya utnuk mengubah situasi (dari tidak ada makanan menjadi ada
makanan). Adapun makanan merupakan imbalan (reward) dari perbuatan menekan alat
itu. Pada tingkat selanjutnya, skinner hanya memberikan makanan kalau tikus
menekan alat pada saat lampu menyala. Kalau lampu tidak menyala, walaupun alat
ditekan, makanan tidak akan keluar. Maka tikus hanya akan menekan alat kalau
lampu menyala. Sekarang tikus dapat membedakan kapan ia boleh menekan alat dan
kapan ia tidak perlu menekan alat. Lampu sekarang menjadi stimulus
deskriminasi.[22]
Dari
eksperimennya skinner diatas dapat diketahui bahwa seseorang belajar itu
menurut kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh lingkungan yang dapat
membentuk seseorang menjadi lebih aktif dan mengarah pada sesuatu yang
diharapkan. Hal ini sesuai dengan pendapatnya bahwa kebiasaan individu sebagai
hasil dari paksaan dunia luar yang menghendaki seseorang untuk melakukan
sesuatu.[23]
2. Penguatan yang
dikondisikan
Teori belajar penguatan/reinforcement lahir dari
psikologi reinforcement yang dipimpin oleh Null. Pada prinsipnya teori ini
tidak berbeda dengan teori belajar pengkondisian operan. Teori ini memberi
penguatan pada respon-respon yang benar / yang sesuai dengan harapan. Bila
siswa mendapat skor tinggi, ia diberi pujian. Bila siswa berprestasi maka ia
diberi hadiah dan penghargaan. Pujian, hadiah dan penghargaan tersebut
merupakan penguatan-penguatan agar individu tetap konsisten dengan tindakannya
yang sudah baik atau bila perlu ditingkatkan lagi.[24]
Skinner memakai istilah reinforcement untuk difungsikan
sebagai penguatan perilaku, agar kelak perilaku tersebut dapat berulang lagi
atau dengan kata lain perilaku yang baik, yang diinginkan lagi dapat terjadi
secara berulang-ulang. Adanya respon menyebabkan seseorang memperoleh penguatan
dan hal ini menyebabkan seseorang memperolah penguatan dan hal ini menyebabkan
respon tersebut condong untuk diulang-ulang. Jadi penguatan merupakan stimulus
yang perlu diberikan/ dihilangkan untuk memungkinkan terjadinya respon. Berdasarkan ketentuan itu maka
dikenal :
1. Penguatan
Positif, yaitu suatu penguatan terhadap tingkah laku yang baik yang diberikan
berupa pujian, hadiah dan tanda penghargaan.[25]
Misalnya bila siswa mendapat skor yang tinggi ia berhak menerima pujian, hadiah
dan tanda penghargaan.
2. Penguatan
Negatif, yaitu setiap stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan respon
yang terjadi.[26]
Misalnya tugas yang terlalu berat perlu dihilangkan agar siswa tetap rajin
belajar dan pengertian ini dapat diartikan bahwa seorang pendidik sebaiknya
menghindari tindakan yang membebani/ memberatkan siswa, karena tindakan ini
akan menyebabkan anak didik guru sehingga siswa tidak mempunyai motivasi untuk
belajar pelajaran yang diajarkan guru.
3. Pembentukan Perilaku
Kalau
dalam pengkondisian klasik, stimulus yang dikondisikan (pada lampu percobaan)
menjadi stimulus yang tidak dikondisikan (makanan). Namun proses ini tidak
menunjukkan terjadinya sesuatu yang baru. Sebaliknya pengkondisian operan
memakai peranan penting dalam perkembangan perilaku yang baru. Karena binatang
percobaan skinner aktif untuk mendapatkan makanan melalui kebiasaan-kebiasaan.
Eksperimen
yang dilakukan oleh para ahli jiwa adalah kebiasaan perilaku individu dengan
cara pembentukan. Misalnya pada percobaan burung dara yang dilatih dengan
membentuk respon operan untuk menemukan lokasi orang yang hilang dilaut.
Kecerdikan itu bukan terletak pada binatang percobaannya tetapi pelatihnya yang
menggunakan pengkondisian operan dan membentuk perilaku untuk membuahkan hasil
seperti yang diinginkan.[27]
Begitu juga dengan pembentukan perilaku pada manusia, yang tidak terjadi dengan
sendirinya. Pembentukan senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan
berkenaan dengan obyek tertentu. Dalam pembentukan dan perubahan perilaku
terdapat berbagai faktor, diantaranya :
1. Faktor Intern
Pengamatan
dan penangkapan manusia senantiasa melibatkan suatu proses pilihan antara
keseluruhan daripada perangsang-perangsang yang obyektif ada diluar diri kita.
Dan pilihan tersebut berhubungan erat dengan motif-motif perilaku yang bekerja
didalam diri kita dan mengarahkan minat diantara obyek tertentu yang kita
perhatikan. Karena manusia tidak memperhatikan semua perangsang-perangsang yang
datang dari lingkungannya dengan taraf perhatian yang sama. Misalnya apabila
seseorang sedang lapar, maka ia akan lebih memperhatikan perangsang-perangsang
dari lingkungannya yang dapat memberikan kepuasan dari kelaparan.
2. Faktor Ekstern
Mengenai
faktor ekstern diuraikan oleh M. Sherif yaitu melihat faktor-faktor ekstern,
maka perilaku dapat dibentuk dan diubah karena :
-
Dalam
interaksi kelompok, dimana terdapat (hubungan) timbal balik yang langsung
antara manusia.
-
Karena
komunikasi, dimana terdapat pengaruh-pengaruh (hubungan) langsung dari satu
pihak saja.[28]
c. Identifikasi
Identifikasi
dalam psychology berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang
lain.[29]
anak secara tidak sadar mengambil oper sikap-sikap orang tua tempat
identifikasi untuk dijadikan pedoman tingkah lakunya. Sejalan dengan
perkembangannya, anak mendapatkan banyak sikap dan pola perilaku ortu mereka.
Menurut Bandura, kebanyakan tingkah laku seseorang itu karena pengamatan/
belajar model/ biasa disebut dengan identifikasi.[30]
Dalam teori
Freud, konsep identifikasi memegang peranan penting, sedangkan dalam teori
psikoanalistik, identifikasi dihubungkan dengan proses tidak disadari yang
dilalui seseorang dalam meniru karakteristik (sikap, pola, perilaku) orang
lain.[31]
Sedangkan
para ahli psikologi memandang identifikasi sebagai suatu bentuk kegiatan
belajar, anak-anak menirukan perilaku tertentu dari orang tua karena diberi
ganjaran untuk melaksanakan itu. Saudara kandung, teman sebaya, guru merupakan
model lain yang terperan sebagai sumber identifikasi. Sehingga mereka memandang
merupakan proses yang berkesinambungan pada saat respon baru diperoleh sebagai
hasil pengalaman langsung dan tidak langsung bersama orang tua dan model lain.
Proses
pengidentifikasian dimulai dari orang tua, tapi lambat laun setelah ia
berkembang disekolah tempat identifikasi dapat beralih pada orang-orang yang
dianggap hormat. Seperti guru atau pemimpin. Identifikasi yang dilakukan
orang kepada orang lain yang dianggap ideal dalam suatu segi, untuk memperolah
sistem norma, sikap-sikap dan nilai-nilainya yang dianggapnya ideal dan uang
masih kurang dalam dirinya. Sehingga dalam identifikasi terdapat suatu hubungan
yang saling menghormati dan menjunjung tinggi yang lain dan ingin belajar.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi identifikasi
adalah :
1)
Ingin mengikuti
jejak
2)
Ingin mencontoh
3.
Inti teori belajar
behavioristik
Deskripsi singkat dari teori belajar behavioristik sesuai
yang terdapat dalam buku “toeri belajar, motivasi dan keterampilan mengajar “
yang diterbitkan oleh Depdikbud : 1996, yaitu :
a.
Menurut tori
belajar behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang telah
dianggap sudah belajar sesuatu bila ia telah mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku.
“ Misalnya seorang siswa belum bisa membaca. Maka
meskipun ia telah belajar keras atau bahkan sudah hafal huruf abjad (A-Z), namun
bila siswa tersebut gagal mendemonstrasikan kemampuannya dalam membaca, maka ia
bellum bisa dianggap telah belajar. Kemudian ia telah dianggap telah belajar
apabila ia mampu menunjukkan suatu perubahan dalam perilaku (dari belum bisa
menjadi bisa).
b.
Yang terpenting
dalam teori belajar behavioristik ialah (input) yang berupa stimulus dan
keluaran (output) yang berupa respon itu dianggap penting dan bisa diamati
adalah stimulus – respon.
“Misalnya, apa saja yang diberikan oleh guru kepada siswa
dalam rangka membantu belajarnya dalam hal tertentu. Stimulus mungkin berupa
rangkaian alfabet, beberapa kalimat atau sebuah bacaan. Sedangkan respon ialah
reaksi siswa terhadap stimulus yang diberikan gurunya. Menurut teori belajar
behavioristik , apa saja yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa saja yang
dihasilkan oleh siswa (respon) semuanya harus bisa diamati, diukur dan tidak
boleh hanya implisit (tersirat).
c.
Faktor lain
yang tidak kalah pentingnya adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila ditambahkan
positif reinforcement maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila penguat
dikurangi negatif reinforcement responpun akan tetap dikuatkan.
“Misalnya seorang siswa bertambah giat belajar karena ketika
ia berprestasi ia diberi sebuah penghargaan. Maka penghargaan ini disebut
sebagai “ positif reinforcement ”. Sebaliknya, bila penghargaan tersebut
dikurangi dan pengurangan penghargaan ini tetap membuat siwa berprestasi, maka
penguraangan penghargaan ini disebut “negatif reinforcement”.
d.
Pelopor yang
terpenting yang sekaligus para tokoh terpenting dalam teori belajar
behavioristik antara lain : Ivan Pavlov, Thorndike, Skinner, J.B. Watson, Hull
dan Guthri.[33]
Sedangkan menurut Oemar Hamalik dalam bukunya Psikologi
Belajar Mengajar, secara teoritis inti dari belajar behavioristik adalah :
a.
Conditioning
Theory
Simple
cand atau teori continguity menekankan bahwa belajar behavioristik terdiri atas
pembangkitan respon dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral. Melalui
persinggungan (Continguity) stimulus dengan respon, stimulus yang tadinya
netral akhirnya mampu menimbulkan respon.
b.
Connectionisme
Theory
Conectionisme
stimulus – respon atau teori reinforcement menenkankan bahwa belajar terdiri
atas pembentukan ikatan atau hubungan – hubungan antara stimulus – respon yang
terbentuk melalui pengulangan.
c.
Field Theory
Field
Theory yang dirumuskan adalah sebagai reaksi terhadap teori Conditioning dan
reinforcement dipandang bersifat otomatis. Teori ini menekankan keseluruhan
dari baian – bagian, bahwa bagian – bagian itu erat sekali hubungannya dan
saling bergantung satu sama lain.[34]
4.
Implementasi belajar behavioristik dalam
kegiatan belajar mengajar.
Teori belajar behavioristik mengaplikasikannya, pada dasrnya
tergantung pada beberapa hal seperti materi pelajaran karakteristik siswa,
media belajar dan fasilitas belajar yang tersedia. Adapun langkah – langkah
yang bisa digunakan sebagai berikut :
a.
Merumuskan
tujuan instruksional.
b.
Menganalisa
lingkungan kelas yang ada termasuk melakukan identifikasi pengetahuan awal
siswa “ entry behavior ”.
c.
Pemantauan
materi pelajaran atau pokok bahasan.
d.
Memecah materi
bahasan menjadi bagian kecil (subpokok bahasan) sampai ke judul.
e.
Menyajikan
materi pelajaran.
f.
Memberikan stimulus
yang bisa berupa tes pertanyaan artian dan tugas-tugas.
g.
Mengkaji dan
mengamati respon yang telah diberikan.
h.
Memberikan
penguatan (reinforcement).
i.
Memberikan
stimulus baru.
j.
Mengamati
respon dan yang diberikan (evaluasi hasil belajar).[35]
Sedangkan menurut skinner merancang sistem pengajaran
yang kemudian disebut instrumental conditioning. Adapun ciri-ciri pengajarannya
adalah :
a.
Bahan-bahan
pengajaran dibagi menjadi unit-unit kecil dan disajikan secara berturut-turut.
b.
Diharapkan
siswa mampu memberikan jawaban mendekati 100% benar.
c.
Siswa harus
memusatkan perhatian sebab program berjalan continue dan siswa harus menjawab.
d.
Setiap siswa
akan melangkah maju sesuai dengan masing-masing.
e.
Jawaban-jawaban
siswa segera diikuti (reinforcement positif).
f.
Hukuman yang
negatif tidak digunakan (reinforcement negatif).[36]
B.
Prestasi Belajar
1.
Pengertian Prestasi Belajar
Dalam dunia pendidikan, belajar
merupakan kegitan pokok yang harus dilalui oleh setiap siswa. Karena belajar
dapat mempengaruhi pertumbuhan jasmani dan rohani yang dimanifestasikan dalam
perubahan tingkah laku dan kepribadian siswa. Disamping itu Allah SWT juga
memandang bahwa belajar merupakan suatu kebajikan, karena dengan belajar
manusia akan mendapatkan ilmu pengetahuan guna menjaga eksistensinya sebagai kholifah
di muka bumi ini.
Islam memerintahkan umat-Nya untuk
selalu belajar, karena dengan belajar seseorang memperoleh ilmu pengetahuan
yang menjadi sarana untuk membangun dunia ini. Belajar merupakan jalan yang
wajib, sehingga Allah SWT berjanji kepada orang-orang yang berilmu akan
diangkat derajatnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Mujaadalah
ayat :11 yaitu sebagai berikut :
يرفع الله الذين امنوامنكم والذين اوتوالعلم درجا ت( المجا
دله :۱۱ )
Artinya :
“Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat”
(Al-Mujaadalah : 11)[37]
Kata prestasi menurut Muhibbin
Syah yang mengutip pendapat Arifin berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatieyang
mengutip pendapat arifin berasal dari bahasa Belanda yaitu prestati yang
berarti usaha.[38]
Pengertian ini senada dengan pengertian yang dilakukan W.J.S. poerwadarminta
dalam kamus bahsa indonesia. Bahwa prestasi belajar dari kata prestatie (bahasa
Belanda) artinya apa yang dihasilkan atau dilakukan.[39]
Selanjutnya menurut D. Guarsa
dalam buku Psikologi untuk Membimbing, prestasi adalah suatu hasil atau
nilai yang ingin di capai anak dari keaktifan selama mengikuti proses belajar
mengajar dalam kurun waktu tertentu setelah diadakan evaluasi.[40]
Sedangkan menurut Muhmmad Ali, secara
umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat
interaksi individu dengan lingkungan.[41]
Sedangkan menurut Dede Rosyada yang mengutip pendapat Mansur, belajar adalah
proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya kegiatan
belajar merupakan perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan,
keterampilan maupun sikap bahkan meliputi segenap aspek atau pribadi.[42]
Dari beberapa pengertian diatas
dapat penulis simpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai
setelah ada usaha. Dalam hal ini yang dimaksud adalah prestasi yang diperoleh
siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga prestasi tersebut
akan menunjukkan baik dan buruknya hasil balajar. Sebagai contoh seorang siswa
belajar dengan usaha yang giat kemudian hasil ulangannya termasuk kategori
baik. Maka hasil yang ditunjukkan itulah yang dinamakan prestasi belajar.[43]
Dengan demikian prestasi belajar
dapat dipahami sebagai hasil belajar yang berupa kemampuan-kemampuan tertentu
setelah menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan ini meliputi tiga hal yaitu
keterampilan dan ketangkasan pengetahuan dan sikap.
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar.
Berhasil tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan
beberapa faktor diantaranya faktor yang datang dari individu itu sendiri dan
ada pula dari luar individu tersebut.[44]
Menurut Nana Sujana, mengatakan bahwa hasil belajar yang dicapai siswa
dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri siswa dan
faktor dari luar diri siswa atau faktor lingkungan.[45]
Dibawah ini dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian hasil belajar.
Secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Faktor internal yaitu faktor yang timbul dari diri anak itu
sendiri :
a.
Faktor psikologi yang meliputi: motivasi, bakat, sikap, perhatian, minat,
tanggapan dan intelegensi.
1.
Adanya sifat ingin tahu menyelidiki dunia yang paling luas.
2.
Adanya sifat manusia yang kreatif dan keinginan untuk selalu maju.
3.
Adanya keinginan untuk mendapatkan
simpatik dari orang tua , guru dan teman.
4.
Adanya keinginan untuk memeraih kegagalan dimasa lalu dengan usaha yang
lebih baik.
5.
Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
6.
Adanya ganjaran dan hukuman dalam belajar.[46]
b.
Faktor Fisiologis.
Yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot)
yakni yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya
dapat mempengaruhi semangat siswa dalam belajarnya, seperti sakit kepala,
demam, kurang gizi dan sebagainya, dapat menyebabkan seorang siswa kurang
bergairah dan tidak konsentrasi terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru.[47]
2. Faktor
eksternal yaitu faktor yang timbul dari luar diri siswa.
a. Faktor sosial
yaitu faktor sesasama manusia, baik berhubungan langsung
maupun tidak langsung. Adapun faktor sosial disini meliputi :
1.
Orang tua.
Sebagai orang tua harus bisa memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi
kepada anak, agar anak bersemangat dalam belajar.
2.
Sekolah.
Sekolah merupakan tempat pendidikan formal dalam terjadinya proses belajar
mengajar, sehingga dapat menghidupkan suasana belajar siswa.
3.
Masyarakat.
Lingkungan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting terhadap
keberhasilan anak, sebab perkembangan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar.[48]
b. Faktor non sosial.
Faktor non sosial melliputi dua faktor, yaitu:
1.
Sarana
Yaitu alat-alat yang dipakai dalam proses belajr mengajar, misalnya:
buku-buku bacaan, alat tulis, papan tulis dan peraga lainnya.
2.
Lingkungan Fisik.
Meliputi gedung dan ruangan sekolah, keadaan udara, cuaca dan waktu.[49]
3.
Indikator Prestasi Belajar
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar idealnya
meliputi segenap ranah psikologi yang berubah sebagai akibat pengalaman dan
proses belajar siswa. Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku
seluruh ranah itu, khususnya ranah rasa murid sangat sulit. Hal ini disebabkan
perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat dapat diraba. Oleh karena itu,
yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan
perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan
perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta
rasa maupun yang berdimensi karsa.[50]
Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil
belajar siswa adalah mengetahui garis-garis besar penunjukan adanya prestasi
tertentu (indikator) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak dingkapkan
atau diukur. Selanjutnya, agar pemahaman lebih mendalam mengenai kunci pokok
tadi dan untuk memudahkan dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang
dipandang tepat dan valid, maka dibawah ini penulis sajikan sebuah tabel
tentang jenis, indikator dancara evaluasi belajar siswa.[51]
Tabel ini berasal dari berbagai sumber rujukan (Surya, 1982; Barlow, 1985)
sebagaimana dikutip kembali oleh Muhibbin Syah dalam buku Psikologi Pendidikan.
TABEL I
JENIS, INDIKATOR DAN CARA EVALUASI
PRESTASI BELAJAR [52]
Indikator
|
Cara Evaluasi
|
|
A. Ranah
Cipta (kognitif)
1. Pengamatan
2.Ingatan
3. Pemahaman
4. Penerapan
5. Analisis
6. Sintesis
|
1. Dapat menujukkan.
2. Dapat membandingkan
3. Dapat menghubungkan
1. dapat menyebutkan
2. dapat menunjukkan kembali
1. Dapat menjelaskan
2. Dapat mendefinisikan dengan
lisan sendiri.
1. Dapat memberikan contoh
2. Dapat menggunakan secara
tepat.
1. Dapat menguraikan
2. Dapatmengklasifikasikan
1. Dapat menghubungkan
2. Dapat memyimpulkan
3. Dapat menggeneralisasikan
|
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3.Observasi
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3. Obsrvasi
1. Tes lisan
2. Tes tertulis
1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas
3. Observasi
1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas
1. Tes tertulis
2. Pemberian tugas
|
B. Ranah Rasa (Afektif)
1. Penerimaan
2. Sambutan
3. Apresiasi
4. Internalisasi
5. Karakterisasi
|
1. Menunjukkan sikap menerima
2. menunjukan sikap menolak
1. Kesediaan berpartisipasi
2. Kesediaan memanfaatkan
1.Menganggap penting dan manfaat
2. Menganggap indah
3. Mengagumi
1. Mengakui dan mengadakan
2. Mengingkari
1. Melembagakan dan mengadakan
2. Mengaplikasikan dalam perilaku.
|
1. Tes tertulis
2. Tes skala sikap
3. Observasi
1. Tes sikap
2.Pemberian tugas
3.Observasi
1. Tes sikap
2.Pemberian tugas
3.Observasi
1. Tes sikap
2.Pemberian tugas
3.Observasi
1.Pemberian tugas
2.Observasi
|
C. Ranah Psikomotor
1. Keterampilan bergerak dan bertindak
2. Kecakapan berekspresi verbal dan non verbal
|
1. Mengkoordinasikan gerak,
mata, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya.
1. Mengucapkan
2. Membuat mimik dan gerakan jasmani.
|
1.Observasi
2. Tes tindakan
1. Tes lisan
2. Observasi
3. Tes tindakan
|
C.
Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq.
1.
Pengertian, fungsi dan tujuan Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq
Secara etimologi (lughat) aqidah barakar dari kata
‘aqaaidu, ya’qidu, ‘aqdan,‘aqiidatan. Aqiidatan artinya sampul, ikatan,
perjanjian dan kokoh. Setelah tebentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.[53]
Beberapa istilah lain tentang
aqidah yaitu :
a. Iman sesuatu yang diyakini dalam
hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan.
b. Tauhid, mengesakan Allah SWT.
c. Ushuluddin, pokok-pokok agama.
d. Ilmu kalam, kalam artinya
berbicara atau pembicaraan.
e. Fiqih akbar, artinya fiqih besar.[54]
Menurut Drs. H.M. Rifa’i bahwa
aqidah ialah suatu perkara yang harus dibenarkan oleh hati yang dengannya
menjadi tenang. Sehingga jiwa itu menjadi yakin dan mantap tidak dipengaruhi
oleh keraguan ( syak ).[55]
Dari batasan-batasan diatas, kiranya dapat ditarik pengertian dengan jelas
bahwa aqidah adalah keimanan atau keyakinan seseorang yang mendarah daging
terhadap keesaan Allah SWT dengan seluruh konsekuensinya. Dalam keimanan yang
terpenting adalah mengesakan Allah SWT dan percaya bahwa tuhan itu satu (
monoteisme ). Sehingga ilmu aqidah bisa disebut ilmu tauhid, ilmu aqoid, ilmu
kalam atau ilmu ushuluddin.[56]
Sedangkan secara definisi ahklak
adalah daya ketaatan yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa
dipikir atau direnungkan lagi.[57]
Aqidah akhlaq merupakan mata
pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama
islam yang bersumber dari al-qur’an dan hadis. Untuk kepentingan pendidikan,
dikembangkan materi aqidah akhlaq pada tingkat yang lebih rinci sesuai jenjang
pendidikan.[58]
Mata pelajaran Aqidah Akhlaq
merupakan salah satu rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah
yang secara integrative menjadi sumber nilai dan landasan moral spiritual yang
kokoh dalam pengembangan keilmuan dan kajian keislaman, termasuk kajia yang
terkait dengan ilmu dan teknologi.[59]
Adapun fungsi pengajaran mata
pelajaran Aqidah Akhlaq adalah :
a. Penanaman nilai ajran islam
sebagai pedomanmencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di khirat.
b. Pengembangan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlaq mulia pesrta didik seoptimal mungkin,
yang sebelumnya sudah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
c. Penyesuaian mental peserta didik
terhadap lingkungan fisik dan sosial.
d. Perbaikan kesalahan-kesalahan,
kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengalaman dalam ajaran
Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan peserta didik dari
hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya asing yang dihadapinya
sehari-hari.
f.
Pengajaran tentang informasi dan pengetahuan keimanan dan akhlaq, serta
sistem dan fungsionalnya.
g. Pembekalan bagi peserta didik
unutk mendalami Aqidah Akhlaq pada jenjang yang lebih tinggi.[60]
Untuk tercapainya pengajaran
aqidah akhlaq itu diperlukan suatu tujuan, sebab tujuan itu mempunyai arti
penting. Tanpa tujuan, kegiatan yang telah dilakukan akan kurang bermakna
bahkan akan membueng waktu dan tenaga dengan sia-sia. Adapun tujuan mata
pelajaran aqidah akhlaq adalah sebagai berikut :
a.
Agar siswa dapat memahami dan mengamalkan ajaran islam dengan
menggunakannya sebagai pedoman hidup.
b.
Membentuk manusia berakhlaq mulia sesuai dengan ajaran agama Islam
c.
Membentuk siswa sebagai individu yang memiliki keyakinan dan kepribadian
yang teguh.[61]
2.
Ruang Lingkup Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq
Pelajaran Aqidah Akhlaq di
Madrasah Aliyah berisi bahan pelajaran yang dapat mengarahkan pada pencapaian
kemampuan dasar peserta didik untuk dapat memahami rukun iman secara ilmiah
serta pengalaman dan pembiasaan berakhlak Islami, untuk dapat dijadikan
perilaku sehari-hari. Ruang lingkup mata pelajaran aqidah akhlaq adalah sebagai
berikut :
a.
Hubungan manusia dengan Allah SWT.
Hubungan manusia dengan Allah SWT
dapat dikatakan hubungan vertikal mencakup dari segi aqidah meliputi keimanan
kepada Allah SWT, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada
utusan-utusan-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Hari akhir dan iman
kepada qadla dan qadar.[62]
Dalam hubungan ini manusia
menempati kedudukan sebagai mahluk
(ciptaan)sedangkan Allah SWT swebagai khaliknya( pencipta ). Kedudukan
ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada
penciptanya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT :
و ما خلقت الجن والإ نس إلآّ
ليعبدون ( الذ اريا ت : ٥٦)
Artinya :
”Dan tidak
menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
(Adz-Dzaariyaat:56)[63]
b.
Hubungan manusia dengan manusia.
Dalam hubungan manusia dengan
manusia siswa diajarkan tentang akhlak dalam pergaulan sehari-hari atau hhidup
dengan sesama. Kewajiban untuk membiasakan diri untuk berakhlak yang baik
terhadap diri sendiri dan orang lain serta menjauhi perbuatan atau akhlak yang
buruk. [64]
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia agar saling bersaudra. Dengan prinsip
tersebut maka kehidupan antar sesama muslim akan tercipta ukhuwah islamiyah
yang dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akan menumbuhkan sikap
toleransi terhadap sesama manusia karena persamaan derajat seama hamba Allah
SWT. Berdasarkan firman-Nya :
إ نّما المؤ منون اخوة فاصلحوا بين
اخويكم ج واتّقواالله لعلّكم ترحمون ( الحجرات : ۱۰)
Artinya :
“ sesungguhnuya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat” ( Al-Hujuraat:10)[65]
c.
Hubungan manusia dengan lingkungan.
Dalam hubungan manusia dengan
lingkungan, materi yang dipelajari siswa meliputi akhlak manussia dengan
lingkungan, bauk lingkungan dalam arti luas maupun makhluk hidup selain
manusia, yaitu hewan dan tumbuh-tumbuhan.[66]
Alam ini diciptakan Allah SWT
memang untuk manusia, akan tetapi pemanfaatan alam yang berlebihan akan
mengakibatkan rusaknya lingkungan tersebut. Kerusakan alam memang akibat
dariperbuatan menusia itu senidri dan akibatnya pun akan menimpa dirinya
sendiri. Allah SWT memperingatkan manusia lewat wahyu-Nya dalam Al-qur’an agar
manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi, berdasarkan firman Allah SWT
sebagai berikut :
واذا تولّى سعى فىالارض ليفسد فيها
ويهلك الحرث والنّسلقلى والله لا يحبّ الفساد
( البقره :۲۰٥)
Artinya:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan dibumi
untuk mengadakan kerusakan padanya dan termasuk tanaman-tanaman dan
binatang-binatang ternak dan Allah tidak menyukai kbinasaan”
(Al-Baqarah :205)[67]
3.
Evaluasi atau Penilaian dalam pelajaran Aqidah Akhlaq.
Untuk mengetahui kompetensi pesrta
didik sebagai hasil pembelajaran Aiqdah Akhlak, perlu dilakukan penilaian
dengan rambu-rambu sebagai berikut :
a.
Penilaian yang dilkaukan meliputi penilaian kemajuan belajar peserta didik
yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan perilaku.
b.
Penilaian kemajuan belajar merupakan pengumpulan informasi tentang kemajuan
belajar peserta didik. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kemampuan dasar yang dicapai peserta didik setelah mengukuti kegiatan
pembelajaran dlam kurun waktu, unit satuan atau jenjang tertentu.
c.
Penilaian hasil belajar Aqidah dan Akhlaq addalah upaya pengumpulan
informasi untuk menentukan tingkt penguasaan peserta didik terhadap suatu
kompetensi meliputi ; pengetahuan, sikap dan nilai. Hasil penilaian dijadikan
sebagai pertimbangan utama dalam memasuki pendidikan jenjang berikutnya.
d.
Tehnik dan instrumen penilaian yang digunakan adalah yang dapat mengukur
dengan tepat kemampuan dan usaha belajar peserta didik.
e.
Pengukuran terhadap ranah afektif dapat dilakukan dengan menggunakan cara
non tes sepertiskala penilaian, observasi dan wawancara.
f.
Penilaian terhadap ranah psikomotorik dengan tes perbuatan dengan
menggunakan lembar pengamatan atau intrumen lain.[68]
Adapun jenis dan bentuk penilaian :
a. Jenis penilaian disekolah terdiri dari atas penilaian
kelas dan ujian.
b. Penilaian dilakukan melalui tes tertulis, tes lisan tes
perbuatan atau praktek, pemberian tugas dan kumpulan hasil kerja siswa.
c.
Penilaian kelas
dan ujian meliputi aspek kogitif, afektif dan psikomotor.[69]
D.
Pengaruh Belajar Behavioristik terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Bidang
Studi Aqidah Akhlaq.
Belajar behovioristik yang diambil dari teori-teori
belajar behovioristik dalam pembelajaran memiliki beberapa implikasi sebagai
prosedur pengajaran pendidik terhadap pengembangan kemampuan psikomotor siswa.
Adapun implikasinya sebagai berikut :
1. Prosedur-Prosedur
Mengembangkan Tingkah Laku Baru
Untuk memberikan
tingkah laku baru dan memperkuatnya dapat menggunakan reinforcement dan untuk
mengembangkannya dapat digunakan metode lain seperti shapping.
Shapping
atau pembentukan biasanya digunakan dalam belajar behavioristik untuk
mengajarkan keterampilan-keterampilan baru/ perilaku-perilaku baru dengan
memberikan reinforcement pada para siswa dalam mendekati perilaku akhir yang
diinginkan.
2. Prosedur-Prosedur
Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku
Prosedur-prosedur
pengendalian atau perbaikan tingkah laku sebagai berikut :
a) Memperkuat
Tingkah Laku
Dalam
usaha mengubah tingkah laku yang tak diinginkan, diadakan penguatan tingkah
laku yang diinginkan.[70]
b) Ekstingsi
Ekstingsi
dilakukan dengan membuang/ meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku.
Ekstingsi dapat dipakai bersama dengan metode lain seperti identifikasi dan
reinforcement.
c) Satiasi
Satiasi
adalah suatu prosedur menyeluruh seseorang perbuatan berulang-ulang sehingga ia
menjadi lelah/ jera.
d) Perubahan
Lingkungan Stimuli
Beberapa
tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli yang
mempengaruhi tingkah laku.
e) Hukuman
Untuk
memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas dengan
bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang dapat diinginkan dalam
waktu singkat, akan tetapi perlu disertai dengan reinforcement.[71]
3. Pengajaran
Terprogram
Pengajaran terprogram menerapkan
prinsip-prinsip operant conditioning pada pembelajaran di sekolah. Adapun
implikasi praktis teori belajar behavioristik dalam pembelajaran sebagai
berikut :
a. Tujuan-tujuan
pembelajaran harus dirumuskan dalam bentuk perilaku tertentu yang dapat diukur
dan diamati.
b. Materi pelajaran perlu dipecah menjadi
bagian-bagian kecil sehingga mudah dikuasai oleh peserta didik.
c. Materi
pelajaran dengan kegiatan belajar disusun dalam urutan yang logis sehingga
memudahkan bagi peserta didik untuk melaluinya.
d. Proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan belajar.[72]
[1] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2000, cet XIII,
hlm. 10.
[2] Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, Erlangga, Jakarta , cet. II, 1996, hlm. 20.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung ,
2001, cet. V, hlm. 105.
[4] Wasty Soemanto, Psikologi
Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta ,
1998, cet IV, hlm. 123.
[5] Sarlito W. Sarwono, Berkenaan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Bulan
Bintang, Jakarta ,
2000, hlm. 12.
[6] Muh. Said dan Junimar Affan, Psikologi dari Zaman ke Zaman, Jenimars, Bandung , hlm. 162.
[7] Singgih D. Guarsa, Konseling dan Psikologi, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta , 1996, hlm. 191.
[8] George Boeree, Sejarah
Psikologi Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern, Prismasophic, Jakarta , 2000, hlm. 385.
[9] Ratna Wilis Dahar, Op. Cit., hlm. 22.
[10] Sudjana, Strategi
Pembelajaran, Falah Production, Bandung ,
2000, cet. III, hlm. 59.
[11] Bimo Walgito, Pengantar
Psikologis Umum, Andi, Yogyakarta , 2001,
hlm. 54.
[12] Oemar Hamalik, Proses
Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta ,
2001, hlm. 38.
[13] Latipun, Psikologi
Konseling, UMM, Malang ,
2001, hlm. 107.
[14] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 1998, hlm. 264.
[15] Sarlito W. Sarwono, Op. Cit., hlm. 106.
[16] M. Dalyono, Psikologi
Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta ,
1997, hlm. 30.
[17] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2000, hlm. 105.
[18] M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan, FIPIKIP, Yogyakarta , 1990, hlm. 123.
[19] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, UMM Press, Malang , 2002, hlm. 105.
[20] M. Dimyati Mahmud, Op. Cit., hlm. 124.
[21] Bimo Walgito, Op.
Cit., hlm. 57.
[22] Sarlito W. Sarwono, Op. Cit., hlm. 114.
[24] Made Pidarta, Landasan
Kepribadian, Rineka Cipta, Jakarta ,
1997, hlm. 204
[25] St. Patini Sudirman, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta IKIP, 1991, hlm. 76.
[27] Rita L. Atkinso, Pengantar
Psikologi, Erlangga, Jakarta ,
1999, hlm. 314.
[28] W. A. Gerungan, Psycology
Sosial, PT. ERESCO, Jakarta , Bandung , 1983, hlm. 158.
[29] Ibid, hlm.
71.
[30] F. J. Monks et, al., Psikologi Perkembangan (Pengetahuan Dalam Berbagai Bagiannya),
Gajah Mada University Press, Yogyakarta , 98,
hlm. 196.
[31] Mulyana Sumantri dan Nana Syaodih, Perkembangan Peserta Didik, Universitas
Terbuka, 2002, hlm. 124.
[32] W.A. Gerungan, Op. Cit., hlm. 159.
[33]
Prasetya irawan dan suciati (ed ), teori belajar, motivasi dan keterampilan
mengajar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, hlm.2
[35] Prasetya Irawan, op.cit.,
hlm. 25
[36]
H. Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001, hlm. 86
[37] Al-Qur’an syrat Al-Mujadalah ayat
11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur’an, AlQur’an dan
Terjemahnya, Jakarta, 1990, hlm. 911
[38] Muhibbin Syah, profesionalisme
Guru Agama dan Prestasi Belajar Agama (laporan hasil penelitian di SLTPN
Sumedang Tahun 1997), PUSLIT IAIN Wali Songo, Semarang, 1998, hlm.21
[39] W. J. S. Poerdaminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1985, hlm. 107
[40] Singgih D. Guarsa, Psikologi
untuk Membimbing, Gunung Mulia, 1977, hlm. 21
[41] Muhammad Ali, Guru dalam Proses
Belajar Mengajar, Sinar Baru, Algesindo, Bandung, 2002, hlm.14
[42] Mansur, materi pokok strategi
belajar mengajar, derektorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Univaresitas Terbuka, Jakarta, 1998, hlm. 4
[43]
Muhibbin Syah, op.cit., hlm. 22
[45]
Nana Sujana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar
Baru, Bandung, 1999, hl.m. 9
[46] Sumadi Suryabrata, Psikologi
Pendidikan, Rajawali, Jakarta, 1987, hlm. 131-132
[47] Muhibbin Syah, Op.cit., hlm.
134
[48] Sunadi Suryabrata, Op.cit., hlm.
135
[49] Muhibbin Syah, Op.cit., hlm. 135
[50] Nana Sujana, Op.cit., hlm. 12
[51] Muhibbin Syah, Op.cit., hlm.
137
[52] Ibid.
[56] Usman Said, Metode Khusus
Pengajaran Agama Islam, Proyek Pembinaan PT. Agama, Jakarta, 1981, hlm. 50
[57] Abdul Sonhaji, Aqidah Akhlak I,
wicaksana, Semarang, 1990, hlm. 7
[58] Depag RI, Pedoman
Khusus Aqidah Akhlak MA, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam,
Jakarta, 2004, hlm. 2
[60] Depag RI, Standar Kompetensi, Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2004, hlm. 22
[61] Direktorat Jenderal Pendidikan Agama
Islam, Materi Pokok Aqidah Akhlaq MA, Jakarta, 1993, hlm. 2
[62] Depag RI, GBPP Pelajaran Aqidah
Akhlak MA, Direktorat Jenderal Lembaga Islam, Jakarta, 1994, hlm. 2
[63] Al-Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat
56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 862
[64] Depag RI, Op.cit., hlm. 2
[65] Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 10,
Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 846
[66] Depag RI, Op.cit., hlm. 2
[67] Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 205,
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir A-qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 50
[68] UU. Sisdiknas (Sistem Pendidikan
Nasional) 2003, (UURI No. 2 tahun 2003), SInar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 103
[69]
Ibid, hlm. 104
[70] Ratna Wills Dahar, Op. Cit., hlm. 27.
[71] Wasty Soemanto, Op. Cit., hlm. 223.
[72] Sudjana, Strategi Pembelajaran, Falah Production, Bandung, 2000, cet. III,
hlm. 59.
0 Response to "BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PRESTASI SISWA"
Post a Comment