KEISTIMEWAAN PUASA RAMADHAN
Oleh KH A Mustofa Bisri
Semestinya, kalau
melihat sambutan dan pernyataan-pernyataan kaum muslimin menjelang Ramadhan,
tentu bulan suci itu adalah bulan yang istimewa. Tapi di manakah letak istimewanya?
Apakah hanya pada perubahan jadwal makan, ramainya tarawih keliling, dan lomba
ceramah agama, termasuk dagelan-dagelan di televisi? Bukankah selain itu
semuanya seperti berjalan sebagaimana biasa?
Simaklah media
massa, media cetak, atau elektronik; bacalah berita-berita. Bukankah isinya
tidak banyak berbeda dengan hari-hari sebelum Ramadhan? Anda masih dapat
menikmati gosip selebritas, sinetron percintaan, dan film kekerasan. Anda masih
bisa membaca berita, mulai copet yang dikeroyok di pasar hingga korupsi dengan
manuver-manuver politikus. Anda masih bisa menyaksikan demo-demo dan
tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Anda masih melihat tokoh-tokoh
memamerkan keahliannya mengulas dan memutarbalikkan fakta.
Apakah hanya
pedagang-pedagang warung yang harus “menghormati” Ramadhan dan mereka yang
merusak tatanan justru bisa terus melenggang “melecehkan” kesucian Ramadhan?
Atau apakah sebenarnya maksud kita dengan penghormatan terhadap Ramadhan itu?
Bukankah lebih mirip
dan cukup jika penghormatan kita terhadap bulan suci itu berupa berpuasa dan
beribadah? Mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci? Konon puasa berasal
dari bahasa Sanskerta: upavasa. “Upa” berarti dekat dan “vasa/wasa” berarti
yang maha agung. Upavasa berarti mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.
Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya adalah
yang paling disukai-Nya. Semua perintah Allah adalah untuk kepentingan
hamba-Nya. Untuk kesempurnaannya sebagai hamba sehingga pantas dekat dengan-Nya.
Para wali, kekasih
Allah, memulai pendekatannya kepada Allah dengan cara itu. Dengan menunjukkan
kehambaan mereka yang tulus dan tuntas kepada Tuan mereka. Allah Yang Maha
Agung. Melaksanakan segala perintah Tuan adalah prioritas utama hamba sejati.
Jadi mereka memulai dari niat dan membersihkan hati.
Puasa adalah salah satu perintah Allah yang istimewa. Kebanyakan perintah-perintah Allah sangat rentan terhadap godaan pamer. Shalat, misalnya, yang seharusnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain dan dilaksanakan semata-mata untuk Allah, sering kali pelaksanaannya tak dapat mengelak dari godaan pamer. Puasa, karena sifatnya, lebih jauh dari godaan itu. Kecuali, mereka yang memang maniak pamer, hampir sulit dibayangkan orang yang berpuasa pamer kepada orang lain: menunjukkan puasanya.
Puasa adalah salah satu perintah Allah yang istimewa. Kebanyakan perintah-perintah Allah sangat rentan terhadap godaan pamer. Shalat, misalnya, yang seharusnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain dan dilaksanakan semata-mata untuk Allah, sering kali pelaksanaannya tak dapat mengelak dari godaan pamer. Puasa, karena sifatnya, lebih jauh dari godaan itu. Kecuali, mereka yang memang maniak pamer, hampir sulit dibayangkan orang yang berpuasa pamer kepada orang lain: menunjukkan puasanya.
Orang yang berpuasa
seharusnya adalah orang yang berkeyakinan kuat bahwa puasanya dapat membuat
Tuhannya ridha, atau minimal yakin ada pahala untuk puasanya.
Kalau tidak, alangkah ruginya berpuasa hanya untuk menahan lapar dan haus.
Semua amal ibadah
diganjar minimal 10 kali lipat dan bisa sampai 700 kali lipat dan seterusnya,
kecuali puasa. Puasa merupakan ibadah yang hanya Allah sendiri yang tahu
seberapa besar Ia akan mengganjarnya. “Kullu ‘amali Ibni Adam lahu illash
shiyaam,” kata Allah dalam hadis Qudsi, “fainnahu lii wa anaa ajzii bihi.” (HR
Bukhari Muslim dari Abu Hurairah r.a). “Semua amal manusia miliknya, kecuali
puasa. Puasa adalah milik-Ku; Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, Edisi 26 Agustus 2011 dan dimuat ulang Tempo.co pada 08 Juni 2016
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, Edisi 26 Agustus 2011 dan dimuat ulang Tempo.co pada 08 Juni 2016
SUMBER NU ONLINE : NU.OR.ID
0 Response to "KEISTIMEWAAN PUASA RAMADHAN"
Post a Comment