PERAN KYAI
DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA
- Pengertian
Kiai
Haedar Ruslan, seorang guru di
Pondok Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika
Kepemimpinan Kyai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti Kyai.
Menurutya, Kyai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya orang
yang dihormati.
Penegertian kiai secara etimologis, menurut
Ahmad Darban, kata “kiai”berasal dari bahasa jawa kuno, kiya-kiya, yang artinya
orang yang dihormati.[1]
sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemek pengertian kiai adalah
pendiri dan pemimpin sebuah pesantern yang sebagai muslim yang terpelajar yang
telah membaktikan hidupnya demi Allah serta menyebarluaskan dan mendalalmi
ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam.[2]
Namun pada umumnya di
masyarakat kiai disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam,
yang disebut pertama lebih populer di kalangan awam al-muslimin, yaitu
orang-orang yang memiliki pengetahuan yang disinyalir oleh Al-qur’an sebagai
hamba-hamba Allah yang paling takut, dan orang-orang yang menjadi pewaris para
Nabi.
Kiai adalah sebutan alim ulama Islam, orang yang di tuakan atau yang di
hormati.[3] Haedar Ruslan, seorang guru di Pondok
Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika
Kepemimpinan Kiai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti
Kyai. Menurutya, Kiai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya
orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk; pertama,
pada benda atau hewan yang dikeramatkan seperti Kyai Plered (tombak), Kiai Rebo
dan Kiai Wage (Gajah di kebun binatang Gembira Loka Yokyakarta). Kedua, pada
orang tua pada umumnya, ketiga, pada orang yang memiliki keahlian dalam Agama
Islam yang mengajar santri di Pesantren.
Manfred Ziemnek, pengertian Kiai secara
terminologi adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren, sebagai
muslim “terpelajar” yang telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta
menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui
kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata “kiai”
disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam.[4]
Abdurrahman Mas’ud, memasukkan Kiai kedalam lima tipologi, yakni :
a)
Kiai
(ulama) encyclopedi dan multidispliner yang mengonsentrasikan diri dalam
dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti
Nawai Al-Bantani.
b)
Kiai yang
ahli dalam salah satu spesialisai bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena
keahlian meraka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan pesantren, mereka
terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mreka, misalnya pesantren
Al-quran.
c)
Kiai
Kharismatik, yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagaamaan,
khususnya sufisme, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
d)
Kiai Dai
Keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam
menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan
misi Sunnisme atau Aswaja dengan bahasa retorika efektif.
e)
Kiai
Pergerakan, yakni karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik
dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, sehingga menjadi pemimpin
yang menonjol. Seperti KH. Hasyiem Asyarie.
Jadi pengertian kiai adalah orang yang terkemuka yang
berpegang teguh pada kepercayaan (agama Islam) yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-Quran wahyu dari Allah SWT.
1)
Peran dan Fungsi Kiai
Dalam sebuah hadits,
kiai dimaktub sebagai pewaris para nabi. Dalam pemaknaan demikian, kiai
dipandang penerus tugas para nabi dan rasul dalam hal menyampaikan ajaran
agama. Maka,
taat dan patuh pada “jalan” kiai disamakan dengan tunduk pada nabi.
Karena itu, secara sosiologis peran dan fungsi kiai
sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh
kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil
lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal
karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi. Kiai, terutama di
Jawa, adalah patron masyarakat Muslim, dan bentuk tingkah lakunya dalam
berhadapan dengan masyarakat ditandai oleh paternalisme. Masyarakat memandang kiai sebagai pembimbing spiritual, moral,
keagamaan, sekaligus melindungi umat dari ancaman-ancaman dunia luar. Realitas
ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan.
Peran kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek
kehidupan sosial yang lebih luas.
Dalam hal ini, beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang menjadi kiai besar adalah pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan
jumlah santrinya. Faktor
tersebut memungkinkan siapa pun menjabat titel kiai dengan segenap otoritas
kepemimpinannya. Yang perlu menjadi catatan dari kepemimpinan kiai adalah
kenyataan bahwa hubungan antara pemimpin dan masyarakat direlasikan oleh
hubungan emosionalitas yang erat. Hubungan ini lahir dari persepsi masyarakat
bahwa kiai adalah orang ahli yang dapat memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran
al-Qur’an. Pengaruh kepimimpinan kiai, khususnya di Jawa, tidak hanya menyebar
di beberapa desa. Posisi seorang kiai di sebuah pesantren dan keterlibatannya
di NU dapat membuatnya menjadi seorang pemimpin nasional umat Islam di
Indonesia. Sebab, pesantren menjadi lembaga penting yang terkait dengan
kekiaian seseorang. Melalui pesantrenlah seorang kiai membangun pola patronase
yang menghubungkannya dengan masyarakat. Patronase
ini dengan mudah dibangun karena kebanyakan pesantren dimiliki secara pribadi
oleh kiai.
Sesuai dengan perkembangan zaman, di masyarakat
terdapat dua tipe kiai di pesantren. Yakni, kiai tradisional dan kiai modern.
Perbedaannya, kalau kiai tradisional mengambil pendidikan Islam di pesantren
tradisional. Sementara kiai modern, pengetahuan Islamnya diperoleh dari
lembaga-lembaga pendidikan Islam modern. Kiai tradisional biasanya mempunyai
pengetahuan Islam lebih banyak daripada kiai modern, tetapi kiai modern
mempunyai keunggulan dari segi metodologi pengajaran Islam yang lebih baik daripada
kiai tradisional. Kiai
lokal semacam ini memegang pengaruh dan peran riil untuk membentengi umat
terhadap ancaman, ambisi, dan kepentingan dari luar. Hemat saya, dua keunggulan
kiai seperti disebut Ali Maschan Moesa, yaitu keunggulan ilmu dan keunggulan
amal, dalam konteks tersebut perlu dimaknai sebagai bentuk moralitas sosial
yang harus ada pada diri kiai. Moralitas tersebut diukur dari sejauh mana sosok kiai
mampu merelasikan keduanya.
Tingkat perkembangan agama dan
kepercayaan di suatu masyarakat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan peradaban
masyarakat tersebut. Agama-agama masyarakat primitif disuatu tempat bersesuaian
dengan tingkat kehidupan dan peradaban bangsa itu. Pada masyarakat yang masih
primitif dan sangat sederhana tingkat
ilmu pengetahuan dan teknologinya, agama atau kepercayaan terhadap tuhan pun
sangat sederhana. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kemajuan yang dialami
oleh agama jauh lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, usaha manusia untuk memperoleh
kebenaran hakikat dari alam ini yang menjadi bidang penghayatan agama jauh
lebih sukar dibanding dengan mencari kebenaran pada bagian-bagian lain dari
alam semesta yang menjadi bidang penelitian ilmu dan teknologi.
Sejarah bangsa telah mengukir
berbagai peran yang dimainkan oleh ulama. Kerukunan beragama pada era
1970-1980-an telah berhasil membina persatuan dan kesatuan bangsa sehingga
menjadi modal pembangunan negara dan bangsa selama ini. Semua itu tidak terlepas
dari peran kiai lewat komunikasi personal yang dilakukan melalui ceramah dan khutbah
jum’at di masjid-masjid.
Secara sosiologis peran dan
fungsi kiai sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak
terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala
kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui
oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan
struktural yang tinggi.[5]
Kondisi demikian menuntut seorang kiai dalam peran dan
fungsinya untuk memiliki kebijaksanaan dan wawasan, terampil dalam ilmu-ilmu
agama, mampu menanamkan sikap dan pandangan serta wajib menjadi top figure
(teladan) sebagai pemimpin yang baik, lebih jauh lagi kiai di pesantren
dikaitkan dengan kekuasaan supranatural yang dianggap figur ulama adalah
pewaris risalah kenabian, sehingga keberadaannya dianggap memiliki kedekatan
hubungan dengan Tuhan.[6]
Menurut Mukti Ali, untuk
menggerakkan pembangunan di negara yang sedang berkembang seperti
indonesia, paling tidak ada tiga kelompok pemimpin yang mengambil peranan.
Pemimpin resmi (pemerintah), pemimpin tidak resmi (tokoh agama), dan pemimpin
adat. Komunkasi interpersonal yang disampaikan tokoh agama secara pribadi
inilah yang harus dilakukan dalam memberi pesan-pesan pembangunan. Kesuksesan
progam keluarga berencara di Indonesia tidak terlepas dari dukungan dan
keterlibatan para ulama sebagai tokoh agama.
Peran kiai sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok
terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat di sekitarnya. Berbagai
lembaga pendidikan keagamaan telah mereka dirikan, baik dalam bentuk sekolah
maupun pondok pesantern. Semua lembaga itu ikut mengantarkan bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang terpelajar. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu
pengetahuan khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau jalur
dakwah yang mereka tempuh dengan gigih. Disamping berbagai fungsi dan peran di
atas, para kiai sebagai tokoh Islam telah mewariskan khazanah keagamaan
menomental, misalnya, berupa kitab-kitab keagamaan yang bernilai tinggi. Karya
tulis tersebut merupakan media penting untuk mengkomunikasikan pemikiran mereka
sekaligus mencerminkan kualitas keilmuan dibidang yang mereka geluti.[7]
Para kiai tersebut juga mengembangkan
organ-organ dakwah berupa berbagai jenis organisasi. Melalui
organisasi-organisasi masyarakat yang bernuansa keagamaan, mereka berusaha
dalam meningkatkan kualitas pemahaman umat Islam Indonesia terhadap pesan-pesan
mendasar agamanya. Di bawah kepemimpinan mereka yang punya perhatian besar
terhadap masalah sosial, organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Al-Washliyah, dan sebagainya,
tercatat oleh sejarah ikut membantu dalam mengangkat tingkat pendidikan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia melalui lembaga-lembaga pendidikan, panti asuhan
dan kegiatan sosial lainnya.[8]
Dinamika,
pergumulan dan panggung politik di Indonesia (mayoritas penduduknya beragama Islam), tidak lepas dari
peran keterlibatan organisasi-organisasi Islam yang tumbuh di dalamnya. Bila
dilihat dari gerakan orientasi garis besarnya, organisasi Islam terbesar di
nusantara dipegang oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Kedua organisasi
yang berdiri sebelum Indonesia meneguk segarnya kemerdekaan ini telah banyak
memberikan kontribusi bagi reformasi sistemik dalam negeri yang terjadi dalam
beberapa fase semenjak masih berkuasanya negara-negara kolonial, yaitu : pertama, fase sejarah
gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam pada awal abad ke-20, kedua, fase sejarah
gerakan pembaharuan dalam Islam pada pertengahan abad ke-20, dan ketiga, fase sejarah
gerakan pembaharuan dalam Islam menjelang berakhirnya abad ke-20.
Gerakan pembaharuan ini terjadi terutama
didasarkan pada satu asumsi bahwa Islam merupakan agama yang memiliki landasan
yang tegas dan bersumber dari beberapa isyarat naqliyyah, yang tersurat maupun tersirat
terangkum baik dalam firman-firman-Nya maupun yang tertuang dalam sabda-sabda
utusan-Nya. Sebab al-Quran dengan sendirinya telah membentuk sebuah konstitusi
bangunan yang aktual.
Bukan hanya
sekedar itu saja, keberhasilan
peradaban modern yang telah kita rasakan sekarang ini -terlepas dari terjadinya
pembelokan etos yang dialami ummat Islam- tidak lepas dari peran
kharismatik para pemuka-pemuka Islam atau lebih akrab dipanggil kyai. Mereka
memiliki komitmen memperjuangkan kemaslahatan ummat yang disertai dengan sifat
tawakal, wara’, tawadla dan tanpa pamrih. Sepak terjang mereka seolah
menebarkan suasana damai dan memberikan pencerahan bagi setiap kendala yang
dihadapi negara baik yang menyangkut masalah internal maupun eksternal dengan
bertitik tolak pada usaha menjalankan proses mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peran seorang
kiai
cenderung efektif, paling tidak bagi kalangan komunitasnya. Hal ini disebabkan
karena, mereka merupakan sosok komunikator dengan tingkat kredibilitas
kharismatik yang melekat pada eksistensi kehidupannya. Di kalangan ummat
wejangannya, seorang kiyai menjadi pusat kepentingan (center of interest),
mereka menjadi rujukan pengambil keputusan bukan hanya dalam masalah religius
saja tetapi juga sosial, politik, kesehatan, ekonomi dan kebudayaan baik yang
mengikat kepentingan individual maupun kolektif.
Menurt Geertz
jika dilihat dari fungsi sosiologisnya, yang dikutip dan diterjemahkan oleh Asep. S
Muhtadi, kiai dapat dilihat sebagai “makelar budaya” (cultural broker). Mereka
menyaring setiap informasi dan budaya yang masuk ke dalam lingkungan kaum
santri, menularkan apa yang dianggapnya berguna dan membuang apa yang
dianggapnya merusak bagi mereka. Menurut pemimpin pesantren al-Falaahiyyah,
Sumedang, KH. Ado Murtado peran kyai sangat kuat dalam melakukan regulasi,
seleksi dan filterisasi atas informasi, nilai-nilai dan sikap-sikap positif
yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat. Dengan demikian, mereka ikut
berperan dalam merumuskan skala prioritas sendiri atas perubahan yang mungkin
terjadi dalam masyarakat. Keengganannya terhadap urusan formal kenegaraan,
pengaruh mereka juga memberikan kekuasaan moral yang luar biasa, sekaligus
mempersembahkan kedudukan kepada mereka sebagai suatu kelompok intelektual yang
bermoral. Mereka mempunyai perasaan kemasyarakatan tingkat tinggi dan selalu
melandaskan sesuatu melalui kesepakatan.
Akan
tetapi sering sekali
mereka yang tidak mempunyai pemahaman baik, mengkultuskan
kyai sebagai biang feodalisme (sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan)
dalam beragama (religio
feodalism). Padahal jika ditelusuri, sejatinya bukan praktik
feodalisme yang diterapkan melainkan pendidikan yang tegak lurus dengan
pemahaman-pemahaman hukum Islam. Sebagai contoh ketika seorang santri hendak
bersalaman dengan gurunya yang juga seorang kyai, mereka senantiasa mencium
tangan gurunya. Pada saat yang bersamaan, kyai itu pun tidak boleh membiarkan
orang lain mencium tangannya jika sifat takabur akan tumbuh di dalam hatinya.
Salah
satu bukti konkrit mengenai kesuksesan keikutsertaan kyai dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah ketika KH. Abdurrahman Wahid (alm) terpilih sebagai presiden RI. Bahkan
proses terpilihnya beliau sebagai presiden adalah proses Pemilu yang paling
dermokratis sepanjang sejarah kekuasaan di Indonesia. Tidak sampai di situ,
jajaran kabinet kementrian dan kursi-kursi di lembaga lain tidak pernah tidak
diisi oleh sosok kyai.
Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan
pesantren kurang mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah.
Keterpurukan malah dialami pesantren ketika para
santri dan kyai yang ada di lingkungan tersebut harus didata karena isu
teroris. Kaca mata masyarakat umumnya memandang kultur dan latar belakang
pesantren sebagai jalan pintas juga alternatif terakhir dan ortodok. Jika
anak-anak mereka sakit, terhambat biaya atau mengalami kelainan, tujuan
pendidikan yang mereka pilih adalah pesantren. Padahal sudah terbukti bahwa
lulusan pesantren telah banyak mencetak anak bangsa yang berkwalitas.
Keberadaan sosok kyai semakin lama
semakin langka. Mereka seperti bahan bakar minyak yang tidak dapat
diperbaharui, jika sudah ditambang maka akan habis persediannya. Padahal dari 3
milyar lebih penduduk dunia, mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Di lain
pihak perusahaan pencetak kader-kader kiyai (pesantren) lambat laun akan
mengalami kerusakan sistemik yang diakibatkan berbagai masalah yang kompleks
dan rumit. Sekaranglah saatnya bagi generasi muda menerima tongkat estafet dari
para pendahulunya serta mengemban tugas meneruskan perjuangan yang telah mereka
lakukan dengan mempertaruhkan harta, tenaga, pikiran dan waktu. Mereka akan
merasa bangga jika tapak tilas mereka yang tersisa saat ini bisa dikembangkan.[9]
Kehidupan umat yang religius perlu dibina dan dikembangkan dalam kegiatan
kemasyarakatan. Dalam kehidupan beragama tercermin dalam peran serta umat
beragama dalam membangun insan seutuhnya yakni membangun lahir batin, jasmani
dan rohani, material dan spiritual, kebaikan dunia dan akhirat. Disinilah peran
penyuluh agama dalam membina dan membimbing masyarakat. Penyuluh agama sendiri
merupakan bagian dari da’i yaitu orang yang melaksanakan tugas Dakwah.[10] Tugas tersebut sebagaimana dalam firman Allah surat An-Nahl 125 :
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya :Serulah
(Manusia)kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan baik. Sesunguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
(Q.S. An-Nahl :
125).[11]
2) Tugas
Ulama atau Kiai
Murtadha
muthahhari, dengan judul “muthahhari sebuah model buat para ulama”.
Dalam pengantar buku”perspektif al-qur’an tentang manusia dan agama”.
Jalaluddin rahmat mengatakan :
Ain
Najaf, dalam qiyadatul ulama wal ummah menyebutkan enam tugas ulama/kyai :
a) Tugas
intelektual (al-amal al-fikriya), ia harus mengembangkan berbagai
pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan
mendirikan majlis-majlis ilmu, pesantren atau lewat menyusun kitab-kitab yang
bermanfaat bagi manusia yang meliputi Al Quran, al Hadits, aqoid, fiqh,
ilmu-ilmu aqliyah, matematika, biologi, kimia, fisika, dan membuka perpustakaan
ilmiah.
b) Tugas
bimbingan keagamaan, ia harus menjadi rujukan (marja’) dalam penjelasan
halal dan haram, ia mengeluarkan fatwa tetang berbagai hal yang berkenaan dengan
hukum-hukum islam.
c) Tugas
komunikasi dengan umat (al-ittisal bil ummah), ia harus dekat denga umat
yang di bimbingnya. Ia tidak boleh berpisah dengan membentuk kelas elit. Akses
pada umatnya diperoleh melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap
daerah secara permanent, atau menyampaikan khutbah.
d) Tugas
menegakkan syiar Islam, ia harus memelihara, melestarikan dan menegakkan
berbagai manifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukan dengan membangun masjid,
meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya, menyemarakkan
upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam kehidupan akhlak
dengan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW, sambil menghilangkan bid’ah-bid’ah
jahiliyah.
e) Tugas
memepertahankan hak-hak umat, ia harus tampil membela kepentingan umat, bila
hak-hak mereka dirampas, ia harus berjuang meringankan penderitaan mereka dan
membebaskan belenggu-belenggu yang memasang kebebasan mereka.
f) Tugas
berjuang melawan musuh Islam dan muslimah, ulama adalah mujahidin yang siap
menghadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dari lidah, tetapi dengan
tangan dan dada. Mereka selalu mencari syahadah sebagai kesaksian akan
komitmennya yang telah terhadap Islam.[12]
Hadist
riwayat Abu Daud dan Tirmizi mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi (inna
al-ulama’ waratsatul anbiya’).[13]
Hadist itu merupakan statemen deklaratif dari suksesi tugas kenabian yang
dialihkan kepada ulama’ yang dalam sosiologi masyarakat muslim Indonesia
dikenal dengan swebutan kiai, memiliki fungsi yang bertugas untuk menjaga,
melestariakan, mengembangkan dan mengamalkan risalah Rosulullah SAW di
tengah-tengah kehidupan manusia. Fungsi tersebut tidak ringan namun suci dan
mulia, membutuhkan sikap rela berkorban, tulus iklas, dan semata-mat ingin
mendapat izzatul Islam walmuslimin.
Tugas-tugas
ulama atau kiai terdiri dari :
1. Menyampaikan
(tabligh) ajaran-ajaran Al-qur’an kepada umatnya, sesuai dengan perintah
Allah.
2. Menjelaskan
isi kandungan Al-qur’an untuk pedoman hidup bagi umatnya.
3. Memutuskan
perkara atau problem yang di hadapi masyarakat.
4. Memberikan
contoh pengalaman yang sesuai hadist Rosulullah.
Senada
dengan hal diatas, Header Nashir mengatakan bahwa ulama’ atau kiai dalam
perjalan sejarah bangsa mampu tampil menjadi religius power dalam kehidupan kolektif umat, dan juga dapat
tampil sebagai kekuatan social kemasyarakatan yang handal. Lebih lanjut ia
mengemukakan; “para kiai atau ulama’ bukan saja sebagai figure yang alim dalam
penguasaan ilmu sehingga menjadi tempat bertanya sebagai hakekat maslah
kehidupan, shaleh dalam perilaku sehingga menjadi tauladan dan cortoh kearifan,
tetapi juga tampil sebagai figure atau tokoh pemandu umat dalam dinamika
kehidupan uamat beragama.”[14]
- Kenakalan
Remaja
a.
Pengertian Kenakalan Remaja
Menurut Drs. Simanjutak,
pengertian kenakalan remaja ialah suatu perbuatan itu disebut kenakalan apa
bila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada
dalam masyarakat di mana ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial di mana di
dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Sedangkan Drs. Bimo Walgito
merumuskan kenakalan remaja adalah tiap perbuatan yang bila dilakukan oleh
orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan itu merupakan kejahatan, jadi
perbuatan yang melawan hukum yang dilkukan olehanak, khususnya anak remaja.
Agus Suyanto menerjemahkan
kenakalan remaja dengan istilah bahwa perbuatan salah satu perbuatan yang
dilakukan remaja masih dapat dibenarkan atau diperbaiki. Terdapat beberapa
bentuk kesesatan yang bisa dilakukan oleh pemuda yakni; Habit diturbance,
ialah gangguan kebiasaan atau kekeliruan kebiasaan yang merupakan
perbuatan-perbuatan yang tidak merugikan orang lain, tetapi perbuatan tersebut
sebagai suatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pemuda, Conduct Disorder,
ialah gangguan-gangguan dalam tindakan sehari-hari. Perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh anak-anak remaja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat.
Sedangkan
Pengertian kenakalan remaja Menurut Paul
Moedikdo, adalah :
1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa
merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang
dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.
2. Semua
perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran
dalam masyarakat.
3. Semua
perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.
Dewasa ini pengertian kenakalan
remaja berkembang lebih luas lagi, yakni meliputi pengertian yuridis,
sosiologis, moral dan susila. Jadi perbuatan-perbuatan tersebut menyalahi
undang-undang yang berlaku sebagai hukum positif, melawan kehendak masyarakat,
tidak mengindahkan nilai-nilai moralbdan antib susila. Akibatnya
perbuatan-perbuatan kenakalan remaja tersebut sering menimbulkan keresahan di
dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.[15]
Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence,
berasal dari bahasa Latin adolescence yang artinya”tumbuh atau tumbuh
untuk mencapai kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya memiliki
arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik
(Hurlock). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana
individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana
anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua
melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.[16]
Menurut Melly Sri
Sulastri Rifai, remaja adalah pemuda pemudi yang berada pada masa perkembangan
yang disebut masa “adolensi” (masa menuju kedewasaan) masa ini merupakan
taraf perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat
disebut anak kecil lagi, tetapi juga belum dapat disebut orang dewasa, taraf
perkembangan ini pada umumnya disebut masa pancaroba atau masa peralihan dari
masa anak-anak menuju ke arah kedewasaan.[17]
Menurut Andi Mappiare, remaja adalah suatu tingkat umur
dimana anak-anak tidak lagi anak, akan tetapi belum dapat dipandang dewasa,
jadi remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur
dewasa.[18]
Secara
umum manusia dibesarkan oleh lingkungan masyarakatnya. Ia hidup di dalamnya,
bernaung di bawah nauangnya, dan harus beradaptasi dengan segala kondisi yang
melingkupinya., lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
individu yang hidup di dalamnya, terutama kehidupan para remaja. Sebab, secara
tabiat, manusia merupakan makhluk sosial. [19]
Proses pendidikan yang baik dan benar harus mengacu
pada nilai-nilai Islam yang diterapkan sedini mungkin kepada anak-anak.
Apabila proses tersebut dapat berjalan dengan baik, kita akan melihat munculnya
generasi muda yang memiliki komitmen yang kuat. Mereka kelak menjadi pemuda
yang akan mendapatkan naungan Allah
pada saat kiamat tiba. Mereka adalah para pemuda yang selalu siap mengemban
misi kemanusiaan kepada masyarakat yang ada di lingkungannya dan siaga dalam
memenuhi panggilan yang diserukan oleh negara.[20]
Akan tetapi, hal itu tidak mudah untuk diwujudkan.
Sebab, banyak faktor eksternal yang memengaruhi para remaja dan memperlemah
pembentukan kpribadian mereka, di samping beberapa faktor internal dari dalam
diri mereka yang sangat berpengaruh bagi mereka. Dan, di antara faktor yang
mempengaruhi remaja adalah sikap meremehkan dan melalaikan proses pendidikan
itu sendiri.
Semakin banyak faktor yang mempengaruhi remaja dalam
membentuk kepribadiannya, semakin banyak pula penyimpangan yang akan di
timbulkan penyimpangan ini- penyimpangan ini sangat berbahaya dan rentan
menimpa para remaja karena mereka sedang mengalami masa transisi menuju
kedewasaan. Apabila hal ini tidak ditangani secara serius,
penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat menjadi momok yang menakutkan, bahkan
bisa berujung pada pembangkangan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan terapi
yang bijak, agar terapi dapat dilakukan dengan bijak, harus dipelajari terlebih
dahulu inti permasalahan yang sedang dihadapi dengan teliti dan cermat.
Sehingga, hasil yang diperoleh dapat menjadi acuan untuk memperbaiki langkah
kedepan. Terapi ini akan lebih efektif apabila dilakukan melalui
lembaga-lembaga pendidikan. Sebab, secara tidak langsung, lembaga-lembaga
tersebut memiliki peran dalam penyimpangan generasi muda. Dan, melibatkan
lembaga-lembaga institusi yang ada, akan muncul tanggung jawab bersama dalam
memberikan solusi.
b.
Macam-macam Kenakalan Remaja
1.
Meninggalkan
kewajiban dan ketaatan
Tidak diragukan lagi, bahwa ibadah merupakan
rahmat bagi seorang hamba dan menjadi penolong bagi dirinya untuk menhadapi
kejelekan. Meninggalkan ibadah adalah bahaya besar, bencana dan krisis berat.
Shalat adalah tiangnya
agama. Meninggalkan shalat krisis, bahkan termasuk krisis yang paling berat yang menimpa seorang
muslim. Sebab orang yang mengerti kedudukan shalat dalam Islam, memahami
keutamaan dan besarnya pahala menunaikan shalat, memahami bahwa shalat adalah
amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat, apabila
shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya dan apabila shalatnya rusak maka
rusak semua amalnya, bahwa shalat adalah hak Allah atas hambanya yang telah
diciptakannya, hamba yang telah disempurnakannya, hamba yang telah diberi
rizkinya dan diberi nikmat yang tidak dihitung, bahwa shalat dapat
menghindarkan seorang muslim dari kejahatan sebab shalat dapat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah Swt Surat An-Nahl :43
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4
y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
.Artinya
: padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
menunaikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demekian itulah agama
yang lurus. (Q.S. An-Nahl : 43).[21]
Puasa
bulan ramadan yang penuh berkah atau pada bulan-bulan lain bagi yang
menghendaki, adalah ibadah dan amal ketaatan. Puasa adalah pendekatan kepada
Allah Swt, yang tidak diketahui pahalanya kecuali oleh Allah semata. Orang yang tidak sabar untuk menunda waktu
makan dari waktu zuhur sampai waktu Magrib itu bukan manusia. Sebab diantara
keistimewaan manusia adalah dai dapat mengendalikan syahwat, bukan dikendalikan
nafsu, yang dapat menjadikan akan sebagai majikan bagi hawa nafsu, dan bukan
menjadikan hawa nafsu sebagai penawar akalnya, mampu memprioritaskan ketaatan
atas kemaksiatan dan ridha Allah atas murka-Nya.[22]
2.
Penyimpangan
moral
Penyimpangan
moral terjadi disebabkan oleh seseorang yang meninggalkan perilaku baik dan
mulia, lalu menggantinya dengan perbuatan yang buruk, seperti bersikap tidak
mau tahu dengan lingkungan sekitarnya, cepat terbawa arus, tidak menjaga
kehormatan diri, mengajak perempuan tanpa mahram jalan-jalan, mengikuti gaya
dan mode barat, tawuran, dan nongkrong dipinggir-pinggir jalan.
3.
Penyimpangan
Agama
Penyimpangan
dalam bidang Agama terlihat dari sikap ekstrem seseorang dalam memahami ajaran
agama, sehingga ia fanatik terhadap mazhab atau kelompoknya, memilih untuk
tidak bertuhan (atheis) terhadap keyakinannya sendiri dan agama yang dianutnya,
memperjualbelikan ajaran agama, dan arogan terhadap prinsip-prinsip yang
dipegang atau ajaran-ajaran tokoh masyarakatnya.[23]
4.
Penyimpangan
Mental
Penyimpangan
dalam dalam masalah mental atau kejiwaan dapat dilihat dari sikap yang merasa
tersisih, kehilangan kpercayaan diri, kehilangan harapan masa depan, merasa
selalu sial dan cepat putus asa, gelisah, bimbang dan sering bingung,
malakuakan hal yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya, mengisolasi diri dari
kehidupan masyarakat, selalu bertindak ikut-ikutan tanpa tahu alasannya, hanya
melihat orang dari penampilan luar saja, atau suka meniru orang lain.[24]
5.
Khomer
Khomer
termasuk salah satu minuman yang tercela menurut agama Islam untuk diminum oleh
pemeluknya, tercela tersebut didasarkan kepada bahaya buruk yang berakibat bagi
kehidupan fisik dan mental. Ajaran Islam menilai minuman khomer sebagai
perbuatan keji, sejajar dengan perbuatan judi dan kurban-kurban untuk berhala.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ)
ãôJsø:$#
çÅ£øyJø9$#ur
Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur
Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã
Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù
öNä3ª=yès9
tbqßsÎ=øÿè?
ÇÒÉÈ
Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah)
Pada
asalnya, celaan minuman khomer lebih dititikberatkan kepada penderitaan yang
akan menimpa peminumnya yakni; penyakit jiwa, penyakit otak dan jantung. Jika
diperhitungkan dalam persentase, arak yang mengandung alkohol tujuh sampai
sepuluh persen belum dapat memabukkan, akan tetapi dapat melemahkan fungsi beberapa
urat syaraf. Apabila arak mengandung alkohol sepuluh sampai lima belas persen,
maka peminum akan mabuk dan mengalami kerusakan beberapa fungsi urat syaraf.
Sedangkan dipasaran umum, dewasa ini banyak minuman keras yang mengandung
alkohol dengan persentase yang sangat tinggi.
Dari
segi keturunan, peminum minuman keras dapat merusak kesehatan dan keberhasilan
keturunan. Berdasarkan penyelidikan ilmiah di bidang ilmu ketokteran, peminum
khomer dan minuman-minuman keras lainnya ada kemungkinan dapat berakibat buruk
terhadap keturunan atau anak-anaknya. Dalam salah satu penyelidikan pernah
dijumpai seorang anak berumur kurang dari delapan tahun yang sering menderita
sakit ingatan, disamping itu kadang-kadang marah yang luar biasa. Menurut hasil
penyelidikan dokter, penyakit tersebut memiliki korelasi relevan dengan
kebiasaan minum-minuman keras yang dilakukan oleh ayahnya, jadi keras sebagai
penularan dari perbuatan yang telah dilakukan oleh ayahnya. Dewasa ini timbul
gejala, kebiasaan minum-minuman keras yang terjadi di kalangan usia remaja pada
umumnya untuk pemuasaan nafsu belaka; disamping untuk memenuhi dorongan mental
tidak sehat.[25]
c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kenakalan Remaja
1.
Faktor masyarakat
Segala
fenomena yang bersifat sosial kemasyarakatan maupun yang tidak, pada dasarnya
tidak bisa dilepaskan dari adanya sebab-akibat tertentu yang dapat menjadikan
suatu fenomena tersebut terus berlangsung dan terwujud.
Hal
ini tidak bisa dilepaskan terhadap adanya fenomena yang terjadi, fakta yang
bergejolak diantara kenakalan remaja adalah berbagai persoalan yang muncul di masyarakat
sebanyak-banyaknya dalam fakta yang terjadi dilapangan. Kita juga menengok
perubahan-perubahan sekecil apapun dan faktor-faktor yang menjadi penopangnya.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi adanya permasalahn remaja ini adalah, bahwa
sesungguhnya kita tidak akan mampu menggapai tujuan yang diharapkan dan
cita-cita yang diinginkan yakni cita-cita untuk mencapai perdamaian di antara
generasi muda, meluruskan hal-hal yang menyimpang, menanamkan kekuatan pilihan
dan menyinkirkan duri-duri dari jalan, selama kita tidak pernah menghilangkan
yang terlihat cukup samar, mengobati penyakit-penyakit yang utama dan
menghilangkan dasar-dasar krisis dari akarnya.[26]
Hal
tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan rasional, karena faktor-faktor
permasalahan remaja tersebut telah melibatkan masyarakat, atau justru sedang
terjadi dalam sebuah keluarga. Maka terjadilah ancaman-ancaman terhadap pintu
keimanan. Oleh karena itu, bardasarkan fenomena di atas, marilah kita sebagai
seorang remaja untuk menghindari hal-hal yang menjadikan citra buruk dimata
masyarakat. Semoga sja kita akan mendapatkan orang-orang pilihan dari sisa
generasi muda kita yang masih ada dan mampu menunjukkan eksistensi pada dri
kita.[27]
2.
Faktor budaya
Adalah
pindahnya sebuah perilaku dari seseorang kepada orang lain. Hal itu dapat
terjadi karena manusia memiliki tabiat atau kebiasaan untuk meniru orang lain
dan mengikuti perbuatannya. Itu sebenarnya muncul disebabkan oleh kelemahan
manusia itu sendiri. Kebiasaan meniru perilaku orang lain dapat anda dilihat
khususnya pada diri anak-anak. Namun, kebiasaan ini juga individu maupun
kelompok. Sikap ini muncul karena adanya perasaan tidak berdaya dan merasa
takut berhadapan dengan orang atau kelompok yang lebih kuat. Namun adakalanya
orang meniru perilaku yang baik dan tindakan yang benar atau justru sebaliknya.
Dalam riwayat Al-Bukhari dikatakan, “sekalipun mereka melintasi lubang
biawak, pasti kalian akan melaluinya juga”. Imam Al-Nawawi berkomentar,
“Ynag dimaksud dalam hadis diatas adalah meniru dalam kemaksiatan, perbuatan,
dan tindakan yang dilarang, hingga tindakan-tindakan yang menyebabkan
kekufuran. Dalam hadis ini terkandung mukjizat yang jelas bagi Rasulullah Saw”.[28]
Menurut Emil H.
Tambunan, (1985 : 46-51). Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja
dibagi menjadi empat yaitu:
a) Faktor Keturunan
Meskipun kenakalan bukanlah faktor biologis namun faktor keturunan
sangat berpengaruh. Lueila Cole mengatakan dalam bukunya, Psychology of
Adoloscence, bahwa faktor keturunan dimaksud adalah warisan yang dimiliki.
Penyebabnya antara lain keturunan keluarga yang buruk, sebagai akibat lemah
pikiran, sakit saraf. Akibatnya, si anak kurang dapat menyesuaikan diri, lambat
belajar dan kurang dapat menghargai nilai-nilai hidup yang baik. Sedang yang
lain mungkin mempunyai tenaga berlebihan, pernah semangat sehingga ia tampak
sangat aktif, dan seolah-olah suka menindas dan mau berkelahi saja. Reiss
mengatakan bahwa pengendalian ego/kelakuan yang lemah, ataupun mungkin terlalu
besar, mendorong anak bertindak tanpa pertimbangan-pertimbangan yang pasti,
serta tidak sesuai dengan ukuran yang digariskan dalam norma masyarakat
setempat.
b) Faktor Kejiwaan
Di dalam bukunya, Cole mengungkapkan bahwa motivasi kenakalan di
tinjau dari segi kejiwaan antara lain, perasaan anak yang interior, tidak
merasa aman karena tidak merasa diterima di rumah oleh orang tua, oleh anggota
masyarakat, oleh guru-guru di sekolah, juga karena frustasi yang
bertumpuk-tumpuk, timbulnya permusuhan dan pertentangan, emosi yang tidak
dewasa, sifat agresif sebagai akibat gangguan-gangguan emosional, penyesuaian
diri dengan anak-anak nakal lainnya, dorongan hati yang kuat, ego yang tidak terkendali.
Bila anak tidak mendapatkan penghargaan, tidak diterima baik di rumah akan
melakukan konpensasi yang umumnya bersifat negatif. Sekedar mencari nama,
mencari kepopuleran si anak melakukan tindakan agresif. Tak heran kalau ada
anak melakukan tindakan sadis hanya dengan motif agar dia terkenal dimana-mana.
c) Faktor lingkungan.
Setiap orang sangat akrab dengan lingkungannya, dari lingkungan
itulah orang belajar apakah hal yang baik atau buruk. Demikianlah anak remaja
yang sedang tumbuh dan berkembang itu sangat mudah terpengaruh dengan keadaan
sekeliling dimana anak tinggal. Dan para ahli menekankan bahwa kondisi sosial
di daerah anak tinggal akan menentukan tingkat kenakalan itu, kondisi sosial
antara lain: 1). Masalah kemiskinan, 2).Pendidikan orang dewasa yang rendah di
tempat itu. 3). Hambatan-hambatan di sekolah seperti guru yang kejam, fasilitas
yang kurang memadai, kurikulum yang tidak sesuai dengan kemampuan dan tujuan
pendidikan anak. 4). Kurangnya fasilitas rekreasi. 5). Kepadatan penduduk. 6).
Kurangnya kegiatan anak-anak yang terorganisasi.
d) Faktor keluarga
Keluarga adalah yang mendasari segala segi perkembangan pribadi
seorang anak. Sejak anak lahir sampai dewasa, ia mendapatkan dasar-dasar hidup
disana. Dasar-dasar itu langsung diperolehnya dari ibu dan ayahnya. Disinilah
sang anak bertumbuh dan berkembang. Menurut pengalaman yang dipelajarinya dari
sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua. Dalam masalah kenakalan anak pun,
keluarga/rumah tangga tetap menjadi sorotan utama. Pengaruh-pengaruh buruk
disana dapat mendorong anak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Pengaruh-pengaruh itu termasuk kondisi seperti: 1. Kemiskinan dan jumlah
anggota keluarga yang lebih besar. 2. Kenakalan yang terdapat di lingkungan
rumah tangga di antara orang tua dan saudara-saudara. 3. Rumah tangga yang
berantakan misalnya: kematian salah seorang dari orang tua, perpisahan ibu dan
ayah, perceraian/karena melarikan diri dari rumah. 4. Kurangnya keamanan jiwa
disebabkan orang tua yang terus bertengkar, dan kurangnya stabilitas emosi. 5.
Tidak terdapatnya penyesuaian pendidikan, disiplin dan tujuan hidup yang
dicita-citakan oleh orang tua buat anaknya. 6. Orang tua yang tidak menaruh
perhatian terhadap anak, tidak sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat
menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di sekolah.
3.
Faktor Sekolahan
Ajang pendidikan kedua bagi remaja setelah keluarga ialah sekolah.
Bagi bangsa Indonesia masa remaja merupakan masa pembinaan, penggemblengan dan
pendidikan di sekolah terutama pada masa-masa permulaan. Pada masa tersebut
pada umumnya remaja duduk dibangsu sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas atau yang sederajat. Di pondok-pondok pesantren tingakt-tingkat
pendidikan tersebut dikenal dengan nama tsanawiyah dan aliyah. Lembaga-lembaga
pendidikan tersebut dikenal juga diluar pondok-pondok pesantren yang secara
formal dikelola oleh departemen Agama Republik Indonesia dan lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang lain. Di samping itu pelosok-pelosok banyak dijumpai
anak-anak remaja yang sudah tidak sekolah dasar atau sederajat
Selama dalam proses pembinaan, penggemblengan dan pendidikan di
sekolah biasanya terjadi interaksi antara sesama anak remaja, dan anak-anak
remaja dengan sesame pendidik. Proses interaksi tersebut dalam kenyataanya
bukan hanya memiliki aspek sosiologis, yang positif, akan tetapi juga membawa
akibat lain yang akan memberi dorongan bagi anak remaja untuk menjadi delinkwen
(Jahat).
Banyak indikasi yang membuktikan bahwa anak-anak remaja yang memasuki
sekolah hanya sebagian saja yang benar-benar berwatak sholeh, sedangkan yang
lain adalah pemabuk, peminum, penghisap ganja dan pecandu narkotika. Indikasi
yang lain tidak kalah penting dan menarik, terdapat diantaranya mereka
pergaulan bebas. Dalam kenyataanya sering terjadi perlakuan guru di sekolah
yang mencerminkan ketidakadilan. Kenyataan lain yang masih ditemui adanya
sangsi-sangsi yang sama sekali tidak menunjang tercapainya tujuan penididkan.
Keadaan tersebut diperberat lagi dengan adanya ancaman yang tidak ada
putus-putusnya disertai disiplin yang ketat dan kurang adanya interaksi yang
akrab antara pendidik dan murid serta
kurangnya kesibukan belajar di rumah kondisi negative di sekolah tersebut kerap
kali memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap anak, sehimngga
dapat menimbulkan kenaklan anak atau remaja.[29]
Selain faktor internal dan eksternal diatas faktor
eksternal yang lain yaitu faktor dari sekolah juga mempunyai peranan penting
dalam membina anak didik untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.
Dalam rangka pembinaan anak didik ke arah kedewasaan itu kadang-kadang sekolah
juga menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psokologi anak, sehingga anak
menjadi sering bertingkah laku yang negatif di sekolah. Hal ini dapat bersumber
dari guru itu sendiri, fasilitas pendidikan yang kurang lengkap, kekurangan
guru serta norma-norma pendidikan dan kekompakan guru. Pengaruh negatif yang
terjadi pada anak sekolah dapat timbul karena perbuatan guru yang menangani
langsung proses pendidikan seperti karena kesulitan ekonomi yang dihadapi atau
dialami oleh guru, sehingga guru/pendidik tidak dapat memusatkan perhatian
terhadap anak didiknya. Karena kesulitan tersebut ia akan berusaha mencukupi
kebutuhan hidupnya diluar sekolah, mungkin ia akan banyak mengajar di sekolah
lain (sebagai guru honorair), bisnis dan lain-lain usaha. Sebagai akibatnya
guru datang terlambat, tidak bisa mengajar dan sebagainya. Sehingga murid-murid
di liburkan atau di pulangkan. Jika peristiwa ini sering terjadi, maka murid
menjadi dongkol, resah, berkeliaran tanpa pengawasan guru, kelas menjadi kacau,
mereka menjadi terbiasa tidak terawasi, tanpa disiplin dan menjadi liar. Maka
terjadilah pengotoran kelas, pencurian di kelas, perkelahian antar kelompok
siswa, pembolosan dan lain-lain.[30]
3.
Peran Kiai Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja
Secara
sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak
terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala
kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui
oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan
struktural yang tinggi.[31]
Realitas ini memungkinkan kiai
berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kiai tidak hanya
terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih
luas.[32]
Prinsip demikian koheren dengan argumentasi Geertz (1981) yang menunjukkan
peran kiai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi
sebagai agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara budaya (cultural
broker).[33] Ini berarti, kiai memiliki kemampuan
menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya. Sejak Islam
menjadi “agama resmi” orang Jawa, para penguasa harus berkompetisi dengan
pembawa panji-panji Islam atau para kiai dalam bentuk hirarki kekuasaan.
Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren.
Mayoritas kiai di Jawa beranggapan bahwa sebuah pesantren dapat diibaratkan
sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari
kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan
lingkungan pesantren. Meskipun kiai di Jawa tinggal di pedesaan, mereka
merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan
ekonomi masyarakat Jawa.
Masa remaja merupakan masa mencari identitas diri. Remaja
mempunyai keinginan yang besar untuk mencoba sesuatu yang baru. Keinginan
tersebut kurang diperhitungkan untung ruginya atau dampak positif dan
negatifnya. Dengan
demikian kehidupan remaja sangat penting dan strategis karena dapat menentukan
kemajuan bangsa dan Negara. Hal ini terjadi seiring dengan angan-angannya yang
tinggi. Sementara emosinya belum stabil, mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
sepele atau yang menarik bagi dirinya. Remaja
merupakan harapan bangsa dan Negara, cerah mendungnya suatu bangsa dan Negara
tergantung kepada remaja saat ini.
Kehidupan remaja merupakan masa yang paling indah,
pada masa remaja ini dapat merasakan manisnya kehidupan “kebenaran” menjalani
kehidupan dimulai pada masa remaja mereka bebas memilih teman yang disenangni,
menentukan hoby atau remaja bebas menentukan gaya hidupnya sendiri.
Perilaku menyimpang sebagian remaja dan pemuda kita
dewasa ini sering semata dipikulkan pada lembaga pendidikan formal. Dalam
keluarga menunjukkan hasil yang baik, maka diprediksikan mereka akan membawa
warna baik pada pranata barunya. Karenanya, ketika kita menghadapi masalah
kenakalan remaja, maka kita selayaknya mengadakan Retrospeksi terhadap peran
keluarga dalam “Mencetak” watak anak yang berbudi mulia. Untuk selanjutnya
mencarikan solusi yang tepat guna mencegah munculnya wabah penyimpangan remaja
yang kian hebat.
Dalam menyampaikan ajaran dan nilai-nilai kepada
remaja perlu keterlibatan semua pihak. Baik itu guru, orang uta, tokoh agama, pemerintah
dan masyarakat pada umumnya. Hal ini penting dilakukan karena remaja hidup dan
berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Dalam
prakteknya, remaja membutuhkan idola panutan, teladan atau contoh konkrit dalam
berperilaku. Ini penting mengingat remaja belum mempunyai kriteria dan indicator
yang jelas. Bagaimana seharusnya berbuat, sehingga yang dilakukan relative lebih
banyak bersifat coba-coba.
Selain dalam pendidikan formal dan pendidikan agama
lebih leluasa diberikan dalam pondok pesantren. Dalam pondok pesantren tumbuh
suasana dan lingkungan hidup yang religius. Dengan lingkungan yang religius
diharapkan dapat mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Setelah
keluar dari pondok pesantren, remaja berkembang sebagai tokoh agama yang handal
di masa depannya.
Jadi peran kiai dalam mengatasi kenakalan remaja
adalah agar para remaja tidak melakukan tindakan yang melanggar dari ajaran
agama Islam, para remaja terhindar dari minum-minuman keras, mau melaksankan
sholat lima waktu, serta mau menjalankan perintah agama Islam yaitu puasa wajib
di bulan suci ramadhan
[1] M. Darwan Raharjo (ed.), Pesantren dan pembaharuan, Jakarta
: LP3ES, 1988 hlm . 32
[2] Manfred Ziemek, pesantren dalam perubahan social, Jakarta :
P3M, 1986, hlm. 131
[6]Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai (Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng),(Malang,; Kalimashada Press, 1993), 45
[7] Rosehan Anwar, Ulama dalam Penyebaran
Pendidikan dan Khazanah Pendidikan, Proyek Pengkajian dan Pengembangan
Lektur Pendidikan Agama, Jakarta Pusat : 2003, hlm 69
[13] Muhyidin, Riyadhus Sholihin, pekalongan : Raja Murah,t.t.
hlm 531
[14] Kutowijoyo, Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Baru, Bandung;
1995, hlm.57
[16] Mohammad Ali,
Mohammad Asrori, psikologi remaja perkembangan peserta didik, PT Bumi
Aksara, Jakarta : 2009, hlm 9
[17] Melly Sri Sulastri Rifai, Psikologi
Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1987,
hlm.
[19] Muhammad Al-Zuhaili, Menciptakan Remaja Dambaan Allah, Panduan Bagi Orang
Tua Muslim, PT Mizan Pustaka, Bandung : 2004, hlm 196
[20] Ibid, hlm 146
[21] Hafizh Dasuki, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Jaya
Sakti, Surabaya : 1997, hlm
[22] Muhammad Ahamd Kan’an, Op, Cit. hlm 132-134
[23] Muhammad Al-Zuhaili, Op, Cit, hlm 149-150
[24] Muhammad Al-Zuhaili, Op,
Cit, hlm 150-151
[25] Sudarsono, Op, Cit, hlm 66-67
[26] Muhammad Najib Salim, Mengapa Remaja Cenderung Bermasalah?, Inspirasi,
jogjakarta : 2006, hlm 204-205
[27] Ibit, hlm 207
[28] Muhammad Al-Zuhaili, Op, Cit, hlm 205-207
[29] Sudarsono, Op, Cit, hlm 24-27
[30]http://ipascell.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-penyebab-kenakalan-remaja.html.
(sabtu 22 oktober 2011)
[32]Abdurrahman Wahid, Principle
of Pesantren Education , The
Impact of Pesantren in Education and Community Development
in Indonesia (Berlin; Technical
University Berlin, 1987), 200
[33]Clifford Geertz, The Javanese
Kijaji:The Changing Role of a Cultural Broker, "Comparative Studies
on Society and History, vol.2. (Cambridge,1960), 229
0 Response to "PERAN KYAI DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA"
Post a Comment