PERAN KYAI DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA

PERAN KYAI DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA



  1. Pengertian Kiai
Haedar Ruslan, seorang guru di Pondok Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika Kepemimpinan Kyai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti Kyai. Menurutya, Kyai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya orang yang dihormati.
 Penegertian kiai secara etimologis, menurut Ahmad Darban, kata “kiai”berasal dari bahasa jawa kuno, kiya-kiya, yang artinya orang yang dihormati.[1] sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemek pengertian kiai adalah pendiri dan pemimpin sebuah pesantern yang sebagai muslim yang terpelajar yang telah membaktikan hidupnya demi Allah serta menyebarluaskan dan mendalalmi ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam.[2]
Namun pada umumnya di masyarakat kiai disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam, yang disebut pertama lebih populer di kalangan awam al-muslimin, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan yang disinyalir oleh Al-qur’an sebagai hamba-hamba Allah yang paling takut, dan orang-orang yang menjadi pewaris para Nabi.
Kiai adalah sebutan alim ulama Islam, orang yang di tuakan atau yang di hormati.[3] Haedar Ruslan, seorang guru di Pondok Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika Kepemimpinan Kiai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti Kyai. Menurutya, Kiai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk; pertama, pada benda atau hewan yang dikeramatkan seperti Kyai Plered (tombak), Kiai Rebo dan Kiai Wage (Gajah di kebun binatang Gembira Loka Yokyakarta). Kedua, pada orang tua pada umumnya, ketiga, pada orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam yang mengajar santri di Pesantren.
Manfred Ziemnek, pengertian Kiai secara terminologi adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren, sebagai muslim “terpelajar” yang telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata “kiai” disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam.[4]
Abdurrahman Mas’ud, memasukkan Kiai kedalam lima tipologi, yakni :
a)      Kiai (ulama) encyclopedi dan multidispliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti Nawai Al-Bantani.
b)     Kiai yang ahli dalam salah satu spesialisai bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian meraka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan pesantren, mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mreka, misalnya pesantren Al-quran.
c)      Kiai Kharismatik, yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagaamaan, khususnya sufisme, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
d)     Kiai Dai Keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi Sunnisme atau Aswaja dengan bahasa retorika efektif.
e)      Kiai Pergerakan, yakni karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, sehingga menjadi pemimpin yang menonjol. Seperti KH. Hasyiem Asyarie.
Jadi pengertian kiai adalah orang yang terkemuka yang berpegang teguh pada kepercayaan (agama Islam) yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-Quran wahyu dari Allah SWT.
1)      Peran dan Fungsi Kiai
Dalam sebuah hadits, kiai dimaktub sebagai pewaris para nabi. Dalam pemaknaan demikian, kiai dipandang penerus tugas para nabi dan rasul dalam hal menyampaikan ajaran agama. Maka, taat dan patuh pada “jalan” kiai disamakan dengan tunduk pada nabi.
Karena itu, secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi. Kiai, terutama di Jawa, adalah patron masyarakat Muslim, dan bentuk tingkah lakunya dalam berhadapan dengan masyarakat ditandai oleh paternalisme. Masyarakat memandang kiai sebagai pembimbing spiritual, moral, keagamaan, sekaligus melindungi umat dari ancaman-ancaman dunia luar. Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas.
Dalam hal ini, beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kiai besar adalah pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya. Faktor tersebut memungkinkan siapa pun menjabat titel kiai dengan segenap otoritas kepemimpinannya. Yang perlu menjadi catatan dari kepemimpinan kiai adalah kenyataan bahwa hubungan antara pemimpin dan masyarakat direlasikan oleh hubungan emosionalitas yang erat. Hubungan ini lahir dari persepsi masyarakat bahwa kiai adalah orang ahli yang dapat memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran al-Qur’an. Pengaruh kepimimpinan kiai, khususnya di Jawa, tidak hanya menyebar di beberapa desa. Posisi seorang kiai di sebuah pesantren dan keterlibatannya di NU dapat membuatnya menjadi seorang pemimpin nasional umat Islam di Indonesia. Sebab, pesantren menjadi lembaga penting yang terkait dengan kekiaian seseorang. Melalui pesantrenlah seorang kiai membangun pola patronase yang menghubungkannya dengan masyarakat. Patronase ini dengan mudah dibangun karena kebanyakan pesantren dimiliki secara pribadi oleh kiai.
Sesuai dengan perkembangan zaman, di masyarakat terdapat dua tipe kiai di pesantren. Yakni, kiai tradisional dan kiai modern. Perbedaannya, kalau kiai tradisional mengambil pendidikan Islam di pesantren tradisional. Sementara kiai modern, pengetahuan Islamnya diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan Islam modern. Kiai tradisional biasanya mempunyai pengetahuan Islam lebih banyak daripada kiai modern, tetapi kiai modern mempunyai keunggulan dari segi metodologi pengajaran Islam yang lebih baik daripada kiai tradisional. Kiai lokal semacam ini memegang pengaruh dan peran riil untuk membentengi umat terhadap ancaman, ambisi, dan kepentingan dari luar. Hemat saya, dua keunggulan kiai seperti disebut Ali Maschan Moesa, yaitu keunggulan ilmu dan keunggulan amal, dalam konteks tersebut perlu dimaknai sebagai bentuk moralitas sosial yang harus ada pada diri kiai. Moralitas tersebut diukur dari sejauh mana sosok kiai mampu merelasikan keduanya.
Tingkat perkembangan agama dan kepercayaan di suatu masyarakat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan peradaban masyarakat tersebut. Agama-agama masyarakat primitif disuatu tempat bersesuaian dengan tingkat kehidupan dan peradaban bangsa itu. Pada masyarakat yang masih primitif  dan sangat sederhana tingkat ilmu pengetahuan dan teknologinya, agama atau kepercayaan terhadap tuhan pun sangat sederhana. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kemajuan yang dialami oleh agama jauh lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, usaha manusia untuk memperoleh kebenaran hakikat dari alam ini yang menjadi bidang penghayatan agama jauh lebih sukar dibanding dengan mencari kebenaran pada bagian-bagian lain dari alam semesta yang menjadi bidang penelitian ilmu dan teknologi.
Sejarah bangsa telah mengukir berbagai peran yang dimainkan oleh ulama. Kerukunan beragama pada era 1970-1980-an telah berhasil membina persatuan dan kesatuan bangsa sehingga menjadi modal pembangunan negara dan bangsa selama ini. Semua itu tidak terlepas dari peran kiai lewat komunikasi personal yang dilakukan melalui ceramah dan khutbah jum’at di masjid-masjid.
Secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi.[5]
Kondisi demikian menuntut seorang kiai dalam peran dan fungsinya untuk memiliki kebijaksanaan dan wawasan, terampil dalam ilmu-ilmu agama, mampu menanamkan sikap dan pandangan serta wajib menjadi top figure (teladan) sebagai pemimpin yang baik, lebih jauh lagi kiai di pesantren dikaitkan dengan kekuasaan supranatural yang dianggap figur ulama adalah pewaris risalah kenabian, sehingga keberadaannya dianggap memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan.[6]
Menurut Mukti Ali, untuk menggerakkan pembangunan di negara yang sedang berkembang seperti indonesia, paling tidak ada tiga kelompok pemimpin yang mengambil peranan. Pemimpin resmi (pemerintah), pemimpin tidak resmi (tokoh agama), dan pemimpin adat. Komunkasi interpersonal yang disampaikan tokoh agama secara pribadi inilah yang harus dilakukan dalam memberi pesan-pesan pembangunan. Kesuksesan progam keluarga berencara di Indonesia tidak terlepas dari dukungan dan keterlibatan para ulama sebagai tokoh agama.
Peran kiai sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat di sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan keagamaan telah mereka dirikan, baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantern. Semua lembaga itu ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terpelajar. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau jalur dakwah yang mereka tempuh dengan gigih. Disamping berbagai fungsi dan peran di atas, para kiai sebagai tokoh Islam telah mewariskan khazanah keagamaan menomental, misalnya, berupa kitab-kitab keagamaan yang bernilai tinggi. Karya tulis tersebut merupakan media penting untuk mengkomunikasikan pemikiran mereka sekaligus mencerminkan kualitas keilmuan dibidang yang mereka geluti.[7]
Para kiai tersebut juga mengembangkan organ-organ dakwah berupa berbagai jenis organisasi. Melalui organisasi-organisasi masyarakat yang bernuansa keagamaan, mereka berusaha dalam meningkatkan kualitas pemahaman umat Islam Indonesia terhadap pesan-pesan mendasar agamanya. Di bawah kepemimpinan mereka yang punya perhatian besar terhadap masalah sosial, organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Al-Washliyah, dan sebagainya, tercatat oleh sejarah ikut membantu dalam mengangkat tingkat pendidikan dan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui lembaga-lembaga pendidikan, panti asuhan dan kegiatan sosial lainnya.[8]
Dinamika, pergumulan dan panggung politik di Indonesia (mayoritas penduduknya beragama Islam), tidak lepas dari peran keterlibatan organisasi-organisasi Islam yang tumbuh di dalamnya. Bila dilihat dari gerakan orientasi garis besarnya, organisasi Islam terbesar di nusantara dipegang oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Kedua organisasi yang berdiri sebelum Indonesia meneguk segarnya kemerdekaan ini telah banyak memberikan kontribusi bagi reformasi sistemik dalam negeri yang terjadi dalam beberapa fase semenjak masih berkuasanya negara-negara kolonial, yaitu : pertama, fase sejarah gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam pada awal abad ke-20, kedua, fase sejarah gerakan pembaharuan dalam Islam pada pertengahan abad ke-20, dan ketiga, fase sejarah gerakan pembaharuan dalam Islam menjelang berakhirnya abad ke-20.
Gerakan pembaharuan ini terjadi terutama didasarkan pada satu asumsi bahwa Islam merupakan agama yang memiliki landasan yang tegas dan bersumber dari beberapa isyarat naqliyyah, yang tersurat maupun tersirat terangkum baik dalam firman-firman-Nya maupun yang tertuang dalam sabda-sabda utusan-Nya. Sebab al-Quran dengan sendirinya telah membentuk sebuah konstitusi bangunan yang aktual.
Bukan hanya sekedar itu saja, keberhasilan peradaban modern yang telah kita rasakan sekarang ini -terlepas dari terjadinya pembelokan etos yang dialami ummat Islam-  tidak lepas dari peran kharismatik para pemuka-pemuka Islam atau lebih akrab dipanggil kyai. Mereka memiliki komitmen memperjuangkan kemaslahatan ummat yang disertai dengan sifat tawakal, wara’, tawadla dan tanpa pamrih. Sepak terjang mereka seolah menebarkan suasana damai dan memberikan pencerahan bagi setiap kendala yang dihadapi negara baik yang menyangkut masalah internal maupun eksternal dengan bertitik tolak pada usaha menjalankan proses mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 Peran seorang kiai cenderung efektif, paling tidak bagi kalangan komunitasnya. Hal ini disebabkan karena, mereka merupakan sosok komunikator dengan tingkat kredibilitas kharismatik yang melekat pada eksistensi kehidupannya. Di kalangan ummat wejangannya, seorang kiyai menjadi pusat kepentingan (center of interest), mereka menjadi rujukan pengambil keputusan bukan hanya dalam masalah religius saja tetapi juga sosial, politik, kesehatan, ekonomi dan kebudayaan baik yang mengikat kepentingan individual maupun kolektif.
Menurt Geertz jika dilihat dari fungsi sosiologisnya, yang dikutip dan diterjemahkan oleh Asep. S Muhtadi, kiai dapat dilihat sebagai “makelar budaya” (cultural broker). Mereka menyaring setiap informasi dan budaya yang masuk ke dalam lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggapnya berguna dan membuang apa yang dianggapnya merusak bagi mereka. Menurut pemimpin pesantren al-Falaahiyyah, Sumedang, KH. Ado Murtado peran kyai sangat kuat dalam melakukan regulasi, seleksi dan filterisasi atas informasi, nilai-nilai dan sikap-sikap positif yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat. Dengan demikian, mereka ikut berperan dalam merumuskan skala prioritas sendiri atas perubahan yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Keengganannya terhadap urusan formal kenegaraan, pengaruh mereka juga memberikan kekuasaan moral yang luar biasa, sekaligus mempersembahkan kedudukan kepada mereka sebagai suatu kelompok intelektual yang bermoral. Mereka mempunyai perasaan kemasyarakatan tingkat tinggi dan selalu melandaskan sesuatu melalui kesepakatan.
Akan tetapi sering sekali mereka yang tidak mempunyai pemahaman baik, mengkultuskan kyai sebagai biang feodalisme (sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan) dalam beragama (religio feodalism). Padahal jika ditelusuri, sejatinya bukan praktik feodalisme yang  diterapkan melainkan pendidikan yang tegak lurus dengan pemahaman-pemahaman hukum Islam. Sebagai contoh ketika seorang santri hendak bersalaman dengan gurunya yang juga seorang kyai, mereka senantiasa mencium tangan gurunya. Pada saat yang bersamaan, kyai itu pun tidak boleh membiarkan orang lain mencium tangannya jika sifat takabur akan tumbuh di dalam hatinya.
Salah satu bukti konkrit mengenai kesuksesan keikutsertaan kyai dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara adalah ketika KH. Abdurrahman Wahid (alm) terpilih sebagai presiden RI. Bahkan proses terpilihnya beliau sebagai presiden adalah proses Pemilu yang paling dermokratis sepanjang sejarah kekuasaan di Indonesia. Tidak sampai di situ, jajaran kabinet kementrian dan kursi-kursi di lembaga lain tidak pernah tidak diisi oleh sosok kyai.
Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan pesantren kurang mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah. Keterpurukan malah dialami pesantren ketika para santri dan kyai yang ada di lingkungan tersebut harus didata karena isu teroris. Kaca mata masyarakat umumnya memandang kultur dan latar belakang pesantren sebagai jalan pintas juga alternatif terakhir dan ortodok. Jika anak-anak mereka sakit, terhambat biaya atau mengalami kelainan, tujuan pendidikan yang mereka pilih adalah pesantren. Padahal sudah terbukti bahwa lulusan pesantren telah banyak mencetak anak bangsa yang berkwalitas.
Keberadaan sosok kyai semakin lama semakin langka. Mereka seperti bahan bakar minyak yang tidak dapat diperbaharui, jika sudah ditambang maka akan habis persediannya. Padahal dari 3 milyar lebih penduduk dunia, mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Di lain pihak perusahaan pencetak kader-kader kiyai (pesantren) lambat laun akan mengalami kerusakan sistemik yang diakibatkan berbagai masalah yang kompleks dan rumit. Sekaranglah saatnya bagi generasi muda menerima tongkat estafet dari para pendahulunya serta mengemban tugas meneruskan perjuangan yang telah mereka lakukan dengan mempertaruhkan harta, tenaga, pikiran dan waktu. Mereka akan merasa bangga jika tapak tilas mereka yang tersisa saat ini bisa dikembangkan.[9]
Kehidupan umat yang religius perlu dibina dan dikembangkan dalam kegiatan kemasyarakatan. Dalam kehidupan beragama tercermin dalam peran serta umat beragama dalam membangun insan seutuhnya yakni membangun lahir batin, jasmani dan rohani, material dan spiritual, kebaikan dunia dan akhirat. Disinilah peran penyuluh agama dalam membina dan membimbing masyarakat. Penyuluh agama sendiri merupakan bagian dari da’i yaitu orang yang melaksanakan tugas Dakwah.[10] Tugas tersebut sebagaimana dalam firman Allah surat An-Nahl 125 :
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya :Serulah (Manusia)kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan baik. Sesunguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
 (Q.S. An-Nahl : 125).[11]

2)      Tugas Ulama atau Kiai
Murtadha muthahhari, dengan judul “muthahhari sebuah model buat para ulama. Dalam pengantar buku”perspektif al-qur’an tentang manusia dan agama”. Jalaluddin rahmat mengatakan :
Ain Najaf, dalam qiyadatul ulama wal ummah menyebutkan enam tugas ulama/kyai :
a)      Tugas intelektual (al-amal al-fikriya), ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majlis-majlis ilmu, pesantren atau lewat menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi Al Quran, al Hadits, aqoid, fiqh, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, biologi, kimia, fisika, dan membuka perpustakaan ilmiah.
b)     Tugas bimbingan keagamaan, ia harus menjadi rujukan (marja’) dalam penjelasan halal dan haram, ia mengeluarkan fatwa tetang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum islam.
c)      Tugas komunikasi dengan umat (al-ittisal bil ummah), ia harus dekat denga umat yang di bimbingnya. Ia tidak boleh berpisah dengan membentuk kelas elit. Akses pada umatnya diperoleh melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap daerah secara permanent, atau menyampaikan khutbah.
d)     Tugas menegakkan syiar Islam, ia harus memelihara, melestarikan dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukan dengan membangun masjid, meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya, menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam kehidupan akhlak dengan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW, sambil menghilangkan bid’ah-bid’ah jahiliyah.
e)      Tugas memepertahankan hak-hak umat, ia harus tampil membela kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas, ia harus berjuang meringankan penderitaan mereka dan membebaskan belenggu-belenggu yang memasang kebebasan mereka.
f)       Tugas berjuang melawan musuh Islam dan muslimah, ulama adalah mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dari lidah, tetapi dengan tangan dan dada. Mereka selalu mencari syahadah sebagai kesaksian akan komitmennya yang telah terhadap Islam.[12]
Hadist riwayat Abu Daud dan Tirmizi mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi (inna al-ulama’ waratsatul anbiya’).[13] Hadist itu merupakan statemen deklaratif dari suksesi tugas kenabian yang dialihkan kepada ulama’ yang dalam sosiologi masyarakat muslim Indonesia dikenal dengan swebutan kiai, memiliki fungsi yang bertugas untuk menjaga, melestariakan, mengembangkan dan mengamalkan risalah Rosulullah SAW di tengah-tengah kehidupan manusia. Fungsi tersebut tidak ringan namun suci dan mulia, membutuhkan sikap rela berkorban, tulus iklas, dan semata-mat ingin mendapat izzatul Islam walmuslimin.
Tugas-tugas ulama atau kiai terdiri dari :
1.      Menyampaikan (tabligh) ajaran-ajaran Al-qur’an kepada umatnya, sesuai dengan perintah Allah.
2.      Menjelaskan isi kandungan Al-qur’an untuk pedoman hidup bagi umatnya.
3.      Memutuskan perkara atau problem yang di hadapi masyarakat.
4.      Memberikan contoh pengalaman yang sesuai hadist Rosulullah.
Senada dengan hal diatas, Header Nashir mengatakan bahwa ulama’ atau kiai dalam perjalan sejarah bangsa mampu tampil menjadi religius power  dalam kehidupan kolektif umat, dan juga dapat tampil sebagai kekuatan social kemasyarakatan yang handal. Lebih lanjut ia mengemukakan; “para kiai atau ulama’ bukan saja sebagai figure yang alim dalam penguasaan ilmu sehingga menjadi tempat bertanya sebagai hakekat maslah kehidupan, shaleh dalam perilaku sehingga menjadi tauladan dan cortoh kearifan, tetapi juga tampil sebagai figure atau tokoh pemandu umat dalam dinamika kehidupan uamat beragama.”[14]
  1. Kenakalan Remaja
a.      Pengertian Kenakalan Remaja
Menurut Drs. Simanjutak, pengertian kenakalan remaja ialah suatu perbuatan itu disebut kenakalan apa bila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Sedangkan Drs. Bimo Walgito merumuskan kenakalan remaja adalah tiap perbuatan yang bila dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan itu merupakan kejahatan, jadi perbuatan yang melawan hukum yang dilkukan olehanak, khususnya anak remaja.
Agus Suyanto menerjemahkan kenakalan remaja dengan istilah bahwa perbuatan salah satu perbuatan yang dilakukan remaja masih dapat dibenarkan atau diperbaiki. Terdapat beberapa bentuk kesesatan yang bisa dilakukan oleh pemuda yakni; Habit diturbance, ialah gangguan kebiasaan atau kekeliruan kebiasaan yang merupakan perbuatan-perbuatan yang tidak merugikan orang lain, tetapi perbuatan tersebut sebagai suatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pemuda, Conduct Disorder, ialah gangguan-gangguan dalam tindakan sehari-hari. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak remaja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat.

Sedangkan Pengertian kenakalan remaja Menurut Paul Moedikdo, adalah :
1.      Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.
2.      Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
3.      Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.
Dewasa ini pengertian kenakalan remaja berkembang lebih luas lagi, yakni meliputi pengertian yuridis, sosiologis, moral dan susila. Jadi perbuatan-perbuatan tersebut menyalahi undang-undang yang berlaku sebagai hukum positif, melawan kehendak masyarakat, tidak mengindahkan nilai-nilai moralbdan antib susila. Akibatnya perbuatan-perbuatan kenakalan remaja tersebut sering menimbulkan keresahan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.[15] 
Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescence yang artinya”tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.[16]
Menurut Melly Sri Sulastri Rifai, remaja adalah pemuda pemudi yang berada pada masa perkembangan yang disebut masa “adolensi” (masa menuju kedewasaan) masa ini merupakan taraf perkembangan dalam kehidupan manusia, dimana seseorang sudah tidak dapat disebut anak kecil lagi, tetapi juga belum dapat disebut orang dewasa, taraf perkembangan ini pada umumnya disebut masa pancaroba atau masa peralihan dari masa anak-anak menuju ke arah kedewasaan.[17]
Menurut Andi Mappiare, remaja adalah suatu tingkat umur dimana anak-anak tidak lagi anak, akan tetapi belum dapat dipandang dewasa, jadi remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur dewasa.[18]
Secara umum manusia dibesarkan oleh lingkungan masyarakatnya. Ia hidup di dalamnya, bernaung di bawah nauangnya, dan harus beradaptasi dengan segala kondisi yang melingkupinya., lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap individu yang hidup di dalamnya, terutama kehidupan para remaja. Sebab, secara tabiat, manusia merupakan makhluk sosial. [19]
Proses pendidikan yang baik dan benar harus mengacu pada nilai-nilai Islam yang diterapkan sedini mungkin kepada anak-anak. Apabila proses tersebut dapat berjalan dengan baik, kita akan melihat munculnya generasi muda yang memiliki komitmen yang kuat. Mereka kelak menjadi pemuda yang akan mendapatkan naungan Allah pada saat kiamat tiba. Mereka adalah para pemuda yang selalu siap mengemban misi kemanusiaan kepada masyarakat yang ada di lingkungannya dan siaga dalam memenuhi panggilan yang diserukan oleh negara.[20]
Akan tetapi, hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. Sebab, banyak faktor eksternal yang memengaruhi para remaja dan memperlemah pembentukan kpribadian mereka, di samping beberapa faktor internal dari dalam diri mereka yang sangat berpengaruh bagi mereka. Dan, di antara faktor yang mempengaruhi remaja adalah sikap meremehkan dan melalaikan proses pendidikan itu sendiri.
Semakin banyak faktor yang mempengaruhi remaja dalam membentuk kepribadiannya, semakin banyak pula penyimpangan yang akan di timbulkan penyimpangan ini- penyimpangan ini sangat berbahaya dan rentan menimpa para remaja karena mereka sedang mengalami masa transisi menuju kedewasaan. Apabila hal ini tidak ditangani secara serius, penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat menjadi momok yang menakutkan, bahkan bisa berujung pada pembangkangan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan terapi yang bijak, agar terapi dapat dilakukan dengan bijak, harus dipelajari terlebih dahulu inti permasalahan yang sedang dihadapi dengan teliti dan cermat. Sehingga, hasil yang diperoleh dapat menjadi acuan untuk memperbaiki langkah kedepan. Terapi ini akan lebih efektif apabila dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Sebab, secara tidak langsung, lembaga-lembaga tersebut memiliki peran dalam penyimpangan generasi muda. Dan, melibatkan lembaga-lembaga institusi yang ada, akan muncul tanggung jawab bersama dalam memberikan solusi.
b.      Macam-macam Kenakalan Remaja
1.      Meninggalkan kewajiban dan ketaatan
 Tidak diragukan lagi, bahwa ibadah merupakan rahmat bagi seorang hamba dan menjadi penolong bagi dirinya untuk menhadapi kejelekan. Meninggalkan ibadah adalah bahaya besar, bencana dan krisis berat.
Shalat adalah tiangnya agama. Meninggalkan shalat krisis, bahkan termasuk  krisis yang paling berat yang menimpa seorang muslim. Sebab orang yang mengerti kedudukan shalat dalam Islam, memahami keutamaan dan besarnya pahala menunaikan shalat, memahami bahwa shalat adalah amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat, apabila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya dan apabila shalatnya rusak maka rusak semua amalnya, bahwa shalat adalah hak Allah atas hambanya yang telah diciptakannya, hamba yang telah disempurnakannya, hamba yang telah diberi rizkinya dan diberi nikmat yang tidak dihitung, bahwa shalat dapat menghindarkan seorang muslim dari kejahatan sebab shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah Swt Surat An-Nahl :43
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
.Artinya : padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan menunaikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demekian itulah agama yang lurus. (Q.S. An-Nahl : 43).[21]
Puasa bulan ramadan yang penuh berkah atau pada bulan-bulan lain bagi yang menghendaki, adalah ibadah dan amal ketaatan. Puasa adalah pendekatan kepada Allah Swt, yang tidak diketahui pahalanya kecuali oleh Allah semata. Orang yang tidak sabar untuk menunda waktu makan dari waktu zuhur sampai waktu Magrib itu bukan manusia. Sebab diantara keistimewaan manusia adalah dai dapat mengendalikan syahwat, bukan dikendalikan nafsu, yang dapat menjadikan akan sebagai majikan bagi hawa nafsu, dan bukan menjadikan hawa nafsu sebagai penawar akalnya, mampu memprioritaskan ketaatan atas kemaksiatan dan ridha Allah atas murka-Nya.[22]
2.      Penyimpangan moral
Penyimpangan moral terjadi disebabkan oleh seseorang yang meninggalkan perilaku baik dan mulia, lalu menggantinya dengan perbuatan yang buruk, seperti bersikap tidak mau tahu dengan lingkungan sekitarnya, cepat terbawa arus, tidak menjaga kehormatan diri, mengajak perempuan tanpa mahram jalan-jalan, mengikuti gaya dan mode barat, tawuran, dan nongkrong dipinggir-pinggir jalan.
3.      Penyimpangan Agama
Penyimpangan dalam bidang Agama terlihat dari sikap ekstrem seseorang dalam memahami ajaran agama, sehingga ia fanatik terhadap mazhab atau kelompoknya, memilih untuk tidak bertuhan (atheis) terhadap keyakinannya sendiri dan agama yang dianutnya, memperjualbelikan ajaran agama, dan arogan terhadap prinsip-prinsip yang dipegang atau ajaran-ajaran tokoh masyarakatnya.[23]
4.      Penyimpangan Mental
Penyimpangan dalam dalam masalah mental atau kejiwaan dapat dilihat dari sikap yang merasa tersisih, kehilangan kpercayaan diri, kehilangan harapan masa depan, merasa selalu sial dan cepat putus asa, gelisah, bimbang dan sering bingung, malakuakan hal yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya, mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat, selalu bertindak ikut-ikutan tanpa tahu alasannya, hanya melihat orang dari penampilan luar saja, atau suka meniru orang lain.[24]
5.      Khomer
Khomer termasuk salah satu minuman yang tercela menurut agama Islam untuk diminum oleh pemeluknya, tercela tersebut didasarkan kepada bahaya buruk yang berakibat bagi kehidupan fisik dan mental. Ajaran Islam menilai minuman khomer sebagai perbuatan keji, sejajar dengan perbuatan judi dan kurban-kurban untuk berhala.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya ; Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah)
Pada asalnya, celaan minuman khomer lebih dititikberatkan kepada penderitaan yang akan menimpa peminumnya yakni; penyakit jiwa, penyakit otak dan jantung. Jika diperhitungkan dalam persentase, arak yang mengandung alkohol tujuh sampai sepuluh persen belum dapat memabukkan, akan tetapi dapat melemahkan fungsi beberapa urat syaraf. Apabila arak mengandung alkohol sepuluh sampai lima belas persen, maka peminum akan mabuk dan mengalami kerusakan beberapa fungsi urat syaraf. Sedangkan dipasaran umum, dewasa ini banyak minuman keras yang mengandung alkohol dengan persentase yang sangat tinggi.
Dari segi keturunan, peminum minuman keras dapat merusak kesehatan dan keberhasilan keturunan. Berdasarkan penyelidikan ilmiah di bidang ilmu ketokteran, peminum khomer dan minuman-minuman keras lainnya ada kemungkinan dapat berakibat buruk terhadap keturunan atau anak-anaknya. Dalam salah satu penyelidikan pernah dijumpai seorang anak berumur kurang dari delapan tahun yang sering menderita sakit ingatan, disamping itu kadang-kadang marah yang luar biasa. Menurut hasil penyelidikan dokter, penyakit tersebut memiliki korelasi relevan dengan kebiasaan minum-minuman keras yang dilakukan oleh ayahnya, jadi keras sebagai penularan dari perbuatan yang telah dilakukan oleh ayahnya. Dewasa ini timbul gejala, kebiasaan minum-minuman keras yang terjadi di kalangan usia remaja pada umumnya untuk pemuasaan nafsu belaka; disamping untuk memenuhi dorongan mental tidak sehat.[25]
c.       Faktor-faktor yang mempengaruhi Kenakalan Remaja
1.      Faktor masyarakat
Segala fenomena yang bersifat sosial kemasyarakatan maupun yang tidak, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari adanya sebab-akibat tertentu yang dapat menjadikan suatu fenomena tersebut terus berlangsung dan terwujud.
Hal ini tidak bisa dilepaskan terhadap adanya fenomena yang terjadi, fakta yang bergejolak diantara kenakalan remaja adalah berbagai persoalan yang muncul di masyarakat sebanyak-banyaknya dalam fakta yang terjadi dilapangan. Kita juga menengok perubahan-perubahan sekecil apapun dan faktor-faktor yang menjadi penopangnya.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adanya permasalahn remaja ini adalah, bahwa sesungguhnya kita tidak akan mampu menggapai tujuan yang diharapkan dan cita-cita yang diinginkan yakni cita-cita untuk mencapai perdamaian di antara generasi muda, meluruskan hal-hal yang menyimpang, menanamkan kekuatan pilihan dan menyinkirkan duri-duri dari jalan, selama kita tidak pernah menghilangkan yang terlihat cukup samar, mengobati penyakit-penyakit yang utama dan menghilangkan dasar-dasar krisis dari akarnya.[26]
Hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan rasional, karena faktor-faktor permasalahan remaja tersebut telah melibatkan masyarakat, atau justru sedang terjadi dalam sebuah keluarga. Maka terjadilah ancaman-ancaman terhadap pintu keimanan. Oleh karena itu, bardasarkan fenomena di atas, marilah kita sebagai seorang remaja untuk menghindari hal-hal yang menjadikan citra buruk dimata masyarakat. Semoga sja kita akan mendapatkan orang-orang pilihan dari sisa generasi muda kita yang masih ada dan mampu menunjukkan eksistensi pada dri kita.[27]
2.      Faktor budaya
Adalah pindahnya sebuah perilaku dari seseorang kepada orang lain. Hal itu dapat terjadi karena manusia memiliki tabiat atau kebiasaan untuk meniru orang lain dan mengikuti perbuatannya. Itu sebenarnya muncul disebabkan oleh kelemahan manusia itu sendiri. Kebiasaan meniru perilaku orang lain dapat anda dilihat khususnya pada diri anak-anak. Namun, kebiasaan ini juga individu maupun kelompok. Sikap ini muncul karena adanya perasaan tidak berdaya dan merasa takut berhadapan dengan orang atau kelompok yang lebih kuat. Namun adakalanya orang meniru perilaku yang baik dan tindakan yang benar atau justru sebaliknya. Dalam riwayat Al-Bukhari dikatakan, “sekalipun mereka melintasi lubang biawak, pasti kalian akan melaluinya juga”. Imam Al-Nawawi berkomentar, “Ynag dimaksud dalam hadis diatas adalah meniru dalam kemaksiatan, perbuatan, dan tindakan yang dilarang, hingga tindakan-tindakan yang menyebabkan kekufuran. Dalam hadis ini terkandung mukjizat yang jelas bagi Rasulullah Saw”.[28]
Menurut Emil H. Tambunan, (1985 : 46-51). Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja dibagi menjadi empat  yaitu:
a)      Faktor Keturunan
Meskipun kenakalan bukanlah faktor biologis namun faktor keturunan sangat berpengaruh. Lueila Cole mengatakan dalam bukunya, Psychology of Adoloscence, bahwa faktor keturunan dimaksud adalah warisan yang dimiliki. Penyebabnya antara lain keturunan keluarga yang buruk, sebagai akibat lemah pikiran, sakit saraf. Akibatnya, si anak kurang dapat menyesuaikan diri, lambat belajar dan kurang dapat menghargai nilai-nilai hidup yang baik. Sedang yang lain mungkin mempunyai tenaga berlebihan, pernah semangat sehingga ia tampak sangat aktif, dan seolah-olah suka menindas dan mau berkelahi saja. Reiss mengatakan bahwa pengendalian ego/kelakuan yang lemah, ataupun mungkin terlalu besar, mendorong anak bertindak tanpa pertimbangan-pertimbangan yang pasti, serta tidak sesuai dengan ukuran yang digariskan dalam norma masyarakat setempat.
b)     Faktor Kejiwaan
Di dalam bukunya, Cole mengungkapkan bahwa motivasi kenakalan di tinjau dari segi kejiwaan antara lain, perasaan anak yang interior, tidak merasa aman karena tidak merasa diterima di rumah oleh orang tua, oleh anggota masyarakat, oleh guru-guru di sekolah, juga karena frustasi yang bertumpuk-tumpuk, timbulnya permusuhan dan pertentangan, emosi yang tidak dewasa, sifat agresif sebagai akibat gangguan-gangguan emosional, penyesuaian diri dengan anak-anak nakal lainnya, dorongan hati yang kuat, ego yang tidak terkendali. Bila anak tidak mendapatkan penghargaan, tidak diterima baik di rumah akan melakukan konpensasi yang umumnya bersifat negatif. Sekedar mencari nama, mencari kepopuleran si anak melakukan tindakan agresif. Tak heran kalau ada anak melakukan tindakan sadis hanya dengan motif agar dia terkenal dimana-mana.
c)      Faktor lingkungan.
Setiap orang sangat akrab dengan lingkungannya, dari lingkungan itulah orang belajar apakah hal yang baik atau buruk. Demikianlah anak remaja yang sedang tumbuh dan berkembang itu sangat mudah terpengaruh dengan keadaan sekeliling dimana anak tinggal. Dan para ahli menekankan bahwa kondisi sosial di daerah anak tinggal akan menentukan tingkat kenakalan itu, kondisi sosial antara lain: 1). Masalah kemiskinan, 2).Pendidikan orang dewasa yang rendah di tempat itu. 3). Hambatan-hambatan di sekolah seperti guru yang kejam, fasilitas yang kurang memadai, kurikulum yang tidak sesuai dengan kemampuan dan tujuan pendidikan anak. 4). Kurangnya fasilitas rekreasi. 5). Kepadatan penduduk. 6). Kurangnya kegiatan anak-anak yang terorganisasi.
d)     Faktor keluarga
Keluarga adalah yang mendasari segala segi perkembangan pribadi seorang anak. Sejak anak lahir sampai dewasa, ia mendapatkan dasar-dasar hidup disana. Dasar-dasar itu langsung diperolehnya dari ibu dan ayahnya. Disinilah sang anak bertumbuh dan berkembang. Menurut pengalaman yang dipelajarinya dari sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua. Dalam masalah kenakalan anak pun, keluarga/rumah tangga tetap menjadi sorotan utama. Pengaruh-pengaruh buruk disana dapat mendorong anak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Pengaruh-pengaruh itu termasuk kondisi seperti: 1. Kemiskinan dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar. 2. Kenakalan yang terdapat di lingkungan rumah tangga di antara orang tua dan saudara-saudara. 3. Rumah tangga yang berantakan misalnya: kematian salah seorang dari orang tua, perpisahan ibu dan ayah, perceraian/karena melarikan diri dari rumah. 4. Kurangnya keamanan jiwa disebabkan orang tua yang terus bertengkar, dan kurangnya stabilitas emosi. 5. Tidak terdapatnya penyesuaian pendidikan, disiplin dan tujuan hidup yang dicita-citakan oleh orang tua buat anaknya. 6. Orang tua yang tidak menaruh perhatian terhadap anak, tidak sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di sekolah.
3.      Faktor Sekolahan
Ajang pendidikan kedua bagi remaja setelah keluarga ialah sekolah. Bagi bangsa Indonesia masa remaja merupakan masa pembinaan, penggemblengan dan pendidikan di sekolah terutama pada masa-masa permulaan. Pada masa tersebut pada umumnya remaja duduk dibangsu sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas atau yang sederajat. Di pondok-pondok pesantren tingakt-tingkat pendidikan tersebut dikenal dengan nama tsanawiyah dan aliyah. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut dikenal juga diluar pondok-pondok pesantren yang secara formal dikelola oleh departemen Agama Republik Indonesia dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain. Di samping itu pelosok-pelosok banyak dijumpai anak-anak remaja yang sudah tidak sekolah dasar atau sederajat
Selama dalam proses pembinaan, penggemblengan dan pendidikan di sekolah biasanya terjadi interaksi antara sesama anak remaja, dan anak-anak remaja dengan sesame pendidik. Proses interaksi tersebut dalam kenyataanya bukan hanya memiliki aspek sosiologis, yang positif, akan tetapi juga membawa akibat lain yang akan memberi dorongan bagi anak remaja untuk menjadi delinkwen (Jahat).
Banyak indikasi yang membuktikan bahwa anak-anak remaja yang memasuki sekolah hanya sebagian saja yang benar-benar berwatak sholeh, sedangkan yang lain adalah pemabuk, peminum, penghisap ganja dan pecandu narkotika. Indikasi yang lain tidak kalah penting dan menarik, terdapat diantaranya mereka pergaulan bebas. Dalam kenyataanya sering terjadi perlakuan guru di sekolah yang mencerminkan ketidakadilan. Kenyataan lain yang masih ditemui adanya sangsi-sangsi yang sama sekali tidak menunjang tercapainya tujuan penididkan. Keadaan tersebut diperberat lagi dengan adanya ancaman yang tidak ada putus-putusnya disertai disiplin yang ketat dan kurang adanya interaksi yang akrab antara pendidik  dan murid serta kurangnya kesibukan belajar di rumah kondisi negative di sekolah tersebut kerap kali memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap anak, sehimngga dapat menimbulkan kenaklan anak atau remaja.[29]  
Selain faktor internal dan eksternal diatas faktor eksternal yang lain yaitu faktor dari sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membina anak didik untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Dalam rangka pembinaan anak didik ke arah kedewasaan itu kadang-kadang sekolah juga menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psokologi anak, sehingga anak menjadi sering bertingkah laku yang negatif di sekolah. Hal ini dapat bersumber dari guru itu sendiri, fasilitas pendidikan yang kurang lengkap, kekurangan guru serta norma-norma pendidikan dan kekompakan guru. Pengaruh negatif yang terjadi pada anak sekolah dapat timbul karena perbuatan guru yang menangani langsung proses pendidikan seperti karena kesulitan ekonomi yang dihadapi atau dialami oleh guru, sehingga guru/pendidik tidak dapat memusatkan perhatian terhadap anak didiknya. Karena kesulitan tersebut ia akan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya diluar sekolah, mungkin ia akan banyak mengajar di sekolah lain (sebagai guru honorair), bisnis dan lain-lain usaha. Sebagai akibatnya guru datang terlambat, tidak bisa mengajar dan sebagainya. Sehingga murid-murid di liburkan atau di pulangkan. Jika peristiwa ini sering terjadi, maka murid menjadi dongkol, resah, berkeliaran tanpa pengawasan guru, kelas menjadi kacau, mereka menjadi terbiasa tidak terawasi, tanpa disiplin dan menjadi liar. Maka terjadilah pengotoran kelas, pencurian di kelas, perkelahian antar kelompok siswa, pembolosan dan lain-lain.[30]
3.          Peran Kiai Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja
Secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi.[31]
Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas.[32] Prinsip demikian koheren dengan argumentasi Geertz (1981) yang menunjukkan peran kiai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara budaya (cultural broker).[33]  Ini berarti, kiai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya. Sejak Islam menjadi “agama resmi” orang Jawa, para penguasa harus berkompetisi dengan pembawa panji-panji Islam atau para kiai dalam bentuk hirarki kekuasaan.
Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Mayoritas kiai di Jawa beranggapan bahwa sebuah pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Meskipun kiai di Jawa tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa.
Masa remaja merupakan masa mencari identitas diri. Remaja mempunyai keinginan yang besar untuk mencoba sesuatu yang baru. Keinginan tersebut kurang diperhitungkan untung ruginya atau dampak positif dan negatifnya. Dengan demikian kehidupan remaja sangat penting dan strategis karena dapat menentukan kemajuan bangsa dan Negara. Hal ini terjadi seiring dengan angan-angannya yang tinggi. Sementara emosinya belum stabil, mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sepele atau yang menarik bagi dirinya. Remaja merupakan harapan bangsa dan Negara, cerah mendungnya suatu bangsa dan Negara tergantung kepada remaja saat ini.
Kehidupan remaja merupakan masa yang paling indah, pada masa remaja ini dapat merasakan manisnya kehidupan “kebenaran” menjalani kehidupan dimulai pada masa remaja mereka bebas memilih teman yang disenangni, menentukan hoby atau remaja bebas menentukan gaya hidupnya sendiri.
Perilaku menyimpang sebagian remaja dan pemuda kita dewasa ini sering semata dipikulkan pada lembaga pendidikan formal. Dalam keluarga menunjukkan hasil yang baik, maka diprediksikan mereka akan membawa warna baik pada pranata barunya. Karenanya, ketika kita menghadapi masalah kenakalan remaja, maka kita selayaknya mengadakan Retrospeksi terhadap peran keluarga dalam “Mencetak” watak anak yang berbudi mulia. Untuk selanjutnya mencarikan solusi yang tepat guna mencegah munculnya wabah penyimpangan remaja yang kian hebat.
Dalam menyampaikan ajaran dan nilai-nilai kepada remaja perlu keterlibatan semua pihak. Baik itu guru, orang uta, tokoh agama, pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Hal ini penting dilakukan karena remaja hidup dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Dalam prakteknya, remaja membutuhkan idola panutan, teladan atau contoh konkrit dalam berperilaku. Ini penting mengingat remaja belum mempunyai kriteria dan indicator yang jelas. Bagaimana seharusnya berbuat, sehingga yang dilakukan relative lebih banyak bersifat coba-coba.
Selain dalam pendidikan formal dan pendidikan agama lebih leluasa diberikan dalam pondok pesantren. Dalam pondok pesantren tumbuh suasana dan lingkungan hidup yang religius. Dengan lingkungan yang religius diharapkan dapat mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Setelah keluar dari pondok pesantren, remaja berkembang sebagai tokoh agama yang handal di masa depannya.
Jadi peran kiai dalam mengatasi kenakalan remaja adalah agar para remaja tidak melakukan tindakan yang melanggar dari ajaran agama Islam, para remaja terhindar dari minum-minuman keras, mau melaksankan sholat lima waktu, serta mau menjalankan perintah agama Islam yaitu puasa wajib di bulan suci ramadhan




[1] M. Darwan Raharjo (ed.), Pesantren dan pembaharuan, Jakarta : LP3ES, 1988 hlm . 32
[2] Manfred Ziemek, pesantren dalam perubahan social, Jakarta : P3M, 1986, hlm. 131
[3] Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar, Surabaya : 2005
[4] Manfred ziemek, pesantren dalam peurbahan social, Jakarta: P3M, 1986, hlm. 131
[5] Karel A. Steenbrink, Pesantren,  Madrasah, Sekolah , (Jakarta ; LP3ES, 1986),  109
[6]Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai (Kasus Pondok Pesantren Tebuireng),(Malang,; Kalimashada Press, 1993), 45
[7] Rosehan Anwar, Ulama dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Pendidikan, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama, Jakarta Pusat : 2003, hlm 69
[8] Ibid, hlm 14
[10] Rafiudin, et, al, Op, Cit, hlm 48
[11] Hafizh Dasuki, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Jaya Sakti, Surabaya : 1997.
[12] Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Quran tentang manusia, Bandung : 1995, hlm. 13-14
[13] Muhyidin, Riyadhus Sholihin, pekalongan : Raja Murah,t.t. hlm 531
[14] Kutowijoyo, Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Baru, Bandung; 1995, hlm.57
[15] Opsit, Sudarsono, Etika Islami Tentang Kenakalan Remaja
[16] Mohammad Ali, Mohammad Asrori, psikologi remaja perkembangan peserta didik, PT Bumi Aksara, Jakarta : 2009, hlm 9

[17] Melly Sri Sulastri Rifai, Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.
[18] Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm
[19] Muhammad Al-Zuhaili, Menciptakan Remaja Dambaan Allah, Panduan Bagi Orang Tua Muslim, PT Mizan Pustaka, Bandung : 2004, hlm 196
[20] Ibid, hlm 146
[21] Hafizh Dasuki, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Jaya Sakti, Surabaya : 1997, hlm
[22] Muhammad Ahamd Kan’an, Op, Cit. hlm 132-134
[23] Muhammad Al-Zuhaili, Op, Cit, hlm 149-150
[24]  Muhammad Al-Zuhaili, Op, Cit, hlm 150-151
[25] Sudarsono, Op, Cit, hlm 66-67
[26] Muhammad Najib Salim, Mengapa Remaja Cenderung Bermasalah?, Inspirasi, jogjakarta : 2006, hlm 204-205
[27] Ibit, hlm 207
[28] Muhammad Al-Zuhaili, Op, Cit, hlm 205-207
[29] Sudarsono, Op, Cit, hlm 24-27
[31] Karel A. Steenbrink, Pesantren,  Madrasah, Sekolah , (Jakarta ; LP3ES, 1986),  109
[32]Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren  Education , The Impact  of  Pesantren in Education and Community Development in Indonesia  (Berlin; Technical University Berlin, 1987), 200
[33]Clifford Geertz, The Javanese Kijaji:The Changing Role of a Cultural Broker, "Comparative Studies on Society and History, vol.2. (Cambridge,1960), 229

0 Response to "PERAN KYAI DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA"

Post a Comment