TINJAUAN
UMUM TENTANG GADAI
A. Keterangan Umum
Gadai
Islam
telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong
menolong dengan berdasarkan rasa tanggungjawab bersama, jamin menjamin dan
tanggung menanggung dalam hidup bermasyarakat. Islam juga mengajarkan agar
dalam hidup bermasyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan
praktik-praktik penindasan dan pemerasan.
Salah
satu contoh ajaran Islam adalah hak milik perorangan dalam ajaran Islam adalah
tidak mutlak, tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan; pemilik
benda tidak sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam usaha
mengembangkan harta benda, Islam melarang cara-cara yang mengandung unsur
penindasan, pemerasan atau penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya
dengan memberikan pinjaman uang kepada orang lain yang amat membutuhkan, tetapi
dengan dibebani kewajiban tambahan dalam membayarkannya (kembali) atau menyita
dan menguras sebagian benda sebagai imbangan jangka yang telah diberikan
memberatkan pihak peminjam.
Terkait
dengan hal tersebut diatas, lebih lanjut akan dibahas secara sistematis tentang
perjanjian utang-piutang khususnya perjanjian utang piutang gadai yang sesuai
dengan ajaran Islam. Sedangkan sistematika pembahasannnya dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
- Pengertian
Gadai
Perjanjian
dalam Islam disebut (rahn), yaitu
perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata (rahn) menurut bahasa berarti “tetap”,
“berlangsung” dan “menahan”.[1]
Sedangkan
menurut istilah sebagai berikut:
الرهن: عقديتضمن جعل عين مالية وثيقة بدين يستوفى منهاعند تعدرالوفاء
Artinya:
“Suatu akad dengan menjadikan barang
yang bernilai harta sebagai tanggungan/jaminan atas hutang ketika berhalangan
dalam membayar hutang”.[2]
الما ل الذ ى يجعل وثيقة با لد ين ليستو فى من ثمنه ان تعدر استفا
ؤه ممن هو له
Artinya:
“Harta yang dijadikan jaminan hutang
sebagai pembayar harta (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak
mampu) membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman”.[3]
Sedangkan menurut
Imam Abu Zakariya Al-Anshari dalam kitabnya Fathul
Wahhab mendefinisikan rahn
sebagai berikut:
جعل عين مال وثيقة بدين يستو فى
منهاعندتعذروفا ئه
Artinya:
“Menjadikan suatu benda yang
bersifat harta sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayaran ketika
berhalang dalam membayar hutang”.[4]
Selanjutnya
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayat al Ahyar fii Halli Ghayati al-Ikhtisar berpendapat bahwa rahn adalah:
جعل مال وثيقة بدين
Artinya:
“Menjadikan harta
sebagai kepercayaan/penguat hutang”.[5]
Lebih lanjut
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mengatakan bahwa barang-barang yang dapat
dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijualbelikan. Artinya
semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Dari
ketiga definisi diatas dapat disimpulkan rahn
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau penguat kepercayaan
dalam utang piutang dan barang jaminan itu boleh sebagai pembayar harga atau
dijual kalau hutang tidak dapat dibayar.
2. Sifat Gadai
Secara
umum rahn dikategorikan sebagai akad
yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai rahin kepada penerima gadai murtahin
tidak ditukar dengan sesuatu.[6]
Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Rahn juga
termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminjam, titipan
dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah
memegang Alqabdu sesuai kaidah:
لا يتم التبر ع إلابالقيض (tidak sempurna tabarru’ kecuali setelah
pemegangan).[7]
3. Dasar Hukum
Gadai
Gadai
disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah:
a. Dalil dari
Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat
283 yang berbunyi sebagai berikut:
وان كنتم على سفرولم تجدوا
كاتبافرهان مقبوضة وان امن بعضكم بعضا فليؤدالذىاؤتمن امانته وليتق الله ربه (البقر ة: ۲۸۳)
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dalam
muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya”. (Al-Baqarah: 283).[8]
b. Dalil dari As-Sunnah
عن انس قال رهن رسول الله صلى الله عليه وسلم درعاعنديهودي
بالمدينة واخذمنه شعيرالاهله (رواه احمد والبخارى والنسا ئى وابن ماجه)
Artinya:
Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah
SAW telah menggadaikan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Masinah,
sewaktu beliau menghutang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah
(keluarga) beliau”. (HR. Ahmad, bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).
c. Ijma’ Ulama
Pada
dasarnya para ulama’ telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para
ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan
hukumnya. (Jumhur) ulama’ berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak
bepergian maupun pada waktu bepergian.[9]
4. Hukum Gadai
فان
امن بعضكم بعضا فليؤدالذىاؤتمن امانته .....
(البقر ة: ۲۸۳)
Artinya:
“Akan tetapi, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya (utangnya)”.
(QS. Al-Baqarah: 283).[10]
Selain itu,
perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut
dilakukan ketika tidak ada penulis padahal hukum utang sendiri tidaklah wajib,
beitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.[11]
5. Rukun Dan
Syarat Sah Gadai
a. Rukun gadai
Rukun gadai ada 5 (lima ) yaitu:
1) Orang yang
menggadaikan (rahin)
2) Barang yang
digadaikan (marhun)
3) Orang yang
menerima (murtahin)
4) Sesuatu yang
karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad gadai (shigat)
5) Utang (marhun bih)[12]
b. Syarat sah
gadai
Disyaratkan untuk sahnya
akad gadai sebagai berikut:
1) Ijab qabul (sighot)
Hal ini dapat dilakukan
baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung
maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2) Orang yang
bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) adalah:
a) Telah dewasa
b) Berakal
c) Atas keinginan
sendiri
3) Adanya barang
yang digadaikan (marhun)
Syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh pemberi gadai (rahin) adalah:
a) Dapat diserah
terimakan
b) Bermanfaat
serta bernilai harta
c) Milik orang
yang menggadaikan (rahin)
d) Jelas
(tertentu)
e) Tidak bersatu
dengan harta lain
f) Dikuasai oleh rahin
g) Harta yang
tetap atau dipindahkan[13]
Dalam
ketentuan marhun tidak termasuk
barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan.
Bahwa
barang-barang yang tidak diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali
tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman
dan buah-buahan dipohonnya belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan
barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur-unsur
tipuan gharar bagi murtahin. Dinyatakan tidak mengandung
unsur gharar karena piutang murtahin
tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami
kerusakan.[14]
4) Utang (marhun bih)
Menurut ulama Hanafiyah
dan syafi’iyah utang yang dapat dijadikan alasan gadai adalah:
a) Berupa utang
yang tetap dapat dimanfaatkan
b) Utang harus
lazim pada waktu akad
c) Utang harus
jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
Jika
ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murtahin, maka
ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika
murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan
adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin dengan
disuruh bersumpah, kecuali jika rahin
bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya. Karena Rasulullah
SAW bersabda:
ﻓﺎﻟﺒﻴﻨﺔﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺪﻋﻰﻭﺍﻟﻴﻤﻴﻦﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺪﻋﻰﻋﻠﻴﻪ
(رواه البيهفى )
Artinya:
“Barang bukti yang dimintakan dari
orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang diklaim”. (HR.
Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
6. Perlakuan Bunga
Dan Riba Dalam Perjanjian Gadai
Dalam
perjanjian gadai yang pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang,
dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam
perjanjian gadai diharuskan memberi tambahan sejumlah uang atau presentase
tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang
telah ditentukan oleh murtahin. Hal
ini sering disebut dengan bunga gadai dan perbuatan yang dilarang oleh syara’.[15]
7. Berakhirnya Hak
Gadai
Gadai
dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti membebaskan hutang, hibah,
membayar hutang dan lain-lain yang akan dijelaskan dibawah ini:
a. Rahin
melunasi semua utang
Yakni orang yang
menggadaikan barang (rahin) telah
melunasi semua kewajibannya kepada orang yang menerima gadai (murtahin).
b. Rukun dan
syarat gadai tidak terpenuhi
c. Baik rahin maupun murtahin atau salah satunya ingkar dari ketentuan syara’ dan akad
yang telah disepakati oleh keduanya.[16]
d. Marhun
diserahkan kepada pemiliknya
Jumhur
ulama selain Syafi’i memandang habis rahn
jika murtahin menyerahkan marhun kepada pemiliknya (rahin) sebab marhun merupakan jaminan utang. Jika marhun diserahkan, maka tidak ada lagi jaminan. Selain itu
dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan marhun kepada rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.
e. Gadai habis jika
hakim memaksa rahin untuk menjual marhun, atau hakim menjualnya jika rahin menolak.
f.
Pembebasan utang, dalam bentuk apa saja, menandakan
habisnya gadai meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
g. Rahin
meninggal
Menurut ulama Malikiyah,
rahn habis jika rahin meninggal sebelum menyerahkan marhun kepada murtahin.
Juga dipandang batal jika murtahin meninggal
sebalum mengembalikan marhun kepada rahin.
h. Gadai dipandang
habis apabila marhun di tasharrufkan seperti dijadikan hadiah,
hibah, sedekah dan lain-lain atas seizin pemiliknya.
B. Ketentuan
Pelaksanaan Gadai dalam Islam
1. Kedudukan
Barang Gadai
Selama
ada ditangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu
amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.[17]
Bahwa
sebagai amanat, murtahin (penerima
gadai) berkewajiban memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya,
sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut
dapat diadakan persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dengan
ketentuan bahwa persetujuan itu baru diadakan setelah perjanjian gadai terjadi.
Namun akibatnya, ketika perjanjian gadai diadakan, barang ada dipihak ketiga,
maka perjanjian gadai itu dipandang tidak sah; sebab diantara syarat sahnya
perjanjian gadai ialah barang gadai diserahkan seketika kepada murtahin.
2. Pemanfaatan
Barang Gadai
Pada
dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemilik maupun
oleh penerimanya gadai. Hal ini disebabkan statusnya barang tersebut hanya
sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila
mendapat izin dari maisng-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut
boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang tidak
memiliki barang secara sempurna yang memungkinkan perbuatan hukum (barangnya
sudah digadaikan). Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya sewaktu-waktu
atas barang yang telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penggadai terhadap
barang tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai
nilai, tetapi tidak pada nilai guna pemanfaatan/pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak menahan barang
gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan barang hasilnya,
sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi
sebagai pemilik apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu
menjadi miliknya.
Oleh
karena itu diusahakan agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan
jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang
gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan itu dimaksudkan untuk
menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubadzir.[18]
a. Pendapat fuqoha As-Syafi’iyah tentang dibolehkan
pemanfaatan barang gadai
ومنهالوعم فى الناس
إعتيادإباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزله شرطه حتى يفسدالرهن قال الجمهور
"لا" وقال القفال "نعم"
Artinya:
“Jika sudah umum
dikalangan masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadaian oleh
penerima gadai (murtahin) apakah kebiasaan
tersebut sama dengan pemberlakukan syarat (kebolehan pemanfaatan) sampai barang
yang digadaikan itu rusak. Mayoritas ulama mengatakan tidak sama, berbeda
dengan Imam Al-Qaffal”.[19]
وجازلمقترض نفع يصل له من
مقترض كردالزائد قدرااوصفة والأجودللردئ (بلاشرط) فى العقدبل يسن ذلك لمقترض الى
أن قال واماالمقترض بشرط جرنفع لمقترض ففاسدلخبر كل قرض جرمنفعة فهوربا (قوله
فغاسد) قال ع ش ومعلوم ان محل الفسادحيث وقع الشرط فى صلب العقد امالوتوافقاعلى
ذلك ولم يقع شرط فى العقدفلافساد
Artinya:
“Diperbolehkan bagi
si pemberi pinjaman untuk memanfaatkan sesuatu kelebihan yang diperoleh dari
peminjam, seperti pengambilan yang lebih, baik ukuran atau sifat, dn yang lebih
baik pada pinjaman yang jelek, asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai
persyaratan, bahkan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu
(mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya)”.[20]
Adapun
peminjaman dengan syarat boleh mengambil manfaat oleh si peminjam, maka
hukumnya rusak/haram, sesuai dengan hadits “semua peminjaman yang menarik
sesuatu manfaat (terhadap yang dipinjamkannya) maka termasuk riba”.
Dengan
ini diketahui, bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad.
Sedangkan jika keduanya si peminjam dan yang dipinjami saling bersepakat, dan
tanpa ada persyaratan tertentu dalam akad, maka akad itupun tidak rusak
(boleh).[21]
إناباح الراهن للمرتهن الثمارإباحة صحيحة
لم يكن له الرجوع عليه بشيئ
Artinya:
“Jika orang yang
menggadaikan memperbolehkan kepada penerima gadai untuk mengambil buah-buahan
yang pada tanah yang digadaikan, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil
kembali”.[22]
قال شيخ مشا يخنا العلامة المحقق الطنيداوى فيما إذاندرالمديون
للدائن مغفعة الارض المرهونة مدة بقاء الدين في د مته والذى ر أ يته لمتأ خرى
اصحابنا اليمنيين ما هوصريح فى الصحة وممن افتى بذ لك شيخ الاسلام محمدبن حسين
القا مط العلا مةالحسين ابن عبدالرحمن الاهدال.
Artinya:
“Syeh Al-Allamah
Al-Muhaqqiq Al-Thanbadawi berpendapat tentang nadzar orang yang berutang kepada
si penghutang untuk memanfaatkan tanah yang digadaikan selama masa hutang,
masih dalam jaminannya. Dan pendapat yang aku amati dari ulama-ulama Yaman
belakangan ini jelas memperbolehkannya. Demikian halnya yang difatwakan oleh
Syeh Al-Islam Muhammad bin Husain Al-Qammath dan Al-Allamah Al-Husain Ibnu
Abdurrahman Al-Ahdal”.[23]
رهن ارضاو أ باح للمرتهن اوغيره منا فعها مدة بقاءالدين إنتهت
إلاباحة بموت المبيح فيغرم المنافع من حينئذ
Artinya:
“Seseorang
menggadaikan tanah dan ia memperbolehkan kepada penerima gadai atau yang
lainnya untuk memanfaatkan tanah tersebut selama masa hutang belum terbayar,
maka kebolehan tersebut habis dengan meninggalnya pemilik tanah sehingga sejak
itu ia harus membayar segala pemanfaatannya”.[24]
ومن ربا الفضل ربا القرض وهو كل قرض جر نفعا للمقرض غير نحو رهن لكن
لا يحر م عندنا إلا اذا شترط في عقد ه
Artinya:
“Dan diantara riba al fadhl adalah riba al-qardh yakni semua utang yang memberikan
manfaat kepada si peghutang kecuali selain dalam bentuk gadai. Menurut kita
yang demikian itu tidak haram, kecuali disyaratkan dalam gadai”.[25]
اما
لو توا فقا على ذلك ولم يقع فى العقد فلا فسد
Artinya:
“Sedangkan jika
keduanya si peminjam dan yang dipinjami saling bersepakat dan tanpa adanya
persyaratan tertentu dalam akad, maka akad itupun tidak rusak (boleh)”.[26]
Maqolah yang tertera
tersebut merupakan pendapat ulama Syafi’iyah, maka untuk lebih global atas
pemanfaatan gadai agar dapat dikelola baik oleh rahin maupun oleh murtahin
dapat diuraikan dari berbagai pendapat
ulama al-madzahibi al-arba’ah.
Mengenai
pemanfaatan gadai pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang
gadai (marhun), sebab hal itu akan
menyebabkan marhun hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan untuk
mengambil faedah ketika berlangsungnya gadai.
3. Pemanfaatan rahin atas marhun
Diantara
ulama terhadap dua pendapat , jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan marhun, sedangkan ulama Syafi’iyah
membolehkannya sejauh tidak memadaratkan murtahin.
a) Ulama Hanafiyah[27]
berpendapat bahwa rahin tidak boleh
memanfaatkan marhun tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin, tidak boleh memanfaatkannya
tanpa seizin rahin. Mereka beralasan
bahwa barang gadai (marhun) harus
tetap dikuasai oleh murtahin
selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah[28],
sebab manfaat yang ada dalam marhun
pada dasarnya termasuk rahn.
b) Ulama Malikiyah[29]
berpendapat bahwa jika murtahin
mengizinkan rahin untuk memanfaatkan
barang gadai, maka akad menjadi batal. Adapun murtahin diperbnolehklan memanfaatkan barang gadai sekedarnya
(tidak boleh lama) itupun atas tanggungan rahin.
Sebagian ulama Malikiyah berpendapat, jika murtahin
terlalu lama memanfaatkan marhun, ia
harus membayarnya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar. Pendapat
lainnya diharuskan membayar, kecuali jika rahin
mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.
c) Ulama
Syafi’iyah[30]
berpendapat bahwa rahin dibolehkan
untuk memanfaatkan marhun. Jika tidak
menyebabkan marhun berkurang, tidak
perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan
tetapi jika menyebabkan marhun berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus menerima izin kepada murtahin.
4. Pemanfaatan murtahin atas marhun
Jumhur
ulama selain Hanbilah berpendapat bahwa murtahin
tidak boleh memanfaatkan marhun.
Dalam hal ini murtahin dibolehkan
mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan.[31]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa murtahin
boleh memanfaatkan marhun, jika berupa hewan seperti dibolehkan untuk
mengendarai atau mengambil susunya, sekedar mengganti pembiayaan. Lebih jauh
tentang pendapat para ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a) Ulama Hanafiyah[32]
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun, sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh
memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah, ada yang membolehkan untuk
memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin,
tetapi sebagian lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada izin, bahkan
mengategorikan sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan
marhun, hukumnya haram sebab masuk riba.
b) Ulama Malikiyah
membolehkan murtahin memanfaatkan marhun jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan marhun tersebut berupa barang yang dapat
diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir
senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah.[33]
c) Pendapat fuqoha As-Syafiiyah tentang tidak
diperbolehkan pemanfaatan barang gadai
لايصح (بشرط مايضر) الراهن والمرتهن(كا ن لايباع) اي المرهون (عند
المحل) اي وقت الحلول الدين او إلا بأ كثر من ثمن المثل (و كشرط منقعته) اى
المرهون للمر تهن
Artinya:
“Akad rahn tidak sah dengan syarat sesuatu
yang dapat membebani penggadai (rahin)
dan penerima gadai (al murtahin)
sebagaimana tidak dibolehkan menjual marhun
ketika jatuh waktu pembayaran utang atau tidak boleh dijual kalau tidak dengan
harga yang lebih banyak dari pada harga sepadan (tsaman mitsil) dan sebagaimana syarat pemanfaatan barang jaminan
oleh murtahin”.[34]
(قوله لايصح) اى الرهن
بمعنى العقد (قوله بشرط مايضر الراهن او المرتهن) اى بشرط شيئ يضرالراهن اوالمرتهن
اى اوكليهما
Artinya:
“Akad rahn tidak sah dengan memasukkan akad
yang dapat membebani rahin dan murtahin berupa syarat yang membebani
keduanya”.[35]
لايصح الرهن المذكورحيت كان الإستغلال والإنتفاع مشروطة فى صلب العقد اوبعده اوقبل لزومه لأ نه
شرط يضرالرهن
Artinya:
“Rahn tidak sah bila terdapat pemanfaatan
barang yang disyaratkan di dalam akad atau sesudah akad atau sebelum terjadinya
akad karena hal itu merupakan syarat yang membahayakan gadai”.[36]
Hadits:
عن على رضي الله عنه قا ل: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: كل قرض جرمنفعة فهود با (رواه الحارث ابن ابى امامة)
Artinya:
“Setiap
hutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba” (HR. Al-Harits Bin Abi Umamah)[37]
Hadits tersebut
mempunyai pendukung yang lemah dari fardlalah bin Ubaid menurut riwayat
Al-Baihaqi dalam kitab Al-Ma’rifat dengan susunan matan sebagai berikut:
كل قرض جرمنفعة فهو وجه من وجوه الربا (رواه البيهفى )
Artinya:
“Setiap
pengutangan yang menarik keuntungan, maka itu adalah salah satu cara diantara
cara-cara riba”.[38]
(HR. Al-Baihaqi).
b. Pendapat ulama
Hanabilah berbeda dengan jumhur, mereka berpendapat, jika marhun berupa hewan, maka mutahin
boleh memanfaatkannya seperti mengendarai atau mengambil susunya sekadar
mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun marhun
selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali atas izin rahin.
5. Resiko Atas
Kerusakan Barang Gadai
Apabila
murtahin sebagai pemegang amanat
telah memelihara barang gadai dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang,
kemudian tiba-tiba barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang tanpa
disengaja, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai siapa yang
harus menanggung resikonya.
Ulama-ulama
mazhab syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko apapun. Namun
ulama-ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat bahwa murtahin menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum.
Perhitungan dimulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin samapi hari rusaknya atau
hilangnya.[39]
Berbeda
halnya barang gadai (marhun) rusak
atau hilang yang disebabkan oleh kelengahan murtahin.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat, semua ulama sepakat bahwa murtahin menanggung resiko, memperbaiki
kerusakan atau mengganti yang hilang. Dengan ketentuan jika nilainya marhun lebih kecil, maka kekurangannya
dikembalikan kepada rahin dan jika
nilai marhun lebih besar dari hutang,
maka kelebihannya harus dikembalikan kepada rahin.
6. Pemeliharaan
Barang Gadai
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat, para ulama syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai rahin dengan alasan bahwa barang
tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para
ulama Hanfiyah berpendapat lain; biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan
memelihara keselamatan barang gadai (murtahin)
dalam kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat. Kepada penggadai hanya
dibebankan pembelajaan barang gadai agar tidak berkurang potensinya.
7. Pembayaran/pelunasan
Uang Gadai
Apabila
telah sampai waktu yang ditentukan rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh murtahin untuk menjual barang gadaiannya
dan kemudian digunakan untuk melunasi utangnya.
Selanjutnya,
apabila setelah diperintahkan hakim rahin
tidak mau membayar utangnya dan tidak pula mau menjual barang gadaiannya (marhun), maka hakim dapat memutuskan
untuk menjual barang tersebut guna melunasi utang-utangnya.
8. Prosedur
Pelelangan Atau Penjualan Gadai
Jumhur
fuqoha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau
menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai murtahin dibolehkan untuk menjual barang tersebut dengan syarat
pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya.
Jika
terdapat persyaratan, menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka hal ini
dibolehkan dengan ketentuan:
a. Murtahin harus
terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin dan berkonsultasi masalah belum
terbayarnya.
b. Dapat
memperpanjang tenggang waktu pembayaran.
c. Kalau murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum melunasi utangnya, maka murtahin boleh menindahkan barang gadai
kepada murtahin lain dengan seizin rahin.
d. Apabila
ketentuan diatas tidak dipenuhi, maka murtahin
boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
C. Tujuan Dan
Hikmah Gadai
1. Tujuan Gadai
Tujuan
gadai yaitu agar kesulitan yang menimpa seseorang dapat diatasi dengan
memberikan pinjaman dengan adanya jaminan barang (marhun) sebagai bentuk pembayar ketika tidak dapat membayar hutang
tanpa ada imbalan jasa.
2. Hikmah Gadai
Dengan
adanya gadai tertolonglah masyarakat yang tidak mampu. Mereka tetap akan dapat
beraktifitas di dalam memperoleh nafkah atas pinjaman yang diberikan.
Memupuk
rasa persaudaraan dan membuat orang supaya selalu tolong menolong dan
meringankan beban hidup antar sesama.
[1] Muhammad bin Qosim Al-Qosi, Fath Al-Qorib Al-Mujib,
Al- Hidayah, Surabaya ,
(t. th), hlm. 32.
[2] Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwirul Qulub Fi Mu’amalati Allami Quyub, Darul Ikhya , Indonesia ,
(t.th), hlm. 288.
[3] Ibn Qudamah,
Mugni Al-Muhtaj Mathba’ah Al-Imam, Mesir, Juz 11, hlm. 121.
[4] Abu Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab, Al-Hidayah, Surabaya ,
(t.th), Juz 1, hlm. 192.
[5] Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Ahyar Fii Ghayati Al-Ikhtisar, Al-Hidayah, Surabaya , (t.th), Juz 1,
hlm. 262.
[6] Ibn Abidin, Radd
Al-Mukhtar Syarh Tanwir Al-Abshar, Al Munirah, Mesir, Juz V, hlm. 340.
[7] Rachmat Syafi’i, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia, Bandung ,
2004, hlm. 160.
[8] Al-Qur'an, Surat Al-Baqoroh Ayat 283, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1999, hlm. 87.
[9] Mohammad, Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Salemba Diniyah, Jakarta , 2003, hlm. 52.
[10] Al-Qur'an, Surat Al-Baqoroh Ayat 283, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya,
Departemen Agama, 1999, hlm.87.
[11] Ibn Qudamah, Op
Cit, Juz IV, hlm. 327.
[12] Muhammad Amin Al-Kurdi, Op Cit, hlm. 288.
[13] Mohammad Anwar, Fiqh
Islam, Al-Ma’arif, Bandung ,
1988, hlm. 56.
[14] Abu Bakar Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim Minhaj Al Muslim, Darul Falah, Jakarta , 2000, hlm. 532.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang Gadai, Al-Ma’arif, Bandung , 1983, hlm. 55.
[17] Basyir, Op Cit,
hlm. 53.
[18] Khalil Umam, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya , 1994, hlm. 19.
[19] Jalaludin As-Suyuthi, Asybah Wan Hazhair, Al-Hidayah, Surabaya , hlm. 67.
[21] Muhammad Syato, ibid,
Juz III, hlm. 53.
[22] Husain Mahluf, Fatawi
Kubro, Darul Fikri, Bairut, (t.th), Juz II, hlm. 136.
[23] Muhammad Syato, Op
Cit, Juz 11, hlm. 37.
[24] Abdurrohman Bin Muhammad, Bughyatul Mustarsyidin, Al-Hidayah, Surabaya , (t.th), hlm. 178.
[25] Muhammad Syatho Ad-Dimyati, Op Cit, Juz 111, hlm. 20.
[26] Ibid, hlm.
53.
[27] Jalaludin Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i Fi Tartib Syara’i, Syirkah Al-Mathbuah, Mesir, (t.th),
Juz VI, hlm. 146.
[28] Ibn Qudamah, Op
Cit, Juz IV, hlm. 139.
[29] Muhammad Urfah Ad-Dasuqi, Syarh Al-Kabir Ad-Dardir, Darul Fikri, Bairut, (t.th), Juz 111,
hlm. 241.
[30] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Dar Al Fikri, Bairut, (t.th), Juz 11, hlm. 131.
[31] Ibn Rusyd, Bidaya
Al-Mujtahid Wa Nihaya Al-Muqtashid, Al-Hidayah, Surabaya , (t.th), Juz 11, hlm. 273.
[32] Al-Kasyani, Op
Cit, Juz VI, hlm. 146.
[33] Ibn Qudamah, Op
Cit, Juz, IV, hlm. 385.
[34] Zainuddin Al-Malibary, Op Cit, hlm. 73.
[35] Muhammad Syato Ad-dimyati, Op Cit, Juz 111, hlm. 57.
[36] Putusan Majelis Musyawarah Pengasuh Pondok Pesantren
Se-Daerah Kabupaten Banyuwangi, Raudlotul Ulama, Dicetak Toko Kitab Al-Ikhsan
Jl. Sasak no. 33 Surabaya, hlm. 62, yang dikutib dari Kitab Tsamru Ar-Raodloh,
hlm. 117.
[37] As-Shanani, Subulus
Salam, Trj. Abu Bakar Muhammad, Terjemahan, Al-Ikhlash, Surabaya , 1995, Jilid III, hlm. 183.
[38] Ibid, hlm.
184.
[39] Basyir, Op Cit,
hlm. 54.
0 Response to "TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI"
Post a Comment