PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DALAM PENDIDIKAN FORMAL
TERHADAP
POLA KEBERAGAMAAN REMAJA
A. Pengertian Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Sehingga pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang
memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi muda memiliki kepribadian yang
utama.[1]
Dalam
pengertian pendidikan yang sederhana dan umum diartikan sebagai usaha manusia
untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan
kebudayaan.[2]
Menurut
Muhaimin pendidikan diartikan orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar
mencapai tingkat kedewasaannya, maupun berdiri sendiri menemui tugasnya sebagai
hamba Allah SWT, dan mampu sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu
yang mandiri.[3]
Dari
beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
adalah usaha yang dilakukan secara sadar serta bimbingan dari orang dewasa
kepada siterdidik untuk membawanya kepada kedewasaan dan jasmani dan rohani
hingga terbentuknya kepribadian yang utama.
Setelah
kita mengetahui arti pendidikan maka dapat kita ambil pengertian bahwa :
a. Pendidikan (agama) Islam adalah pendidikan
yang falsafah, dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk
melaksanakan praktek pendidikan didasarkan nilai-nilai dasar Islam terkandung
Al Qur’an dan hadis Nabi.[4]
b.
Abdurrahman Saleh berpendapat bahwa Pendidikan Agama Islam adalah segala usaha
yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran
Islam.[5]
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha
yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian. Pembentukan kepribadian anak
berupa bimbingan atau usaha sadar kepada anak didik / remaja agar dapat
memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam untuk dijadikan sebagai
jalan kehidupan.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
a. Dasar Pendidikan Agama Islam
Dasar
yang menjadi acuan pendidikan Islam harus merupakan sumber nilai kebenaran dan
kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan. Dasar
mesti ada dalam suatu bangunan. Tanpa ada dasar, bangunan tidak akan ada. Dasar
dalam ilmu Pendidikan Agama Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu
bersumber pada Al Qur’an, sunnah dan ijtihad.
1) Al Qur’an
Tujuan
Al Qur’an adalah memberi petunjuk kepada umat manusia. Tujuannya hanya akan
tercapai dengan memperbaiki hati dan akal manusia dengan akidah-akidah yang
benar dan akhlak yang mulia serta mengarahkan tingkah laku mereka kepada
perbuatan yang baik.
2) As Sunah
Sunnah
berisi petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk
membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.[6]
Yang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur’an.
3) Ijtihad
Ijtihad
dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan
sepanjang masa setelah Rasulallah wafat.[7]
Masyarakat
selalu mengalami perubahan di dalam menjalani hidup bermasyarakat. Pendidikan
sebagai lembaga sosial akan turut mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
yang terjadi di masyarakat.[8]
b. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Jika
kita bisa melihat kembali pengertian pendidikan Islam secara keseluruhan adalah
kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola
taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh jasmani dan rohani, dapat hidup
dan berkembang secara wajar dan normal karena ketaqwaannya kepada Allah SWT.[9]
Beberapa
pendapat tentang tujuan Pendidikan Agama Islam menurut Zakiyah Darajat, tujuan
Pendidikan Agama Islam adalah untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan
ajaran agama.[10]
Tujuan
Pendidikan Agama Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim,
yiatu menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT, agar mereka
tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah
kepada-Nya.[11]
Dengan
demikian tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk suatu keseluruhan dari
kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
Menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya serta senang dan gemar
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan
dengan manusia semuanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari
alam semesta ini untuk kepentingan hidup dan akherat nanti.
3. Faktor-faktor Pendidikan Agama
Dalam
proses belajar mengajar pendidikan agama atau dalam melaksanakan pendidikan
agama, perlu diperhatikan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Sedangkan faktor pendidikan agama tersebut ikut menentukan berhasil atau
tidaknya pendidikan agama.
Faktor
pendidikan agama dikelompokkan menjadi lima macam, di mana antara faktor yang
satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat. Faktor tersebut adalah :
a. Faktor peserta didik.
Faktor
peserta didik adalah merupakan faktor yang paling penting, karena tanpa adanya
faktor tersebut, maka pendidikan tidak akan berlangsung. Faktor peserta didik
tidak dapat diganti oleh faktor yang lain.
b. Faktor Pendidik
Pendidikan
adalah salah satu faktor pendidikan yang sangat penting, karena pendidik itulah
yang akan bertanggung jawab dalam pembentukan pribadi peserta didik.
c. Faktor Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan pada umumnya adalah suatu faktor yang sangat penting di dalam
pendidikan, karena tujuan merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan.
Demikian halnya dengan pendidikan agama, maka tujuan pendidikan agama itu
adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan agama dalam kegiatan atau
pelaksanaan pendidikan agama.
d. Faktor Alat Pendidikan
Yang
di maksud alat pendidikan di sini adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam
usaha untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedang yang di maksud dengan alat
pendidikan agama adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam mencapai tujuan
pendidikan agama.
e. Faktor Lingkungan
Lingkungan
adalah mempunyai peran yang sangat pentng terhadap berhasil tidaknya pendidikan
agama. Karena perkembangan jiwa peserta didik itu sangat dipengaruhi oleh
keadaan lingkungannya. Lingkungan akan memberi pengaruh positif terhadap
pertumbuhan jiwanya, dalam sikapnya dalam akhlak maupun dalam perasaan
agamanya. Pengaruh tersebut datang dari temen sebanyanya dan masyarakat
sekitarnya.
Kesimpulan
bahwa lingkungan hidup anak itu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap
pembentukan akhlak dan pembentukan pribadinya.[12]
4. Pendidikan Formal
Pendidikan
formal diartikan sebagai “segenap bentuk pendidikan atau pelatihan yang
diberikan secara terorganisasi dan berjenjang baik yang bersifat umum maupun
khusus.[13]
Pendidikan
formal adalah pendidikan kedua bagi anak setelah pendidikan di dalam keluarga.
Orang tua merasa tidak mampu untuk mendidik anaknya karena itu di dalam
masyarakat terbentuk lembaga sosial. Sekolah merupakan lembaga sosial yang
tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat.[14]
Karena semakin dewasa anak semakin berkembang dan ingin lebih maju. Dengan
sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai
dengan bidang dan bakatnya si anak didik yang berguna bagi dirinya, masyarakat,
nusa dan bangsanya.
Karena
sekolah sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat pendidikan, maka
dapat digolongkan sebagai tempat atau lembaga pendidikan kedua setelah
keluarga, lebih-lebih mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan
guru sebagai gantu orang yang harus ditaati.[15]
Pada
dasarnya sekolah harus merupakan suatu lembaga yang membantu bagi terciptanya
cita-cita keluarga dan masyarakat yang tidak dapat secara sempurna dilakukan
dalam rumah dan masjid. Bagi umat Islam, lembaga pendidikan yang dapat memenuhi
harapan ialah lembaga pendidikan Islam, artinya bukan sekedar lembaga yang
didalamnya diajarkan pelajaran agama Islam, melainkan suatu lembaga pendidikan
yang secara keseluruhannya bernafaskan Islam.[16]
Fungsi
pendidikan, tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada lembaga persekolahan.
Sebab pengalaman belajar, pada dasarnya bisa diperoleh di sepanjang hidup
manusia, kapanpun dan dimanapun, termasuk juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat itu sendiri.[17]
Pendidikan
agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan
jiwa keagamaan pada anak.[18]
Tapi semua itu tergantung pada faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami
nilai-nilai agama. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititik beratkan pada
bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Pembentukan
jiwa keagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak
tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan di
sekolah. Guru harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan
agama yang diberikannya.
Proses
perubahan sikap dari tidak menerima sikap menerima berlangsung melalui tiga
tahap perubahan sikap pertama adalah adanya perhatian, kedua adanya pemahaman
dan ketiga adanya penerimaan.[19]
Dengan
demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada
anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga
proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik
perhatian peserta didik. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan
pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Ketiga,
penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan.[20]
Untuk
mendidik anak di sekolah harus ada dukungan dari keluarga dan masyarakat karena
semua itu sangat berpengaruh dan agar dapat tercapainya tujuan pendidikan yang
diinginkan.
B. Keberagamaan
1. Pengertian Keberagamaan
Agama
dapat dipahami sebagai ketetapan Tuhan yang dapat diterima oleh akal sehat
sebagai pandangan hidup, untuk kebahagiaan dunia akherat. Keberagamaan menunjuk
pada respon terhadap wahyu yang diungkapkan dalam pemikiran, perbuatan dan
kehidupan kelompok.[21]
Keberagamaan
adalah kata benda dari beragamaan yang berarti mengamalkan atau melaksanakan
ajaran agama. Pengertian beragama meliputi unsur, baik ajaran agama itu sendiri
atau juga wujud pelaksanaanya dalam kehidupan manusia.[22]
Keberagamaan
adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan agama, meliputi pengamalan atau
pelaksanaan ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari.[23]
Agama
didefinisikan sebagai peranan ke-Tuhanan menurut Sheikh Mahmud Shaltut. Artinya
menyakini adanya Tuhan yang secara mendasar sama dengan Joachim Waeh tentang
pengalaman beragama. Menurut pendapatnya, suatu respon dari suatu yang diyakini
sebagai realitas mutlak, kemudian diungkapkan dalam bentuk pemikiran, perbuatan
dan komunitas kelompok. Dengan demikian, agama atau beragama baru hadir dalam
diri manusia jika sudah terjalin hubungan antara dua pihak, manusia yang
memberi respon dan pranata yang diyakini dari Tuhan.[24]
Inti
agama adalah iman. Dalam iman terdapat unsur perlunya memahami isi dari wahyu
yang disampaikan oleh Tuhan. Dalam Islam memahami isi wahyu berarti memahami
Qur’an dan sunnah.
Islam
adalah agama yang terdiri dari dua dimensi ajaran yaitu sebagai keyakinan atau
iman dan syariah yakni yang diamalkan. Kedua dimensi ajaran ini mempunyai
hubungan yang saling kait mengkait antara yang satu dengan yang lainnya yang
tak bisa terpisahkan. Iman merupakan implementasi dari pada iman yang berupa
norma-norma, yang bisa dijadikan pegangan seseorang muslim. Oleh karena syariah
akan mempunyai arti apabila dilandasi dengan keimanan yang benar. Dengan
demikian keimanan, merupakan akidah yang pokok, di mana di atas iman berdirilah
syariah Islam yang kemudian dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya. Keduanya
saling sambung menyambung yang diibaratkan bagai buah dan pohon sebagai sebab
dan musababnya. Karena adanya hubungan yang sangat erat maka amal perbuatan
selalu disertai dengan keimanan.[25]
Iman
dalam Islam tidak hanya dikehendaki sekedar percaya terhadap Allah saja, tetapi
lebih dari itu iman dalam Islam menuntut untuk dimanfaatkan dan
dimanifestasikan dalam bentuk amaliyah yang nyata, yakin dalam bentuk terpuji
yang diridhoi oleh Allah, sehingga iman yang dimiliki manusia senantiasa
melekat padanya. [26]
Keberagamaan
menunjuk kepada wujud pelaksanaan ajaran suatu agama. Menurut pendapat Imanal
Asy’ary, iman yang merupakan keberagamaan dalam Islam meliputi tiga unsur
yaitu, pertama hati (tasdiq bi al qolbi), kedua pernyataan lisan (tasdiq
bi al lisan) dan yang ketiga adalah ungkapannya dalam perbuatan kongkret (amal
al arkan).[27]
a. Keyakinan di dalam Hati
Hati
merupakan dasar bangunan atau fondasi tubuh yang akan menentukan seseorang itu
baik dan buruk.[28]
Tidak ada yang lebih buruk bila hati itu buruk. Dan tidak ada yang lebih baik
jika hati itu baik. Itulah sebabnya dimensi iman yang pertama adalah tasdiq
di dalam hati, membenarkan perkara harus dimulai di dalam hati. Bila hati sudah
tidak mempunyai rasa ragu-ragu terhadap sesuatu maka akan timbul suatu semangat
dan akan terwujud suatu kerangka keyakinan.
b. Pengucapan dengan Lisan
Bila
keyakinan di dalam hati merupakan kerangka dalam membangun iman, maka Taqriru
bi al Lisan sebagai lapisan kerangkanya.
c. Pembuktian dengan Amal Perbuatan
keyakinan
dalam hati dan ucapan dengan lesan belum membuktikan bahwa seseorang itu
beriman, maka harus dibarengi dengan amal perbuatan.
Dari
pernyataan di atas, jelas bahwa iman itu terdiri dari tiga komponen yaitu
percaya dan membenarkan dalam hati, diucapkan / diikrarkan dengan lisan, kemudian
diwujudkan dalam bentuk amalan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pola Keberagamaan
Lingkungan
keberagamaan ini mencakup keseluruhan segi kehidupan manusia, sehingga seluruh
unsurnya merupakan ibadah.
Pola
keberagamaan atau manhaj tadayyun merupakan tipoloi dari jumlah
satuan-satuan prilaku beragama pada suatu ruang waktu tertentu, masing-masing manhaj
memiliki unsur-unsur : lingkup keberagamaan, suatu prilaku beragama, bentuk
hubungan antara satuan satu dengan lainnya dan akhirnya tipologi bentuk
keseluruhannya.[29]
Dalam
sepanjang keberagamaan dalam Islam, menurut pendapat dari Muslim A. Kadir sejak
zaman Rasul sampai sekarang ada 5 bentuk paradigma manhaj al tadayyun,
yaitu :
a. Manhaj al Tadayyun al Nabawy
Memiliki
kemampuan maksimal untuk menyelesaikan masalah kongkrit masyarakat, sehingga
menggambarkannya pada tatanan kehidupan yang sejahtera.[30]
b. Manhaj al Tadayyun al Ah-Kamy
Setelah
Rasul wafat wahyu berhenti, sementara dinamika masyarakat yang berjalan terus
menerus. Maka umat Islam menjadikan Al Qur’an dan As Sunah dijadikan pedoman
total hidup, tetapi keduanya dipersepsikan sebagai sumber hukum yang bersifat
normatif dan mengikat.[31]
c. Manhaj al Tadayyun al Falsafy
Manhaj
ini dilatar
belakangi oleh pembunuhan yang sadis dan konflik-konflik masa di kalangan umat
Islam sejak Rasul wafat sampai Bani Abasiyah. Nuansa praktis yang sudah dimulai
oleh perkembangan dengan baik. Perhatian umat Islam kemudian mengarah pada
dimensi tentang pemikiran murni.
d. Manhaj al Tadayyun al Wijdany
Dalam
konflik antar masyarakat, kelompok menimbulkan polarisasi manusia yang
diuntungkan oleh keadaan dan yang tidak diuntungkan.
Manhaj ini praktek keagamaan yang wujudnya
menuju kepada sedekat mungkin kepada Allah. Cara keberagamaannya hanya
menciptakan kesalehan pribadi dengan cara lari dari kehidupan.
Manhaj ini mengingkari idiologi Islam
sebagai khalifah di bumi yang tugas utamanya adalah memakmurkan bumi.
e. Manhaj al Tadayyun al Amaly
Manhaj
al Tadayyun al Amaly memang
berpangkal pada perbuatan praktis. Akan tetapi ini benar-benar hanya merupakan
wujud pelaksanaan ajaran Islam dalam Al Qur’an dan sunnah seperti telah
dicontohkan oleh Rasulallah dan sahabatnya.
Setiap
orang pasti beragama pasti masuk salah satu di antara pola keberagamaan atau manhaj
al tadayyun di antara lima ini.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Mendefinisikan
remaja untuk masyarakat Indonesia sangat sulit. Masalahnya adalah karena
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkat sosial, sosial
ekonomi maupun pendidikan. Sebagai pedoman umum menggunakan batasan usia 11 –
24 tahun dan belum menikah untuk remaja.[32]
Masa
remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak
menuju dewasa.[33]
Masa remaja menjadikan orang keras kepala, sukar diatur, mudah tersinggung
sering melawan dan sebagainya. Bahkan orang tua pun panik memikirkan
anak-anaknya yang telah remaja, seperti sering bertengkar, membuat
kelakuan-kelakuan yang melanggar aturan / nilai moral dan norma-norma agama.
Di
masa remaja banyak persoalan yang mereka hadapi, semua itu berkaitan dengan
usianya, dan tidak dapat dilepaskan dari lingkungan di mana mereka hidup. Dalam
hal itu, salah faktor penting yang memegang peranan yang menentukan dalam
kehidupan remaja adalah agama.[34]
Tetapi
pengaruh agama di masa sekarang ini sangat kurang diminati terutama para
remaja. Karena sedang mengalami kegoncangan jiwa dan pertumbuhan yang
dilaluinya dari segala bidang dan segi kehidupan.
2. Remaja dan Lingkungan
a. Remaja sebagai Anggota Keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan yang utama, hampir untuk setiap individu, sejak ia lahir
sampai masanya ia membentuk keluarga sendiri. Sebelum orang mengenal lingkungan
lebih luas, ia mengenal lingkungan keluarga terlebih dahulu. Sebelum ia
mengenal norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di keluarga untuk dijadikan
bagian dari kepribadiannya.[35]
Orang
tua menjadi pendidik yang utama di dalam kehidupan. Tidak mengherankan jika
nilai-nilai yang dilakukan orang tua dianut oleh remaja.
Jadi
orang tualah yang membentuk kepribadian anak yang pertama sebelum di sekolah
dan di masyarakat.
b. Remaja di Sekolah
Sekolah
adalah lingkungan pendidikan ke dua. Bagi anak yang sudah sekolah, lingkungan
yang setiap hari dimasuki adalah lingkungan sekolah selain rumah.[36]
Pengaruh
sekolah diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja. Fungsi sekolah
sebagai pembentuk nilai dalam diri anak didik sekolah. Sekarang banyak
menghadapi tantangan, sekarang banyak lingkungan yang dipilih remaja selain
sekolah : pasar, swalayan, taman hiburan, bahkan warung ditepi jalan disebrang
sekolah.
c. Remaja dalam Masyarakat
Masyarakat
sebagai lingkungan ketiga adalah lingkungan yang terluas bagi remaja dan
sekaligus paling banyak menawarkan pilihan. Lingkungan pun sangat mempengaruhi
perkembangan jiwa remaja. [37]
Pengaruh
lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan pergaulan dengan teman.
Pada usia 9 – 15 tahun hubungan perkawinan merupakan hubungan yang akrab yang
diikat oleh minat yang sama, kepentingan yang sama dan saling membagi perasaan,
saling tolong menolong, memecahkan masalah bersama. Pada usia 15 ke atas,
ikatan emosional bertambah kuat mereka saling membutuhkan akan tetapi mereka
memberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing.[38]
3. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja
Sejalan
dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja terhadap
ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan
dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan
agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan
jasmani perkembangan itu antara lain :
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide
dan dasar keyakinan remaja dalam beragama di masa kanak-kanak sudah tidak
begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul.
Selain masalah agama mereka tertarik pada masalah kebudayaan sosial, ekonomi
dan norma-norma kehidupan lainnya. Perkembangan pikiran dan mental remaja
dipengaruhi oleh sikap keagamaan.[39]
b. Perkembangan Perasaan
Berbagai
perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis mendorong
remaja untuk menghayati prikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya.
Kehidupan religius akan cenderung mendorong lebih dekat kepada kehidupan
religius juga. Sebaliknya remaja yang kurang pendidikan keagamaan akan lebih
mudah didominasi dorongan seksual. Didorong perasaan ingin tahu dan perasaan
super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.[40]
c. Pertimbangan Sosial
Dalam
kehidupan keagamaan remaja timbul konflik antara pertimbangan moral dan
material. Kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka
remaja cenderung jiwanya untuk bersikap materialistis dari pada memilih
kehidupan beragama. Mereka hanya berfikir tentang keuangan, kesejahteraan,
kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah pribadinya.[41]
d. Perkembangan Moral
Perkembangan
moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari
proteksi.
Tipe
moral yang juga terlihat pada para remaja mencakup :
1) Taat terhadap agama / moral berdasarkan
pertimbangan pribadi.
2) Mengikuti situasi lingkungan tanpa
mengadakan kritik.
3) Merasakan adanya keraguan terhadap ajaran
moral dan agama.
4) Belum menyakini akan kebenaran ajaran agama
dan moral.
5) Menolak dasar dan hukum keagamaan serta
tatanan moral masyarakat.[42]
e. Sikap dan Minat
Sikap
dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan
hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka.[43]
f. Ibadah
Remaja
merasa beribadah sangat membantu menenangkan jiwanya. Tapi tidak hanya remaja
yang melaksanakan ibadah. Mereka menganggap sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan Tuhan. Adapun yang menganggap sembahyang merupakan media
untuk bermeditasi (membiasakan diri kita dengan sikap-sikap yang positif).[44]
Masa
remaja adalah masa yang penuh kegoncangan jiwa masa berada dalam peralihan atau
di atas jembatan goyang, yang menghubungkan masa kanak-kanak yang penuh
kebergantungan, dengan masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri. Dalam
kondisi jiwa yang demikian agama mempunyai jiwa yang penting dalam kehidupan
remaja. Kadang kita melihat keyakinan remaja terombang-ambing, tidak tetap
sesuai dengan perubahan perasaannya.[45]
Sikap
remaja terhadap agama :
a. Kepercayaan Turun Temurun
Sesungguhnya
kebanyakan remaja percaya pada Tuhan dan menjalankan ajaran agama, karena
mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, mereka sekedar mengikuti
suasana lingkungan di mana ia hidup. Percaya yang seperti inilah yang dinamakan
percaya turut-turutan.[46]
b. Percaya dengan Kesadaran
Masa
remaja adalah masa di mana kegoncangan dan perubahan di segala bidang, yang
dimulai dengan perubahan jasmani yang sangat cepat, jauh dari keseimbangan dan
keserasian. Hal ini membuat remaja tertarik untuk memperhatikan diri. Perhatian
yang disertai oleh keemasan dan ketakutan, lebih-lebih lahi ketika timbul
perasaan ingin menentang orang tua dan terasanya dorongan-dorongan seksual yang
selama ini belum terasa.[47]
Setelah
remaja menemukan dirinya ia mungkin merasa asing dengan masyarakat, sehingga
sikapnya berubah ingin menjauh dari masyarakat. Kira-kira usia 16 tahun di mana
pertumbuhan jasmani hampir selesai, kecerdasan juga sudah dapat berfikir lebih
matang dan pengetahuan bertambah. Perhatian kepada ilmu pengetahuan, agama dan
sosial bertambah meningkat.[48]
Kesadaran
agama pada masa remaja, cenderung meninjau dan meneliti caranya beragama di
masa kecil dulu. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru
untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak ingin beragama sekedar
ikut-ikutan.[49]
c. Kebimbangan Beragama
Kebimbangan
itu mulai menyerang remaja, setelah pertumbuhan kecerdasan mencapai
kematangannya, sehingga ia dapat mengeritik, menerima / menolak apa yang
diterimanya.[50]
Masa
remaja terakhir, keyakinan beragama lebih dikuasai pikiran, berbeda dengan
permulaan masa remaja, di mana perasaan yang lebih menguasai keyakinan
agamanya.[51]
Kebimbangan
beragama remaja sesuai dengan kepribadiannya, karena pengalaman-pengalaman ikut
membina pribadinya.
d. Tidak Percaya Kepada Tuhan
Perkembangan
remaja kearah tidak mempunyai adanya Tuhan, sebenarnya semua itu sumber dari
kecil. Jika remaja mendapat kesulitan atau musibah mereka merasa Tuhan tidak
adil bahkan sampai menantang Tuhan.[52]
Tidak mudah bagi seseorang untuk
mengenal perasaan hatinya terhadap agama, apakah pengetahuan, atau telah
diganti oleh keyakinan baru tentang pengetahuan, lama kelamaan remaja akan
menjauh dari agama.[53]
[14] Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar
Dasar-dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hal. 146
[21] Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan
Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003, hal. 106
[22] Muslim A. Kadir, Teknologi Kejujuran
Panitia Seminar dalam Rangka Dis Natalis IV STAIN Kudus 11-12 Maret, 2001,
hal. 4
0 Response to "PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENDIDIKAN FORMAL TERHADAP POLA KEBERAGAMAAN REMAJA"
Post a Comment