METODE DAKWAH MAU’IDZAH HASANAH
A.
Metode Dakwah
Mau’idzah Hasanah
- Pengertian
metode dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan, cara). Dengan demikian
kita dapatkan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk
mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari
bahasa Jerman methodica, artinya
ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan yang dalam bahasa
Arab disebut thariq. Maka metode
berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai
suatu maksud.[1]
Sedangkan arti dakwah menurut pandangan beberapa pakar
ilmuwan adalah sebagai berikut :
a.
Pendapat
Bakhial Khauli, dakwah adalah suatu proses menghidupkan peraturan-peraturan
islam dengan maksud memindahkan umat dari suatu keadaan kepada keadaan lain.
b.
Pendapat Syekh
Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan
mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan
jelek agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari
pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa, metode dakwah adalah
cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u
untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang. Hal ini
mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan“human
oriented”menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.[2]
- Pengertian
mau’idzah hasanah
Secara
bahasa mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’idzah dan hasanah.
Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza–ya ‘idzu–wa’dzan–‘idzatan yang
berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah
merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat
antara lain :
a.
Menurut Imam
Abdullah bin Ahmad an- Nasafi adalah sebagai berikut : Al- Mau’idzah al-
Hasanah “adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa
engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al-
Qur’an.
b.
Menurut Abdul
Hamid al- Bilali bahwa al- Mau’idzah al- Hasanah merupakan salah satu manhaj
(metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat
atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.[3]
c. Menurut Ali
Mustafa Yaqub yang dikutip oleh Siti Muri’ah, menyatakan bahwa mau’idzah
hasanah adalah ucapan yang berisi nasihat-nasihat yang baik dimana ia dapat
bermanfaat bagi orang yang mendengarnya atau argumen-argumen yang memuaskan
sehingga pihak audience dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subyek
dakwah.[4]
Dari
beberapa definisi diatas, mau’idzah hasanah tersebut dapat diklasifikasikan
dalam beberapa bentuk; nasihat atau petuah, bimbingan, pengajaran (pendidikan),
kisah-kisah, kabar gembira dan peringatan (al- basyir wa al- nadzir), wasiat
(pesan-pesan positif).
Jadi
kalau kita telusuri kesimpulan mau’idzah hasanah, akan mengandung arti
kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam
perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan
orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan
hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan
dari pada larangan dan ancaman.[5]
- Sumber
metode dakwah mau’idzah hasanah
a.
Al-Qur’an
Islam
telah menempuh jalan yang paling indah untuk sampai ke dalam jiwa manusia
dengan cara petunjuk, dakwah kepada iman dan hikmah dan ajaran yang baik,
ayat-ayat dan hadits menjadi saksi.[6]
Di
dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang membahas tentang masalah dakwah. Di
antara ayat-ayat tersebut ada yang berhubungan dengan kisah para rasul dalam
menghadapi umatnya. Semua ayat-ayat tersebut menunjukkan metode yang harus
dipahami dan dipelajari oleh setiap muslim. Karena Allah tidak akan
menceritakan melainkan agar dijadikan suri tauladan dan dapat membantu dalam
rangka menjalankan dakwah berdasarkan metode-metode yang tersurat dan tersirat
dalam Al-Qur’an.
Allah SWT. berfirman dalam surat Hud ayat : 120 yaitu
sebagai berikut :
ﻮﻜﻞ ﻨﻘﺺ ﻋﻠﻴﻚ ﻤﻦ ﺍﻨﺒﺈ ﺍﻠﺮﺴﻞ ﻤﺎ ﻨﺜﺒﺖ ﺒﻪ ﻔﺆﺍ
ﺪﻚ ﻮﺠﺄﻚ ﻔﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻠﺤﻖ ﻮﻤﻮﻋﻈﺔ ﻮﺬﻜﺮﻰ ﻠﻠﻤﺆﻤﻨﻴﻦ۞﴿ﻫﻮﺪ
:١٢٠﴾
Artinya : “Dan semua
kisah-kisah dari rasul-rasul yang kami ceritakan kepadamu ialah kisah-kisah
yang dengannya dapat kamu teguhkan hatimu, dan dalam surat ini datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. (Q.S. Hud : 120).[7]
Sudah
selayaknya jika Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman dan sumber dakwah karena
tujuan dakwah adalah mengajak ke jalan yang sesuai dengan aturan-aturan
Al-Qur’an.[8]
b.
Sunnah Rasul
Di dalam sunnah Rasul banyak kita temui hadits-hadits
yang berkaitan dengan dakwah. Begitu juga dalam sejarah hidup dan perjuangannya
dan cara-cara yang beliau pakai dalam menyiarkan dakwahnya ketika beliau
berjuang di Makkah maupun di Madinah. Semua ini memberikan contoh dalam metode
dakwahnya, karena setidaknya kondisi yang dihadapi Rasulullah ketika itu
dialami juga oleh juru dakwah sekarang ini.[9]
Setiap Rasul mempunyai ciri khas tersendiri dalam
berdakwah walaupun demikian ciri tersebut dapat disebutkan secara umum yang
dapat dijadikan sebagai tauladan oleh para da’i di masa sekarang. Di antara karakteristik dakwah para
Rasul tersebut adalah :
1) Menyampaikan
dengan bahasa setempat.
2)
Bahasa dakwah
yang menjangkau setiap kelas.
3) Menyodorkan
argumen dalam banyak cara
4) Keseragaman dan
kesatuan tujuan.
c.
Sejarah Hidup Para Sahabat dan Fuqaha’
Dalam
sejarah hidup para sahabat dan para fuqaha cukuplah memberikan contoh baik yang
sangat berguna bagi juru dakwah karena mereka adalah orang yang expert dalam
bidang agama. Muadz bin Jabal dan sahabat lainnya merupakan figur yang patut
dicontoh sebagai kerangka acuan dalam mengembangkan misi dakwah.[11]
d.
Pengalaman
Experience
is the best teacher, itu adalah motto yang punya pengaruh besar bagi
orang-orang yang suka bergaul dengan orang banyak. Pengalaman juru
dakwah merupakan hasil pergaulannya dengan orang banyak yang kadang kala
dijadikan reference ketika berdakwah.
Setelah kita mengetahui sumber-sumber metode dakwah sudah
sepantasnya kita menjadikannya sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas
dakwah yang harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang sedang terjadi.[12]
- Dasar dan prinsip penggunaan metode dakwah mau’idzah
hasanah
Pedoman dasar atau prinsip penggunaan metode dakwah sudah
termaktub dalam surat an-Nahl ayat 125.[13]
ﺍﺪﻉ ﺍﻠﻰ ﺴﺒﻴﻞ
ﺮﺒﻚ ﺒﺎ ﻠﺤﻜﻤﺔ ﻮﺍﻠﻤﻮﻋﻈﺔ ﺍﻠﺤﺴﻨﺔ ﻮﺠﺎ ﺪﺍﻠﻬﻢ ﺒﺎ ﻠﺘﻲ ﻫﻲ ﺍﺤﺴﻦ ۗ ﺍﻦ ﺮﺒﻚ ﻫﻮﺍﻋﻠﻢ ﺒﻤﻦ ﻀﻞ ﻋﻦ ﺴﺒﻴﻠﻪ ﻮﻫﻮﺍﻋﻠﻢ ﺒﺎ ﻠﻤﻬﺘﺪﻴﻦ
﴿ﺍﻠﻨﺤﻞ : ۱۲۵﴾
Artinya : “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS.An-Nahl : 125).[14]
Sebelum mengemukakan prinsip-prinsip penggunaan metode
dakwah, ada hal-hal yang perlu di ingat dalam penggunaan metode tersebut :
a.
Metode hanyalah
suatu pelayan, suatu jalan atau alat saja.
b.
Tidak ada
metode yang seratus persen baik.
c.
Metode yang
paling sesuai sekalipun belum menjamin hasil yang baik dan otomatis.
d.
Suatu metode
yang sesuai bagi seorang da’i belum tentu sesuai bagi da’i yang lain.Penerapan
metode tidak berlaku selamanya.[15]
Sesungguhnya
dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan tentang pokok-pokok pandangan
mengenai dasar atau prinsip penggunaan metode dakwah, yaitu sebagai berikut :
a.
Dakwah harus
dilakukan dengan hikmah, dengan kata-kata yang baik serta argumentasi
yang baik.
b.
Dakwah harus
dilakukan dengan mau’idzah hasanah,
dengan nasihat-nasihat yang baik.
Agar metode dakwah yang dipilih dan digunakan benar-benar
fungsional maka perlu juga diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan dan penggunaan suatu metode, yaitu sebagai berikut :
a.
Tujuan dengan
berbagai jenis dan fungsinya.
b.
Sasaran dakwah
(masyarakat atau individu) dari berbagai segi.
c.
Situasi dan
kondisi ysng beraneka ragam.
d.
Media atau
fasilitas yang tersedia dengan berbagai macam kualitas dan kuantitasnya.
e. Kepribadian dan
kemampuan da’i.[17]
- Bentuk-bentuk
metode dakwah mau’idzah hasanah
Seperti
yang telah diuraikan diatas bahwa mau’idzah hasanah tersebut bisa
diklasifikasikan dalam beberapa bentuk sebagai berikut :
a.
Nasihat atau petuah
1) Pengertian
Nasihat
Kata
nasihat berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja “Nashaha” (ﻨﺼﺢ) yang berarti khalasha (ﺨﻠﺺ) yaitu murni dan bersih dari segala
kotoran.
Sebagian
ahli ilmu berkata nasihat adalah salah satu cara dari al-mau’idzah hasanah yang
bertujuan mengingatkan bahwa perbuatan pasti ada sangsi dan akibat.
Al-Asfani
memberikan pemahaman terhadap term tersebut dengan makna al-mau’idzah hasanah
merupakan tindakan mengingatkan seseorang dengan baik dan lemah lembut agar
dapat melunakkan hatinya.
Secara terminology nasihat adalah memerintah atau
melarang menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Pengertian
nasihat dalam kamus besar bahasa Indonesia balai pustaka adalah memberikan
petunjuk kepada jalan yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang benar
dengan cara melunakkan hati. Nasihat harus berkesan dalam jiwa atau mengikat
jiwa dengan keimanan dan petunjuk.[18]
2) Metode
Memberikan Nasihat
Syekh
Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah secara
garis besar membagi tiga (3) golongan yang masing-masing harus dihadapi dengan
cara yang berbeda-beda pula. Adapun ketiga golongan tersebut adalah sebagai
berikut :
a)
Ada golongan
cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis, cepat
dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus dipanggil atau diseru diberi
nasihat dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan
hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan do’a mereka.
b) Ada golongan awam, orang kebanyakan
yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap
pengertian yang tinggi-tinggi, mereka ini diseru ataua diberi nasihat dengan
cara-cara :”Mau’idzah Hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan
ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c) Ada golongan yang tingkat kecerdasannya
di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, kan tetapi tidak sesuai
juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka suka membahas sesuatu,
tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar.
Mereka ini diseru atau dinasihati dengan cara “Mujadalah billati hiya ahsan”
yakni dengan cara bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat
satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.[19]
Pokok
persoalan bagi seorang da’i dalam menyampaikan nasihat ialah bagaimana
menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu
dalam suatu keadaan dan suasana yang tertentu. Ringkasnya, jika seorang da’i
menginginkan setiap nasihatnya dapat berkesan dan meresap ke dalam hati
pendengarnya, sebaiknya ada beberapa yang harus dilakukan, yaitu antara lain :
a)
Melihat secara
langsung atau bisa juga mendengar dari pembicaraan orang tentang kemungkinan
yang tengah merajalela.
b)
Memprioritaskan
kemungkinan mana yang lebih besar bahayanya atau paling besar dampak negatifnya
untuk dijadikan bahan pembicaraan atau nasihat.
c)
Menganalisa
setiap hal yang membahayakan dari kemungkinan yang ada. Apakah berupa kerusakan moral,
kemasyarakatan, kesehatan, atau harta benda.
d) Menukil
nash-nash Al-Qur’an dan hadits shahih perkataan sahabat.
Dari beberapa metode atau cara memberikan nasihat kita
gunakan, maka tentunya kita harapkan orang yang medengarkan nasihat kita
berbuat amal shaleh yang bermanfaat dan terkadang pula dalam memberikan nasihat
dengan motivasi dan ancaman.[20]
b.
Bimbingan, pengajaran
(pendidikan)
Pengertian bimbingan menurut beberapa para ahli di antaranya
:
1) Menurut Dewa Ketut Sukardi dalam bukunya yang berjudul
pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling disekolah bahwa bimbingan
adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu tersebut dapat memahami
dirinya sendiri, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak
secara wajar, sesuai dengan tuntunan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga,
dan masyarakat dan kehidupan pada umumnya.[21]
2) Menurut Hallen, bimbingan adalah suatu proses membantu
individu melalui usahanya sendiri untuk menentukan dan mengembangkan kemampuannya
agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.[22]
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu untuk menemukan
dan mengembangkan kemampuannya sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan
dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntunan dan keadaan lingkungan
sekolah, keluarga, agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.[23]
Bimbingan tidak sama dengan pendidikan, walaupun
pendidikan sering disebut juga sebagai bimbingan. Bimbingan merupakan bagian
saja dari pendidikan. Pendidikan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan
bimbingan. Bimbingan sendiri didefinisikan orang bermacam-macam, ada yang
sedemikian itu singkat rumusannya, ada pula yang amat panjang dengan merinci
berbagai aspek yang terkandung dalam proses atau kegiatan bimbingan tersebut. [24]
Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap
individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[25]
Bimbingan Islami merupakan proses pemberian bantuan,
artinya bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan, melainkan sekedar
membantu individu. Individu dibantu, dibimbing, agar mampu hidup selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah. Maksudnya
sebagai berikut:
1)
Hidup selaras
dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan kodratnya yang ditentukan Allah,
sesuai dengan sunnatullah, sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Allah.
2)
Hidup selaras
dengan petunjuk Allah Artinya sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan Allah
melalui Rasul-Nya (ajaran Islam).
3)
Hidup selaras
dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti menyadari eksistensi diri sebagai
makhluk Allah yang diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya; mengabdi dalam
arti seluas-luasnya.[26]
Pendidikan dan pengajaran dapat
pula dijadikan sebagai metode dakwah. Hakikat pendidikan agama adalah penanaman
moral beragama kepada seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan pengajaran
agama adalah pemberian pengetahuan-pengetahuan agama kepada seseorang atau
sekelompok orang. Antara aktivitas pengajaran agama dan pendidikan agama,
keduanya saling berkaitan bahkan pengajaran merupakan alat perantara
pendidikan.[27]
Pendidikan agama sebagai metode
dakwah pada dasarnya membina atau melestarikan fitrah anak yang dibawa sejak
lahir, yakni fitrah beragama atau perasaan bertuhan, yang mana bila fitrah itu
tidak dilestarikan melalui pendidikan dikhawatirkan fitrah itu akan luntur
menjadi menganut agama selain Islam.
Sedangkan pengajaran adalah alat perantara
bagi pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu cara yang
ditempuh untuk mencapai tujuan dakwah. Oleh karena itu aspek-aspek yang ada
pada dakwah, yang terpenting dan harus mendapatkan perhatian yang serius adalah
pembiasaan untuk menjalankan syari’at agama dan menjauhkan larangan, sebab bila
seseorang sudah biasa melakukan perbuatan yang baik, beribadah, berbudi pekerti
yang baik dan sebagainya, imannya akan menjadi kuat. Selain itu perlu juga
adanya nasihat-nasihat, pengajaran, peringatan, teguran dan sebagainya agar
tujuan pendidikan atau dakwah dapat berhasil dengan baik.[28]
c.
Kisah-kisah
Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai metode untuk
mengajak manusia ke jalan yang benar, antara lain adalah dengan kisah atau
cerita. Al-Qur’an dan hadits banyak memuat kisah-kisah sejarah umat terdahulu
yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat menjadikan perbandingan untuk
menjalankan aktivitas kita dalam berdakwah.[29]
1) Pengertian
Qashash
Secara
epistemologi lafadz Qashash merupakan bentuk jamak dari kata qishah, lafadz ini
merupakan bentuk masdar dari kata qassa ya qussu. Dari lafadz qashash dapat
diklasifikasikan ke dalam dua (2) makna, yaitu : qashash berarti menceritakan,
lafadz qashash mengandung arti menelusuri atau mengikuti jejak.
Makna qashash dalam sebagian besar ayat-ayat berartikan
kisah atau cerita, sedangkan secara terminologis qashash berarti :
a)
Menurut Abdul
Karim al-Khatib, kisah-kisah Al-Qur’an tentang umat terdahulu.
b) Kisah-kisah
dalam Al-Qur’an yang menceritakan ihwal umat-umat terdahulu dan nabi-nabi
mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan
masa yang akan datang.[30]
2) Macam-macam
Kisah
Dalam
bentuk menuturkan tentang kisah-kisah keadaan umat masa lalu, baik yang taat
menjalankan perintah Allah SWT. seperti para Rasul, para sahabat ra,
orang-orang shaleh dan lain-lainnya maupun orang yang durhaka seperti
malapetaka yang menimpa Fir’aun yang
mengaku dirinya Tuhan, Qarun yang musnah dengan harta kekayaannya, Abu Jahal
dan lain-lainnya.[31]
Dalam
bentuk kisah yang bermacam-macam maka para ahli mengklasifikasikan muatan
kisah-kisah dalam Al-Qur’an : yang dikemukakan oleh Abdul Djalil tentang
pembagian kisah sebagai berikut :
a)
Qashash jika
ditinjau dari segi waktu
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
Al-Qur’an ada tiga (3) macam, yaitu :
(1)
Kisah hal-hal
gaib pada masa lalu, yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang
sudah tidak bisa ditangkap panca indra, dan terjadi di masa lampau, seperti
kisah-kisah para nabi.
(2)
Kisah hal-hal
gaib pada masa kini, yaitu kisah yang menerangkan hal-hal yang gaib pada masa
sekarang (meski sudah ada sejak dahulu dan masih akan tetap ada sampai pada
masa yang akan datang), dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.
(3)
Kisah-kisah hal-hal
gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah terjadi pada waktu turunnya
Al-Qur’an, kemudian peristiwa itu betul-betul terjadi.
b) Qashash
ditinjau dari segi materi
(1)
Kisah para
nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka dan pemenang serta pengikut
mereka.
(2)
Kisah
orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu,
seperti kisah Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi, dan lain-lain.[32]
3) Tujuan Kisah
Manna Khalil al-Qatthan memberikan pemaparan tersendiri
tentang tujuan adanya kisah-kisah tersebut, antara lain :
a)
Menjelaskan
prinsip dakwah agama Allah SWT. dan keterangan pokok-pokok syari’at yang di
bawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul.
b)
Memantapkan
hati Rasulullah serta umatnya serta memperkuat keyakinan kaum muslimin terhadap
kebenaran yang benar dan kehancuran yang fatal.
c)
Mengoreksi
pendapat para ahlul kitab menyembunyikan keterangan dan petunjuk kitab sucinya
dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab-kitab
sucinya sebelum diubah mereka sendiri.
d)
Lebih meresapkan
pendengaran dan memantapkan keyakinan dalam jiwa pendengarnya, karena
kisah-kisah itu merupakan salah satu dari bentuk peradaban.
e)
Untuk
memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an dan kebenaran Rasulullah di dalam dakwah
dan pemberitaannya mengenai umat-umat yang terdahulu ataupun keterangan beliau
yang lain.
f)
Menanamkan
pendidikan akhlakul karimah karena dari keterangan kisah-kisah yang baik itu
dapat meresap ke dalam hati nurani dengan mudah dan baik serta mendidik dalam
meneladani perbuatan baik dan menghindari dari perbuatan buruk.
4) Fungsi atau
Peranan Kisah
Fungsi atau peranan kisah secara garis besar sebagai
berikut :
a)
Memberikan
pelajaran untuk dijadikan teladan yang baik.
b)
Mengubah hati
untuk memahami hal-hal yang bersifat maknawi, pengaruhnya.
d.
Kabar gembira dan peringatan (al-basyir wa al-nadzir)
1) Pengertian
Tabsyir
Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang
mempunyai arti memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish shihab basyara
berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Demikian pula kata tabsyir
diterjemahkan dengan berita gembira karena membawa kebaikan dan keindahan.[34]
Tabsyir juga diartikan sebagai pengumuman berita yang
menggembirakan. Basyir, mubasyir, artinya : pembawa kabar gembira, yakni da’i
atau muballigh yang menyampaikan berita gembira tentang rahmat dan nikmat yang
akan diperoleh bagi orang-orang yang beriman.[35]
Adapun tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian
dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang
mengikuti dakwah.[36]
Tabsyir dan tandzir juga diartikan memberi khabar gembira
tentang rahmat dan karunia Allah yang akan diperoleh orang-orang yang beriman,
dan memberi peringatan (ancaman) bagi orang-orang yang tidak mau mengikuti
petunjuk Allah.[37] Dari
sekian banyak kata tabsyir, semuanya diartikan dengan “kabar gembira atau
berita pahala”, hanya saja bentuk kabar gembiranya beragam, antara lain :
a)
Kabar gembira
dengan syari’at Islam.
b)
Kabar gembira
dengan kedatangan Rasul.
c)
Kabar gembira
tentang akan turunnya Al-Qur’an.
d) Kabar gembira
tentang surga.
Dalam
kontek dakwah, sesungguhnya bentuk kabar gembira tidak harus menggunakan kata
basyir, tetapi apa saja yang bisa membawa rasa gembira bagi orang yang
mendengarnya sehingga bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan beribadah dan
beramal shaleh.
2) Tujuan Tabsyir
Kegiatan
dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang jelas, yaitu mengajak, mengarahkan
orang untuk mengikuti jalan yang benar, baik dalam kehidupan dunia maupun
akhirat. Adapun tujuan-tujuan tabsyir antara lain, sebagai berikut : menguatkan
atau memperkokoh keimanan, memberi harapan, menumbuhkan semangat untuk beramal,
menghilangkan sifat keragu-raguan.[38]
Tujuan- tujuan di atas diharapkan menjadi sebuah motivasi
di dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Adapun motivasi tersebut oleh Said
bin Ali al-Qahtani dibagi menjadi dua, yaitu : pertama, pemberian motivasi
dengan janji, kedua, pemberian motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam
ketaatan. Adapun
penjelasan masing-masing secara singkat adalah sebagai berikut :[39]
(a) Pemberian
motivasi dengan janji
Memberi motivasi dengan janji dunia, meliputi hal-hal sebagai berikut :
(1)
Janji berupa
kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala yang dibenci Allah.
(2)
Janji berupa
pemberian kekuasaan di atas bumi.
(3)
Janji berupa
segala penambahankebaikan yang di sertai dengan rasa syukur.
(4) Janji berupa
umur panjang.
(5)
Janji berupa
pertolongan dan taufik-Nya.
(b)
Menyebutkan
motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan
Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar berlomba-lomba berbuat
bermacam-macam ketaatan. Seorang da’i harus memperhatikan hal ini, yaitu
senantiasa mendorong agar orang-orang mau mengerjakan shalat, zakat, haji,
sodaqah, jihad, silaturrahim dan lain sebagainya. Demikian pula para da’i harus
menjelaskan bahwa ketaatan kepada Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia,
karena manusia diciptakan oleh Allah untuk taat kepada-Nya.
3) Pengertian
Tandzir
Kata tandzir
atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-dza-ra, menurut Ahmad bin Faris
adalah suatu kata yang menunjukkan untuk penakutan (takhwif). Adapun tandzir
menurut istilah dakwah adalah penyampaian dakwah di mana isinya berupa
peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala
konsekuensinya.[40]
Sedang indzar artinya memberi peringatan atau
mengingatkan umat manusia agar selalu menjauhkan perbuatan yang menyesatkan
serta agar selalu ingat kepada Allah SWT, di mana saja ia berada.[41] Jangan
sampai seorang da’i melebihkan dengan peringatan memberikan rasa takut kepada
umatnya sehingga justru akan mengakibatkan seseorang merasa putus asa dari
rahmat Allah. Sebaliknya, juga para da’i tidak seyogyanya terlalu berlebihan
dalam memnerikan kabar gembira, sehingga seseorang merasa aman dan tenang dari
murka Allah.[42]
4) Bentuk-bentuk
Tandzir
Adapun
bentuk-bentuk tandzir adalah sebagai berikut : penyebutan nama Allah,
menunjukkan keburukan, pengungkapan bahayanya, penegasan adanya bencana segera,
penyebutan peristiwa akhirat.[43]
e.
Wasiat (pesan-pesan
positif)
1) Pengertian
Wasiat
Secara
etimologi kata wasiat berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata
Washa-Washiya-Washiatan, (ﻮﺺ ـ ﻮﺼﻴﺎ ـ ﻮﺼﺄﺓ),
yang berarti “pesan penting berhubungan dengan sesuatu hal.
Secara terminologi ada beberapa pendapat yang akan
dikemukakan berikut ini :
a)
Wasiat :
sekumpulan kata-kata yang berupa peringatan, support, dan perbaikan”.
b)
Wasiat :
pelajaran tentang amar ma’ruf nahi munkar atau berisi anjuran berbuat baik dan
ancaman berbuat jahat”.
c)
Wasiat : pesan
kepada seseorang untuk melaksanakan sesuatu sesudah orang berwasiat meninggal
disampaikan kepada seseorang.
d)
Wasiat : ucapan
yang mengandung perintah tentang sesuatu yang bermanfaat dan mencakup kebaikan
yang banyak.[44]
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka wasiat dapat
dibagi pada dua kategori, yaitu :
a)
Wasiat orang
masih hidup kepada orang hidup, yaitu berupa ucapan, pelajaran, arahan tentang
sesuatu.
b)
Wasiat orang
yang telah meninggal (ketika menjelang ajalnya tiba) kepada orang masih hidup
berupa ucapan atau berupa harta benda atau warisan.
Oleh
karena itu, pengertian wasiat dalam konteks dakwah adalah : ucapan berupa
arahan (taujib) kepada orang lain (mad’u) terhadap sesuatu yang belum dan akan
terjadi (amran sayaqa mua’yan).[45]
Antara washiyah, nashihah, dan khotbah mempunyai arti yang sama, yakni memberi
wasiat atau nasihat kepada umat manusia agar menjalankan syari’at Allah,
kebenaran atau kebaikan.[46]
2) Konsepsi Wasiat
dalam Metode Dakwah
a) Esensi wasiat
dalam dakwah
Bila dikaitkan dengan kebenaran, wasiat adalah profil paling cemerlang
untuk tegak menjaga kebenaran dan kebaikan. Bila dikaitkan kesabaran, wasiat
mampu menggerakkan potensi umat untuk semakin kuat dan tegar dalam kebenaran,
dalam mencapai tujuan kesatuan perjalanan solidaritas umat dalam semangat
pantang menyerah. Bila dikaitkan dengan kasih sayang, wasiat adalah upaya
menyebarluaskan perasaan kasih sayang, dan saling mencintai sesama umat,
sehingga bangunan umat semakinsolid. Maka esensi wasiat dalam dakwah adalah :
ucapan seseorang da’i berupa pesan penting dalam upaya mengarahkan (taujih)
mad’u tentang sesuatu yang bermanfaat dan bermuatan kebaikan.
b) Kapan wasiat
diberikan kepada mad’u
Seorang da’i harus
sensitif dan cerdas dalam menangkap sinyal dan gejala terhadap kondisi mad’u.
wasiat yang merupakan pesan penting seorang da’i kepada mad’u, maka perlu
dicari saat yang tepat dalam memberikan wasiat.
Ketepatan yang dimaksud
di sini adalah ketepatan waktu dan terkait dengan model dan media dakwah yang
dipakai oleh da’i. namun prinsip umum dalam memberikan wasiat kepada mad’u,
bila seruan dakwah telah diterima, bila dakwah belum diterima maka wasiat tidak
tepat diberikan. [47]
3) Materi Wasiat
Ketepatan memberikan materi wasiat juga tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan. Materi wasiat yang diberikan kepada obyek dakwah
adalah materi wasiat berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadits, maka materi wasiat
dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Materi secara
umum
Materi secara umum
adalah materi yang berupaya menggiring mad’u menuju ketakwaan, yang pada
gilirannya mampu berorientasi hidup bersih.
b) Materi secara
khusus
Di antara materi wasiat
khusus itu adalah, sebagai berikut : larangan menyekutukan Allah, berbuat baik
kepada kedua orang tua, larangan menghilangkan nyawa orang lain, larangan berbuat
keji baik terang-terangan maupun bersembunyi, larangan menggunakan harta anak
yatim dengan jalan yang tidak benar, perintah menepati janji, perintah berkata
dengan baik, perintah bersabar, perintah menegakkan kebenaran.[48]
Perlu diperhatikan dalam penyampaian materi tersebut
harus menyentuh akal dan perasaan. Seorang da’i harus mampu menggugah daya
nalar mad’u dan menggugah daya ingat untuk selalu berbuat kebaikan. Begitu juga
seorang da’i harus mampu menajamkan perasaan mad’u untuk selalu istiqomah dalam
menjalani perintah Allah.
4) Efek Wasiat
Bagi Mad’u
Efek wasiat terhadap
mad’u, antara lain sebagai berikut :
a)
Dapat
mengarahkan mad’u dalam merealisasikan keterkaitan yang erat antara materi
dakwah yang telah disampaikan dengan pengalaman menuju ketakwaan.
b) Memberdayakan
daya nalar intelektual mad’u untuk memahami ajaran-ajaran Islam.
c)
Membangun daya
ingat (remember) mad’u secara kontinu, karena ada persoalan agama yang sulit
untuk di analisa.
d)
Mengembalikan
(irja’) umat atau mad’u kepada eksistensi ajaran Islam untuk selalu menjaga
amal Islami.
B.
Pembinaa Akhlak Remaja
- Remaja
a.
Pengertian remaja
Dalam membahas pengertian remaja, para ahli mempunyai
asumsi dan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini tentu saja di pengaruhi oleh
latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu yang bebas dan mereka alami,
walaupun pada sisi tertentu memiliki kesamaan.
Menurut Zakiah Daradjat mendefinisikan remaja adalah
tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh
pertumbuhan fisik cepat.[50]
Orang barat menyebut remaja dengan istilah “puber”,
sedangkan orang Amerika menyebutkannya “adolesensi”. Keduanya merupakan
transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa. Bila ditinjau dari segi perkembangan
biologis, yang dimaksud remaja adalah mereka yang berusia 12 sampai 21 tahun.
Usia 12 tahun merupakan awal pubertas bagi seorang pemuda ketika ia mengalami
mimpi yang pertama, yang tanpa disadarinya keluar sperma.[51]
Ditinjau dari sudut perkembangan fisik, remaja dikenal
sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia
mencapai kematangannya.[52]
Jadi yang dimaksud remaja adalah suatu tingkatan yang
ditempuh oleh seseorang dari masa kanak-kanak menuju dewasa perubahan-perubahan
baik fisik maupun psikis yang berlangsung antara 12 tahun dan berakhir pada
usia 21 tahun.
b.
Remaja dan
permasalahannya
Berbicara mengenai problem atau persoalan remaja bertitik
tolak dari pendapat Zakiah Daradjat yang membagi persoalan remaja menurut
larangannya kepada empat (4) macam, yaitu :
1. Persoalan
dengan dirinya.
2. Persoalan
dengan keluarganya.
3. Persoalan
dengan pekerjaannya.
4. Persoalan
dengan masyarakat.[53]
Berbagai konflik yang dialami oleh remaja menurut Zakiah
Daradjat adalah :
1. Konflik antara kebutuhan untuk pengendalian diri dan
kebutuhan untuk bebas, dan merdeka. Remaja
membutuhkan penerimaan sosial dan penghargaan serta kepercayaan orang lain
kepadanya.
2.
Konflik antara
kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan kepada orang tua.
3.
Konflik antara
kebutuhan seks dan ketentuan agama serta nilai sosial.
4.
Konflik antara
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh orang dewasa
dilingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Konflik
menghadapi masa depan.[54]
Masalah-masalah
dan transisi (peralihan) dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang
sebelumnya di dahului oleh berbagai peristiwa dan perkembangan dan perubahan,
baik dari segi fisik maupun psikisnya.
c.
Perlunya pembinaan
remaja
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(industrialisasi dan modernisasi) menyebabkan masyarakat berubah pula terutama
remaja, kerusakan yang ditimbulkannya tidak sedikit, sehingga moral pada
remaja, moral orang dewasa bahkan moral anak telah dirusaknya, terutama bagi
mereka yang kurang mendapat pendidikan agama sejak kecil.
Serangan dari wabah kerusakan moral yang masuk bersama
kebudayaan asing yang bertentangan dengan pancasila itu mudah menyerang dan
menimpa masyarakat kita yang memang sudah mengalami goncangan jiwa dan
kehilangan ketrentaman batin.
Yang paling pertama yang menjadi korbannya adalah para
remaja, yang dalam diri mereka sedang berkecamuk segala persoalan dan
pertentangan batin, yang tumbuh akibat pertumbuhan dirinya yang mengalami
perubahan dari segi disertai pula kegoncangan yang sangat berat itu mencari
saluran untuk mendapatkan tempat untuk menumpahkan kegelisahan dan ketegangan
batin. Setelah ketegangan yang bersifat sementara itu mereka rasakan, mereka
akhirnya akan bertambah gelisah dan goncang, lalu mencari sasaran yang lebih
hebat lagi demikian seterusnya sampai akhirnya sengsara batin.
Menghadapi perilaku remaja yang cenderung untuk
mencoba-coba terhadap hal-hal yang baru tanpa adanya pemikiran dan penghayatan
yang mendalam maka perlu sekali diadakan pengwasan, pengarahan terhadap remaja.
Prinsip dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda
adalah melalui lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dalam usaha pembinaan remaja ini menurut Zakiah Daradjat
harus dimulai dari keluarga yaitu pembinaan ketrentaman batin, dalam hal ini
dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain :
- Orang tua bisa menjaga kebutuhan dan ketrentaman
keluarganya.
- Orang tua bisa membimbing sejak kecil.
- Seorang
guru ikut serta membimbing dalam pembinaan mental.
- Suasana
masyarakat dapat mendukung perkembangan agama.[55]
Sedangkan
menurut Singgih D. Gunarsa dalam rangka pembinaan remaja ini langkah awal
mencegah terhadap perbuatan-perbuatan mungkar, dalam usaha ini menggunakan
beberapa cara antara lain :
1.
Tindakan
preventif, segala tindakan yang bertujuan untuk mencegah timbulnya kenakalan.
2.
Tindakan
represif, tindakan untuk menindas dan menahan kenakalan remaja.
3.
Tindakan
kuratif dan rehabilitatif yaitu usaha untuk memperbaiki akibat perbuatan nakal
terutama individu yang telah melakukan perbuatan tersebut.[56]
Sedangkan sistem pendekatannya yaitu sebagai berikut :
1.
Pendekatan
secara langsung yaitu diberikan secara langsung kepada pribadi remaja itu
sendiri.
2.
Memberikan
pendidikan bukan hanya pengetahuan saja, tetapi harus meliputi pendidikan
mental pribadi melalui pengajaran agama.
3.
Menyediakan
sering-sering guna menciptakan suasana optimal dari perkembangan pribadi
melalui pengajaran agama.
4.
Usaha
memperbaiki lingkungan sekitar, sosial, keluarga, masyarakat, dimana banyak
terjadi kenakalan remaja.[57]
d.
Fungsi agama bagi remaja
Pada
pokoknya remaja itu sangat membutuhkan agama dalam hidupnya, terutama untuk
menghadapi kegoncangan jiwanya yang terjaadi akibat perkembangan dan berbagai
faktor yang harus mereka hadapi dalam umur yang sangat banyak dihadapkan kepada
berbagai tantangan itu.[58]
Mereka
sangat membutuhkan agama karena agama mempunyai fungsi yang sangat penting
yaitu untuk penenang jiwa dan untuk mengembalikan ketenangan dan kesimbangan
jiwanya.[59]
Memang
sangatlah tepat kalau remaja yang mengalami kegoncangan berpegang teguh kepada
agama sebagai pedoman dalam hidupnya, karena dengan begitu akan dapat mengatasi
kegoncangan yang dialaminya, timbullah kesadaran akan keagungan Tuhan Yang Maha
Esa berkehendak dan berkuasa atas segala sesuatu, sehingga akan terciptalah
anak muda yang berpribadi ikhlas dan berbuat dan berakhlak mulia.
- Akhlak
a.
Pengertian akhlak
Dalam kehidupan sehari-hari akhlak ini sering disamakan
pengertian dengan kata budi pekerti, sopan santun, moral dan kesusilaan. Bila
dilihat dari segi bahasa (etimologi) perkataan akhlak (bahasa Arab) adalah
bentuk jamak dari kata khulk dalam kamus al-munjid berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat.[60]
Sedangkan pengertian secara istilah banyak sekali ahli
dibidang akhlak, ini yang mendefinisikannya. Seperti Imam Ghazali dalam kitab
ihya-nya, mendefinisikan akhlak adalah : “suatu ungkapan tentang keadaan pada
jiwa bagian dalam yang melahirkan macam-macam tindakan dengan mudah, tanpa
memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”. Senada dengan itu, Ibnu Maskawaih
mengartikan akhlak sebagai berikut : “suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia
melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pemikiran dan
pertimbangan “.[61]
Jika keadaan pada jiwa itu melahirkan tindakan-tindakan
yang baik menurutakal dan agama, keadaan itu disebut sumber akhlak yang baik.
Akan tetapi, jika melahirkan tindakan-tindakan yang buruk, keadaan itu disebut
sumber akhlak yang buruk.
Dari dua definisi itu, kita dapat memahami beberapa hal,
di antaranya :
1)
Akhlak itu
suatu keadaan bagi diri, maksudnya ia merupakan suatu sifat yang dimiliki aspek
jiwa manusia, sebagaimana tindakan merupakan suatu sifat bagi aspek tubuh
manusia.
2)
Sifat kejiwaan
mesti menjadi bagian terdalam, maksudnya keberadaan sifat itu tidak terlihat.
Ia wujudkan pada orangnya sebagai kebiasaan yang terus-menerus selama ada
kesempatan. Oleh karena itu, orang kikir yang hanya bersedekah sekali selama
hidupnya, belum disebut pemurah.
3)
Sifat kejiwaan
yang merupakan bagian terdalam itu melahirkan tindakan-tindakan dengan mudah.
Maksudnya, tindakan itu tidak sulit dilakukan. Oleh karena itu, orang jahat
bersikap malu, tidak disebut pemalu.
4)
Dari akhlak
itu, ada yang bersifat tabiat atau alami. Maksudnya, bersifat fitrah sebagai
pembawaan sejak lahir, misalnya sabar, cinta, dan malu.
5)
Dari akhlak
juga ada hasil diupayakan, yakni lahir dari kebiasaan, latihan dan lingkungan,
misalnya takut dan berani.[62]
Sedangkan
Ahmad Amir mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Ini
berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu, maka kebiasaan itu
disebut akhlak. Contohnya bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan
itu ialah akhlak dermawan. Artinya sebuah perbuatan itu dilakukan secara sadar,
tidak terpaksa dan berulang kali sehingga perbuatan itu telah mapan dan mudah
mengerjakannya tanpa pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Jadi khulk (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi
atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari
situ timbul berbagai macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Apabila kondisi jiwa (sifat) tadi
menimbulkan perbuatan baik dan terpuji menurut pandangan syariat dan akal
pikiran, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.[63]
b.
Macam- macam akhlak
Berdasarkan baik dan buruknya perbuatan yang dilahirkan
oleh sifat atau kondisi jiwa menurut pandangan syari’at dan akal pikiran
tersebut. Maka akhlak
pun ada dua (2) macam, yaitu sebagai berikut :
1)
Akhlak Yang Terpuji
Yang termasuk akhlak terpuji ini antara lain, sebagai berikut :
a) Maaf`
Kata maaf berasal dari
bahasa Arab, yaitu : al-afw sebagai istilah ajaran akhlak dalam Islam berarti
bahwa seseorang menghapus kesalahan atau membatalkan melakukan pembalasan
terhadap orang yang berbuat jahat atas dirinya.
Dalam Islam, maaf dapat dibedakan menjadi dua (2), yaitu : pemberian maaf
dan permintaan maaf. Pemberian maaf dalam al-Qur’an memiliki beberapa arti yang
hampir bersamaan, yaitu menunjukkan kemurahan hati dalam mengganti kesusahan
orang lain dengan kesenangan, membatalkan diri dalam melakukan pembalasan
dendam dan mengampuni serta memaafkan kesalahan orang yang berbuat jahat kepada
dirinya. Adapun permintaan maaf dapat berarti bahwa orang yang bersalah meminta
kemurahan hati orang yang menjadi korban kejahatannya dalam mendapatkan maaf
atas kesalahannya.
Yang harus dipertimbangkan oleh orang yang akan memberi maaf adalah apakah
pemberian maaf itu baik dilakukan atau tidak? Kalau pemberian maaf itu
berdampak positif bagi orang yang berbuat salah dalam arti bisa mengubah jalan
hidupnya ke arah yang baik di masa depan, maka pemberian maaf semacam itu
sangat dianjurkan Islam. Tetapi, kalau pemberian maaf itu hanya akan
menimbulkan dampak negatif, maka tiada maaf baginya dalam Islam. Oleh karena
itu pemberian maaf itu ada syarat-syaratnya, yaitu sebagai berikut :
(1)
Pemberian maaf
itu harus timbul dari keinginan untuk berbuat baik dan atas dasar keimanan dan
ketakwaan.
(2)
Pemberian maaf
harus bertujuan untuk perbaikan, perdamaian serta menghilangkan permusuhan dan
kebencian.
(3)
Pemberian maaf
dilakukan bukan karena terpaksa ataupun dalam keadaan tidak memiliki kemampuan
untuk mengambil pembalasan, tetapi dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa dan
berkemampuan mengadakan pembalasan serta harus timbul atas dasar kemurahan hati.
b) Tawakkal
Tawakkal atau tawakkul
(bahasa Arab) berasal dari kata kerja (fi’il) w – k – l, yang berarti
mewakilkan atau menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah, tawakkal berarti
berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam enghadapi atau menunggu hasil suatu
pekerjaan, atua menanti akibat dari suatu keadaan. Imam Ghazali merumuskan
definisi tawakkal itu sebagi berikut : “tawakkal ialah menyandarkan kepada
Allah SWT tatkala menghadapi sesuatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam
waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana, dengan jiwa yang tenang
dan hati tenteram”.[65]
c) Sabar
Sabar secara etimologi, berarti teguh hati tanpa mengeluh ditimpa bencana.
Yang dimaksud dengan sabar menurut pengertian Islam ialah tahan menderita
sesuatu yang tidak disenangi dengan ridho dan ikhlas serta berserah diri kepada
Allah.[66]
Jika dilihat dari perwujudannya, sifat sabar itu dapat dibagi menjadi lima
(5) bagian, yaitu sebagai berikut :
(1) Sabar dalam beribadah.
Sabar mengerjakan ibadah ialah dengan tekun mengendalikan diri melaksanakan
syarat-syarat dan tata tertib ibadah itu.
(2) Sabar ditimpa
malapetaka.
Sabar ditimpa malapetaka
atau musibah ialah teguh hati ketika mendapat cobaan, baik yang berbentuk kemiskinan
maupun berupa kematian, kejatuhan, kecelakaan, dan lain sebagainya.
(3) Sabar terhadap
kehidupan dunia.
Sabar terhadap kehidupan
dunia ialah sabar terhadap tipu daya dunia; jangan sampai terikat hati kepada
kenikmatan hidup duniawi ini. Dunia ini adalah jembatan untuk kehidupan yang
abadi, kehidupan akhirat. Kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan tujuan,
tapi hanya sebagi alat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang
abadi.
(4) Sabar terhadap
maksiat.
Sabar terhadap maksiat ialah mengendalikan diri supaya jangan melakukan
perbuatan maksiat.
Sabar terhadap maksiat ini bukan hanya semata untuk keselamatan diri
sendiri, tetapi juga untuk keselamatan orang lain, yakni berusaha supaya orang
lain juga jangan sampai terperosok ke jurang kemaksiatan, dengan melakukan amar
ma’ruf nahi munkar (menyuruh manusia melakukan kebaikan dan mencegahnya dari
perbuatan yang salah dan buruk).
(5) Sabar dalam
perjuangan.
Sabar dalam perjuangan ialah dengan menyadari sepenuhnya bahwa setiap
perjuangan mengalami masa up and down, masa naik dan masa turun, masa menang
dan masa kalah.[67]
d) Merasa Cukup
(Qona’ah)
Merasa cukup (qana’ah)
artinya suka menerima apa yang ada, maksudnya rela dengan pemberian yang telah
dianugerahkan Allah SWT kepada dirinya, karena merasa bahwa memang itulah yang
sudah menjadi pembagiannya.[68]
Sifat qana’ah akan
membawa orang untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengejar harta dunia yang
mengakibatkania lalai akan kewajiban terhadap agama. Dan orang yang memiliki
sifat qana’ah ini pasti tidak mempunyai sifat tamak atau rakus terhadap
pemberian Allah pada sesama makhluk, tidak loba dan dengki terhadap apa yang
menjadi miliki orang lain. Perlu diketahui bahwa manusia itu apabila sudah
terjangkit penyakit loba dan tamak pasti akan terseret kepada kelakuan buruk,
budi pekerti yang tercela dan cenderung kepada perbuatan keji dan munkar.[69]
Oleh sebab itu, sifat buruk ini harus dihilangkan dengan sifat qana’ah.
Untuk memerangi sifat-sifat buruk tersebut, seperti disebutkan di atas, adalah
dengan mengganti sifar rakus dengan sifat qana,ah. Menurut Prof. Dr. Hamka,
qana’ah mencakup lima (5) hal, yaitu sebagai berikut :
(1)
Menerima dengan
rela akan apa yang ada.
(2)
Memohon kepada
Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
(3)
Menerima dengan
sabar akan ketentuan Tuhan.
(4) Bertawakkal kepada
Tuhan.
e)
Dan masih
banyak lagi akhlak terpuji ini, seperti : bersyukur, jujur, amanah, at-taubah,
asy-syaja’ah, dan sebagainya.
2)
Akhlak Yang Tercela
Yang termasuk akhlak tercela di antaranya, yaitu sebagai berikut :
a) Dengki (Hasad)
Yaitu menginginkan orang
lain kehilangan sesuatu yang baik.[71]
Penyakit dengki ini sangat berbahaya dan sukar diobati dengan terapi biasa.
Penyakit ini banyak merusak, mengganggu dan menghilangkan kebahagiaan hidup,
bahkan menyebabkan persengketaan, permusuhan, penipuan, dan lebih jauh lagi
dapat menyebabkan timbulnya perang dan malapetaka dalam masyarakat. Ringkasnya,
bahwa selama rasa dengki ini bersarang di dalam hati seseorang, selama itu pula
ia tidak akan mendapatkan rasa bahagia dalam hidupnya.[72]
Adapun sebab-sebab yang menimbulkan rasa dengki itu antara lain adalah :
(1)
Karena adanya
rasa permusuhan dan kebencian. Inilah yang merupakan sebab yang utama.
(2)
Beratnya rasa
di dalam hati apabila dirinya itu ada yang melebihi dalam hal apa saja yang
didengkikan. Ringkasnya, tidak senang kalau dirinya itu dikalahkan, disaingi
atau dilebihi oleh orang lain.
(3)
Ingin menjadi
pemimpin atau pemuka dan menduduki jabatanyang tinggi, kemudian tak ada orang
lain yang melebihi kedudukannya itu.
b) Dendam (Hiqd)
Yaitu keadaan jiwa di
mana rasa permusuhan seorang pemarah mencekam kukuh dalam jiwanya.[74]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hiqd adalah buah dari kemarahan yang tak tersalurkan yang
berlebihan di dalam hati dan menyebabkan timbulnya kebencian dan permusuhan
terhadap orang yang dianggap sebagai musuh.
Islam melarang orang mendongkol hatinya, mendendam dan bermusuhan, karena
permusuhan akan menyebabkan putusnya hubungan silaturrahmi. Untuk menghindari
sifat tercela itu, Islam menyuruh kita pemaaf dan tidak melupakan kebaikan dan
kelebihan orang lain.[75]
c) Kesombongan
Yaitu keadaan jiwa yang
memandang tinggi diri sendiri (izza) dan rasa diri hebat (ta’azhushum).[76]
Sombong juga dapat diartikan
suatu perasaa yang terdapat di dalam hati seseorang bahwa dirinya hebat,
mempunyai kelebihan dari orang lain misalnya merasa lebih dalam ilmu
pengetahuan, kekayaan, kecantikan atau lain sebagainya. Perasaan lebih
ini memantul dalam sikap dan tindak tanduknya sehari-hari pada penampilannya di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Sifat sombong ini amatlah tercela, baik di sisi Tuhan, di sisi manusia, dan
ia akan membawa kerugian dan bahaya yang amat besar bagi orang yang mempunyai
sifat sombong itu. Adapun
bahaya-bahayanya, antara lain adalah sebagai berikut :
(1)
Orang yang
sombong pasti tidak dapat memberikan kebaikan orang lain, sebab ia tentu tidak
memiliki sifat tawadu’ (rendah hati).
(2)
Sifat sombong
sangat tidak pantas untuk yang selain Allah SWT. manusia yang bersifat lemah
tentulah tidak patut meniru atau menyamai sifat Allah tersebut.
(3)
Orang yang
bersifat sombong itu adalah seperti sikap orang kafir dan orang munafik yang
enggan menerima kebenaran dari Allah SWT.
d)
Dan masih ada
lagi seperti : riya’, bakhil, bohong, amarah, khianat, dan sebagainya.
c.
Materi akhlak
Yang dimaksud dengan materi disini adalah isi dari ajaran
akhlak itu sendiri. Pada pokoknya materi akhlak itu adalah meliputi akhlak
terpuji yang harus dimiliki dan akhlak yang tercela yang harus dijauhi dalam
hubungannya kepada Allah, diri sendiri, sesama manusia dan makhluk lain atau
alam sekitar. Dan dalam pembahasan ini hanya mengenai akhlak manusia terhadap
Allah dan sesama manusia.
1)
Akhlak Manusia
Terhadap Allah
Akhlak
terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik.
Sekurang-kurangnya ada empat (4) alasan mengapa manusia
perlu berakhlak kepada Allah, yaitu sebagai berikut :
a)
Karena
Allah-lah yang telah menciptakan manusia.
b)
Karena
Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran,
penglihatan, akal pikiran, dan hati sanubari, disamping anggota badan yang
kokoh dan sempurna kepada manusia.
c)
Karena
Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi
kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan sebagainya.
d)
Allah-lah yang
telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan
lautan.[78]
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki tugas dan
kewajiban untuk beriman kepada-Nya dan sebagai kesempurnaan iman yaitu dengan
merealisasikannya dalam bentuk amal (taqwa). Yang dimaksud disini adalah
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sifat-sifat yang merupakan
manifestasi iman dan taqwa itu antara lain adalah syukur atas nikmat yang Allah
berikan dan sabar atas bencana yang Allah timpakan.[79] Ikhlas
dalam setiap perbuatan, mohon ampun pada-Nya atas segala dosa dan kesalahan
yang telah diperbuat, baik lahir maupun batin, selalu bertawakkal atas segala
do’a dan usaha yang telah dilakukan. Dan dengan kekuatan iman inilah sesungguhnya
manusia mampu menghadapi segala persoalan hidup dengan akhlak yang mulia, tidak
mudah terpancing oleh hal-hal yang tidak baik.
2)
Akhlak Terhadap Sesama
Manusia
Mengenai
akhlak manusia terhadap sesama manusia ini, meliputi akhlak kepada kedua orang tua,
guru, saudara, teman, tetangga dan anak yatim serta fakir miskin. Untuk
jelasnya adalah sebagai berikut :
a) Akhlak terhadap
kedua orang tua
Islam telah mewajibkan kepada umatnya untuk berbakti kepada kedua orang
tua. Secara garis besar perintah untuk berbakti kepada orang tua ini antara
lain terdapat dalam surat Luqman ayat 14 sebagai berikut :
ﻮﻮ ﺼﻴﻨﺎ ﺍﻹ ﻨﺴﺎﻦ ﺒﻮﺍ ﻠﺪﻴﻪ ۚ ﺤﻤﻠﺘﻪ ﺍﻤﻪ ﻮﻫﻨﺎ
ﻋﻠﻰ ﻮﻫﻦ ﻮﻔﺼﻠﻪ ﻔﻰ ﻋﺎﻤﻴﻦ ﺍﻦ ﺍﺸﻜﺮ ﻠﻰ ﻮﻠﻮﺍ ﻠﺪﻴﻚ ۗ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻤﺼﻴﺮ۞﴿ﻠﻘﻤﺎﻦ : ۱٤﴾
Artinya : “ Dan kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu bapaknya,
ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tua
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S. Luqman : 14).[80]
Adapun
cara berbakti kepada kedua orang tua tersebut di antaranya adalah sebagai
berikut :
(1) Mematuhi ibu
bapak dalam setiap perilakunya, kecuali jika anak diperintahkan berbuat
maksiat, ini tidak perlu dipatuhi.
(2)
Banyak
mendo’akan dan meminta ampun bagi mereka.
(3)
Tidak boleh
keluar rumah jika mereka tidak mengizinkan.
(4)
Segera
mengindahkan panggilan mereka jika mereka memanggilnya.
b) Akhlak terhadap
guru
Guru adalah orang yang
sangat berjasa bagi umat manusia dimuka bumi ini, karena lewat gurulah manusia
mengetahui rahasia-rahasia alam (ilmu pengetahuan), maka nabi SAW berwasiat
agar siswa itu memiliki adab terhadap gurunya antara lain sebagai berikut :
(1) Seorang murid hendaknya bersikap bersikap tawadhuk
(rendah hati) kepada gurunya.
(2) Seorang murid hendaknya memandang gurunya dengan penuh
hormat.
(3) Seorang murid hendaknya duduk di depan gurunya dengan
sopan, tenang, merendah diri, dan hormat, mendengarkan, memperlihatkan dan
menerimanya tanpa menoleh kesana-kemari kecuali jika perlu tidak gelisah krena
mendengar kegaduhan, terutama saat guru mengajar.[82]
c) Akhlak terhadap
saudara
Yang dimaksud saudara disini adalah saudara kandung. Terhadap saudara
kandung hendaklah memiliki sifat mencintai mereka sehingga dapat berbuat lembut
dan baik kepada mereka, menghormat yang lebih dewasa,menyayangi yang lebih
kecil, ikut merasakan duka cita mereka, serta siap memberikan pertolongan dan
bantuan.[83]
d) Akhlak terhadap
teman
Yang dimaksud teman disini adalah saudara muslim yang kita sering bergaul
dengannya. Islam telah mengajarkan tata cara dan kewajiban terhadap sesama
teman, yaitu antara lain :
(1)
Mengucapkan salam jika ketemu,
sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah, yang
artinya : “ Kalian tidak akan masuk surga sebelum kalian beriman. Kalian tidak
beriman sebelum kalian mencintai. Maukah kalian kutunjuki sesuatu yang jika
kalian lakukan akan menimbulkan rasa saling cinta? Sebarkanlah ucapan assalamu’alaikum
diantara sesamamu”.
(2)
Menjenguk
jika teman sakit.
(3) Mendo’akan jika bersin, dengan “Alhamdulillah” (orang
yang bersin) dan mendengar “Yarhamukallah” serta “Yahdikumullah” bagi yang
bersin.
(4) Memenuhi undangannya, jika saudara kita (teman) memberi
undangan untuk menghadiri hajatnya maka kita wajib menghadirinya.
e) Akhlak terhadap
tetangga
Yang dimaksud akhlak
terhadap tetangga disini adalah orang yang hidup dalam lingkungan kita atau
yang lebih luas lagi, sering kita sebut masyarakat. Dalam hal ini
ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh masing-masing, antara lain
:
(1) Menunjukkan wajah yang jernih terhadap mereka.
(2) Tidak menyakiti mereka, baik yang lesan maupun perbuatan.
(3) Menghormati dan tenggang rasa terhadap mereka.
f) Akhlak terhadap
anak yatim
Terhadap anak yatim
piatu dengan bersikap sebagai berikut antara lain : berbuat baik kepada anak
yatim, menyantuni anak yatim secara adil, memelihara dan memberikan haknya pada
waktunya, memperlakukan anak yatim, hendaknya seperti memperlakukan anak
sendiri.[85]
g) Akhlak terhadap
fakir miskin
Terhadap anak yatim
piatu hendaklah bersikap : menyayangi dan menghormati mereka, menyantuni dan memberi
bantuan kepada mereka, berbuat baik kepada mereka dan memberikan haknya, tidak mengusir
orang yang meminta-minta, memberikan makanan dan pakaian kepada fakir miskin.[86]
d.
Dasar dan tujuan
pembinaan akhlak
1)
Dasar Pembinaan Akhlak
Sebagai
dasar pembinaan akhlak terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 104 adalah sebagai
berikut :
ﻮﻠﺘﻜﻦ ﻤﻨﻜﻢ ﺍﻤﺔ ﻴﺪﻋﻮﻦ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﺨﻴﺮ ﻮﻴﺈﻤﺮﻮﻦ
ﺒﺎﻠﻤﻌﺮﻮﻒ ﻮﻴﻨﻬﻮﻦ ﻋﻦ ﺍﻠﻤﻨﻜﺮ ﻮﺍﻮﻠﺌﻚ ﻫﻢ ﺍﻠﻤﻔﻠﺤﻮﻦ﴿ﺍﻞﺍﻤﺮﺍﻦ : ١٠٤﴾
Artinya : “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung”. (Q.S. Ali Imron : 104).[87]
2)
Tujuan Pembinaan
Akhlak
Karena
pembinaan mengandung unsur pendidikan, sedang akhlak (budi pekerti) adalah jiwa
dari pendidikan Islam, maka tujuan pembinaan akhklak sama dengan tujuan
pendidikan Islam yaitu pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup
menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang
bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu
arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusai, tahu membedakan
yang buruk dengan yang baik, memiliki suatu fadhilah karena cinta fadhilah,
menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap
pekerjaan yang mereka lakukan.[88]
e.
Faktor- faktor yang
mempengaruhi akhlak
Untuk
tercapainya pembinaan akhlak ini, ada dua (2) faktor yang mempengaruhi, yaitu
pertama faktor dari dalam diri manusia itu sendiri, maksudnya adalah adanya
kemauan menahan diri (mujahadah) dan melatih diri (riyadhah), yakni bersusah
payah melakukan amal perbuatan yang bersumber akhlak yang baik, sehingga
menjadi kebiasaan dan sesuatu yang menyenangkan. Dan yang kedua
adalah faktor dari luar diri manusia tersebut.
Ada empat (4) lingkungan yaitu; lingkungan keluarga,
madrasah (sekolah), masyarakat (mujtama’), dan masjid (maqomul ibadah), yang
keempat lingkungan pendidikan individu dalam konsep pendidikan Islam biasanya
disebut dengan istilah “catur pusat pendidikan Islam”.
1) Lingkungan
Keluarga
Para ahli ilmu pendidikan Islam sepakat mengakui bahwa lingkungan keluarga
sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak didik. Maka sudah
semestinyalah setiap keluarga muslim berusaha utuk menciptakan lingkungan yang
penuh nilai-nilai pendidikan dan keagamaan yang indah.
2) Lingkungan
Madrasah (Sekolah)
Lingkungan madrasah
(sekolah) adalah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak-anak
didik, karena memang sekolah atau madrasah dibuat dalam rangka untuk
mempengaruhi anak didik. Oleh karena itu, maka menjadi kewajiban umat Islam untuk
menyelenggarakan madrasah atau sekolah yang Islami.
3) Lingkungan
Masyarakat (Mujtama’)
Lingkungan
masyarakat besar pula pengaruhnya terhadap perkembangan anak didik, karena
dalam kenyataannya, lebih-lebih setelah anak memasuki murahiq (remaja), anak
akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berada di lingkungan
masyarakatnya. Oleh karena itu menjadi tugas para orang tua dan pendidik
untuk memilihkan teman-teman pergaulan anak-anaknya dengan teman-teman yang
baik budi pekertinya, dan menjauhkan mereka bergaul dengan teman-teman yang
buruk budi pekertinya.
4) Lingkungan
Masjid (Maqomul Ibadah)
Berdasarkan sunnah Rasulullah, masjid bukanlah hanya sekedar pusat
aktivitas peribadatan di dalam Islam tapi juga sebagai pusat sosial dan budaya,
serta aktivitas umat Islam lainnya. Walaupun saat ini terlihat ada pengurangan
fungsi masjid, namun masih tetap sebagai pusat berbagai aktivitas umat Islam.
Dan tidak mungkin umat Islam dalam hidup kesehariannya dapat terlepas dari
masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.[89]
f.
Metode pembinaan
akhlak
Ada beberapa sarana dalam pembinaan akhlak. Bahwa sudah
diterangkan di atas, akhlak itu ada yang berupa pembawaan sejak lahir manusia,
ada pula yang diperoleh atau diupayakan dari lingkungan. Berikut ini saya akan
menguraikan sarana-sarana terpenting yang membantu pembinaan akhlak yang
terpuji, yaitu antara lain sebagai berikut :[90]
1) Mau’idzah dan
nasihat
Mau’idzah
(perjalanan) adalah bahasa Arab yang berasal dari al-wa’zhu artinya memberi
pelajaran akhlak terpuji serta memotivasi pelaksanaannya dan menjelaskan akhlak
tercela serta memperingatkan kebaikan dengan apa-apa yang melembutkan hati.
Adapun
nasihat adalah kata yang terdiri dari huruf nun, shad, dan ha yang ditempatkan
untuk dua arti, pertama,; murni atau tetap, kedua; berkumpul atau menambal.
Seperti
yang telah diuraikan di atas, mau’idzah kadang-kadang disampaikan secara
langsung melalui kisah, bentuk perumpamaan, atau dialog. Kepada yang memberi
mau’idzah hendaklah memperhatikan keadaan orang yang diberi mau’idzah dan
memilih mau’idzah yang sesuai dengan usianya. Demikian pula,
memilih nasihat yang sesuai dengan situasi dan tidak terlalu lama dalam
menyampaikannya agar tak menjenuhkan pendengar.[91]
2) Membiasakan
akhlak terpuji
Manusia itu dilahirkan dengan lembaran putih yang siap
menerima kebaikan atau keburukan. Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat
penting untuk berlatih dan membiasakan akhlak terpuji hingga menjadi adapt
kebiasaan seorang muslim dengan mudah. Islam menggunakan adat kebiasaan sebagai
cara membina akhlak. Lalu, Islam mengubah setiap jenis kbaikan menjadi adat
kebiasaan yang dilakukan diri dengan mudah tanpa bersusah payah. Pada waktu
yang sama, adat kebiasaan itu masuk tanpa menggunakan peralatan keras dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, cukup dengan terus-menerus mengingat tujuan yang
ingin dicapai adat kebiasaan itu, dengan ikatan yang menghidupkan antara hati
manusia dengan Allah SWT, yakni ikatan yang memancarkan cahaya terang dalam
hati sehingga tak ada lagi kegelapan di dalamnya.
Metode adat kebiasaan merupakan salah satu metode paling
tepat untuk membina akhlak terpuji dan besar sekali peranan serta hasilnya jika
digunakan menanamkan nilai-nilai akhlak tersebut kepada anak-anak.
Imam Ghazali juga menjelaskan kepada kita cara mencapai
keluhuran budi pekerti. Ia berpendapat bahwa hal ini dicapai dengan dua cara,
sebagai berikut :
a) Dengan kemurahan yang bersifat Ilahi, kesempurnaan pada
fitrah sebagaimana manusia diciptakan dan dilahirkan menurut kesempurnaan akal
dan kebaikan budi pekerti atau akhlak.
b) Mengupayakan akhak terpuji dengan berlatih secara sungguh-sungguh,
maksudnya membawa diri pada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki akhlak terpuji
itu.[92]
3) Teman yang baik
Berteman mempunyai peranan penting dan menentukan dalam
membentuk akhlak. Jika teman itu seorang yang saleh dan taqwa, ia mempunyai
peranan dalam mewujudkan akhlak terpuji. Sebaliknya, jika teman itu badung suka
melanggar agama, ia mempunyai pengaruh menimbulkan akhlak tercela. Ketika teman
itu tulus dan jujur dalam persahabatannya, peranannya dalam membentuk akhlak
terpuji sangat berkesan dan sangat besar. Karena ia menjadi pemerhati tingkah
laku serta perbuatan yang ditemaninya,
kemudian akan mendorongnya pada kebaikan dan menghentikan keburukan.[93]
4) Pahala dan
sanksi
Ini
merupakan metode yang sangat efektif dalm pembinaan akhlak terpuji, yaitu bagi
yang mengerjakan perbuatan baik, balasannya menurut kepatuhannya terhadap
akhlak-akhlak terpuji itu. Oleh karena itu, kepada guru yang tekun, yang hendak
menanamkan akhlak-akhlak terpuji kepada anak-anak hendaklah menggunakan metode
pahala yang bersifat materiil dan immaterial guna mencapai tujuan yang
diinginkan.
Jika metode pahala mempunyai peranan yang cukup berarti,
metode sanksi pun mempunyai peranan pula. Sudah banyak metode pendidikan modern
ini menghindari sanksi dan tidak mau menyebutkan sanksi itu secara lisan.
Pendidikan yang terlalu lembut umumnya tidak berhasil mengarahkan anak-anak
mempunyai sifat istiqomah, selalu bersih dan mandiri. Bahkan, jika terlampau
lembut akan sangat berbahaya, karena menumbuhkan tabiat tidak mandiri. Di
antara tahapan sanksi itu adalah sebagai berikut : teguran, diasingkan,
pukulan, diancam.[94]
5) Pembiasaan
Pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu.
Berkenaan dengan ini Imam Ghazali mengatakan bahwa keperibadian manusia itu
pada dasarnya dapat menerima segala sesuatu pembentukan melalui pembiasaan.
Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang jahat. Untuk
ini al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih
jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki
agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan
yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabiatnya
yang mendarah daging.
Dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlak, khususnya akhlak lahiriah
dapat pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa
dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan kata-kata yang bagus
misalnya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan atau
mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila pembiasaan ini sudah
berlangsung lama, maka paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai
paksaan.[95]
6) Keteladanan
Akhlak
yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, instruksi, dan larangan,
sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang
guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan
sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang
lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan
pemberian contoh teladan yang baik dan nyata. Cara yang demikian itu telah
dilakukan oleh Rasulullah SAW.[96]
Kemudian dalam surat al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi
sebagai berikut :
ﻠﻘﺪ ﻜﺎﻦ ﻠﻜﻢ ﻔﻰ ﺮﺴﻞ ﺍﻠﻠﻪ ﺍﺴﻮﺓ ﺤﺴﻨﺔ ﻠﻤﻦ ﻜﺎﻦ
ﻴﺮﺠﻮﺍ ﺍﻠﻠﻪ ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻻﺨﻴﺮ ﻮﺬﻜﺮ ﻠﻠﻪ ﻜﺜﻴﺮ﴿ﺍﻻﺤﺰﺐ: ٢١﴾
Artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (dia) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah, dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab : 21).[97]
Oleh karena itu, Rasulullah SAW menjadi teladan terbesar
bagi manusia sepanjang sejarah. Keteladanan merupakan salah satu sarana
pembinaan akhlak yang paling manjur, sedangkan Rasul SAW., adalah panutan
seorang muslim dalam beberapa hal sebagai berikut :
a)
Panutan dalam
rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.
b)
Panutan dalam
bekerja dan mencari rezekinya.
c)
Panutan dalam
bermasyarakat dan dalam pergaulan dengan yang lainnya.
d)
Panutan dalam
apa-apa yang harus dikerjakan dan apa-apa yang harus ditinggalkan.
Dengan menjadikan beliau sebagai panutan seperti itu,
niscaya akhlak dan situasi umat Islam menjadi baik.[98]
7) Merealisalikan
rukun Islam
Hasil
analisis Muhammad al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima
telah menunjukkan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu mengandung konsep pembinaan akhlak.
Adapun rukun Islam tersebut antara lain sebagai berikut :
a)
Mengucapkan dua kalimah syahadat, yaitu bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya
tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada
aturan Allah dan Rasul-Nya sudah dapat dipastikan akan menjadi orang yang baik
b)
Mengerjakan
shalat lima waktu, shalat yang dikerjakan akan membawa pelakunya terhindar dari
perbuatan yang keji dan mungkar.[99]
c)
Zakat juga
mengandung didikan akhlak, yaitu agar orang yang melaksanakannya dapat
membersihkan dirinya dari sifat kikir, mementingkan diri sendiri, dan
membersihkan hartanya dari hak orang lain, yaitu hak fakir miskin dan
seterusnya. Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat adalah untuk
membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih mulia. Pelaksanaan
zakat yang berdimensi akhlak yang bersifat sosial ekonomis ini dipersubur lagi
dengan pelaksanaan shadaqah yang bentuknya tidak hanya berupa materi, tetapi
juga non materi.
d)
Puasa bukan
sekedar menahan diri dari makan dan minum dalam waktu yang terbatas, tetapi
lebih dar itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan
keji yang dilarang.
e)
Ibadah haji ini
pun nilai pembinaan akhlaknya lebih besar lagi dibandingkan dengan nilai
pembinaan akhlak yang ada pada ibadah dalam rukun Islam lainnya. Hal ini bisa
dipahami karena ibadah haji ibadah Islam yang bersifat komprehensif yang
menuntut persyaratan yang banyak, yaitu disamping harus menguasai ilmunya, juga
harus sehat fisiknya, ada kemauan keras, bersabar dalam menjalankannya dan harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, serta rela meninggalkan tanah air, harta
kekayaan dan lainnya.[100]
C.
Pengaruh Metode Dakwah Mau’idzah Hasanah Terhadap Pembinaan Akhlak Remaja
Jam’iyyah Shofatun Nisa’ di Dukuh Karang Jekulo Kudus.
Islam adalah agama dakwah. Islam disebarluaskan dan dan
diperkenalan kepada umat manusia melalui aktivitas dakwah, tidak melalui
kekerasan, pemaksaan atau kekuatan senjata. Islam tidak membenarkan
pemeluk-pemeluknya melakukan pemaksaan terhadap umat manusia, agar mereka mau
memeluk agama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa dakwah adalah suatu usaha
atau proses yang diselenggarakan dengan sadar dan terencana. Usaha yang
dilakukan adalah mengajak umat manusia kejalan Allah, memperbaiki situasi yang
lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan). Dakwah yang bersifat
pembinaan adalah suatu usaha mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan
umat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah, dengan menjalankan
syari’at-Nya di dunia maupun di akhirat. Sedangkan dakwah yang bersifat
pengembangan ialah usaha mengajak umat manusia yang belum beriman kepada Allah
SWT, agar mentaati syari’at Islam (memeluk agama Islam) supaya nantinya dapat
hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. Usaha tersebut
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yakni hidup bahagia sejahtera
di dunia atau pun di akhirat.
Untuk itu dakwah haruslah dikemas dengan cara dan metode
yang tepat dan pas. Pemakaian metode atau cara yang benar merupakan sebagian
dari keberhasilan dari dakwah itu sendiri. Sebaliknya, bila metode dan cara
yang dipergunakan dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuaidan tidak pas, akan
mengakibatkan hal yang tidak diharapkan. Ada hal-hal yang perlu diingat dalam
penggunaan metode tersebut :
1.
Metode hanyalah
suatu pelayan, suatu jalan atau alat saja.
2.
Tidak ada
metode yang seratus persen baik.
3.
Metode yang
paling sesuai sekalipun belum menjamin hasil yang baik dan otomatis.
4.
Suatu metode
yang sesuai bagi seorang da’i belum tentu sesuai bagi da’i yang lain.
Dengan demikian tugas mendakwahkan Islam bukan pekerjaan
ringan, bukan sekedar kepandaian berbicara, berceramah akan tetapi lebih dari
itu harus pandai menghiasi dengan akhlakul karimah cermin akhlak islamiyah
dalam diri seseorang merupakan dakwah yang sangat manjur karena dapat membawa
dampak yang positif serta membukakan hati orang-orang yang melihatnya.[102]
Dalam Islam terdapat metode dakwah
yang digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah pada umatnya, yaitu : metode
hikmah, mau’idzah hasanah, dan mujadalah.
Sebagimana telah diketahui bahwa, mau’idzah
al-hasanah (nasihat yang baik), maksudnya adalah memberikan nasihat kepada
orang lain dengan cara yang baik, berupa petunjuk-petunjuk kearah kebaikan
dengan bahasa yang baik dihati, enak didengar, menyentuh perasaan, lurus
dipikiran, menghindari sikap kasar dan tidak boleh mencaci atau menyebut
kesalahan audience sehingga pihak obyek dakwah dengan rela hati dan atas
kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subyek dakwah.[103]
Dengan adanya pernyataan di atas, maka mau’idzah hasanah
(nasihat yang baik) merupakan salah satu sarana pembinaan akhlak terutama pada
remaja. Karena masa remaja adalah merupakan suatu masa transisi (peralihan dari
kanak-kanak) menuju dewasa, yang mana satu sisi kejiwaan remaja masih di liputi
nuansa kekanak-kanakan. Namun disisi lain dalam interaksi sosialnya
terposisikan layaknya orang dewasa.
Telah dimaklumi bersama bahwa remaja mempunyai
kecenderungan untuk meniru segala apa yang dilihatnya dari lingkungan di mana
ia berada. Lingkungan hidup manusia ada yang lebih baik dan ada pula yang
merusak. Lingkungan yang dapat merusak kepribadian remaja antara lain, misalnya
: kelompok penjudi, pemabuk, free seks, dan sebagainya. Remaja apabila salah di
dalam mengambil pegangan hidunya, karena lingkungan pergaulan tersebut sedikit
banyak akan membentuk kepribadian remaja. Disinilah perlunya dibentuk suatu
lembaga atau wadah bagi remaja yang positif yang diilhami oleh nilai-nilai
sacral keagamaan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, jam’iyyah Shofatun
Nisa’ yang merupakan kegiatan positif, jika segala kegiatan (aktivitas) remaja
dipusatkan dan diaktifkan dengan jam’iyyah. Dan dengan seringnya remaja
berhubungan dengan jam’iyyah ini remaja memperoleh pengalaman keagamaan melalui
penglihatan dan pendengaran yang sekaligus merupakan unsur pembinaan
kepribadian dan akhlak.
Usaha-usaha pembinaan akhak melalui berbagai lembaga
pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan
bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil
berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk
Tuhan dan seterusnya. Keadaan sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang
tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan,
ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan
berbagai perbuatan tercela dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang
perlu dibina.[104]
Dengan demikian dalam proses dakwah
maka seorang da’i hendaknya
berusaha menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam, sehingga tugas da’i di sini adalah menyeru,
memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan
garis-garis akidah syariat serta akhlak islamiyah.
[1]M. Munir, Metode Dakwah, Cet. Ke-2, Kencana,
Jakarta, 2006, hlm. 6.
[4]Siti Muri’ah, Op.
Cit., hlm. 44.
[5]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 16-17.
[6]Abdullah Syihata, Dakwah
Islamiyah, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama
IAIN Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Keagamaan Agama Islam Departemen
Agama, 1986, CV. Rofindo, hlm. 22-23.
[7]Al- Qur’an Surat Hud Ayat 125, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Penafsiran Al- Qur’an, Al-
Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1967, hlm. 345.
[8]Syamsul Hadi, dkk., Op. Cit., hlm. 24.
[9]M.Munir, Op.
Cit., hlm. 20.
[10]Syamsul Hadi, dkk., Op. Cit., hlm. 47-50.
[13] M. Munir, Op.
Cit., hlm. 223.
[14]Al- Qur’an Surat An- Nahl Ayat 125, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al- Qur’an, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1986,
hlm. 421.
[15]Asmuni Syakir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam,
Al-Ikhlas, Surabaya, 1983, hlm. 100-101.
[16]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 223-224.
[21]Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan Dan
Konseling di Sekolah, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 19.
[22]Hallen, Bimbingan Dan Konseling, PT. Intermasa,
Jakarta, 2002, hlm. 3.
[24]Ainur Rahim Faqih, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, UII
Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 3-4.
[29]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 291.
[31]M. Masyhur Amin, Dakwah
Islam dan Pesan Moral, Al-Amin Press, Yogyakarta ,
1997, hlm. 26.
[32]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 293-294.
[35]Hamzah Ya’qub, Publisistik
Islam Teknik Dakwah Dan Leadership, CV. Diponegoro, Bandung , 1981, hlm. 15.
[36]M. Munir, Op.Cit.,
hlm. 257.
[37]Syamsul Hadi, dkk., Op.Cit. hlm. 112.
[38]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 259.
[41]Asmuni Syakir, Op. Cit., hlm. 26.
[42]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 264-265.
[46]Asmuni Syakir, Op.
Cit., hlm. 24.
[47]M. Munir, Op.
Cit., hlm. 287-288.
[50]Zakiah Daradjat, Remaja Harapan Dan Tantangan, Cet. Ke-2,
Ruhama, Jakarta, 1995, hlm. 8.
[51]Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Rosda Karya,
Bandung, 1989, hlm. 63.
[52]Sunarto dan Agung
Hartono, Perkembangan Peserta Didik,
Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 53.
[53]Zakiah Daradjat, Memahami Persoalan Remaja, Bulan
Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 11.
[54]Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, Op. Cit.,
hlm. 60.
[55]Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, Bulan Bintang,
Jakarta, 1982, hlm. 47-49.
[56]Singgih D. Gunarsa dan
Ny. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, hlm. 161.
[58]Zakiah Daradjat, Pembinaan
Remaja, Op. Cit., hlm. 81.
[59]Zakiah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental,
Gunung Agung, Jakarta, 1982, hlm. 90.
[60]Asmaran As., Pengantar Studi Akhlak, Raja Grafindo,
Jakarta, 1994, hlm. 1.
[61]Muhammad Rabbi Muhammad
Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami,
CV. Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 89- 90.
[63]Asmaran As., Op.
Cit., hlm. 3.
[71]M. Abdul Quasen dan
Kamil, Etika al-Ghazali, Bandung,
Penerbit Pustaka, 1988, hlm. 136.
[72]Asmaran As., Op.
Cit., hlm. 200.
[78]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hlm. 147-148.
[79]M. Abdul Quasen dan
Kamil, Op. Cit., hlm.
[80]Al- Qur’an Surat Luqman
Ayat 14, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al- Qur’an, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Departemen
Agama RI, Jakarta, 1967, hlm. .
[81]Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak, Remaja Rosda
Karya, Bandung, 1992, hlm. 49.
[85]Miftah Faridl, Etika Islam Nasehat Islam Untuk Anda,
Pustaka, Bandung, 1997, hlm. 130-136.
[87]Al- Qur’an Surat Ali Imron Ayat 104, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al- Qur’an, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1965,
hlm. 93.
[88]Athiyah al-Abrasyi, Op. Cit., hlm. 103.
[89]Abu Thauhied, Beberapa Aspek Pendidikan Islam,
Sekretariat Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
1990, hlm. 130-136.
[97]Al-Qur'an Surat al-Ahzab ayat 21, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen
Agama RI, Jakarta,1967, hlm. 670.
[98]Muhammad Rabbi Muhammad
Jauhari, Op. Cit., hlm. 127-132.
[99]Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 158.
[102]Syamsul Hadi dkk., Op.
Cit., hlm. 163.
0 Response to "METODE DAKWAH MAU’IDZAH HASANAH"
Post a Comment