STRATEGI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
A. Pengembangan
Sumber Daya Manusia
1.
Pengertian Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan
artinya menjadi besar atau maju.[1]
Pengembangan sumber daya manusia (Human Rasource Devolepment) secara
makro adalah suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam
rangka mencapai suatu tujuan pembangunan bangsa. Proses peningkatan sumber daya
manusia ini mencakup perencanaan, pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber
daya manusia.[2]
Pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi membawa
suatu keadaan secara bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih
benar atau lebih baik memajukan sesuatu dari yang lebih awal kepada yang lebih
akhir atau dari yang sederhana kepada tahapan lebih complek.[3]
Berdasarkan pengertian
tersebut, maka pengembangan sumber daya manusia dapat diartikan upaya untuk
memajukan program pendidikan ini ketingkat program yang lebih baik, lebih
sempurna, lebih luas dan lebih komplek.
Kegunaan fungsi
pengembangan sesuai pengertian di atas adalah untuk meningkatkan dan memperluas
program pendidikan. Kegunaan pertama yaitu meningkatkan, menekankan segi
kualitatif. Peningkatan diarahkan untuk menyempurnakan program pendidikan yang
telah atau sedang dilaksanakan menjadi program baru disusun sesuai pengalaman
penyelenggaraan program yang telah dilaksanakan. Kebutuhan peserta didik dan
masyarakat serta lembaga, dan sesuai pula dengan perkembangan dan perubahan
lingkungan. Kegunaan kedua dari fungsi pengembangan adalah untuk memperluas
program pendidikan. Peluasan ini menitik beratkan pada segi kuantitatif, hal
ini yang diperluas adalah jangkauan program baik jangkauan wilayah maupun
jangkauan sasaran (peserta didik/ santri).
Jadi hal
ini sesuai dengan konsep-konsep pengembangan sumber daya manusia pesantren,
bahwa pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan sebab untuk
kemajuan masyarakat harus dipenuhi prasyarat yang diperlukan dengan
pengembangan akan memberikan signifikan bagi upaya peningkatan kehidupan masa
depan kehidupan masyarakat.[4]
2. Strategi
Pengembangan Pendidikan Pesantren
Pengembangan
pendidikan pesantren di mana yang akan datang perlu memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut: Pertama, pendidikan pesantren perlu lebih pro aktif
dalam mereformasi visi, misi dan strateginya untuk mengubah program-program
pendidikan yang sedianya berorientasi pada menghasilkan para lulusan sebagai
pencari kerja (worker soceity) menjadi upaya menghasilkan lulusan yang
memiliki keahlian dan kemampuan untuk mandiri dan mencipta lapangan pekerjaan.
Pendidikan pesantren harus berorientasi untuk terwujudnya peserta didik yang
berkualitas ditandai dengan kemantapan keimanan dan ketakwaan (IMTAQ) dan
akhlak (budi pekerti) luhur, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
serta keterampilan (skill fungsional) sesuai dengan kebutuhan masyarakat
madani dan tata kehidupan bernegara.
Jadi Skill
Fungsional adalah keterampilan yang dimiliki sendiri atau peserta didik
sebagai bekal, kehidupan mandiri seperti untuk berwirausaha.
Kedua, meningkatkan visi dan misi dan
strategi pengembangan pendidikan pesantren. Visi pendidikan mencakup sudut
pandang filosofis bahwa peserta didik memiliki sikap dan perilaku yang dapat
berubah kearah sikap dan perilaku yang positif. Misi pendidikan pesantren
adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, beriman, bertaqwa, bermoral,
trampil, dan mandiri, serta menjadi warga yang berperan aktif dan konstruktif
dalam masyarakat sekitar.[5]
3. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan
sumber daya manusia adalah penting untuk mencapai tujuan pembangunan secara
efektif. Pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai
pengelolaan yang baik akan dapat menghemat dana atau setidak-tidaknya
pengolahan dan pemakaian dana dapat lebih efesien dan efektif. Demikian pula
pengembangan sumber dana manusia di Pesantren Nurwiyah sangat penting untuk
mencapai hasil kerja yang optimal. Namun demikian dalam pelaksanaan
pengembangan sumber daya manusia ini perlu mempertimbangkan faktor-faktor, baik
dalam diri pesantren (intern) maupun dari luar (eksternal).
Faktor
internal mencakup keseluruhan kehidupan pesantren yang dapat dikendalikan oleh
pimpinan. Secara rinci faktor-faktor internal meliputi:
a. Visi, misi dan
tujuan pesantren. Untuk memenuhi visi, misi dan tujuan diperlukan perencanaan
yang baik serta implementasi yang tepat. Pelaksanaan kegiatan atau program
pesantren dalam upaya memenuhi visi dan misi dan tujuan organisasi diperlukan
kemampuan sumber daya manusia yang hanya bisa dicapai dengan pengembangan
sumber daya manusia di Pesantren Nurwiyah.
b.
Visi, misi dan tujuan pesantren satu dengan yang
lainnya mungkin memiliki kerancauan, namun strategi untuk mencapai visi, misi
dan tujuan tidak sama, untuk itu diperlukan kemampuan pesantren Nurwiyah untuk
mengantisipasi keadaan luar yang dapat membawa dampak bagi pesantren tersebut.[6]
Visi, misi
dan tujuan Pesantren Nurwiyah Cebolek Margoyoso Pati adalah:
a.
Visi
-
Memperjuangkan
terlaksananya risalah Rasulullah Muhammad SAW melalui jalur Tarbiyyah,
dengan mempersiapkan generasi Islam yang beriman, bertaqwa, berakhlakul
karimah.
b.
Misi
-
Meneruskan
cita-cita perjuangan alim ulama' dan mendidik para santri agar menjadi alim,
amil, sholih, mujahid dan muklis.
-
Berperan
aktif dalam usaha pemberdayaan masyarakat berbangsa dan bernegara, khususnya di
bidang Tarbiyah Islamiyah.
c.
Tujuan
-
Menyiapkan
generasi muslim yang berintelektual Islami, beriman, bertaqwa, berakhlakul
karimah dan berguna kepada masyarakat, bangsa, negara, dan agama.[7]
Faktor eksternal
yang merupakan lingkungan di mana pesantren itu berada harus benar-benar
diperhitungkan. Faktor-faktor eksternal pesantren antara lain meliputi:
a. Kebijakan
pemerintah, baik yang dikeluarkan melalui perundang-undangan, peraturan
pemerintah, surat keputusan menteri atau pejabat pemerintah dan sebagainya.
Kebijaksanaan merupakan arahan yang harus diperhitungkan yang sudah tentu akan
mempengaruhi program pengembangan sumber daya manusia dalam Pesantren Nurwiyah.
b. Faktor sosial
kultural di masyarakat yang berbeda tidak boleh diabaikan oleh pesantren,
karena pesantren itu sendiri didirikan pada hakekatnya adalah untuk kepentingan
masyarakat, sehingga dalam mengembangkan sumber daya manusia pesantren perlu
memperhitungkan faktor-faktor tersebut.
c. Perkembangan
IPTEK di luar pesantren yang sudah sedemikian pesat harus bisa diikuti
pesantren, karena itu pesantren harus mampu memilih IPTEK yang tepat untuk
pesantrennya. Pesantren harus diadaptasikan dengan kondisi tersebut.[8]
Jadi pengembangan sumber daya manusia harus memperhatikan faktor internal dan
eksternal.
4. Perencanaan
Sumber Daya Manusia
Perencanaan
merupakan inti manajemen, karena semua kegiatan organisasi pesantren di dasarkan
atas rencana itu. Dengan perencanaan akan memungkinkan para pengambil keputusan
untuk menggunakan sumber daya manusia mereka secara efesien dan efektif.
Perencanaan sumber daya manusia merupakan inti dari managemen sumber daya
manusia, karena dengan perencanaan maka kegiatan seleksi, pelatihan,
pengembangan, serta kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan sumber daya
manusia bisa lebih terarah.[9]
Perencanaan
sebagai kegiatan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan. Perlu memperhatikan prinsip-prinsip diantaranya yaitu
prinsip-prinsip perencanaan program pendidikan pesantren, artinya perencanaan
sebagai kegiatan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, perencanaan disusun berdasarkan
kebijakan dan kebutuhan apa dan atau siapa yang ingin dipenuhi. Hal ini berarti
bahwa penyusunan program Pesantren Nurwiyah harus di awal dengan
mengidentifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber dan karakteristik sasaran,
sehingga perencanaan yang disusun merupakan penjabaran kebijakan yang telah
ditetapkan.
Kedua, konsistensi yang berarti bahwa
perencanaan disusun dengan memperhatikan rencana yang telah disusun, sehingga
kegiatan yang telah direncanakan itu berkesinambungan dengan kegiatan
sebelumnya.
Ketiga, berdaya guna dan berhasil guna,
berarti bahwa perencanaan harus berorientasi pada pemanfaatan sumber daya yang
ada secara cermat dengan hasil yang seoptimal mungkin. Dengan demikian,
kegiatan penyusunan rencana harus memperhatikan dan mengikutsertakan kemampuan
santri sehingga sumber daya yang ada pada santri dapat dilibatkan dalam
pelaksanaannya.
Keempat, menyeluruh dalam arti bahwa dalam
perencanaan program pendidikan pesantren perlu mempertimbangkan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program seperti masukan, proses, keluaran,
dan dampak program pendidikan pesantren. Dalam masukan lingkungan misalnya
perlu diperhatikan faktor lingkungan sosial budaya, lingkungan alam.[10]
5. Pendidikan dan
Pelatihan
Apabila
proses pendidikan dan pelatihan dilihat kembali, maka tampak bahwa hasil akhir
tersebut adalah perubahan tingkah laku yang diharapkan ini berarti bahwa
pendidikan bertujuan mengubah tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku dan
hasil perubahan itu, dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan, pada dasarnya
tujuan pendidikan adalah Deskripsi pengetahuan, sikap, tindakan, dan penampilan
yang diharapkan akan dimiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Sebuah
lembaga pendidikan seperti pesantren sebenarnya telah tergambar harapan tentang
tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran pendidikan atau para santri
antara lain perubahan pengetahuan, sikap dan sekaligus kemampuan mereka.[11]
Upaya
pengembangan dan pembinaan Pesantren Nurwiyah dapat dikatakan sebagai upaya
transformasi pesantren agar tetap survive dan semakin berkembang kearah
yang lebih baik. Upaya transformasi ini dilakukan dengan landasan kaidah yang
menunjukkan bahwa pesantren memang berupaya terus untuk meningkatkan
eksistensinya dengan melakukan berbagai pengembangan dan perubahan ke arah yang
lebih baik.
Dalam
rangka meningkatkan peranan pesantren dapat mengembangkan komponen sebagai
berikut:
a.
Pendidikan Agama dan Pengajian Kitab
Pendidikan
agama melalui pengajian kitab yang diselenggarakan pesantren adalah komponen
kegiatan utama atau pokok dari pesantren. Dari segi penyelenggaraannya seperti
tersebut di atas, diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Kyai dan Pengasuh
pesantren. Maksud kegiatan pengajian kitab ini terutama adalah untuk mendalami
ajaran agama Islam dari sumber aslinya (kitab-kitab kuning yang dikarang oleh
ulama' pada abad pertengahan).[12]
Jadi, terpelihara ketertarikan pendidikan keagamaan untuk melahirkan calon
ulama sebagai misi Pesantren Nurwiyah.
Sedangkan
pendidikan dalam pengertian immaterial cenderung berbentuk suatu upaya
perubahan sikap santri, agar santri menjadi pribadi yang tangguh dalam
kehidupannya sehari-hari atau dengan kata lain mengantarkan anak didik menjadi
dewasa secara psikologik. Dewasa dalam bentuk psikis mempunyai pengertian
manusia itu dapat dikembangkan dirinya ke arah kematangan pribadi sehingga
memiliki kemampuan yang komprehensif dalam mengembangkan dirinya.
b.
Pendidikan Dakwah
Pendidikan
dakwah, seperti halnya pendidikan agama (pengajian) merupakan salah satu pokok
penyelenggaraan pesantren. Bahkan seperti telah diungkapkan di atas, pesantren
dapat berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang menyebarkan ajaran agama Islam
secara benar. Melalui pendidikan ini tentunya dipahami bahwa ada keinginan
untuk melahirkan kader-kader ulama' yang dapat membantu menyebarkan ajaran
Islam secara benar. Pendidikan semacam ini dapat dikategorikan sebagai
keterampilan santri. Hal ini yang menjadi populer pada dewasa ini adalah
penyelenggaraan Majlis Dakwah oleh Pesantren Nurwiyah.
Sebenarnya
secara mendasar seluruh gerakan pesantren baik di dalam maupun di luar pesantren
adalah bentuk-bentuk kegiatan dakwah, sebab pada hakikatnya pesantren berdiri
tidak terlepas dari tujuan agama secara total. Keberadaan pesantren di tengah
masyarakat merupakan suatu lembaga yang bertujuan menegakkan kalimat Allah
dalam pengertian penyebaran ajaran agama Islam agar pemeluknya memahami Islam
dengan sebenarnya.
c.
Sistem Kursus-Kursus
Pola
pengajaran yang ditempuh melalui kursus (takhasus) ini ditekankan pada
pengembangan keterampilan berbahasa Inggris. Di samping itu diadakan keterampilan
tangan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti kursus
menjahit, mengetik, komputer dan sablon.[13]
Pengajaran
sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri-santri yang mandiri
menopang ilmu-ilmu agama yang mereka tuntut dari Kyai melalui pengajaran
sorogan, wetonan, sebab pada umumnya santri diharapkan tidak tergantung kepada
pekerjaan di masa mendatang, melainkan harus mampu menciptakan pekerjaan sesuai
dengan kemampuan mereka.
d.
Sistem Pelatihan
Di samping
sistem pengajaran klasikal, kursus-kursus dan pendidikan dakwah dilakukan juga
sistem palatihan yang menekankan pada kemampuan psikomotorik. Pola pelatihan
yang dikembangkan adalah termasuk menumbuhkan kemampuan praktis, seperti:
pelatihan pertukangan, perkebunan, perikanan, managemen koperasi dan
kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya kemandirian integratif. Hal ini erat
kaitannya dengan kemampuan yang lain yang cenderung lahirnya santri intelek dan
ulama' yang mumpuni.
Baik
sistem pengajaran klasikal/ tradisional maupun yang bersifat modern yang
dilaksanakan dalam pesantren erat kaitannya dengan tujuan pendidikannya yang
pada dasarnya hanya semata-matanya bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
yang tangguh dan mempunyai sumber daya manusia yang unggul dalam mengatasi
situasi dan kondisi lingkungan, artinya cocok dengan yang diharapkan sebagai
hasil sistem pendidikan dan pengajaran pesantren adalah figur mandiri.
e.
Kursus dan Keterampilan
Siswa-siswa/
santri-santri tradisional tidak membayar untuk pendidikan dan kos mereka saja,
tetapi mereka bekerja di mana-mana dalam dunia Islam. Dalam bagian kerja ini,
mereka akan memperoleh banyak skill yang bisa mereka gunakan setelah pulang
dari pesantren. Akhir-akhir ini, pesantren banyak menawarkan program ekstra
yang berupa kursus-kursus yang paling populer adalah komputer dan dakwah dan
juga kursus keterampilan seperti seni baca al-Qur'an, pertukangan, menyetir
mobil, menjahit maupun manajemen bisnis kecil-kecilan dan penjelasan ini adalah
bentuk respon mereka terhadap seruan pemerintah untuk meningkatkan sumber daya
manusia. Training-training keterampilan ini masih dalam bentuk kerja dalam
rangka mengganti ongkos pendidikan, sebab penambahan pendidikan umum berarti
mengurangi jam-jam belajar agama, tetapi sekarang menjadi umum bagi para siswa
atau orang tua mereka untuk membayar langsung ongkos/ pendidikannya. Fenomena
ini, kadang-kadang berarti hanya mereka yang tidak mampu membayar akan menerima
training-training keterampilan tersebut.
Bahkan jika
kursus hanya berkala dan skill training sangat minim atau terbatas pada
kerja yang berkaitan dengan training. Aktivitas-aktivitas ini menjadi sangat
penting dan yang menggambarkan seperti apa pesantren itu atau seharusnya
seperti apa pesantren dalam masyarakat. Antara program pemerintah untuk
meningkatkan sumber daya manusia dan realitas kebutuhan para alumni, sebuah
pesantren yang tidak bisa menangkap itu atau tidak melakukannya, dengan cepat
akan menjadi tidak terkenal. Kalau pendidikan agama masih menjadi ukuran untuk
siswa-siswi dan orang tua yang
berkepentingan dengan job skill, maka ada banyak pesantren yang mampu
membekali dan skill-skill tersebut dan menyajikan kerja yang lebih baik, karena
produk akhir yang diinginkan siswa/ santri yang pandai ilmu agama, bermoral dan
memiliki skill untuk masa depannya.
B. Sistem
Pendidikan Pesantren
1.
Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren
Banyak
definisi yang digunakan untuk menjelaskan arti kata "Sistem" di
antaranya sebagai berikut:
a. Sistem adalah
suatu kebulatan keseluruhan yang komplek/ terorganisir suatu himpunan/
perpaduan hal-hal/ bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/ keseluruhan
yang komplek atau utuh.
b. Sistem
merupakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk
mencapai suatu tujuan.[14]
c.
Sistem adalah suatu susunan kesatuan di mana
masing-masing hal di dalamnya tidak diperhatikan hakekatnya sendiri, tetapi lihat
fungsinya terhadap keseluruhan susunan kesatuan ini. Dalam suatu sistem
masing-masing hal/ unit dan keseluruhannya sebagai kesatuan saling bergantung,
saling menentukan dan saling membutuhkan.[15]
Dengan
demikian bahwa sistem sangat berbeda dengan metode/ cara yang sering dipadankan
dalam pembicaraan sehari-hari, sebab metode tidak menunjukkan adanya struktur
saling bergantung, ia hanya merupakan patokan aktivitas berulang-ulang/ proses
saja. Sistem pendidikan pesantren bisa diartikan sebagai suatu sistem
pendidikan yang melakukan suatu transformasi dan menghasilkan output berupa
lulusan. Sebagai bahan raw input adalah para calon santri, sedangkan alat
pencetaknya mencakup para Kyai, kurikulum dan alat-alat yang lainnya.[16]
Sistem
pendidikan pesantren mengandung struktur, proses elemen-elemen yang saling
bergantung yang berproses/ beraktivitas dan mentransformasi ilmu dengan tujuan
tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan
akan tetapi untuk mempertinggi semangat menghargai nilai-nilai spritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral serta
menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan berhati bersih.
Komponen-komponen yang baik
menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik, tetapi komponen yang baik itu
belum tentu bisa menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala
komponen tersebut untuk tidak berhubungan secara fungsional dengan komponen
yang lain. Hubungan fungsional antara komponen-komponen ini berupa hubungan
yang bersifat dinamis antar komponen-komponen dan gerak fungsi dari seluruh
komponen terarah kepada tujuan sistem, ibarat tubuh kita (sebagai sebuah sistem
yang bertujuan untuk mempertahankan hidup) tujuan tersebut dapat dicapai berkat
berfungsinya segenap organ tubuh, seperti paru-paru, jantung, alat pencernaan
makanan, hati dan sebagainya, secara kordinatif terarah kepada tujuan sistem
yaitu hidup.
Dilihat
dari segi pencapaian tujuan, pada prinsipnya setiap sistem dibangun dengan
maksud untuk mencapai tujuan yang optimal. Jika optimalisasi pencapaian tujuan
tetap dipertahankan akan tetapi masih terdapat komponen yang berubah, loginya
harus ada komponen lain yang dapat mengimbangi/ menutup kekurangan dengan
menggantikan fungsi dari komponen yang pertama tadi. Jika tidak, maka target
tujuan tidak tercapai, misalnya dalam sistem pengajaran, kekurangan pada
komponen peralatan pengajaran tidak mengganggu target tujuan sistem (dalam hal
ini hasil belajar) jika dapat diimbangi oleh komponen guru yang mahir dalam
mengajar. Demikian juga sebaliknya, guru yang kurang trampil dalam mengajar
dapat ditunjang alat bantu mengajar yang memadai.[17]
2.
Beberapa Komponen dalam Sistem Pendidikan Pesantren
Di dalam
situasi pendidikan terdapat beberapa komponen yang tidak dapat dipisah-pisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun komponen-komponen yang terdapat
dalam sistem pendidikan pesantren adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan Pendidikan Pesantren
Pesantren
sebagai lembaga Madrasah Assyariyyah (tempat pendidikan keagamaan) yang lebih
menentukan pendidikan akhlak/ masyarakat fiqih yang didirikan oleh dan atas
kemauan Kyai yang berada dalam jalur sistem pendidikan kemasyarakatan. Ia
memiliki program pendidikan yang disusun sendiri, pada umumnya terlepas dan
bebas dari ketentuan formal, karena pesantren didirikan atas keinginan Kyai
maka pada dasarnya pesantren itu sendiri juga dalam semangatnya adalah pancaran
kepribadian pendirinya. Oleh karena itu, kekurangan pertamanya adalah kurang
jelasnya tujuan pendidikan tidak adanya perumusan tujuan pendidikan dan
merumuskannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja/ program itu disebabkan bahwa
tampaknya tujuan pendidikan diserahkan kepda proses improvisasi menurut
perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh seseorang Kyai atau bersama
dengan pembantunya secara intuitif.[18]
Tujuan-tujuan
yang dihadapkan terutama dalam pendidikannya oleh seorang Kyai yang memahami
dirinya sebagai bagian suatu rantai tradisi dapat terlihat kembali melalui
penugasan pesantren itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari yang merupakan
alat untuk terus memberikan, mengembangkan, menerapkan dan mengambarkan potensi
intelektual dan gambaran nilai budaya para pemimpinnya.
Sementara itu menurut Manfreed
Ziemex, secara umum tujuan pesantren dijelaskan sebagai berikut:
"Pendidikan dalam sebuah
pesantren ditujukan untuk mempersiapkan pimpinan-pimpinan akhlak dan keagamaan,
diharapkan bahwa santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri untuk menjadi
pimpinan yang tidak resmi/ kadang-kadang pemimpin resmi di masyarakat".[19]
Meskipun
sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan "Holistik" artinya
para pengasuh pesantren memandang kesatupaduan atau lebur dalam totalitas
kehidupan sehari-hari. Bagi warga pesantren, belajar di pesantren tidak
mengenal perhitungan waktu, sehingga pengetahuan apa saja belum cukup. Namun
tujuan pesantren lebih mengutamakan dan mementingkan pendidikan akhlak/ moral
dalam pembentukan kepribadian muslim. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan
Islam yang dikemukakan oleh Abdul Ghani Abud, yaitu:
والفرض الاول من التربيه الا سلاميه تهديب الخلق وتربيه الروح
Artinya : "Adapun tujuan utama dan pertama dari
pendidikan Islam adalah pendidikan budi pekerti dan pendidikan jiwa".[20]
Atau
sebagaimana pernyataan M. Athiyah al-Abrasyi yaitu "The fiest and
highest goal of Islamic education is moral difinemen and spritual
training".[21]
Artinya: "Tujuan pertama dan
tertinggi pendidikan Islam adalah kehalusan moral dan latihan kejiwaan".
Masalah
tersebut disebabkan pesantren yang bersifat tradisional biasanya tidak
merumuskan dasar dan tujuan pendidikannya secara eksplisit, hal ini merupakan
perwujudan dari sikap kesederhanaan yang dimiliki pesantren di mana seorang
Kyai mengajar ilmu agama dan santri dengan tekun menerimanya semata-mata untuk
ibadah. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan yang ada, maka pesantren
dituntut untuk merumuskan tujuan pendidikannya, serta memikirkan masa depan
para santrinya dalam arti mempersiapkan bekal dalam hidup bermasyarakat kelak
setelah ia menamatkan pelajarannya di pesantren.
Hal ini
sesuai dengan hakikat pendidikan Islam itu sendiri yaitu "Islamic
education did not neglect to prepare the individual to learn his live lihood by the study and trades".[22]
Artinya:
"Pendidikan Islam tidak mengabaikan masalah mempersiapkan seseorang untuk
mencari kehidupannya dengan jalan mempelajari beberapa bidang pekerjaan,
keseniaan dan perdagangan".
Sebagai
lanjutan dari hal ini diadakan seminar untuk merumuskan tujuan instruksional
pesantren yang akhirnya menghasilkan beberapa rumusan, di antaranya adalah
tujuan mendirikan pesantren adalah mencetak kader-kader pembangunan yang
bertakwa kepada Allah SWT, cakap, trampil, bekerja untuk dirinya sendiri,
keluarga serta masyarakat lingkungannya.[23]
Sejalan dengan hal ini, lokakarya
intesifikasi pengembangan pesantren Departemen Agama RI merumuskan
tujuan-tujuan pesantren sebagai berikut:
1)
Tujuan Umum
Tujuan
umum pendidikan di pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian
muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan
tersebut pada semua aspek kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang
berguna bagi agama, masyarakat dan negara.
2)
Tujuan Khusus
a) Mendidik siswa/
santri, anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertakwa kepada
Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir
batin sebagai warga negara yang berpancasila.
b) Mendidik siswa/
santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader ulama dan mubalig berjiwa
ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan syari'at Islam secara utuh
dan dinamis.
c) Mendidik siswa/
santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar
dapat menumbuhkan manusia pembangunan yang membangun dirinya dan bertanggung
jawab terhadap pembangunan bangsa dan negara.
d) Mendidik
tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/
masyarakat lingkungan).
e) Mendidik siswa/
santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan,
khususnya pembangunan mental spritual.
f)
Mendidik siswa/ santri untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat lingkungannya dalam rangka usaha pembangunan
masyarakat bangsanya.[24]
Dari
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata mempersiapkan tujuan ideologi
dengan mentransfer ilmu-ilmu agama yang berkonotasi keakhiratan saja, tetapi
juga mempersiapkan para santrinya dengan segenap tuntutan sosial yang berlaku.
b.
Kyai
Kyai
merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia sering kali
bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren
semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi Kyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan Kyai
dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu
sebagai:
1) Sebagai gelar
kehormatan bagi barang-barang yang dianggap kramat, misalnya: "Kyai Garuda
Kencana" dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta.
2)
Sebagai gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada
umumnya.
3)
Suatu gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada
seorang ahli agama Islam yang memiliki/ menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar Kyai , ia juga
sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).[25]
Kebanyakan
Kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu
kerajaan kecil di mana Kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan
kewenangan (Power and Autority) dalam kehidupan dan lingkungan
pesantren, tidak seorangpun santri dan orang lain yang dapat melawan kekuasaan
Kyai (dalam lingkungan pesantren) kecuali Kyai lain yang lebih besar
pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berfikir bahwa Kyai yang
dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-confident)
baik dalam soal-soal pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan
manajemen pesantren.[26]
Ibarat
sisi mata uang, jika melihat hubungan antara pesantren dan Kyai, keduanya satu
sama lain tidak dapat dipisahkan posisi Kyai dalam lembaga pesantren adalah
sangat menentukan ke mana arah perjalanan pesantren (kebijakan orientasi
program pesantren) ditentukan oleh Kyai. Dalam realitas sosial pesantren itu
adalah milik masyarakat, maka di sini ada kaitan yang erat bahwa Kyai pun
adalah milik masyarakat pula. Inilah istimewanya seorang Kyai di pesantren.[27]
Kyai/
ulama adalah penentu langkah pergerakan pesantren. Ia sebagai pimpinan
masyarakat, pengasuh pesantren dan sekaligus sebagai ulama. Sebagai ulama Kyai
sebagai pewaris para Nabi (Warasahl al Anbiya) yakni mewarisi apa saja
yang dianggap sebagai ilmu oleh para Nabi, baik dalam bersikap, berbuat, dan
conth-contoh atau teladan baik (al-Uswah al-Haranah) mereka.
Dalam
tradisi kita, Kyai bertindak sebagai figur sentral di tengah masyarakat, segala
ucapan, perbuatan dan tingkah lakunya dijadikan Soko Guru oleh umat. Kadang
Kyai dianggap sebagai manusia suci yang memiliki karomah dan sumber keberkahan,
sehingga dalam komunitas pesantren, semua kegiatan yang dilakukan oleh setiap
warga pesantren sangat tergantung pada restu Kyai, baik ustadz maupun santri
selalu berusaha jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan
Kyai.[28]
Proses
menjadi Kyai/ ulama secara tradisional berlangsung di pesantren, sungguhpun
demikian seorang yang telah lulus di pesantren tidak otomatis disebut Kyai/
ulama. Titel Kyai/ ulama diberikan oleh masyarakat sebagai pengakuan masyarakat
atas kesepuhan dan otoritas seseorang di bidang agama.
Untuk menjadi seorang
Kyai, seorang calon harus berusaha keras melalui jenjang yang bertahap pertama
ia biasanya anggota keluarha Kyai, setelah menyelesaikan diberbagai pesantren
Kyai pembimbingnya yang terakhir akan melatihnya untuk mendirikan pesantrennya
sendiri. Kadang-kadang Kyai pembimbing tersebut turut serta secara langsung
dalam pendirian proyek pesantren yang baru. Sebab Kyai muda ini dianggap
mempunyai potensi untuk menjadi seorang alim yang baik, campur tangan Kyai
biasanya biasanya lebih banyak lagi, antara lain calon Kyai tersebut dicarikan
jodoh (biasanya dicarikan mertua yang kaya) dan diberikan didikan istimewa agar
menggunakan waktu terakhirnya di pesantren khusus untuk mengembangkan bakat
kepemimpinannya.[29]
Masyarakat
biasanya mengharapkan seorang Kyai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimiikinya. Semakin
tinggi kitab-kitab yang diajarkan, ia akan semakin dikagumi ia juga diharapkan
dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya pada diri sendiri dan
kemampuannya, karena banyak orang datang meminta nasihat dan bimbingan dalam
banyak hal, ia juga diharapkan untuk rendah hati menghormati semua orang tanpa
melihat tinggi rendahnya kelas sosialnya kekayaan dan pendidikannya, banyak
prihatin dan pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan
kepemimpinan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan
khutbah dan lain sebagainya.
c.
Santri
Perkataan
santri digunakan untuk menunjukkan pada golongan orang-orang Islam Jawa yang
memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya, sedangkan untuk
orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejiwaannya biasanya disebut kaum
"Abangan". Mengenai asal-usul kata "Santri" itu ada dua
pendapat. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa
"Santri" yang berasal dari kata "Santri" dari kata
Sangsekerta yang artinya melek huruf. Kedua, adalah pendapat yang
mengatakan bahwa kata santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya
dari kata Cangterik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru ini menetap, terutama dengan tujuan dapat belajar
darinya mengenai suatu keahlian.[30]
Santri merupakan elemen penting
dalam suatu lembaga pesantren. Menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok
santri, yaitu:
1) Santri mukim,
yaitu murid-murid yang bearasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam
kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut
biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka juga memikul tanggung jawab
mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar menengah.
2)
Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari
desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren.
Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglaju) dari
rumah sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil
dapat dilihat dari komposisi santri kalong, semakin besar jumlah santri
mukimnya.[31]
Seorang santri pergi dan menetap
disuatu pesantren karena berbagai alasa, yaitu:
1) Ia ingin
mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah
bimbingan Kyai.
2) Ia ingin
memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran,
keorganisasian, maupun hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal.
3) Ia ingin memusatkan
studinya di pesantren tanpa disibukkan oelh kewajiban sehari-hari di rumah
keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di sebuah pesantren yang sangat
jauh letaknya dari rumahnya sendiri ia tidak pulang bolak-balik meskipun
kadang-kadang menginginkannya.[32]
Orang yang belajar di pesantren
seperti orang yang berbelanja di pasar, terserah orang mau belanja apa saja
sesuai dengan uang yang dimiliki dan selera makanan yang akan dibuat. Dalam
pesantren, santri belajar sesuai dengan kecenderungan dan kemampuannya, kyai
dan ustadz hanya membantu dan melayaninya. Meskipun dengan demikian, ada
syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi yaitu anak harus memiliki landasan
moral agama yang kokoh sebelum anak mengikuti arus kehidupan selanjutnya. Dalam
kaitannya dengan moralitas pendidikan pesantren setidaknya ada 5 (lima) hal
yang dapat ditonjolkan, yaitu:[33]
1) Ikhlas, yaitu
santri harus memandang semua kegiatannya sebagai ibadah kepada Allah. Nilai
keikhlasan ini tidak hanya bagi santri, bagi ustadz juga dikenakan nilai
ikhlas. Banyak ustadz yang mengajar di pesantren mengajar tanpa menerima honor
sedikitpun, mereka hidup mengikuti gerak kehidupan bersama. Jika ada rizqi
dimakan bersama dan beberapa diantaranya masih menerima uang kiriman dari orang
tuanya.
2) Sederhana, yaitu
santri harus berpenampilan yang wajar dan sederhana, baik lahiriyah maupun
batiniyah, misalnya tidak memakai pakaian yang berlebih-lebihan atau
berkurang-kurangan, tidak boleh memamerkan kekayaan yang dapat menimbulkan iri
hati dan mengandung kejahatan orang lain, dan sebaliknya tidak menunjukkan
kemiskinan yang dapat mengandung belas kasihan orang lain.
3) Mandiri, yaitu
minimal setiap individu harus mampu memandang dirinya sendiri, bahkan harus
berusaha menolong orang lain yang membutuhkan.
4) Ukhuwah
Islamiyah, yaitu persaudaraan sesama muslim, baik di dalam maupun di luar
pesantren.
5)
Bebas berfikir, yaitu harus bebas memikirkan masa depan
dan memilih jalannya sendiri tetapi bukan berarti bebas yang tidak perduli
terhadap semua situasi dan kondisi, sebaliknya yang dimaksud bebas berfikir
ialah terikat disiplin yang telah menjadi tata tertib pondok pesantren.
Selain
kelima hal di atas, nilai moralitas yang dikembangkan di pesantren adalah Tawadhu'.
Dalam hal interaksi antara warga pondok yang satu dengan yang lain. Sebuah
pesantren yang di dalamnya terdapat lembaga formal. Warga pesantren selain Kyai
ada yang namanya ustadz, guru dan kepala sekolah. Ustadz adalah mereka yang
mengajar agama kepada para santri, baik di dalam asrama maupun di madrasah.
Hubungan ustadz dan Kyai seperti halnya hubungan santri dan Kyai dan selalu
penuh dengan ketawaduan. Sedangkan hubungan antara guru dan kepala sekolah
lebih bersifat resmi, fungsional dan equalitas.
Dalam
pandangan hidup santri, moralitas tradisi pesantren adalah pijakan yang jelas
untuk mempertahankan tradisi kepesantrenan. Dalam masyarakat santri, tradisi
pesantren adalah sebuah sintesis artinya budaya tersebut diakui sebagai salah
satu kultur yang harus dipertahankan eksistensinya, sekalipun karena tuntutan
modernitas pesantren mesti melaksanakan pendidikan formal.[34]
Jadi
dengan demikian, moralitas yang perlu dikembangkan adalah berdimensi pada
pijakan agama dengan tetap berada pada tataran tradisi pesantren dan selalu
melihat perubahan-perubahan yang terjadi terhadap sistem pendidikan pesantren.
Moralitas itulah yang akhirnya membuat pandangan hidup santri terhadap
pesantrennya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Mastuhu, bahwa sistem
pendidikan pesantren di dasari, di gerakkan dan di arahkan oleh nilai-nilai
kehidupan yang bersumberkan pada ajaran dasar Islam. Ajaran dasar agama ini
berkaitan dengan kontekstual/ realitas sosial yang digumuli dalam hidup
keseharian.[35]
Dengan
demikian, maka sistem pendidikan pesantren di dasarkan atas dialog yang terus
menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki
nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran
relatif. Moralitas inilah yang kelak membentuk pandangan hidup sendiri.
d.
Kurikulum Pendidikan Pesantren
Pada
lembaga pendidikan formal, kurikulum adalah merupakan salah satu komponen utama
yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran mengarahkan proses
mekanisme pendidikan, di samping faktor-faktor yang lain.[36]
Oleh karena itu keberadaan kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat
penting, namun demikian sering terdengar sorotan tajam bahwa kurikulum selalu
tertinggal oleh perkembangan zaman. Perkembangan yang dinamakan kurikulum
seringkali tidak mampu mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Oleh
karena itu, pembenahan kurikulum harus selalu dilakukan secara
berkesinambungan.
Dalam
konteks pendidikan di pesantren, Nurcholis Madjid mengatakan bahwa istilah
kurikulum tidak terkenal dalam istilah pesantren (masa pra kemerdekaan)
walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada di dalam pesantren, terutama
pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan
pesantren. Oleh karena itu, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan
tujuan pesantren secara eksplisit dan mengimplementasikan dalam bentuk
kurikulum.
Di samping
itu, tujuan pendidikan pesantren hanya ditentukan oleh kebijakan Kyai, sesuai
dengan perkembangan pesantren tersebut.
Kurikulum
merupakan pengantar materi yang dianggap efektif dan efesien dalam menyampaikan
misi dan pengoptimalisasian sumber daya manusia (santri) dalam upaya untuk
mencapai tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikannya di pesantren adalah
mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat.[37]
Kurikulum
dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata-kata "Manhaj" yang
berarti jalan yang terang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka.[38]
Ciri-ciri umum kurikulum pendidikan
Islam adalah:
1) Agama dan
akhlak merupakan tujuan utama, segala yang diajarkan dan diamalkan harus
berdasarkan pada al-Qur'an dan as-Sunnah serta Ijtihad para ulama.
2) Mempertahankan
pengembangan dan bimbingan terhadap
semua aspek pribadi santri dari segi intlektual, psikologi, sosial dan
spiritual.
3)
Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan
pengalaman serta kegiatan pengajaran.[39]
Sebelum
membuat dan menentukan suatu kurikulum, ada beberapa prinsip yang patut
dipertimbangkan, yaitu:
1) Mata pelajaran
dapat berpengaruh terhadap pendidikan jiwa serta kesempurnaan jiwa anak didik.
2) Mata pelajaran
yang diberikan dapat memberikan petunjuk serta tuntutan untuk menjalani hidup
dengan mulia.
3) Mata pelajaran
sebaiknya secara langsung dapat memberikan manfaat bagi anak didik dalam
hidupnya.
4) Mata pelajaran
hendaknya mencerminkan pendidikan kejiwaan yang sesuai dengan bakat dan
keinginan anak.
5)
Mata pelajaran hendaknya dapat menjadi alat pembuka
jalan untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.[40]
Sedangkan
dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam antara lain adalah:
1) Dasar agama
yaitu kurikulum diharapkan dapat menolong santri untuk membina iman yang kuat,
teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan melengkapi dengan ilmu yang
bermanfaat di dunia dan di akhirat.
2) Dasar falsafah
yaitu pendidikan Islam harus berdasarkan pada wahyu Tuhan dan tuntutan Nabi
Muhammad SAW, serta warisan para ulama.
3) Dasar
psikologis yaitu kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan
santri, tahap kematangan dan semua segi perkembangannya.
4) Dasar sosial
yaitu kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap
santri, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran yang
akan menambah produktifitas dan keikutsertakan mereka dalam membina umat dan
bangsanya.[41]
3. Metode
Pengajaran di Pesantren
Pada
umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisonal yaitu model sorogan
dan model bandungan, kedua model ini Kyai aktif dan santri pasif. Untuk itu
adanya metode pembelajaran sebagaimana merupakan jalan atau cara yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, jika dikaitkan dengan istilah
mengajar, di mana mengajar berarti menyajikan atau menyampaikan, sedangkan
metode mengajar sendiri adalah salah satu cara yang haru dilalui untuk
menyajikan bahan pengajaran agar tercapai tujuan pengajaran.[42]
Sebagai
lembaga pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah perkembangan pondok
pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu
model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa
Barat, metode tersebut diistilahkan dengan "Bandungan", sedangkan di
Sumatera digunakan istilah "Halaqoh".[43]
Secara
garis besar metode pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, di mana di antaranya masing-masing sistem
mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu:
a.
Metode Wetonan (Halaqoh)
Istilah
weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian
weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada
saat-saat tertentu.[44]
Metode ini di dalamnya
terdapat seorang Kyai yang membaca suatu Kitab dalam waktu tertentu, sedangkan
santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan
Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara
kolektif.[45]
Termasuk dalam kelompok sistem bandungan atau wetonan adalah halaqoh,
yaitu model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya,
para santri duduk melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah
tertentu di bawah bimbingan seorang guru.[46]
b.
Metode Sorogan
Metode
yang santrinya cukup pandai mensorogkan (mengajukan) sebuah kitab kepada Kyai
untuk dibaca di hadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan
oleh Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar
individual.[47]
Model ini
amat bagus untuk mempercepat sekaligus mengevaluasi penguasaan santri terhadap
bandungan kitab yang dikaji, akan tetapi metode ini membuhkan kesabaran,
ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan yang tinggi dari para santri. Model ini
biasanya diberikan kepada santri pemula yang masih membutuhkan bimbingan khusus
secara intensif. Pada umumnya pesantren lebih banyak menggunakan model weton
karena lebih cepat dan praktis mengajar banyak santri.[48]
Meskipun
setiap pesantren mempunyai ciri-ciri dan penekanan tersendiri. Hal itu tidaklah
berarti bahwa lembaga pesantren tersebut benar-benar berbeda satu sama lain,
sebab antara yang satu dengan yang lain masih saling kait mengkait, sistem yang
digunakan pada suatu pesantren juga diterapkan di pesantren itu.
[16] Suparlan Suryo Pratondo, Kapita Selekta Pendidikan
Pesantren, PT. Pasya Bhakti, Jakarta, 1991, hal. 175
[21] M. Athiyah al-Abrasyi, Education in Islam
Translated by Ismail Carmany, The Supreme Council For Islamic Affairs,
Cairo, 1963, hal. 11
[23] Tim Penyusun BKPB, Pedoman Kurikulum dan Metode
Pendidikan Pesantren, Parya Barkah, Jakarta, 1974, hal. 8
[24] Zaini A. Syais, Standarisasi Pengajaran Agama di
Pondok Pesantren, Proyek Pembinaan Bantuan Kepada Pondok Pesantren,
Jakarta, 1982, hal. 3
[25] Zama Khasyari Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi
Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1990, hal. 55
[28] Abdurrahman Mas'ud, Jihad Ala Pesantren di Mata
Antropologi America, Gema Media, Yogyakarta, Cet.I, 2004, hal. 9
[34] Zubaidi Nabibullah Asyari, Moralitas Pendidikan
Pesantren, LKDSM-NU. DIY, Yogyakarta, Cet. I, 1995, hal. 19
[36] Chabib Toha, Pengembangan Kurikulum PAI untuk
Pembentukan Masyarakat Madani, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang,
1999, hal. 2
[43] Tim Departemen Agama RI, Pedoman Pembinaan Pondok
Pesantren, Dirjen Binbaga, Jakarta, 1983, hal. 8
[45] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Agama Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya,
Tragenda Karya, Bandung, 1993, hal. 299-300
0 Response to "STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN"
Post a Comment