METODE
PEMBELAJARAN SOSIODRAMA
A.
Metode Sosiodrama Dalam
Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
1. Pengertian
Metode
Secara
etimologi istilah metode berasal dari bahasa yunani “methodos” kata ini terdiri
dari dua suku kata: yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos”
yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan.[1]
Dalam bahasa arab metode disebut “thoriqot”, dalam kamus besar bahasa Indonesia
“metode” adalah “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud”[2],
sehingga dapat difahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui
untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai jam pengajaran.
Oleh
Mahmud Yunus mengatakan metode adalah jalan yang hendak ditempuh oleh
seseoarang supaya sampai kepada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan
perusahaan atau perniagaan maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan lainnya.[3]
Dalam
dunia proses belajar mengajar yang disingkat dengan (PBM) sebuah ungkapan
popular kita kenal dengan “Metode jauh lebih penting daripada materi”, demikian
urgennya metode dalam proses pendidikan dan pengajaran. Sebuah proses belajar
mengajar bisa dikatakan bisa berhasil bila dalam proses tersebut tidak
menggunakan metode, karena metode menempati posisi kedua terpenting setelah
tujuan dari sikretan komponen-komponen pembelajaran: tujuan, metode, materi,
media dan evaluasi.
Seiring
dengan itu seorang pendidik atau guru dituntut agar cermat dalam memilih dan
menetapkan metode apa yang tepat digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran
kepada peserta didik. Oleh karena itu penerapan metode yang tepat sangat
mempengaruhi pencapaian keberhasilan dalam proses belajar mengajar, metode yang
tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak efisien.
Penggunaan
metode dalam satu pelajaran bisa lebih
dari satu macam (bervariasi), metode yang bervariatif dapat membangkitkan
motivasi belajar anak didik. Dalam pemilihan dan penggunaan sebuah metode harus
mempertimbangkan aspek efektifitasnya dan relevansinya dengan materi yang
disampaikan. Keberhasilan penggunaan suatu metode merupakan keberhasilan proses
pembelajaran yang pda akhirnya berfungsi sebagai diterminasi kualitas
pendidikan. Sehingga metode yang dikehendaki akan membawa kemajuan pada semua
bidang ilmu pengetahuan dan ketrampilan khususnya pelajaran aqidah akhlak
secara fungsional dapat merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam
tujuan pendidikan.
Karena
itu dalam proses belajar mengajar dikenal ada beberapa macam metode antara
lain: Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, dan lain sebagainya
semua metode tersebut dapat diaplikasikan didalam proses belajar mengajar.
Oleh
Fayar Yusuf dan Syaiful Anwar mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam memilih dan mengaplikasikan sebuah metode pengajaran:
a) Tujuan yang hendak
dicapai
b) Kemampuan guru
c) Anak didik
d) Situasi dan
kondisi pengajaran dimana berlangsung
e) Fasilitas yang
tersedia
f) Waktu yang
tersedia
g) Kebaikan dan kekurangan sebuah metode.[4]
2. Pengertian
sosiodrama
Sosiodrama
terdiri dari dua suku kata “sosio” yang artinya masyarakat dan “drama” yang
artinya keadaan seseorang atau peristiwa yang dialami orang, sifat dan tingkah
lakunya, hubungan seseorang, hubungan seseorang dengan orang lain dan
sebagainya.[5]
Menurut
Winarno Surakhmat sosiodrama adalah mendramatisasikan cara tingkah laku didalam
hubungan sosial.[6]
Menurut
Oemar Hamalik sosiodrama adalah suatu jenis tekhnik simulasi yang umumnya
digunakan untuk pendidikan sosial dan hubungan antar insani.[7]
Tekhnik ini berkaitan dengan studi kasus tetapi kasus tersebut melibatkan
individu manusia dan tingkah laku mereka atau interaksi antar individu tersebut
dalam bentuk dramatisasi. Para siswa
berpartisipasi sebagai pemain dengan peran tertentu atau sebagai pengamat
(observer) bergantung pada tujuan-tujuan dari penerapan tekhnik tersebut.
Menurut
Zakiah Daradjat dkk, sosiodrama adalah drama atau sandiwara dilakukan oleh
sekelompok orang untuk memainkan suatu cerita yang telah disusun naskah
ceritanya dan dipelajari sebelum dimainkan, adapun para pelakunya harus
memahami lebih dahulu tentang peranan masing-masing yang akan dibawanya.[8]
Dari
pengertian diatas dapat diambil kesimpulan sosiodrama adalah bentuk metode
mengajar dengan mendramakan atau memerankan tingkah laku didalam hubungan
sosial.
3. Metode Sosiodrama
Seorang
pendidik yang selalu berkecimpung dengan proses belajar mengajar kalau
benar-benar menginginkan agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien,
maka penguasaan materi saja tidaklah mencukupi ia harus menguasai berbagai
tekhnik atau penyampaian materi yang tepat dalam proses belajar mengajar sesuai
dengan materi yang diajarkan dan kemampuan anak didik yang menerimanya
pemilihan tekhnik atau metode yang tepat kiranya memang memerlukan keahlian
tersendiri. Para pendidik harus pandai memilih
dan mempergunakan tekhnik atau metode yang akan dipergunakannya.[9]
Metode pengajaran tidak akan ada artinya kalau tidak dilaksanakan dalam praktek
pendidikan, pelaksanaan metode pengajaran juga merupakan alat dalam pendidikan,
berikut akan dijabarkan mengenai fokus pendidikan yaitu tentang metode
sosiodrama.
Menurut
Yusuf Djaja Disastra metode sosiodrama adalah suatu metode mengajar dimana guru
memberikan kesempatan kepada murid untuk melakukan kegiatan memainkan peran
tertentu seperti yang terdapat dalam kehidupan masyarakat (sosial).[10]
Menurut
Engkoswara yang dikutip oleh Basyirudin Usman metode sosiodrama adalah suatu
drama tanpa naskah yang akan dimainkan oleh sekelompok orang.[11]
Menurut
Syaiful Bahri Djamarah metode sosiodrama dan Role Playing dapat dikatakan sama
artinya dalam pemakainnya sering disilih gantikan, sosiodrama pada dasarnya
mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungan dengan masalah sosial.[12]
Menurut
Zakiah Daradjat metode sosiodrama adalah juga semacam drama atau sandiwara,
akan tetapi tidak disiapkan naskahnya lebih dahulu tidak pula diadakan
pembagian tugas yang harus menjalani latihan terlebih dahulu, tapi dilaksanakan
seperti sandiwara dipanggung dengan tujuan agar anak didik mendapatkan
ketrampilan sosial.[13]
Dari
pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sosiodrama adalah bentuk
metode mengajar dengan mendramakan atau memerankan tingkah laku dalam hubungan
sosial. Prinsip dasar metode ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an tepatnya pada surat Al-Maidah ( 5 ) ayat
27-31, menceritakan drama yang sangat mengesankan antara Qobil dan Habil.
ﻭﺍﺗﻠ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻧﺑﺎ ﺍﺑﻧﻲ ﺍﺩﻡ ﺍﻗﺮﺑﺎ ﻗﺮ ﺑﺎ ﻧﺎ ﻑﺘﻘﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﺣﺪ ﻫﻤﺎ ﻭ ﻟﻢ ﻳﺘﻘﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﻻﺧﺮ ۗ ﻗﺎ ﻝﻻﻗﺘﻠﻨﻚ ۗ ﻗﺎ ﻝﺍﻧﻤﺎ
ﻳﺘﻘﺒﻞ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺘﻘﻳﻦ ﴿۲۷﴾ ﻟﮨﻦ ﺑﺴﻄﺖ ﺍﻟﭓﭓ ﻳﺪ ﻙ ﻟﺘﻘﺘﻠﻨﭓ ﻣﺎ ﺍﻧﺎﺑﺒﺎ ﺳﻂ ﻳﺪ ﻱ ﺍ ﻟﻴﻚ ﻻ
ﻗﺘﻠﻚ ۚ ﺍﻧﭓ ﺍ ﺧﺎ ﻑ ﺍﷲ ﺭ ﺏ ﺏﺍﻟﻌﻠﻤﻴﻦ ﴿۲۸﴾ ﺍﻧﭓ ﺍ ﺭ ﻳﺪ ﺍﻥ ﺗﺒﻮ ء ﺑﺎ ﺛﻤﭓ ﻭ ﺍ ﺛﻤﻚ ﻓﺘﻜﻮ
ﻥ ﻣﻥ ﺍﺻﺤﺐ ﺍﻟﻨﺎ ﺭ ۚ ﻭ ﺫ ﻟﻚ ﺟﺰ ﺍﺅ ﺍﺍ ﻟﻈﻠﻤﭕﻦ ﴿٢٩﴾ ﻓﻄﻮ ﻋﺖ ﻟﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﻗﺘﻞ ﺍﺧﻴﻪ ﻓﻘﺘﻠﻪ ﻓﺎ
ﺻﺒﺢ ﻣﻦ ﺍ ﻟﺨﺴﺮ ﻳﻦ ﴿۳۰﴾ ﻓﺒﻌﺚ ﺚﺍﷲ ﻏﺮﺍ ﺑﺎ ﻳﺒﺤﺚ ﻓﻰ ﺍﻻﺭ ﺽ ﻟﻴﺮ ﻳﻪ ﻛﻴﻒ ﻳﻮﺍ ﻱ ﺳﻮ ﺍﺓﺍﺧﻴﻪ
ۗ ﻗﺎ ﻳﻮ ﻳﻠﺘﻲ ﺍﻋﺠﺰ ﺕ ﺍﻥ ﺍ ﻛﻮ ﻥ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﺍﺍﻟﻐﺮﺍﺏ ﻓﺎﻭﺍ ﺮ ﻱﺳﻮ ﻮﺍﺓﺍﺟﭒ ۚ ﻓﺎﺻﺒﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺪ
ﻣﻴﻦ ﴿۳۱﴾
Artinya: (27) Ceritakanlah kepadaku
mereka kisah kedua kisah putera Adam (Qobil dan Habil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qobil). Ia berkata (Qobil) : “aku pasti membunuhmu”.
Berkata Habil : “Sesunguhnya Allah hanya menerima (qurban dari orang-orang yang
bertaqwa)”.(28) Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku. Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk
membunuhmu, sesungguhnya aku takut kepada Allah”. (29) “Sesungguhnya aku ingin
agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan dosamu sendiri maka
kamu akan menjadi penghuni neraka. Dan yang demikian itulah pembalasan bagi
orang-orang yang dzalim”. (30) Maka hawa nafsu Qobil menjadikannya menganggap
mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah maka jadilah ia seorang
diantara orang-orang yang merugi. (31) Kemudian Allah menyuruh seekor burung
gagak menggali-gali dibumi untuk memperlihatkannya kepadanya (Qobil) bagaimana
ia seharusnya menguburkan mayat saudaranya, berkata Qobil : “Aduhai celaka aku,
mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini ? Karena itu jadilah dia seorang diantara
orang-orang yang menyesal.
Pada ayat
tersebut memberikan gambaran yang jelas, bagaimana lakon yang dikerjakan oleh
Qobil dapat memberikan kesan yang sangat mendalam sehingga menyesali
perbuatannya karena melihat secara langsung perbuatan dirinya sendiri dari
seekor burung gagak.
Guru
Pendidikan Agama Islam lebih sangat
dituntut selalu berperan baik dalam proses belajar mengajar disekolah maupun
dimasyarakat untuk itu guru pendidikan agama Islam harus pandai-pandai
menerapkan metode mengajar. Dengan demikian pendidikan agama Islam tidak
disampaikan menggunakan metode ceramah monoton, karena siswa perlu dilatih
lebih kreatif sehingga dapat diharapkan siswa memiliki ketrampilan. Maka perlu
ada kajian ulang pada penerapan metode ceramah dalam menyampaikan pendidikan
agama Islam di sekolah, metode ceramah memang masih perlu namun harus diimbangi
dengan metode lain, untuk menciptakan suatu proses belajar mengajar yang lebih
kreatif maka metode yang digunakan dalam mengajar adalah dengan menggunakan
metode sosiodrama seperti yang diungkapkan oleh Zakiah Dradjat dkk yang dikutip
oleh Armai Arif.[14]
Dalam
hal ini tujuan yang diharapkan dengan menggunakan metode sosiodrama adalah agar
siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain dan juga menghargai
dalam pembentukan sikap dan perilaku sehari-hari dalam masyarakat, penerapan
metode mengajar dengan yang tidak monoton melalui sosiodrama diharapkan siswa
tidak bosan bahkan mampu memotivasi
siswa dalam belajar, membangkitkan tingkat afeksi siswa pada materi pendidikan
agama Islam terlebih lagi, mengajar peserta didik dengan memerankan atau
mendramakan lakon agar dapat melihat kemajuan anak didik baik dalam segi daya
tangkap, ketrampilan dan ketepatan dalam berfikir dan hal itu sangat penting
dan perlu dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam.[15]
a.
Tujuan
Metode Sosiodrama
1) Agar didik
mendapatkan ketrampilan sosial sehingga diharapkan nantinya tidak canggung
menghadapi situasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.
2) Menghilangkan perasaan-perasaan
malu dan rendah diri yang tidak pada tempatnya, maka ia dilatih melalui
temannya sendiri untuk berani berperan dalam sesuatu hal. Hal ini disebabkan
karena memang ada anak didik yang disuruh kedepan kelas saja tidak berani
apalagi berbuat sesuatu seperti berbicara didepan orang dan sebagainya.
3) Mendidik dan
mengembangkan kemampuan untuk mengemukakan pendapat didepan teman sendiri atau
orang lain.
4) Membiasakan
diri untuk sanggup menerima dan menghargai pendapat orang lain.[16]
b.
Langkah-langkah
pelaksanaan Metode Sosiodrama adalah sebagai berikut:
1) Guru menerangkan
tehnik ini dengan cara yang sederhana bila kelompok murid baru untuk pertama
kalinya diperkenalkan metode sosiodrama.
2) Situasi masalah
yang akan dimainkan ditetapkan sedemikian rupa sehingga masuk perhatian dan dalam
tingkat umum siswa-siswa.
3) Guru
menceritakan peristiwa itu secukupnya untuk mengatur adegan atau memberikan
kesiapan mental.
4) Jika sosiodrama
untuk pertama kalinya dilakukan, sebaiknya guru sendiri memilih siswa yang
kiranya dapat melaksanakan tugas itu dengan baik.
5) Guru menetapkan
peranan pendengar (siswa yang tidak turut melaksanakan tugas tersebut).
6) Guru menetapkan
dengan jelas masalah dan peranan yang mereka harus mainkan.
7) Guru
menyarankan kalimat pertama yang baik diucapkan oleh pemain untuk memulai.
8) Guru
menghentikan sosiodrama pada detik-detik situasi sedang memuncak dan kemudian
membuka diskusi umum.
9) Sebagai hasil
dari diskusi kadang-kadang dapat diminta kepada siswa untuk menyelesaikan
masalah itu dengan cara-cara lain.
10) Guru dan siswa
menarik kesimpulan.[17]
c.
Kelebihan
Dan Kekurangan Metode Sosiodrama
1) Kelebihan
metode sosiodrama
a) Melatih anak
untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian.
b) Metode ini akan
lebih menarik perhatian anak, sehingga susasana kelas menjadi lebih hihdup.
c) Anak-anak dapat
menghayati suatu peristiwa, sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan
penghayatan sendiri.
d) Penyatuan
perasan-perasan atau keinginan-keinginan yang terpendam karena memperoleh
kesempatan untuk mengekspresikan (mencurahkan) penghayatan mereka mengenai
suatu problem didepan orang banyak atau murid-murid lain.
e) Untuk mengajar
anak supaya ia bisa menempatkan dirinya diantara orang lain.
2) Kekurangan
Metode Sosiodrama.
a) Situasi sosial
yang diciptakan dalam suatu lakon tertentu, tetap hanya merupakan situasi yang
memiliki kekurangan kualitas emosional dengan situasi sosial sebenarnya.
b) Sukar untuk
memilih anak-anak yang benar-benar berwatak cemerlang untuk memecahkan sebuah
masalah.
c) Perbedaan adat
istiadat kebiasaan dan kehidupan dalam masyarakat akan mempersulit
mengaplikasikan metode ini.
d) Kadang-kadang
anak-anak tidak mau memerankan sesuatu adegan karena malu.
e) Metode ini
memerlukan waktu yang cukup panjang.
f) Anak-anak yang
tidak dapat giliran akan menjadi pasif.[18]
4. Mata Pelajaran
Aqidah Akhlak
Bidang
studi Aqidah Akhlak merupakan suatu mata pelajaran yang harus direalisasikan
dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan yang harmonis pada siswa, sebab
pelajaran akidah akhlak bukan hanya bersifat kognitif semata melainkan harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu seorang guru dalam
melaksanakan pengajaran aqidah akhlak harus senantiasa memberi tauladan yang
baik terhadap siswa saat berada dilingkungan sekolah maupun diluar sekolah,
dengan demikian pengajaran aqidah akhlak yang disampaikan oleh guru dapat
diterima oleh siswa semaksimal mungkin sehingga tujuan yang telah diprogramkan
dapat tercapai.
a. Pengertian
Aqidah Akhlak
Aqidah
Akhlak, kalimat tersebut terdiri dari dua kata yaitu aqidah dan akhlak, adapun
pengertian aqidah itu sendiri menurut bahasa yang artinya ikatan, sedangkan
menurut istilah, aqidah adalah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang islam
artinya mereka menetapkan atas kebenarannya.[19]
Sedangkan
pengertian akhlak menurut bahasa, berasal dari kata jama’ dari mufrod khuluk
yang artinya budi pekerti, sopan, santun, tindak, tanduk atau etika. Adapun
menurut istilah adalah suatu bentuk dalam jiwa seorang manusia yang dapat
melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji, menurut akal dan
syara’ bahwa disebut budi pekerti yang baik atau akhlak yang baik, tetapi
manakala sebaliknya naluri tersebut
melahirkan sesuatu perbuatan dan kelakuan yang jahat maka disebut budi
pekerti yang buruk atau akhlak yang buruk.[20]
Adapun
hubungan antara aqidah dan akhlak adalah sangat terkait yang mana aqidah adalah
hal-hal yang diyakini oleh orang islam dan menetapkannya sebagai kebenaran,
sebagai contoh adalah keyakinan akan dzat Allah yang Maha Kuasa, sedangkan
akhlak adalah sebagai sebagai manifestasinya dalam bentuk tingkah laku dari
dalam dan dangkalnya aqidah yang kita miliki. Dengan demikian hubungan antara
aqidah dan akhlak adalah kalau aqidah bersifat intern (batiniyah) sedangkan
akhlak bersifat ekstern (lahiriyah) yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku.
Itulah
sekilas mengenai aqidah dan akhlak yang telah penulis uraikan secara singkat.
Adapun dalam skripsi ini penulis akan membahas pengertian aqidah akhlak yang
berhubungan dengan interaksi belajar mengajar, dengan demikian pengertian dari
aqidah akhlak yang dimaksud adalah: “Aqidah akhlak adalah sub mata pelajaran
pada jenjang pendidikan dasar yang membahas ajaran agama Islam dalam segi
aqidah dan akhlak yang memberikan bimbingan kepada siswa agar memahami, menghayati,
menyakini kebenaran Islam serta bersedia mengamalkanya dalam kehidupan
sehari-hari.[21]
b. Fungsi Materi Pengajaran
Aqidah Akhlak
1) Penanaman nilai
dan ajaran agama Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di Dunia dan
Akhirat.
2) Peneguhan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, serta pengembangan akhlak mulia
peserta didik seoptimal mungkin, melanjutkan pendidikan yang telah lebih dahulu
dilaksanakan dalam keluarga.
3) Penyesuaian
mental dan diri peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial dengan bekal
aqidah akhlak.
4) Perbaikan
kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan,
pengalaman ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
5) Pencegahan
peserta didik dari hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya asing
yang akan dihadapinya sehari-hari.
6) Pengajaran
tentang orang dan informasi dan pengetahuan keimanan dan akhlak serta sistem
dan fungsionalnya.
7) Pembekalan peserta
didik untuk mendalami aqikidah akhlak pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
c. Tujuan Mempelajari
Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Untuk
itu tujuan mempelajari pengajaran aqidah akhlak adalah:
1) Menumbuhkan dan
meningkatkan keimanan peserta didik yang diwujudkan dalam akhlaknya yang
terpuji, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan serta
pengalaman peserta didik tentang aqidah dan akhlak Islam sehingga menjadi
manusia Muslim yang terus berkembang dan meningkatkan kualitas keimanan dan
ketaqwaanya kepada Allah SWT.
2) Berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara serta untuk
dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
3) Agar siswa
memiliki pengetahuan, penghayatan dan keyakinan yang benar terhadap hal-hal
yang harus di Imani sehingga dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari
berdasapkan Al-Qur’an dan hadits.
4) Agar siswa
memiliki pengetahuan, penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan
akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk baik dalam hubungan dengan
Allah, dirinya sendiri maupun hubunganya dengan alam lingkungannya.[22]
Tiap-tiap
belajar sekaligus pengajaran pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan
setiap guru harus mengetahui tujuan itu. Tujuan pengajaran menentukan meteri
yang hendak diajarkan dan menentukan pula metode yang dipergunakan, karena
tujuan yang berbeda akan menyebabkan adanya perbedaan antara materi dan
metodenya,
Menurut
Abu Ahmadi, tujuan umum pengajaran meliputi :
1) Memberi
pengetahuan kepada anak didik
2) Memberikan
kecakapan pada anak didik
3) Memberikan
kesiapan dan kecakapan untuk mencapai serta memecahkan segala persoalan
4) Memberikan
saran-saran untuk pembentukan kesehatan jasmani.[23]
Berdasarkan
keterangan diatas maka tujuan pengajaran adalah memberikan pertolongan dan
bimbingan kepada anak didik untuk menghadapi dan memecahkan persoalan, baik
secara jasmani maupun rohani. Bagaimana tujuan umum pengajaran-pengajaran
aqidah akhlak sebagai fungsi yang memberikan kemampuan dan ketrampilan kepada
peserta didik untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan
pengalaman akhlak Islami dan nilai-nilai keteladanan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai pengalaman nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan.[24]
d. Kompetensi
Dasar
Kompetensi Dasar
|
Indikator
|
Materi Pokok
|
Meyakini Allah melalui pengenalan
terhadap kalimat thayyibah
|
1. Menghafal
kalimat thayyibah “innalillahi wainna ilaihi rajiuun” dan “lahaula wala
quwwata illa bil Allah”
2. Mengetahui
arti kalimat thayyibah “innalillahi wainna ilaihi rajiuun” dan “lahaula wala
quwwata illa bil Allah”
3. Membiasakan
untuk mengucapkan kalimat “innalillahi wainna ilaihi rajiuun” ketika jatuh,
kecelakaan atau mendapatkan musibah dari Allah
4. Membiasakan
untuk mengucapkan kalimat “lahaula wala quwwata illa bil Allah” ketika
mendapatkan beban berat/kesulitan
|
Kalimat Thayyibah
|
Meyakini allah melalui pengenalan
terhadap sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Asma Al-Husna
|
1. Menghafal
Al-Asma Al-Husna (al-Mukmin, al-Adhim, al-Huda, al-Adlu, al-Hakim)
2. Mengetahui
arti al-Mukmin, al-Adhim, al-Huda, al-Adlu, al-Hakim
3. Mengemukakan
contoh dan bukti sederhana bahwa allah bersifat al-Mukmin, al-Adhim, al-Huda,
al-Adlu, al-Hakim
4. Menunjukkan
perilaku beriman bahwa Allah bersifat al-Mukmin, al-Adhim, al-Huda, al-Adlu,
al-Hakim
|
Sifat-sifat Allah dalam Asma
al-Husna
|
Membiasakan berakhlak terpuji
dalam kehidupan sehari-hari
|
1. Mengetahui
pengertian jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat kepada Allah
2. Menyebutkan
ciri-ciri sifat jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat kepada Allah
3. Menunjukkan
contoh-contoh perilaku sifat jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat
kepada Allah
4. Menunjukkan
akibat/keuntungan hidup jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat kepada
Allah
5. Menyadari
pentingnya sikap hidup jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat kepada
Allah
6. Memilih sikap
dan perilaku jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat kepada Allah
7. Membiasakan
untuk hidup dengan sifat jujur, benar, teguh pendirian, adil, dan taat kepada
Allah
|
Akhlak terpuji dalam kehidupan
sehari-hari
|
Membiasakan diri untuk menghindari
akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari
|
1. Menemukan
pengertian khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’ dan pemarah
2. Menyebutkan
ciri-ciri sifat khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’ dan pemarah
3. Menunjukkan
contoh- contoh orang yang bersifat khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’
dan pemarah
4. Menunjukkan
akibat/kerugian bersifat khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’ dan
pemarah
5. Menyadari
pentingnya menghindari sikap hidup khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’
dan pemarah
6. Memilih sikap
menghindari sikap hidup khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’ dan
pemarah
7. Membiasakan
untuk menghindari sifat khianat/ingkar janji, dhalim, kejam, tama’ dan
pemarah
|
Akhlak tercela dalam kehidupan
sehari-hari
|
Meyakini adanya makhluk ghaib
selain malaikat Allah
|
1. Mengetahui
pengertian makhluk ghaib selain malaikat
2. Menceritakan
tentang kejadian jin dan setan dan menyebutkan perbedaan antara jin dan setan
3. Menjelaskan
sifat-sifat dan tugas jin dan setan terhadap manusia
4. Menyebutkan
contoh perbuatan manusia yang mengikuti jin dan setan
5. Menghindari
sifat dan perbuatan yang mengikuti setan
6. Menyadari
pentingnya beriman adanya makhluk ghaib jin dan setan
7. Menunjukkan
perilaku beriman terhadap aanya jin dan setan
|
Makhluk ghaib
|
e. Materi Mata
Pelajaran Aqidah Akhlak
Dalam
membahas materi mata pelajaran aqidah akhlak tergantung kepada jenis dan
jenjang lembaga pendidikan yang bersangkutan, tingkat kelas dan tujuan juga
tingkat kemampuan anak didik sebagai konsumennya.
Adapun
sistematika menngajarnya tergantung kepada kebijaksanaan masing-masing pendidik
dengan memperhatikan waktu yang tersedia sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
Untuk
itu mengenai materi pelajaran tidak boleh diabaikan begitu saja dan setidaknya
dalam materi pengajaran harus ada pengembangan materi, menyampaikan
ciri-cirinya. Juga terkandung nilai keadilan kejujuran, kedisiplinan dan
lain-lain. Nilai-nilai inilah yang harus ditanamkan kepada peserta didik.
1) Mata pelajaran
Aqidah Akhlak dapat memberikan pengetahuan, penghayatan dan keyakinan kepada
siswa tentang hal-hal yang harus diimani. Menurut ajaran Islam, sehingga
tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.[25]
2) Mata pelajaran
Aqidah Akhlak dapat memberikan pengetahuan penghayatan dan kemauan yang kuat
untuk mengamalkan akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk, baik dalam
hubungannya dengan Allah, dirinya sendiri, sesama manusia maupun dengan alam
lingkungannya.[26]
3) Mata pelajaran
Aqidah Akhlak di harapkan dapat memberikan bekal kepada siswa tentang Aqidah
dan Akhlak untuk melanjutkan pelajaran kejenjang pendidikan menengah.[27]
Sehubungan
dengan hal tersebut diatas maka isi materi pengajaran dari masing-masing bidang
studi harus memperhatikan factor-faktor sebagai berikut :
1) Faktor
pedagogis yang harus memperhatikan pemilihan materi pengajaran yang sesuai
dengan tujuan.
2) Faktor
psikologis, pemilihan materi pengajaran di sesuaikan dengan tingkat
perkembangan kejiwaan dan kemampuan peserta didik
3) Faktor sosial
dan struktural adanya penilaian materi mempunyai kecenderungan kemampuan
menghargai kebudayaan dan norma sosial
4) Faktor politis,
pemilihan materi harus sesuai dengan filsafat Negara, lebih lanjut lagi
pemilihan materi pengajaran harus memenuhi kriteria:
a) Bahan
pengajaran agama harus dapat mengisi filsafat negara pancasila
b) Bahan
pengajaran hendaknya mengutamakan pelajaran agama esensial dan menyeluruh
c) Bahan
pengajaran dan kematangan peserta didik
Adapun
mengenai ruang lingkup materi atau bahan kajian mata pelajaran aqidah akhlak
dalam tingkat Madrasah Ibtidaiyah meliputi :
1) Aspek Keimanan
Meliputi:
aspek iman kepada Allah SWT, dengan alasan pembuktian yang sederhana, memahami
dan menyakini rukun iman, tanda-tanda orang yang beriman, beriman kepada
malaikat dan beriman kepada Rasul-rasul Allah.
2) Aspek akhlak
Meliputi:
akhlak dirumah, akhlak dimadrasah, akhlak diperjalanan, akhlak dalam bergaul
dengan orang yang lebih lemah, akhlak dalam membantu dan menerima tamu.
3) Aspek kisah
keteladanan
Meliputi:
keteladanan Nabi Muhammad SAW, kisah Nabi Musa dan Nabi Yusuf AS kisah
Masyithoh dan Askhabul kahfi.
B.
Tingkat Afeksi
1. Pengertian
Afeksi
Taksonomi
untuk daerah afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. Krashwohi dan
kawan-kawan (1974) dalam buku yang diberi judul Taxonomy of Educational
Objectives : Affective domain.
Ranah
affektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai beberapa pakar
mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang
telah memiliki penguasaan kognity tingkat tinggi. [28]
Dalam
arti yang sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut
Bruno (1987) yang dikutip oleh Muhibbin Syah sikap adalah kecenderungan yang
relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau
barang tertentu. Dengan demikian pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap
siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini perwujudan perilaku
belajar siswa akan di tandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru
yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu objek, tata nilai,
peristiwa dan sebagainya.[29]
Tingkah
laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman seperti takut, marah, sedih, gembira, kecewa,
senang, beno’, was-was dan sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas
dari pengaruh pengalaman belajar oleh karenanya ia juga dapat dianggap sebagai
perwujudan belajar. Seorang siswa misalnya dapat dianggap sukses secara afektif
dalam belajar apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran
ajaran agama yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai “sistem nilai diri”
kemudian pada gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup,
baik di kalangan suka maupun duka.[30]
2. Ciri-ciri hasil
belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku
diantaranya :
a. Perhatiannya
terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam.
b. Kedisiplinannya
dalam mengikuti dalam pelajaran agama di sekolah.
c. Motivasinya
yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya.
d. Penghargaan
atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam.
Pengukuran
ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif, pengukuran ranah
afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena
perubahan tingkah laku siswa tidak dapat berubah sewaktu-waktu. Pengubahan
sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan
minat dan penghargaan serta nilai-nilai.
3. Tujuan
Penilaian Afeksi
Di dalam
petunjuk pelaksanaan penilaian pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB)
disebutkan bahwa penilaian ranah kognitif bertujuan mengukur perkembangan
penalaran, sedangkan tujuan penilaian afektif adalah :
a) Untuk
mendapatkan umpan balik (feed back) baik bagi guru maupun siswa sebagai dasar
untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program perbaikan
(Remidial program) bagi anak didiknya.
b) Untuk
mengetahui tingkat perubahan tingkah laku anak didik yang di capai antara lain
diperlukan sebagai bahan bagi : perbaikan tingkah laku anak didik, pemberian
laporan kepada orang tua, dan penentuan lulus tidaknya anak didik.
c) Untuk
menempatkan anak didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan
tingkat pencapaian dan kemampuan serta karakter anak didik.
d) Untuk mengenal
latar belakang kegiatan belajar dan kelainan tingkah laku anak didik.[31]
Sehubungan
dengan tujuan penilaian maka yang menjadi sasaran penilaian kawasan afektif
adalah perilaku anak didik, bukan pengetahuannya sebagai contoh : siswa bukan
di tuntut untuk mengetahui sebab-sebab pembentukan BPUPKI tetapi bagaimana
sikapnya terhadap pembentukan BPUPKI tersebut.
4. Jenis-jenis Skala
Sikap
a. Skala Likert
Skala
ini disusun dalam bentuk suatu pertanyaan dan diikuti oleh lima respon yang menunjukkan tingkatan
misalnya :
SS : Sangat
setuju
S : Setuju
TS : Tidak
setuju
STS : Sangat
tidak setuju
TB : Tidak
berpendapat
b. Skala pilihan
ganda
Skala ini bentuknya seperti soal bentuk
pilihan ganda yaitu suatu pernyataan yang diikuti oleh sejumlah alternatif
pendapat.
c. Skala Thursfone
Merupakan
skala mirip skala buatan Likert karena merupakan suatu intrumen yang jawabannya
menunjukkan tingkatan.
d. Skala Guttman
Skala
ini sama dengan yang disusun oleh Bogardus, yaitu berupa tiga atau empat buah
pertanyaan yang masing-masing harus dijawab “ya atau tidak”.
[1] M. Arifin, Ilmu
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta ,
1996, cet. Ke 5, hlm. 61.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1995, edisi ke 2 cet. Ke 4, hlm. 652.
[3] Mahmud Yusuf, Ilmu
Mengajar, Pustaka Mahmudiyah, Jakarta ,
1954, cet I, hlm. 7.
[4] Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab, Raja Grafindo, Jakarta , 1995, cet I, hlm.
7-10.
[5] Rama Yulis, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, Kalam Mulia, Jakarta ,
1990, cet I, hlm. 58.
[6] Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta , 1979, hlm. 102.
[7] Oemar Hamalik, Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Bumi Aksara, Jakarta ,, 2002, hlm. 199.
[8] Zakiah Daradjat dkk, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta , 1995, cet. I,
hlm. 301.
[9] Zuhairimi, Etal, Metodologi
Pendidikan Agama, Ramadhani, Solo, 1993, hlm. 66
[10] Yusuf Djaja Disastra, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta , Kalam Mulia, 1990, cet. Ke 2, hlm.
24.
[11] M. Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Islam, Ciputat Pers, Jakarta , 2002, hlm. 51.
[12] Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta , 1997, hlm. 100.
[14] Armai Arif, ibid,
hlm. 179.
[15] Moh. Uzer Usman, ibid,
hlm. 25.
[16] Zakiah Daradjat, ibid,
hlm. 301.
[17] Winarno Surakhmad, ibid, hlm. 103.
[18] Armani Arif, ibid,
hlm. 180.
[19] Moh. Rifa’i, Aqidah
Akhlak MTS Jilid I Kelas I, CV Wicaksono, Semarang , 1994, hlm. 16.
[20] Ibid, hlm.
55-56.
[21] Departemen Agama RI, Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar, Madrasah Ibtidaiyah,
1999, hlm. 39.
[22] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal, Kelembagaan Agama Islam, 2001, hlm. 9.
[23] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta , 1999, hlm. 150.
[24] Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat KeagamaanKurikulum Nasional Kompetensi
Dasar Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Pendidikan Agama
Dan Keagamaan, 2001, hlm. 9.
[25] Departemen Agama
RI , Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI, Op Cit, hlm. 9.
[26] Ibid, hlm.
9.
[27] Zuhairini dkk, Op
Cit, hlm. 58.
[28] Anas Sudijono, Pengantar
Evaluasi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 1998, cet. 2, hlm. 54.
[29]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, PT Remaja Rosda Karya, Bandung , hlm. 120.
[30]Muhibbin Syah, ibid,
hlm. 121.
[31] Suharsini Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Ed Rev, cet. 3, Bumi Aksara,
Jakarta, 2002, hlm. 177.
0 Response to "METODE PEMBELAJARAN SOSIODRAMA"
Post a Comment