INTENSITAS TEATER TERHADAP
PEMBENTUKAN AKHLAK
A. Intensitas
Teater
1. Kajian
Historis Teater
Teater adalah salah satu bentuk
kesenian dengan pentas sebagai medianya, dan manusia sebagai unsur utama
penyampai ekspresinya. Usianya telah melampaui dua ribu tahun bahkan lebih dari
yang diperhitungkan. Perkiraan usianya ini berdasarkan naskah-naskah teater
yang ditemukan dalam peradaban Yunani Kuno di ratusan tahun sebelum tahun
Masehi. Banyak teori dikemukakan para ahli sehubungan dengan cikal bakal
kelahiran teater ini. Dalam teori teater Barat dikemukakan bahwa kelahirannya
sehubungan dengan kebutuhan upacara penyembahan bagi Dewa-Dewa, merujuk pada
upacara Dyonisus di masa peradaban Yunani Kuno. Teori lainnya menyatakan bahwa
kelahirannya berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk berekspresi, berdasarkan
kemampuan naluriah “meniru” yang telah dimiliki manusia. Teori meniru (mimesis)
ini berpandangan bahwa cikal bakal teater bahkan telah lahir di lingkungan
masyarakat purba sewaktu mereka menceritakan kembali pengalaman berburunya
kepada komunitas keluarganya. Konon si pemburu itu bercerita sembari menirukan
kembali bagaimana tingkah laku binatang buruannya, dan bagaimana jerih upayanya
dalam menangkap binatang buruannya itu. Apakah kelahirannya berhubungan dengan
upacara ritual atau berdasarkan teori yang mengacu ke teori mimesis itu, yang
jelas teater membutuhkan tempat (pentas) bagi pertunjukkannya dan memerlukan
penonton untuk menyaksikannya.[1]
Sesungguhnya tidak ada perbedaan
paham yang berarti mengenai posisi dan peran seni teater sejak masa pertama ia
dipercaya ada; setidaknya sejak bukti penampilan teater pertama kali sekitar
1887-1849 SM yang ditemukan di dinding piramid, atau mungkin lebih jauh lagi
pada masa Sumeria dan Babylonia. Teater pada waktu awal-awal tersebut menjadi
kegiatan selebrasi dari masyarakat pemiliknya, bahkan konon telah mendapatkan
fungsinya yang penting sebagai salah satu agen evolusi sosial. Malah kadang
secara langsung ia menjadi cermin atau refleksi perubahan-perubahan pembangunan
dan politik.[2]
Sejarah asal mula teater dapat
diketahui dengan teori tentang asal usul mulanya. Sedangkan waktu dan tempat
pertunjukan teater pertama kali dimulai, tidak diketahui. Di antaranya teori
tentang asal usul teater bermula:
a.
Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita
ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi
pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater
ini hidup terus hingga sekarang.
b.
Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang
pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup
sang pahlawan, yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk darama/teater.
c. Berasal dari
kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga didramakan
(kisah perburuan, kepahlawanan, perang dan sebagainya).[3]
Sejak masa Yunani Kuno hingga kini
ada begitu banyak ide-ide teater yang tertuang dalam naskah tertulis melalui
pengarang-pengarang drama termashur dari berbagai belahan dunia mulai dari
Sophocles, Aristhopanes (Yunani) Kalidasa, Rabindranath Tagore (India)
Shakespeare, Harold Pinter (Inggris), Samuel Becket (Irlandia), Moliere
(Perancis), Chekov, Maxim Gorky, Tolstoy (Rusia), Henrik Ibsen (Norwegia),
August Strindberg (Swedia), Bertold Brecht, Handke (Jerman), Yukio Mishima
(Jepang), Tenesse Williams, Miller, Sham Shepard (Amerika Serikat) sampai ke
Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Nano Riantiarno (Indonesia) dan ratusan
tokoh dan bahkan ribuan nama lainnya. Meskipun karya-karya teater itu
dilahirkan diberbagai tempat dan zaman, esensi perwujudan ekspresinya tidak
mengalami perubahan wujudnya bersifat audiovisual. Yang membedakan antara
perwujudan teater yang satu dengan yang lainnya adalah bentuk dan isinya.[4]
Seiring dengan berbagai perubahan
peristiwa sosio-politik-ekonomi-budaya dan implikasi kemajuan teknologi yang
mempengaruhi cara pandang dan perilaku kehidupan manusia, bentuk-bentuk teater
itu mengalami perubahan dari masa ke masa. Setiap perwujudan bentuk dan isi
teater itu memiliki ciri-ciri bentuk dengan kecenderungan-kecenderungannya yang
khas. Dalam perjalanan waktu, perwujudan teater itu mengalami intensifikasi
hingga menjadi suatu aliran atau genre teater. Oleh karena itu,
terjadinya perubahan di berbagai dimensi kehidupan, bentuk yang sudah ada
kemudian kemudian dianggap tidak lagi memadai untuk menjawab kebutuhan teater
di zamannya, lalu para seniman teaternya bereaksi terhadap bentuk teater yang
sudah ada itu dan melahirkan suatu bentuk teater yang baru. Demikian seterusnya
hingga sekarang ini kita mengenal ada penamaan teater berdasarkan kecenderungan
bentuknya itu, misalnya Teater Realis, Ekspresionis, Absurd, Teater
Eksperimnental, Teater Multikultural dan seterusnya.[5]
Secara bahasa berasal dari kata Teatron
(bahasa Yunani/Greek). Teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa
memuat sekitar 100.000 penonton. (Jika stadion utama sepak bola senayan Jakarta
dibelah jadi dua bagian, lalu di atas lapangan rumput ada sebuah penggung, itu
bisa disebut sebagai salah satu model dari teatron).
Teater juga bisa diartikan mencakup
gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya
(isi-pentas/peristiwanya). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater juga
sebagai semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di area
terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup tiga kekuatan
(pekerja-tempat-komunitas penikmat/penonton), atau ada tiga unsur
(bersama-saat-tempat), maka peristiwa itu adalah teater.[6]
Sebagai bangsa yang mempunyai
kemajemukan entik kebudayaan daerah dan juga tidak menuntut dengan masuknya
budaya pendatang seni pertunjukan/teater di Indonesia memiliki berbagai bentuk
yakni teater tradisional dan teater non tradisional. Adapun di
lihat dari wujud pengekspresiannya dapat dikategorikan menjadi teater tutur,
teater pentas, teater wayang/boneka, teater gerak.
Adapun keberadaan teater tradisional
dan non tradisional (modern), keberadaannya berdampingan dan saling
mempengaruhi perkembangannya. Dan yang menjadikan pembedanya adalah sumber dan
wawasan serta media pengekspresiannya, kalau teater tradisional lebih
mengedepankan sisi spiritual yang menggunakan multi media kekuatan adat
istiadat. Sedangkan teater modern lebih kepada penggarapan yang bersifat
jasmaniah atau pendidikan dan hiburan.
Sehubungan dengan perjalanannya seni
teater yang bersumber dari lakon dan cara pengekspresiannya dibagi menjadi
beberapa bentuk yakni :
a. Realis
Adalah bentuk lakon dan pementasan
yang mudah dipahami oleh penonton. Atau kemasanya merupakan potret murni dari
kehidupan atau dengan kata lain hampir nyata atau sesuai dengan gambaran cerita
yang dilakonkan.
b. Absurd
Adalah lakon atau pementasan yang
amat susah dipahami. Biasanya dengan kemasan yang majasi atau satir. Dan dalam
menikmatinya perlu penerjemehan baik dari segi kalimat dalam dialog maupun
visualisasi geraknya.
c. Surealis
Adalah garis tengah antara absurd
dan realis yang lebih mengedepankan perlambang-perlambang, keindahan bahasa
lisan dan juga bahasa gerak/tubuh.
d. Komedi
Adalah bentuk lakon atau pementasan
yang dikemas secara menggelitik yang lebih menonjolkan sisi happy, funny
sebagai hiburan.
e. Gerak
Adalah bentuk lakon yang
diekpresikan dengan visualisasi bahasa tubuh gerak sebagai pengantar
lakon/cerita. Namun pada sekitar hitungan puluhan akhir dari abad dua puluh
banyak masyarakat yang mengatakan jenis dengan kalimat performance art. [7]
2. Pengertian,
Tujuan dan Prinsip Teater
a. Pengertian
Teater
Kata teater diambil dari kata/bahasa
Yunani Kuno “Theatron” yang secara harfiah mempunyai arti gedung
pertunjukan. Sedangkan Theatron sendiri diturunkan dari kata “Theomar”
yang berarti dengan takjub memandang/melihat/menyaksikan, sehingga kata teater
secara luas di dalamnya mengandung pengertian ganda yang menyatu yakni:
1)
Sebagai gedung pertunjukan atau tempat kegiatan
pertunjukan.
2)
Publik atau auditorium (Penonton dan tempat penonton
menyaksikan pertunjukan).
3) Karangan cerita
yang mengisi pertunjukan.
Secara garis besar teater dapat
dipahami sebagai suatu kegiatan seni yang diekspresikan dengan bertolak dari
cerita/karangan yang dipertunjukkan kepada penonton, dengan media ekspresi
tubuh yang meliputi unsur gerak, laku dan suara serta dapat didukung oleh bunyi
dan rupa.
Teater
juga sebagai suatu pertunjukan peran atau lakon (aktor) yang di pentaskan di
atas panggung.[8]
Sedangkan teater dalam bahasa Indonesia rancu karena tidak menunjukkan
perbedaan antara istilah dalam bahasa Inggris; Theatre dan The
Theatre. Dalam bahasa Indonesia kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok
yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri. The Theatre
berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu kepada
sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. The
Theater juga menunjukan kepada pertunjukan yang lebih spesifik, misalnya
teater Yunani, teater Amerika, Jepang dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia
kita punya istilah Teater Tradisional dan Teater Masa Kini Teater
Masa Kini atau Teater Kontemporer. Karena tidak benar-benar mengacu
kepada sebuah tempat, kata teater menggambarkan sebuah lakon dengan atau tanpa
naskah.[9]
Kita sering terkecoh dengan kata
drama yang diartikan sama dengan teater, tetapi sebenarnya yang membedakannya
adalah penekanan masalah yang diungkapkan. Drama berasal dari kata Yunani Kuno “Dran”
yang berarti berbuat, bergerak, berlaku (to act; acting). Drama
mempunyai pengertian khusus untuk lebih menekankan pada titik tolak “teater
modern” yang ditekankan pada naskah lakon.
Adapun penekanan yang lebih khusus
yaitu kalau drama dalam pengekspresiannya harus bertolak kepada lakon yang berbentuk
cerita dan dimainkan oleh pelaku dan dalam visualisasinya lebih mendekati asli
dari gambaran ceritanya.
Di samping itu istilah drama dan
teater, sebenarnya ada satu lagi yang memiliki arti sama yakni kata “Sandiwara”.
Istilah ini dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegara ke-VII dari Surakarta. Sandi
berarti rahasia, dan Wara dari kata Warah yang artinya
pengajaran. Kemudian Ki Hajar Dewantara memakai sandiwara sebagai pengajaran
yang dilakukan dengan perlambang, atau sering juga dikatakan oleh orang-orang
yang lahir pada sekitar tahun 1930an dengan kata “Tonel” dari bahasa
Belanda “Het Toneel” yang berarti pertunjukan atau tontonan. Namun
seiring dengan perjalanan waktu masyarakat seni lebih menggunakan kata teater
kerena memiliki ruang lingkup yang lebih luas.[10]
b. Tujuan
Teater
Teater bukan hanya seni pertunjukan
untuk pelipur lara atau memberikan kenikmatan artistik tok. Seni teater juga
memiliki aspek pendidikan dan penerangan. Bisa menjadi alat provokasi politik,
penetrasi, pemberontakan, subversi, dan pembaharuan. Dapat juga menjadi corong
tuntunan moral dan agama. Ada aspek ekonomi, tetapi ada aspek politik dan
religius dalam teater. Teater bahkan juga menjadi alat penyembuhan sakit
lahir-batin.[11]
Di samping itu, ruang cakup teater
kini begitu luas. Teater terus menyerang ke disiplin disekitarnya. Sejarah,
sosiologi, politik, teknologi, filsafat, ekonomi, dan sebagainya dijelajah
sehingga dengan sendirinya disiplin-disiplin lain juga pada hakikatnya punya
kepentingan untuk memahaminya. Ini bukti dari disiplin lainnya, teater juga
hadir bukan hanya sekedar sebagai barang komuditi yang hanya bersifat menghibur
saja, tetapi teater juga hadir sebagai ilmu. Ia dibentuk oleh unsur-unsur
(naskah, seni bermain, tata rias, busana, tata panggung, konsep pemanggungan,
konsep penyutradaraan, manajemen produksi, dan lain-lain), yang harus dipelajari sebagai ilmu. Ia
dikembangkan secara sistematis, bertahap dengan planing, rencana dan
target-target yang sudah dipikirkan dengan masak. Teater menjadi sebuah dunia
ilmu yang memerlukan penguasaan teori-teori yang hanya dilaksanakan setelah
beberapa tahun.[12]
Teater
juga bisa bertujuan sebagai media dakwah, dan juga bisa untuk membentuk
kepribadian dalam diri orang yang menjalani seni teater ini. Orang dalam
mempelajari teater bukan sekedar untuk bersenang-senang atau sekedar untuk refresing saja, tetapi teater juga bisa
sebagai ajang pelatihan diri dan pengesahan dalam memaknai perilaku/tindakan,
seperti:
1)
Disiplin.
2)
Jujur.
3)
Kemampuan bekerja sama.
4)
Rasa percaya diri yang bertanggung jawab, dan
5)
Pembentukan kepribadian tanpa pemaksaan.[13]
c. Prinsip
Teater
Jakob Sumardjo dalam bukunya "Perkembangan
Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia" mengatakan bahwa kesenian
(teater) pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian
adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, karena ekspresi
seseorang dalam seni pertunjukan memerlukan hadirnya orang lain dalam
aktivitasnya dan memerlukan panggung pertunjukan untuk pementasannya.[14]
Seni pertunjukan tidak pernah
berdiri lepas dari masyarakat seni pertunjukan muncul, berada dan tumbuh di
tengah masyarakat. Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang amat lengket
kehidupannya dengan seni teater. Istana Yogyakarta, rumah-rumah para bangsawan,
rumah-rumah para priyayi Jawa, bahkan juga rumah-rumah rakyat yang sedikit
berada, dibangun untuk keperluan teater. Bahkan banyak sekali
rombongan-rombongan teater di mana pun di Indonesia, dapat bermain di
sembarangan tempat seperti di halaman rumah, di kebun, di tanah lapang, di
sumber air, di tepi sungai, di tepi sawah, dan di tepi jalan, semua itu
menunjukkan betapa teater merupakan bagian dari kehidupan mereka. Ini semua
terjadi karena teater bukan hanya sekedar tontonan, sebuah seni pertunjukkan,
tetapi juga merupakan bagian penting untuk memeriahkan suatu upacara religius.[15]
Bakdi Soemanto juga mengatakan dalam
bukunya "Jagat Teater" bahwa teater berasal dari kata Theatron,
sebuah kata Yunani yang mengacu kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan
lakon dan orang-orang menontonnya.[16]
Begitu juga Radhar Panca Dahana
dalam bukunya yang berjudul "Homo Theatricus" mengatakan bahwa
teater sebagai seni pertunjukan juga sebagai kegiatan selebrasi dari masyarakat
pemiliknya, bahkan konon telah mendapatkan fungsinya yang penting sebagai salah
satu agen evolusi sosial. Malah kadang secara langsung ia menjadi cermin atau
refleksi perubahan-perubahan pembangunan dan politik. Di samping itu, teater
juga bisa menemukan satu identifikasi yang membuat eksistensinya di hadapan
masyarakat dan perubahan tak terelakkan; ia menjadi ekspresi dari keberadaan
sentral manusia di atas bumi dan semesta.[17]
Dari ketiga pendapat para seniman di
atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sejatinya teater itu merupakan suatu
seni pertunjukkan di pentaskan di atas panggung yang membawakan lakon naskah
berupa siklus-siklus, upacara religius, atau cuma sekedar sebagai hiburan
semata.
Di samping itu juga, teater
merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, karena dengan
adanya teater manusia bisa mengekpresikan kehidupan dirinya, orang lain dalam
dunia pertunjukan.
3. Karakteristik
Teater
Teater mempunyai banyak
karakteristik dalam aspek kehidupan masyarakat, dunia pendidikan maupun
penerangan. Karakteristik ini juga bisa menjadi alat provokasi politik,
penetrasi, pemberontakan, subversi, dan pembaharuan. Dapat juga menjadi corong
tuntunan moral dan agama. Ada aspek ekonomi, tetapi ada aspek politik dan
religius dalam teater. Teater bahkan juga menjadi alat penyembuhan sakit
lahir-batin. Di samping itu, karakteristik teater kini begitu luas, meliputi
sejarah, sosiologi, politik, teknologi, filsafat, ekonomi, dan sebagainya.
a. Teater
Politik dan Depolitisasi
Banyak alasan menarik untuk
membicarakan teater dalam kaitannya dengan hal-hal yang non artistik, non
estetik; khususnya, dalam konteks atau relasi politik yang di dalamnya terlibat
nama-nama besar seperti Havel, Reagan, Gosbachev atau Soekarno. Nama-nama yang
semasa mudanya dikenal sebagai pekerja teater, dalam kapasitasnya
masing-masing, sebagai amatiran, profesional, maupun pengisi waktu masa
penahanan/pembuangan.
Namun ternyata dalam sirkulasi kekuatan
politik yang ada, teater sebagai kesenian juga mengambil posisi dan porsinya
sendiri, walau memang lahannya hanya pada operasi dan mobilisasi
simbol-simbolnya saja. Jika kehidupan politik pun dipahami sebagai dunia yang
tak lain selalau berurusan dengan (produksi, promosi, degradasi) makna-makna
simbolik, maka teater mau tak mau juga menjadi salah satu medium penting, yang
katakanlah: ada namun (di)tiada(kan).
Dalam perjalanan selanjutnya,
betapapun hal ini tak diakui secara formal, teater berkembang seiring dengan
kepentingan dan kedewasaan hidup politik masyarakatnya: entah teater setuju
atau tidak dengan perkembangan itu. Jelas sudah terjadi di depan mata kita,
bahwa seni Tayub di Blora menjadi contoh yang dengan baik ditunjukkan Widodo.
Di mana lewat berbagai program santiaji, negara berhasil mengubah kesenian yang
pada dasarnya dinamis, spontan, kasar, dan variatif itu menjadi tak lebih dari
resepsi yang seremonial, formal, setril dan ritualistik, dengan laba politik
yang kongkrit: karena pada tahun itu Golkar menang telak di daerah itu.
Dalam riwayatnya yang memang belum
cukup panjang, teater modern di Indonesia selama ini memang masih mengambil
posisi yang defensif terhadap ofensi dan intervensi kepentingan politik
(negara) di sekelilingnya. Teater hanyalah "sepah yang dibuang".
Pelarangan yang terjadi dalam dua dekade terakhir memperlihatkan bagaimana
teater yang menurut Hatley, secara efektif dan signifikan "menjadi medium
bagi kontrol budaya negara", menerima tuiba dari politik yang selama ini mengambil
untuk darinya.
Kerakusan politik membuat ruang
besar yang ada dalam panggung teater, menjadi kenyataan yang berlaku tak Cuma
di negeri ini. Bagi Kenneth Tynan misalnya, teater adalah satu dari sedikit
wilayah di mana cara pandang politik dapat bebas diekspresikan. Mengherankan,
menurut teaterawan generasi baru Inggris itu, jika teater tak menjadi apa yang
disebutnya, "kokpit politik".[18]
Sementara banyak pergolakan atau
perubahan sosial di daratan Kontinental dipercaya dimulai oleh teater, sebagai
medium ekspresi yang senantiasa berada di garda depan. Panggung pertama sebuah
perubahan, senantiasa sebuah teater. Dengan teater, setidaknya bentuk ekspresi
masyarakat - apapun sifatnya - jauh
lebih kaya ketimbang aksi-aksi demo, seperti yang banyak terjadi belakang ini –
seberapun efektifitasnya diyakini.
Teater tidak lagi bisa dipandang
sebagai keseniang yang hanya berurusan dengan masalah-masalah klasik,
universal, dan abadi. Namun ia juga berurusan dengan semua dimensi kekinian,
yang lewat variasi simbol, idiom, atau bentuk-bentuk teatrikal lainnya akan
lebih mendekatkan gagasan pada publiknya.
Sebagai sebuah medium, teater adalah
wahana di mana gagasan dan perasaan khalayak bertemu, "a public medium
of communication", kata Francis Fergusson. Sebuah panggung di mana
publik penonton dapat menyaksikan dan merasakan kekiniannya. Tinggal misi,
bentuk, intensitas, dan nilai artistiknya saja yang membedakan teater dari
panggung dakwah, kampanye, atau propaganda. Tapi nilai dan sifatnya sama.[19]
Dengan karakternya yang khas,
potensi yang besar, serta wilayah yang begitu terbuka tersebut, selayaknya seni
(dan pekerja) teater menyadari luasnya kemungkinan yang ia miliki. Termasuk
kemungkinan melakukan kengingkaran pada usaha subordinasi yang dilakukan banyak
kepentingan di luarnya. Sebuah peluang yang mengijinkan aparatnya untuk
menjaga, meneguhkan, dan mengembangkan kreativitas dan kredibilitasnya secara
lebih baik.
b. Teater
Sebagai Media Dakwah
Persepsi tentang rendahnya apresiasi
umat Islam terhadap perkembangan seni dan budaya secara kualitatif, baik dalam
konteks ideologi maupun estetis, terasa sulit untuk dimasukkan sebagai dongeng
belaka. Apalagi bila yang dimasukan adalah upaya-upaya strategis untuk
meletakkan wacana dan media seni dalam struktur penggerakan umat yang lebih
transparan dan terkontrol. Maka, tidaklah mengherankan bila sampai kurun
terkini, kulturalisme umat kian terseret ke belakang dan ditinggalkan oleh
kecermelangan sejarahnya sendiri. Dan itulah barangkali yang antara lain
menyebabkan berbagai ekspresi dan kreativitas seni dalam komunitas muslim tidak
pernah dinobatkan dan diberi mahkota oleh siapa atau lembaga manapun kecuali
sebagai kenangan yang kadang menjemukan.
Namun demikian, betapa pun sumpeknya, masih terdapat
komunitas-komunitas kecil yang tetap berupaya untuk menjelankan praktek-praktek
kesenian sebagai bagian tak terpisahkan dari penempuhan dan peningkatan iman.
Proses-proses untuk menciptakan kenyataan seni dan religiusitas Islam serta
upaya-upaya untuk membangkitkannya di tengah umat, memiliki makna yang tidak
berbeda dengan cara-cara yang ditempuh oleh lembaga atau individu untuk
memperjuangkan dan membumikan nilai-nilai keagamaan ke dalam realitas kehidupan
sehari-hari. Dalam proses tersebut, penampakan eksistensi seni dalam ruang
publik maupun pribadi, menyuratkan adanya kekuatan khas untuk menyentuh
kesadaran-kesadaran psikologis yang berkelanjutan. Baik yang nyata sebagai
sarana pembuka imajinasi, apresiasi dan kreasi maupun sebagai media untuk
mereguk dan menghayati nilai-nilai kedalaman serta keindahan spiritual Islam.[20]
Secara subtansial, pemaparan di atas dapat dilanjutkan
ke dalam refleksi teologis. Bahwa potensi-potensi keindahan dalam ruang jiwa
manusia, sebatas apa pun, dapat ditingkatkan fungsinya sebagai radar untuk
menangkap getaran-getaran kosmologis yang bergerak di sekelilingnya. Dan pada
puncaknya dapat ditemukan berbagai alternative untuk mencairkan makna
religiusitas ke dalam sopan-santun social, kesalehan dan ketakwaan. Atau
sebaliknya, seperti yang nyata dalam sejarah, bahwa nilai-nilai ajaran agama
senantiasa memberikan jalan dan motivasi bagi pemeluk teguh untuk membeberkan
religiusitasnya ke dalam bentuk-bentuk estetis maupun artistic.
Oleh karena itu, Islam juga selalu menganjurkan kepada umatnya, baik secara
langsung maupun terselubung, untuk tidak meninggalkan inisiatif-insiatif
kulural yang bersifat etestis dan sesuai dengan semangat al-Qur'an. Dan seniman
adalah orang pertama yang diberi peranan dalam proses budaya untuk mewujudkan
semangat itu, serta meningkatkan dan mengembalikan hakikat dan fungsi-fungsi
seni sebagai media otonom untuk menghayati intensitas kehidupan, kemanusiaan
dan beragama.
Pada sudut yang lain, ketergantungan umat pada dunia
retorik dan verbal telah melahirkan bentuk-bentuk lembaga keagamaan yang
bersifat formal. Sehingga tidak sedikit di antara lembaga itu yang membeku dan
terasa berat untuk menjalankan fungsi dan tujuan sebagaimana yang
dikehendakinya. Ini terbukti adanya kecenderungan verbalisme lembaga dakwah
yang menggunakan unsure-unsur seni sebagai media dakwah (khutbah), atau
sebaliknya, spontanitas berdirinya kelompok-kelompok lembaga seni yang dibentuk
sekedar memenuhi massafikasi kebutuhan-kebutuhan umat yang bersifat instant,
artifisial dan konsumtif.
Narasi kesembingan dan keselarasan bentuk seni dalam
Islam, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur'an, bukanlah semata proses
kreatif penyeimbangan antara kriteria seni dan kriteria dakwah, tetapi
merupakan proses holistikasi antara religuisitas, etika dan estetika. Yang
kemudian melahirkan argumentasi makna, bahwa hakikat seni bukanlah semata alat
yang efektif untuk berdakwah. Bahkan dapat dirujuk sebagai kekuatan psikologis
yang mampu menembus dinding ruhani secara lebih intensif melalui transendensi
kode-kode simbolik dan estetik. Dengan demikian, untuk menjalankan dakwah
diperlukan apresiasi terhadap seni, sedangkan untuk berseni tidak mesti harus
menggunakan sistematika dakwah.[21]
c. Manusia Sebagai
Insan Teatrikal
Banyak penelitian sudah dilakukan
memberikan bukti bahwa perkembangan kesenian tradisional, khususnya teater
rakyat, tidak hanya menngalami kemandegan, tapi juga pembekuan dari hasil
pembekuan-pembekuan formal yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu; penguasa
antara lain. Penelitian yang dilakukan oleh Amrih Widodo (1991) misalnya,
memperlihatkan bagaimana unsur-unsur dinamik dan progresif dari seni teater
rakyat lenyap karena mengalami formalisasi yang dilakukan oleh negara.
Tampaknya telah menjadi resiko
logis, ketika negara menjalankan penetrasi kekuasaannya pada kesenian, maka
serentak dengan itu kesenian itu sendiri seolah kehilangan progresi kreatifnya.
Dengan memberikan format yang didasarkan pada retorika “kepentingan umum”, mimbar-mimbar
promosi dan pariwisata. Sistem dan mekanisme yang diterapkan secara formal
segera menggusur segala unsur dinamika tradisional yang dimiliki seni rakyat.
Persoalan dasar mengapa teater,
bahkan kesenian pada umumnya, mengalami kesulitan dalam mengembangkan dirinya,
ada pada kesulitannya menemukan manusia yang mampu mengembangkan (ekspresi
artistik) dirinya secara maksimal. Dan teater takkan pernah menemukan dirinya
sama sekali, jika di dalam proses kerja dan kreatifnya ia tak memiliki
kemungkinan untuk menemukan manusia.
Pemahaman teater telah menjadi satu
mikroskop dari kehidupan manusia, telah disadari bahkan sejak awal seni itu
dikenal di Babylonia, piramida Mesir, festival Dyonisia Yunani, atau
pesta-pesta rakyat di belahan Timur dan Selatan. Di dalam seni inilah manusia
dimungkinkan mendapatkan aktualisasi diri yang maksimal walau secara
mikroskopik. Pada teaterlah manusia dapat, menurut Fergusson, berhubungan
langsung dengan “perubahan hidup dan jiwa”.
Dengan kata lain, dalam teater,
manusia baik secara perseorangan maupun berkelompok, melakukan satu kegiatan
bersama; mengaktualisir seluruh kemungkinan-kemungkinan fisik dan rohaninya.
Mereka melakukan upacara. Identifikasi teater sebagai upacara ini sebenarnya
telah berusia purba, bukan saja sebagaimana ia diyakini atau dikonseptualisir
oleh misalnya Teguh Karya, Danarto, Peter Brook, Grotowsky, dan lainnya.
Karenanya, adagium yang menyatakan
bahwa teater tak dimungkinkan tanpa adanya manusia, bisa kita terima bahkan
hampir sebagai sebuah fitrah. Dan adagium ini memiliki konsekuensi logis dalam
proposisi yang terbalik, jika kita melihat dan berani mengakui bahwa kenyataan
keseharian kita pun ternyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai unsur
yang bersifat teatrikal. Sejak kita mengetahui kata sebagai unit terkecil
kebudayaan, bahkan bisa jadi sejak kita mengenal udara di paru-paru kita.
Melalui bahasa, atau tepatnya sejak
komunikasi antar manusia menciptakan hubungan, pembagian kerja, dan pada
akhirnya kebudayaan, manusia sesungguhnya sudah diperkenalkan atau ditempatkan
pada peran dan posisi tertentu dihadapan makhluk atau spesies lainnya. Pada
titik ini, manusia mulai belajar menempatkan dirinya sesuai dengan kenyataan
“panggung” lingkungannya. Lingkungan yang berbeda, memintanya memainkan posisi
dan peran yang juga berbeda. Dan itu diterima sebagai kelumrahan, sebagaimana
kelumrahan sebuah etika, sopan santun, adat atau kebiasaan.
Akhirnya, sebagaimana manusia tak
dapat mengelak dari keberadaannya sebagai bagian dari orang lain, sebagai
insan-bermasyarakat, di saat yang bersamaan ia tak dapat menolak keberadaannya
yang melakonkan peran tertentu yang dimungkinkan oleh masyarakat tersebut. Jika
yang pertama kita mengenalnya sebagai homo sociuz, maka untuk yang
kedua, saya ingin memperkenalkan sebagai homo theatricus alias
insan-teatrikal. Secara luwes berarti; manusia yang berlakon (peran). Manusia
yang secara alamiah dan naluriah menerima atau merumuskan perannya sendiri di
tengah yang lain. Sebuah kelumrahan dari intuisi purba manusia untuk bertahan
hidup.
Dan sebagaimana hal ini bisa
ditolak, jika keberadaan manusia sebagai insan-teatrikal yang turut mendorong
terbentuknya sebuah kebudayaan. Bahkan jika kita berani merumuskan kebudayaan
dalam sebuah pengertian dari kumpulan ide dan perangkat sosial yang
membagi-bagi peran pada setiap anggotanya. Persoalannya antara lain, kenapa
masih banyak orang yang tidak mengakui peran yang tengah ia mainkan? Mengapa
kita menolak dikatakan bersandiwara, walau sesungguhnya memang demikian.
Jawaban untuk itu akan turut menentukan pula kedewasaan manusia, baik secara
personal maupun sosial.[22]
4. Apresiasi
Masyarakat Terhadap Teater
Dalam menumbuhkan dan mengembangkan
minat dan apresiasi masyarakat kepada kesenian, khususnya seni pertunjukan,
tampaknya akan menyangkut masalah yang dapat dikategorikan dalam dua wilayah
pengamatan; pertama, menyangkut seni pertunjukan sendiri; dan kedua, menyangkut
penontonnya. Seorang seniman seni pertunjukan, seperti halnya seorang seniman
pada biang lain; sastra, musik, seni rupa, atau tari, pada dasarnya, tidak akan
memperdulikan apakah karyanya akan diamati atau tidak pada saat ia mencipta.
Ia, seperti Budi S. Otong, misalnya, yang pimpinan Teater SAE itu, bahkan
berkata, teater saya tidak memerlukan penonton”. Seberapa jujur
kata-kata ini diucapkan, tidak seorang pun tahu. Bahkan ucapan itu mengesankan
sikapnya yang arogan. Tetapi yang jelas, tidak ada seorang seniman pun di dunia
ini yang bahagia sekali justru tatkala karyanya tidak diminati orang. Sebab,
berkarya, pada akhirnya adalah menyajikan suatu expose. Ia menawarkan
estetikanya. Ia, sebenarnya, juga mengajak berdialog dengan siapa saja yang
berkunjung menikmati karyanya. Apabila seorang aktor bermain di pentas dan
auditorium kosong, maka ia merasa tiba-tiba bagaikan seorang gila, apalagi
kalau ia memainkan sebuah monologue.
Akan tetapi, karena tugas utama
seorang seniman adalah mencipta, maka datangnya crowds perlu dilakukan
oleh orang yang namanya manajer pementasan seni pertunjukan.[23]
Keberhasilan suatu pertunjukan
teater tidak bisa lepas dari apa yang namanya manjemen pemasaran, karena
menajemen pemasaran merupakan suatu kegiatan memasarkan pertunjukan, yakni
membuat yang disajikan di pentas dikenal masyarakat luas, dan meyakinkan para
calon theatre goers pentas untuk menonton pertunjukan itu.[24]
Tampaknya, setiap seniman dari
bidang apa pun mulai menyadari bahwa mereka memerlukan sikap yang lebih
realistis. Yang dimaksudkannya adalah bahwa seniman memerlukan situasi agar
tetap bisa mandiri. Untuk itu, ia harus berdaulat secara ekonomis. Artinya,
karyanya sendiri secara langsung harus dapat dipasarkan, untuk akhirnya ia bisa
hidup dari karyanya itu.
Suksesnya pementasan yang dipertunjukan di masyarakat sangat digemari
dan mampu menarik penonton yang cukup banyak. Hal itu, karena kesenian atau
pertunjukan yang disajikan didukung sponsor besar, orang-orang penting pun
berdatangan, walaupun mungkin alasannya lain; status sosial, atau dalam rangka
ingin bertemu dengan kenalan-kenalan untuk melebarkan pengaruh mereka. Di
samping itu, ada juga alasan yang datang biar tidak dibilang ketinggalan
zaman. Dengan demikian, apa yang disebut
apresiasi masyarakat terhadap seni, merupakan reciprocal relationship
antara seni pertunjukan atau pemeran, masyarakat pendukung, dan para sponsor.
Dengan adanya seni pertunjukan terhormat itu, berbagai pihak merasa
diuntungkan.
Masih ada satu unsur lagi yang harus
dipertimbangkan, yakni peranan kritik seni. Kritik itu tidak semata-mata
berfungsi sebagai jembatan antara karya dan masyarakat, akan tetapi
pertama-tama meneguhkan kehadiran kesenian yang dihadirkannya. Sebab, dengan
adanya kritik, seni yang disajikannya terumuskan dalam kata-kata, yang menjadi
pembuka jalan terjadinya proses internalisasi bagi penggemar atau penontonnya.
Untuk itu kritik harus dijaga sebagai komentar yang berwibawa, yakni yang bukan
sekedar memuji atau menelanjangi. Karena kritik yang aktual harus muncul di
majalah atau koran, maka penerbitan juga memiliki andil bagi tumbuhnya
apresiasi masyarakat terhadap seni.
Dalam perkembangan seni pertunjukan
di Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah persemaian seni
pertunjukan tradisional itu. Di sini, orang dapat menemukan daftar panjang
adanya group seni kethoprak di wilayah ini. Tetapi, jika seni kethoprak di
pertunjukan di panggung, mungkin akan menimbulkan kesan mengenaskan. Apakah ini
akibat apresiasi masyarakat tidak tinggi? Jika benar demikian, mengapa
kethoprak adalah acara di televisi yang dapat disebut sebagai tayangan andalan,
sehingga memungkinkan disiarkannya kethoprak sayembara dengan hadiah yang
sangat mewah. Dan apakah nasib seni pertunjukan seperti kethoprak keliling,
wayang wong gaya Surakarta, dhagelan Sri Mulat, Lenong, Ludruk, Makyong, yang
di masa-masa lalu pernah mengalami masa keemasan mereka.
Dengan melihat fenomena semacam ini,
apakah gairah apresiasi masyarakat terhadap pertunjukan tersebut masih ada,
ataukah telah kehilangan segmentnya. Sebenarnya apresiasi masyarakat terhadap
kesenian tersebut masih ada, cuman tidak lagi cukup bisa menarik karena bukan
saja teknik pementasannya terasa jauh ketinggalan zaman, ada proses dekadensi
di dalam seni pertunjukan itu sendiri. [25]
Untuk melestarikan warisan budaya
kesenian dari nenek moyang yang telah diwariskan pada kita, maka kita sebagai
generasi penerus, haruslah memberdayakan dan melestarikannya dengan jalan
mengadakan acara-acara seperti; festival, parade teater, maupun mengadakan
worshop-whokshop keteateran dan mencari generasi penerus (kader) atau
bibit-bibit penerus untuk generasi yang akan datang yang mempunyai jiwa
kesenian dan mampu mempertahankan (melestarikan) kesenian dan kebudayaan
warisan nenek moyang kita.
B. Pembentukan
Akhlak
Berbicara masalah pembentukan akhlak
sama halnya berbicara tentang tujuan pendidikan agama. Muhammad Atyiyah
al-Abrasyi manyatakan bahwa tujuan pendidikan agama adalah membentuk akhlak
mulia atau akhlakul karimah pada diri siswa dan pendidikan tersebut merupakan
tujuan pendidikan nasional.[26]
Akhlak merupakan tujuan yang melatar
belakang lahirnya Islam, sebagai bukti Rasulullah Muhammad SAW diutus kemuka
bumi ini yaitu untuk menyempurnakan akhlak orang-orang Jahilliyah yang pada
waktu itu sudah tidak lagi mengindahkan moral, etika dan kesopanan serta norma
susila. Hukum dan hak yang diterapkan seperti halnya adat rimba yang kuatlah
yang akan selalu menang dan menginjak yang lemah, wanita tidak berharga sama
sekali, bahkan ada anggapan kalau mempunyai anak wanita, maka pertanda akan
datang kehancuran, dan masih banyak lagi tingkah laku manusia pada waktu itu
yang lupa akan kemanusiaannya yaitu sebagai mahkluk yang termulia di atas bumi
ini.
Bukan berarti manusia pada waktu itu
bodoh pengetahuannya, tetapi bahkan mereka berpengetahuan tinggi, ada yang ahli
sastra, filsafat dan sebagainya, namun karena mereka tidak mempunyai moral maka
tindakannya itulah sehingga mereka disebut “jahil” (bodoh). Sebenarnya menurut
Islam, kemuliaan itu adalah karena moral atau budi pekerti sehingga misi
Rasulullah SAW diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabdanya
:
إنما بعثت لأتمم مكارم
الاخلاق
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa
tujuan utama diutusnya Rasulullah kemuka bumi ini adalah untuk memperbaiki dan
menyempurnakan akhlak manusia, dalam arti memanusiakan manusia atau
mengembalikan pada hakikat martabat manusia yang diciptakan Allah sebagai
mahkluk yang mulia.
Adapun
di dunia ini, yang dapat membedakan manusia itu mulia atau tidak, hanyalah dari
akhlaknya. Sebab hanya orang yang mempunyai akhlak mulialah yang selalu berbuat
kebajikan.
1. Pengertian Akhlak, Tujuan dan Prinsip
Akhlak
a.
Pengertian
Akhlak
Sebagai pembahasan pertama ini kita
akan membandingkan bebeberapa pendapat para pakar tentang definisi akhlak,
sehingga kita dapat membangdingkan dari pendapat-pendapat tersebut.
Menurut tokoh besar dalam filsafat
ataupun pendidikan yaitu Imam Ghozali bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.[28]
Rifyal Ka'bah mengemukakan bahwa,
akhlak adalah karakter, moral dan
moralitas. Sebagai karakter dan moral, akhlak berhubungan dengan sesuatu yang
istimewa dalam diri manusia (innate pecularity), disposisi alami (natural
disposition), dan tabiat jiwa manusia.[29]
Selanjutnya pakar pendidikan akhlak
Ibnu Miskawih juga memberikan pendapat bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.[30]
Sejalan
dengan pendapat tersebut di atas, dalam kitab Mu’jamul Wasith, Ibrahim
Anis mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk,
tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[31]
Sementara itu secara jelas Ahmad Amin
dalam bukunya “Al-Akhlak” merumuskan pengertian akhlak adalah kebiasaan
kehendak, lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa akhlak ialah menangnya
keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan langsung berturut-turut.[32]
Sedangkan Sugarda Purbacawatja
dalam “Ensiklopedi Pendidikan” mengatakan “bahwa akhlak adalah budi pekerti,
watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan
akibat sikap jiwa yang benar terhadap kholiqnya dan terhadap sesama manusia”.[33]
Dari beberapa pengertian yang telah
dikemukakan oleh para pakar di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa akhlak
adalah gerak jiwa yang dimanifestasikan dalam perbuatan tanpa lagi membutuhkan
pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu, karena perbuatan itu keluar dari
lubuk jiwa yang paling dan telah menjadi kebiasaan.
b.
Tujuan
Akhlak
Untuk menciptakan kehidupan yang
harmonis dan sejahtera antara individu dengan orang lain atau masyarakat luas,
sangat diperlukan tata krama atau tingkah laku (akhlak) yang baik dalam
menjalankan norma-norma yang berlaku di masyarakat itu. Ini sesuai dengan
tujuan akhlak dalam mengatur segala tingkah laku, perbuatan dan tindakan
manusia.
Dalam bahasa Indonesia, akhlak dapat
diartikan dengan akhlak, moral, etika, budi pekerti, tingkah laku, perangai,
dan kesusilaan.[34]
Dengan demikian,
akan penulis uraiakan hubungannya antara akhlak dengan etika, moral, dan
kesusuilaan.
1)
Etika
Di dalam Ensiklopedia Pendidikan
diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik
dan buruk. Kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia merupakan juga pengetahuan
tentang nilai-nilai itu sendiri.[35] Dan dalam Kamus
Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari
filsafat yang mengajarkan keluruhan budi (baik dan buruk).[36]
Menurut Hamzah Ya'qub menyimpulkan bahwa
etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran.[37]
Dengan pengertian di atas, maka penulis
akan menyimpulkan bahwa etika adalah
suatu tindakan/perbuatan yang mempunyai arti kebiasaan, adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, dan cara berfikir seseorang tentang baik dan buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia yang dapat diketahui oleh akal dan
pikiran manusia.
2)
Moral
Di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan kelakuan.[38]
Dengan kata lain moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan
batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar
atau salah.
Salah satu pengertian moral yang
disebutkan di dalam Ensiklopedia Pendidikan adalah nilai dasar dalam
masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral). Juga adat istiadat yang
menjadi dasar untuk menentukan baik/buruk.[39]
Maka untuk mengukur tingkah laku
manusia – baik atau buruk – dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat
istiadat yang umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu. Dan dalam kehidupannya sehari-hari orang yang mempunyai tingkah laku
yang baik disebut orang yang bermoral.
3)
Kesusilaan
Selain istilah-istilah di atas,di
dalam bahasa Indonesia untuk membahas buruk-baik tingkah laku manusia juga
sering digunakan istilah kesusilaan.
Kesusilaan
berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Susila berasal
dari bahasa Sansekerta, yaitu “Su” dan “Sila”. Su berarti baik
dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.[40]
Berdasarkan uraian di atas, dapat
dipahami secara sederhana bahwa ada persamaan antara akhlak, etika dan moral,
yaitu menentukan hukum/nilai perbuatan manusia dengan keputusan baik dan buruk.
Dengan demikian, tujuan akhlak adalah
membentuk manusia yang berakhlak, beretika, bernorma, dan bersusila yang bisa
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk yang sesuai dengan akal pikiran
dan nantinya akan membentuk akhlakul karimah dan menjadi suri
tauladan bagi masyarakat.
c.
Prinsip
Dasar Pembentukan Akhlak
Sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulum ad-Din-nya bahwa:
"Al-Khulk
ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan"[41]
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan bahwa
akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan,
tanpa pemikiran atau pemaksaan. Seiring pula yang dimaksud akhlak adalah semua
perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.[42]
Jadi pada hakikatnya khulk
(budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap
dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam
perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan
pemikiran.
Dan juga diisyaratkan, suatu perbuatan
dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu
kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Hal
inilah yang merupakan hakikat daripada akhlak, sebab tidak dapat dinamakan
akhlak kalau dalam melaksanakan itu ada unsur paksaan, atau karena lainnya
seperti pamrih atau maksud tertentu.[43]
Seperta halnya “derma”
seseorang dapat dikatakan dermawan jika dia telah terbiasa berderma, walaupun
yang didermakan itu nilanya sedikit. Dan setiap mereka mengetahui ada orang
membutuhkan, maka tergeraklah jiwanya untuk berderma kepadanya. Dan begitu pula
sebaliknya, seseorang belum dapat dikatakan dermawan hanya dia telah
menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan umum dengan jumlah yang
sangat banyak, namun dia menyumbang karena ada yang memaksa atau hanya sekali
atau ada maksud tertentu, sebab itu bukanlah suatu kebiasaan yang terpatri
dalam jiwa sendiri.
Hal itu tersebut sesuai dengan prinsip
bahwa akhlak adalah kebiasaan atau sikap yang mendalam dalam jiwa dimana
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang sehingga tidak lagi
membutuhkan pemikiran ataupun pertimbangan.
Di samping pendapat berdua di atas,
para ahli juga mengatakan bahwa akhlak itu ialah instinct (garizah) yang
dibawa manusia sejak lahir dan ada pula yang mengatakan bahwa akhlak itu ialah
hasil dari pendidikan dan latihan serta perjuangan.[44]
Pendapat ini dapat memudahkan kita
untuk mengkaji akhlak itu dalam menempatkannya pada kedudukannya yang
seharusnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa akhlak itu merupakan hasil
usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh potensi yang dimiliki
manusia yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dan jika pendidikan ini benar,
yaitu menuju pada kebaikan, maka lahirlah perbuatan baik dan jika pendidikannya
salah, maka lahirlah perbuatan yang tercela.
2.
Pandangan
Islam Tentang Akhlak
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari
kata “akhlak” biasanya diasosiasikan dengan perbuatan yang selalu baik
dan mulia. Misalnya ada pernyataan “orang ini berakhlak”, dengan kalimat itu
menunjukkan bahwa seorang itu memiliki akhlak yang baik dan mulya tidak ada
anggapan dan pemahaman lain selain itu.
Namun sesungguhnya akhlak itu tidak
hanya merupakan akhlak yang baik saja di samping itu ada pula yang disebut
dengan akhlak yang buruk, atau yang kita kenal dalam istilah agama “akhlakul
karimah” dan “akhlakul madzmudah” sebagaimana salah satu pendapat
mengatakan bahwa:
“Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan
baik, disebut akhlak mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela.”[45]
Pembagian akhlak yang dibagi menjadi
akhlakul karimah dan akhlakul madzmudah tersebut didasarkan pula pada tujuan Rosulullah
yang utama, yaitu diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dari sini tersirat
bahwa ada akhlak yang baik disamping ada akhlak buruk. Rasulullah sendiri adalah
orang yang mempunyai akhlak yang luhur, sebagai mana firmannya :
وإنك لعلى خلق عظيم
(القلام :٤)
Artinya
: “Sesungguhnya engkau (Hai Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur” (QS.
al-Qalam : 4).[46]
Lebih
lanjut Imam al-Ghozali menjelaskan yaitu setelah menjelaskan tentang definisi
akhlak, dalam penjelasannya beliau mengatakan :
“Maka
apabila sifat (yang tetap ada pada jiwa) itu menimbulkan perbuatan-perbuatan
yang baik dan terpuji, secara rasio dan syara’, maka perbuatan itu dinamakan
akhlak yang bagus, dan begitu pula sebaliknya apabila sifat itu menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang tercela dan buruk, maka perbuatan itu dinamakan
perbuatan yang buruk.[47]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat penulis simpulkan bahwa akhlak terbagi menjadi dua bagian menurut
perbuatannya, yaitu :
a.
Akhlakul
Karimah
Adalah
kebiasaan-kebiasaan yang terpuji dan mulia, dimana dalam melaksanakan perbuatan
itu tidak membutuhkan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu, karena
perbuatan itu keluar dari jiwa yang sangat dalam.
Adapun yang termasuk akhlakul karimah
adalah :
1)
Al-Amanah : Jujur
2)
Al-Haya’u : Malu karena diri tercela
3)
Al-Rahmah : Belas Kasihan
4)
Al-Ihsan : Berbuat Baik
5)
As-Shobru : Sabar atau Tabah
6)
Tadhorruk : Merendahkan diri karena Allah
7)
Ta’awu : Tolong Menolong
8)
As-Syaja’ah : Berani dalam membela kebenaran
b.
Akhlakul
Madzmumah
Adalah perbuatan buruk dan tercela,
yang ditimbulkan oleh sifat yang tetap pada jiwa dan merupakan kebiasaan karena
telah diulang-ulang.
1)
Istikbar : Sombong
2)
Namimah : Adu domba
3)
Isrof : Berlebihan
4)
Hasad : Dengki
5)
Kadibu : Dusta
6)
Ghodob : Marah
7)
Ghibah : Mengumpat
8)
Khiyanat : Ingkar janji
9)
Al-Bukhlu : Kikir
3.
Upaya-Upaya
Pembentukan Akhlak
Upaya-upaya dalam membentuk akhlak
yang karimah harus didukung dengan adanya beberapa faktor yang meliputi:
a.
Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama
dan utama bagi anak. Oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan
kepribadian anak sangat dominan. Di dalam keluarga, anak berinteraksi dengan
orang tua dan segenap anggota keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan
informal berupa pembentukan pembiasaan-pembiasaan seperti cara makan.
Pendidikan informal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakkan dasar
pembentukan kepribadian anak. Misalnya sikap religius, disiplin dan sebagainya
dapat tumbuh, bersemi dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya di
rumah.[50]
Pendidikan dalam lingkungan keluarga
merupakan suatu persiapan pertama yang baik sekali bagi kehidupan akhlak anak.[51]
Untuk itu, figur orang tua sangat berpengaruh terjadap perkembangan akhlak anak
selanjutnya.
b.
Lingkungan
Muhammad Athiyah al-Abrasyi kurang
lebih mengatakan bahwa: "Tidak mungkin kita katakan bahwa madrasah Islam
kita saja yang sanggup mendidik anak-anak dengan pendidikan yang sempurna,
tetapi ada pihak lain bersama-sama madrasah yang berpengaruh dalam pendidikan
anak-anak itu seperti rumah tangga dan masyarakat.[52]
Dengan demikian, akhlak remaja dapat
dibentuk melalui lembaga lingkungan dan keluarga juga tergantung sejauh mana
lingkungan di mana remaja tinggal, dapat mendukungnya. Adapun tujuan lingkungan
yang ikut andil besar tentang akhlak remaja salah satunya adalah lingkungan
masyarakat.[53]
Masyarakat lingkungan yang ketiga juga
ikut mempengaruhi berhasil dan tidaknya pendidikan sebab membina akhlak pada
diri remaja itu tidak hanya terdapat dalam keluarga dan sekolah saja, akan
terjadi pula pembinaan melalui pergaulan dan pengalaman dalam masyarakat. Ahmad
D. Marimba kurang lebih mengatakan "Corak dan ragam pendidikan yang
dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali. Ini meliputi segala bidang,
baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan kesosialan dan keagamaan.[54]
c.
Pendidikan
Formal
Bahwa pendidikan formal sangat
berpengaruh dalam pembentukan akhlak anak tertentu pada pendidikan yang
diformat dengan manajemen yang mengutamakan mutu pendidikan yang maksimal tidak
sekedar kewajiban atau bisnis belaka.
Oleh karena itu, sekolah dibuat antara
lain untuk membantu orang tua dalam mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik
serta menemukan budi pekerti yang mulia.
d.
Pendidikan
Agama
Pendidikan agama diberikan kepada
anak-anak dalam usia dini, upaya mengisi nilai-nilai agama agar karakternya
terbentuk.[55]
Dengan menggunakan metode pendidikan yang dilakukan adalah menanamkan dalam
diri anak-anaknya nilai agama dan budaya Islami yang Shahih. Orang tua juga
harus mengajarkan akhlak yang Islami (akhlakul karimah) dan
memberitahukan kepada mereka ketentuan Syari'at. Mengulang-ngulang dalam
pendengaran mereka ungkapkan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta
melanjutkan dengan menyebut karunia Allah, rahmat dan bimbingan-Nya. Orang tua
harus memberitahukan kepada anak-anaknya tentang perbedaan antara halal dan
haram, serta mengajarkan mereka beberapa masalah yang umum, melatih berpuasa,
memerintah anak untuk melaksanakan puasa khususnya puasa Ramadhan. Dalam hal
ini, perintah shalat Allah SWT berfirman dalam surat Thaaha ayat 132 yang
berbunyi:
وامر اهلك بالصلوة واصطبر
عليها......
Artinya
: "Dan perintahkanlah pada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya…….." (QS. Thaaha: 132).[56]
4.
Faktor-Faktor
Yang Menyebabkan Degradasi Moral
Manusia adalah makhluk biososial,
oleh sebab itu hidupnya tak dapat terlepas dari kehidupan bersama manusia
lainnya. Dan dengan sendirinya manusia individu itu memasyarakatkan dirinya
menjadi satu lebur dalam kehidupan bersama. Maka apapun yang dibuatnya dapat
mempengaruhi dan akan mempunyai makna bagi masyarakat pada umumnya dan
sebaliknya apapun yang terjadi di masyarakat akan dapat mempengaruhi terhadap
perkembangan pribadi tiap individu yang ada di dalamnya.[57]
Dalam pergaulan hidup bersama antar
manusia akan terjadi interaksi sosial dan hal ini merupakan syarat utama
terjadinya aktivitas-aktivatas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan
sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-orang perseorang dan
antar kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai.
Pada saat itu mereka saling menegur, saling berbicara, berjabat tangan atau
bahkan berkelahi.
Pendidikan akhlak bertujuan
mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk agar
manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari
sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di
masyarakat, di mana tidak ada benci-membenci.[58]
Sebagai individu yang tidak dapat
memisahkan diri dari masyarakat. Dia mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat,
yaitu tugas yang harus dilaksanakan untuk keselamatan dan kemaslahatan
masyarakat itu. Tugas yang tak boleh dihindarinya yaitu setiap anggota
masyarakat berkewajiban menciptakan kebaikan dan keselamatan bagi masyarakatnya
dan bertanggung jawab atas kelakuannya di masyarakat di hadapan Tuhan nanti.
Islam
memandang bahwa manusia diciptakan dengan memiliki dua jalan yaitu jalan
kebaikan dan jalan keburukan. Dan masing-masing dari jalan itu memberi peluang
bagi manusia untuk memilih sesuai dengan keinginannya masing-masing dan tentu
saja semua pilihan itu akan mempunyai konsekwensi sendiri-sendiri.
Di samping manusia membawa natifais
sejak lahir, juga masih dapat dipengaruhi oleh lingkungan, latihan, kebiasaan
dan pendidikan. Kalau sejak dini manusia dididik dengan akhlak yang baik, tentu
kemungkinan sangat besar dia akan menjadi manusia yang berakhlak baik.
Secara garis besar dapat ditegaskan
bahwa semua perbuatan manusia itu berbeda-beda, sehingga ada yang mempunyai
tingkah laku baik (berakhlakul karimah) dan ada pula yang memiliki tingkah laku
jelek (akhlakul madzmumah), semua itu pada prinsipnya ditentukan dan dipengaruhi
dua faktor utama yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar[59]
Untuk lebih jelasnya dari dua faktor
tersebut, dapat dilihat dari penjelasan dibawah ini :
a.
Instink
(Naluri)
Di antara sarjana ada yang memberikan
ta’rif naluri itu sebagai berikut : “Naluri ialah sifat yang dapat menimbulkan
perbuatan yang menyampaikan kepada tujuan dengan berpikir lebih dahulu kearah
tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.[60]
Jadi naluri adalah merupakan tabi’at
yang dibawa manusia sejak lahir. Merupakan setiap perilaku manusia sejak lahir
dari suatu kehendak-kehendak yang digerakkan oleh naluri atau instink itu
adalah merupakan pembawaan diri yang asli.
Selanjutnya
digambarkan bahwa naluri itu laksana “pedang bermata dua”, dapat merusak diri
sendiri dan dapat juga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya. Hal ini
bergantung kepada cara penyalurannya.
“Naluri
dapat menjerumuskan seseorang kepada kehinaan (degradasi) karena kesalahan
dalam menyalurkannya, tetapi juga mengangkat pribadi ketingkat kemuliaan
(sublimasi) jika disalurkan kepada jalan yang baik dengan tuntunan cahaya
kebenaran”.[61]
Dalam hubungannya tersebut, Islam
memandang dan mengajarkan agar naluri tidak dirusak dengan menganiaya diri
sebdiri, melinkan harus disalurkan secara wajar sesuai dengan tuntunan hidayah
illahi. Merusak naluri adalah seperti halnya membendung air mengalir yang
memang seharusnya menalar. Maka akan terjadi kebocoran bendungan yang akhirnya
akan jebol. Langkah terbaik adalah membiarkannya mengalir akan tetapi harus
melalui saluran yang baik dan wajar sehingga akan mendapatkan keharmonisan
hidup. Misalnya menginginkan kehangatan wanita, maka harus kita alirkan dan kita
arahkan dengan menikah terlebih dahulu agar tidak terjerumus dalam dunia sex
bebas, pelacuran dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
kita ambil pengertian bahwa insting atau naluri itu juga merupakan motor yang
dapat menentukan sikap dan perbuatan manusia.
b.
Adat
(Kebiasaan)
Suatu perbuatan bila diulang-ulang
sehingga menjadi mudah dikerjakan disebut “Adat Kebiasaan”.[62]
Atau dapat dikatakan adalah suatu perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga
menuntut selalu dikerjakan yang akhirnya sulit ditinggalkan. Misalnya bangun
tengah malam untuk melaksanakan sholat tahajud adalah berat bagi orang yang
belum terbiasa, tetapi jika perbuatan itu diulang-ulang akhirnya lama kelamaan
menjadi mudah dan gampang, bahkan dalam melaksanakan perbuatan itu tidak perlu
menggunakan dalam melaksanakan perbuatan itu tidak perlu menggunakan pemikiran
terlebih dahulu.
Orang yang sudah menjalankan perbuatan
berdasarkan kebiasaan atau sudah menjadi adat dalam dirinya, maka pekerjaan itu
akan sulit ditinggalkannya karena telah berakar kuat dalam jiwanya.
c.
‘Azam
(Kemauan)
Salah satu yang melatar belakangi
dibalik tingkah laku manusia adalah ‘azam atau kemauan keras. Kemauan
inilah yang menggerakkan manusia untuk berbuat yang baik atau mulia dalam
lingkungan yang bagaimanapun adalah berkat adanya ‘azam.
“Sebenarnya
kehidupan orang-orang besar dan terkemuka dalam sejarah hidupnya, adalah
digerakkan oleh kehendak yang keras, itulah rahasia kenangan hidup dan tanda
bukti mereka. Mereka tahan menderita dan tidak akan luntur semangatnya dalam
melaksanakan suatu urusan, karena memiliki ‘azam yang demikian kuatnya”.[63]
Sesungguhnya kehidupan para Rasul dan
Nabi yang tahan uji itu dihayati oleh kekuatan ‘azam. Allah memesankan dalam
al-Qur’an:
فاصبركماصبراولواالعزم
من الرسل … (الاحقاف : ٣٥)
Artinya
: “Hendaklah engkau tabah seperti ketabahan Rasul-rasul yang memiliki keteguhan
hati.” (QS. al-Ahqaaf : 35)[64]
Dari penjelasan di atas, bahwa karena
kehendak yang kuat itulah sehingga perbuatan manusia diarahkannya yaitu berupa
keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik atau perbuatan yang
buruk. Karena dari kehendak yang keras itulah akan muncul “niat” yang baik atau
yang buruk dan menjadi perbuatan baik atau buruk.
d.
Suara
Batin (Consiense)
Dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan
yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia
berada diambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah “suara batin”
atau “suara hati”.
Suara bathin itu tidak selalu benar,
tetapi terkadang salah dalam memberikan isyarat, maka lalu memerintahkan
melakukan kesalahan. Oleh Karena itu bathin adalah perintah mengikuti apa yang
diyakini manusia, maka suara hati setiap manusia berbeda-beda menurut
kepercayaan dan aqidahnya. Dan jika aqidahnya benar maka suara batinnya akan
“terbentuk”menurut keyakinan yang benar.[65]
Dari sinilah segolongan ahli etika
mengambil kesimpulan bahwa benih suara batin itu merupakan fitnah tetapi tumbuh
dan dibesarkan oleh adat dan pendidikan.[66]
Menurut penjelasan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa suara batin adalah bisikan yang bersumber dari dalam
hati manusia yang memrintahkan untuk berbuat ataupun meninggalkan perbuatan yang
dianggap lebih benar dan menyelamatkan menurut pengalaman dan pendidikan yang
telah diterima dari lingkungannya.
Dalam
Al-Qur’an terdapat petunjuk mengenai adanya suara batin yang ada dalam diri
manusia itu dengan menggunakan kalimat “qalbu”, “fuad” dan sebagainya
dan suara hati sendiri akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya,
sebagaimana firman-Nya :
ونفس وماسوها. فالهمها
فجورهاوتقوها. قدافلح من زكها وقدخاب من دسها (الشمس : ١٠-٧)
Artinya
: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”
(QS. asy-Syams : 7-10).[67]
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa
hati yang selalu dididik dan dibersihkan dari kotoran hawa nafsu dan
meninggalkan kabut kegelapan dapat memilki jenjang kemuliaan dan menjadi
jernih, laksana air telaga yang bening yang menangkap cahaya rembulan walau
dimalam hari dan dapat memantulkan cahaya matahari yang indah dikala senja dan
pagi hari.
Islam adalah agama yang penuh dengan penuh
pengajaran yang baik yang menyeru insan untuk menjaga dan mendidik suara batin
agar menjadi bersih dan jernih serta menjadi manusia yang mulia sekaligus
mendasari pola tingkah laku manusia agar menjadi baik seluruhnya.
e.
Faktor
Keturunan
Keyakian umum pada masa dahulu
menyatakan bahwa manusia itu dilahirkan sama, baik dalam jiwa maupun dalam
persediaannya mereka, hanya pendidikanlah yang membedakan diantara mereka. Akan
tetapi dalam pengetahuan yang baru, berpendapat bahwa tidak ada dua orang yang
keluar dalam alam kewujudan ini sama dalam tubuh, akal dan akhlaknya. Perbedaan
antara beberapa orang terkadang sangat kecil sehingga dekat kepada persamaan
(hampir sama) dan terkadang perbedaan tidak amat jauh, sehingga kita melihat
perbedaan ini pada kedua orang kembar. Perbedaan ini bersumber karena
pertamakali turunan.[68]
Tiap-tiap anak membawa turunan dari
kedua orang tua, beberapa sifatnya, tentu saja bukan keseluruhan sifat keduanya
atau seluruh kebiasaan dalam hidupnya melinkan sifat-sifat yang pokok seperti
kemauan keras, kekuatan fisik, kehalusan perasaan dan sebagainya. Oleh karena
itu ada ungkapan “kalau engkau anak yang sehat dan kuat, maka pilihlah orang
tua yang sehat dan kuat.”
Maka bukan
anak yang pandai tiba-tiba, demikian juga anak pemalas dan yang kasar
perasaannya. Tetapi sifat-sifat ini ada perhubungan yang besar dengan
sekumpulan urat syaraf yang diwariskan oleh orang-orang dahulu dan semua
instink adalah kumandang (gema) dari instink nenek moyang kita.[69]
Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa
faktor keturunan ini sangatlah besar pengaruhnya dalam mencetak jiwa anak,
walaupun tidak semua sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua diwarisi oleh
anak secara mutlak.
f.
Faktor
Lingkungan (Mileu)
Faktor yang turut menentukan
terbentuknya tingkah laku seseorang baik, sebagai langsung atau tidak langsung
akan dapat siraman nama baiknya. Dan sebaliknya orang yang hidup dalam
lingkungan yang buruk, maka dia akan terbawa buruk walaupun ia sendiri belum tentu
melakukan hal yang buruk. Hal ini biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara
hidup orang tersebut.
Rasulullah SAW memberikan gambaran
tentang lingkungan yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang, dalam
sabdanya :
أن النبى صلىالله عليه
وسلم قال: إنمامثل الجليس الصالح وجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكيرو فحامل
المسك إماأن يحذيك, واماأن تبتاع منه, واماأن تجدمنه ريحاطيبة ونافح الكير إماأن
يحرق ثيابك, واماأن تجد منه ريحامنتنة. (متفق عليه)
Artinya
: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : bahwasannya perumpamaan lingkungan
yang baik dan lingkungan yang jelek adalah seperti halnya orang yang membawa
minyak misik dan seperti pande besi. Dalam lingkungan orang yang membawa minyak
misik kemungkinan kamu akan membelinya atau setidak-tidaknya kamu akan
memperoleh aromanya yang harum. Sedangkan dalam lingkungan orang ahli pande
besi, maka kemungkinan akan membakar bajumu atau setidak-tidaknya engkau akan
memperoleh aroma (bau) yang tidak sedap.” (HR. Muttafaq ‘alaih)[70]
Gambaran yang dijelaskan dalam hadits
di atas, jelas bahwa lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan tingkah laku manusia, dimana lingkungan yang baik ibarat lingkungan
yang berbau semerbak harum minyak misik, sedangkan lingkungan yang buruk ibarat
berada dalam sekeliling tukang pande besi yang percikan api besinya dapat
membakar baju yang kita pakai.
Begitu besarnya faktor lingkungan,
sehingga dapat mempengaruhi aqidah seseorang terhadap yang lain seperti halnya
hadits di atas.
g.
Faktor
Pendidikan
Yang diamksud dengan faktor pendidikan
di sini adalah segala tuntutan dan pengajaran yang diterima seseorang dalam
membina kepribadian.[71]
Itulah sebabnya pendidikan mempunyai pengaruh dalam membentuk akhlak,
dikarenakan pendidikan turut mematangkan kepribadian manusia sehingga tingkah
lakunya sesuai dengan pendidika yang diterimanya.
Begitu pentingnya pendidikan dalam
membentuk dan memperbaiki kepribadian manusia, sehingga Nabi memberi penekanan
bahwa pendidikan itu mulai dari ayunan ibu sampai mati. Sebagaimana sabda
beliau :
اطلبواالعلم
من المهد إلىالحد
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan pendidikan tidak harus melalui lingkungan-lingkungan formal saja,
malalui lingkungan non formal dapat dinamakan pendidikan.
h.
Faktor
Latihan
Termasuk faktor yang ikut andil
mempengaruhi pembentukan akhlak seseorang adalah faktor latihan. Sebab
sebenarnya akhlak itu terbentuk adalah karena adanya latihan-latihan dan
pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus.
Sebagaiman telah diuraikan dalam
pembahasan sebelumnya, yaitu dalam penjelasan tentang pengertian akhlak yang
diantaranya menyatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan kehendak.
[1]Brockett, Oscar G., The Theatre, An Introduction, 2nd
ed, New York Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1960, hal. 113
[6] N. Riantiarno, Menyentuh Teater; Tanya Jawab
Seputar Teater Kita, MU:3 Books, Indonesia, 2003, hal. 7
[14] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan
Sastra Drama Indonesia, STSI Prees, Bandung, 2004, hal. 3
[20] Hamdy Salad, Agama Seni; Refleksi Teologis
Dalam Ruang Estetik, Yayasan Semesta, Yogyakarta, 2000, hal.51-52
[23] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan
Sastra Drama Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 153
[25]Jeniffer Lindsay, Klasik, Kitsch, Kontemporer; Sebuah
Studi Seni Pertunjukan Jawa, Terjemahan Nin Bakdi Soemanto, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1991, hal. 43-50
[26] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1974, hal. 15
[29] Rifyal Ka'bah, Partai Allah, Partai Setan, Agama
Raja, Agama Allah; Bunga Rampai Pemikiran, Suluh Press, Yogyakarta, 2005,
hal. 329
[42]Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian Atas
AsumsiDasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar,
Yogyakarta, 2004, hal. 31
[44] Mansur Ali Rajab, Ta'ammulat fi Filsafat
al-Akhlak, Maktabah al-Anjalu al-Misriyah, Cairo, 1961, hal. 91
[46]Al-Qur’an Surat al-Qalam
Ayat 4, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia
Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1971, hal. 960
[52]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hal. 199
[56] Al-Qur'an Surat Thaaha Ayat 132, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya,
Departemen Agama, Jakarta, 1989, hal. 492
[64]Al-Qur’an Surat al-Ahqaaf ayat 35, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur’an, 1971, hal. 828
[67]Al-Qur’an Surat asy-Syams Ayat 7-10, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur’an, 1971, hal. 1064
0 Response to "INTENSITAS TEATER TERHADAP PEMBENTUKAN AKHLAK"
Post a Comment