INTENSITAS TEATER TERHADAP PEMBENTUKAN AKHLAK

INTENSITAS TEATER TERHADAP PEMBENTUKAN AKHLAK

A.    Intensitas Teater
1.       Kajian Historis Teater
Teater adalah salah satu bentuk kesenian dengan pentas sebagai medianya, dan manusia sebagai unsur utama penyampai ekspresinya. Usianya telah melampaui dua ribu tahun bahkan lebih dari yang diperhitungkan. Perkiraan usianya ini berdasarkan naskah-naskah teater yang ditemukan dalam peradaban Yunani Kuno di ratusan tahun sebelum tahun Masehi. Banyak teori dikemukakan para ahli sehubungan dengan cikal bakal kelahiran teater ini. Dalam teori teater Barat dikemukakan bahwa kelahirannya sehubungan dengan kebutuhan upacara penyembahan bagi Dewa-Dewa, merujuk pada upacara Dyonisus di masa peradaban Yunani Kuno. Teori lainnya menyatakan bahwa kelahirannya berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk berekspresi, berdasarkan kemampuan naluriah “meniru” yang telah dimiliki manusia. Teori meniru (mimesis) ini berpandangan bahwa cikal bakal teater bahkan telah lahir di lingkungan masyarakat purba sewaktu mereka menceritakan kembali pengalaman berburunya kepada komunitas keluarganya. Konon si pemburu itu bercerita sembari menirukan kembali bagaimana tingkah laku binatang buruannya, dan bagaimana jerih upayanya dalam menangkap binatang buruannya itu. Apakah kelahirannya berhubungan dengan upacara ritual atau berdasarkan teori yang mengacu ke teori mimesis itu, yang jelas teater membutuhkan tempat (pentas) bagi pertunjukkannya dan memerlukan penonton untuk menyaksikannya.[1]
Sesungguhnya tidak ada perbedaan paham yang berarti mengenai posisi dan peran seni teater sejak masa pertama ia dipercaya ada; setidaknya sejak bukti penampilan teater pertama kali sekitar 1887-1849 SM yang ditemukan di dinding piramid, atau mungkin lebih jauh lagi pada masa Sumeria dan Babylonia. Teater pada waktu awal-awal tersebut menjadi kegiatan selebrasi dari masyarakat pemiliknya, bahkan konon telah mendapatkan fungsinya yang penting sebagai salah satu agen evolusi sosial. Malah kadang secara langsung ia menjadi cermin atau refleksi perubahan-perubahan pembangunan dan politik.[2]
Sejarah asal mula teater dapat diketahui dengan teori tentang asal usul mulanya. Sedangkan waktu dan tempat pertunjukan teater pertama kali dimulai, tidak diketahui. Di antaranya teori tentang asal usul teater bermula:
a.       Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
b.      Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan, yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk darama/teater.
c.       Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga didramakan (kisah perburuan, kepahlawanan, perang dan sebagainya).[3]
Sejak masa Yunani Kuno hingga kini ada begitu banyak ide-ide teater yang tertuang dalam naskah tertulis melalui pengarang-pengarang drama termashur dari berbagai belahan dunia mulai dari Sophocles, Aristhopanes (Yunani) Kalidasa, Rabindranath Tagore (India) Shakespeare, Harold Pinter (Inggris), Samuel Becket (Irlandia), Moliere (Perancis), Chekov, Maxim Gorky, Tolstoy (Rusia), Henrik Ibsen (Norwegia), August Strindberg (Swedia), Bertold Brecht, Handke (Jerman), Yukio Mishima (Jepang), Tenesse Williams, Miller, Sham Shepard (Amerika Serikat) sampai ke Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Nano Riantiarno (Indonesia) dan ratusan tokoh dan bahkan ribuan nama lainnya. Meskipun karya-karya teater itu dilahirkan diberbagai tempat dan zaman, esensi perwujudan ekspresinya tidak mengalami perubahan wujudnya bersifat audiovisual. Yang membedakan antara perwujudan teater yang satu dengan yang lainnya adalah bentuk dan isinya.[4]
Seiring dengan berbagai perubahan peristiwa sosio-politik-ekonomi-budaya dan implikasi kemajuan teknologi yang mempengaruhi cara pandang dan perilaku kehidupan manusia, bentuk-bentuk teater itu mengalami perubahan dari masa ke masa. Setiap perwujudan bentuk dan isi teater itu memiliki ciri-ciri bentuk dengan kecenderungan-kecenderungannya yang khas. Dalam perjalanan waktu, perwujudan teater itu mengalami intensifikasi hingga menjadi suatu aliran atau genre teater. Oleh karena itu, terjadinya perubahan di berbagai dimensi kehidupan, bentuk yang sudah ada kemudian kemudian dianggap tidak lagi memadai untuk menjawab kebutuhan teater di zamannya, lalu para seniman teaternya bereaksi terhadap bentuk teater yang sudah ada itu dan melahirkan suatu bentuk teater yang baru. Demikian seterusnya hingga sekarang ini kita mengenal ada penamaan teater berdasarkan kecenderungan bentuknya itu, misalnya Teater Realis, Ekspresionis, Absurd, Teater Eksperimnental, Teater Multikultural dan seterusnya.[5]
Secara bahasa berasal dari kata Teatron (bahasa Yunani/Greek). Teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar 100.000 penonton. (Jika stadion utama sepak bola senayan Jakarta dibelah jadi dua bagian, lalu di atas lapangan rumput ada sebuah penggung, itu bisa disebut sebagai salah satu model dari teatron).
Teater juga bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi-pentas/peristiwanya). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater juga sebagai semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di area terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup tiga kekuatan (pekerja-tempat-komunitas penikmat/penonton), atau ada tiga unsur (bersama-saat-tempat), maka peristiwa itu adalah teater.[6]
Sebagai bangsa yang mempunyai kemajemukan entik kebudayaan daerah dan juga tidak menuntut dengan masuknya budaya pendatang seni pertunjukan/teater di Indonesia memiliki berbagai bentuk yakni teater tradisional dan teater non tradisional. Adapun di lihat dari wujud pengekspresiannya dapat dikategorikan menjadi teater tutur, teater pentas, teater wayang/boneka, teater gerak.
Adapun keberadaan teater tradisional dan non tradisional (modern), keberadaannya berdampingan dan saling mempengaruhi perkembangannya. Dan yang menjadikan pembedanya adalah sumber dan wawasan serta media pengekspresiannya, kalau teater tradisional lebih mengedepankan sisi spiritual yang menggunakan multi media kekuatan adat istiadat. Sedangkan teater modern lebih kepada penggarapan yang bersifat jasmaniah atau pendidikan dan hiburan.
Sehubungan dengan perjalanannya seni teater yang bersumber dari lakon dan cara pengekspresiannya dibagi menjadi beberapa bentuk yakni :
a.       Realis
Adalah bentuk lakon dan pementasan yang mudah dipahami oleh penonton. Atau kemasanya merupakan potret murni dari kehidupan atau dengan kata lain hampir nyata atau sesuai dengan gambaran cerita yang dilakonkan.
b.      Absurd
Adalah lakon atau pementasan yang amat susah dipahami. Biasanya dengan kemasan yang majasi atau satir. Dan dalam menikmatinya perlu penerjemehan baik dari segi kalimat dalam dialog maupun visualisasi geraknya.
c.       Surealis
Adalah garis tengah antara absurd dan realis yang lebih mengedepankan perlambang-perlambang, keindahan bahasa lisan dan juga bahasa gerak/tubuh.
d.      Komedi
Adalah bentuk lakon atau pementasan yang dikemas secara menggelitik yang lebih menonjolkan sisi happy, funny sebagai hiburan.
e.       Gerak
Adalah bentuk lakon yang diekpresikan dengan visualisasi bahasa tubuh gerak sebagai pengantar lakon/cerita. Namun pada sekitar hitungan puluhan akhir dari abad dua puluh banyak masyarakat yang mengatakan jenis dengan kalimat performance art. [7]
2.       Pengertian, Tujuan dan Prinsip Teater
a.      Pengertian Teater
Kata teater diambil dari kata/bahasa Yunani Kuno “Theatron” yang secara harfiah mempunyai arti gedung pertunjukan. Sedangkan Theatron sendiri diturunkan dari kata “Theomar” yang berarti dengan takjub memandang/melihat/menyaksikan, sehingga kata teater secara luas di dalamnya mengandung pengertian ganda yang menyatu yakni:
1)      Sebagai gedung pertunjukan atau tempat kegiatan pertunjukan.
2)      Publik atau auditorium (Penonton dan tempat penonton menyaksikan pertunjukan).
3)      Karangan cerita yang mengisi pertunjukan.
Secara garis besar teater dapat dipahami sebagai suatu kegiatan seni yang diekspresikan dengan bertolak dari cerita/karangan yang dipertunjukkan kepada penonton, dengan media ekspresi tubuh yang meliputi unsur gerak, laku dan suara serta dapat didukung oleh bunyi dan rupa.
Teater juga sebagai suatu pertunjukan peran atau lakon (aktor) yang di pentaskan di atas panggung.[8] Sedangkan teater dalam bahasa Indonesia rancu karena tidak menunjukkan perbedaan antara istilah dalam bahasa Inggris; Theatre dan The Theatre. Dalam bahasa Indonesia kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri. The Theatre berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. The Theater juga menunjukan kepada pertunjukan yang lebih spesifik, misalnya teater Yunani, teater Amerika, Jepang dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia kita punya istilah Teater Tradisional dan Teater Masa Kini Teater Masa Kini atau Teater Kontemporer. Karena tidak benar-benar mengacu kepada sebuah tempat, kata teater menggambarkan sebuah lakon dengan atau tanpa naskah.[9]
Kita sering terkecoh dengan kata drama yang diartikan sama dengan teater, tetapi sebenarnya yang membedakannya adalah penekanan masalah yang diungkapkan. Drama berasal dari kata Yunani Kuno “Dran” yang berarti berbuat, bergerak, berlaku (to act; acting). Drama mempunyai pengertian khusus untuk lebih menekankan pada titik tolak “teater modern” yang ditekankan pada naskah lakon.
Adapun penekanan yang lebih khusus yaitu kalau drama dalam pengekspresiannya harus bertolak kepada lakon yang berbentuk cerita dan dimainkan oleh pelaku dan dalam visualisasinya lebih mendekati asli dari gambaran ceritanya.
Di samping itu istilah drama dan teater, sebenarnya ada satu lagi yang memiliki arti sama yakni kata “Sandiwara”. Istilah ini dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegara ke-VII dari Surakarta. Sandi berarti rahasia, dan Wara dari kata Warah yang artinya pengajaran. Kemudian Ki Hajar Dewantara memakai sandiwara sebagai pengajaran yang dilakukan dengan perlambang, atau sering juga dikatakan oleh orang-orang yang lahir pada sekitar tahun 1930an dengan kata “Tonel” dari bahasa Belanda “Het Toneel” yang berarti pertunjukan atau tontonan. Namun seiring dengan perjalanan waktu masyarakat seni lebih menggunakan kata teater kerena memiliki ruang lingkup yang lebih luas.[10]
b.     Tujuan Teater
Teater bukan hanya seni pertunjukan untuk pelipur lara atau memberikan kenikmatan artistik tok. Seni teater juga memiliki aspek pendidikan dan penerangan. Bisa menjadi alat provokasi politik, penetrasi, pemberontakan, subversi, dan pembaharuan. Dapat juga menjadi corong tuntunan moral dan agama. Ada aspek ekonomi, tetapi ada aspek politik dan religius dalam teater. Teater bahkan juga menjadi alat penyembuhan sakit lahir-batin.[11]
Di samping itu, ruang cakup teater kini begitu luas. Teater terus menyerang ke disiplin disekitarnya. Sejarah, sosiologi, politik, teknologi, filsafat, ekonomi, dan sebagainya dijelajah sehingga dengan sendirinya disiplin-disiplin lain juga pada hakikatnya punya kepentingan untuk memahaminya. Ini bukti dari disiplin lainnya, teater juga hadir bukan hanya sekedar sebagai barang komuditi yang hanya bersifat menghibur saja, tetapi teater juga hadir sebagai ilmu. Ia dibentuk oleh unsur-unsur (naskah, seni bermain, tata rias, busana, tata panggung, konsep pemanggungan, konsep penyutradaraan, manajemen produksi, dan lain-lain),  yang harus dipelajari sebagai ilmu. Ia dikembangkan secara sistematis, bertahap dengan planing, rencana dan target-target yang sudah dipikirkan dengan masak. Teater menjadi sebuah dunia ilmu yang memerlukan penguasaan teori-teori yang hanya dilaksanakan setelah beberapa tahun.[12]
Teater juga bisa bertujuan sebagai media dakwah, dan juga bisa untuk membentuk kepribadian dalam diri orang yang menjalani seni teater ini. Orang dalam mempelajari teater bukan sekedar untuk bersenang-senang atau sekedar untuk  refresing saja, tetapi teater juga bisa sebagai ajang pelatihan diri dan pengesahan dalam memaknai perilaku/tindakan, seperti:
1)      Disiplin.
2)      Jujur.
3)      Kemampuan bekerja sama.
4)      Rasa percaya diri yang bertanggung jawab, dan
5)      Pembentukan kepribadian tanpa pemaksaan.[13]
c.       Prinsip Teater
Jakob Sumardjo dalam bukunya "Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia" mengatakan bahwa kesenian (teater) pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, karena ekspresi seseorang dalam seni pertunjukan memerlukan hadirnya orang lain dalam aktivitasnya dan memerlukan panggung pertunjukan untuk pementasannya.[14]
Seni pertunjukan tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat seni pertunjukan muncul, berada dan tumbuh di tengah masyarakat. Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang amat lengket kehidupannya dengan seni teater. Istana Yogyakarta, rumah-rumah para bangsawan, rumah-rumah para priyayi Jawa, bahkan juga rumah-rumah rakyat yang sedikit berada, dibangun untuk keperluan teater. Bahkan banyak sekali rombongan-rombongan teater di mana pun di Indonesia, dapat bermain di sembarangan tempat seperti di halaman rumah, di kebun, di tanah lapang, di sumber air, di tepi sungai, di tepi sawah, dan di tepi jalan, semua itu menunjukkan betapa teater merupakan bagian dari kehidupan mereka. Ini semua terjadi karena teater bukan hanya sekedar tontonan, sebuah seni pertunjukkan, tetapi juga merupakan bagian penting untuk memeriahkan suatu upacara religius.[15]
Bakdi Soemanto juga mengatakan dalam bukunya "Jagat Teater" bahwa teater berasal dari kata Theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya.[16]
Begitu juga Radhar Panca Dahana dalam bukunya yang berjudul "Homo Theatricus" mengatakan bahwa teater sebagai seni pertunjukan juga sebagai kegiatan selebrasi dari masyarakat pemiliknya, bahkan konon telah mendapatkan fungsinya yang penting sebagai salah satu agen evolusi sosial. Malah kadang secara langsung ia menjadi cermin atau refleksi perubahan-perubahan pembangunan dan politik. Di samping itu, teater juga bisa menemukan satu identifikasi yang membuat eksistensinya di hadapan masyarakat dan perubahan tak terelakkan; ia menjadi ekspresi dari keberadaan sentral manusia di atas bumi dan semesta.[17]
Dari ketiga pendapat para seniman di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sejatinya teater itu merupakan suatu seni pertunjukkan di pentaskan di atas panggung yang membawakan lakon naskah berupa siklus-siklus, upacara religius, atau cuma sekedar sebagai hiburan semata.
Di samping itu juga, teater merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, karena dengan adanya teater manusia bisa mengekpresikan kehidupan dirinya, orang lain dalam dunia pertunjukan.
3.       Karakteristik Teater
Teater mempunyai banyak karakteristik dalam aspek kehidupan masyarakat, dunia pendidikan maupun penerangan. Karakteristik ini juga bisa menjadi alat provokasi politik, penetrasi, pemberontakan, subversi, dan pembaharuan. Dapat juga menjadi corong tuntunan moral dan agama. Ada aspek ekonomi, tetapi ada aspek politik dan religius dalam teater. Teater bahkan juga menjadi alat penyembuhan sakit lahir-batin. Di samping itu, karakteristik teater kini begitu luas, meliputi sejarah, sosiologi, politik, teknologi, filsafat, ekonomi, dan sebagainya.
a.      Teater Politik dan Depolitisasi
Banyak alasan menarik untuk membicarakan teater dalam kaitannya dengan hal-hal yang non artistik, non estetik; khususnya, dalam konteks atau relasi politik yang di dalamnya terlibat nama-nama besar seperti Havel, Reagan, Gosbachev atau Soekarno. Nama-nama yang semasa mudanya dikenal sebagai pekerja teater, dalam kapasitasnya masing-masing, sebagai amatiran, profesional, maupun pengisi waktu masa penahanan/pembuangan.
Namun ternyata dalam sirkulasi kekuatan politik yang ada, teater sebagai kesenian juga mengambil posisi dan porsinya sendiri, walau memang lahannya hanya pada operasi dan mobilisasi simbol-simbolnya saja. Jika kehidupan politik pun dipahami sebagai dunia yang tak lain selalau berurusan dengan (produksi, promosi, degradasi) makna-makna simbolik, maka teater mau tak mau juga menjadi salah satu medium penting, yang katakanlah: ada namun (di)tiada(kan).
Dalam perjalanan selanjutnya, betapapun hal ini tak diakui secara formal, teater berkembang seiring dengan kepentingan dan kedewasaan hidup politik masyarakatnya: entah teater setuju atau tidak dengan perkembangan itu. Jelas sudah terjadi di depan mata kita, bahwa seni Tayub di Blora menjadi contoh yang dengan baik ditunjukkan Widodo. Di mana lewat berbagai program santiaji, negara berhasil mengubah kesenian yang pada dasarnya dinamis, spontan, kasar, dan variatif itu menjadi tak lebih dari resepsi yang seremonial, formal, setril dan ritualistik, dengan laba politik yang kongkrit: karena pada tahun itu Golkar menang telak di daerah itu.
Dalam riwayatnya yang memang belum cukup panjang, teater modern di Indonesia selama ini memang masih mengambil posisi yang defensif terhadap ofensi dan intervensi kepentingan politik (negara) di sekelilingnya. Teater hanyalah "sepah yang dibuang". Pelarangan yang terjadi dalam dua dekade terakhir memperlihatkan bagaimana teater yang menurut Hatley, secara efektif dan signifikan "menjadi medium bagi kontrol budaya negara", menerima tuiba dari politik yang selama ini mengambil untuk darinya.
Kerakusan politik membuat ruang besar yang ada dalam panggung teater, menjadi kenyataan yang berlaku tak Cuma di negeri ini. Bagi Kenneth Tynan misalnya, teater adalah satu dari sedikit wilayah di mana cara pandang politik dapat bebas diekspresikan. Mengherankan, menurut teaterawan generasi baru Inggris itu, jika teater tak menjadi apa yang disebutnya, "kokpit politik".[18]
Sementara banyak pergolakan atau perubahan sosial di daratan Kontinental dipercaya dimulai oleh teater, sebagai medium ekspresi yang senantiasa berada di garda depan. Panggung pertama sebuah perubahan, senantiasa sebuah teater. Dengan teater, setidaknya bentuk ekspresi masyarakat - apapun sifatnya -  jauh lebih kaya ketimbang aksi-aksi demo, seperti yang banyak terjadi belakang ini – seberapun efektifitasnya diyakini.
Teater tidak lagi bisa dipandang sebagai keseniang yang hanya berurusan dengan masalah-masalah klasik, universal, dan abadi. Namun ia juga berurusan dengan semua dimensi kekinian, yang lewat variasi simbol, idiom, atau bentuk-bentuk teatrikal lainnya akan lebih mendekatkan gagasan pada publiknya.
Sebagai sebuah medium, teater adalah wahana di mana gagasan dan perasaan khalayak bertemu, "a public medium of communication", kata Francis Fergusson. Sebuah panggung di mana publik penonton dapat menyaksikan dan merasakan kekiniannya. Tinggal misi, bentuk, intensitas, dan nilai artistiknya saja yang membedakan teater dari panggung dakwah, kampanye, atau propaganda. Tapi nilai dan sifatnya sama.[19]
Dengan karakternya yang khas, potensi yang besar, serta wilayah yang begitu terbuka tersebut, selayaknya seni (dan pekerja) teater menyadari luasnya kemungkinan yang ia miliki. Termasuk kemungkinan melakukan kengingkaran pada usaha subordinasi yang dilakukan banyak kepentingan di luarnya. Sebuah peluang yang mengijinkan aparatnya untuk menjaga, meneguhkan, dan mengembangkan kreativitas dan kredibilitasnya secara lebih baik.
b.     Teater Sebagai Media Dakwah
Persepsi tentang rendahnya apresiasi umat Islam terhadap perkembangan seni dan budaya secara kualitatif, baik dalam konteks ideologi maupun estetis, terasa sulit untuk dimasukkan sebagai dongeng belaka. Apalagi bila yang dimasukan adalah upaya-upaya strategis untuk meletakkan wacana dan media seni dalam struktur penggerakan umat yang lebih transparan dan terkontrol. Maka, tidaklah mengherankan bila sampai kurun terkini, kulturalisme umat kian terseret ke belakang dan ditinggalkan oleh kecermelangan sejarahnya sendiri. Dan itulah barangkali yang antara lain menyebabkan berbagai ekspresi dan kreativitas seni dalam komunitas muslim tidak pernah dinobatkan dan diberi mahkota oleh siapa atau lembaga manapun kecuali sebagai kenangan yang kadang menjemukan.
Namun demikian, betapa pun sumpeknya, masih terdapat komunitas-komunitas kecil yang tetap berupaya untuk menjelankan praktek-praktek kesenian sebagai bagian tak terpisahkan dari penempuhan dan peningkatan iman. Proses-proses untuk menciptakan kenyataan seni dan religiusitas Islam serta upaya-upaya untuk membangkitkannya di tengah umat, memiliki makna yang tidak berbeda dengan cara-cara yang ditempuh oleh lembaga atau individu untuk memperjuangkan dan membumikan nilai-nilai keagamaan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari. Dalam proses tersebut, penampakan eksistensi seni dalam ruang publik maupun pribadi, menyuratkan adanya kekuatan khas untuk menyentuh kesadaran-kesadaran psikologis yang berkelanjutan. Baik yang nyata sebagai sarana pembuka imajinasi, apresiasi dan kreasi maupun sebagai media untuk mereguk dan menghayati nilai-nilai kedalaman serta keindahan spiritual Islam.[20]
Secara subtansial, pemaparan di atas dapat dilanjutkan ke dalam refleksi teologis. Bahwa potensi-potensi keindahan dalam ruang jiwa manusia, sebatas apa pun, dapat ditingkatkan fungsinya sebagai radar untuk menangkap getaran-getaran kosmologis yang bergerak di sekelilingnya. Dan pada puncaknya dapat ditemukan berbagai alternative untuk mencairkan makna religiusitas ke dalam sopan-santun social, kesalehan dan ketakwaan. Atau sebaliknya, seperti yang nyata dalam sejarah, bahwa nilai-nilai ajaran agama senantiasa memberikan jalan dan motivasi bagi pemeluk teguh untuk membeberkan religiusitasnya ke dalam bentuk-bentuk estetis maupun artistic. Oleh karena itu, Islam juga selalu menganjurkan kepada umatnya, baik secara langsung maupun terselubung, untuk tidak meninggalkan inisiatif-insiatif kulural yang bersifat etestis dan sesuai dengan semangat al-Qur'an. Dan seniman adalah orang pertama yang diberi peranan dalam proses budaya untuk mewujudkan semangat itu, serta meningkatkan dan mengembalikan hakikat dan fungsi-fungsi seni sebagai media otonom untuk menghayati intensitas kehidupan, kemanusiaan dan beragama.
Pada sudut yang lain, ketergantungan umat pada dunia retorik dan verbal telah melahirkan bentuk-bentuk lembaga keagamaan yang bersifat formal. Sehingga tidak sedikit di antara lembaga itu yang membeku dan terasa berat untuk menjalankan fungsi dan tujuan sebagaimana yang dikehendakinya. Ini terbukti adanya kecenderungan verbalisme lembaga dakwah yang menggunakan unsure-unsur seni sebagai media dakwah (khutbah), atau sebaliknya, spontanitas berdirinya kelompok-kelompok lembaga seni yang dibentuk sekedar memenuhi massafikasi kebutuhan-kebutuhan umat yang bersifat instant, artifisial dan konsumtif.
Narasi kesembingan dan keselarasan bentuk seni dalam Islam, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur'an, bukanlah semata proses kreatif penyeimbangan antara kriteria seni dan kriteria dakwah, tetapi merupakan proses holistikasi antara religuisitas, etika dan estetika. Yang kemudian melahirkan argumentasi makna, bahwa hakikat seni bukanlah semata alat yang efektif untuk berdakwah. Bahkan dapat dirujuk sebagai kekuatan psikologis yang mampu menembus dinding ruhani secara lebih intensif melalui transendensi kode-kode simbolik dan estetik. Dengan demikian, untuk menjalankan dakwah diperlukan apresiasi terhadap seni, sedangkan untuk berseni tidak mesti harus menggunakan sistematika dakwah.[21]
c.       Manusia Sebagai Insan Teatrikal
Banyak penelitian sudah dilakukan memberikan bukti bahwa perkembangan kesenian tradisional, khususnya teater rakyat, tidak hanya menngalami kemandegan, tapi juga pembekuan dari hasil pembekuan-pembekuan formal yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu; penguasa antara lain. Penelitian yang dilakukan oleh Amrih Widodo (1991) misalnya, memperlihatkan bagaimana unsur-unsur dinamik dan progresif dari seni teater rakyat lenyap karena mengalami formalisasi yang dilakukan oleh negara.
Tampaknya telah menjadi resiko logis, ketika negara menjalankan penetrasi kekuasaannya pada kesenian, maka serentak dengan itu kesenian itu sendiri seolah kehilangan progresi kreatifnya. Dengan memberikan format yang didasarkan pada retorika “kepentingan umum”, mimbar-mimbar promosi dan pariwisata. Sistem dan mekanisme yang diterapkan secara formal segera menggusur segala unsur dinamika tradisional yang dimiliki seni rakyat.
Persoalan dasar mengapa teater, bahkan kesenian pada umumnya, mengalami kesulitan dalam mengembangkan dirinya, ada pada kesulitannya menemukan manusia yang mampu mengembangkan (ekspresi artistik) dirinya secara maksimal. Dan teater takkan pernah menemukan dirinya sama sekali, jika di dalam proses kerja dan kreatifnya ia tak memiliki kemungkinan untuk menemukan manusia.
Pemahaman teater telah menjadi satu mikroskop dari kehidupan manusia, telah disadari bahkan sejak awal seni itu dikenal di Babylonia, piramida Mesir, festival Dyonisia Yunani, atau pesta-pesta rakyat di belahan Timur dan Selatan. Di dalam seni inilah manusia dimungkinkan mendapatkan aktualisasi diri yang maksimal walau secara mikroskopik. Pada teaterlah manusia dapat, menurut Fergusson, berhubungan langsung dengan “perubahan hidup dan jiwa”.
Dengan kata lain, dalam teater, manusia baik secara perseorangan maupun berkelompok, melakukan satu kegiatan bersama; mengaktualisir seluruh kemungkinan-kemungkinan fisik dan rohaninya. Mereka melakukan upacara. Identifikasi teater sebagai upacara ini sebenarnya telah berusia purba, bukan saja sebagaimana ia diyakini atau dikonseptualisir oleh misalnya Teguh Karya, Danarto, Peter Brook, Grotowsky, dan lainnya.
Karenanya, adagium yang menyatakan bahwa teater tak dimungkinkan tanpa adanya manusia, bisa kita terima bahkan hampir sebagai sebuah fitrah. Dan adagium ini memiliki konsekuensi logis dalam proposisi yang terbalik, jika kita melihat dan berani mengakui bahwa kenyataan keseharian kita pun ternyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai unsur yang bersifat teatrikal. Sejak kita mengetahui kata sebagai unit terkecil kebudayaan, bahkan bisa jadi sejak kita mengenal udara di paru-paru kita.
Melalui bahasa, atau tepatnya sejak komunikasi antar manusia menciptakan hubungan, pembagian kerja, dan pada akhirnya kebudayaan, manusia sesungguhnya sudah diperkenalkan atau ditempatkan pada peran dan posisi tertentu dihadapan makhluk atau spesies lainnya. Pada titik ini, manusia mulai belajar menempatkan dirinya sesuai dengan kenyataan “panggung” lingkungannya. Lingkungan yang berbeda, memintanya memainkan posisi dan peran yang juga berbeda. Dan itu diterima sebagai kelumrahan, sebagaimana kelumrahan sebuah etika, sopan santun, adat atau kebiasaan.
Akhirnya, sebagaimana manusia tak dapat mengelak dari keberadaannya sebagai bagian dari orang lain, sebagai insan-bermasyarakat, di saat yang bersamaan ia tak dapat menolak keberadaannya yang melakonkan peran tertentu yang dimungkinkan oleh masyarakat tersebut. Jika yang pertama kita mengenalnya sebagai homo sociuz, maka untuk yang kedua, saya ingin memperkenalkan sebagai homo theatricus alias insan-teatrikal. Secara luwes berarti; manusia yang berlakon (peran). Manusia yang secara alamiah dan naluriah menerima atau merumuskan perannya sendiri di tengah yang lain. Sebuah kelumrahan dari intuisi purba manusia untuk bertahan hidup.
Dan sebagaimana hal ini bisa ditolak, jika keberadaan manusia sebagai insan-teatrikal yang turut mendorong terbentuknya sebuah kebudayaan. Bahkan jika kita berani merumuskan kebudayaan dalam sebuah pengertian dari kumpulan ide dan perangkat sosial yang membagi-bagi peran pada setiap anggotanya. Persoalannya antara lain, kenapa masih banyak orang yang tidak mengakui peran yang tengah ia mainkan? Mengapa kita menolak dikatakan bersandiwara, walau sesungguhnya memang demikian. Jawaban untuk itu akan turut menentukan pula kedewasaan manusia, baik secara personal maupun sosial.[22]
4.       Apresiasi Masyarakat Terhadap Teater
Dalam menumbuhkan dan mengembangkan minat dan apresiasi masyarakat kepada kesenian, khususnya seni pertunjukan, tampaknya akan menyangkut masalah yang dapat dikategorikan dalam dua wilayah pengamatan; pertama, menyangkut seni pertunjukan sendiri; dan kedua, menyangkut penontonnya. Seorang seniman seni pertunjukan, seperti halnya seorang seniman pada biang lain; sastra, musik, seni rupa, atau tari, pada dasarnya, tidak akan memperdulikan apakah karyanya akan diamati atau tidak pada saat ia mencipta. Ia, seperti Budi S. Otong, misalnya, yang pimpinan Teater SAE itu, bahkan berkata, teater saya tidak memerlukan penonton”. Seberapa jujur kata-kata ini diucapkan, tidak seorang pun tahu. Bahkan ucapan itu mengesankan sikapnya yang arogan. Tetapi yang jelas, tidak ada seorang seniman pun di dunia ini yang bahagia sekali justru tatkala karyanya tidak diminati orang. Sebab, berkarya, pada akhirnya adalah menyajikan suatu expose. Ia menawarkan estetikanya. Ia, sebenarnya, juga mengajak berdialog dengan siapa saja yang berkunjung menikmati karyanya. Apabila seorang aktor bermain di pentas dan auditorium kosong, maka ia merasa tiba-tiba bagaikan seorang gila, apalagi kalau ia memainkan sebuah monologue.
Akan tetapi, karena tugas utama seorang seniman adalah mencipta, maka datangnya crowds perlu dilakukan oleh orang yang namanya manajer pementasan seni pertunjukan.[23]
Keberhasilan suatu pertunjukan teater tidak bisa lepas dari apa yang namanya manjemen pemasaran, karena menajemen pemasaran merupakan suatu kegiatan memasarkan pertunjukan, yakni membuat yang disajikan di pentas dikenal masyarakat luas, dan meyakinkan para calon theatre goers pentas untuk menonton pertunjukan itu.[24]
Tampaknya, setiap seniman dari bidang apa pun mulai menyadari bahwa mereka memerlukan sikap yang lebih realistis. Yang dimaksudkannya adalah bahwa seniman memerlukan situasi agar tetap bisa mandiri. Untuk itu, ia harus berdaulat secara ekonomis. Artinya, karyanya sendiri secara langsung harus dapat dipasarkan, untuk akhirnya ia bisa hidup dari karyanya itu.
  Suksesnya pementasan yang dipertunjukan di masyarakat sangat digemari dan mampu menarik penonton yang cukup banyak. Hal itu, karena kesenian atau pertunjukan yang disajikan didukung sponsor besar, orang-orang penting pun berdatangan, walaupun mungkin alasannya lain; status sosial, atau dalam rangka ingin bertemu dengan kenalan-kenalan untuk melebarkan pengaruh mereka. Di samping itu, ada juga alasan yang datang biar tidak dibilang ketinggalan zaman.  Dengan demikian, apa yang disebut apresiasi masyarakat terhadap seni, merupakan reciprocal relationship antara seni pertunjukan atau pemeran, masyarakat pendukung, dan para sponsor. Dengan adanya seni pertunjukan terhormat itu, berbagai pihak merasa diuntungkan.
Masih ada satu unsur lagi yang harus dipertimbangkan, yakni peranan kritik seni. Kritik itu tidak semata-mata berfungsi sebagai jembatan antara karya dan masyarakat, akan tetapi pertama-tama meneguhkan kehadiran kesenian yang dihadirkannya. Sebab, dengan adanya kritik, seni yang disajikannya terumuskan dalam kata-kata, yang menjadi pembuka jalan terjadinya proses internalisasi bagi penggemar atau penontonnya. Untuk itu kritik harus dijaga sebagai komentar yang berwibawa, yakni yang bukan sekedar memuji atau menelanjangi. Karena kritik yang aktual harus muncul di majalah atau koran, maka penerbitan juga memiliki andil bagi tumbuhnya apresiasi masyarakat terhadap seni.
Dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah persemaian seni pertunjukan tradisional itu. Di sini, orang dapat menemukan daftar panjang adanya group seni kethoprak di wilayah ini. Tetapi, jika seni kethoprak di pertunjukan di panggung, mungkin akan menimbulkan kesan mengenaskan. Apakah ini akibat apresiasi masyarakat tidak tinggi? Jika benar demikian, mengapa kethoprak adalah acara di televisi yang dapat disebut sebagai tayangan andalan, sehingga memungkinkan disiarkannya kethoprak sayembara dengan hadiah yang sangat mewah. Dan apakah nasib seni pertunjukan seperti kethoprak keliling, wayang wong gaya Surakarta, dhagelan Sri Mulat, Lenong, Ludruk, Makyong, yang di masa-masa lalu pernah mengalami masa keemasan mereka.
Dengan melihat fenomena semacam ini, apakah gairah apresiasi masyarakat terhadap pertunjukan tersebut masih ada, ataukah telah kehilangan segmentnya. Sebenarnya apresiasi masyarakat terhadap kesenian tersebut masih ada, cuman tidak lagi cukup bisa menarik karena bukan saja teknik pementasannya terasa jauh ketinggalan zaman, ada proses dekadensi di dalam seni pertunjukan itu sendiri. [25]
Untuk melestarikan warisan budaya kesenian dari nenek moyang yang telah diwariskan pada kita, maka kita sebagai generasi penerus, haruslah memberdayakan dan melestarikannya dengan jalan mengadakan acara-acara seperti; festival, parade teater, maupun mengadakan worshop-whokshop keteateran dan mencari generasi penerus (kader) atau bibit-bibit penerus untuk generasi yang akan datang yang mempunyai jiwa kesenian dan mampu mempertahankan (melestarikan) kesenian dan kebudayaan warisan nenek moyang kita.

B.     Pembentukan Akhlak
Berbicara masalah pembentukan akhlak sama halnya berbicara tentang tujuan pendidikan agama. Muhammad Atyiyah al-Abrasyi manyatakan bahwa tujuan pendidikan agama adalah membentuk akhlak mulia atau akhlakul karimah pada diri siswa dan pendidikan tersebut merupakan tujuan pendidikan nasional.[26]
Akhlak merupakan tujuan yang melatar belakang lahirnya Islam, sebagai bukti Rasulullah Muhammad SAW diutus kemuka bumi ini yaitu untuk menyempurnakan akhlak orang-orang Jahilliyah yang pada waktu itu sudah tidak lagi mengindahkan moral, etika dan kesopanan serta norma susila. Hukum dan hak yang diterapkan seperti halnya adat rimba yang kuatlah yang akan selalu menang dan menginjak yang lemah, wanita tidak berharga sama sekali, bahkan ada anggapan kalau mempunyai anak wanita, maka pertanda akan datang kehancuran, dan masih banyak lagi tingkah laku manusia pada waktu itu yang lupa akan kemanusiaannya yaitu sebagai mahkluk yang termulia di atas bumi ini.
Bukan berarti manusia pada waktu itu bodoh pengetahuannya, tetapi bahkan mereka berpengetahuan tinggi, ada yang ahli sastra, filsafat dan sebagainya, namun karena mereka tidak mempunyai moral maka tindakannya itulah sehingga mereka disebut “jahil” (bodoh). Sebenarnya menurut Islam, kemuliaan itu adalah karena moral atau budi pekerti sehingga misi Rasulullah SAW diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabdanya :
إنما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق
Artinya : “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.[27]

Dari hadits di atas menunjukkan bahwa tujuan utama diutusnya Rasulullah kemuka bumi ini adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia, dalam arti memanusiakan manusia atau mengembalikan pada hakikat martabat manusia yang diciptakan Allah sebagai mahkluk yang mulia.
Adapun di dunia ini, yang dapat membedakan manusia itu mulia atau tidak, hanyalah dari akhlaknya. Sebab hanya orang yang mempunyai akhlak mulialah yang selalu berbuat kebajikan.
1.      Pengertian Akhlak, Tujuan dan Prinsip Akhlak
a.      Pengertian Akhlak
Sebagai pembahasan pertama ini kita akan membandingkan bebeberapa pendapat para pakar tentang definisi akhlak, sehingga kita dapat membangdingkan dari pendapat-pendapat tersebut.
Menurut tokoh besar dalam filsafat ataupun pendidikan yaitu Imam Ghozali bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.[28]
Rifyal Ka'bah mengemukakan bahwa, akhlak adalah karakter, moral  dan moralitas. Sebagai karakter dan moral, akhlak berhubungan dengan sesuatu yang istimewa dalam diri manusia (innate pecularity), disposisi alami (natural disposition), dan tabiat jiwa manusia.[29]
Selanjutnya pakar pendidikan akhlak Ibnu Miskawih juga memberikan pendapat bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[30]
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam kitab Mu’jamul Wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[31]
Sementara itu secara jelas Ahmad Amin dalam bukunya “Al-Akhlak” merumuskan pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak, lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa akhlak ialah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan langsung berturut-turut.[32]
Sedangkan Sugarda Purbacawatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan” mengatakan “bahwa akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat sikap jiwa yang benar terhadap kholiqnya dan terhadap sesama manusia”.[33]
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para pakar di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa akhlak adalah gerak jiwa yang dimanifestasikan dalam perbuatan tanpa lagi membutuhkan pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu, karena perbuatan itu keluar dari lubuk jiwa yang paling dan telah menjadi kebiasaan.
b.     Tujuan Akhlak
Untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan sejahtera antara individu dengan orang lain atau masyarakat luas, sangat diperlukan tata krama atau tingkah laku (akhlak) yang baik dalam menjalankan norma-norma yang berlaku di masyarakat itu. Ini sesuai dengan tujuan akhlak dalam mengatur segala tingkah laku, perbuatan dan tindakan manusia.
Dalam bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan dengan akhlak, moral, etika, budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.[34]
Dengan demikian, akan penulis uraiakan hubungannya antara akhlak dengan etika, moral, dan kesusuilaan.
1)      Etika
Di dalam Ensiklopedia Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk. Kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.[35] Dan dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluruhan budi (baik dan buruk).[36]
Menurut Hamzah Ya'qub menyimpulkan bahwa etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.[37]
Dengan pengertian di atas, maka penulis akan menyimpulkan bahwa etika adalah  suatu tindakan/perbuatan yang mempunyai arti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berfikir seseorang tentang baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia yang dapat diketahui oleh akal dan pikiran manusia.
2)      Moral
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan kelakuan.[38] Dengan kata lain moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar atau salah.
Salah satu pengertian moral yang disebutkan di dalam Ensiklopedia Pendidikan adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral). Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik/buruk.[39]
Maka untuk mengukur tingkah laku manusia – baik atau buruk – dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Dan dalam kehidupannya sehari-hari orang yang mempunyai tingkah laku yang baik disebut orang yang bermoral.
3)      Kesusilaan
Selain istilah-istilah di atas,di dalam bahasa Indonesia untuk membahas buruk-baik tingkah laku manusia juga sering digunakan istilah kesusilaan.
Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Susila berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “Su” dan “Sila”. Su berarti baik dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.[40]
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami secara sederhana bahwa ada persamaan antara akhlak, etika dan moral, yaitu menentukan hukum/nilai perbuatan manusia dengan keputusan baik dan buruk.
Dengan demikian, tujuan akhlak adalah membentuk manusia yang berakhlak, beretika, bernorma, dan bersusila yang bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk yang sesuai dengan akal pikiran dan nantinya akan membentuk akhlakul karimah dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat.
c.       Prinsip Dasar Pembentukan Akhlak
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulum ad-Din-nya bahwa:
"Al-Khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan"[41]

Ibnu Miskawaih juga mengemukakan bahwa akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Seiring pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.[42]
Jadi pada hakikatnya khulk (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.
Dan juga diisyaratkan, suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Hal inilah yang merupakan hakikat daripada akhlak, sebab tidak dapat dinamakan akhlak kalau dalam melaksanakan itu ada unsur paksaan, atau karena lainnya seperti pamrih atau maksud tertentu.[43]
Seperta halnya “derma” seseorang dapat dikatakan dermawan jika dia telah terbiasa berderma, walaupun yang didermakan itu nilanya sedikit. Dan setiap mereka mengetahui ada orang membutuhkan, maka tergeraklah jiwanya untuk berderma kepadanya. Dan begitu pula sebaliknya, seseorang belum dapat dikatakan dermawan hanya dia telah menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan umum dengan jumlah yang sangat banyak, namun dia menyumbang karena ada yang memaksa atau hanya sekali atau ada maksud tertentu, sebab itu bukanlah suatu kebiasaan yang terpatri dalam jiwa sendiri.
Hal itu tersebut sesuai dengan prinsip bahwa akhlak adalah kebiasaan atau sikap yang mendalam dalam jiwa dimana menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang sehingga tidak lagi membutuhkan pemikiran ataupun pertimbangan.
Di samping pendapat berdua di atas, para ahli juga mengatakan bahwa akhlak itu ialah instinct (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir dan ada pula yang mengatakan bahwa akhlak itu ialah hasil dari pendidikan dan latihan serta perjuangan.[44]
Pendapat ini dapat memudahkan kita untuk mengkaji akhlak itu dalam menempatkannya pada kedudukannya yang seharusnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa akhlak itu merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh potensi yang dimiliki manusia yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dan jika pendidikan ini benar, yaitu menuju pada kebaikan, maka lahirlah perbuatan baik dan jika pendidikannya salah, maka lahirlah perbuatan yang tercela.
2.       Pandangan Islam Tentang Akhlak
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari kata “akhlak” biasanya diasosiasikan dengan perbuatan yang selalu baik dan mulia. Misalnya ada pernyataan “orang ini berakhlak”, dengan kalimat itu menunjukkan bahwa seorang itu memiliki akhlak yang baik dan mulya tidak ada anggapan dan pemahaman lain selain itu.
Namun sesungguhnya akhlak itu tidak hanya merupakan akhlak yang baik saja di samping itu ada pula yang disebut dengan akhlak yang buruk, atau yang kita kenal dalam istilah agama “akhlakul karimah” dan “akhlakul madzmudah” sebagaimana salah satu pendapat mengatakan bahwa:
“Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik, disebut akhlak mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela.”[45]
Pembagian akhlak yang dibagi menjadi akhlakul karimah dan akhlakul madzmudah tersebut didasarkan pula pada tujuan Rosulullah yang utama, yaitu diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dari sini tersirat bahwa ada akhlak yang baik disamping ada akhlak buruk. Rasulullah sendiri adalah orang yang mempunyai akhlak yang luhur, sebagai mana firmannya :
وإنك لعلى خلق عظيم (القلام :٤)
Artinya : “Sesungguhnya engkau (Hai Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur” (QS. al-Qalam : 4).[46]

Lebih lanjut Imam al-Ghozali menjelaskan yaitu setelah menjelaskan tentang definisi akhlak, dalam penjelasannya beliau mengatakan :
“Maka apabila sifat (yang tetap ada pada jiwa) itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji, secara rasio dan syara’, maka perbuatan itu dinamakan akhlak yang bagus, dan begitu pula sebaliknya apabila sifat itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang tercela dan buruk, maka perbuatan itu dinamakan perbuatan yang buruk.[47]

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa akhlak terbagi menjadi dua bagian menurut perbuatannya, yaitu :
a.      Akhlakul Karimah
Adalah kebiasaan-kebiasaan yang terpuji dan mulia, dimana dalam melaksanakan perbuatan itu tidak membutuhkan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu, karena perbuatan itu keluar dari jiwa yang sangat dalam.
Adapun yang termasuk akhlakul karimah adalah :
1)     Al-Amanah    : Jujur
2)      Al-Haya’u      : Malu karena diri tercela
3)      Al-Rahmah    : Belas Kasihan
4)      Al-Ihsan         : Berbuat Baik
5)      As-Shobru      : Sabar atau Tabah
6)      Tadhorruk     : Merendahkan diri karena Allah
7)      Ta’awu                       : Tolong Menolong
8)      As-Syaja’ah    : Berani dalam membela kebenaran
9)      Al-‘Afwu        : Pemaaf[48]


b.     Akhlakul Madzmumah
Adalah perbuatan buruk dan tercela, yang ditimbulkan oleh sifat yang tetap pada jiwa dan merupakan kebiasaan karena telah diulang-ulang.
1)      Istikbar           : Sombong
2)      Namimah      : Adu domba
3)      Isrof                : Berlebihan
4)      Hasad             : Dengki
5)      Kadibu                       : Dusta
6)      Ghodob          : Marah
7)      Ghibah                       : Mengumpat
8)      Khiyanat        : Ingkar janji
9)      Al-Bukhlu     : Kikir
10)  Bubadzir        : Boros[49]
3.       Upaya-Upaya Pembentukan Akhlak
Upaya-upaya dalam membentuk akhlak yang karimah harus didukung dengan adanya beberapa faktor yang meliputi:
a.       Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangat dominan. Di dalam keluarga, anak berinteraksi dengan orang tua dan segenap anggota keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan informal berupa pembentukan pembiasaan-pembiasaan seperti cara makan. Pendidikan informal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakkan dasar pembentukan kepribadian anak. Misalnya sikap religius, disiplin dan sebagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya di rumah.[50]
Pendidikan dalam lingkungan keluarga merupakan suatu persiapan pertama yang baik sekali bagi kehidupan akhlak anak.[51] Untuk itu, figur orang tua sangat berpengaruh terjadap perkembangan akhlak anak selanjutnya.
b.      Lingkungan
Muhammad Athiyah al-Abrasyi kurang lebih mengatakan bahwa: "Tidak mungkin kita katakan bahwa madrasah Islam kita saja yang sanggup mendidik anak-anak dengan pendidikan yang sempurna, tetapi ada pihak lain bersama-sama madrasah yang berpengaruh dalam pendidikan anak-anak itu seperti rumah tangga dan masyarakat.[52]
Dengan demikian, akhlak remaja dapat dibentuk melalui lembaga lingkungan dan keluarga juga tergantung sejauh mana lingkungan di mana remaja tinggal, dapat mendukungnya. Adapun tujuan lingkungan yang ikut andil besar tentang akhlak remaja salah satunya adalah lingkungan masyarakat.[53]
Masyarakat lingkungan yang ketiga juga ikut mempengaruhi berhasil dan tidaknya pendidikan sebab membina akhlak pada diri remaja itu tidak hanya terdapat dalam keluarga dan sekolah saja, akan terjadi pula pembinaan melalui pergaulan dan pengalaman dalam masyarakat. Ahmad D. Marimba kurang lebih mengatakan "Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali. Ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan kesosialan dan keagamaan.[54]
c.       Pendidikan Formal
Bahwa pendidikan formal sangat berpengaruh dalam pembentukan akhlak anak tertentu pada pendidikan yang diformat dengan manajemen yang mengutamakan mutu pendidikan yang maksimal tidak sekedar kewajiban atau bisnis belaka.
Oleh karena itu, sekolah dibuat antara lain untuk membantu orang tua dalam mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menemukan budi pekerti yang mulia.
d.      Pendidikan Agama
Pendidikan agama diberikan kepada anak-anak dalam usia dini, upaya mengisi nilai-nilai agama agar karakternya terbentuk.[55] Dengan menggunakan metode pendidikan yang dilakukan adalah menanamkan dalam diri anak-anaknya nilai agama dan budaya Islami yang Shahih. Orang tua juga harus mengajarkan akhlak yang Islami (akhlakul karimah) dan memberitahukan kepada mereka ketentuan Syari'at. Mengulang-ngulang dalam pendengaran mereka ungkapkan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta melanjutkan dengan menyebut karunia Allah, rahmat dan bimbingan-Nya. Orang tua harus memberitahukan kepada anak-anaknya tentang perbedaan antara halal dan haram, serta mengajarkan mereka beberapa masalah yang umum, melatih berpuasa, memerintah anak untuk melaksanakan puasa khususnya puasa Ramadhan. Dalam hal ini, perintah shalat Allah SWT berfirman dalam surat Thaaha ayat 132 yang berbunyi:
وامر اهلك بالصلوة واصطبر عليها......
Artinya : "Dan perintahkanlah pada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…….." (QS. Thaaha: 132).[56]

4.       Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Degradasi Moral
Manusia adalah makhluk biososial, oleh sebab itu hidupnya tak dapat terlepas dari kehidupan bersama manusia lainnya. Dan dengan sendirinya manusia individu itu memasyarakatkan dirinya menjadi satu lebur dalam kehidupan bersama. Maka apapun yang dibuatnya dapat mempengaruhi dan akan mempunyai makna bagi masyarakat pada umumnya dan sebaliknya apapun yang terjadi di masyarakat akan dapat mempengaruhi terhadap perkembangan pribadi tiap individu yang ada di dalamnya.[57]
Dalam pergaulan hidup bersama antar manusia akan terjadi interaksi sosial dan hal ini merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivatas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-orang perseorang dan antar kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai. Pada saat itu mereka saling menegur, saling berbicara, berjabat tangan atau bahkan berkelahi.
Pendidikan akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat, di mana tidak ada benci-membenci.[58]
Sebagai individu yang tidak dapat memisahkan diri dari masyarakat. Dia mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat, yaitu tugas yang harus dilaksanakan untuk keselamatan dan kemaslahatan masyarakat itu. Tugas yang tak boleh dihindarinya yaitu setiap anggota masyarakat berkewajiban menciptakan kebaikan dan keselamatan bagi masyarakatnya dan bertanggung jawab atas kelakuannya di masyarakat di hadapan Tuhan nanti.
Islam memandang bahwa manusia diciptakan dengan memiliki dua jalan yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan. Dan masing-masing dari jalan itu memberi peluang bagi manusia untuk memilih sesuai dengan keinginannya masing-masing dan tentu saja semua pilihan itu akan mempunyai konsekwensi sendiri-sendiri.
Di samping manusia membawa natifais sejak lahir, juga masih dapat dipengaruhi oleh lingkungan, latihan, kebiasaan dan pendidikan. Kalau sejak dini manusia dididik dengan akhlak yang baik, tentu kemungkinan sangat besar dia akan menjadi manusia yang berakhlak baik.
Secara garis besar dapat ditegaskan bahwa semua perbuatan manusia itu berbeda-beda, sehingga ada yang mempunyai tingkah laku baik (berakhlakul karimah) dan ada pula yang memiliki tingkah laku jelek (akhlakul madzmumah), semua itu pada prinsipnya ditentukan dan dipengaruhi dua faktor utama yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar[59]
Untuk lebih jelasnya dari dua faktor tersebut, dapat dilihat dari penjelasan dibawah ini :
a.      Instink (Naluri)
Di antara sarjana ada yang memberikan ta’rif naluri itu sebagai berikut : “Naluri ialah sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan kepada tujuan dengan berpikir lebih dahulu kearah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.[60]
Jadi naluri adalah merupakan tabi’at yang dibawa manusia sejak lahir. Merupakan setiap perilaku manusia sejak lahir dari suatu kehendak-kehendak yang digerakkan oleh naluri atau instink itu adalah merupakan pembawaan diri yang asli.
Selanjutnya digambarkan bahwa naluri itu laksana “pedang bermata dua”, dapat merusak diri sendiri dan dapat juga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya. Hal ini bergantung kepada cara penyalurannya.
“Naluri dapat menjerumuskan seseorang kepada kehinaan (degradasi) karena kesalahan dalam menyalurkannya, tetapi juga mengangkat pribadi ketingkat kemuliaan (sublimasi) jika disalurkan kepada jalan yang baik dengan tuntunan cahaya kebenaran”.[61]
Dalam hubungannya tersebut, Islam memandang dan mengajarkan agar naluri tidak dirusak dengan menganiaya diri sebdiri, melinkan harus disalurkan secara wajar sesuai dengan tuntunan hidayah illahi. Merusak naluri adalah seperti halnya membendung air mengalir yang memang seharusnya menalar. Maka akan terjadi kebocoran bendungan yang akhirnya akan jebol. Langkah terbaik adalah membiarkannya mengalir akan tetapi harus melalui saluran yang baik dan wajar sehingga akan mendapatkan keharmonisan hidup. Misalnya menginginkan kehangatan wanita, maka harus kita alirkan dan kita arahkan dengan menikah terlebih dahulu agar tidak terjerumus dalam dunia sex bebas, pelacuran dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita ambil pengertian bahwa insting atau naluri itu juga merupakan motor yang dapat menentukan sikap dan perbuatan manusia.
b.      Adat (Kebiasaan)
Suatu perbuatan bila diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan disebut “Adat Kebiasaan”.[62] Atau dapat dikatakan adalah suatu perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga menuntut selalu dikerjakan yang akhirnya sulit ditinggalkan. Misalnya bangun tengah malam untuk melaksanakan sholat tahajud adalah berat bagi orang yang belum terbiasa, tetapi jika perbuatan itu diulang-ulang akhirnya lama kelamaan menjadi mudah dan gampang, bahkan dalam melaksanakan perbuatan itu tidak perlu menggunakan dalam melaksanakan perbuatan itu tidak perlu menggunakan pemikiran terlebih dahulu.
Orang yang sudah menjalankan perbuatan berdasarkan kebiasaan atau sudah menjadi adat dalam dirinya, maka pekerjaan itu akan sulit ditinggalkannya karena telah berakar kuat dalam jiwanya.
c.       ‘Azam (Kemauan)
Salah satu yang melatar belakangi dibalik tingkah laku manusia adalah ‘azam atau kemauan keras. Kemauan inilah yang menggerakkan manusia untuk berbuat yang baik atau mulia dalam lingkungan yang bagaimanapun adalah berkat adanya ‘azam.
“Sebenarnya kehidupan orang-orang besar dan terkemuka dalam sejarah hidupnya, adalah digerakkan oleh kehendak yang keras, itulah rahasia kenangan hidup dan tanda bukti mereka. Mereka tahan menderita dan tidak akan luntur semangatnya dalam melaksanakan suatu urusan, karena memiliki ‘azam yang demikian kuatnya”.[63]

Sesungguhnya kehidupan para Rasul dan Nabi yang tahan uji itu dihayati oleh kekuatan ‘azam. Allah memesankan dalam al-Qur’an:
فاصبركماصبراولواالعزم من الرسل … (الاحقاف : ٣٥)
Artinya : “Hendaklah engkau tabah seperti ketabahan Rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati.” (QS. al-Ahqaaf : 35)[64]
Dari penjelasan di atas, bahwa karena kehendak yang kuat itulah sehingga perbuatan manusia diarahkannya yaitu berupa keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Karena dari kehendak yang keras itulah akan muncul “niat” yang baik atau yang buruk dan menjadi perbuatan baik atau buruk.
d.     Suara Batin (Consiense)
Dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada diambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah “suara batin” atau “suara hati”.
Suara bathin itu tidak selalu benar, tetapi terkadang salah dalam memberikan isyarat, maka lalu memerintahkan melakukan kesalahan. Oleh Karena itu bathin adalah perintah mengikuti apa yang diyakini manusia, maka suara hati setiap manusia berbeda-beda menurut kepercayaan dan aqidahnya. Dan jika aqidahnya benar maka suara batinnya akan “terbentuk”menurut keyakinan yang benar.[65]
Dari sinilah segolongan ahli etika mengambil kesimpulan bahwa benih suara batin itu merupakan fitnah tetapi tumbuh dan dibesarkan oleh adat dan pendidikan.[66]
Menurut penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa suara batin adalah bisikan yang bersumber dari dalam hati manusia yang memrintahkan untuk berbuat ataupun meninggalkan perbuatan yang dianggap lebih benar dan menyelamatkan menurut pengalaman dan pendidikan yang telah diterima dari lingkungannya.
Dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk mengenai adanya suara batin yang ada dalam diri manusia itu dengan menggunakan kalimat “qalbu”, “fuad” dan sebagainya dan suara hati sendiri akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya, sebagaimana firman-Nya :
ونفس وماسوها. فالهمها فجورهاوتقوها. قدافلح من زكها وقدخاب من دسها (الشمس : ١٠-٧)
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. asy-Syams : 7-10).[67]

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa hati yang selalu dididik dan dibersihkan dari kotoran hawa nafsu dan meninggalkan kabut kegelapan dapat memilki jenjang kemuliaan dan menjadi jernih, laksana air telaga yang bening yang menangkap cahaya rembulan walau dimalam hari dan dapat memantulkan cahaya matahari yang indah dikala senja dan pagi hari.
Islam adalah agama yang penuh dengan penuh pengajaran yang baik yang menyeru insan untuk menjaga dan mendidik suara batin agar menjadi bersih dan jernih serta menjadi manusia yang mulia sekaligus mendasari pola tingkah laku manusia agar menjadi baik seluruhnya.
e.      Faktor Keturunan
Keyakian umum pada masa dahulu menyatakan bahwa manusia itu dilahirkan sama, baik dalam jiwa maupun dalam persediaannya mereka, hanya pendidikanlah yang membedakan diantara mereka. Akan tetapi dalam pengetahuan yang baru, berpendapat bahwa tidak ada dua orang yang keluar dalam alam kewujudan ini sama dalam tubuh, akal dan akhlaknya. Perbedaan antara beberapa orang terkadang sangat kecil sehingga dekat kepada persamaan (hampir sama) dan terkadang perbedaan tidak amat jauh, sehingga kita melihat perbedaan ini pada kedua orang kembar. Perbedaan ini bersumber karena pertamakali turunan.[68]
Tiap-tiap anak membawa turunan dari kedua orang tua, beberapa sifatnya, tentu saja bukan keseluruhan sifat keduanya atau seluruh kebiasaan dalam hidupnya melinkan sifat-sifat yang pokok seperti kemauan keras, kekuatan fisik, kehalusan perasaan dan sebagainya. Oleh karena itu ada ungkapan “kalau engkau anak yang sehat dan kuat, maka pilihlah orang tua yang sehat dan kuat.”
Maka bukan anak yang pandai tiba-tiba, demikian juga anak pemalas dan yang kasar perasaannya. Tetapi sifat-sifat ini ada perhubungan yang besar dengan sekumpulan urat syaraf yang diwariskan oleh orang-orang dahulu dan semua instink adalah kumandang (gema) dari instink nenek moyang kita.[69]

Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa faktor keturunan ini sangatlah besar pengaruhnya dalam mencetak jiwa anak, walaupun tidak semua sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua diwarisi oleh anak secara mutlak.
f.       Faktor Lingkungan (Mileu)
Faktor yang turut menentukan terbentuknya tingkah laku seseorang baik, sebagai langsung atau tidak langsung akan dapat siraman nama baiknya. Dan sebaliknya orang yang hidup dalam lingkungan yang buruk, maka dia akan terbawa buruk walaupun ia sendiri belum tentu melakukan hal yang buruk. Hal ini biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara hidup orang tersebut.
Rasulullah SAW memberikan gambaran tentang lingkungan yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang, dalam sabdanya :
أن النبى صلىالله عليه وسلم قال: إنمامثل الجليس الصالح وجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكيرو فحامل المسك إماأن يحذيك, واماأن تبتاع منه, واماأن تجدمنه ريحاطيبة ونافح الكير إماأن يحرق ثيابك, واماأن تجد منه ريحامنتنة. (متفق عليه)
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : bahwasannya perumpamaan lingkungan yang baik dan lingkungan yang jelek adalah seperti halnya orang yang membawa minyak misik dan seperti pande besi. Dalam lingkungan orang yang membawa minyak misik kemungkinan kamu akan membelinya atau setidak-tidaknya kamu akan memperoleh aromanya yang harum. Sedangkan dalam lingkungan orang ahli pande besi, maka kemungkinan akan membakar bajumu atau setidak-tidaknya engkau akan memperoleh aroma (bau) yang tidak sedap.” (HR. Muttafaq ‘alaih)[70]

Gambaran yang dijelaskan dalam hadits di atas, jelas bahwa lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan tingkah laku manusia, dimana lingkungan yang baik ibarat lingkungan yang berbau semerbak harum minyak misik, sedangkan lingkungan yang buruk ibarat berada dalam sekeliling tukang pande besi yang percikan api besinya dapat membakar baju yang kita pakai.
Begitu besarnya faktor lingkungan, sehingga dapat mempengaruhi aqidah seseorang terhadap yang lain seperti halnya hadits di atas.
g.      Faktor Pendidikan
Yang diamksud dengan faktor pendidikan di sini adalah segala tuntutan dan pengajaran yang diterima seseorang dalam membina kepribadian.[71] Itulah sebabnya pendidikan mempunyai pengaruh dalam membentuk akhlak, dikarenakan pendidikan turut mematangkan kepribadian manusia sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidika yang diterimanya.
Begitu pentingnya pendidikan dalam membentuk dan memperbaiki kepribadian manusia, sehingga Nabi memberi penekanan bahwa pendidikan itu mulai dari ayunan ibu sampai mati. Sebagaimana sabda beliau :
اطلبواالعلم من المهد إلىالحد
Artinya : “Belajarlah (carilah ilmu) sejak engkau dalam buaian (ayunan) sampai keliang lahat.”[72]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan pendidikan tidak harus melalui lingkungan-lingkungan formal saja, malalui lingkungan non formal dapat dinamakan pendidikan.
h.     Faktor Latihan
Termasuk faktor yang ikut andil mempengaruhi pembentukan akhlak seseorang adalah faktor latihan. Sebab sebenarnya akhlak itu terbentuk adalah karena adanya latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus.
Sebagaiman telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, yaitu dalam penjelasan tentang pengertian akhlak yang diantaranya menyatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan kehendak.






[1]Brockett, Oscar G., The Theatre, An Introduction, 2nd ed, New York Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1960, hal. 113  
[2]Radhar Panca Dahana, Homo Theatricius, Penerbit. Yayasan Indonesiatera, Bandung, 2001, hal. 9
[3]Jakob Sumardjo, Ikhtisar Sejarah Teater Barat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1993, hal. 1-3
[4]Allyn and Bacon, History of Theatre, Boston, inc., 1968, hal. 75
[5] Ibid., hal. 81
[6] N. Riantiarno, Menyentuh Teater; Tanya Jawab Seputar Teater Kita, MU:3 Books, Indonesia, 2003, hal. 7
[7]Ibid., hal. 11
8Radhar Panca Dahana, Op.Cit., hal. 9
[9] Bakdi Soemanto, Op.Cit., hal. 8-9
[10]Putu Wijaya, BOR; Esai-Esai Budaya, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999, hal. 37
[11] N. Riantiarno, Op.Cit., hal. xi
[12]Putu Widjaya, Op.Cit., hal. 46-47
[13] N. Riantiarno, Op.Cit., hal. 3
[14] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, STSI Prees, Bandung, 2004, hal. 3
[15] Ibid., hal. 4
[16] Bakdi Soemanto, Op.Cit., hal.9
[17] Radhar Panca Dahana, Op.Cit., hal. 9-10
[18] Radhar Panca Dahana, OP.Cit., hal. 63-66
[19] Saini KM, Teater Maodern Indonesia dan Beberapa Masalahnya, Binacipta, 1988, hal. 23
[20] Hamdy Salad, Agama Seni; Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik, Yayasan Semesta, Yogyakarta, 2000, hal.51-52
[21] Ibid.,hal. 55
[22]Radhar Panca Dahana, Op.Cit., hal. 36-41
[23] Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 153
[24] Ibid., hal. 160
[25]Jeniffer Lindsay, Klasik, Kitsch, Kontemporer; Sebuah Studi Seni Pertunjukan Jawa, Terjemahan Nin Bakdi Soemanto, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hal. 43-50
[26] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,  Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 15
[27] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1996, hal. 253
[28]Al-Ghozali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut : Darul Fikri, t.th., hal. 48
[29] Rifyal Ka'bah, Partai Allah, Partai Setan, Agama Raja, Agama Allah; Bunga Rampai Pemikiran, Suluh Press, Yogyakarta, 2005, hal. 329
[30]Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3
[31]Ibid, hal. 4
[32]Ahmad Amin, Etika; Ilmu Akhlak. Terj. K.H. Farid Ma’ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hal.
[33]Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 2
[34] R. Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta, 1982, hal. 4
[35] Ibid., hal. 82
[36] M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hal. 144
[37] Hamzah Ya'qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1983, hal. 13
[38] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hal. 654
[39] Soegarda Poerbakawatja, Op.Cit., hal. 186
[40] M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 23
[41] Imam al-Ghozali, Ihya' Ulum al-Din, III, al-Masyhad al-Husain, Cairo, t.th., hal. 56
[42]Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak; Kajian Atas AsumsiDasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2004, hal. 31
[43]Asmaran, Op.Cit., hal. 116
[44] Mansur Ali Rajab, Ta'ammulat fi Filsafat al-Akhlak, Maktabah al-Anjalu al-Misriyah, Cairo, 1961, hal. 91
[45] Ibid, hal. 1
[46]Al-Qur’an Surat al-Qalam Ayat 4, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1971, hal. 960
[47]Al-Ghozali, Ihya’, hal. 48
[48]Barnawis Umar, Materi Akhlak, Pustaka Islam, Jakarta, 1989, hal. 20
[49] Ibid, hal. 21.
[50]Ary Gunawan, Sosiologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 97
[51]Lawrence Khal Berg, Tahap-Tahap Pembangunan Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 121
[52]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hal. 199
[53]Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1990, hal. 15
[54] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, PT. al-Ma'arif, Bandung, 1974, hal. 63
[55]Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 168
[56] Al-Qur'an Surat Thaaha Ayat 132, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta, 1989, hal. 492
[57] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, CV. Rajawali, Jakarta, 1992, hal. 51
[58]Muhd. Al-Gazali, Khuluk al-Muslim, Darul Bayan, Kuwait, 1970, hal. 3
[59]Hamzah Yaqub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1996, hal. 57
[60]Ibid, hal. 58
[61]Ibid, hal. 59.
[62]Amin, Op.Cit., hal. 21.
[63] Ya’qub, Op.Cit., hal. 73
[64]Al-Qur’an Surat al-Ahqaaf ayat 35, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1971, hal. 828
[65]Ya’qub, Op.Cit., hal. 78-80
[66]Ibid, hal. 79
[67]Al-Qur’an Surat asy-Syams Ayat 7-10, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1971, hal. 1064
[68]Amin, Op.Cit., hal. 35
[69]Ibid, hal. 37
[70]Abu Zakariyah an-Nawawi, Riyadus Shalihin, Beirut : Dal al-Fikr, t.th., hal. 173
[71]Ya’qub, Op.Cit., hal. 82
[72] Uhbiyati dan Ahmadi, Ilmu, hal. 110

0 Response to "INTENSITAS TEATER TERHADAP PEMBENTUKAN AKHLAK"

Post a Comment