PENDEKATAN
PSIKOANALISIS
A. Pengertian Pendekatan Psikoanalisis
Salah satu aliran utama dalam psikologi adalah teori
psikoanalisis Sigmund Freud. Pendekatan Psikoanalisis adalah sebuah usaha atau
cara mendekati melalui model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat
manusia, dan metode psikoterapi. Secara historis psikoanalisis adalah aliran
pertama dari tiga aliran utama psikologi. Yang kedua adalah behaviorisme,
sedangkan yang ketiga atau disebut juga kekuatan ketiga adalah psikologi
eksistensial-humanistik. Penting untuk diingat bahwa Freud adalah pencipta
pendekatan psikodinamika terhadap psikologi, yang memberikan pandangan baru
kepada psikologi dan menemukan cakrawala-cakrawala baru. Misalnya,
membangkitkan minat terhadap motivasi tingkah laku. Freud juga mengundang
banyak kontroversi, eksplorasi, penelitian, dan menyajikan landasan tempat
bertumpu sistem-sistem yang muncul kemudian.[1]
Sigmund Freud adalah seorang keturunan Yahudi
berkebangsaan Jerman dilahirkan di Moravia 6 Mei 1856. Hampir selama 80 tahun
ia tinggal di Wina dan meninggalkan kota
itu ketika Nazi menyerang Austria .
Ia meninggalkan Wina dan pergi ke Inggris serta meninggal di London tahun 1939. Sebagai seorang pemuda ia
memutuskan ingin menjadi seorang ilmuwan. Lalu ia memasuki sekolah kedokteran
di Universitas Wina tahun 1873 dan tamat 8 tahun kemudian. Setelah tamat, ia
tidak mau membuka praktek, karena disamping gaji yang sangat kecil, juga karena
ketertarikannya terhadap neurology. Lebih dari 40 tahun ia menyelidiki
ketidaksadaran (alam bawah sadar) dengan metode asosiasi bebas dan
mengembangkan apa yang umum dipandang sebagai teori kepribadian yang
komprehensif.[2]
Atau yang sering disebut sebagai teori psikodinamik (Dynamic Psychology).
Psikoanalisis Freud atau disebut juga aliran psikologi
dalam (Dept Psychology) ini secara skematis menggambarkan jiwa sebagai
sebuah gunungan es. Bagian yang muncul di permukaan air adalah bagian yang
terkecil, yaitu puncak dari gunung es itu, yang dalam hal kejiwaan adalah
bagian kesadaran (conciousness). Agak di bawah permukaan adalah bagian
yang disebutnya pra kesadaran (subconciousness atau Preconsciousness).
Isi dari prakesadaran ini adalah hal-hal yang sewaktu-waktu dapat muncul ke kesadaran. Bagian yang
terbesar dari gunung es itu berada di bawah permukaan air dan dalam hal jiwa
merupakan alam ketidaksadaran (unconciousness).
Ketidaksadaran ini berisi dorongan-dorongan yang ingin
muncul ke permukaan atau ke kesadaran. Dorongan-dorongan ini mendesak terus ke
atas, sedangkan tempat di atas sangat terbatas sekali. Tinggal “ego” (aku) yang
memang menjadi pusat dari kesadaran yang harus mengatur dorongan-dorongan mana
yang harus tetap tinggal di ketidaksadaran. Sebagian besar dari
dorongan-dorongan yang berasal dari ketidaksadaran itu memang harus tetap tinggal
dalam ketidaksadaran, tetapi mereka ini tidak tinggal diam, melainkan mendesak
terus dan kalau”ego” tidak cukup kuat menahan desakan ini akan terjadilah
kelainan-kelainan kejiwaaan seperti psikoneurose (tekanan mental).
Dorongan-dorongan yang terdapat dalam ketidaksadaran sebagain adalah
dorongan-dorongan yang sudah ada sejak manusia lahir, yaitu dorongan seksual
dan dan dorongan agresi, sebagian lagi berasal dari pengalaman masa lalu yang
pernah terjadi pada tingkat kesadaran dan pengalaman itu bersifat traumatis
(menggoncangkan jiwa), sehingga perlu ditekan dan dimasukkan dalam
ketidaksadaran. Segala tingkah laku manusia menurut Freud, bersumber pada
dorongan-dorongan yang terletak jauh di dalam ketidaksadaran.[3]
Sehubungan dengan itu Al-Ghazali dalam teorinya al-Khawatir mengatakan
bahwa segala bentuk perilaku yang terjadi pada individu berasal dari lintasan
hati (qalb) atau dorongan alam bawah sadar.[4]
Segala gerak hati, baik berbentuk kehendak, keinginan, penyelesaian masalah,
dll. Pada awalnya pasti melewati al-Khawatir atau alam bawah sadar.[5]
Sumbangan-sumbangan utama yang bersejarah dari teori
dan praktek psikoanalisis mencakup : (1) Kehidupan mental individu menjadi bisa
dipahami, dan pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaan
penderitaan manusia. (2) Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh
faktor-faktor tak sadar. (3) Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki
pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa. (4) Teori psikoanalisis
menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk memahami cara-cara yang
digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan dengan mengandaikan adanya
mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan. (5)
Pendekatan psikoanalisis telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari
ketidaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan
transfrensi-transfrensi.[6]
B. Struktur Kepribadian
Menurut Freud kepribadian terdiri atas tiga aspek,
yaitu:
1.
Das Es
(the id), yaitu aspek biologis
2.
Das Ich
(the ego), yaitu aspek psychologis
3.
Das Ueber Ich
(the super ego), yaitu aspek sosiologis.
Kendatipun ketiga aspek itu masing-masing mempunyai
fungsi, sifat komponen, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri, namun
ketiganya berhubungan dengan rapatnya sehingga sukar (tidak mungkin) untuk
dipisah-pisahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, tingkah laku selalu
merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek itu.
1. Das Es (id)
Das
Es atau dalam bahasa Inggris the Id disebut juga Freud System der
Unbewussten. Aspek ini adalah aspek biologis dan merupakan sistem orisinil
di dalam kepribadian. Id juga merupakan rahim tempat ego dan super ego
berkembang. Id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan
telah ada sejak lahir. Termasuk didalamanya instink, naluri, hasrat, dorongan
seksual atau libido dan lain-lain yang berasal dari alam bawah sadar.[7]
Id kurang terorganisir, buta, menuntut
dan mendesak. Seperti kawah yang terus mendidih dan bergolak, Id tidak
bisa mentoleransi tegangan, dan bekerja untuk melepaskan tegangan sesegera
mungkin serta untuk mencapai keadaan homeostatic. Dengan diatur oleh
asas kesenangan yang diarahkan pada pengurangan ketegangan, penghindaran
kesakitan, dan perolehan kesenangan, id bersifat tidak logis, amoral dan
didorong oleh satu kepentingan; memuaskan kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai
dengan asas kesenangan. Id tidak pernah matang dan selalu menjadi anak manja
dari kepribadian, tidak berpikir dan hanya menginginkan atau bertindak.[8]
Jadi pedoman dalam berfungsinya das Es ialah menghindarkan diri dari
ketidakenakan dan mengejar keenakan; pedoman ini disebut Freud “prinsip
kenikmatan” atau “prinsip keenakan”.
Untuk
menghilangkan ketidakenakan dan mencapai kenikmatan itu Das Es mempunyai dua
cara (alat proses) yaitu :
a. Refleks dan reaksi
otomatis, seperti bersin, berkedip dan sebagainya.
b. Proses primer,
seperti orang yang lapar membayangkan makanan.
Akan
tetapi jelas bahwa cara “ada” yang demikian itu tidak memenuhi kebutuhan; orang
yang lapar tidak akan menjadi kenyang dengan membayangkan makanan. Karena itu
maka perlulah (merupakan keharusan kodrati) adanya sistem lain yang
menghubungkan pribadi dengan dunia obyektif. Sistem yang demikian itu ialah das
Ich.
2.
Das Ich
Das Ich atau dalam bahasa Inggris the Ego disebut juga system
der-Bewussten, merupakan psikologis dari kepribadian yang timbul karena
kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan
kenyataan obyektif.[9]
Dalam bukunya “A General Introduction to
Psychoanalysis” Freud
"Menggambarkan
ego sebagai penjaga yang memeriksa keanekaragaman pembangkit mental
(dorongan-dorongan seksual), menyensor dan menolak izin masuknya kedalam
ruangan ketika ia tidak menyetujuinya".[10]
Ego berlaku realistis dan berpikir
logis serta merumuskan rencana-rencana tindakan bagi pemuasan
kebutuhan-kebutuhan. Di dalam menjalankan fungsi ini seringkali das Ich harus
mempersatukan pertentangan-pertentangan antara das Es dan das Ueber dan dunia
luar. Namun haruslah diingat, bahwa das Ich adalah derivat dari das Es dan
timbul untuk kepentingan kemajuan das Es dan untuk merintanginya, peran
utamanya ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instinktif dengan
keadaan lingkungan, demi kepentingan adanya organisme.
3.
Aspek Das Ueber Ich (super ego)
Das Ueber Ich adalah aspek sosiologis daripada
kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita
masyarakat seagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang
dimasukkan (diajarkan) dengan berbagai perintah dan larangan. Jadi super ego
cenderung untuk menentang, baik id maupun ego dan membuat dunia menurut
gambarannya sendiri.[11]
Akan tetapi super ego sama seperti id tidak rasional dan sama seperti ego
melaksanakan kontrol atas insting-insting, menunda pemuasan insting dan tetap
berusaha merintanginya.[12]
Super ego juga sebagai cabang moral atau hukum dari
kepribadian. Super ego adalah kode moral individu yang urusan utamanya adalah
apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Super ego
mempresentasikan hal yang ideal alih-alih hal yang riil, dan mendorong bukan
kepada kesenangan, melainkan kepada kesempurnaan, super ego berkaitan dengan
imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya adalah
perasaan-perasaan bangga dan mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya
adalah perasaan-perasaan berdosa dan rendah diri.[13]
Perkembangan
Kepribadian
Freud berpendapat bahwa anak sampai kira-kira umur lima tahun melewati
fase-fase yang terdeferensiasikan secara dinamis, kemudian sampai umur dua
belas, atau tiga belas tahun mengalami fase latent, yaitu dinamika menjadi
lebih stabil. Dengan datangnya masa remaja maka dinamika itu meletus lagi, dan
selanjutnya makin tenang kalau orang makin dewasa. Bagi Freud masa sampai umur
dua puluh tahun adalah masa yang menentukan bagi pembentukan kepribadian. Tiap
fase (terutama dari lahir sampai kira-kira umur lima tahun) ditentukan atas dasar cara-cara
reaksi bagian tubuh tertentu.
Adapun fase-fase tersebut ialah :
1. Fase Oral
Sumber kenikmatan yang pokok yang diasalkan dari mulut
adalah makan. Makan ini meliputi perangsang terhadap bibir dan rongga mulut,
menelan, dan apabila makanan tak menyenangkan menyemburkan keluar. Setelah gigi
tumbuh kenikmatan itu dapat juga timbul karena menggigit. Dua macam aktiva pada
waktu makan yaitu menyuapkan makanan dan mengunyah merupakan prototype daripada
bermacam-macam sifat yang ada pada masa-masa yang lebih kemudian. Pemindahan
obyek dari menyuapkan atau memasukkan makanan ke mulut itu misalnya :
kesenangan untuk memperoleh pengetahuan atau hak milik. Pemindahan obyek dari
menggigit atau agresi oral misalnya : berdebat, bersifat sarcastic.
Selanjutnya, karena pada masa oral ini anak sama sekali
tergantung kepada Ibu dalam segala hal maka timbullah “rasa tergantung” pada
masa ini. Rasa tergantung ini cenderung untuk tetap ada selama hidup dan
menonjol kalau orang dalam ketakutan atau merasa tidak aman.
2. Fase
Anal
Fase anal adalah kepuasan seksual berpindah keanus dan
anak mendapat kepuasan dengan menikmati duduk dipispot sampai lama, dimana anak
mulai belajar buang air sendiri.[14]
Ketika pembiasaan akan kebersihan (Toilet Training) dimulai
pada tahun kedua, anak mendapat pengalaman pertama tentang pengaturan
impuls-impuls dari luar. Dia harus belajar menunda kenikmatan yang timbul dari
defakasi (bebaskan diri). Pengaruh yang diterima oleh anak dalam pembiasaan
akan kebersihan ini dapat mempunyai pengaruh yang jauh pada sifat-sifat
kepribadian kemudian :
1) Apabila Ibu
bersikap keras dan menekan, anak mungkin menahan faeces/buang air. Apabila
reaksi yang demikian ini meluas kelain-lain hal, maka anak dapat mempunyai
sifat kurang bebas, kurang berani, tertekan, kurang terbuka.
2) Apabila Ibu
bersikap membimbing dengan kasih sayang dan memuji apabila anak defakasi, maka
anak mungkin memperoleh pengertian bahwa memproduksikan faeces adalah
aktivitas yang penting. Pengertian inilah yang mungkin menjadi dasar daripada
kreativitas dan produktivitas.
3. Fase Falis
Pada fase ini yang menjadi pusat adalah perkembangan
seksual dan rasa agresi fungsi alat-alat kelamin. Kenikmatan masturbasi serta
khayalan yang menyertai aktivitas oto-erotik sangat penting. Pada masa inilah
adanya Ouedipus compleks. Freud beranggapan, bahwa pendapatnya tentang Oedipus
compleks itu adalah salah satu penemuannya yang terpenting.
Secara singkat Ouedipus compleks itu terdiri atas cathexis
sexual (kecintaan yang berlebihan) terhadap orang tua yang berlainan jenis
kelaminnya, serta cathexis permusuhan terhadap orang tua yang sama jenis
kelaminnya. Anak laki-laki ingin memiliki Ibu dan mengusir Ayah, anak perempuan
ingin memiliki Ayah dan mengusir Ibu. Perasaan itu menyatakan diri dalam khayal
anak pada waktu anak itu melakukan masturbasi dan dalam sikap cinta serta
melawan orang tua. Tingkah laku anak pada fase ini terutama ditandai oleh
bekerjanya Ouedipus compleks itu, dan walaupun hal ini dimodifikasikan dan
ditekankan setelah anak berumur kurang lebih lima tahun, namun masih tetap
merupakan kekuatan yang vital selama hidupnya. Misalnya sikap terhadap jenis
kelamin lain dan orang-orang pemegang kekuasaan terutama diisyaratkan oleh
Ouedipus compleks.
Ouedipus compleks pada laki-laki dan perempuan itu
tidak sama. Mula-mula kedua jenis anak itu cinta kepada Ibu, karena Ibu
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan menentang Ayah karena dianggap saingan
dalam memperebutkan kasih itu. Perasaan yang demikian itu pada anak laki-laki
tetap, tetapi pada anak perempuan berubah.[15]
1) Perkembangan
Ouedipus compleks pada anak laki-laki : dorongan yang berlebihan untuk lebih
dekat (incest) dengan Ibu serta sikap menentang terhadap ayah menyebabkan
anak lak-laki konflik dengan orang tuanya, terutama ayah. Ia mengkhayalkan
bahwa ayah akan melukainya, dan hal ini sering disertai ancaman ayah yang
keras. Khayalan ini menyebabkan ditekannya keinginan seksual terhadap ibu dan
rasa permusuhan terhadap ayah. Hal ini juga menyebabkan anak laki-laki
mengidentifikasikan diri terhadap ayah. Dengan mengidentifikasikan diri
terhadap ayah itu anak laki-laki mendapatkan dua macam manfaat, yaitu :
a)
Memperoleh kepuasan dorongan seksual terhadap ibu
b)
Rasa erotisnya terhadap ibu yang berbahaya ditutupi
oleh sikap penurut dan sayang terhadap ibu
2). Perkembangan Ouedipus compleks pada anak perempuan
: anak perempuan mengganti obyek cintanya yaitu ibu diganti dengan ayah. Hal
ini sebagai reaksi terhadap pengalaman traumatisnya, yaitu anak laki-laki
memiliki alat-alat kelamin yang sempurna, sedang dia tidak keadaannya.
a)
Dia beranggapan bahwa ibulah yang bertanggungjawab
terhadap keadaan yang demikian itu yang melemahkan cathexisnya terhadap ibu
b)
Dia mentransfer cintanya kepada ayah, karena ayah
memiliki organ yang dia inginkan
3. Fase Latent
Pada fase ini dorongan dinamis itu seakan-akan latent,
sehingga anak-anak pada masa ini secara relatif lebih mudah dididik daripada
fase-fase sebelumnya dan sesudahnya.
4. Fase Pubertas
Pada fase ini adalah masa peralihan anak menjadi dewasa
yakni usia 14-21 tahun.[16]
Impuls-impuls yang selama masa sebelumnya seakan-akan latent, menonjol kembali.
Dan ini membawa aktivitas-aktivitas dinamis lagi.
5. Fase Genital
Cathexis pada fase genital mula (fase falis) mempunyai
sifat narcistis; artinya individu mempunyai kepuasan dari perangsangan dan
manipulasi tubuhnya sendiri dan orang-orang lain diinginkan hanya karena
memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah itu. Pada pubertas
narcisme ini diarahkan ke obyek diluar; si puber mulai belajar mencintai orang
lain karena alasan-alasan narcistis. Pada akhir fase pubertas dorongan-dorongan
yang altruistis dan telah disosialisasikan
ini telah menjadi tetap dalam bentuk-bentuk pemindahan obyek, sublimasi
dan identifikasi. Jadi orang telah berubah dari pengejar kenikmatan menjadi
orang dewasa yang telah disosialisasikan dan realistis. Fungsi biologis yang
pokok daripada fase genital ini ialah reproduksi.
Dalam pada itu perlu sekali diingat bahwa sekalipun
Freud menggambarkan perkembangan itu dalam fase-fase, namun dia tidak
berpendapat antara fase-fase tersebut satu sama lain terdapat batas yang tajam.
Teori psikoanalisa dari Freud dapat berfungsi sebagai
tiga macam teori yaitu :
1.
Teori kepribadian
Sebagai teori kepribadian, psikoanalisa mengatakan
bahwa jiwa terdiri tiga sistem yaitu id, terletak dalam ketidaksadaran. Ia
merupakan tempat dari dorongan primitif, yaitu dorongan yang belum dipengaruhi
oleh kebudayaan berupa dorongan untuk hidup dan mempertahankan hidup serta
dorongan untuk mati. Bentuk dari dorongan hidup adalah dorongan seksual atau
libido dan dorongan untuk mati adalah dorongan agresi yaitu dorongan yang
menyebabkan orang ingin menyerang orang lain, berkelahi atau berperang serta marah.
Super ego adalah sistem yang merupakan kebalikan dari
Id. Sistem ini dibentuk oleh kebudayaan. Sang anak pada waktu kecil mendapat
pendidikan dari orang tua dan melalui pendidikan itulah ia mengetahui mana yang
baik, mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang yang
sesuai dengan norma masyarakat. Sehingga super ego berisi dorongan-dorongan
untuk berbuat kebaikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat dan
sebagainya. Dorongan atau energi yang berasal dari super ego ini akan berusaha
menekan dorongan yang timbul dari id, karena dorongan id masih primitif yang
tidak bisa diterima oleh super ego.
Ego adalah sistem kesadaran kedua dorongan dari id
sebelum super ego beradu kekuatan. Fungsi ego adalah menjaga keseimbangan antara
kedua sistem yang lain sehingga tidak terlalu banyak dorongan dari id yang
dimunculkan kesadaran, sebaliknya tidak semua dorongan super ego saja yang
dipenuhi.
2.
Teknik analisa kepribadian
Psikoanalisa berfungsi sebagai analisa kepribadian
dalam rangka untuk dapat menerangkan suatu gejala psikoneurose misalnya,
agar dapat diusahakan penyembuhan terhadap penderita yang bersangkutan, maka
perlu dianalisa terlebih dahulu kepribadiannya. Dalam analisa ini menggunakan
dua cara pendekatan, yaitu pertama, melihat dinamika dorongan-dorongan
primitif (Id) dan super ego terhadap ego dorongan primitif itu.
Selanjutnya perlu dilihat apakah ego bisa mempertahankan keseimbangan antara
kedua dorongan yang saling menekan itu. Kalau ego tidak bisa memperoleh
keseimbangan, maka perlu diteliti apa yang menyebabkan lemahnya ego itu. kedua
adalah pendekatan sejarah kasus (case history), terutama untuk melihat
fase-fase perkembangan dorongan seksual apakah berjalan wajar, apakah ada
hambatan-hambatan dan kalau ada fase mana mulai terjadi hambatan.
3.
Metode terapi (penyembuhan)
Sebagai teknik psikoterapi karena pada prinsipnya
psikoanalisa mengakui bahwa kalau faktor penyebab yang tersembunyi di dalam
ketidaksadaran sudah bisa diketahui dan dibawa ke kesadaran maka penderita
dengan sendirinya akan sembuh. Yaitu penderita secara sadar sepenuhnya diajak
untuk mengeksplorasi ketidaksadarannya. Salah satu tekniknya adalah analisa
mimpi.[17]
[1]Gerald
Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Refika Aditama, Bandung , 1999, hlm.13.
[2]Calvin
S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Kanisius,
Yogyakarta , 1993, hlm. 60-61.
[3]
Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta ,
2000, hlm.149.
[6]Gerald
Corey, Op. Cit, hlm. 15.
[7] A.
Sigmund Freud, A General Introduction to Psychoanalysis, Terj : Ira
Puspito Rini, Ikon Tera Litera, Yogyakarta ,
2002, hlm.11.
[8]
Corey, Op.Cit, hlm.14.
[9] S.
Hall dan Lindzey, Op.Cit, hlm.65.
[10]
Freud, Op.Cit, hlm.315.
[11]
S. Hall dan Lindzey, Op.Cit, hlm.67-68.
[12]
E. Turien, A. Historical Analisis of the Freudier Concept of the super
egoPsychoanal, Rew, Univ. Press, New Yok, 1967, hlm. 54.
[13]
Corey, Op. Cit, hlm. 15
[14]
Corey, Op. Cit, hlm. 16.
[15]
Sigmund Freud, Op. Cit, hlm. 260.
[16]
Sarwono,Op. Cit, hlm. 155.
[17]
Sigmund Freud, Psikoanalisis Sigmund Freud, Terj. Ira Puspitorini, Ikon
Teralitera, Yogyakarta , 2002, hlm.193.
0 Response to "PENDEKATAN PSIKOANALISIS"
Post a Comment