MODEL PEMBELAJARAN TAFSIR DAN IMPLIKASINYA

MODEL PEMBELAJARAN TAFSIR DAN IMPLIKASINYA

A.     Pengertian Model Pembelajaran Tafsir

1.       Pengertian Model dan Pembelajaran
Model menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pola atau bentuk, sehingga model disini yang penulis maksudkan adalah metode penyampaian dalam pembelajaran, sedangkan pengertian dari pada pembelajaran ialah arah pembuatan belajar, dan sekaligus menjadi hasil belajar pada suatu kelas atau suatu jenjang lembaga pendidikan.[1]
Secara khusus istilah model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan. Dalam pengertian lain, model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhny, seperti globe adalah model dari bumi tempat kita hidup. Istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama sebagai kerangka konseptual. Yang disebut model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar.
2.       Macam-macam Model Pembelajaran
Pada umumnya pembelajaran di Pondok Pesantren mengikuti pola tradisional pada khususnya di Pesantren Assalafiyah Desa Jatirogo, yaitu model sorogan dan model bandongan[2]. Namun seiring dengan perkembangan zaman, maka timbullah model-model pembelajaran yang diimplikasikan di Pesantren Assalafiyah. Adapun model-model yang dikembangkan pada proses pembelajaran adalah sebagai berikut:
a.       Model Sorogan
Secara tekhnis model sorogan ini bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari[3]. Pada model ini kyai membaca kitab yang dimulai dengan pembacaan terjemah, syarah dengan analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian sematik, model sorogan ini justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Menurut Mastuhu, bahwa model sorogan ini adalah model mengajar secara individual langsung dan intensif, dengan model sorogan ini kyai dan santri langsung bertatap muka, sehingga kyai mengetahui model yang cocok diterapkan pada santrinya.
b.      Model Bandongan
Model bandongan (weton) lebih bersifat pada pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai, kyai menerangkan pelajaran secara kuliah dan terjadwal[4]. Demikian pula menurut Zamar Khasyari Dhofir, sebagaimana dikutip oleh Armai Arief, bahwa model bandongan ialah sekelompok murid mendengarkan dari seorang kyai, yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sekaligus mengulas buku-buku islam dalam Bahasa Arab.[5]
Istilah bandongan ini dalam Bahasa Jawa dikenal dengan nama (wetonan), yang berasal dari kata wektu yang berarti waktu, karena pembelajaran diberikan pada waktu tertentu, biasanya sebelum dan sesudah waktu shalat fardhu.[6]
c.       Model Ceramah
Model ceramah yaitu cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan penuturan lisan kepada para pendengarnya[7]. Model ceramah merupakan model yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW, yakni pada penafsiran al-Qur’an yang pertama kali dari Kitab Allah untuk menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan padanya, penafsiran Rasulullah SAW, itu dengan sunnah qauliyah (perkataan), meskipun ada kalanya dengan sunnah fi’liyah dan sunnah taqriyah.[8]
d.      Model Cerita
Pada saat al-Qur’an diturunkan lima belas Abad yang lalu, Rasulullah SAW, yang berfungsi sebagai mubayyih (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah SAW, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui, sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.[9]
Al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang di nukil secara mutawatir kepada kita, yang isinya memuat petunjuk bagi kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya berupa aqidah dan syari’at[10] yang terjaga kesahihannya. Banyak orang menyangka bahwa telah terjadi pengulangan-pengulangan dalam kisah al-Qur’an[11] sehingga disinilah model penceritaan oleh kyai sangat diperlukan agar supaya mendapatkan kepastian bahan, tidak ada satupun cerita yang diulang dalam bentuk yang sama baik dalam segi kepastiannya maupun dalam penyampaiannya.
e.       Model Menghafal
Menurut al-Qabisi, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata bahwa metode belajar yang efektif adalah menghafal belajar dengan cara menghafal yang melalui dengan memahami materi pelajaran. Metode menghafal yang dikemukakan al-Qabisi berdasarkan pada pemahaman sebuah Hadis Nabi SAW, dengan pemahaman sebuah Hadits Nabi SAW, tentang menghafal al-Qur’an yang diumpamakan oleh Nabi dengan perumpamaan al-Qur’an itu seperti unta yang diikat dengan tali jika pemiliknya mengokohkan kaitannya, maka itu akan terikat erat dan jika ia melepaskan ikatannya, maka ia akan pergi, jika orang memang menghafal al-Qur’an di waktu siang dan malam hari mengulang-ulang, maka ia akan tetap mengingatnya dan jika ia tidak pernah membacanya maka ia akan melupakan.[12]
Model menghafal ini, banyak terjadi dikalangan pesantren maupun pendidikan modern, karena metode menghafal dianggap metode yang sangat penting untuk mengetahui kecerdasan setiap anak didik.

B.     Pengertian Tafsir dan Urgensinya

Al-Qur’an adalah an-Nur yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai undang-undang yang adil dan syari’at yang kekal[13]. Oleh karenanya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sangatlah penting, Nabi Muhammad SAW adalah penafsir al-Qur’an dengan sunnah qauliyah (perkataan) dan sunnah fi’liyah (perbuatan)[14]. Sebagaimana Allah menegaskan dalam firmannya surat an-Nahl: 44.
بالبينات والزبرط وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس مانزل اليهم ولعلهم يتفكرون (النحل: 44)
Artinya: “Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab dan kami turunkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. an-Nahl: 44).[15]

1.       Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa berarti menjelaskan atau menerangkan. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Furqon: 33.
ولا يأتونك بمثل الا جئنك بالحق واحسن تفسيرا (الفرقان: 33)
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling penjelasannya”.(QS.al-Furqon: 33).[16]

Sedang tafsir menurut terminologi adalah seperti yang dinukil al-Hafizh as-Suyuty dari al-Imam az-Zarkasy ialah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabinya, menjelaskan makna-maknanya menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[17]
Adapun tafsir menurut al-Kilby sebagaimana dikutip oleh Muhammad as-Shiddieqy, adalah sebagai berikut:
التفسير: شرح القران وبيان معناه والانصاح بما يقتفيه بنصه اوا اشارته او تحواه.
Artinya: “Tafsir itu ialah mensyaratkan al-Qur’an menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nash-Nya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan nujuahnya”.[18]

Sementara itu Imam al-Zargani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.[19]
2.       Urgensi Pembelajaran Tafsir
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, sehingga bermuncullah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.[20]
Bahwa inti ajaran al-Qur’an adalah tauhid merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan[21], seperti halnya umat Islam terdahulu (ulama-ulama salaf) telah menelusuri jalan yang diterangkan al-Qur’an. Mereka mempelajari ayat-ayat al-Qur’an, lafad-perlafad dan kandungan-kandungan dengan begitu perwujudan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam kehidupan semakin mantap dan sesuai dengan tuntunan Ilahi.[22]

C.     Implikasi Pembelajaran Tafsir

Menurut pandangan Muhammad Arkoun, seorang pemikir al-Jazair kotemporer, menulis bahwa: “al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas, kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak”. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[23]
Dengan demikian pembelajaran tafsir sangatlah penting bagi kaum muslimin, karena dengan mengetahui tafsir maka ajaran-ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an dapat dijalankan sesuai dengan hukum-hukum yang dikumandangkan sehingga jelas bahwa unsur-unsur pokok dalam penafsiran adalah sebagai berikut:[24]
1.       Hakikat dari pembelajaran tafsir ialah menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur’an, karena sebagian besar memang diungkapkan dalam bentuk dasar-dasar yang sangat global (mujmal).
2.       Tujuannya adalah memperjelas maksud ayat-ayat al-Qur’an yang sulit dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an, sehingga apa yang dikehendaki Allah dalam firmannya dapat dipahami dengan mudah, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan.
3.       Sasarannya ialah al-Qur’an sebagai hidayah Allah untuk manusia benar-benar berfungsi, sebagaimana ia diturunkan yaitu untuk menjadi rahmad bagi manusia seluruhnya.
4.       Kemudian sarana pendukung bagi terlaksananya menafsirkan al-Qur’an itu meliputi pelbagai ilmu pengetahuan yang sangat luas.
5.       Fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya.
6.       Obyek pembahasan tafsir yaitu al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam.
7.       Kedudukan dan peran al-Qur’an yaitu pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya ummat, sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Jadi al-Qur’an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator pemadu gerakan-gerakan bagi umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat Islam di dunia.
Dengan demikian menafsirkan al-Qur’an ialah merasionalisasikan ayatnya yang belum jelas untuk dapat diterima secara wajar oleh pikiran (kognitif) dan upaya rasionalisasi itu bukan untuk mencapai pengertian secara absolut (mutlak) sesuai dengan keadaan manusia yang kemampuannya terbatas, tentunya tidak memiliki otoritas yang absolut.  






[1]H. Nashar, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran, Delia Press, Jakarta, 2004, hlm. 82.
[2]Syaifudin Zuhri, Dinamika Pesantren dan Madrasah dalam Kajian Refomulasi Kurikulum Pesantren, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2003, hal. 101.
[3]Ibid, hlm. 101.
[4]Ibid, hlm. 102.
[5]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metode Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 109.
[6]Abuddin Nata, Pemikir Para Tokoh Pendidikan Islam, (Kajian Filsafat Pendidikan Islam), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 176.
[7]Armai Arief, op. cit, hlm. 110.
[8]Said Agil Husain, al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesehatan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 64.
[9]Abuddin Nata,  Metodologi Studi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 164.
[10]Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat (Penuntun Mempelajari Filsafat), PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, hlm. 1.
[11]Sayid Quthub, Tafsir Fi Zhil Alil Qur’an (di bawah Naungan al-Qur’an), Gema Insani Perss, Jakarta, 2000, hlm. 93.
[12]Abuddin Nata, loc. cit, hlm. 36.
[13]Abdul Al-Hayy, Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 1. 
[14]Ibid, hlm. 2.
[15]Al-Qur’an, Surat an-Nahl, ayat 44, al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penerjemah Depag RI, tahun 1997, hlm. 273.
[16] Al-Qur’an, Surat Al-Furqon, Ayat 33, Ibid, hlm. 215.
[17]Yusuf al-Qardawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2000, hlm. 210.
[18]M. Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 170.
[19]Abuddin Nata, op. cit, hlm. 162.
[20]Abuddin Nata, op. cit, hlm. 165.
[21]Nur Cholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Sebuah Potret Perjalanan), Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 45.
[22]M. Bin Saleh, al-Ustsaimin, Dasar-dasar Penafsiran Al-Qur’an, Dina Utama, Semarang, 1989, hlm. 30.
[23]Abuddin Nata, op. cit, hlm. 165.
[24]Rif’at Syangi, Rasionalitas Tafsir Paramadina, Jakarta, 2002, hlm. 87. 

0 Response to "MODEL PEMBELAJARAN TAFSIR DAN IMPLIKASINYA"

Post a Comment