METODE PEMBELAJARAN PARTISIPATIF

METODE PEMBELAJARAN PARTISIPATIF

A.    Pembelajaran Partisipatif
1.      Pengertian Pembelajaran Partisipatif
Kata pembelajaran berasal dari kata “belajar” yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an. Muhibbin Syah mendefinisikan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil pengalaman dan berinteraksi dengan lingkungan yang mengakibatkan proses kognitif.[1]
Menurut Watson , belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik saat belajar.  Stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur.[2]
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang komplek. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Piaget berpendapat  bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan.[3]
Dari uraian tersebut belajar dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan yang positif mulai dari aspek kognitif, afektif, sampai psikomotorik.
Pengertian pembelajaran dari para ahli pendidikan memiliki tafsir yang beraneka ragam, berikut ini penulis paparkan pengertian pembelajaran dari beberapa ahli pendidikan.
a.      Merril : Pembelajaran merupakan suatu kegiatan dimana seseorang dengan sengaja diubah dan dikontrak dengan maksud supaya ia dapat bertingkahlaku atau bereaksi terhadap kondisi tertentu.[4]
b.      Gagne & Brig: mengemukakan bahwa pembelajaran bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan melainkan adanya kemampuan guru yang dimiliki tentang dasar-dasar mengajar yang baik.[5]
c.       Anita E. Woolfolk: Pembelajaran merupakan perubahan dalam diri seseorang yang merupakan hasil pengalaman, pembelajaran selalu menghasilkan suatu perubahan pada seseorang yang belajar.[6]
d.     M.A Arifin : mengartikan pembelajaran  sebagai sebuah proses dimana didalamnya terdapat suatu tahapan, perjalanan, berkembang, terarah dan terukur, yang berusaha menempatkan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan lainnya.[7]
Dari uraian di atas bisa dijelaskan bahwa pembelajaran ialah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar atau proses belajar pada diri siswa yang terjadi secara tidak langsung di mana siswa secara aktif berinteraksi edukatif antara satu dengan yang lainnya. Pembelajaran harus mampu memberikan pengalaman nyata bagi siswa sehingga posisi guru dalam  kegiatan pembelajaran tidak hanya sebagai informan melainkan sebagai pengaruh dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar.
Pendidikan partisipatif biasanya dimaknai dengan pendidikan yang dalam prosesnya melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, baik pemerintah, guru, murid, orang tua murid, masyarakat, dll. Semua terlibat aktif dalam proses pendidikan untuk mencapai satu titik yang sama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian, ia bukanlah tafsiran tunggal terhadap makna pendidikan partisipatif, ada makna lain sebagaimana menurut para tokoh pendidikan, diantaranya :
a)      H.D. Sudjana
Kegiatan pembelajaran partisipatif diartikan sebagai upaya pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran ini peran aktif peserta didik diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu perencanaan program (program planning), pelaksanaan program  (program implementation), dan penilaian (program evaluation).[8]
b)     Muis Sad Iman
Pembelajaran partisipatif  yaitu pembelajaran yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Keterlibatan peserta didik dalam pendidikan ini tidak sebatas sebagai pendengar, pencatat, dan penampung ide-ide pendidik tetapi lebih dari itu ia terlibat aktif dalam mengembangkan dirinya.[9]
Keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa, maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan efektif dan efisien.
2.      Prinsip Pelaksanaan Pembelajaran Partisipatif
Peran pendidikan dalam hal ini adalah menyiapkan manusia yang mampu berpikir secara mandiri, kritis , dan kreatif, karena ia merupakan  modal dasar bagi pembangunan manusia yang memiliki kualitas prima. Maka dari itu dalam pelaksanaan pembelajaran partisipatif pendidik menitikberatkan peranannya sebagai fasilitator bagi peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar, sedangkan peserta didik adalah pelaku utama untuk melakukan kegiatan belajar dan membelajarkan.
Peserta didik harus berpartisipasi aktif karena untuk mencapai perubahan yang positif dan konstruktif itu hanya dapat dilakukan secara efektif oleh peserta didik melalui kegiatan belajar bersama orang lain dengan berpikir dan berbuat sesuai dengan potensi-potensi yang dimilikinya.
Maka dari itu pelaksanaan pembelajaran partisipatif memiliki beberapa prinsip yaitu:[10]
a)      Berdasarkan Kebutuhan Belajar (Learning Needs Based)
Kebutuhan belajar adalah setiap keinginan atau kehendak yang dirasakan dan dinyatakan oleh seseorang, masyarakat, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan atau sikap tertentu melalui kegiatan pembelajaran.
Pentingnya kebutuhan belajar didasarkan atas asumsi bahwa peserta didik akan belajar secara efektif apabila semua komponen program pembelajaran dapat membantu peserta didik  untuk memenuhi kebutuhan  belajarnya. Upaya untuk memenuhi kebutuhan belajar inilah yang menjadi titik tolak bagi penyusunan dan pengembangan kegiatan pembelajaran partisipatif.
b)      Berorientasi pada Tujuan Kegiatan Pembelajaran (Learning Goals and Objectives Oriented)
Setiap proses kegiatan pembelajaran partisipatif diarahkan untuk mencapai tujuan belajar yang telah disusun oleh pendidik bersama peserta didik serta diformulasikan oleh penyelenggara program pembelajaran. Adapun tujuan belajar itu terdiri atas tujuan umum (goals) dan tujuan khusus (objectives).
c)      Berpusat pada Peserta Didik (Participant Centered)
Prinsip ini mengandung makna bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan itu didasarkan atas dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan peserta didik. Dalam menyusun proses kegiatan pembelajaran ini peserta didik memegang peranan utama sehingga mereka dapat merasakan bahwa kegiatan pembelajaran menjadi milik mereka sendiri. Pada intinya peserta didik diikutsertakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sehingga mereka memiliki lebih banyak peran dalam pembelajaran.
d)      Berangkat dari Pengalaman Belajar (Experiental Learning)
Proses kegiatan pembelajaran partisipatif dilakukan dari hal-hal yang telah dikuasai atau dari pengalaman yang telah dimiliki peserta didik. Pembelajaran partisipatif ini dengan menitikberatkan pada pendekatan pemecahan masalah (problem solving) karena pemecahan masalah merupakan pembelajaran yang lebih banyak menumbuhkan partisipasi para peserta didik.
3.      Landasan Teoritis Kegiatan Pembelajaran Partisipatif
Ditinjau dari segi teori belajar, kegiatan pembelajaran partisipatif dilandasi oleh berbagai teori diantaranya ialah teori Asosiasi, teori Behaviorisme, teori Gestalt, dan teori Medan.
Diantara teori yang akan dibahas ialah teori asosiasi dan teori medan.
a)      Teori Asosiasi (Association Theory)
Ilmu jiwa asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian/unsur-unsurnya. Dari aliran ini ada 2 teori yaitu konektionisme yang dikembangkan oleh Throndike dan conditioning oleh Pavlov. [11]Adapun teori yang akan diurai di sini ialah teori konektionisme. 
Menurut teori konektionisme yang dikembangkan oleh Throndike menguraikan bahwa kegiatan pembelajaran partisipatif akan efektif apabila interaksi antara pendidik dan peserta didik dilakukan melalui stimulus dan respon. Berdasarkan teori ini, makin giat peserta didik belajar dan makin tinggi kemampuannya dalam menghubungkan stimulus dan respon maka makin efektif pula kegiatan pembelajarannya.[12]
Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan, dan perilaku. Salah satu indikasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima guru.[13]
Dalam teori ini menggunakan prinsip-prinsip yaitu; pertama, prinsip kesiapan, prinsip ini menekankan perlunya motivasi yang tinggi pada peserta didik untuk menghubungkan stimulus dan respons. Prinsip kedua yaitu latihan, mengandung makna bahwa peserta didik sendirilah yang melakukan kegiatan belajar secara berulang-ulang dalam menghubungkan stimulus dan respons. Dan ketiga ialah prinsip pengaruh, prinsip ini berhubungan dengan hasil kegiatan dan manfaat yang dirasakan langsung oleh peserta didik dalam dunia kehidupannya.[14]
b)     Teory Medan (Field Theory)
Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin yang mengutamakan pentingnya pengalaman peserta didik, berorientasi pada pemecahan masalah serta motivasi memegang peranan penting. Prinsip Topological Psichology yang digunakan lewin menekankan pada pentingnya wilayah kehidupan peserta didik (life space). Wilayah kehidupan merupakan lingkungan fisik dan psikis yang berhubungan dengan peranan peserta didik.[15]
Berdasarkan teori ini peserta didik dipandang sebagai subyek yang memiliki kemampuan berpikir aktif dan kreatif dapat mengidentifikasikan, menganalisis dan mencari alternative pemecahan masalah (problem solving), serta mampu untuk melakukan kegiatan problem solving. Berangkat dari latar belakang pengalaman dalam wilayah kehidupan peserta didik maka mereka dapat didorong untuk menyadari pentingnya masalah dan merasakan perlunya usaha problem solving.[16]
Konsep pendidikan berdasarkan pengalaman inilah yang dapat dikembangkan sebagai basis pendidikan partisipatif. Peserta didik diberikan pendidikan sesuai dengan kadar pengalaman yang dimiliki, sehingga lebih memungkinkan untuk melibatkannya secara aktif dalam setiap proses pendidikan.[17]
4.      Ciri-ciri Proses Kegiatan Pembelajaran Partisipatif
Tugas pendidikan adalah  menyesuaikan diri si anak untuk hidup dan harus dijaga agar ia tidak menjadi frustasi karena sukarnya pelajaran. Untuk itu harus dimulai cara-cara mengajar yang integral dan menyenangkan bagi peserta didik.
Proses kegiatan pembelajaran pasrtisipatif ditandai dengan interaksi antara pendidik dan peserta didik dengan ciri-ciri sebagai berikut[18] :
a)      Pendidik memandang peserta didik sebagai sumber yang mempunyai nilai bermanfaat dalam  kegiatan pembelajaran.
b)     Pendidik sebagai teman belajar bagi peserta didik dan membantu setiap kesulitan dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
c)      Pendidik membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian  peserta didik supaya berpartisipasi dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
d)     Pendidik memposisikan diri sebagai peserta didik selama kegiatan pembelajaran.
e)      Pendidik memberikan pokok-pokok informasi dan mendorong peserta didik untuk mengemukakan dan mengembangkan pendapat serta gagasannya secara kreatif.
f)       Pendidik berperan untuk membantu peserta didik melibatkan diri secara aktif dan bertanggung jawab dalam kegiatan pembelajaran.
g)     Pendidik mengembangkan kegiatan pembelajaran berkelompok, memperhatikan minat perorangan, dan membantu peserta didik untuk mengoptimalkan respons terhadap stimulus yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran.
h)     Pendidik mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat berprestasi.
i)       Pendidik mendorong dan membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan problem solving yang diangkat dari kehidupan peserta didik sehingga mereka mampu berpikir kreatif dan bertindak di dalam dunia kehidupannya.
Pembelajaran akan lebih efektif dan efisien apabila selama proses pembelajaran mampu menambah wacana atau khazanah pengetahuan baru bagi peserta didik  dan menyenangkan, menggairahkan dan memotivasi siswa untuk selalu berprestasi.[19]
Proses pembelajaran akan lebih efektif jika didasarkan pada empat komponen dasar antara lain (a) pengetahuan, yaitu pembelajaran harus mampu dijadikan sebagai sarana untuk tumbuh kembang pengetahuan siswa. (b) ketrampilan, yaitu pembelajaran harus memberikan ketrampilan siswa baik ketrampilan kognitif, afektif, dan psikomotorik. (c) sifat alamiah, yaitu proses pembelajaran harus berjalan secara alamiah. (d) perasaan, yaitu perasaan yang bermakna emosi atau kepekaan.[20]
B.     Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq
1.      Pengertian Mata Pelajaran Aqidah Akhlaq
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena disamping perannya yang sangat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia. Juga karena didalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks.[21]
Pendidikan Islam pada hakekatnya adalah pendidikan yang berdasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan membantu perkembangan manusia menjadi lebih baik. Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah, bertauhid, pendidikan sebagai upaya seseorang untuk mengembangkan potensi tauhid agar dapat mewarnai kualitas kehidupan pribadi seseorang.[22]
Menurut Ahmad Tafsir Pendidikan Aqidah Akhlaq adalah usaha yang dilakukan untuk mengembangkan potensi anak didik yang dilakukan secara sistematis dan pragmatis, berdasarkan hukum Islam agar dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan serta sebagai pandangan hidupnya untuk menuju kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dengan menggunakan dasar-dasar hukum menuju terbentuknya kehidupan yang utama menurut ajaran agama Islam.[23]
Dengan kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman pendidikan Aqidah Akhlaq mempunyai peranan untuk menyiapkan peserta didik lebih mengenal, memahami, mengkhayati, mengimani, beraqidah, bertaqwa hingga berakhlaq mulia dalam melaksanakan ajaran agama dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Hadits.
Islam sebagai agama yang universal memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan yang bahagia, kebahagiaan manusia itulah yang menjadi sasaran hidup manusia yang pencapaiannya sangat bergantung pada masalah pendidikan. Selain itu pendidikan merupakan kunci untuk membuka pintu kearah modernisasi. Modernisasi hanya bisa dicapai melalui pemberdayaan pendidikan.[24]
Islam memberi pedoman hidup kepada umat manusia yang mencakup aspek-aspek ibadah, akhlak dan mu’amalah duniawiyah. Untuk memahami pemahaman menuju penerapan ajaran-ajarannya dan memecahkan masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan diperlukan pemikiran dan tindakan yang rasional.
Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan dengan cara ada yang dibimbing, diajari dan atau dilatih dalam meningkatkan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman ajaran-ajaran agama Islam dari peserta didik. Pembelajaran agama Islam untuk membentuk keshalehan pribadi dan keshalehan social yang diharapkan mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan manusia lainnya (bermasyarakat) baik yang seagama maupun yang tidak seagama dalam berbangsa dan bernegara sehingga terwujud persatuan dan kesatuan nasional (ukhuwwah wathaniyah) dan ukhuwwah islamiyah.
2.      Landasan Pembelajaran Aqidah Akhlaq
Pelaksanaan pendidikan agama Islam (Aqidah Akhlaq) di sekolah mempunyai dasar landasan yang kuat. Dasar tersebut ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
a)      Landasan Yuridis
Semangat keagamaan setelah bangsa Indonesia merdeka dari penjajah tercermin dalam batang tubuh UUD 45 dalam alinea ketiga dan keempat. Dan sila pertama dalm pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan konstitusional terdapat dalam UUD 45 Bab VI pasal 30. Sedangkan berdasarkan operasionalnya terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional tentang pendidikan keagamaan yang berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.[25]
b)     Landasan Religious
Al-Qur’an dan al-hadits adalah sumber dan dasar ajaran Islam yang orisinil, banyak ayat al-Qur’an dan Hadits secara langsung maupun tidak langsung yang berbicara tentang kewajiban umat Islam melaksanakan pendidikan khususnya pendidikan agama, antara lain:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya :  Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imron:104)[26]
Dengan Akhlaq yang mulia Rasulullah dijadikan sebagai suri tauladan bagi umatnya, sebagaimana firman Allah:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ
Artinya : Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(Q.S. Al Ahzab : 21)[27]
Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang perlunya mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar serta meneladani Rasulullah SAW.

c)      Landasan Psikologi
Sejarah perkembangan manusia dari zaman purbakala, primitive hingga sampai sekarang yang sering disebut era globalisasi dan era informasi akan didapati bahwa manusia dari generasi ke generasi selanjutnya mempunyai sesuatu yang dianggapnya berkuasa, bahkan mencari sesuatu yang dianggapnya paling berkuasa yaitu Tuhan. Bermacam-macam benda dianggap sebagai Tuhan Yang Maha Esa seperti, matahari, bulan, bintang, angin, patung, api, dll. Hingga akhirnya manusia menemukan kepercayaan bahwa Tuhan itu bukanlah benda yang dapat dilihat dan diraba oleh panca indra, melainkan hanya dapat di rasa dalam hati dan jiwa manusia serta dapat diterima oleh pikiran.[28]
3.      Ruang Lingkup Pembelajaran Aqidah Akhlaq
a.      Ruang lingkup Aqidah
Dalam pengertian teknis, Aqidah artinya adalah iman/keyakinan, karena ditautkan dengan rukun iman yang menjadi ruang lingkup Aqidah adalah sebagai berikut:[29]
1)      Iman kepada Allah SWT
2)      Iman kepada Malaikat
3)      Iman kepada Rasulullah
4)      Iman kepada Kitab-kitab Allah
5)      Iman kepada Qada dan Qadar
6)      Iman kepada Hari Akhir
Dari uraian singkat tersebut di atas, tampak logis dan sistematisnya pokok-pokok keyakinan Islam yang terangkum dalam istilah rukun iman itu, pokok-pokok keyakinan ini merupakan asas seluruh ajaran agama Islam.
b.     Ruang lingkup Akhlaq
Akhlaq merupakan kondisi jiwa yang telah tertanam kuat, yang darinya terlahir sikap amal secara mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[30]
Menurut  M. Abdullah Draz dalam bukunya “Dustur Al-akhlaq Fi’al Islam” membagi ruang lingkup akhlaq kepada 5 (lima) bagian, yaitu:
1)      Akhlaq pribadi, terdiri: yang diperintahkan, dilarang, dibolehkan dan akhlaq dalam keadaan darurat.
2)      Akhlaq berkeluarga, terdiri: kewajiban timbal balik orang tua dan anak, kewajiban suami istri dan kewajiban terhadap karib kerabat.
3)      Akhlaq bermasyarakat, terdiri: yang dilarang, diperintahkan dan kaidah-kaidah adab.
4)      Akhlaq bernegara, terdiri: hubungan antara pemimpin dan rakyat dan hubungan luar negeri.
5)      Akhlaq beragama, terdiri: kewajiban kepada Allah SWT.[31]
Jelaslah bahwa ruang lingkup Aqidah Akhlaq menyangkut hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan alam.
4.      Tujuan dan Fungsi Pembelajaran  Aqidah Akhlaq
a). Tujuan Pembelajaran Aqidah Akhlaq
Pembelajaran Aqidah Akhlaq di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan memupuk pengetahuan penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam keimanannya dan ketaqwaannya kepada Allah SWT, serta berakhlaq mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi.[32]
Pembelajaran Aqidah Akhlaq tidak hanya menekankan pada penguasaan kompetensi kognitif saja, tetapi juga afeksi dan psikomotorik.[33]
Dari tujuan tersebut dapat ditarik dari beberapa yang hendak ditingkatkan dan ditujui oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Aqidah Akhlaq, yaitu:
a.      Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
b.      Dimensi pengetahuan (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
c.       Dimensi pengkhayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam.
d.     Dimensi pengamalan, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami, dan dihayati atau diinternalisasi peserta didik mampu memotivasi dirinya untuk mengamalkan dan  menaati ajaran dan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan pribadi, serta mengaktualisasikan dan merealisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.[34]
b). Fungsi Pembelajaran Aqidah Akhlaq
Secara umum, menurut John Sealy sebagaimana yang dikutip oleh Chabib Thoha, Aqidah Akhlaq dapat diarahkan untuk mengemban salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi yaitu:[35]
1)      Konvensional
Pendidikan agama dimaksudkan untuk meningkatkan komitmen dan perilaku keberagamaan siswa. Fungsi ini didasarkan pada asumsi bahwa hanya ada kebenaran tunggal dalam beragama, yaitu yang diyakini oleh masing-masing individu.
2)      Neo Konvensional
Pendidikan agama dimaksudkan untuk meningkatkan keberagamaan siswa sesuai dengan keyakinannya. Pendidikan agama ini memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan ajaran agama lain hanya sekedar memahami keyakinan lain dalam rangka meningkatkan toleransi beragama.
3)      Konvensional tersembunyi
Pendidikan agama dimaksudkan harus mampu memberikan peluang kepada siswa untuk memilih ajaran agama yang sesuai dengan atau tepat untuk dirinya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain. Fungsi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi beragama yang harus dikembangkan dan diberikan kebebasan untuk memilih.
4)      Implisit
Fungsi ini dimaksudkan untuk mengenalkan kepada siswa ajaran agama Islam secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan melalui berbagai subyek pelajaran.
5)      Non Konvensional
Pendidikan agama dimaksudkan sebagai alat untuk memahami keyakinan atau pandangan hidup yang dianut oleh orang lain. Karena pendidikan agama disini hanya semata-mata untuk mengembangkan toleransi antar umat beragama.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa  pembelajaran Aqidah Akhlaq memiliki fungsi :pertama, untuk mengembangkan dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Kedua, untuk menyalurkan peserta didik  yang memiliki bakat di bidang agama supaya berkembang secara optimal. Ketiga, untuk memperbaiki kesalahan dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, untuk mencegah hal-hal negative dari lingkungan/budaya lain yang membahayakan dirinya. Kelima, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Keenam, untuk memberikan pedoman hidup peserta didik untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.      Materi Pelajaran Aqidah Akhlaq Kelas XI MA. Manabi’ul Falah
Setiap mata pelajaran tentunya sangat penting untuk disampaikan kepada peserta didik, termasuk juga pelajaran Aqidah Akhlaq karena ia memiliki relevansi yang kuat dalam menin gkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Itu tercermin dalam bab-bab / materi yang diajarkan. Dengan disampaikannya materi itu siswa dituntut untuk selalu berperan aktif dalam setiap pembelajaran, dan materinya disesuaikan dengan kebutuhan siswa.  Di mana dengan menggunakan potensi “akal” yang dimiliki, siswa dapat memahami dan meyakini agama Islam dengan argumentasi yang kuat.  Adapun materi-materi Aqidah Akhlaq kelas XI MA. Manabi’ul Falah Ngemplak Kidul sebagai berikut :
a)      Iman Pada Kitab-kitab Allah
Pada bab ini menyangkut tentang kitab al-Qur’an al-karim, tanggung jawab umat Islam terhadap al-Qur’an. Dan hikmah beriman pada kitab-kitab Allah. Dengan disampaikan materi ini diharapkan siswa mampu memahami dan meyakini kebenaran kitab-kitab Allah dengan argumentasi yang kuat serta memegang teguh aqidah Islam dan mempunyai komitmen kuat untuk menjalankan ajaran Islam.
b)     Sikap Terpuji
Bagian dari bab ini memuat tentang bijaksana, amanah, dan futuristic/orientasi masa depan. Dengan materi ini siswa diharapkan dapat bersikap bijaksana, amanah, dan futuristic/orientasi masa depan dalam kehidupan sehari-hari serta memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
c)      Akhlak Tercela
Bab ini mencakup tentang bahasan akhlak tercela seperti, memfitnah, mencuri, picik, hedonisme, khianat, ananiyah atau egois, dan materialistic. Diajarkannya materi ini diharapkan siswa mampu menghindari akhlak tercela tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
d)     Iman kepada rasul
Bab ini meliputi pengertian iman kepada rasul-rasul Allah, misi dan tujuan diutusnya Rasul, dan bantahan terhadap orang yang tidak percaya  adanya Rasul. Dengan adanya materi ini siswa diharapkan dapat memahami makna iman kepada rasul-rasul Allah SWT serta menjadikannya sebagai suri tauladan.
e)      Sikap terpuji
Dalam bab sikap terpuji ini meliputi solidaritas, tasamuh, ta’awun, zuhud, saling menghargai, dan tidak ingkar janji. Diharapkan siswa mampu membiasakan diri dengan sikap terpuji yang memperkokoh kehidupan masyarakat serta berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis.
f)       Iman pada hari akhir
Bab ini meliputi hakikat iman pada hari akhir, bantahan terhadap orang-rang yang tidak percaya hari akhir, hikmah beriman pada hari Akhir. [36]
g)     Penyimpangan Aqidah Islamiyah
Bab ini merupakan materi tambahan yang membahas tentang maraknya penyimpangan Aqidah Islam seperti aliran ahmadiyah, aliran lia aminuddin (kerajaan tuhan), aliran musoddiq, dll. Disampaikanya materi ini sangat penting dengan memberi pemahaman agar siswa tidak terjerumus oleh aqidah yang menyesatkan.
Disampaikannya Aqidah Akhlaq tidak hanya memuat dalil-dalil normatif saja tetapi juga dengan argumentasi yang rasional yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Dan pelajaran ini tidak hanya dihafalkan tetapi jauh lebih penting adalah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa mampu berakhlakul karimah.

C.    Kemampuan Berpikir Kreatif
1.      Pengertian Berpikir Kreatif
Sebelum menjabarkan pengertian demokratisasi berfikir terlebih dahulu akan diartikan kata perkata yaitu; kata berpikir dan kata kreatif.
Berpikir ialah daya jiwa kita yang dapat meletakkan hubungan-hubungan antara ketahuan kita.[37] Pendapat Sumadi Suryabrata dalam bukunya Ngalim Purwanto menyatakan bahwa berpikir adalah suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.[38]
Menurut teori asosiasi, berpikir ialah kelangsungan tanggapan-tanggapan yang disertai dengan sikap yang pasif  dari subyek yang berpikir. Sedangkan teori behaviorisme mengartikan berpikir sebagai suatu reaksi submanifes yang untuk sementara menggantikan reaksi yang menentukan.[39]
Adapun menurut Garret dalam bukunya Abdul Rahman Abror menyatakan bahwa berpikir sebagai tingkah laku yang sering implisit dan tersembunyi dan biasanya dengan menggunakan simbol-simbol (gambaran-gambaran, gagasan-gagasan, dan konsep-konsep).[40]
Charles S. Pierce mengemukakan teori pikiran dan hal berpikir, bahwa “Pikiran itu hanya berguna/berarti bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk berbuat.”[41]
Sedangkan tujuan berpikir menurut pandangan John Dewey adalah untuk memperoleh hasil pikir, yang dapat membawa hidup kita lebih maju dan lebih berguna.[42]
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa berpikir ialah suatu proses dialektis – selama kita berpikir, pikiran kita mengadakan tanya jawab dengan pikiran kita sendiri untuk dapat meletakkan hubungan-hubungan antara ketahuan kita itu, dengan tepat pertanyaan itulah yang memberi arah kepada pikiran kita.
Berpikir manusia sebenarnya merupakan proses yang dinamis. Dinamika berpikir ini dimungkinkan oleh pengalaman yang luas, perbendaharaan bahasa yang hanya dan didukung pula oleh pendidikannya yang baik dan ketajaman dalam berpikir. Dan akhirnya, puncak berpikir yang sebenarnya terletak pada tingkat abstrak/pada kemampuannya dalam memecahkan masalah.
Kreatif berasal dari bahasa Inggris “create” yang artinya mencipta dan dalam bahasa Arab خلق senada dengan pengertian kreatif tersebut. Sebagaimana firman Allah :
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ
Artinya :  Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(Q.S Attin :4)[43]
Kreatif  ialah kemampuan memproduksi berbagi gagasan, aktivitas, dan obyek baru, dan seringkali muncul dalam bentuk pemikiran bercabang.[44]
Utami Munandar menjelaskan bahwa kreatif merupakan kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, orisinalitas dalam berpikir, serta menimbulkan ide-ide baru yang inovatif. Kreatif juga dapat diartikan sebagai sebuah proses berpikir dimana siswa berusaha untuk menemukan hubungan-hubungan baru, mendapatkan, jawaban, metode/cara dalam memecahkan suatu masalah.[45]
Guru diharapkan mengarahkan para peserta didik untuk selalu berpikir kreatif dengan menyadari keberadaan kreativitas tersebut setiap kali ia muncul, karena dengan berpikir kreatif (creative thinking) orang mampu menciptakan sesuatu yang baru yang sebelumnya mungkin belum terdapat.[46]
Berpikir kreatif mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, melalui kreativitas yang dimilikinya, manusia memberikan bobot dan makna terhadap kehidupan. Secara mikro, kreativitas dimanifestasikan dalam kebudayaan dan peradaban.[47]
Pendapat Wallas dalam  bukunya Nana S. Sukmadinata mengungkapkan bahwa untuk menjadikan siswa berpikir kreatif, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a.      Persiapan (preparation)
Tahap ini merupakan tahap awal berupa pengenalan masalah, pengumpulan data informasi yang relevan, melihat hubungan antara hipotesis dengan kaidah-kaidah yang ada tapi belum sampai menemukan sesuatu, baru menjajaki kemungkinan-kemungkinan.
b.      Pengembangan (Incubation)
Tahap ini merupakan tahap menjelaskan, membatasi, dan membandingkan masalah dengan proses inkubasi/pematangan, ini diharapkan ada pemisahan, mana hal-hal yang benar-benar penting dan mana yang tidak, mana yang relevan dan mana yang tidak.
c.       Pemahaman (illumination)
Tahap ini merupakan tahap pencarian dan menemukan kunci pemecahan, menghimpun informasi dari luar untuk dianalisis dan disintesiskan kemudian merumuskan beberapa keputusan.
d.     Pengetesan (verification)
Tahapan yang akhir ini merupakan tahap mengetes dan memberikan hipotesis, apakah keputusan yang diambil tepat atau tidak. [48]
2.      Ciri-ciri Berpikir Kreatif
Menurut pandangan konstruktivistik, dalam proses pembelajaran siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna  tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Siswa diposisikan sebagai pribadi yang  telah  memiliki kemampuan  awal dan memiliki kebebasan untuk membangun ide atau gagasan.[49]
Berpikir kreatif sebagai suatu proses dapat dirumuskan sebagai suatu bentuk pemikiran di mana individu berusaha menemukan hubungan-hubungan yang baru, mendapatkan cara-cara baru dalam menghadapi suatu masalah.[50]
Berpikir kreatif setiap siswa tidaklah sama, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam diri siswa maupun dari luar diri siswa.  Siswa yang kreatif dalam pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua  macam yaitu aktif dan pasif. Adapun masing-masing cirinya dapat diuraikan seperti berikut ini:
a)      Ciri-ciri siswa yang aktif dalam berkreativitas.
Menurut Utami Munandar, siswa yang kreatifnya tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[51]
·         Mempunyai daya imajinasi yang kuat
·         Mempunyai inisiatif
·         Mempunyai minat yang luas
·         Bebas dalam berpikir
·         Bersifat ingin tahu
·         Selalu ingin mendapatkan pengalaman-pengalaman baru
·         Percaya pada diri sendiri
·         Berani mengambil resiko
·         Penuh semangat
·         Berani dalam berpendapat dan berkeyakinan (tidak ragu-ragu menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik dan berani mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).
Sedangkan menurut M. Surya berpendapat bahwa ciri-ciri siswa yang kreatif dalam belajar antara lain:[52]
·         Memiliki kemampuan yang tinggi dalam penalaran, berpikir abstrak, pengambilan keputusan dari fakta-fakta yang diperolehnya dalam belajar.
·         Memiliki rasa ingin tahu yang besar
·         Cepat dan mudah menerima pelajaran
·         Memiliki disiplin tinggi
·         Suka berlatih dan bekerja keras
·         Memiliki ruang lingkup perhatian yang lebih luas dan tekun dalam memecahkan masalah
·         Memiliki kemampuan kerja mandiri yang efektif
·         Memiliki pengamatan yang lebih tajam dan teliti
·         Dapat mengingat secara cepat
·         Memiliki daya imajinasi yang luar biasa
·         Memiliki macam-macam hobbi dan minat baca yang besar
Karakteristik pemikiran kreatif tersebut menurut Guilford berkaitan erat dengan 5 ciri yang menjadi sifat kemampuan berpikir, yaitu:
                                             i.            Kelancaran (fluency) yaitu kemampuan memproduksi banyak gagasan
                                           ii.            Keluwesan (flexibility) yaitu kemampuan untuk mengajukan berbagai pendekatan atau jalan pemecahan masalah.
                                        iii.            Keaslian (orisinility) yaitu kemampuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri.
                                         iv.            Penguraian (elaborasi) yaitu kemampuan memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan dan menguraikannya secara terperinci.
                                           v.            Perumusan kembali (redevinition) yaitu kemampuan untuk mengkaji suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah lazim sehingga dapat mengambil keputusan sesuai situasi yang dihadapinya.[53]
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri siswa yang memiliki kreativitas tinggi yaitu memiliki rasa ingin tahu yang besar, disiplin, tekun dalam memecahkan masalah, mandiri, memiliki daya imajinasi yang luar biasa, memiliki macam-macam hobby, tidak mudah menyerah/patah semangat dalm belajar, terbuka, pandai menggunakan waktu, selalu ingin berprestasi dan menonjol dalam berbagai kreativitas belajarnya.
b)     Ciri-ciri sisiwa yang pasif dalam berkreativitas.
Menurut Posman Simanjuntak (1999: 73) bahwa ciri-ciri siswa yang pasif dalam berkreativitas antara lain:
·         Kurang disiplin
·         Mudah pasrah dan patah semangat dalam belajar
·         Kurang suka bekerja keras dan menggantungkan hasil karya teman-temannya
·         Suka bermalas-malasan, acuh tak acuh, dan suka membuat gaduh dengan teman-temannya
·         Suka meremehkan hasil karya orang lain
·         Tidak percaya pada diri sendiri
·         Apabila diberi pelajaran kurang memperhatikan
·         Suka mengabaikan tanggungjawab
Sedangkan menurut M. Surya berpendapat bahwa ciri-ciri siswa yang pasif dalam belajar antara lain:[54]
·         Daya pikirnya lamban
·         Rasa ingin tahunya rendah
·         Daya ingatnya lemah
·         Kurang disiplin tinggi
·         Malas belajar dan berlatih
·         Respon dan perhatian dalam belajarnys kurang
·         Kemandiriannya kurang
·         Daya imajinasinya kurang
·         Daya kreativitasnya kurang
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar mengajar peserta didik yang kreatif akan berperan aktif seperti memperhatikan, tulis menulis, mengeluarkan pendapat,  mendengarkan, menggambar, melatih keterampilan, memecahkan masalah dan sebagainya.[55] Sedangkan siswa yang pasif tidak memberikan kontribusi yang lebih bagi dirinya sendiri ataupun orang lain dalam proses pembelajaran.
3.      Strategi Meningkatkan Berpikir Kreatif
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh peserta didik baik ranah kognisi, afeksi, maupun psikomotorik.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif  tidak dapat dilakukan dengan kegiatan belajar yang bersifat ekspositori (terpusat pada pendidik), melainkan dengan kegiatan belajar discovery/inquiri (terpusat pada peserta didik). Dengan demikian pendidik hendaknya menciptakan suasana belajar yang lebih banyak memberikan kesempatan peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan intelektual, berpikir kreatif, dan mampu memecahkan masalah secara ilmiah. Keadaan demikian inilah, menuntut pula sikap yang lebih demokratis, terbuka, bersahabat dan percaya terhadap siswa.[56]
Setiap orang yang pada dasarnya memiliki bakat kreatif dan kemampuan untuk mengungkapkan dirinya secara kreatif, meskipun dalam kadar/taraf yang berbeda-beda, karena kreativitas tersebut perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Sehubungan dengan pengembangan kreativitas peserta didik perlu meninjau empat aspek dari kreativitas, yaitu:
1)      Pribadi
Kreativitas adalah ungkapan (ekspresi) dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungan sekitar. Ungkapan kreatif adalah yang mencerminkan orisinalitas (keaslian) dari individu tersebut. Dari ungkapan pribadi yang unik inilah dapat diharapkan timbulnya ide-ide baru dan produk-produk yang inovatif. Maka dari itu guru hendaknya membantu siswa menemukan bakat-bakatnya dan menghargainya.
2)      Pendorong
Bakat kreativitas siswa akan terwujud jika ada dorongan dari lingkungan baik keluarga, sekolah, masyarakat dan juga adanya dorongan kuat dari dalam dirinya sendiri.
3)      Proses
Pendidik memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif yaitu dengan proses.
4)      Produk
Peserta didik yang memiliki bakat dan ciri-ciri pribadi yang kreatif dan dengan dorongan (internal/eksternal) untuk bersibuk diri secara kreatif, maka produk-produk kreatif akan timbul/muncul.[57]
Pengembangan berpikir kreatif sangat penting bagi pengembangan potensi anak (siswa) dengan tujuan untuk menggali kemampuan terdalam dari bakatnya. Menurut Utami Munandar, kreativitas dapat dipupuk dan dikembangkan dalam diri anak (siswa) dengan alasan:
a.      Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
b.      Kreativitas atau berpikir kreatif, sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan, penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini kurang perhatian dalam pendidikan formal.
c.       Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat tetapi juga memberikan keputusan kepada individu.
d.     Kreativitas yang memungkinkan manusia meningkatkan kreativitas hidupnya.[58]
Dalam berpikir rasional, peserta didik dituntut menggunakan logika (akal sehat) untuk menentukan sebab akibat, menganalisis, menarik kesimpulan dan bahkan menciptakan kaidah teoritis.  Dalam hal berpikir kreatif siswa harus mampu menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan.[59]
Dengan kemampuan kreativitas yang terbina, maka anak (siswa) akan terpacu dan lebih termotivasi. Untuk melakukan kegiatan yang merangsang sikap keingintahuannya. Agar kreativitas anak dapat berkembang sesuai dengan tingkat berpikir dan kejiwaannya, maka perlu diupayakan suatu pengembangan kreativitasnya. Untuk itu menurut Conny Semiawan dalam mengembangkan kreativitas harus meliputi 3 aspek yaitu segi kognitif, afektif, dan psikomotor dengan perincian:
a)        Pengembangan kognitif dengan merangsang kelancaran, kelenturan dan keaslian belajar.
b)        Pengembangan afektif dengan memupuk sikap dan minat untuk bersibuk diri secara kreatif.
c)         Pengembangan psikomotor dengan menyediakan sarana da prasarana pendidikan yang memungkinkan anak mengembangkan ketrampilan dalam membuat karya yang produktif-inovatif.[60]
Sedangkan E. Mulyasa menyatakan bahwa peserta didik akan lebih kreatif selama proses pembelajaran jika :
a)      Dikembangkannya rasa percaya diri pada peserta didik dan tidak ada perasaan takut.
b)     Diberi kesempatan untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas dan terarah.
c)      Dilibatkan dalam menentukan tujuan dan evaluasi belajar.
d)     Diberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat/otoriter.
e)      Dilibatkan secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.[61]
Hal tersebut di atas nampaknya cukup sulit dilakukan, guru hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif yang mengarah pada situasi kelas karena kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh aktivitas dan kreatifitas guru disamping kompetensi profesionalnya.



[1]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 92.

[2]M. Saekhan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, Rasail Media Group, Semarang, 2008, hlm. 52.

[3]Dimyati, Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta. Jakarta. 1999. hlm.13.

[4]Abdul Ghofur, Desain Instruksional, Tiga Serangkai, Surakarta, 1978, hlm. 22.

[5]Suryobroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta 1997, hlm. 18.

[6]Anita E. Woolfolk&Lorraine McCune Nicolich, Mengembangkan Kepribadian&Kecerdasan Anak (Psikologi Pembelajatan I), PT. Inisiani Press, Depok, 2004, hlm. 206-207.

[7]M.A. Arifin, Filsafat, Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hlm. 118-119.

[8] H.D. Sudjana, Strategi Pembelajaran, PT. Falah Production, Bandung, 2000, hlm 155.

[9] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, hlm.3.

[10]H.D. Sudjana, Op.cit., hlm. 172.
[11] Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 33.

[12]H.D. Sudjana, op.cit., hlm. 177.

[13]M. Saekhan Muchith, op.cit., hlm. 51.

[14]H.D. Sudjana, loc.cit.

[15] Ibid, hlm. 178.

[16]Ibid, hlm. 179.

[17] Muis Sad Iman, op.cit., hlm. 126.

[18]Ibid, hlm. 180-181.
[19] M. Saekhan Muchith, op.cit, hlm. 7 – 8.

[20] Ibid, hlm. 73.

[21]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.285.

[22]Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm.26.

[23] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm. 32.

[24]Abdurrahman Mas’ud, Et. All, (Fak.Tarbiyah IAIN Semarang) Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2001, hlm.56.

[25] UU Sistem Pendidikan Nasional NO : 20 Tahun 2003 Bab VI Bagian ke-9 Pasal 30.

[26] Al Qur’an, Surat Ali Imron  ayat 104, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnnya, Toha Putera, Semarang, 1989.

[27] Al Qur’an, Surat Al Ahzab ayat 21, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnnya, Toha Putera, Semarang, 1989.

[28]Zakiah Darajat, Pendidikan Dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hlm. 12.

[29]Mubasyaroh, M. Ag, Buku Daros Materi dan Pembelajaran Aqidah Akhlaq, Departemen Agama Pusat Pengembangan Sumber Belajar STAIN Kudus, 2008, hlm. 3-4.
[30]  Wahid Ahmadi, Risalah Akhlak Panduan Perilaku Muslim Modern, Era Intermedia, Solo, 2004, hlm. 13.

[31]Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, LPPI UMY, Yogyakarta, 2004, hlm. 5-6.
[32] Departemen Agama, Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum Tingkat Menengah Dan Sekolah Luar Biasa, 2003, hlm. 4.

[33] Ibid, hlm. 3
[34]Muhaimin,dkk, Paradigma Pendidikan Islam;upaya mengaktifkan PAI di sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 78.

[35]Chabib Thoha,dkk, Metodologi Pengajaran Agama, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 1999, hlm. 8-10.
[36] Departemen Agama, Buku Aqidah Akhlak untuk Madrasah Aliyah Kelas XI, C.V. Goni & Son, Semarang.

[37]Drs. Agus Sujanto, Psikologi Umum, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 56.

[38]Drs. M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996, hlm. 43.

[39]Abdul Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, hlm. 125.

[40]Ibid, hlm. 125.

[41]Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 22-23.

[42]Muis Sad Iman, op.cit., hlm 65.

[43] Al Qur’an, Surat Attin ayat 4, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnnya, Toha Putera, Semarang, 1989.

[44]Kelvin Seifert, Manajemen Pembelajaran&Instruksi Pendidikan, PT. IRCisoD, Yogyakarta, 2007, hlm. 165.

[45]Utami Munandar, Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 45-46.

[46]Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, PT. ANDI, Yogyakarta, 2002, hlm. 144.

[47]Dedi Supriyadi, Kreativitas Kebudayaan dan Pengembangan Iptek, Alfabeta, Bandung, 1998, hlm. 62.
[48]Nana Saudih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Remaja Rosadakarya, Bandung, 2003, hlm. 105.

[49]M. Saekhan Muchit, op.cit., hlm. 74.

[50] Monty P. Satiadarma&Fidelys E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2003, hlm. 108.
[51]Utami Munandar, op.cit., hlm. 37.

[52]Muhammad Surya, Kapita Selekta Pendidikan Dasar, Universitas Terbuka, Jakarta, 2003.
[53]Monty P. Satiadarma&Fidelys E. Waruwu, op.cit.,, hlm. 109.
[54]Muhammad Surya, loc.cit.

[55]Nasution. S., Dedaktik Asas-asas Mengajar, Bumi Aksara, Bandung, 2000, hlm. 91.

[56]Dimyati & Mudjiono, Belajar & Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 173.

[57]Utami Munandar, op.cit., hlm. 45-46.

[58]Ibid., hlm. 31.

[59] Muhibbin Syah, op.cit.,  hlm. 120

[60]Conny Semiawan, dkk, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm.10.

[61]E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.

0 Response to "METODE PEMBELAJARAN PARTISIPATIF"

Post a Comment