KETENTUAN UMUM
JUAL BELI DALAM ISLAM
Allah SWT
telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan antara yang satu
dengan yang lain, supaya mereka saling tolong-menolong antara yang satu dengan
yang lainnya dalam segala urusan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu
cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah dengan jual beli. Dalam
proses jual beli itu sendiri berkaitan dengan banyak orang, untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman yang bisa menimbulkan ketidak harmonisan dan keresahan
dalam jual beli maka Islam memberikan aturan-aturan yang tepat dalam
permasalahan jual beli.
Tidak sedikit
kaum muslim yang mengabaikan mempelajari mu’amalat, sehingga tidak
sedikit juga dari mereka yang tidak sadar kalau telah memakan barang haram.
Sikap semacam ini merupakan kesalahan besar yang harus diupayakan
pencegahannya, agar semua orang yang terjun ke dunia usaha dapat membedakan
mana yang boleh dan baik serta menjauhkan diri dari segala yang syubhat
sedapat mungkin. Dan untuk lebih jelasnya maka penulis akan memaparkan hal-hal
yang berkaitan dengan jual beli sebagai berikut :
A.
Pengertian Jual Beli
Dalam literatur fiqh Islam pengertian suatu masalah sering diartikan
menurut dua segi, yaitu pengertian menurut bahasa dan pengertian menurut istilah,
demikian juga dengan jual beli ini. Dalam Islam jual beli dikenal dengan
al-Bai’ (البيع)
Sedangkan pengertian jual beli
menurut bahasa adalah sebagai berikut,sebagaimana yang dikemukakan oleh :
a.
Imam Taqiyuddin dalam kitab
kifayah al-akhyar
Artinya : “Memberikan
sesuatu untuk ditukarkan dengan sesuatu yang lain”.
b.
Zainuddin bin ‘Abdul azis dalam
kitab fath al-mu’in
Artinya : “Menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”.
c.
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqh
as-sunnah
Artinya : “Jual
beli menurut bahasa adalah pertukaran barang secara mutlak”.
Sedangkan jual beli menurut istilah adalah sebagai berikut sebagaimana di
kemukakan oleh :
a.
Muhammad Syarbini al-Khatib dalam
kitab iqna’
Artinya : “Jual
beli adalah tukar menukar harta dengan harta dengan jalan yang khusus”.
b.
Abdul Mu’thi Muhammad bin Umar
dalam kitab nihayah al-Zain
Artinya : “Sesuatu
akad yang menjadi perpindahannya hak milik atas barang yang dijual pada
pembeli, dan bagi penjual mendapat imbalan harga”.
Sedangkan jual beli secara syari’at atau umum adalah sebagai berikut :
Artinya : “Arti
jual beli menurut syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta atau
tukar menukar sesuatu dengan manfaat yang diperbolehkan dengan manfaat lain
yang diperbolehkan dalam waktu selamanya kecuali riba dan hutang”.
Dari beberapa definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli
menurut bahasa adalah : tukar-menukar barang dengan uang, sedangkan menurut
istilah, jual beli adalah tindakan hukum yang dilakukan antara penjual dan
pembeli dimana penjual memberikan barang dagangannya kepada pembeli, dan
pembelinya membayar barang dagangan tersebut dengan sejumlah uang sebagai
imbalan atau ganti dari barang yang dibelinya, hal ini dilakukan secara suka
sama suka.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 29 yang
berbunyi :
... الاّ ان تكون تجارة عن تراض منكم (النساء
: 29)
Artinya : “….
Kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa : 29) [7]
B.
Dasar Hukum Jual Beli
1.
Landasan hukum jual beli yang
diambil dari Al-Qur’an :
a.
Surat Al Baqarah ayat 275 :
واحلّ الله
البيع وحرّم الرّبو (البقرة : 275)
Artinya :
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah : 275)[8]
b.
Surat An Nisa’ ayat 29 :
ياايّهاالذين امنوا لا تأكلوا اموالكم
بينكم بالباطل الا ان تكون تجارة عن تراض منكم (النساء : 29)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS.
An-Nisa’ :29)[9]
2.
Landasan hukum jual beli yang
diambil dari hadis :
a.
Hadis riwayat Muslim
Artinya :
“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya
Rasulullah SAW, bersabda : penjual dan pembeli harus dengan khiyar”. (HR.Muslim)
b.
Hadis riwayat Muslim
عن
أبى هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الملامسة
والمنابذة (رواه مسلم) [11]
Artinya :
“Abu
Hurairah R.a, Berkata : Rasulullah SAW. Telah melarang jual beli hanya dengan
menyentuh atau melempar”. (HR.Muslim)
3.
Landasan ijma’ ummah
tentang jual beli
Ummah sepakat bahwa jual beli dan penekunannya sudah berlaku sejak
jaman Rasulullah SAW. Dan perbuatan itu telah diperbolehkan oleh Rasulullah
SAW.[12]
C.
Syarat dan Rukun Jual Beli
Segala kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat diperlukan adanya suatu
aturan yang jelas, agar dalam prakteknya tidak menemui kendala dan sebagai
prefentif adanya kecurangan di antara pihak.Demikian juga dalam masalah jual
beli diperlukan aturan yang jelas juga, adapun jual beli itu diperlukan aturan
adanya syarat dan rukun, selain itu diperlukan batasan-batasan yang jelas pula
dalam larangannya yang harus mereka hindari.
Adapun rukun jual beli adalah sebagai berikut :
1.
Adanya ‘aqid, yaitu penjual dan
pembeli.
2.
Adanya ma’qud ‘alaihi, yaitu barang
yang dijual.
Sedangkan syarat-syarat dari jual beli adalah sebagai berikut :
1.
Aqid
Aqid adalah pihak yang melakukan perikatan jual beli,yaitu penjual dan
pembeli. Dalam hal ini para pihak telah sepakat dalam segala sesuatu yang ada
dalam jual beli itu sehingga terhindar dari permasalahan yang tidak diinginkan
kedua belah pihak, semisal penipuan dalam hal ini orang yang melakukan aqad itu
harus orang yang memiliki secara sempurna. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Rusdy dalam
kitabnya yaitu “Bidayah al-Mujtahid.[14]
Bagi Aqid
harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
a.
Baligh
Baligh berasal jama’nya bulug yang berarti orang yang sudah dewasa.[15]
Dengan demikian orang yang akan mengadakan transaksi dalam jual beli suatu
barang disyaratkan sudah dewasa, dalam artian orang tersebut mengetahui apa
yang harus dikerjakannya. Terpenuhinya hal ini dalam transaksi jual beli
sangatlah penting, karena dengan adanya kefahaman tersebut bila salah satu pihak
di antara mereka akan melakukan tindakan yang tidak sesuai terhadap apa yang
telah mereka sepakati maka akan dapat mereka atasi, karena mereka saling
mengetahui kesalahannya.
b.
Aqil.
Tidak sah dari jual beli orang gila.[16]
Syarat berakal bagi aqid memang logis, karena hanya orang yang berakal
sekaligus dia sadar dengan apa yang diperbuat, dialah yang sanggup melakukan
transaksi jual beli secara sempurna. Karenanya anak kecil yang belum mumayis
dan orang gila, tidak dibenarkan melakukan transaksi jual beli tanpa adanya
kontrol dari walinya, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penipuan.
c.
Muhtar
Muhtar yaitu dengan kehendaknya sendiri, dia bebas melakukan transaksi
jual beli, lepas dari adanya unsur paksaan dan tekanan, hal ini berdasarkan
ayat dalam Al-Qur’an :
لا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل الا
ان تكونَ تجارةً عن تراض منكم (النساء : 29)
Artinya :
“Janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS.
An-Nisa’ : 29)[17]
2.
Ma’qud ‘Alaihi
Ma’qud ‘Alaihi yaitu barang dagangan yang menjadi objek transaksi jual
beli, dalam hal ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Suci
Dengan demikian barang yang najis tidak syah dijual.[18]
Disamping itu barang yang najis tidak boleh dijadikan uang atau diperjual
belikan (sebagai barang dagangan), seperti kulit bangkai yang di samak,
sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw :
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه انّه
سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
عام الفتح وهو بمكّة انّ الله ورسوله حرّم بيع الخمر والميتة والخنزير والاصنام
فقيل يا رسول الله ارايت شحوم الميتة فانه يطلى بها السفن ويد ويدهن بها الجلو
ويستصبح بها الناس؟ فقال لا هو حرام ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم عند ذلك قاتل الله اليهود ان الله عزّ وجلّ لما
حرم عليهم شحومها أجملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه (متفق عليه) [19]
Artinya :
“Dari
Jabir ‘Abdullah ra, bahwasannya ia mendengarkan Rasulullah saw. Bersabda pada
tahun kemenangan di Makkah. Sesungguhnya Allah dan rasulnya mengharamkan arak,
bangkai babi dan berhala, lalu ada orang yang bertanya : ya rasulallah
bagaimana lemak bangkai karena digunakan untuk mengecat perahu-perahu,
meminyaki kulit-kulit orang, dan digunakan untuk penerangan lampu? Beliau
menjawab : tidak boleh , itu haram. Lantas diwaktu itu Rasulullah bersabda :
“Allah melaknat orang yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemaknya
bagi mereka, maka cairan lemak itu dijualnya dan kemudian memakannya. (HR.
Muslim)
b. Ada manfaatnya
Hal ini berarti tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya,
mengambil tukarannya haram pula, karena termasuk menia-nyiakan harta. Firman
Allah menjelaskan :
انّ المبذّرين كانوا اخوان الشيطين
(الاسراء : 27)
Artinya : “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan.”. (QS. Al-Isra’ : 27)[20]
c. Keadaan barang itu dapat diserahterimakan atau dapat diserahkan
pada pembeli.
Dari pengertian di atas, maka tidak sah menjual barang yang tidak dapat
diserahkan kepada pembeli misalnya, ikan yang masih di laut, barang yang sedang
ditangguhkan (borg), sebab permasalahan tersebut mengandung tipu daya, dalam
hal tipu daya ini Rasulullah saw. Pernah bersabda :
Artinya : “Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah
saw. Melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli yang mengandung
tipu daya”.(HR.Muslim)
d. Barang dagangan mutlak milik penjual
Artinya barang dagangan tersebut milik penjual itu sendiri atau orang
yang diwakilkannya atau orang itu menguasakan kepadanya, sebagaimana sabda
Rasulullah saw :
عن حكيم بن حزام قال قلت يا رسول الله
يأتيني الرّجل فيساءلني عن البيع ليس عندى ماأبيعه منه ثم ابتاعه من السّوق فقال
لا تبع ما ليس عندك (رواه الخمسة) [22]
Artinya : “Dari Hakim bin hizam, ia berkata : Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah saw, Ya Rasulullah bagaimana tentang
seseorang yang datang kepadaku, lalu meminta kepadaku supaya aku menjual
sesuatu yang aku tidak memilikinya untuk aku jual? Beliau menjawab : janganlah
kamu menjual apa-apa yang kamu tidak miliki. (HR.Imam Lima)
e. Jelas zatnya (barangnya)
Artinya barang yang diperjual belikan diketahui oleh penjual dan pembeli
dengan terang meengenai dzatnya, bentuk, ukuran dan sifat–sifatnya sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman di antara keduanya. Prinsip seperti ini memang
sudah sejak jaman dulu dilaksanakan karena prinsip ini sangat bak dan oleh
syari’at dijadikan sebagai keharusan dalam jual beli.
Prinsip ini selain benar menurut syara’ dan urf’ juga logis
menurut ra’yu. Hal ini disebabkan karena, barang dan pembayaran yang
samar dilakukan akan menimbulkan akibat yang rumit, hal semacam ini jelas tidak
dikehendaki oleh syara’. Kejelasan disini meliputi : jenis, ukuran, timbangan, kualitas barang dan harga. Keharusan
disini pada dasarnya sudah menjadi suatu kebiasaan. Mengenai suatu barang yang
tidak bisa dihadirkan dalam majelis jual
beli, maka diharuskan dalam jual beli tersebut menerangkan mengenai sesuatu
yang menyangkut barang tersebut sehingga pembeli menjadi jelas.
Bila dalam transksi barangnya cocok dengan apa yang diterangkan oleh
penjual maka transaksi jual beli dapat dilaksanakan . Tetapi bila dalam
transaksi barangnya tidak sesuai dengan keterangan si penjual, maka pembeli
mempunyai hak khiyar yaitu bisa meneruskan atau membatalkan jual beli tersebut.
Sedangkan bila terjadi jual beli barang yang sukar dilihat secara langsung,
seperti makanan atau minuman yang ada dalam kaleng maka penjual bisa memberikan
sampel dari barang yang dijualnya kepada pembeli. Pada prinsipnya,
transaksi-transaksi pada masalah yang sukar dan sulit untuk dilihat secara
langsung, jual beli itu diperbolehkan dengan catatan adanya khiyar bagi pembeli.
Apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka transaksi jual beli
dapat dilangsungkan, dan apabila tidak ada kesepakatan maka jual beli
dibatalkan.
Hak khiyar di dalam jual beli ada tiga macam yaitu :
a.
Khiyar majelis
Yaitu khiyar dimana penjual dan pembeli diperbolehkan meneruskan atau
membatalkan transaksi jual beli selama mereka masih dalam satu majelis aqad.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW :
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم البيّعان بالخيار مالم يتفرّقا او قال حتّى يتفرّقا فإن
صدقا وبيّنا بورك لهما فى بيعهما وإن كمّما وكذبا محقت بركة بيعهما (رواه البخارى)
[23]
Artinya : “Dari
Hakim bin Hasan berkata, berkata Rasulullah saw : Dua orang yang melakukan jual
beli boleh melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum
berpisah, jika keduanya benar-benar dan jelas. Jika ia menyembunykan dan dusta
tuhan akan memusnahkan keberkahan jual beli mereka.” (HR. Bukhari)
b.
Khiyar syarat,
Apabila salah satu pihak ingin membeli barang dengan syarat bahwa boleh
berkhiyar dalam waktu tertentu sekalipun lebih, khiyar syarat dapat dilakukan
dalam segala macam jual beli seperti barang-barang yang riba. Masa khiyar
syarat paling lama adalah tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu aqad.[24]
c.
Khiyar ‘aibi
Pembeli dapat mengembalikan barang yang telah dibelinya apabila barang
yang dibelinya terdapat cacat.
3.
Sighat Aqad
Menurut bahasa aqad berarti simpulan, perikatan, perjanjian, permufakatan
(ittifaq). Sedangkan menurut fuqoha’ pengertian aqad yaitu :
ار تباط ايجاب بقبول على وجه مشروع
يظهر اثره فى محله
Artinya :
“Perikatan adalah ijab dan qabul menurut bentuk yang disyari’atkan agama.
Nampak bekasnya pada yang diaqadkan itu”.
Shigat jual beli sudah dapat dikatakan syah apabila sudah memenuhi
beberapa persyaratan.
Adapun shighat yang disyaratkan adalah sebagai berikut :
Dari syarat tersebut dapat diketahui bahwa jual beli itu harus dikerjakan
secara langsung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Yakni penjual dan pembeli
dalam suatu majlis dimana mereka berada dan belum berpisah diantara mereka.
Namun bila pihak-pihak itu bisa
atau pada tempat yang berjauhan, maka aqad itu bisa dilakukan dengan cara
tertulis, hal ini dikarenakan adanya pemisah, yaitu tempat yang berbeda atau
sibisu yang tidak dapat berbicara, yang penting ada aqad atau serah terima di
antara mereka. Jika penjual berkata : ku jual barang ini dengan harga lima
ratus rupiah, maka ijab qabul tidak sah karena ijab dan qabul berbeda.
b.
Tidak berwaktu
Maksudnya jual beli tidak dibatasi dengan waktu, sebab bila jual beli
yang dibatasi dengan waktu seperti jual beli sehari, sebulan maka jual beli
tidak sah.[26]
Dari uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jual beli
itu tidak sah apabila tidak disertai dengan adanya ijab dan qabul di antara
kedua belah pihak.
D.
Macam-Macam Bentuk Jual
Beli
Pada dasarnya hukum jual beli itu adalah diperbolehkan, hal ini dapat
kita lihat dalam ayat :
واحلّ الله
البيع وحرّم الرّبوا (البقرة : 275)
Artinya : “Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS.Al-Baqarah :
175)[27]
Ayat diatas
menerangkan bahwa jual beli itu diperbolehkan selagi kita masih dalam batas
permasalahan yang diperbolehkan syara’. Akan tetapi bila kita melakukan jual
beli itu di luar aturan yang ditentukan syara’ maka jual beli tidak
diperbolehkan. Disini macam-macam jual beli akan penulis bagi menjadi dua,
yaitu :
1.
Jual beli yang dilarang
Jual beli ini biasanya menyalahi aturan dalam perdagangan yang ditentukan
oleh syari’at, seperti menyakiti dan menipu penjual dan pembeli, demikian pula
sifat monopoli dalam perdagangan yang seakan dalam pasar hanya sekelompok saja
yang bisa membuat harga. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik :
عن مالك ان المقصود بذلك أهل الاسواق
لئلا ينفرد المتلقي برخص السلعة دون اهل الأسواق ورأى انه لا يجوز ان يشتري احد
سلعة حتى تدخل السوق هذا إذا كان التلقي قريبا [28]
Artinya : “Menurut
Imam Malik yang dimaksud larangan tersebut adalah orang pasar, agar si
penghadang tidak memonopoli dengan harga murah terhadap barang dagangan,
sedangkan orang-orang pasaran tidak, ia berpendapat bahwa seorang tidak boleh
membeli barang dagangan sehingga barang dagangan itu masuk pasar”.
Praktek jual beli dengan cara menghadang ditengah jalan sebelum sampainya
orang yang mempunyai barang dagangan itu sampai di pasar, dan masih banyak lagi
perdagangan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Untuk lebih jelasnya
penulis akan menguraikan beberapa jual beli yang dilarang oleh syari’at Islam :
a. Membeli barang curian
Orang Islam tidak diperbolehkan membeli barang curian dan dia atau
tentang hal itu. Dengan demikian, dengan membeli barang curian itu berarti
turut bekerja sama dalam berbuat dosa.
Sebagaiman
Al-Baihaqi meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
Artinya : “Siapa
yang membeli barang curian sedangkan dia tahu bahwa barang itu barang curian,
maka ia turut serta dalam mendapatkan dosa dan kejelekannya”.
b.
Jual beli mengicuh
Maksudnya dalam jual beli itu terdapat kicuhan (tipuan) baik dari pihak
pembeli atau pihak penjual, baik dalam keadaan barangnya maupun ukurannya yang
tidak sesuai, hal ini telah digariskan oleh Rasulullah saw :
عن ابى
هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم مرّ على صبرة من طعام فأدخل
يده فيها فنالت أصابعه بللا. فقال ما هذا يا صاحب الطّعام؟ قال اصابته السّما
يارسول الله قال افلا جعلته فوق الطّعام كى يراه الناس؟ من غشّ فليس منّا (رواه
مسلم) [30]
Artinya : “Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah pernah melalui suatu onggokan yang akan dijual,
lantas beliau memasukkan tangannya ke onggokan tersebut, tiba-tiba jari beliau
meraba yang basah didalamnya seraya berkata, apa ini? Jawab yang
punya makanan, basah karena hujan ya Rasulullah. Beliau berkata lagi dengan
ancaman terhadap yang punya makanan, kata beliau : Barang siapa yang mengicuh
maka ia bukan umatku”. (HR.Muslim)
c.
Menghadang orang-orang dari desa
ke kota dan membeli barang dagangan itu sebelum sampai di pasar.
Jual beli semacam ini juga dilarang karena dikhawatirkan pedagang dari
desa tersebut tidak mengetahui perkembangan harga di pasar. Sehingga
dimungkinkan bisa menimbulkan penipuan, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw :
عن طاوس عن
ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تلقّوا الرّكبان
ولايبع حاضر لباد (متفق عليه) [31]
Artinya :
“dari Thowus Ibnu Abas berkata, Rasulullah bersabda : Janganlah kalian
menghambat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di
pasar”.(HR.Muslim)
d.
Membeli barang untuk disimpan
dengan maksud dapat dijual dengan harga yang lebih mahal di lain waktu.
Padahal masyarakat sangat membutuhkan barang tersebut, jual beli yang
demikian itu dilarang oleh agama, karena ada madharatnya yaitu merusak
ketentraman umum, dalam hal ini rasulullah saw bersabda ;
عن معمر ابن
عبد الله رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لايحتكرإلاّ خاطى
(رواه مسلم) [32]
Artinya :
“Dari Ma’mar Ibnu Abdullah dari rasulullah saw beliau bersabda : tidak akan
menimbun barang-barang, tidak mau menjual supaya naik harga kecuali orang
berdosa”.(HR.Muslim)
e.
Jual beli yang terpaksa.
Maksudnya jual beli itu tidak ada unsur saling suka atau saling rela
diantar kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli. Padahal jual beli itu
sah, jika ada unsur suka sama suka ini dapat kita lihat dalam firman Allah swt
:
ياايّهاالذين امنوا لا تأكلوا اموالكم
بينكم بالباطل الا ان تكون تجارة عن تراض منكم (النساء : 29)
Artinya : “
Hai Orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara
kamu”. (QS.An-Nisa’:29)[33]
Semua jual beli diatas dengan jelas telah dilarang oleh syari’at Islam,
pada dasarnya pelarangan dalam jual beli dianggap sebagai salah satu unsur
syari’at yang dibawahnya mencakup permasalahan.[34]
Jadi telah
jelas karena jual beli tersebut dalam bentuknya dipandang ada unsur yang
menjadikan para pihak merasa tidak puas atau karena ada akibat yang timbul,
yang tidak di inginkan para pihak, maka jual beli semacam itu dilarang oleh
syari’at Islam.
2.
Jual beli yang diperbolehkan
Jual beli yang diperbolehkan oleh syari’at adalah jual beli yang tidak
termasuk dalam jual beli diatas, selain itu jual beli itu sudah memenuhi
kriteria jual beli yang diatur syari’at Islam dan tidak mengakibatkan jual beli
itu diantara kedua pihak merugi.[35]
[1] Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Toha
Putra, Semarang, t.th., hal.239.
[2] Zainuddin bin Adbul Aziz, Fath al-Mu’in,
Al-Ma’arif, Bandung, t.th., hal.66.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz II, Dar
al-Fikr, Bairut, 1971, hal.46.
[4] Muhammad Syarbini al-Khatib, Iqna’ Juz II, Dar
al-Fikr, Beirut, t.th., hal.2.
[5] Abdul Mu’thi Muhammad bin Umar, Nihayah al-Zain,
Dar Al-Fikr, beirut, hal. 203.
[6] Ibid, hal. 109.
[7] Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 29, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal.122.
[8] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal.69.
[9] Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 29, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal.122.
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, dar al-Fikr,
Beirut, t.th., hal.223.
[11] Ibid, hal. 657.
[12] Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.128.
[13] Syeh Ali Salam Abi Yahya Zakaria Al-Anshory, Fath
al-Wahhab, Juz I, Al-Ma’arif, Bandung, t.th., hal. 157.
[14] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Juz II, Dar
al-Fikr, Beirut, hal. 129.
[15] Ahmad Warsan Munawir, Kamus Al-Munawir,
Unit Pengembangan Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan PP. Al-Munawir, Yogyakarta,
1934, hal.155.
[16] Ibid, hal.130.
[17] Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 29, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal.122.
[18] Imam Taqiyuddin, Op.Cit., hal.241.
[19] Imam Muslim, Op.Cit., hal. 689
– 690.
[20] Al-Qur’an Surat Al-Isra’ Ayat 27, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal. 428.
[21] Imam Muslim, Op.Cit., hal. 658.
[22] Muhammad bin Ali as Syaukani, Nail al-Authar,
Dar Al-Fikr, Beirut, 1994, hal. 234.
[23] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz II, Darul Fikr, Beirut, t.th., hal.12.
[24] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam,
At-Thahiriyah, Jakarta, t.th., hal.276.
[25] Ibid, hal.50.
[26] Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 27.
[27] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal. 69.
[28] Ibn Rusyid, Op.Cit., hal. 125.
[29] Jalal Ad-Din ‘Abdur ar-Rahman as-Sayuti, Al-Jami’us
Saghir, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, th, hal.164.
[30] Ibn Khajar Al-Asqalany, Bulugh al-Maram,
Al-Maktabah, Beirut, t.th., hal. 166.
[31] Ibid, hal. 166.
[32] Ibid, hal. 166.
[33]Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 29, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Penafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, hal.122.
[34] Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.740.
[35] Ibid, hal.76.
0 Response to "KETENTUAN UMUM JUAL BELI DALAM ISLAM"
Post a Comment