KH. BISYRI MUSTHAFA REMBANG

KH. BISYRI MUSTHAFA REMBANG



  1st.        Riwayat Hidupnya[1]
Bisyri Musthafa dilahirkan pada tahun 1915 M. atau bertepatan tahun 1334 H. di daerah pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di kampung Sawahan, Gang Palem Rembang. Ayahnya seorang ulama yang alim dan taat beragama, seorang yang saleh bernama KH. Zaenal Musthafa dan ibunya bernama Siti Khatijah. Semasa kecil  beliau diberi nama Masyhadi.[2] 
Sebagai keluarga yang taat beragama, ayahnya sangat memperhatikan pendidikan agama kepada putranya. Bisyri mempunyai saudara kandung bernama Misbah Zaenal Musthafa.[3] Semenjak kecil Bisyri belajar mengaji al-Qur’an (membaca al-Qur’an) dan fashalatan (belajar doa salat dan prakteknya) kepada H. Zuhdi yaitu kakak tirinya sekaligus yang mengasuhnya semenjak ayahnya meninggal. Sebagai anak yang rajin dan haus akan pengetahuan agama, pada setiap bulan Ramadhan Bisyri belajar agama di Pondok Pesantren Bulumanis Kajen Pati yang diasuh oleh KH. Hasbullah. Demikian pendidikan agama yang ditempuh oleh Bisyri Musthafa. pada waktu kecil sampai berumur 8 tahun, dan pada tahun 1923 Bisyri dibawa oleh orang tuanya pergi ibadah haji yang pertama.[4]
Situasi umat Islam di negara Indonesia pada saat lahirnya Bisyri Musthafa ditandai dengan lahirnya Sarekat Islam (1911) sebagai asal usul dan pertumbuhan politik di kalangan umat Islam di Indonesia, kemudian pada tanggal 11 November 1912 Sarekat Islam berdiri menjadi sebuah organisasi yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhoedhi pada tanggal 16 Oktober 1905.
Ada dua macam sebab mengapa organisasi ini didirikan. Pertama, kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik terutama dengan golongan Cina terhadap orang-orang Indonesia, sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina pada tahun 1911, Kedua, adanya tekanan oleh masyarakat Indonesia di Solo ketika itu dari kalangan bangsawan sendiri. Sarikat Dagang Islam dimaksudkan untuk menjadi benteng bagi orang-orang Indonesia yang umumnya terdiri dari pedagang-pedagang batik di Solo terhadap orang-orang Cina dan para bangsawan tersebut.[5]
Pada mulanya organisasi ini tidak berpolitik (mengambil sikap kepada pemerintah Indonesia) lebih bercorak sosial dan pendidikan, akan tetapi setelah dipimpin HOS Tjokroaminoto organisasi ini merubah nama menjadi Sarikat Islam yang tujuannya tidak hanya terbatas pada bidang sosial dan pendidikan saja, bahkan Sarikat Islam mendapat inspirasi dari gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki. Landasan kerakyatan dari SI juga menyebabkan organisasi tersebut segera mendapat sambutan yang luar biasa. Dengan melalui pemuka agama para kyai pengaruhnya meluas sampai ke daerah-daerah dan pedesaan.[6]

B.   Pendidikan Dan Aktifitasnya
Pada masa kecil Bisyri, disamping mendapatkan pelajaran agama juga pernah dimasukan di sekolah “Ongko Loro” (istilah sekolah rakyat pada masa itu) namun sebelumnya Bisyri juga pernah menempuh sekolah di HIS (Holland Indische School) di Rembang, yakni sekolah dengan status tertinggi yang mempunyai kurikulum 7 tahun. Sekolah ini khusus bagi murid-murid Indonesia yang berasal dari keluarga kalangan terkemuka baik dari segi jabatan, keturunan, penghasilan maupun pendidikan. Lembaga pendidikan ini dikelola oleh pemerintah kolonial. Pendidikan ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional bukan dari segi metode saja namun lebih khusus dari segi isi dan tujuannya, karena HIS lebih dipusatkan pada pengetahuan dan ketrampilan dunia yaitu pendidikan umum. Sedangkan pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama. Sistem pendidikan kolonial ini merupakan suatu sistem yang cukup rumit karena terdiri dari dua bagian; satu bagian berdasarkan bahasa Belanda, bagian lain berdasarkan bahasa Indonesia   dan yang lainnya lagi merupakan bahasa campuran. Sekolah ini setingkat dengan Europeesche Lagere School sehingga lulusan sekolah ini dapat melanjutkan ke sekolah menengah Eropa.[7] Namun sayang tidak lama Bisyri dicabut keluar oleh K. Kholil sebagai guru mengajinya di pondok Kasingan dari sekolah tersebut, dengan alasan sekolah milik Belanda tidak diperbolehkan dan kemudian Bisyri dipindah ke sekolah Jawa yaitu Ongko Loro atau disebut juga dengan istilah “Sekolah Desa”, yang merupakan bentuk pendidikan dasar yang terdiri dari 3 tahun pelajaran. Pengajarannya diberikan dalam bahasa Indonesia. Lulusan Sekolah Desa ini dapat melanjutkan ke Standaard School atau Vervolg School, akan tetapi lulusan sekolah tersebut belum memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah menengah. Namun semenjak tahun 1921mereka dapat masuk ke Schakel School yang memiliki kurikulum 5 tahun dan lulusan sekolah ini mempunyai kesempatan yang sama dengan lulusan HIS,[8] dan Bisyri dapat menyelesaikan sekolah tersebut sampai mendapatkan sertifikat atau STTB pada tahun 1927, ketika itu Bisyri berusia 12 tahun.
Setelah  lulus dari sekolah Ongko Loro Bisyri tidak meneruskan belajarnya  di pendidikan umum sebagaimana mestinya namun ia kembali belajar di  Pondok Pesantren Kasingan dan selama itu tidak pernah belajar di pondok lain, delapan tahun lamanya Bisyri menelusuri ilmu-ilmu agama sampai kemudian Pada tahun 1935 beliau dinikahkan dengan Ma’rufah putri dari gurunya sendiri dimana Bisyri belajar di pondok pesantren.
Pada tahun 1936, seperti yang dipaparkan di atas Bisyri kembali menunaikan ibadah haji yang kedua kali dan disinilah beliau mulai mempunyai kesempatan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya kepada beberapa ulama besar di sana untuk belajar kitab-kitab yang belum pernah dijumpai di daerahnya seperti kitab tafsir, hadis, fiqh dan sebagainya. Diantara guru-guru yang beliau temui adalah :
1.   KH. Baqir, Bisyri mendalami kitab Lubbil Ushul Umdatu al-Abrar karya Muhammad bin Ayub dan Tafsir al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari.
2.   Syekh Al-Malik, dengan beliau Bisyri belajar ilmu Mustalah al-Hadis dengan memakai kitab al-Asbah wa Nadhair karya Jalaluddin Abdullah dan as-Suyithi dan al-Awail as-Sunah as-Sitah karya syekh Abdul Qahir al-Jurjani.
3.   Syekh Umar Hamdan al-Maghribi, khusus kepada beliau belajar hadis an-Nabawi yaitu Hadis Shahih Bukhari karya Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan kitab Shahih Muslim karya Abu al-Husaein Muslim al-Hajaj al-Qusairi al-Naisaburi.
4.   Sayyid Amin, seorang ulama ahli dalam bidang nahwu dan saraf. Maka kepada beliau Bisyri belajar kitab Alfiyah Ibn Aqil karya Ibnu Malik. Kitab tersebut kemudian diterjemahkan oleh Bisyri dengan judul Ausatu al-Masalik lialfiyah Ibnu Malik.
5.   Sayyid Alwi al-Makki dengan beliau belajar tafsir al-Qur’an dengan memakai kitab Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
6.   Syekh Hasan Masyuath, dengan beliau belajar ilmu fiqh, dengan memakai kitab Manhaj Dzawin Nazar karya Syekh Mahfudz at-Turmudzi.
7.   KH. Abdullah Muhaimin, dengan beliau belajar tafsir dan ilmu tafsir dengan memakai kitab Jama’ul Jawami’ karya Imam Tajuddin Abdul Wahab.

Demikian riwayat hidup Bisyri Musthafa pada waktu kecil sampai dewasa dari tempat kelahirannya di kampung Sawahan Rembang, pondok Kasingan sampai ke Saudi Arabia di kota suci Mekkah. Pengalaman pendidikan ini akan sangat mempengaruhi karya-karyanya di kemudian hari, terutama pengalaman belajarnya ketika Bisyri di Mekkah.
Pada tahun 1938 Bisyri pulang ke tanah air dengan memperoleh ilmu dan pengalaman yang cukup banyak, sebagai seorang yang cerdas dengan mudah dapat menguasai ilmu agama dengan baik karena sebelumnya beliau telah mempunyai bekal ilmu bahasa Arab dan nahwu saraf yang beliau dapat di pondok Kasingan, sehingga sangat membantu untuk memahami kitab-kitab agama yang dibacanya. Kematangan dan kuluasan ilmu pengetahuannya diakui oleh para santri di pondok Kasingan dan para ulama semasanya, ini terbukti setelah wafatnya KH. Kholil (1939), Bisyri diangkat menjadi pengasuh pondok Kasingan dengan memperoleh gelar KH. Bisyri Musthafa.
Semenjak Bisyri Musthafa menjadi pengasuh pondok pesantren di Kasingan, pemikirannya semakin meluas hal ini terbukti dengan keikutsertaannya aktif dalam berbagai bidang baik sosial, politik, keagamaan maupun dalam bidang sastra sehinga Bisyri menjadi seorang ulama besar di Jawa yang cukup disegani. Aktifitasnya yang sangat padat tersebut tidak pernah terlepas dari kegiatannya sebagai seorang pendiri dan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Leteh Rembang yang didirikannya sendiri semenjak sepeninggal ayahnya. Oleh karena itu karya-karya yang dihasilkan bermula dari tulisan atau tarjamah kitab-kitab yang menjadi bahan pegajian di pondok pesantren yang diasuhnya. Disamping itu Bisyri juga mengadakan pengajian di masyarakat setempat sehingga beliau juga dikenal seorang muballigh yang mendekati sempurna karena mampu berbicara banyak hal selaras dengan situasi maupun kondisi yang berbeda kemampuan panggungnya memang tak terbantahkan dan hal ini telah diakaui oleh siapapun orang yang hidup pada masanya. Seperti yang digambarkan oleh KH. Saifuddin Zuhri, bahwa KH. Bisyri Musthafa adalah seorang ahli pidato yang dapat mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi gamblang mudah diterima oleh orang-orang awam sehingga tidak membosankan bagi orang yang mendengarkanya, karena hal-hal yang berat menjadi ringan, yang kelihatannya sepele menjadi amat penting. Kritikannya amat tajam meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan dan fihak yang terkena krtikpun tidak pernah marah-marah karena penyampaiannya secara sopan dan menyenangkan dengan nada-nada humor dan bersahabat tak pelak karena memang Bisyri juga seorang sastrawan yang sangat berbakat sehingga mampu meramu kata-kata yang indah sesuai dengan audiens yang beliau hadapi sehingga mampu menarik masa ketika mendengar bahwa KH. Bisyri Musthafa telah tampil di atas podium.[9] Sampai saat ini sosok tersebut dapat dijumpai dari pewaris putra pertamanya yaitu KH. Kholil Bisyri yang memiliki perawakan sama dengan ayahnya yaitu besar, tinggi dan gagah sehingga menimbulkan kesan meyakinkan dan menyenangkan serta mudah diterima di masyarakat awam.
Sedangkan kiprahnya dalam dunia politik selaras dengan situasi perkembangan politik Islam di Indonesia. Pada awal abad XX ditandai dengan munculnya berbagai organisasai Islam di Indoneia seperti Sarekat Islam (SI), kemudian berturut-turut muncul organisasi-organisasi lain seperti Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1920) dan Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada tahun 1926 didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, dan dalam wadah inilah Bisyri Musthafa aktif dan mempunyai kesempatan menuangkan gagasan-gagasan politiknya. Hal ini terbukti pada akhir masa penjajahan Belanda, Bisyri Musthafa menjadi anggota syuriah NU cabang Rembang dan kemudian menjadi Vorzieter NU cabang Rembang. Akan tetapi sebelum menjadi orang NU dan sekaligus tokoh NU, Bisyri juga pernah dikatakan cenderung kepada Muhammadiyah, menurut cerita pada tahun 1948-1949 Bisyri Musthafa termasuk orang yang dikejar oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), karena pada saat itu terjadi pemberontakan PKI di Madiun yang dipimpin Muso, Amir Syarifuddin dan lain-lain sehingga untuk menghindari peristiwa tersebut Bisyri Musthafa bersama keluarganya pindah ke Pare (Kediri) Jawa Timur selama 2 tahun dan ketika bermukim di sana beliau banyak bergaul dengan masyarakat setempat yang mayoritas berpaham Muhammadiyah, karena aktifitas keilmuannyalah beliau sering mengadakan diskusi dengan masyarakat setempat, sedangkan kitab-kitab yang dijadikan acuan diantaranya adalah kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh yang banyak memberikan pengaruh besar dikalangan warga Muhammadiyah.
Ketika masa pemerintahan Jepang  berbeda dengan pemerintahan Belanda, Jepang bersikap lebih kompromi dengan organisasi Islam, bahkan sejak kedatangannya di Jawa berulang-ulang propagandis Jepang menyatakan bahwa mereka menghormati dan menghargai Islam. Demikian itu karena melihat organisasi Islam Indonesia anti terhadap Barat dan ini merupakan suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan. Karena itu meskipun ada perbedaan prinsip antara Islam dan agama Shinto yang merupakan agama negeri Jepang, tetapi demi untuk mendapat dukungan dari Islam Jepang mengumumkan kesamaan ide persaudaraan dengan Islam.
Semangat Dai Nippon dan semangat Islam (demikian tulis seorang Islam  Jepang tentang Jawa) sangat serupa satu sama lain dan tidak ada satu tingkatpun dari identitasnya lebih tinggi dari yang lain. Bangsa Indonesia haruslah memahami hal ini.[10]

Dan pada saat itu Jepang mendirikan Jawatan urusan Agama , jawatan semacam ini pada masa Belanda tidak pernah ada. Jawatan ini disebut Syumhu di tingkat pusat dan di tingkat Keresidenan disebut Syumuka.     Kantor jawatan ini hanya ada di pusat dan keresidenan. Dengan adanya Syumuka ini Bisyri Musthafa dipercaya menduduki Tikko Itto Syohi Syumuka (Pegawai menengah tingkat I pada kantor urusan Agama Karesidenan Pati).[11]
Pada bulan November 1943 organisasi Islam terutama yang disponsori oleh Nahdatul Ulama dan Muhammadiyyah mendirikan federasi baru yang disebut Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) ketuanya adalah KH. Hasyim Asy’ari Jombang. Dengan adanya federasi ini, Bisyri ditetapkan sebagai ketua Masyumi cabang Rembang. Akan tetapi ketika Nahdatul Ulama (NU) melepaskan diri dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri, Bisyri tetap sepenuhnya berjuang melalui NU dan selama aktif di organisasi ini Bisyri pernah diangkat menjadi anggata DPR tingkat I Rembang, kemudian menjadi anggota MPR dari utusan daerah Jawa Tengah bahkan Bisyri turut mengangkat Letnan Jendral Soeharto ketika memegang jabatan sebagai presiden RI dan beliau bertindak sebagai pembaca doa dalam pelantikan tersebut, Disamping itu ketika partai politik NU, Parmusi, PSII dan Perti memfusikan aktifitas politiknya ke dalam wadah PPP (1973), Bisyri masih tetap duduk sebagai anggata DPR tingkat II Rembang dan sebagai anggota MPR, dan setelah Pemilu 1971 masa Orde Baru Bisyri Musthafa diangkat menjadi anggota MPR atas nama utusan daerah Jawa Tengah berdasarkan Kep. Pres. RI. No. 83/ MPR/ 1972. Jabatan ini berlangsung sampai dengan tahun 1976.[12]
Demikian aktifitas Bisyri Musthafa, disamping sebagai mubaligh juga sebagai aktifis politik. Pada masa akhir hidupnya, Bisyri mengalami sakit yang cukup lama, beliau selama kurang lebih satu tahun istirahat total dari kegiatan mengajar di pondoknya dan kegiatan aktif di dunia politik, kemudian pada tahun 1978 Bisyri Musthafa meninggal dunia dengan meninggalkan karya-karyanya yang cukup banyak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama serta meninggalkan enam orang putra-putri yaitu:

           1.    Muhammad Kholil lahir di Rembang,12 Agustus 1942
           2.    Muhammmad Musthafa lahir di Rembang, 10 Agustus 1944
           3.    Muhammmad Adib Lahir di Rembang, 30 Maret 1949
           4.    Faridah lahir di Rembang, 17 Juni 1952
           5.    Najihah lahir di Rembang, 24 Maret 1955
           6.    Atikah lahir di Rembang, 24 Januari 1964[13] 

3rd. Karya-karyanya
Sebagai seorang cendekiawan yang sangat produktif Bisyri Musthofa menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam berbagai bidang dalam bentuk karya tulisan selama kurang lebih 35 tahun semenjak beliau mendapat amanat dari gurunya untuk mengasuh Pondok Pesantren Kasingan sampai akhir hidupnya (1978)[14] diantara karyanya yang paling populer dan terbesar adalah dalam bidang tafsir yaitu yang diberi nama Tafsir al-Ibriz lima’rifati al-Qur’an al-Azizi sebuah karya tafsir yang sangat sederhana yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa (bahasa setempat), namun tetap memakai huruf Arab,[15] yang terdiri dari 3 jilid besar diselesaikan pada bulan Januari tahun 1940 pada usianya yang ke 45. Tafsir ini termasuk dalam kategori tafsir pada periode baru.[16]
Dalam karya tulisanya tersebut, KH. Bisyri Musthafa menggunakan bermacam-macam corak antara lain:
       1.      Bentuk Nazam
Tulisan-tulisan Bisyri banyak yang berupa Nazam (syair) oleh karenanya mudah dipahami dan dihafal karena bisa dilagukan dengan menggunakan patokan lagu tertentu. Dengan demikian orang akan mudah untuk mengingat-ingat nasehat yang berupa syair karena mampu memberi kesan dan dapat membekas dalam ingatan orang awam.
       2.      Bentuk Essay bahasa Jawa
Corak lain dari karyanya adalah uraian-uraian berbahasa secara bebas (essay), uraian yang dibuat secara sederhana dengan bahasa awam. Corak tulisan ini untuk menulis kitab atau buku bacaan untuk masyarakat awam seperti, tuntunan shalat, manasik haji, bacaan anak-anak, kitab-kitab dan sebagainya.
       3.      Karya Terjemahan

Karya terjemahan ini sangat praktis yaitu dari kitab-kitab berbahasa arab diterjemahkan kedalam bahasa Jawa secara harfiyah kemudian diberi keterangan, penjelasan dan contoh. Bentuk terjemahan ini sangat khas, tulisan aslinya ditulis dengan huruf besar-besar dan jarang-jarang, kemudian terjemahan ditulis miring bersusun di bawah kata yang diterjemahkan lengkap dengan disertai rujukannya (damir). Kemudian bagian bawah halaman atau kanan kiri diberikan keterangan dan penjelasan secara luas kadangkala juga diberikan contoh sebuah kisah-kisah yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan.

Karya terjemahan ini adalah yang terbanyak, karena banyak dibutuhkan oleh para santri, bentuk terjemahan ini secara ilmiah dapat dikatakan sebagai karya tulis yang sistematis karena selalu dihubungkan dengan sumber aslinya sebagai patokan sehingga keaslian dari kitab aslinya dapat dilihat oleh para pembaca dengan memperhatikan tata bahasanya.

Kitab-kitab yang diterjemahkan biasanya yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat seperti: al-Qur’an yang diterjemahkan dalam bentuk Tafsir, kitab Bulughul Maram yang berisi hadis-hadis hukum, Kitab Aqaid, Nahwu, saraf, Fiqh dan sebagainya.

       4.      Essay berbahasa Indonnesia

Tulisan yang berbahasa Indonesia ditulis tidak memakai huruf Arab pegon lagi, tetapi memakai tulisan (huruf) latin. Karya semacam ini terutama untuk menulis masala-masalah yang baru seperti masalah Keluarga Berencana (KB), pidato politik, naskah drama, buku-buku tentang Hubungan Masyarakat (Humas) dan sebagainya. Hal ini tidak aneh karena lingkungan Bisyri adalah lingkungan perkotaan.   

Dari bermacam-macam corak tulisa KH. Bisyri Musthafa, maka selanjutnya akan ditentukan pengklasifikasian karya-karyanya agar memudahkan para pembaca untuk mengetahuai hasil tulisannya. Oleh karena itu dengan pengklasifikasian ini akan dapat diketahui judul-judul kitab dengan mudah sesuai dengan bidang keilmuannya. Namun dalam pengklasifikasian tersebut tidak semua karya yang pernah ditulis dapat disebutkan, sebab ada sebagian buku yang sudah hilang dari peredaran.

Karya-karya tersebut diklasifikasikan dalam berbagai bidang  yaitu :

One.           Tafsir

Two.           Hadis

Three.       Aqidah

Four.         Syariah

Five.           Tasawuf/akhlak

Six.             Ilmu bahasa

Seven.      Ilmu Mantiq/logika

Eight.       karya-karyanya yang lain

Diantara karya-karyanya yang berbentuk terjemahan adalah sebagai berikut :
           1)      Al- Iksir fi Tarjamah  ‘Ilmi Tafsir (1380 H./1970 M.), merupakan kitab tarjamah dari Nazam Ilmu Tafsir karangan Syeh Abdul Aziz al-Zamzami al-Makki (w. 963 H.), disamping karya tafsir yang cukup populeral-Ibriz, yang juga dikatakan oleh Martin Van Bruinessen lebih dikatakan sebagai sebuah karya terjemahan dibanding sebagai bentuk tafsir.[17]
           2)      Tarjamah Manzumah al-Baiquni (1379 H./1960 M.), merupakan karya terjemahan dari kitab Manzumah al-Baiquni fi Mustalah al-Hadis karya syeh Umar bin Syeh Futuh ad-Dimasyqi as-Syafi’I
           3)      Al-Azwadu al-Mostafayah fi Tarjamah al-Arbain an-Nawawiyah, merupakan karya tarjamah dari kitab al-Arbain  Nawawiyah karangan Imam Nawawi
           4)      Sullamul Afham Tarjamah Bulughul Maram, merupakan buku tarjamah dari kitab Bulughul Maram karya al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani yang disusun dalam bahasa Indonesia
           5)      Nazham as-Sullam al-Munawaraq fi al-Mantiq, merupakan karya tarjamah dari kitab Syeh Abdurrahman al-Ahdari
           6)      Sullamul Afham Tarjamah Aqidatul Awam (1385 H./1966 M.), merupakan karya Syeh Ahmad al-Marzuqi (1258 H.). Karya inilah yang banyak (sangat populer di kalangan pelajar madrasah dan santri-santri pondok pesantren) karya ini berupa 57 syiir untuk dilagukan sehingga lebih mudah untuk dihafalkan.
           7)      Durarul al-Bayan fi Tarjamah Sya’bi  al-Iman, merupakan karya tarjamah dari kitab Sya’bi  al-Iman karya Syeh Zaenudi (lahir pada tahun 872 H.). Sebelumnya karya ini juga telah disyarah oleh Imam Nawawi bin Umar al-Bantani dengan judul Qami’at Tughyan.
           8)      Tarjamah Nazham al-Faraidul Bahiyah fi al-Qawaidi al-Fiqhiyah (1370 H./1958 M.) merupakan tarjamahan dari kitab al-Faraidi al-Bahiyah karya as-Sayid Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani as-Syafi’i yang telah disarikan dari kitab Asbah wa Nadhair karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (911 H.), kitab ini juga telah dikomentari oleh syeh al-Maliki (1356 H.) yang merupakan guru dari Bisyri Musthafa ketika belajar di masjid al-Haram selama musim haji pada tahun 1936 M.  Dan masih banyak karya-karya terjemahan  Bisyri Musthafa yang lainnya.
Apabila ditelaah lebih dalam dari beberapa karya terjemahan Bisyri Musthafa  yang dipaparkan di atas, maka kitab-kitab asli dari karya terjemahannya tersebut terlihat semuanya berasal dari kitab-kitab yang sebagian besar Bisyri peroleh ketika Bisyri belajar di  Mekkah, Kemudian diterjemahkan  ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di daerah sekitarnya yang pada saat itu sangat  membutuhkan kitab-kitab literatur yang mudah untuk dipahami.
 




[1]Bisyri Musthafa, Sejarah Singkat KH. Bisyri Musthafa Rembang, (Menara Kudus, Kudus, 1997)
[2]Nama ini kemungkinan nama pada waktu lahir, kemudian berganti menjadi Bisyri Musthofa, barang kali karena pada waktu itu beliau belajar lama di pesantren Kasingan atau ketika beliau menunaikan haji dan belajar di Makah.Hal ini sering terjadi kepada seseorang mempunyai nama kecil dan nama setelah menunaikan ibadah haji. 
[3]Misbah juga seorang ulama besar yang cukup produktif diantara tafsirnya yang populer adalah al-Iqlil lima’ni Tanzil yang terdiri dari 30 jilid.
[4]Dikatakan haji yang pertama karena selanjutnya pada tahun 1936 Bisyri Musthofa menunaikan ibahah haji kembali.
5Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia, (Jakarta: LP3IS, 1982), hlm. 114-116

[6]Rz. Lerissa, Sejarah asyarakat Indonesia1900-1950, (Jakarta: Pressindo, !983), hlm. 48  
[7]Karel  A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia), hlm. 24-25
[8]Ibid
[9]Syaifuddin Zuhri, Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU, (Jakarta: Yayasan Syaifuddin Zuhri, 1994), hlm. 336-337
[10]Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit: Islam Indonesia Pada Masa PendudukanJepang, Penterj. Daniel Dhakidae disunting oleh Alfian,  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), cet. I, hlm. 153
[11]Bisyri Musthafa, Sejarah …, hlm. 3
[12]Ibid, hlm. 16  
[13]Data ini diambil dari  hasil penelitian Thesis Iing Misbahuddin Yang berjudul: Tafsir al Ibriz Lima’rifati al-Qur’an al-Aziz Karya Bisyri Musthafa Rembang (Study Metodologi dan Pemikiran), IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[14]Saifuddin zuhri, Secercah Dakwah,(Bandung: Al-Ma’arif, 1983), hlm. 25
[15]Menurut penelitian Martin Van Bruinessen, karya tafsir seperti inilah yang membedakan antara ulama tradisional dan ulama modern. Disamping memakai bahasa setempat ulama tradisional juga memakai bahasa Arab untuk menambah nilai penghormatan. Sedangkan ulama modernis menulis karyanya dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin. Lihat Pesantren dan Kitab kuning, Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren oleh Martin Van Bruinessen dalam jurnal ilmu dan kebudayaan Ulumul Qur’an volume III, No. 4 tahun 1992, hlm. 74 
[16]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: 1984), hlm. 37 
[17]Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning , Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), cet. II, hlm. 114   

0 Response to "KH. BISYRI MUSTHAFA REMBANG"

Post a Comment