KEMITRAAN ORANG TUA DALAM MENANGGULANGI JUVENILE DELINQUENCY

KEMITRAAN ORANG TUA DALAM MENANGGULANGI JUVENILE DELINQUENCY



     A.    Pengertian  Kemitraan Orang Tua.
Hubungan suami dan istri  dalam keluarga dapat dibedakan dalam empat macam, yaitu:
     1.      Hubungan kepemilikan (ownership), yaitu secara finansial maupun emosional, istri dianggap sebagai milik suami.
     2.      Hubungan complementary (pelengkap), yaitu peran istri sebagai pelengkap dari kegiatan suami.
3.      Hubungan herarkial, yaitu suami menempatkan diri sebagai atasan dan tuan di rumahnya, sementara istri menempatkan dirinya sebagai bawahan dan kawula.[1]
4.      Hubungan kemitraan ( partnership ), yaitu suami menganggap istri sebagai mitra sejajar dalam menunaikan hak dan kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, suami tidak menempatkan istri sebagai bawahan.  hubungan suami istri ditandai oleh adanya saling pengertian dan memahami peran masing-masing. Semua jenis hubungan itu membawa konsekuensi tersendiri dalam kehidupan keluarga.[2]
Dalam hubungan suami istri yang ownership, istri memterjemahkan kepatuhan yang semestinya pada suami. Peran suami dalam keluarga tetap sebagai pencari nafkah utama. Hubungan antara suami istri lebih diperankan oleh suami melalui hubungan pengaruh, baik pengaruh kekuasaan sebagai pencari nafkah maupun kharisma suami terhadap istrinya karena suami sebagai tokoh agama. Kecenderungan pola hubungan ownership ini terjadi di kalangan keluarga yang keduanya betul-betul memahami agama, terutama bagi keluarga yang suaminya berkedudukan sebagai tokoh agama. Dalam Bahasa Sunda ada sebutan salaki mah pangeran di dunya ( suami adalah ”pelindung” di dunia ), sok sanajan dibawa Katholik liang cocopet ( walaupun istrinya dibawa kepada kesempitan). Gaya bahasa seperti ini di kalangan orang Sunda menunjukkan kepatuhan istri terhadap suami. Oleh sebab itu, kepatuhan istri terhadap suami merupakan syarat dalam hubungan ownership.
Pola hubungna ownership seperti ini, cenderung menempatkan istri sebagai kepanjangan suaminya, sementara istri tidak menjadi dirinya sendiri. Suami bertindak atas kemauannya sendiri, sementara istri adalah petugas yang menjalankan kehendak suami. Suami sangat “otoriter” bagi istrinya. Keputusan keluarga banyak ditentukan oleh suami. Bahkan, nama anakpun senantiasa mengikuti nama suami.
Dalam keluarga Jawa, terutama di kalangan kelompok priyayi, suami bisa seenaknya menceraikan istrinya apabila mereka tidak lagi menyukai. Dalam hal ini, istri tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi bertanya dan protes. Oleh karena itu, dalam hubungan yang ownership sepeti ini, hak kepemilikan suami terhadap istrinya berada di atas segalanya dari pada menjalin kasih sayang.
Dalam pola hubungan suami istri sebagai complementary (pelengkap), suami menganggap istrinya sebagai bagian dari hidupnya.sebagai sesuatu mengenai kebutuhan hidup senantiasa melibatkan istrinya. Dalam hal tertentu istri masih tergantungan pada suami, terutama dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Namun istri diberi ruang bertanya oleh suami dan keduanya bisa membicarakannya secara terbuka. Misalnya, suami berkata, “tolong agar ini dikerjakan”. Istri bisa melonjak dengan cara, “ saya rasa ini tidak perlu”.
Kelemahan yang ada pada suami ditutupi oleh istri dengan mengimbanginya secara baik. Misalnya, apabila suami seorang pemboros istri mengimbanginya dengan sikap hemat. Demikian pula kelemahan istri, diimbangi suami agar tidak kelihatan lemah. Misalnya bila istri tidak penyabar, keras kepala, dan selalu terburu-buru mengambil keputusan, suami bertindak penyabar dan penuh pertimbangan objektif dalam segala keputusan.
Dalam lingkungan sosial istri menempatkan dirinya sebagai panutan bagi yang lain. Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan dan melengkapi kedudukan suami karena suami seorang pejabat. Ada kebiasaan, istri seorang pejabat secara otomatis akan menjadi ketua dharma wanita ( tidak ada ketua dharma laki-laki). Ini mencerminkan bakti istri kepada suami dalam hubungan complementary.
Pola hubungan hirarkial dalam keluarga menempatkan suami sebagai atasan dan istri sebagai bawahan. Posisi demikian berjalan secara seimbang karena posisi atasan dan bawahan dikelola melalui organisasi (keluarga) modern. Atasan tidak berarti gila hormat, bahkan dalam hubungan herarkial antara suami istri, posisi atas tergantung pada bawahannya. Apabila bawahannya tidak memberikan dukungan, posisi atasan akan terancam.
Dalam kehidupan nyata kedudukan suami ditempat kerja sangat dipengaruhi dukungan dari istri (bawahan) di rumah. Apabila suami mendapat promosi jabatan dan istri mendukungnya, karir suami (atasan) akan menjadi sukses. Sebaliknya apabila suami mendapat promosi jabatan, sedangkan istrinya tidak mendukung, kerja suami akan terganggu. Dalam kondisi demikian, istri harus mendukung keputusan suami dan suami berlaku adil terhadap istri (bawahannya).[3]
Di dalam rumah, istri memberikan kepada istrinya sebagai bagian dari peran bawahan. Suami memberikan perhatian dan kasih sayang agar bawahan loyal memberikan pelayanan kepada atasan. Hubungan herarkial antara suami istri seperti ini, tidak dalam pengertian hubungan yang kaku, otoriter, dan sepihak, tetapi hubungan yang harmonis, demokratis, dan seimbang. Dengan demikian keberhasilan suami bukan semata-mata keberhasilan dirinya, melainkan keberhasilan istrinya juga.
Pola hubungan partnership dalam keluarga  menempatkan hubungan suami istri secara wajar dan seimbang. Suami istri mendapatkan hak yang sama dalam mengelola rumah tangga. Dalam pola hubungan partnership dapat diterapkan pada keluarga yang suami dan istrinya sama-sama mencari nafkah.
Pola hubungan partnership lebih ditekankan pada sikap dalam pembagian peran mendidik anak. Hal ini karena peran-peran domestik dalam rumah tangga, telah banyak bergeser pada pembantu rumah tangga. Demikian pula dalam hal pembagian keputusan, suami dan istri dapat berdiskusi secara argumentasi mengenai masalahnya. Pada suatu saat, suami sebagai pengambil keputusan dan pada saat yang lain istrilah yang mengambil keputusan. Keputusan yang diambil dalam pola hubungan partnership ini saling mempertimbangkan kebutuhan dan keputusan masing-masing. Dengan demikian, perkembangan individu dalam pola hubungan partnership sangat diperhatikan.
Di lain pihak, hubungan partnership bisa dilakukan dengan sama-sama melakukan inisiatif secara wajar dan seimbang antara suami dan istri. Suami dituntut bertanggung jawab atas inisiatif yang dikeluarkannya dan demikian pula sebaliknya bagi istri. Hal ini dilakukan karena suami dan istri adalah teman baik yang satu sama lain saling mendukung dan membutuhkan.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat peneliti simpulkan bahwa pengertian kemitraan orangtua adalah adanya keseimbangan antara suami dan istri dalam merealisasikan hak dan kewajibannya, yang berarti suatu ketika seorang suami bisa berfungsi sebagai seorang istri, dan sebaliknya seorang istri bisa berfungsi sebagai suami. Dengan demikian dalam hubungan kemitraan orang tua berlaku asas keseimbangan / sama rata atau sejajar dalam memanage rumah tangga dan keluarga. Hubungan kemitraan orang tua dicirikan dengan adanya kerja sama antara suami istri tanpa merasa ada yang lebih berkuasa dan lebih kuat.  

B.      Batasan Remaja dan Perkembangannya

“Remaja”, kata mengandung aneka kesan. Ada orang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, tiada beda dengan kelompok manusia yang lain. Sementara pihak  lain menganggap bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang sering menyusahkan orang-orang tua. Pada pihak lain lagi, menganggap bahwa remaja sebagai potensi manusia yang perlu dimanfaatkan. Tetapi, manakala remaja sendiri yang dimintai kesannya maka mereka akan menyatakan yang lain.  Mungkin mereka akan berbicara tentang ketak-acuhan, atau ketidak-pedulian orang-orang dewasa terhadap kelompok mereka. Atau mungkin ada pula remaja yang mendapat kesan bahwa kelompknya adalah kelompok minoritas yang punya warna tersendiri, yang punya ”dunia” tersendiri yang sukar dijamah oleh orang-orang tua. Tidak mustahil adanya kesan remaja bahwa kelompoknya adalah kelompok yang bertanggung jawab terhadap bangsa dalam masa depan.
Untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan manusia dari masa kanak-kanak sampai adolesen, menurut Agus Sujanto sebagai berikut:
Pertama, masa Kanak-kanak, yaitu sejak lahir sampai 5 tahun
Kedua, masa Anak, yaitu umur 6 sampai 12 tahun
Ketiga, masa Pubertas, yaitu umur 13 tahun sampai kurang lebih 18 tahun bagi anak putri dan sampai umur 22 tahun bagi anak putra
Keempat, masa Adolesen, sebagai masa transisi ke masa dewasa.[4]    
Jersild, et.al., dalam salah satu buku mereka, tidak memberikan batasan pasti rentangan usia masa remaja. Mereka membicarakan remaja   (adolescence) dalam usia rentangan sebelas tahun sampai usia duapuluhan-awal. Ditulis antara lain bahwa masa remaja melingkupi periode atau masa bertumbuhnya seseorang dalam masa tansisi dari masyarakat akanak-kanak ke masa dewasa. Secara kasarnya, masa remaja dapat ditinjau sejak mulainya seseorang menunjukkan  masa pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual, telah dicapai tinggi badan secara maksimum, dan pertumbuhan mentalnya secara penuh yang dapat diramalkan melalui pengukuran tes-tes intelegensi.[5]) dengan “pembatasan” semacam itu, para ahli ini lebih lanjut ada menyebut masa “preadolescence,” “early adolescence,” “middle and late adolescence.”[6])
Elizabeth B. Hurlock[7]) menulis bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :
o   Prenatal           : saat konsepsi sampai lahir.
o   Masa neonatus: lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.
o   Masa bayi        : akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
o   Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun
o   Masa kanak-kanak akhir: Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun
o   Pubertas/preadolescence: sepuluh atau duabelas tahun sampai tigabelas atau empat belas tahu.
o   Masa ramaja awal    : tiga belas atau empatbelas tahun sampai tujuhbelas tahun.
o   Masa remaja akhir    : tujuh belas tahun sampai duapuluh satu tahun.
o   Masa dewasa awal      : dua puluh satu tahun sampai empatpuluh tahun.
o   Masa setengah baya  : empat puluh tahun sampai enampuluh     tahun.
o   Masa tua                         : enam puluh tahun sampai meninggal dunia.
Dalam pembagian usia menurut Hurlock di atas, terlihat jelas rentangan usia remaja antara 13-21tahun; yang dibagi pula dalam masa remaja awal usia 13/14 tahun sampai 17 tahun, dan remaja akhir 17 tahun sampai 21 tahun.
Pendapat golongan kedua, dalam hal ini adalah ahli-ahli Indonesia, yang telah berusaha memberikan batasan rentangan usia masa remaja. Beberapa ahli di Indonesia dalam menentukan rentangan usia remaja, langsung maupun tidak, banyak dipengaruhi oleh pendapat Hurlock.  Priyatno,  yang membahas masalah kenakalan remaja dari segi agama Islam menyebutkan rentangan usia 13-21 tahun sebagai masa remaja. Singgih Gunarsa dan suami, walaupun menyatakan ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia masa remaja di Indonesia, akhirnya merekapun menemukan bahwa usia antara 12-22 tahun sebagai masa remaja.[8]) Susilo Windradini, untuk menghindari salah paham, berpatokan pada literatur Amerika dalam menentukan masa pubertas ( 11/12-15/16 tahun ). Selanjutnya beliau menguraikan tentang masa remaja awal atau early aodlescence ( 13-17 tahun ) dan remaja akhir atau late adolescence ( 17-21 tahun[9])
Winarno Surachmad, setelah meninjau banyak literatur luar negeri, menilis uisa +12-22 tahun adalah masa yang mencakup sebagian terbesar perkembangan adolescence[10]) sedangkan Kwee Soen Liang,  membagi masa “puberteit” sebagai berikut :[11])
1. prae puberteit, laki-laki : 13 – 14 tahun) Fase Negatif.
                            Wanita    : 12 – 13 tahun) Strumund Drag.
2. puberteit,         laki-laki  : 14- 18 tahun) merindu
                            wanita     : 13 – 18 tahun ) Puja
3. Adolescence laki-laki     : 19 – 23 tahun )
                           wanita      : 18 – 21 tahun )
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, kiranya tidaklah tergesa-gesa jika disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris dari segi psikologis, rentan usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, maka remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun, dan remaja dalam usia akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun. Sedangkan periode sebelum masa remaja ini disebut sebagai “ambang pintu masa remaja” atau sering disebut sebagai ‘Periode pubertas.” pubertas jelas berbeda dengan masa remaja, meskipun bertimpang-tindih dengan masa remaja awal.

C.    Pengertian Juvenile Delinquency dan Masalahnya

Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Anak-anak muda delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya : anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja.
Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere” yang berarti : terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.[12]
Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya :
Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.[13]
Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berperilaku, anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum. Sedang  juvenile delinquency ialah anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquent adalah anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquency.[14]
John M Echols dan Hassan Shadily, menterjemahkan juvenile delinquency sebagai kejahatan / kenakalan anak-anak /anak muda/ muda- mudi.[15]
Dalam ensiklopedi umum, dijelaskan :juvenile delinquency adalah pelanggaran hukum atau moral yang dijalankan oleh individu di bawah umur biasanya pelanggaran ringan (pencurian, penipuan, kerusakan dan sebagainya).[16]
Simanjuntak dengan pendekatan kriminologi, mengartikan juvenile delinquency sebagai perbuatan dari tingkah laku yang merupakan kegiatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan Pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para juvenile delinquency.[17]
Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya secara sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang dikatakan  Sarlito Wirawan Sarwono yaitu perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum.[18]
Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia ternyata banyak menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan remaja Soerjono Soekanto menguraikan secara singkat sebagai berikut :
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross boy” dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam satu ikatan /organisasi formil atau semi formil dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang /tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958 dan juga pada tahun 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.[19]

Menurut Soerjono Soekanto[20] acapkali dibedakan antara dua macam persoalan, yaitu antara problem-problem masyarakat (scientific of social problems) dengan problem-problem sosial (amiliorative or social problems). Hal yang pertama menyangkut analisa tentang macam-macam gejala-gejala abnormal dalam masyarakat dengan maksud untuk memperbaikinya atau bahkan untuk menghilangkannya. Ukuran pokok dari suatu problem sosial adalah tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Sebagai unsur pertama dan yang terpokok daripada problem sosial adalah adanya perbedaan yang menyolok antara nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial dengan kondisi-kondisi yang nyata dari kehidupan. Maksudnya ialah :munculnya kepincangan dan adanya ketimpangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (das Sein), pergaulan masyarakat.
Diteliti dalam kenyataan, banyak sekali cara hidup seseorang atau beberapa orang yang menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial, misalnya :cara-cara hidup anak delinkuen. Anak remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah bahkan karena lingkungan masyarakat pada umumnya mereka suka melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat dan mengancam ketentramannya. Penganiayaan, pencurian, pemerkosaan, penipuan, pengrusakan dan mabuk-mabukan merupakan perbuatan yang anti sosial, tidak susila dan tidak bermoral. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak delinkuen pada hakikatnya melanggar hak-hak orang lain, baik harta, harga diri maupun jiwa.
Masalah generasi muda, terutama problem sosial yang timbul dari delinkuensi anak-anak pada garis besarnya sebagai akibat dari adanya ciri khas yang berlawanan, yakni : keinginan-keinginan untuk melawan dan adanya sikap apatis. Soerjono Soekanto, mengupas masalah ini lebih tuntas antara lain :[21]
“Sikap melawan tersebut disertai dengan suatu rasa takut bahwa, masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang, sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kekecewaan terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi problem-problem sosial dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik ia sudah matang, akan tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial, dia masih memerlukan faktor-faktor lainnya”.
     

D.    Faktor-faktor Terjadinya Juvenile Delinquency

Banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku remaja pada umumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor penyebab yang sesungguhnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa selain teori sosiogenik tersebut di atas, teori-teori tentang asal mula kelainan perilaku remaja dapat digolongkan dalam 2 jenis teori yang lain yaitu teori psikogenik dan teori biogenik. Teori psikogenik menyatakan bahwa kelainan perilaku disebabkan oleh faktor-faktor di dalam jiwa remaja itu sendiri, misalnya oleh Oedipoes Complex jika ditilik betapa dia sangat mencintai ibunya, dan mungkin pula ia menderita kelainan pada salah satu hormonnya sehingga ia bisa menjadi hiperaktif dan agresif.[22]
Cara pembagian faktor penyebab kelainan perilaku anak dan remaja dikemukakan pula oleh orang-orang lain seperti antara lain oleh Philip Graham. Philip Graham lebih mendasarkan teorinya pada pengamatan empiris dari sudut kesehatan mental anak dan remaja. Ia juga membagi faktor-faktor penyebab itu ke dalam 2 golongan (Graham, 1983), yaitu :
1.      Faktor lingkungan:
a.       Malnutrisi (kekurangan gizi)
b.      Kemiskinan di kota-kota besar
c.       Gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan lain-lain)
d.      Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang, dan lain-lain)
e.       Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan lain-lain)
f.       Keluarga yang tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain-lain).
g.      Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga:
1). Kematian orang tua.
2). Orang tua sakit berat atau cacat
3). Hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis
4). Orang tua sakit jiwa
5).Kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran, kesulitan keuangan, tempat tinggal tidak memenuhi syarat, dan lain-lain)
2.      Faktor pribadi:
a.        Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain)
b.    Cacat tubuh
c.        Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.[23]
Menurut W.A. Bonger dalam bukunya Inleiding tot de Criminologie, antara lain mengemukakan :
Kenakalan remaja sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan. Kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak mudanya menjadi penjahat, sudah merosot kesusilaannya sejak kecil barang siapa menyelidiki sebab-sebab kenakalan remaja dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan kenakalan remaja itu sendiri, yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan kejahatan orang dewasa.[24]
     Dalam formulasi yang lain, Rusli Effendi dan As- Alam, menyatakan :
Perlunya diadakan penelitian yang mendalam di daerah-daerah di Indonesia mengenai sebab-sebab kenakalan remaja. Karena tanpa penelitian tidak dapatlah diadakan penanggalan secara efesien dan efektif, lagi pula motif-motif kenakalan di berbagai daerah berbeda satu sama lain.[25]

Menurut pengalaman POLRI, sebagai dikutip oleh Ninik Widiyanti dan Yullus Waskita, dalam menangani kasus yang terjadi di masyarakat dapat dikatakan banyak faktor yang turut mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja. Untuk terjadinya suatu pelanggaran maka dua unsur harus bertemu yaitu niat untuk melakukan suatu pelanggaran dan kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut. Jika hanya ada salah satu dari kedua unsur tersebut di atas maka tidak akan terjadi apa-apa, yaitu ada niat untuk melakukan pelanggaran tetapi tidak ada kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut, maka tidak mungkin terlaksana pelanggaran itu.[26]
H. Dadang Hawari, Psikiater mengatakan : remaja kita dalam kehidupannya sehari-hari hidup dalam tiga kutub, yaitu kutub keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi masing-masing kutub dan interaksi antar ketiga kutub itu, akan menghasilkan dampak yang posisif maupun negatif pada remaja. Dampak positif misalnya prestasi sekolahnya baik dan tidak menunjukkan perilaku antisosial. Sedangkan dampak negatif misalnya, prestasi sekolah merosot, dan menunjukkan perilaku menyimpang (antisosial). Oleh karena itu pencegahan dan penanganan dampak negatif tersebut, hendaknya ditujukan kepada ketiga kutub tadi secara utuh dan tidak partial.[27]
Raema Andreyana, menguraikan faktor-faktor yang mendukung terjadinya delinkuensi remaja, yang penulis simpulkan antara lain :
1.      Faktor keluarga, khususnya orang tua. Dalam hal ini orang tua yang kurang memahami arti mendidik anak, dan yang begitu sibuk bekerja.
2.      Hubungan suami istri yang kurang harmonis
3.      Faktor lingkungan
4.      Faktor sekolah, termasuk di dalamnya guru, pelajaran, tugas-tugas sekolah dan lain-lain yang berhubungan dengan sekolah.[28]
Salah seorang ahli kriminologi di Indonesia, Soejono dirdjosisworo, pada intinya membagi sebab musabab kenakalan remaja terdiri dari :(1) sebab intern yang terdapat dalam diri si anak; (2) sebab eksteren yang terdapat di luar diri si anak.
Ad. 1. sebab intern yang terdapat dalam diri si anak, terdiri dari faktor intelegensia (kecerdasan), faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor kedudukan dalam keluarga, faktor kekecewaan dan konpensasi anak-anak yang mengalami kekecewaan dan faktor kejiwaan.
Ad. 2. sebab eksteren yang terdapat di luar diri si anak, meliputi keadaan rumah tangga, faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor pergaulan dan faktor mass media.[29]
Sudarsono menguraikan sebab-sebab kenakalan remaja yang oleh penulis disimpulkan sebagai berikut : kenakalan remaja akan muncul karena beberapa sebab, baik karena salah satu maupun bersamaan, yaitu keadaan keluarga, keadaan sekolah dan keadaan masyarakat.[30]

E.      Kemitraan Orang Tua dalam Penanggulangan Juvenile Delinquency

Hubungan orang tua dan anak dapat juga dilihat dari status sosial orang tuanya. Dalam karyanya yang berjudul “Social Class and Parent Child Relationship” (kelas Sosial dan Hubungan Orang Tua Anak) dikemukakan oleh Melvin Kohn bahwa orang tua pada lapisan pekerja dan lapisan menengah mempunyai keinginan berbeda mengenai sifat-sifat yang ingin mereka lihat pada anak mereka. Para orang tua lapisan pekerja, ditekankan pentingnya anak menjadi seorang penurut, perwujudan kerapian bagi orang lain, dan pentingnya keteraturan diwujudkan. Sementara itu, orang tua dari lapisan menengah lebih menekankan pentingnya mengembangkan sifat-sifat ingin tahu, kepuasan atau kebahagiaan pada anak, perhatian pada orang lain, dan hal-hal yang ada di sekitarnya.
Anggapan orang tua terhadap anak yang berbeda-beda inilah yang kemudian mewarnai  hubungan antara orang tua dan anak. Dalam kedua lapisan di atas, terdapat perbedaan sikap orang tua dalam memberikan sanksi dalam mendidik anak. Bila anak bersalah, orang tua pekerja lebih banyak menggunakan sanksi fisik dibanding dengan orang tua lapisan menengah yang lebih mengadakan imbauan terhadap penalaran anak.[31]
Orang tua pekerja yang memberikan sanksi yang berorientasi pada ketaatan disebut dengan sanksi represif, dan orang tua lapisan menengah yang berorientasi pada adanya imbauan disebut dengan sanksi partisipasi. Sanksi yang represif menekankan pada hubungan  terhadap perilaku yang salah, sedangkan sanksi yang partisipasi memberikan imbalan terhadap perilaku baik.
Hubungan yang dibina antara orang tua dan anak kelas pekerja, yang menggunakan cara memberi sanksi yang represif, dilakukan dengan cara perintah dan melalui isyarat tertentu yang sifatnya nonverbal communication. Adapun bagi orang tua kelas menengah, hubungan antara anak dibangun dengan komunikasi dua arah yang sifatnya verbal.
Komunikasi bagi orang tua kelas pekerja menuntut anak untuk memperhatikan keinginan orang tuanya, sedangkan bagi orang tua kelas menengah, komunikasi antara anak dan orang tua dilakukan dengan cara memperhatikan keinginan anak.[32]
Sementara itu status pendidikan orang tuapun sangat mempengaruhi hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang berpendidikan rendah cenderung lebih tegas dalam memisahkan hubungan dan peranan anak laki-laki dan perempuan. Sebaliknya mereka yang berpendidikan lebih tinggi memperlakukan anak perempuan dan anak laki-laki secara egaliter.
Dengan demikian, hubungan orang tua dan  anak ditentukan cara orang tua memosisikan anaknya dan kedudukan (status) orang tuanya di tengah-tengah masyarakat.
Fenomena hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dan remaja telah lama menjadi kekhawatiran masyarakat diberbagai belahan dunia. Ada suatu asumsi yang masih perlu diuji keabsahannya bahwa orang tua dan para remaja berada dalam pertentangan yang lebih sering terjadi pada bangsa-bangsa moderen dibandingkan dengan kurun waktu yang lalu. Padahal para remaja para remaja memiliki persamaan dengan orang tua dalam politik, moral, selera makanan dan pakaian. Namun entah mengapa dalam hubungannya dengan orang tua, pertentangan lebih dominan mewarnai hubungan mereka.[33]
Banyak perspektif yang berusaha menjelaskan terjadinya ketegangan antara orang tua dan remaja. Mulai dari analisis menurunnya dominasi orang tua dan hilangnya wibawa institusi pendidikan beserta gurunya.
Pada bagian ini, ketegangan orang tua dan remaja didasarkan atas pemikiran pendekatan konflik dari Kingsley Davis, yang dilatar- belakangi oleh adanya perbedaan di antara dua generasi tersebut.
Remaja adalah generasi yang berumur 15 tahun sampai 20 tahun. Apabila mereka bersekolah,  batasannya adalah mereka yang belajar di SLTP, SLTA, dan tahun-tahun awal memasuki perguruan tinggi.[34]
Perbedaan dan pertentangan antara remaja dan orang tua secara universal disebabkan adanya perubahan sosial yang cepat. Melalui perubahan itu, terciptalah konflik tersebut karena adanya alasan perbedaan yang sifatnya instrinsik dan perbedaan yang sifatnya ekstrinsik.
Orang tua dan remaja berada dalam situasi yang berbeda. Mungkin saja orang tua berada dalam situasi E, sedangkan remaja berada pada situasi Bahwa, atau bisa juga perbedaan itu terjadi karena pada masa orang tua yang berada pada situasi Bahwa, tidak sama dengan remaja pada situasi sekarang.
Masalah-masalah yang menyebabkan terjadinya konflik antara remaja dan orang tua, muncul karena pengaruh dari teman bermain. Pada masa ini teman sebaya memiliki peranan yang sangat dalam mempengaruhi pola perilaku seseorang. Pada saat ini, ketergantungan remaja dan orang tua berkurang, terutama ketergantungan secara fisiologis (fisik). Ketergantungan mereka beralih kepada teman sebaya. Hal ini disebabkan mereka sedang memulai citra dirinya yang sesuai dengan dunia dewasa. Mereka membutuhkan penerimaan dari dunia luarnya, dalam hal ini adalah lingkungan di luar keluarganya.
Pada saat lain, orang tua tidak begitu saja menerima perubahan orientasi remaja. Mereka masih merasa memiliki otoritas dalam mengatur anak-anaknya. Apalagi bila peran dan pendekatan orang tua terhadap remaja menggunakan pola pendekatan “asal sesuai dengan keinginan bapak.” Tentu saja remaja akan menganggap bahwa orang tua bukan lagi satu-satunya teman yang bisa diajak berbicara.
Selain itu, konflik remaja dan orang tua juga terlihat dalam masalah hubungan antarlawan jenis. Untuk memulai pengembaraan aspek biologisnya, remaja mulai mempunyai teman lawan jenis (pacar). Hubungan dengan pacarnya terkadang sampai pada batas hubungan pranikah. Sulit dibayangkan bila hubungan antarlawan janis hanya terbatas pada hubungan perkenalan.[35] Bagi sebagian remaja, pacaran mungkin merupakan sikap yang kurang religius, kurang konformis, kurang dewasa, impulsif, manipulatif, dan cinta monyet.
Masalah hubungan remaja dengan lawan jenis telah diteliti oleh Sri Herlyanti dalam skripsi yang berjudul,”Pandangan Orang Tua dan Remaja mengenai Pemilihan Sekolah dan Kegiatan Belajar Sekolah, Aktivitas dan Pergaulan”. Berdasarkan penelitiannya, tingkat variasi yang signifikan antara pacaran pada masa SLTA sebanyak 62 % responden (para ibu) tidak menyetujui anaknya berpacaran pada tingkat SLTA, sedangkan 96 % siswa SLTA setuju bila mereka memulainya pada masa SLTA.[36] 
Selain itu, faktor penting lainnya yang mempengaruhi hubungan antara remaja dan orang tua ialah perbedaan fisiologis, psikososial dan otoritas orang tua dan anak.[37]
Dengan demikian, terjadinya konflik antara orang tua dan remaja disebabkan perbedaan cara pandang orang tua di satu sisi dan perbedaan visi lainnya pada remaja.     

                                                        -***-





1.Suami berkewajiban memberikan  perlindungan dan fasilitas kepada istrinya dan kebutuhan hidup lainnya, sedangkan istri mengurusi suami. Dalam bahasa Sunda, sering terdengar ucapan istri kepada suaminya dengan ungkapan pun lanceuk ( kakak saya ). Demikian pula dikalangan orang Betawi, istri memanggil abang kepada suaminya. Lebih lanjut dapat dilihat Suwarsih Warnaen dkk, Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, Penelitian Tahap II: Konsistensi dan Dinamika. Bandung, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987, hlm. 163-164.
[2].Sebuah jenis hubungan antara suami istri diilhami oleh tulisan Letha Dawson Scanzoni dan John Scaonzoni dalam Men, Women, and change: A Sociology of Marriage and Family, New York: McGraw  Hill Book Company, 1981 hlm. 81. Mereka menyebutkan empat macam pola perkawinan, yaitu owner property, head complement, senior yunior partner, and equel partner(merasa memiliki kekayaan, merasa sebagai pemimpin yang saling melengkapi, menjadikan tua atau muda sebagai teman, dan adanya persamaan ketika menjadikan keduanya sebagai kawan).
[3] Papanek (1979) sebagaimana dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) menggambarkan dukungan istri dalam bentuk memperhatikan pakaian, membantu mengumdang relasi mengajarkan anak-anak mengenai nilai – nilai yang baik dan terlibat dalam politics of status maintenance. Lindah Thompson dan Alexis Walker, “Gender in Familias:Women and Men in Marriage, work and Parenthood,” dalam Journal of Marriage and Family 1989, hlm. 845-871.
[4] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta, 1996, hlm. 1.
[5] Arthur T. Jersild, Judith S. Brook, dan David W. Brook; The Psychology of Adolescence.  ( edisi ketiga ) Macmillan Publishing Co., Inc New York, 1978 hal 85
[6] Lihat misalnya; ibid. hlm 94, 95,111 dan 115.
[7] Elizabeth B. Hurlock; Development Psychology. ( Edisi ketiga ), Mc Graw Hill Book Company, New York ; 1968, hlm. 12.
[8] Ny. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa; Psikologi Remaja BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1981, hal. 15-16.
[9] Susilo Windradini; Psikologi Perkembangan II (Masa Remaja) Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1981, hal. 1.
[10] Winarno Surachmad; Psikologi Pemuda, penerbit Jenmars, Bandung, 1977, hal.41-44.
[11] Kwee Soen Liang; Masa Remaja dan Ilmu Jiwa Pemuda, Jenmars, Bandung, 1980, hal 11.
[12] Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, cet 5, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 2003, hlm.6.
[13] Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hlm 209.
[14] Petter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesian Dictionary, Modern Engglish Press, tt, hlm. 300.
[15] John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (An Engglish-Indonesian Dictionary), Cet 21, PT Gramedia Jakarta, 1995, hlm.339
[16] Yayasan Dana Buku Franklin, Ensiklopedi Umum. Jakarta, 1991, hlm. 472.
[17] Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Transito Bandung, 1977, hlm.292.
[18] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 200
[19] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet 3, UI Press, 1981, hlm.395-396
[20] Soerjono Soekanto, op.cit, hlm:368-369.
[21] Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 385-386
[22] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja,cet. 7 Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,hlm.206.
[23] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid. hlm. 207.
[24] W.A. Bonger, Inleiding tot de Criminologie, (terj. R.A. Koesnoen), cet 2, PT. Pembangunan, Jakarta,1983, hlm.139.
[25] Lembaga Kriminologi Fakultas Hukum UNDIP, Laporan Seminar Kriminologi III, Semarang, 1977, sebagaimana dikutip oleh Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Galia Indonesia,1983, hlm.139.
[26] Ninik Widiyanti dan Yullus Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.116
[27] H.Dadang Hawari, Psikiater, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, cet 8, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1999, hlm.235.
[28] Raema Andreyana dalam Kartini Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, Ed. I, cet 2, CV. Rajawali, Jakarta, 1991. hlm.116-118.

[29] Soejono Dirdjosisworo, Bunga Rampai Kriminologi, Armico, Bandung, 1985, hlm.35-41
[30] Sudarsono, Etika Islam  tentang Kenakalan Remaja, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm.19-32
[31] Melvin L. Kohn, Social Class and Parent Child Relationship” dalam Stein, Peter J. dkk  The Family Function Conflicts and Symbols, Reading Mass, 1977.
[32] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi , Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta 1993,hlm 181-183
[33] Pernyatan ini didasarkan pada tulisan Kingsley Davis, The Sociology of Parent Youth Conflik sebagaimana dikutip oleh William J. Goode dalam, The Family, Terj Laila Hanoum, Bumi aksara, 1995 hlm.160.
[34] Toenggoel P. Siagian, “Pendekatan Pokok dalam Mempertimbangkan Remaja Masa Kini” dalam Prisma, Nomor 9 Tahun XIV 1985.
[35] Sebagian masyarakat dunia, memperbolehkan anak muda untuk mencari  pengalaman hubungan seksual sebelum menikah. Mereka tidak lagi memperdulikan keperawanan, bahkan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang menggelikan. Tujuan utamanya ialah menentukan kesuburan seorang gadis. Apabila ia mengandung, berarti ia siap menikah. Kegiatan seperti itu, membuatnya aman dan tidak membahayakan. Hurton and Hurt, Sosiologi, terj. Aminuddin Ram  dan Tita Sobari, Erlangga, 1996, hlm. 274-275.
[36] Sri Herlyanti, Pandangan Orang Tua dan Remaja Mengenai Pemilihan Sekolah dan Kegiatan Belajar Sekolah, Aktivitas dan Pergaulan. Skripsi FISIP UI, Jakarta, 1989.
[37] Orang tua dan remaja dalam keluarga  memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan itu kemudian memicu konflik karena adanya perbedaan wewenang dan kekuasaan antara remaja dan orang tua. Orang tua memiliki otoritas yang luas, sedangkan remaja, dalam batas-batas tertentu masih bergantung pada orang tua sehingga otoritasnya terbatas.

0 Response to "KEMITRAAN ORANG TUA DALAM MENANGGULANGI JUVENILE DELINQUENCY"

Post a Comment