MODEL
PEMBELAJARAN LEARNING BY DOING DAN PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK
A. MODEL PEMBELAJARAN LEARNING BY DOING
- Dasar dan Tujuan Model Pembelajaran Learning by Doing
Belajar bagi kehidupan manusia
menjadi bagian yang sangat penting, karena manusia diciptakan sebagai pengelola
dunia (khalifah fil ardi). Secara bertahap mereka akan mengalami fase
pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman. Sebagai ilustrasi terdekat adalah
bayi manusia yang dilahirkan, jika tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa
yang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu mengembangkan
naluri/intrinsik dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya tanpa pengaruh dari luar.[1]
Beberapa pendapat tentang
pengertian belajar banyak disebutkan, diantaranya, Hilgard dan Bower dalam
bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto dalam
Psikologi Pendidikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman
berulang-ulang dalam situasi tersebut, dimana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau
keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan
sebagainya).[2]
Lebih lanjut Piaget berpendapat seperti yang disadur Dimyati dan Mudjiono bahwa
pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus
menerus dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi
intelek semakin berkembang. Pengetahuan dibangun atas dasar tiga bentuk, yaitu
pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.
Sedangkan prosesnya didasarkan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan
konsep, dan aplikasi konsep. Fase eksplorasi mengarahkan siswa mempelajari
gejala dengan bimbingan, fase pengenalan konsep adalah mengenalkan siswa akan
konsep yang berhubungan dengan gejala, sedangkan fase aplikasi konsep, siswa
menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.[3]
Uraian tersebut merupakan proses
internal yang kompleks dan melibatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subyek, yaitu dari siswa dan dari
guru. Siswa secara lagsung mengalami proses mental dalam menghadapi bahan
belajar berupa; keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang
telah terhimpun dalam literatur. Proses belajar diamati dari prilaku belajar
tentang sesuatu hal, proses ini dapat diamati secara tidak langsung, yaitu
proses internal siswa tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat dipahami oleh
guru.[4]
Sebagai upaya merancang,
mengelola dan mengembangkan program pembelajaran dalam kegiatan mengajar, guru
diharapkan mampu mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran,
diantaranya:
a. Karakteristik
tujuan, yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang ingin dicapai
atau ditinggalkan sebagai hasil kegiatan.
b. Karakteristik
mata pelajaran/bidang studi, meliputi tujuan isi pelajaran, urutan, dan cara
mempelajarinya.
c. Karakteristik
siswa, meliputi karakteristik prilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis
kelamin dan yang lain.
d. Karakteristik
guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya
dalam teknik pembelajaran, kebiasaanya, pengalaman kependidikanya dan yang
lain.
Hubungan faktor-faktor penentu
tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Peran guru dalam
hal ini adalah tetap konsisten untuk mempertimbangkan faktor eksternal (diluar
dari guru), faktor internal (dalam diri guru), sehingga teknik-teknik
pembelajaran efektif dapat dilaksanakan.[5]
Pola pengajaran guru berkaitan
erat dengan pilihan metode, jika bahan pelajaran disajikan secara menarik besar
kemungkinan motivasi belajar siswa akan meningkat.[6]
Sesuai yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa model adalah
acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[7]
Keterkaitan dengan pembelajaran sesuai ungkapan Ngalim Purwanto dalam Psikologi
Pendidikan yang mengutip pendapat Morgan dalam bukunya Introduction to Psichology
mengemukakan “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam
tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.[8]
Metode yang dimaksud didasarkan pada model pembelajaran yang dipakai, model
pembelajaran dalam hal ini diartikan sebagai acuan proses perubahan tingkah
laku yang dihasilkan melalui pengalaman.
Keterlibatan langsung anak didik
dalam proses edukatif menjadi pengalaman terarah yang diharapkan mengakar pada
diri anak didik. Karena pengalaman memberikan arah positif pada seleksi dan
organisasi terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok, inilah
upaya untuk memberikan arah baru bagi tugas sekolah.[9]
Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan
secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses
perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan
cara menyajikan berbagai masalah dan konflik riil yang dapat diatasi atau
diselesaikan oleh anak secara aktif “by doing it”.[10]
2.
Bentuk-bentuk Learning by Doing
Interaksi
edukatif selayaknya dibangun guru berdasarkan penerapan aktivitas anak didik,
yaitu belajar sambil melakukan (Learning by doing). Melakukan aktivitas
atau bekerja adalah bentuk pernyataan dari anak didik bahwa pada hakekatnya
belajar adalah perubahan yang terjadi setelah melakukan aktivitas atau bekerja.
Pada kelas-kelas rendah di Sekolah Dasar, aktivitas ini dapat dilakukan sambil
bermain sehingga anak didik akan aktif, senang, gembira, kreatif serta tidak
mengikat.[11]
Lebih
lanjut guru memposisikan sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku
anak, dengan pengamatanya tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan
dijadikan pusat minat anak. Kondisi demikian merupakan perbaikan dari paradigma
pendidikan lama, yang tidak memberikan ruang bagi siswa. Di Sekolah kuno murid
hanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey seperti yang
dikutip Muis Sad Iman dalam bukunya Pendidikan Partisipatif. Keadaan seperti
itu wajib dirubah. Anak harus bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri,
berfikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai
dengan insting yang ada padanya. Tampaklah disini anak belajar sambil bekerja
dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah Learning by doing yang
dikehendaki oleh Dewey dalam do school.[12]
Keterlibatan
siswa tidak hanya sebatas fisik semata, tetapi lebih dari itu terutama adalah
keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam
pencapaian dan perolehan pengetahuan, penghayatan dan internalisasi nilai-nilai
dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan
latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.[13]
Pada
aspek lain guru juga menkondisikan anak didik dengan menggunakan bentuk-bentuk
pengajaran dalam konteks learning by doing, diantaranya:
a.
Menumbuhkan motivasi belajar anak
Motivasi berkaitan erat dengan
emosi, minat, dan kebutuhan anak didik. Upaya menumbuhkan motivasi intrinsik
yang dilakukan guru adalah mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, dan
sikap mandiri anak didik, sedangkan bentuk motivasi ekstrinsik adalah dengan
memberikan rangsangan berupa pemberian nilai tinggi atau hadiah bagi siswa
berprestasi dan sebaliknya.
b.
Mengajak anak didik beraktivitas
Adalah proses interaksi edukaktif
melibatkan intelek-emosional anak didik untuk meningkatkan aktivitas dan
motivasi akan meningkat. Bentuk pelaksanaanya adalah mengajak anak didik
melakukan aktivitas atau bekerja di laboratorium, di kebun/lapangan sebagai
bagian dari eksplorasi pengalaman, atau mengalami pengalaman yang sam sekali
baru.
c.
Mengajar dengan memperhatikan perbedaan individual
Proses
kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memahami kondisi masing-masing anak
didik. Tidak tepat jika guru menyamakan semua anak didik karena setiap anak
didik mempunyai bakat berlainan dan mempunyai kecepatan belajar yang
bervariasi. Seorang anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh.
Kemudian menyimpulkan semua anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan
bodoh. Kondisi demikian tidak dapat dijadikan ukuran, karena terdapat beberapa
faktor penyebab anak memiliki hasil belajar buruk, antara lain; faktor
kesehatan, kesempatan belajar dirumah tidak ada, sarana belajar kurang, dan
sebagainya.
d.
Mengajar
dengan umpan balik
Bentuknya antara lain; umpan
balik kemampuan prilaku anak didik (perubahan tigkah laku yang dapat dilihat
anak didik lainnya, pendidik atau anak didik itu sendiri), umpan balik tentang
daya serap sebagai pelajaran untuk diterapkan secara aktif. Pola prilaku yang
kuat diperoleh melalui partisipasi dalam memainkan peran (role play).
e.
Mengajar
dengan pengalihan
Pengajaran yang mengalihkan
(transfer) hasil belajar kedalam situasi-situasi nyata. Guru memilih metode
simulasi (mengajak anak didik untuk melihat proses kegiatan seperti cara
berwudlu dan sholat) dan metode proyek (memberikan kesempatan anak untuk
menggunakan alam sekitar dan atau kegiatan sehari-hari untuk bertukar pikiran
baik sesama kawan maupun guru) untuk
pengalihan pengajaran yang bukan hanya bersifat ceramah atau diskusi, tetapi
mengedepankan situasi nyata.
f.
Penyusunan
pemahaman yang logis dan psikologis
Pengajaran dilakukan dengan
memilih metode yang proporsional. Dalam kondisi tertentu guru tidak dapat
meninggalkan metode ceramah maupun metode pemberian tugas kepada anak didik.
Hal ini dilakukan sesuai dengan kondisi materi pelajaran.[14]
- Peran Pengalaman dalam Pembelajaran
Berangkat
dari refleksi model pendidikan tradisional yang bersifat dogmatis yang hanya
mewariskan segala pengetahuan terhadap generasi baru tanpa didasarkan pada
pengujian kritis terhadap prinsip-prinsip fundamentalnya, tidaklah berlebihan
jika John Dewey memberikan pemikiran bahwa pendidikan harus mempunyai perubahan
orientasi, yaitu pendidikan gaya baru yang menekankan kebebasan pelajar.[15]
Alasan
tersebut didasarkan pada pandangan terhadap pendidikan gaya lama yang lebih memaksakan
pengetahuan dan jauh dari nilai
penunjukan bagi pengalaman pribadi. Anggapan terhadap ketidakpastian itu
terdapat suatu kerangka acuan yang tetap, yaitu hubungan organis antara
pendidikan dan pengalaman pribadi, atau bahwa filsafat baru mengenai pendidikan
itu mengikatkan dirinya pada sejenis filsafat empiris dan eksperimental.[16]
Pengalaman
secara kualitas dapat dibedakan menjadi dua aspek, aspek pertama ialah aspek
langsung, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan. Aspek kedua adalah
pengaruhnya atas berbagai pengalaman kemudian. Uraian terakhir merupakan
prinsip yang melandasi mengapa pendidikan berkaitan dengan pengalaman, dan
disisi lain memberikan inspirasi bagi guru untuk menata beberapa jenis
pengalaman dengan terus merangsang kegiatannya. Sehingga pendidikan yang
didasarkan atas pengalaman lebih memilih jenis pengalaman sekarang yang
berpengaruh secara kreatif dan produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya.[17]
Seiring
mengalirnya arus pengalaman yang disebut oleh John Dewey dengan “eksperience
continum” atau kesatuan rangkaian pengalaman, terdapat dua macam proses,
yaitu proses mengetahui dan proses evolusi (terjadi berangsur-angsur).
Sedangkan kelanjutan dari pengalaman mempunyai makna ganda: (a) dalam suatu
waktu tertentu, bermacam ragam aspek pengalaman saling berhubungan, (b)
sepanjang waktu pengalaman berlanjut, sebagai rentetan kejadian.[18]
Disinilah proses refleksi pengalaman berlangsung, sehingga pengalaman yang kurang
berpihak dan kurang menguntungkan bagi pedagogis akan dieliminir untuk kemudian
mencoba mencipatakan pengalaman yang sama sekali baru.
Keberadaan
pengalaman dalam pendidikan didasarkan pada kebiasaan, jika ditinjau dari segi
biologis ciri dasar dari kebiasaan adalah bahwa setiap pengalaman yang
diperagakan dan dialami akan mengubah orang yang bertindak dan menjalani
pengalaman tersebut, sementara modifikasinya mempengaruhi kualitas seluruh
pengalaman berikutnya. Prinsip ini meliputi proses pembentukan berbagai sikap
emosional dan intelektual, yaitu kepekaan dasar dan segala cara menanggulangi
serta menanggapi semua situasi yang kita jumpai dalam hidup.[19]
Terkait
dengan pola pembelajaran anak TK, pengalaman menjadi faktor yang tak
terpisahkan. Pendidikan bagi anak TK harus diintegrasikan dengan lingkungan
kehidupan anak yang banyak menghadapkan dengan pengalaman langsung. Lingkungan
kehidupan anak dalam kelompok, banyak memberikan pengalaman bagaimana cara
melakukan sesuatu yang terdiri dari serangkaian tingkah laku.
Dengan
demikian penggunaan metode proyek yang didasarkan pada gagasan John Dewey
tentang “learning by doing” sangat mungkin diterapkan, karena metode
proyek merupakan salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan
menghadapkan anak dengan persoalan sehari-hari untuk dipecahkan secara
kelompok.[20]
Dalam
pelaksanaanya, metode proyek memposisikan guru sebagai fasilitator yang harus
menyediakan alat dan bahan untuk melaksanakan “proyek” yang berorientasi pada
kebutuhan dan minat anak dan menantang anak untuk mencurahkan segala kemampuan,
ketrampilan serta kreativitasnya. Selain itu guru harus menciptakan situasi yang
mengandung makna penting untuk mengembangkan potensi anak, perluasan minat
serta pengembangan kreativitas dan tanggung jawab, baik secara perseorangan
maupun kelompok.
Situasi
yang menyenangkan juga harus diusahakan oleh guru agar tiap anak dalam melaksanakan
pekerjaan yang menjadi bagianya akan menanggapi secara positif. Perasaan yang
menyenangkan dalam menyikapi suatu kegiatan akan melahirkan kinerja yang
tinggi, dan begitu sebaliknya.[21]
- Proses Pembelajaran
Proses
pembelajaran pada hakekatnya adalah interaksi guru dengan murid dalam rangka
menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.[22]
Dengan demikian belajar mengajar harus bernilai normatif, yaitu mengandung
sejumlah nilai yang mampu mengubah tingkah laku, sikap dan perbuatan anak didik
menjadi lebih baik, dewasa, dan bersusila. Proses interaksi edukatif melibatkan
komunikasi aktif dua arah antara guru dan anak didik, aktif dalam arti sikap,
mental, dan perbuatan. Dalam sistem pengajaran dengan pendekatan ketrampilan
proses, anak didik dituntut lebih aktif daripada guru. Guru hanya berperan
sebagai pembimbing dan fasilitator.[23]
Dalam
menyusun program pengajaran guru dapat mengacu pada pendapat beberapa pakar
pendidikan, diantaranya:
a. Skinner
Skinner berpandangan bahwa
belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responya menjadi
lebih baik. Sebaliknya, apabila ia tidak belajar maka responya akan menurun.
Dalam menerapkan teori skinner, guru perlu memperhatikan dua hal penting, yaitu
pemilihan stimulus yang diskriminatif, dan penggunaan penguatan. Dengan
demikian diperlukan pemilihan respon pada ranah kognitif atau afektif.
Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan adalah:
1). Mempelajari
keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan prilaku positif dan prilaku negatif
siswa yang kemudian memperkuat prilaku positif dan mengeliminir prilaku
negatif.
2). Membuat
daftar penguat positif. Guru mencari prilaku yang lebih disukai siswa, prilaku
yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat dijadikan penguat.
3). Memilih dan
menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatanya.
4). Membuat
program pembelajaran. Berisi urutan prilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu
mempelajari prilaku, dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran,
guru mencatat prilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil.
Ketidakberhasilan menjadi catatan penting bagi modifikasi prilaku selanjutnya.[24]
b. Gagne
Gagne mengungkapkan bahwa belajar
merupakan kegiatan yang komplek dan menghasilkan kapabilitas. Kompleksitas
tersebut digambarkan bahwa belajar merupakan interaksi antara keadaaan internal
dan proses kognitif siswa dengan stimulus dari lingkungan, proses kognitif
memunculkan suatu hasil belajar yang terdiri dari:
1). Informasi
verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa,
baik lisan maupun tulisan.
2). Ketrampilan
intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan
hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Ketrampilan ini terdiri dari
diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, serta prinsip.
3). Strategi
kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya
sendiri, yaitu kemampuan penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4). Ketrampilan
motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan
koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5). Sikap adalah
kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek
tersebut.
Berkaitan dengan pembelajaran,
maka guru dapat menyusun acara pembelajaran sebagai berikut:
a) Persiapan
untuk belajar
(1) Menarik
perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau
perubahan stimulus.
(2) Memberitahu
siswa tentang tujuan belajar
(3) Merangsang
siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari)
sebelumnya.
b) Pemerolehan dan unjuk perbuatan
(1) Menyajikan
stimulus yang jelas sifatnya.
(2) Memberikan
bimbingan belajar
(3) Memunculkan
perbuatan siswa
(4) Memberikan
balikan informatif
c) Retrival dan alih belajar
(1) Menilai
perbuatan siswa
(2) Meningkatkan
retensi dan alih belajar[25]
c. Rogers
Dalam pembelajaran Rogers
mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan guru, yaitu:
1). Guru memberi
kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
2). Guru dan
siswa membuat kontrak belajar.
3). Guru
menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (discovery learning).
4). Guru
menggunakan metode simulasi.
5). Guru
mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan
berpartisipasi dengan kelaompok lain.
6). Guru
bertindak sebagai fasilitator belajar.
7). Guru
menggunakan pengajaran berprogram sebagai upaya menumbuhkan kreativitas siswa.[26]
Uraian teori belajar menurut beberap tokoh diatas
mensyaratkan adanya proses pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan
komunikasi efektif. Lebih lanjut Jerome S. Bruner memunculkan tahapan dalam
proses pembelajaran yang berorientasi pada perubahan, yaitu:
a
Tahap Informasi
Siswa yang sedang belajar
memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara
informasi yang diperoleh, ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri, ada
pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang
sebelumnya telah dimiliki.
b
Tahap Transformasi
Informasi yang telah diperoleh
harus dianalisis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak
atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Peran guru
dalam tahapan ini sangat diharapakan untuk memilih strategi kognitif yang tepat
sehingga tranformasi materi pelajaran sesuai tujuan pembelajaran.
c
Tahap Evaluasi
Menilai sejauhmana pengetahuan
yang diperoleh siswa dapat dimanfaatkan untuk memahami dan merespon terhadap
gejala-gejala lingkungan yang sedang dihadapi.[27]
Tahapan proses pembelajaran harus
disesuaikan dengan hasil yang diharapkan, motivasi belajar, minat, keinginan
untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri.
Dalam proses pembelajaran
motivasi mempunyai peranan penting, karena merupakan tenaga yang menggerakkan
dan mengarahkan aktivitas seseorang. Dengan demikian motivasi dapat menjadi
tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, guru diharapkan mampu mengkondisikan
kegiatan intelektual dan estetik agar siswa tertarik dalam proses pembelajaran.
Sebagai alat, motivasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar
siswa dalam bidang pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan.[28]
Sebagai upaya menumbuhkan
motivasi belajar siswa dibutuhkan proses pembelajaran yang tenang dan
menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreativitas guru
dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Ukuran kualitas pembelajaran dapat
dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses apabila seluruh
atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif,
baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, antara lain menunjukkan
kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya
pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, terjadinya perubahan tingkah laku
positif dalam diri anak didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar
(75%).[29]
- Materi/bahan pembelajaran
Bahan
pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam interaksi edukatif,
karenanya guru harus mempersiapkan dan menguasai bahan pelajaran pokok dan
bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran
menyangkut mata pelajaran yang diampu guru sesuai kompetensinya. Sedangkan
bahan pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat
membuka wawasan guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan
pelajaran pokok.[30]
Bahan
belajar dapat berupa benda dan isi pendidikan, diantaranya berkaitan dengan
pengetahuan, prilaku, nilai, sikap, dan metode pemerolehan. Guru berperan
selektif dalam memilih bahan pelajaran
dengan mempertimbangkan faktor berikut:
a
Bahan belajar harus sesuai dengan sasaran belajar.
Jika tidak sesuai, maka perlu bahan pengganti yang sederajat dengan program.
b
Tingkat kesukaran bahan belajar, jika bahan belajar
tergolong sukar maka guru perlu “membuat mudah”.
c
Bahan belajar harus sesuai dengan strategi belajar
mengajar. Guru harus menyesuaikan strategi belajar mengajar dengan bahan
belajar.
d
Evaluasi hasil belajar harus sesuai dengan bahan
belajar. Kemampuan pada ranah kognitif, afektif, psikomotorik harus terkandung
dalam bahan belajar.[31]
Ketika
kita menengok pada pendidikan di Taman Kanak-kanak, program kegiatan belajarnya
merupakan kesatuan program kegiatan yang utuh, yaitu berisi bahan-bahan
pembelajaran yang disusun menurut pendekatan tematik. Pendekatan tematik
diartikan sebagai organisasi dari kurikulum dan pengalaman belajar melalui
pemilihan topik. Dengan demikian bahan tersebut merupakan tema-tema yang
dikembangkan lebih lanjut oleh guru menjadi program kegiatan pembelajaran yang
operasional.[32]
Prinsip diatas menjadi dasar untuk mengembangkan kurikulum yang terintegrasi,
sebagai gambarannya adalah ketika anak belajar diluar ruangan, mereka akan
belajar segalanya.[33]
Menurut
Katz dan Chard seperti yang dikutip Soemiarti Patmonodewo dalam bukunya
Pendidikan Anak Prasekolah, guru harus mempertimbangkan beberapa kriteria dalam
memilih tema pembelajaran yaitu:
a
Keterkaitan tema yang dipelajari anak dengan
kehidupanya, dengan kata lain apa yang akan dipelajari anak harus mempunyai
arti.
b
Guru harus mengkaitkan tema dengan kemungkinan bagi
anak untuk sekaligus dapat belajar membaca, menulis dan berhitung yang
benar-benar mempunyai arti bagi anak.
c
Adanya buku-buku dan informasi lain yang dapat
mendukung dalam pemilihan tema.
d
Minat guru. Dengan keberadaan minat maka guru
menginginkan untuk memberikan bimbingan kepada anak.
e
Tema dipilih berdasarkan kurun waktu tertentu,
mungkin musim-musim yang biasanya terjadi dalam satu tahun.[34]
- Sarana/media Pembelajaran
Media
merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengajaran, karena
membantu guru dalam menyampaikan materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi
proses serta mutu hasil pendidikan.[35]
Media dan sumber belajar dapat ditemukan dengan mudah dalam sawah percobaan,
kebun bibit, kebun binatang, tempat wisata, museum, perpustakaan umum, surat
kabar, majalah, radio, sanggar seni, sanggar olah raga, dan televisi. Disamping
itu buku pelajaran, buku bacaan, dan laboratorium sekolah juga tersedia semakin
baik. Guru dapat memanfaatkan media dan sumber belajar dengan mempertimbangkan efektifitasnya
sebagai berikut:
a
Sejauhmana media dan sumber belajar bermanfaat dalam
mencapai sasaran belajar.
b
Sejauhmana manfaat isi pengetahuan yang terdapat
dalam surat kabar, majalah, radio, televisi, museum dan kantor-kantor untuk
pokok bahasan tertentu.
c
Apakah isi pengetahuan di kebun bibit, kebun
binatang, perpustakaan umum bermanfaat bagi pokok bahasan tertentu. Jika ya,
maka guru harus memanfaatkan dan membuat program karya wisata.[36]
Penggunaan
media/sarana pembelajaran bagi anak prasekolah harus dipersiapkan guru
sedemikian rupa, karena menyangkut kebutuhan ruang bagi masing-masing anak baik
di dalam maupun diluar ruang belajar.[37]
Disisi lain terdapat klasifikasi tentang penyiapan peralatan untuk anak usia
awal menurut area perkembanganya, yaitu:
a
Perkembangan fisik, perlengkapan penunjangnya adalah
alat panjatan, mainan beroda, balok-balok, ban, bola, sepatu tali, mute untuk
dironce, kartu dengan pola, papan keseimbangan, tangga, gunting, alat
perkayuan, alat-alat untuk main pasir, serta alat lain yang memungkinkan anak
mengembangkan koordinasi otot besar dan halus.
b
Perkembangan sosial, memerlukan alat yang
berhubungan dengan kantor pos, alat yang biasa dijual di toko kelontong, alat
rumah tangga, dan alat lain yang mendorong anak untuk bermain atau bekerja
sama.
c
Perkembangan intelektual, memerlukan alat berupa:
binatang, tanaman, alat untuk dimanipulasi, pasir, air, kayu balok, papan
titian, gelas, ukuran, alat mainan yang
berpasangan, buku, daun, bunga, puzzle, dan sebagainya.
d
Perkembangan kreativitas, memerlukan berbagai alat
gambar/lukis, berbagai macam ukuran, bentuk dan kualitas kertas, pensil
berwarna, lilin, biji-bijian, gunting, krayon, sedotan dan seterusnya.
e
Perkembangan bahasa, membutuhkan buku, tape, kartu
yang dapat mengembangkan bahasa, cerita, bermain jari-jemari, boneka, wayang,
buku buatan anak sendiri, baju, kunjungan luar, situasi sosial, bermain
pura-puta, kesempatan untuk bertemu dengan orang lain.
f
Perkembangan emosi, memerlukan alat yang dapat
membuat anak berhasil melakukan, manantang tetapi tidak membuat frustasi,
mainan yang membuat anak mampu.[38]
- Sistem evaluasi pembelajaran
Sebagai
upaya menyediakan informasi tentang baik buruknya proses dan hasil kegiatan
pembelajaran dibutuhkan penyelenggaraan evaluasi. Dalam hal ini evaluasi
mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil
belajar menekankan pada informasi tentang sejauhmana perolehan siswa dalam
mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan, sedangkan evaluasi pembelajaran
merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan
proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran yang
optimal.[39]
Penilaian
terhadap proses belajar mengajar bertujuan untuk mengambil keputusan tentang
hasil belajar, memahami anak didik, memperbaiki dan mengembangkan program
pengajaran.[40]
Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa tujuan evaluasi pembelajaran adalah
untuk mengetahui penguasaan anak didik terhadap bahan-bahan pelajaran dan
efektifitas kegiatan pengajaran.
Langkah
yang ditempuh dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar diantaranya:
a
Penilaian kelas, yaitu penilaian yang dilakukan
dengan ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir
b
Tes kemampuan dasar, yaitu untuk mengetahui
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka
memperbaiki program pembelajaran.
c
Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi,
dilakukan setiap akhir semester dan tahun pelajaran guna mendapatkan gambaran
secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didika dalam
satuan waktu tertentu.
d
Benchmarking, merupakan suatu standar untuk mengukur
kinerja yang sudah berjalan, proses, dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan
yang memuaskan. Indikasi keunggulan didasarkan pada tingkat sekolah, daerah,
atau nasional.
e
Penilaian program, penilaian ini dilakukan untuk
mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional, serta kesesuaian dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dan
kemajuan jaman.[41]
Sistem
evaluasi yang dikembangkan dalam pendidikan anak prasekolah mengacu pada
penilaian perkembangan sosial, emosional, fisik, maupun perkembangan
intelektualnya. Beberapa jenis penilaian hasil belajar anak prasekolah antara
lain:
a Pengamatan
(observasi)
Adalah suatu cara untuk
mendapatkan keterangan mengenai reaksi anak, tingkah lakunya, dan ucapanya
dengan melihat, mendengar dan mencatat dengan cermat.
b Tes yang
distandarisasi
Adalah sekumpulan butir tertentu
yang secara teliti dikembangkan untuk mengukur prestasi seseorang dalam bidang
tertentu. Pada anak prasekolah biasanya tes ini digunakan untuk menilai
kesiapan menyelesaikan tugas yang bersifat formal dan berkaitan dengan
ketrampilan yang diperlukan di sekolah.
c Tes informal
Adalah menampilkan penguasaan
anak tentang apa yang telah diajarkan guru pada masing-masing kelas, dan hasil
ini dapat digunakan untuk memperbaiki program atau kegiatan pembelajaran dalam
kelas tersebut.
d Inventori
sikap dan minat
Yaitu penilaian untuk mengetahui
informasi tentang bagaimana anak menghayati berbagai keinginan dan minat dengan
memberikan pertanyaan langsung kepada anak, pertanyaan biasanya bersifat
terbuka.
e Penilaian
diri
Adalah untuk memperoleh
keterangan tentang ketrampilan anak. Dalam hal ini digunakan checklist yang
merekam tingkah laku anak dalam situasi bermain, ketrampilan fisik sehingga
pada akhir tahun ajaran di TK sudah mampu mengumpulkan hasil karyanya di dalam
satu buku selama satu tahun.
f Penilaian
portofolio
Penilaian ini didasarkan pada
hasil berbagai pekerjaan anak, catatan guru, dan evaluasi diri yang dilakukan
anak. Guru mengumpulkan hasil kerja anak dalam beberapa tahun. Biasanya
beberapa hasil karya anak (gambar, tugas melipat, menggunting) disimpan guru
dan kemudian akan dikirimkan kepada orang tua.[42]
2.
PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK
Dari segi
bahasa kreativitas anak atau dalam bahasa Inggris “creativity” berarti
kemampuan untuk mencipta, daya cipta.[43] Sedang menurut istilah
kreativitas berarti kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni atau dalam
permesinan atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode baru.[44]
Dengan
demikian kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta produk baru, ciptaan
itu tidak seluruhnya baru, mungkin saja kombinasinya, sedangkan unsur-unsurnya
sudah ada sebelumnya. Kreativitas mempunyai ciri-ciri non kecakapan seperti
rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan pertanyaan dan selalu ingin
mencari pengalaman baru.[45] Berikut unsur-unsur dalam
kreativitas:
a.
Kemampuan
berpikir mencipta.
Dalam pengembanganya kreativitas memerlukan pikiran
yang berdaya, dalam arti menghindarkan diri dari jebakan keadaan, namun menjadi
imajinatif dalam upaya menemukan sebuah jalan keluar atas sebuah permasalahan
atau dalam upaya untuk memiliki rasa memiliki atas sebuah teka-teki.[46]
Lebih lanjut Elliot memaparkan bahwa imajinasi dan kreativitas adalah sama,
karenanya dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah masuk dalam imajinasi dalam
upaya melihat kemungkinan-kemungkinan.[47]
Pikiran untuk mencipta merupakan
esensi dari kreativitas, sebagaimana Gardner menyebut bahwa pikiran untuk
mencipta adalah sebuah frase yang mengandung dinamisme dan cakupan yang jelas.
Secara lebih gamblang, dijelaskan bahwa orang kreatif adalah:
1). Berfikir
untuk diri mereka sendiri
2). Menghabiskan
banyak waktu untuk mengintegrasikan pikiran mereka dengan apa yang ada diluar
mereka.
3). Berupaya
membuka pikiran mereka dan yang lain kepada hal baru.
4). Mengupayakan
dengan senantiasa menuju (to-ing) dan mengarahkan (fro-ing) dari
dalam diri mereka keluar.[48]
Kreativitas senantiasa membuka
diri untuk berpikir integratif berdasar pengalaman sehingga merupakan kunci
pencipta yang berhasil. Disamping itu motivasi intrinsik juga mempengaruhi
pembentukan individu kreatif. Karena karakter individu kreatif adalah mempunyai
keinginan untuk menghasilakan ide atau karya demi kepuasan diri dan tidak ada
tekanan dari luar. Pengaruh motivasi intrinsik dalam pengembangan kreativitas
berlangsung dalam kondisi-kondisi mental tertentu. Beberapa kondisi dalam diri
untuk menjadi kreatif adalah:
1). Terbuka
untuk pengalaman
2). Sebuah
tempat evaluasi internal (dalam kaitanya dengan diri seseorang itu sendiri)
3). Sebuah
kemampuan untuk bermain dengan elemen-elemen dan konsep-konsep (Kemampuan untuk
bermain).[49]
b.
Berpikir
untuk pemecahan masalah
Sebagaimana diutarakan diatas
bahwa kreativitas melibatkan imajinasi dalam berbagai situasi yang dialami,
yaitu tidak puas dengan apa yang sudah ada, namun mengupayakan
kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin termasuk sesuatu belum kita ketahui.
Sebagaimana dikemukakan Peneliti Amerika Csikszentmihalyi yang memandang
kreativitas sebagai persoalan pemecahan masalah dan penemuan masalah.[50]
Dalam memperkenalkan proses
pemecahan masalah pada anak kecil, kita harus menggunakan materi yang dekat
dengan kehidupannya. Beberapa proses yang harus dikembangkan adalah:
1. Tahap
orientasi, siswa diminta mendaftar proyek yang ingin dikerjakan secara kelompok
atas masalah di dalam kelas yang mereka rasakan perlu dipecahkan. Guru dapat
memilih satu topik atau masalah untuk dibahas bersama, bergantung pada situasi
kelasnya.
2. Tahap
persiapan, tahapan ini berkaitan dengan fakta yang telah diketahui dan
informasi yang masih diperlukan. Hal tersebut penting untuk membahas bersama
perbedaan antara fakta dan pendapat, fakta dan dugaan, fakta dan desas-desus,
kemudian meminta siswa untuk melihat sub-masalah yang mereka ungkapkan dan
menentukan mana yang fakta.
3. Tahap
penggagasan, siswa diminta mengemukakan pertanyaan kreatif dari sub-masalah
yang mereka temukan atau dari informasi faktual.
4. Tahap
penilaian, siswa diminta memunculkan kriteria atas gagasan mereka. Ketika
mengajukan setiap kriteria gunakan pernyataan “dampaknya terhadap”, hal ini
membantu siswa memahami arti kriteria.
5. Tahap
pelaksanaan, dalam melaksanakan gagasan terbaik siswa perlu merancang rencana
tindakan, yaitu menentukan apa yang harus pertama dilakukan, bagaimana membagi
tanggung jawab, dan memberikan pengalaman yang bermakna bagi mereka.[51]
c.
Model
pembelajaran kreatif
Dalam pengembangan kurikuilum,
model-model dapat digunakan untuk menentukan materi (konten) pembelajaran dan
metode-metode dalam pencapaian materi tersebut, dalam arti bahwa model
memberikan kerangka untuk menentukan pilihan. Dengan menguasai berbagai model
bermanfaat dalam situasi pembejaran tertentu.
Talents dan taylor mengemukakan
bahwa tidak hanya bakat akademis yang perlu dipupuk dan dihargai dalam sekolah,
dalam modelnya dapat dibedakan enam talenta yang dapat dikembangkan di
sekolah. Seperti yang tertuang dalam curriculum
guide, program disusun untuk mengajar konten akademik, kreativitas,
ketrampilan merencanakan, komunikasi, prediksi, dan pengambilan keputusan.
Kreativitas sebagai kemampuan
untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tak lazim,
memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan
solusi-solusi baru atau gagasan-gagasan baru, yang menunjukkan kelancaran,
kelenturan, dan orisionalitas dalam berpikir.
Merencanakan mencakup elaborasi
yang mempertimbangkan rincian dalam melaksanakan sesuatu. Menyusun atau
mengorganisasi bahan, waktu, dan tenaga.
Komunikasi meliputi kelancaran
dengan kata, dalam ekspresi (ungkapan) dan dalam asosiasi.
Prediksi membutuhkan antisipasi
konseptual, kesadaran sosial, dan menganalisis kriteria yang berhubungan.
Pengambilan keputusan meliputi
evaluasi eksperimental, evaluasi logis, dan pertimbangan.[52]
Sehubungan pengembangan kreativitas anak, perlu meninjau
empat aspek dari kreativitas, diantaranya:
a.
Penyediaan
ruang untuk mencipta
Pengembangan kreativitas
memerlukan komitmen atas ruang baik secara fisik maupun konsep. Tampilan ruang
kelas, materi dari tiap aktivitas serta lingkungan pembelajaran. Dalam ruang
kelas tersedia media pembelajaran yang mendukung anak berpikir secara independen
disetiap wilayah kurikulum, yaitu dengan kemudahan mengakses materi-meteri,
buku, komputer, atlas, permainan (games), materi-materi konstruksi
(bentuk), teka-teki, materi-materi kerajianan dan seterusnya. Anak mampu
bekerja sama dengan orang lain, baik secara berpasangan maupun kelompok.
Secara konseptual ruang kelas
dikondisikan dengan prinsip memperbolehkan adanya kesalahan-kesalahan dan
menganjurkan eksperimen, bersifat terbuka dan berani mengambil resiko.[53]
b. Pemahaman
pribadi
Kreativitas merupakan ekspresi
dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari ungkapan
pribadi yang unik diharapkan muncul ide-ide baru dan produk-produk inovatif.
Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat menghargai keunikan pribadi dan bakat
masing-masing anak didiknya.[54]
c.
Kondisi
lingkungan sekolah
Lingkungan yang paling
berpengaruh dalam membentuk kreativitas anak adalah sekolah, karena didalamnya
terjadi proses interaksi edukatif yang mengharuskan siswa mengikuti sistem
aturan yang ada. Sekolah yang baik akan mengedepankan kenyamanan belajar bagi
siswanya.
Disamping itu guru memberi dampak
yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tetapi juga pada sikap
terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Dalam upaya memunculkan,
merangsang, dan memupuk pertumbuhan kreativitas guru harus menata sikap dan
falsafah mengajarnya.
1). Sikap Guru
Upaya guru dalam mengembangka
kreativitas siswa adalah dengan mendorong motivasi intrinsik. Semua anak harus
belajar bidang ketrampilan di sekolah, dan banyak anak memperoleh ketrampilan
kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif. Motivasi intrinsik
akan tumbuh, jika guru memungkinkan anak untuk diberi otonomi sampai batas
tertentu di kelas.[55]
Dalam hal ini guru harus
mengkondisikan ruang pembelajaran yang nyaman, ukuranya adalah siswa merasa
tidak tertekan atau tegang sehingga motivasi internal tumbuh, ketegangan
kurang, dan belajar konseptual lebih baik. Pendekatan yang dipilih adalah tidak
diawasi tapi diarahkan (non-controlling but directed), sehingga anak
melihat dirinya sebagai lebih kompeten di sekolah dan mempunyai rasa harga diri
yang lebih tinggi dari pada anak-anak yang melihat lingkungan kelas mereka
sebagai mengawasi. Penekananya lebih pada belajar bukan pada penilaian, dengan
sikap ini guru betul-betul dapat menjadi kolaborator dalam belajar.[56]
2). Falsafah
mengajar
Falsafah mengajar yang mendorong
kreativitas anak secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
a). Belajar
adalah sangat penting dan sangat menyenangkan
b). Anak patut
dihargai dan disayangi sebagai pribadi yang unik
c). Anak hendaknya
menjadi pelajar yang aktif. Mereka perlu didorong untuk membawa pengalaman,
gagasan, minat, dan bahan mereka di dalam kelas. Siswa diberi kesempatan untuk
membicarakan bersama dengan guru mengenai tujuan bekerja/belajar setiap hari,
dan perlu diberi otonomi dalam menentukan bagaimana mencapainya.
d). Anak perlu
merasa nyaman dan dirangsang di dalam kelas sehingga tidak ada tekanan atau
ketegangan.
e). Anak harus
mempunyai rasa memiliki dan kebanggaan di dalam kelas. Mereka perlu dilibatkan
dalam merancang kegiatan belajar dan boleh membawa bahan-bahan dari rumah.
f).
Guru merupakan nara sumber, bukan polisi atau dewa.
Anak harus menghormati guru, tetapi merasa aman dan nyaman dengan guru.
g). Guru memang
kompeten, tetapi tidak perlu sempurna.
h). Anak perlu
merasa bebas untuk mendiskusikan masalah secara terbuka, baik dengan guru
maupun dengan teman sebaya. Ruang kelas adalah milik mereka juga dan mereka
berbagi tangung jawab dalam mengaturnya.
i).
Kerja sama selalu lebih daripada kompetisi.
j).
Pengalaman belajar hendaknya dekat dengan pengalaman
dari dunia nyata.[57]
d. Kondisi lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan
utama dalam pendidikan anak, sangat terlihat ketika bahasa ibu mempunyai
pengaruh kuat dalam diri anak. Begitu juga dalam hal kreativitas, anak memiliki
kecenderungan meniru apa yang sering dia lihat dalam keseharian. Seperti yang
dikutip Utami Munandar dari konsep Amabile bahwa sikap yang harus dibangun
orang tua dalam mendorong kreativitas anak, diantaranya:
1. Kebebasan,
yaitu tidak otoriter, tidak selalu mau mengawasi anak, dan tidak terlalu
membatasi kegiatan anak.
2. Respek,
orang tua menghormati anak sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka, dan
menghargai keunikan anak. Sehingga secara alamiah anak mampu mengembangkan
kepercayaan diri untuk berani melakukan sesuatu yang orisinil.
3. Kedekatan
emosional yang sedang, anak perlu merasa bahwa ia disayang, tetapi tidak
menjadi terlalu tergantung pada orang tua. Karena pada dasarnya memberi
kebebasan anak untuk tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan pendapat
atau minat dapat mendorong munculnya kreativitas.
4. Prestasi
bukan angka, menghargai prestasi anak dalam arti mendorong anak anak untuk
berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya-karya yang baik. Sedangkan orang
tua tidak terlalu menekankan untuk mencapai angka atau nilai/peringkat tinggi.
Dalam hal ini imajinasi dan kejujuran lebih ditekankan daripada mencapai angka
tertinggi.
5. Orang tua
aktif dan mandiri, orang tua merasa aman dan yakin tentang diri sendiri, tidak
memperdulikan status sosial, dan tidak terlalu terpengaruh oleh tuntutan sosial.
Mereka juga amat kompeten dan mempunyai banyak minat, baik di dalam maupun di
luar rumah. Peran orang tua disini sebagai model utama bagi anak.
6. Menghargai
kreativitas, orang mendorong anak melakukan hal-hal kretaif.[58]
Kaitannya dengan pengajaran Agama
Islam pada anak, pemberian teladan yang baik memang diperlukan. Anak akan
berusaha meniru orang tua dalam hal kecil maupun besar, dan mengambil jalan
hidupnya mengikuti prilaku, kebiasaan serta sifat orang yang disukainya.[59]
Peran orang tua dalam pendidikan anak sangat dominan, sesuai Hadits Nabi
Muhammad SAW :
Sebagai ilustrasi terdekat adalah
ayah mengajak anak laki-lakinya pergi ke masjid untuk menjalankan sholat
jum’at. Dengan ajakan tersebut paling tidak anak dikenalkan dari dekat tentang
rumah suci serta kegiatan yang dilakukan orang didalamnya, biasanya si anak
terheran-heran, penuh tanda tanya dalam hati, misalnya tentang bangunan masjid,
suara adzan yang menggema, orang-orang yang hilir-mudik mengambil air wudlu,
mihrabnya yang anggun di sebelah pengimaman, dan banyak lagi pemendangan
menarik yang mengusik akal-budinya.
Memang belum banyak yang dapat
diharapkan dari anak pada usia dini, minimal ada upaya pengenalan dan
pembiasaan serta pemberian teladan agar anak menjadi terbiasa dan akhirnya
mencintai masjid beserta amaliah keagamaannya.[60]
[1] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan,
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, Hlm. 83
[2] Ibid., Hlm. 84
[3] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan
Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hlm. 13-14
[4] Ibid., Hlm. 18
[5] Ibid., Hlm. 132
[6] Syaiful Bahari Djamarah, Guru dan Anak
Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 185
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 885
[8] Ngalim Purwanto, Op. Cit., Hlm. 84
[9] John Dewey, Experience
and Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan dan Pengalaman,
Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 19
[10] Ibid., Hlm. 133-134
[11] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm.
186
[12] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif:
Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria Insania
Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 73-74
[13] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm.
46
[14] Syaiful Bahari Djamarah, Op. Cit.,
Hlm. 186-187
[15] John Dewey, Op. Cit., Hlm. 9
[16] Ibid., Hlm. 11
[17] Ibid., Hlm. 15
[18] Muis Sad Iman, Op. Cit., Hlm. 69
[19] John Dewey, Op. Cit., Hlm. 24
[20] Moeslichatoen R, Metode Pengajaran di
Taman Kanak-kanak, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 137
[21] Ibid., Hlm. 138-139
[22] Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di
Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hlm. 36
[23] Syaiful Bahri Djamarah, Op Cit., Hlm.
12
[24] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm.
9-10
[25] Ibid., Hlm. 11-12
[26] Ibid., Hlm. 17
[27] S. Nasution, Berbagai
Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, Hlm.
9-10
[28] Dimyati dan
Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 43
[29] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep,
Karakteristik, dan Implementasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, Hlm.
101-102
[30] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm.
17-18
[31] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm.
34
[32] Soemiarti
Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000,
Hlm. 68
[33] Ibid., Hlm. 71
[34] Ibid., Hlm. 71
[35] Oemar Hamalik, Psikologi
Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002, Hlm. 65
[36] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm.
36
[37] Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm.
154
[38] Ibid., Hlm. 156-157
[39] Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm.
190
[40] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm.
209
[41] E. Mulyasa, Op. Cit., Hlm. 103-105
[42] Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm.
139-146
[43] Departemen
Pendidikan Nasional, Op. Cit., Hlm. 427.
[44] C.P. Caplin, Kamus
Lengkap Psikologi, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, Hlm. 117.
[45] Conny Setiawan
dkk., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Gramedia,
Jakarta, 1984, Hlm. 7
[46] Anna Craft, Creativity Across the Primary
Curriculum, Alih Bahasa M. Chairul Annam, Membangun Kreativitas Anak,
Inisiasi Press, Depok, 2000, Hlm. 2
[47] Ibid., Hlm. 11
[48] Ibid., Hlm. 19
[49] Ibid., Hlm. 21
[50] Ibid., Hlm. 53
[51] Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas
Anak Berbakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 212-213
[52] Ibid., Hlm. 168
[53] Anna Craft, Membangun Kreativitas Anak,
terj. Syafinuddin Al-Madari dan M. Chairul Annam, Inisiasi Press, Depok, 2000,
Hlm. 193
[54] Utami Munandar, Op. Cit., Hlm. 45
[55] Ibid., Hlm. 110
[56] Ibid., Hlm. 111
[57] Ibid, Hlm. 111-112
[58] Utami Munandar, Op. Cit., Hlm. 92-93
[59] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan
Islam Sejak Dini, Terj. Arum Titisari, A.H. Ba’adillah Press, Jakarta,
2002, Hlm. 92-93
[60] Imam Bawani, Ilmu
Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam, Bina Ilmu, surabaya,
1990, Hlm. 107
0 Response to "MODEL PEMBELAJARAN LEARNING BY DOING DAN PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK"
Post a Comment