GAGASAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ERA TAHUN 1990-2000

EKSPLORASI GAGASAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ERA TAHUN 1990-2000




A.    Kondisi Umum Pendidikan tahun 1990-2000
Secara umum di era tahun 1990 hingga tahun 2000  bangsa Indonesia tidak mengalami perubahan “berarti”. Meski pemerintahan berganti tiga kali, perubahan sosial sebagai dampak dari kebijakan pemerintah tidak banyak. Agaknya, sepanjang kurang lebih sepuluh tahun hanya ada tiga fenomena besar, yakni kebijakan referendum untuk Timor Timur yang berimplikasi lepasnya propinsi yang ke-27 tersebut, munculnya UU No.2 tahun 1999 yang berujung pada menjamurnya partai-partai politik serta dikeluarkannya UU No. 22 tentang otonomi daerah.
Di antara ketiga kebijakan tersebut, Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah-lah yang memiliki imbas langsung pada dunia pendidikan. Otonomi daerah secara langsung berimbas pada adanya otonomi dalam bidang pendidikan.
Otonomi pendidikan adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, kabupaten mempunyai otonomi yang seluas-luasnya, propinsi mempunyai wewenang di dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum. Antara Pemda Kabupaten dengan Pemda Propinsi terdapat hubungan koordinatif dan konsultatif, sedangkan antara Pemda Propinsi dan pemerintah pusat terdapat hubungan akuntabilitas vertikal.
Melalui Undang-undang ini kepengurusan pendidikan diserahkan kepada Pemda Kabupaten. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh di dalam pengelolaan pendidikan yang lebih dekat kepada kebutuhan masyarakat daerah.[1]
Dalam hal ini antara masyarakat dan Pemda Kabupaten terdapat hubungan akuntabilitas horizontal, artinya masyarakat dan Pemda dua-duanya bertanggung jawab terhadap the stake holder  (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda berkewajiban untuk membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya efisien dan bermutu.[2]
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah tersebut, perubahan di bidang pendidikan tampak pada diberlakukannya kurikulum 1994 untuk sekolah dasar dan menengah yang kemudian disempurnakan pada tahun 1999. Untuk tingkat perguruan tinggi perubahan kurikulum terjadi pada tahun 1995 dan disempurnakan tahun 1997.
Perubahan lain di bidang pendidikan adalah diubahnya nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Diknas). Perubahan ini terjadi pada waktu pemerintahan Abdurrahman Wahid.[3]
Sementara itu, selama kurun waktu tahun 1990-an hingga tahun 2000 wacana/diskursus pendidikan Islam di Indonesia cukup marak. Beberapa isu- besar yang diungkap diantaranya adalah persoalan hubungan Pendidikan Islam dengan Iptek, pendidikan Islam kaitannya dengan pendidikan nasional, persoalan-persoalan pendidikan agama Islam (PAI) serta masalah-masalah di seputar lembaga pendidikan Islam: pesantren, madrasah, IAIN dan sekolah Islam. Selain itu, terdapat pula jawaban-kreatif seputar pertanyaan klasik, “Adakah sistem pendidikan Islam ?

B.     Pendidikan Islam dalam Sorotan
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena di samping peranannya yang amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena di dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan segera.[4]
Beberapa masalah utama yang mewarnai dunia pendidikan Islam dapat diklasifikasikan dalam lima hal, yaitu :
1.    Dicotomic  yakni adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu yang berasal dari wahyu dan ilmu yang diperoleh dengan akal.
2.    Too general knowledge yaitu sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
3.    Lack of spirit inquiry atau rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan.
4.    Memorisasi yakni belajar dengan sistem hafalan (memorizing). Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan.
5.    Certificate oriented yaitu belajar yang hanya mengejar sertifikat/ijazah bukan “kualitas substansial” yang dapat diterapkan /dimanfaatkan dalam proses pembangunan.[5]
Ahmad Watik Pratiknya mengungkapkan bahwa di antara persoalan pendidikan Islam adalah tiadanya taksonomi dalam pendidikan Islam. Tentang masalah ini ia menulis:
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa taksonomi dalam sistem pendidikan apapun, memegang peranan yang sangat penting dalam keseluruhan proses pendidikan, sejak dari perencanaan, pengembangan kurikulum, implementasi dan evaluasinya. Sudah diketahui pula bahwa taksonomi Bloom (dan modifikasinya) yang menstrukturasikan perilaku manusia dalam tiga ranah (domain) yaitu: ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor, yang sudah merupakan “acuan/pedoman suci” di dunia pendidikan kita, termasuk khasanah pendidikan Islam. Walaupun dalam praktek para pendidik Islam menjumpai kesulitan (misalnya masuk ranah apakah iman, ibadah, akhlak dan sebagainya) tetapi mereka cenderung secara “membabi buta” menggunakan taksonomi Bloom tersebut sebagai instrumen dalam proses pendidikan bagaikan sesuatu yang “tabu” atau haram untuk dipersoalkan, apalagi diubah.[6]

Dalam buku Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),[7] Muzayyin Arfin mengemukakan lima problem pendidikan Islam, yaitu :
1.    Pengertian pendidikan Islam
2.    Sistem pendekatan dan orientasi
3.    Pelembagaan proses kependidikan Islam
4.    Pengaruh sains dan teknologi canggih
5.    Perencanaan dan model-model pendidikan Islam

Dalam buku yang lain,[8] Muzayyin Arifin mengidentifikasi beberapa krisis pendidikan sebagai berikut :
1.         Krisis nilai-nilai
2.         Krisis konsep tentang kesepakatan arti “hidup yang baik”
3.         Adanya kesenjangan kredibilitas
4.         Beban institusi sekolah kita terlalu besar melebihi kemampuannya
5.         Kurangnya sikap idealisme dan citra remaja kita tentang peranannya di masa depan bangsa
6.         Kurang sensitif terhadap pola kelangsungan hidup masa depan
7.         Kurangnya relevansi program pendidikan di sekolah dengan kebutuhan pembangunan
8.         Adanya tendensi dalam pemanfaatan secara naif kekuatan teknologi canggih
9.         Makin membesarnya kesenjangan si kaya dan si miskin
10.     Ledakan pertumbuhan penduduk
11.     Makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatisme yang pada gilirannya membawa ke arah materialisme dan individualisme

M. Chabib Thoha –mantan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo- mengungkapkan dua tema besar yang dihadapi pendidikan Islam yakni pendidikan Islam menyongsong abad ke-21 dan pendidikan Islam menghadapi perkembangan iptek dan trasformasi sosiokultural.[9]
Sementara itu, Hasbullah[10] mengungkapan ada tiga isu-isu besar pendidikan Islam di Indonesia, yaitu pendidikan Islam pada sekolah umum, pendidikan Islam dan hubungannya dengan IPTEK serta pendidikan Islam dalam satu sistem pendidikan nasional.
M. Noorsyam sebagaimana dikutip oleh Zuhairini dan kawan-kawan[11] mengungkapkan adanya beberapa masalah kependidikan yaitu  hakikat pendidikan, apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia, tujuan pendidikan, siapakah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, apakah hakikat pribadi manusia itu, apakah hakikat masyarakat itu, apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan ideal, bagaimana metode pendidikan yang efektif serta bagaimana penyelenggaraan pendidikan yang baik.
Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam yang juga  mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang, Ahmad Ludjito (alm.) mengungkapkan beberapa masalah pendidikan agama Islam yaitu masalah kurangnya jam pelajaran, Masalah dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum serta masalah pendidikan agama dan pendidikan pancasila. [12]
Masalah lain yang cukup memprihatinkan adalah persoalan rendahnya kualitas sekolah-sekolah Islam. Menurut Ahmad Tafsir dalam tesis magisternya, sekolah Islam secara pukul rata mutunya lebih rendah ketimbang sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh lembaga Katholik.[13]
Persoalan-persoalan yang diungkap di atas ada yang tidak pernah selesai, sudah selesai dan ada yang dalam proses penyelesaian. Problem dicotomic adalah contoh persoalan yang terselesaikan oleh Noeng Muhadjir melalui sepuluh paradigma pemikiran pendidikannya. Sementara itu, keterkaitan pendidikan Islam dan IPTEK merupakan contoh persoalan yang tidak pernah akan terselesaikan. Persoalan mutu sekolah-sekolah Islam adalah persoalan yang sedang dalam proses penyelesaian.
Dalam praktek, persoalan pendidikan Islam sebenarnya terkonsentrasi pada tiga tempat; pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga tempat tersebut masing-masing memiliki karakteristik persoalan yang berbeda serta membutuhkan jawaban dan solusi yang berbeda pula.

C.    Gagasan Pendidikan Intelektual Muslim

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa pendidikan Islam di sini diartikan sebagai pendidikan yang dikemukakan oleh seorang muslim atau tepatnya intelektual muslim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa sajakah intelektual muslim itu ? Dengan kata lain, intelektual muslim mana saja yang concern terhadap pendidikan.
Atas dasar itulah maka perlu kiranya dibuat semacam kriteria tentang siapa yang layak mendapat gelar “Pakar Pendidikan Muslim Indonesia Kontemporer”. Untuk keperluan penelitian ini beberapa kriteria yang penulis ajukan adalah :
1.    Beragama Islam
2.    Memiliki integritas keilmuan yang diakui oleh masyarakat
3.    Mempunyai karya ilmiah dalam bentuk buku yang dipublikasikan -edisi pertama, cetakan pertama- antara tahun 1990-2000
4.    Memiliki popularitas di tingkat Jawa Tengah
5.    Mempunyai original idea (gagasan yang orisinil) mengenai pendidikan Islam

Berdasarkan lima kriteria tersebut di atas beberapa nama yang muncul adalah Abdurrahman Mas’ud, Abuddin Nata, Achmadi, Ahmad Tafsir, A. Malik Fadjar, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, Mastuhu, Noeng Muhadjir dan Zamroni.
Berikut akan diuraikan secara lebih detil gagasan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh tersebut :
1.    Abdurrahman Mas’ud
Gagasan pemikiran pendidikan Islam Abdurrahman Mas’ud  tergambar dalam disertasinya yang berjudul The Pesantren Architecth and Their Socio-Religious Teachings (1850-1950) yang ditulis untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang kajian Islam di University of California Los Angeles tahun 1997.
Inti sari disertasi tersebut sebagaimana menurut Fatah Syukur[14] adalah pelacakan terhadap lima ulama besar yang berhubungan dengan Hijaz dan mempunyai pengaruh pada dunia pesantren sampai sekarang ini. Kelima ulama ini dikategorikan menjadi dua, kategori pertama yakni Nawawi al-Bantani dan Mahfud al-Tirmizi. Kemudian kategori kedua adalah Hasyim Asy’ari, Khalil Bangkalan dan Raden Asnawi Kudus.
Secara lengkap Abdurrahman Mas’ud  mengungkapkan :
The roots of  Islamic teaching, the santri Muslims of Indonesia together with the intellectual masters of the pesantren tradition and the pesantren strategists during the nineteenth and twentieth centuries are the main subjects in this work. Their intellectual biography including their historical background, socio-religious role in society as well as their religious principles are elaborated. These ulama who were intellectually linked to Hijazi education are Nawawi al-Bantani (d.1897), Mahfud al-Turmusi (d. 1919), Khalil Bangkalan (d.1924), Hasyim Asy’ari (d. 1947) and Asnawi Kudus (d. 1959). The supremacy of these ulama is demonstrated by the fact that their students became the leaders of the pesantren community all over Java, and that the letter not only glorified them as actual masters and leaders but used the works of these ulama as well until now.[15]

Abdurrahman Mas’ud menyebut Nawawi al-Bantani dan Mahfud al-Tirmizi sebagai pesantren intelectual masters. Sementara untuk Hasyim Asy’ari, Khalil Bangkalan dan Raden Asnawi Kudus disebutnya sebagai pesantren strategits.
Nawawi al-Bantani dan Mahfud al-Tirmizi, menurut Rahman, bukan hanya besar karena menjadi Imamul Haramain, lebih dari itu, mereka telah melahirkan santri-santri yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh utama di Jawa khususnya. Di samping itu, ulama tersebut melahirkan banyak  karya yang hingga kini masih dipakai di dunia pesantren.
Kontribusi kedua ulama besar ini dapat dikenal melalui karya-karyanya dan status mulia (imam masjid Makkah) yang sangat diakui oleh dunia Islam secara umum. Warisan utama mereka ke dunia pesantren adalah dedikasinya secara utuh dalam mentransfer ilmu pengetahuan serta mendidik para pendiri pesantren di Indonesia.
Para pendiri pesantren yang dikategorikan dalam kelompok kedua (Hasyim Asy’ari, Khalil Bangkalan dan Raden Asnawi Kudus) atau yang dia sebut sebagai pesantren strategits telah belajar banyak kepada kedua ulama ini. Meskipun master intelektual pesantren ini domisilinya berada di negeri jauh, tapi posisi mereka sebagai master intelektual pesantren tidak bisa diragukan. Kedua ulama ini sebagai inspirator dan kiblat utama para pendiri pesantren di Jawa dan Madura.
Ulama-ulama ini setelah belajar/diwisuda dari Hijaz kemudian mendirikan pesantren di Jawa dan Madura. Keterlibatan mereka dalam komunitas pesantren sangat jelas. Selain sebagai pendiri pesantren-pesantren besar, mereka sangat dihormati dan dijadikan model bagi pesantren-pesantren yang muncul sesudahnya. Lebih dari  itu mereka memelopori perkembangan komunitas pesantren secara organisatoris pada level nasional, yang berupa jam’iyyah Nahdatul Ulama.
Ketiga ulama terakhir ini jelas mempunyai pengaruh besar dalam dunia pesantren yang terlihat sampai sekarang. Ketiganya bukan hanya pernah mendirikan pesantren besar, tetapi juga telah melahirkan santri-santri dan ulama-ulama besar setelahnya. Oleh karena itu Rahman menyebutnya sebagai ‘kaum pesantren strategis’
Keterikatan hubungan antara ulama kelompok pertama dan kedua terlihat juga pada orientasi pesantren pada ajaran madzhab yang dikembangkannya, yakni lebih berorientasi pada fiqh madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i da Hanbali) atau yang lebih dominan lagi adalah madzhab Syafi’i. Penelitian yang mendalam mengenai dimensi ini menunjukkan adanya hubungan filosofis dan keagamaan antara taklid (intelectual imitation) dan  fungsi ulama sebagai role model dalam masyarakat.
Berbicara tentang model, menurut Rahman bahwa sebenarnya ulama pesantren mendasarkan tingkah laku dan model dakwahnya pada contoh Nabi dan Walisongo. Melalui ajaran cultural resistence (pemeliharaan budaya) yang diwariskan Walisongo, tradisi pesantren menunjukkan dinamika dalam mengambil elemen-elemen budaya Islam dan asing. Namun demikian mereka masih tetap berdiri tegas pada prinsip-prinsip ajaran Islam.
Setelah mengurai sejarah pesantren dari Walisongo hingga kini, secara atraktif Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan tiga karakteristik utama budaya pesantren. Rahman menarik benang merah tentang hakikat dan watak dasar pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai sosiokultural politik. Menurutnya, ada tiga karakteristik pesantren yakni modelling, cultural resistence dan budaya keilmuan yang tinggi.
Selain itu, Abdurrahman Masu’ud[16] juga mengungkap tentang Reward and Punishment in Islamic Education. Menurutnya, dalam dunia pendidikan ada teori umum yang perlu dipertimbangkan bahwa sistem punishment dan reward yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment dikurangi atau dihindarkan bila memungkinkan dan konsep reward ditekankan pelaksanaanya.
2.    Abuddin Nata
Secara umum, pemikiran pendidikan Abuddin Nata terkonsentrasi pada sepuluh hal, yaitu :[17]
1.    Pengertian, ruang lingkup dan kegunaan filsafat pendidikan Islam
2.    Kedudukan manusia dalam alam semesta
3.    Tinjauan filosofis tentang tujuan pendidikan
4.    Tinjauan filosofis tentang pendidik
5.    Tinjauan filosofis tentang anak didik
6.    Tinjauan filosofis tentang metode pendidikan
7.    Tinjauan filosofis tentang lingkungan pendidikan Islam
8.    Tinjauan filosofis tentang kurikulum
9.    Tinjauan filosofis tentang evaluasi pendidikan Islam
10.     Pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam

Perihal filsafat pendidikan Islam dia menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan  yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber primer dan pendapat para ahli, khususnya para para filosof muslim, sebagai sumber sekunder.
Selain itu filsafat pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal tentang masalah-masalah pendidikan seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode dan lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an  dan al-Hadits sebagai dasar acuannya.[18]
Menurut Abuddin Nata, yang tergolong pakar pendidikan Islam adalah Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Safa, Zainudin Labai, Ahmad Surkati dan Ahmad Dahlan.
Mengenai pendidikan Islam, Nata mengartikan sebagai upaya membimbing, mengarahkan dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[19]
Lebih lanjut, Abuddin Nata membagi model-model penelitian pendidikan ke dalam tiga contoh : [20]
1.    Model penelitian tentang problem guru
2.    Model penelitian tentang lembaga pendidikan Islam
3.    Model penelitian tentang kultur pendidikan Islam
Di bagian penutup Abuddin Nata berkesimpulan bahwa Islam dengan sumber ajarannya al-Qur’an dan al-Sunnah yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran untuk kita katakan bahwa secara epistemologis Islam memiliki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam.[21]
Dalam suatu tulisannya, Abuddin Nata mengusulkan tentang perlunya pembinaan dan pengembangan kurikulum IAIN. Beberapa strategi yang bisa dilakukan yakni, pertama, memfungsikan pejabat yang berwenang dan dosen, kedua, menghidupkan konsorsium, ketiga, mengaktifkan kegiatan penelitian, keempat, menyediakan berbagai sarana belajar mengajar dan kelima  adalah menciptakan situasi akademik yang demokratis.[22]
3.    Achmadi
Pokok pikiran Achmadi tentang pendidikan Islam dapat dikelompokkan menjadi empat hal :
a.    Gagasan Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan [23]
Yang dimaksud dengan Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah penggunaan nilai-nilai Islam sebagai sudut pandang secara menyeluruh mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala pendidikan dalam rangka menyusun teori pendidikan.
Hal ini didasarkan kenyataan bahwa Islam sebagai wahyu Allah yang merupakan pedoman hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat, baru dapat dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Karena Nabi Muhammad SAW. sendiri diutus sebagai pendidik umat manusia, atau The Educator of  Mankind, maka tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam sarat dengan konsep-konsep pendidikan. Oleh karena itu bukan suatu pekerjaan mengada-ada bila Islam diangkap sebagai alternatif paradigma ilmu pendidikan.
Alasan-alasan mendasar lain yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
Pertama, Ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif karena ia terikat dengan norma-norma tertentu; dan di sini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan norma dalam ilmu pendidikan itu.
Kedua, dalam menganalisis dan mengatasi berbagai masalah pendidikan, para ahli pendidikan kita selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan segala masalah pendidikan, baik makro maupun mikro, yang ada di negeri kita ini dapat diterangkan dengan teori-teori atau falsafat pendidikan Barat. Padahal filsafat Barat pada umumnya bersifat sekular, sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Karena itu nilai-nilai ideal Islam kiranya akan lebih sesuai untuk menganalisis gejala-gejala kependidikan di Indonesia tersebut.[24]
b.    Perihal pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam
Achmadi membedakan antara Pendikan Islam dengan Pendidikan Agama Islam.[25] Bila pendidikan Islam diartikan sebagai segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Sedang pendidikan agama Islam (PAI) merupakan usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Implikasi dari pengertian ini, pendidikan agama Islam merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai jalur pengintegrasian wawasan Islam dengan bidang-bidang studi (pendidikan) yang lain. Implikasinya lebih lanjut pendidikan agama harus sudah dilaksanakan sejak dini sebelum anak memperoleh pendidikan atau pengajaran ilmu-ilmu yang lain.
Pendidikan agama Islam mencakup bidang-bidang studi agama seperti tauhid, fiqh, tarikh nabi, membaca al-Qur’an, tafsir dan hadis. Sedangkan pendidikan Islam mencakup lebih luas dari itu.
c.    Dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah[26]
Dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah merupakan alasan-alasan atau landasan penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah.
Menurut Achmadi, dasar-dasar atau landasan penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah dapat ditinjau dari berbagai aspek :
1)   Aspek Normatif
2)   Aspek Psikologis
3)   Aspek Historis
4)   Aspek Yuridis

Berdasarkan tinjauan keempat aspek tersebut jelas sekali bahwa pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di Indonesia khususnya pendidikan agama di sekolah memiliki landasan yang sangat kuat.
d.   Orientasi pendidikan agama Islam [27]
Achmadi menjelaskan adanya empat orientasi pendidikan agama Islam (PAI) yaitu :
1)        Orientasi kebutuhan hidup bersama
2)        Orientasi mewujudkan rahmatan li al-alamin
3)        Orientasi nilai Islam
4)        Orientasi keterpaduan wawasan agama dan Ilmu
Menurutnya, dengan mengacu pada keempat orientasi tersebut seluruh komponen dalam PAI diformulasikan dan dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah, sehingga lebih mengarah ke esensi ajaran agama Islam (back to the essence of  the religion). Di samping itu juga akan selalu relevan dengan kondisi obyektif-empiris.
4.    Ahmad Tafsir
Pemikiran pendidikan Ahmad Tafsir terbagi menjadi :
1.      Perihal konsep pengetahuan
Menurut Tafsir, konsep pengetahuan dibagi menjadi tiga macam, yakni sains, filsafat dan mistik. Ketiga pengetahuan tersebut digambarkan dalam sebuah matriks sebagai berikut :[28]

MACAM PENGETAHUAN
OBJEK
PARA- DIGMA
METODE
KRITERIA
Sains
Empiris
Sains
Sains
Logis dan empiris
Filsafat
Abstrak Logis
Logis
Logis
Logis
Mistik
Abstrak Supralogis
Mistik
Mistik
Keyakinan, rasa

Sains adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap objek-objek yang empiris; benar-tidaknya suatu teori ditentukan oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis dan ada bukti empiris, maka teori sains itu benar. Teori-teori dalam pendidikan Islam haruslah dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris.
Filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang objek-objek yang abstrak. Filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.
Mistik adalah pengetahuan tentang objek-objek supralogis atau suprarasional atau metarasional. Pengetahuan jenis ini diperoleh dengan cara merasakan, mempercayai begitu saja. Rasa kita itulah yang bekerja untuk menerima dan memperoleh pengetahuan jenis ini.[29]
Mana pengetahuan agama ? Pengetahuan agama itu apa ? Bila agama ialah wahyu Tuhan, maka al-Qur’an (untuk agama Islam) itu isinya ada yang dapat dipahami secara sains, ada yang dapat dipahami secara filsafat, dan kebanyakan hanya dapat dipahami secara mistik. Dilihat dari segi lain, seluruh ayat al-Qur’an harus diterima dengan yakin; berarti semuanya masuk pengetahuan mistik. Jadi, al-Qur’an itu isinya ada yang saintifik, ada yang logis, ada yang mistik. Dilihat dari segi lain, isi al-Qur’an semuanya diterima berdasarkan keyakinan, jadi semuanya pengetahuan mistik.[30]
2.      Perbedaan filsafat, ilmu dan teknik pendidikan Islam
Bagi Tafsir,[31] ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Ilmu sejarah berisi tentang sejarah, ilmu alam (fisika) berisi teori-teori tentang alam fisik. Maka isi ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu pendidikan Islam merupakan kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkan ajaran Islam.
Akan tetapi, apakah isi  ilmu hanya kumpulan teori ? Secara esensial memang ya, tetapi sebenarnya secara lengkap isi suatu ilmu bukan hanya teori. Secara lengkap isi ilmu adalah (1) teori, (2) penjelasan tentang teori, (3) data yang mendukung penjelasan itu.
Ilmu atau sains adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis dan mempunyai bukti empiris. Kaidah ini saya gunakan untuk ilmu pendidikan Islam. Teori-teori di dalam ilmu pendidikan Islam haruslah dapat diuji secara logis sekaligus empiris. Bila kurang satu saja, maka ia bukan ilmu pendidikan Islam.
Adapun filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang objek-objek yang abstrak. Bisa saja objek penelitiannya kongkret, tetapi yang ingin diketahuinya adalah bagian abstraknya. Sedangkan mistik adalah pengetahuan tentang objek-objek abstrak supralogis, atau suprarasional atau metarasional. Pengetahuan mistik diperoleh dengan cara merasakan, mempercayai begitu saja. Rasa kita itulah yang bekerja untuk menerima dan memperoleh pengetahuan jenis ini. Pengetahuan kita tentang Tuhan, surga, neraka dan sebangsanya sebenarnya bukan diperoleh lewat akal, melainkan diperoleh lewat iman; iman itu pada hakikatnya adalah rasa.
Jadi menurut Tafsir,[32] ada tiga macam pengetahuan : sains, filsafat dan mistik. Bagaimana dengan teknik pendidikan Islam ? Teknik yang dimaksud di sini bukanlah teknologi; teknologi bagi saya masih berada pada daerah sains, selevel dengan sains. Teknik adalah juklak (petunjuk pelaksanaan) teori-teori sains. Yang saya maksud dengan teknik adalah manual, yaitu cara operasional dalam melaksanakan ajaran-ajaran teori. Bagaimana kedudukan teknik ini dalam struktur pengetahuan tadi ?
Bagi orang yang beriman secara Islam, struktur pengetahuannya kira-kira sebagai berikut :
 













3.      Metodologi Pengajaran Agama Islam[33]
Metode pengajaan agama Islam adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan agama Islam. Kata “tepat dan cepat” inilah yang sering diungkapkan dalam ungkapan “efektif dan efisien”. Dengan kata lain, metodologi pengajaran agama Islam adalah cara yang paling efektif dan efisien dalam mengajarkan agama Islam.[34]
Metodologi ialah pembahasan tentang metode atau metode-metode. Metodologi pengajaran agama Islam ialah pembahasan tentang metode atau metode-metode pengajaran agama Islam. Sedangkan metodologi pengajaran agama Islam disederhanakan menjadi tentang teori-teori tentang langkah-langkah pengajaran dalam pengajaran agama Islam, atau teori-teori membuat lesson plan agama Islam.[35]
Menurutnya,[36] dalam pembuatan lesson plan kita harus berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.         Memahami tujuan pendidikan
2.         Menguasai bahan pengajaran
3.         Memahami teori pendidikan selain teori pengajaran
4.         Memahami prinsip-prinsip mengajar
5.         Memahami teori-teori belajar
6.         Memahami metode mengajar
7.         Memahami model-model pengajaran
8.         Menerapkan prinsip-prinsip evaluasi yang tepat
Dalam penerapan lesson plan, Tafsir membaginya pada aspek ketrampilan, kognitif dan sikap beragama.
Dalam suatu tulisannya,[37] dia menyoroti pentingnya pendidikan agama dalam keluarga. Menurutnya, menyerahkan seratus persen pendidikan keimanan bagi anak-anak kita ke sekolah, ke pesantren dan atau kepada guru agama yang diundang ke rumah merupakan tindakan yang berbahaya. Sebab, sekolah, pesantren dan guru agama yang diundang itu tidak akan mampu melakukan pendidikan keimanan tersebut.
Pendidikan agama di dalam keluarga sangatlah perlu, karena keluargalah satu-satunya institusi pendidikan yang mampu melakukan pendidikan keberimanan bagi anak-anaknya.
5.    A. Malik Fadjar
Beberapa pokok pikiran A Malik Fadjar tentang pendidikan adalah :
a.    Empat model pemikiran pendidikan Islam[38]
Model-model pemikiran pendidikan tersebut adalah :
1)        Pendidikan Islam harus merujuk kepada pendidikan sebagaimana yang secara sosiologis dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi sahabatnya
2)        Pendidikan Islam sebenarnya tidak ada; yang ada adalah pendidikan Islami. Pendidikan Islam tidak lain adalah pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi Islam, baik dikelola oleh kaum muslimin maupun yang bukan
3)        Pendidikan Islam hanya menyediakan bahan baku, sedangkan untuk menjadi sistem yang operasional, manusia diberikan kebebasan untuk membangun dan menerjemahkan. Karenya tidak ada pendidikan Islam yang baku, melainkan manusia dirangsang untuk menciptakan sistem pendidikan yang paling ideal
4)        Islam tidak mengatur masalah pendidikan. Islam hanya memberikan petunjuk sebagai asas, tujuan dan nilai-nilai etis berkenaan dengan operasionalisasi pendidikan.
b.    Pendidikan berwawasan semesta [39]
Pendidikan Islam adalah bagian tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah, maka pendidikan Islam mestinya adalah pendidikan yang paling ideal, karena tidak hanya berwawasan mendunia –apalagi pragmentaris- tetapi juga berwawasan kehidupan secara utuh dan multi dimensional. Tidak hanya berorientasi  untuk membuat dunia menjadi sejahtera dan gegap gempita, tetapi juga mengajarkan bahwa dunia sebagai ladang, sekaligus ujian untuk dapat lebih baik di akhirat.
Pendidikan Islam mengemban misi melahirkan manusia yang tidak hanya memanfaatkan persediaan alam, tetapi juga manusia yang mau bersyukur kepada yang membuat manusia dan alam, memperlakukan manusia sebagai khalifah dan memperlakukan alam tidak hanya sebagai objek penderita semata tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan.
c.     Perlunya liberalisasi ilmu [40]
Bangsa yang hendak maju adalah bangsa yang melakukan liberalisasi dalam bidang berpikir dan ilmu pengetahuan. Yakni bangsa yang tidak menganggap dirinya paling maju, bangsa yang terbuka untuk menerima ilmu dari mana saja, bangsa agresif, ofensif dan mendunia. Bukan bangsa yang tertutup, arogan, dan menganggap ilmu orang lain sebagai ilmu sekuler, ilmu kafir dan lain sebagainya.
Salah satu kunci untuk menciptakan masyarakat yang maju adalah dengan cara membiasakan masyarakat untuk berpandangan bahwa setiap persoalan selalu terdapat lebih dari satu jawaban. Dan jawaban yang satu tidak sama dengan jawaban yang lain. Berdasarkan pandangan ini, suatu masyarakat yang memiliki sikap tadi akan selalu mencari jawaban terbaik dalam menghadapi setiap persoalan. Dan sikap semacam ini, akan mendorong masyarakat untuk selalu mencari jawaban yang lebih baik daripada jawaban yang telah ada.[41]
Sikap semacam ini tidak akan timbul selama suatu masyarakat masih berpegang kepada suatu pandangan bahwa setiap jawaban yang terdapat di dalam masyarakat untuk menjawab berbagai masalah dan tantangan merupakan anugerah dari kekuatan gaib, yang diturunkan kepada manusia sejak permulaan kehidupan.
d.   Saran untuk Guru agama[42]
Pertama, untuk memperkaya dan memperluas pengetahuan guru agama diperlukan adanya kegiatan orientasi secara periodik antar guru agama. Pelaksanaanya bisa dilakukan berdasarkan sistem rayon, baik melalui unit pemiliknya maupun lewat PGRI.
Kedua, program penataran dan penyetaraan yang sekarang berlaku hendaknya pada pengembangan  wawasan dan bukan pada hal-hal yang bersifat teknis seperti hanya berkisar pada persoalan institusionalnya, tetapi lebih jauh dari itu juga yang bersifat penalaran konsepsionalnya.
Ketiga, dengan keterbatasan pemilikian sumber belajar dan informasi ada baiknya kalau minimal satu tahun sekali ada paket buku untuk guru agama. Dan untuk ini bisa diproyekkan lewat Yayasan Haji Indonesia atau yayasan-yayasan pendidikan Islam yang sudah mapan.
e.    “Pilot Project” Andal antara Muhammadiyah dan NU
Dalam seminar Nasional Muhammadiyah dan NU : Reorientasi Wawasan Keislaman tanggal 30-31 Januari 1993 di UMM Yogyakarta, Malik Fadjar menawarkan gagasan praktis, yaitu perlunya Muhammadiyah dan NU membuat semacam “pilot proyek” pendidikan yang secara spiritual Islami namun berwawasan keilmuan dan empirik. Sehingga bisa melahirkan hasilan yang “hatinya dilimpahi suasana iman, dan di dalam pemikirannya melimpahkan ilmu pengetahuan”, serta “di tangannya tersimpan sejuta kecakapan”.[43]
f.     Pendidikan sebagai praksis humanisasi[44]
Beberapa noktah pemikiran A. Malik Fadjar berkaitan dengan pendidikan sebaggai praksis humanisasi adalah sebagai berikut :
Pertama, pada tataran filosofis terutama yang berhubungan dengan manusia perlu dilakukan langkah rekonstruksi. Dengan kata lain, pandangan tentang manusia sebagai subyek didik harus ditinjau ulang dan dirumuskan kembali. Kita perlu merubah cara pandang reduksionistik dan menggantikan cara pandang yang holistik dan mendasar. Oleh karena itu, telaah kefilsafatan menjadi penting di sini. Dalam telaah ini watak eksistensial manusia sebagai makhluk merdeka dan memiliki kemajemukan dalam berbagai dimensinya perlu diungkap secara elaboratif. Dalam konteks ini, konsep tauhid, dapat dijadikan sebagai acuan paradigmatis. Hal ini karena dalam konsep tauhid terkandung ajaran pemerdekaan dan pembebasan yang sejati.
Kedua, dalam pembelajaran perlu dihindari cara-cara indoktrinasi dan monologis serta perlakuan yang bersifat uniform terhadap peserta didik. Sebaliknya, peserta didik perlu diakui kemerdekaan dan individualitasnya, serta peserta didik terus-menerus ditumbuhkan kemandirian dalam berpikir dan bertindak. Sikap yang lebih mengutamakan pencapaian target formalitas perlu diubah dengan sikap yang lebih mengutamakan peningkatan kemampuan belajar (learning capacity) peserta didik.
Ketiga, di masa sekarang dan yang akan datang pengelolaan pendidikan harus lebih demokratis dalam bentuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat. Saat ini pemerintah sedang menggulirkan kebijakan otonomi pendidikan. Ini merupakan momentum penting bagi masyarakat untuk berpartisipasi tidak saja dalam aspek manajemennya, lebih penting lagi adalah dalam memperkaya muatan pendidikan dengan wacana kultural, sosial, agama dan lain sebagainya yang berkembang di lingkungan sekitarnya.
g.    Madrasah dan Tantangan Modernitas[45]
Dalam buku madrasah dan tantangan modernitas ini A. Malik Fadjar mengurai secara baik kondisi madrasah. Dia melakukan pemetaan terhadap potensi, kendala, tantangan, harapan dan peluang serta perkembangan madrasah dalam partisipasinya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam karyanya ini terlihat bahwa pada satu sisi Malik Fadjar ingin memberdayakan madrasah, namun di sisi lain ia ingin mempertahankan keunikan madrasah.
6.    Azyumardi Azra
Meskipun berlatar belakang sejarah, pemikiran pendidikan Azyumardi Azra teramat banyak. Secara mudah pemikiran Azyumardi Azra dikelompokkan menjadi tiga tema besar, yaitu pendidikan Islam menghadapi kemajaun sains, masalah pesantren dan surau serta persoalan yang melingkupi IAIN.[46]
Pemikiran pendidikan Azyumardi Azra yang lain setidaknya terangkum dalam disertasinya yang berjudul  “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia; Networks of Middle Eastern and Malay Indonesian ‘ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”.
Inti pokok isi disertasi tersebut adalah perihal transmisi gagasan-gagaasan pembaharuan keagamaan dari pusat-pusat keilmuan Islam (Mekkah, Madinah) ke Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 masehi. Menurut Azyumardi Azra sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Mekkah dan Madinah.[47]
Bagi Azra, pengembangan gagasan pembauran dan tranmisi melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat kompleks. Terdapat saling silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan sebagai hasil dari proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang hadis dan tasawuf (thariqah).
Hubungan antara kaum muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Para pedagang muslim dari Arab, Persia, dan anak benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penetrasi Islam di masa lebih belakangan nampaknya lebih dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara.[48]
Azra berkesimpulan[49] bahwa pembaharuan Islam di Nusantara dimulai sejak paruh kedua abad ketujuh belas dan bukannya pada abad kesembilan belas atau kedua puluh.
Menyangkut pembaharuan ini, Islam diwilayah Malayu-Indonesia pada abad ketujuh belas bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf melainkan juga Islam yang berorientasi pada syariat (hukum). Ini merupakan pembaharuan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abad-abad sebelumnya, Islam mistislah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di Timur Tengah, para ulama Melayu-Indonesia sejak paruh kedua abad ketujuh belas dan seterusnya melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar, bahkan secara serentak, untuk menyebarkan neo-Sufisme di Nusantara.
Neo-Sufisme berbeda dari jenis tasawuf sebelumnya yang sebagian besarnya merupakan semacam penafsiran mistiko-filosofis terhadap Islam. Sementara mempertahankan doktrin-doktrin mistisisme filosofis tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis tasawuf, neo-Sufisme memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya kepada syariat. Lebih jauh lagi, berbeda dengan jenis tasawuf sebelumnya yang cenderung mendorong para sufi bersikap pasif, neo-Sufisme menganjurkan aktivisme. Keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis.
Bangkitnya neo-Sufisme merupakan hasil usaha jaringan ulama, yang semakin berjaya sejak menjelang akhir abad keenam belas. Jaringan ulama yang terpusat terutama di Haramayn timbul sebagai akibat interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam dari Afrika Utara, Mesir, Syiria, Yaman, India dan Haramayn sendiri.
Pembaharuan dalam jaringan ulama tidak selalu seragam. Kebanyakan ulama cenderung mendukung evolusioner terhadap pembaharuan, sementara sebagian di antara mereka seperti Abd Al-Wahhab dan Utsman bin Fudi memilih pendekatan lebih radikal dan melancarkan jihad melawan kaum muslim yang tidak mau menerima ajaran-ajaran mereka. Dalam kasus wilayah Melayu-Indonesia, gagasan pembaruan yang disebarkan para ulama sebelumnya menemukan ekspresi yang radikal dalam Gerakan Padri.
Dalam suatu kumpulan tulisan,[50] Azra mengusulkan perlunya IAIN berubah menjaid Universitas Islam Negeri (UIN). Untuk menuju ke arah itu, IAIN perlu menerapkan konsep IAIN with wider mandate (IAIN dengan  mandat yang diperluas). Artinya IAIN bisa membuka program studi di bidang ilmu-ilmu eksak seperti matematika dan IPA. Jurusan-jurusan tersebut pada waktunya nanti akan dikonsolidasikan menjadi Fakultas MIPA.
Dalam tulisan yang lain,[51] Azra mengemukakan tentang perlunya pembaruan pendidikan Islam. Gagasan dan program pembaruan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam secara keseluruhan.
Kerangka dasar yang berada di balik “modernisme” Islam adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam –termasuk pendidikan- haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”; mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan modern.[52]
Selain hal tersebut, Azra juga mengakui adanya krisis epistemologis dalam pendidikan Islam. Salah satu masalah pokok yang hingga sekarang masih menduduki tempat dalam wacana pemikiran Islam pada umumnya adalah hubungan antara Islam dengan modernisme, modernitas dan modernisasi itu sendiri.
Pada tingkat doktrin, hampir seluruh pemikir Islam modern sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan modernitas. Persoalannya kemudian adalah jika Islam compatibe dengan modernitas sejauh manakah modernisme dan modernisasi bisa ditoleransi ?[53]
7.    M. Amin Abdullah
Keseluruhan pemikiran Amin Abdullah berkisar pada ide tentang pemikiran kalam (falsafah kalam) sesuai dengan disiplin ilmu yang dia geluti. Meski berkutat masalah kalam, bukan berarti substansi pemikiran Amin Abdullah tak tidak menyentuh pada persoalan pendidikan. Menurutnya, pemikiran kalam mempunyai tempat yang cukup sentral, sedemikian sentralnya sehingga segala persoalan keagamaan selalu saja dilihat dan ditelaah dari perspektif ilmu kalam, terutama klasik.[54]
Dalam Dirasat Islamiyah, Ilmu Kalam (ilm al-kalam) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini masuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia mewarnai, mengarahkan sampai batas-batas tertentu “mendominasi” arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain.[55]
Bila ditarik secara luas maka pemikiran pendidikan pun terpengaruh oleh pemikiran ilmu kalam. Dengan demikian secara mudah menurut Amin Abdullah pemikiran pendidikan terbagi atas (sebagaimana dalam paham atau aliran teologi klasik) :
1.    Pemikiran Khawarij
2.    Pemikiran Murji’ah
3.    Pemikiran Qadariah dan Jabariah
4.    Pemikiran Mu’tazilah
5.    Pemikiran Ahli Sunah wal Jamaah

Ide besar Amin Abdullah adalah perihal sudut pendekatan dalam memahami agama antara normativitas ajaran wahyu dan historisitas pemahaman dan interpresi orang perorang atau kelompok perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya.
Menurutnya, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah koin (mata uang) dengan dua permukaan. Hubungan antara kedua permukaan koin tidak dapat dipisahkan tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan antara keduanya bukan seperti dua entitas yang berdiri sendiri-sendiri dan saling berhadap-hadapan tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian ruap sehingga keduanya menyatu menjadi satu keutuhan yang kokoh dan kompak.[56]
Dalam tulisan yang lain,[57] Amin mengungkapkan bahwa dalam memahami agama terdapat tiga pendekatan: doktrinal-normatif, kultural-historis dan kritis-filosofis. Hubungan antara ketiganya bersifat sirkular dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam studi agama sadar dan memahami keterbatasan dan kelemahan yang melekat pada dirinya.
Menurut  Amin Abdullah sistem pendidikan agama pada zaman dahulu diarahkan untuk menumbuhkan penalaran logis dan kritis. Sehingga, tantangan utama pendidikan agama dewasa ini, baik pesantren, madrasah ataupun lebih-lebih perguruan tinggi agama yakni “Mungkinkah bisa mencetak dan melahirkan para mujtahid, yakni para pengamat dan pemikir agama ?  Yakni mungkinkah fakultas-fakultas agama dalam jangka dua puluh lima tahun mendatang dapat mencetak para calon mujtahid muda ? [58]
Dalam suatu tulisannya, [59] Amin Abdullah mengemukakan adanya problem epistemologis-metodologis pendidikan Islam. Menurutnya, diskursus epistemologis yang mengandaikan perlunya shifting paradigm dalam metodologi, tidak perlu dipertentangkan dengan wilayah realitas ontologis dari keyakinan beragama yang dianggap tidak perlu berubah.
Perihal IAIN, menurutnya terdapat tuntutan “ganda” terhadap keberadaannya. Yang pertama, berkaitan erat dengan eksistensinya sebagai lembaga “keilmuan” yang dituntut untuk mengajarkan, meneliti, mengembangkan ilmu pengetahuan agama Islam. Kedua, tuntutan yang terkait dengan kelembagaan IAIN sebagai lembaga “keagamaan” Islam, yang mempunyai dasar pemikiran yang berbeda dari tuntutan pertama di atas. Yang pertama, lebih berorientasi pada dunia pemikiran dan analisis-kritis, sedang yang kedua lebih pada pemihakan dan pemegangan secara teguh pada pandangan hidup tertentu.[60]
Reformulasi tradisi keilmuan merupakan suatu keharusan bagi pesantren dan perguruan tinggi Islam. Artinya, perlu ada pergeseran dari trend pemikiran Islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah terbangun kokoh sejak berabad-abad lalu kepada tradisi pemikian keagamaan yang bersifat kritis-analitis-filosofis.[61]


8.    Mastuhu
Secara mudah pemikiran pendidikan Mastuhu terangkum dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan oleh Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) dengan judul “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren”.
Dengan metode grounded research Mastuhu meneliti enam pesantren yakni PP An-Nuqoyah dari desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep-Madura, PP Salafiyah Ibrahimiyah di desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo, PP Blok Agung, di desa Blok Agung Kecamatan Jajak, Kabupaten Banyuwangi, PP Tebu Ireng, di desa Tebu Ireng, Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang, PP Karangasem Muhammadiyah Paciran, di desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan dan PP Modern Darussalam Gontor Ponorogo, di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo.
Hasil penelitian Mastuhu mengungkapkan adanya unsur-unsur/nilai-nilai/butir-butir sistem pendidikan pesantren; ada diantaranya yang perlu dikembangkan lebih lanjut, yang tidak perlu dipertahankan dan mana yang perlu diubah dan disempurnakan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional.
Secara lengkap penemuan Mastuhu tentang nilai-nilai pesantren adalah sebagai berikut :
1.      Butir-butir positif dari sistem pendidikan pesantren yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
a.       Pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fitrah-nya masing-masing. Tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya positif (ilahiyah) dan mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaitaniyah)
b.      Pandangan bahwa tugas melaksanakan pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, di dalam menjalankan proses kegiatan belajar-mengajar seyogianya dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha Tuhan.
c.       Hubungan yang baik dan saling menghormati antara murid dan guru. Murid percaya bahwa dirinya tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa guru, dan guru di dalam melaksanakan tugasnya dirasakan sebagai pengemban amanat Tuhan.
d.      Lembaga pendidikan pesantren dipandang sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan sebagai tempat mencari kelas dan ijazah
e.       Metode belajar halaqoh dan sorogan (disesuiakan dengan zamannya, lihat butir-butir plus-minus)
f.       Nilai pendidikan dengan sistem asrama : 1) pandangan bahwa dalam hal hak, orang sebaiknya mendahulukan hak orang lain daripada haknya sendiri, tetapi dalam hak kewajiban, orang sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. 2) Keteladanan dan berlomba dalam kebajikan dalam hal mengamalkan ajaran agama dalam hidup keseharian di pesantren
g.      Pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh : Bagi yang benar-benar percaya kepada Tuhan, maka ia bersikap optimistis dalam menjalani kehidupan. Ia tidak akan putus asa jika menerima musibah, dan sebaliknya ia juga tidak “lupa daratan” jika memperoleh keuntungan, karena setiap peristiwa dipandang belum final dan semua peristiwa pada akhirnya akan kembali ke kebenaran Tuhan, sekalipun pada waktu itu ia belum mengerti.
2.      Butir-butir negatif dari sistem pendidikan pesantren yang tidak perlu dikembangkan lebih lanjut dalam sistem pendidikan pesantren karena tidak sesuai dengan kebutuhan zaman adalah sebagai berikut :
a.       Pandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui berkah kiai
b.      Pandangan tidak kritis yang menyatakan bahwa apa-apa yang diajarkan oleh kiai , ustadz dan kitab-kitab agama diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi
c.       Pandangan bahwa kehidupan ukhrowi paling penting, sedang kehidupan duniawi dipandang tidak atau kurang penting
d.      Metode belajar dengan menghafal dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua ilmu
e.       Kepatuhan mutlak pada guru dan pada kehidupan kolektif (asrama), sehingga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya berfikir kritis
f.       Pandangan hidup fatalistis yang menyerahkan nasib kepada keadaan dan perilaku sakral dalam menghadapi berbagai realita kehidupan keduniawian sehari-hari
3.      Butir-butir plus-minus, yaitu butir-butir yang perlu dikembangkan lebih lanjut dari sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional, tetapi sebelumnya harus disempurnakan lebih dahulu adalah sebagai berikut :
a.        sistem asrama. Untuk mencegah ekses-ekses negatif dari asrama sebagaimana disebutkan di muka, sistem “asrama di masa depan” harus mampu berfungsi sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu dan kepribadian yang seimbang antara kepribadian individual dan kolektif. Dalam konsep “asrama masa depan”, hubungan para santri dengan keluarganya masing-masing tidak terputus dan mempunyai waktu berkumpul dengan lebih sering, sehingga dapat dijaga identitas keluarga untuk tidak hanyut dalam kepribadian kolektif (asrama), tetapi ia tetap terikat selama 24 jam dengan program-program ilmiah yang telah direncanakan bersama.
b.      Metode halaqoh. Metode halaqoh di pesantren adalah cara belajar bersama antar santri untuk memahami ajaran kiai, ustadz dan isi kitab. Arahnya untuk menanyakan dari segi “apanya” dan untuk “memiliki” ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadanya. Dengan kata lain metode yang digunakan dalam halaqoh adalah menghafal. Hal seperti itu perlu diubah dan ditingkatkan menjadi menanyakan ilmu dari segi “mengapa” dan “bagaimana” perspektif atau perkembangannya mendatang, serta memperlakukan forum halaqoh sebagai proses “menjadi”, yaitu memandang ilmu sebagai sarana untuk mengembangkan kepribadian intelektualnya. Dengan demikian, dalam konsep “menjadi” ilmu dipandang sebagai instrumen atau sarana dan oleh karena itu ilmu tidak akan teralienasi dari pribadinya, sebaliknya dalam konsep “memiliki” yang diperoleh melalui metode hafalan memungkinkan teralienasinya ilmu dari pribadinya. Oleh karena itu, metode halaqoh tersebut perlu dikembangkan dari metode hafalan menjadi dialog. Demikian pula halnya dengan metode sorogan, perlu ditingkatkan dari murid siap menerima pelajaran dari guru, menjadi murid siap berdialog dengan guru dalam rangka mengembangkan kepribadian intelektualnya atau mengembangkan pemikiran kritis.
c.       Jenis kepemimpinan. Kepemimpinan kharismatik (agama) perlu dilengkapi atau dikembangkan dengan kepemimpinan rasional (ilmu) agar lebih mampu menghadapi tantangan zamannya
4.      Bentuk pendidikan pesantren di masa depan seharusnya merupakan sekolah (madrasah) dengan kurikulum : 30 % moral (agama), 70 % akal (pengetahuan umum atau metode berpikir) dan dilaksanakan dalam kultur pesantren lengkap dengan konsep “asrama masa depan” yang kreatif dan inovatif dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu yang diasuhnya, serta mampu menciptakan program-program kegiatan ilmiah sesuai dengan tantangan zamannya. Untuk itu pesantren perlu mengadopsi dan mengembangkan budaya berfikir : deduktif, induktif, kausalitas dan kritis dari sistem pendidikan nasional, sehingga lulusannya mampu mengamalkan dan mengembangkan ilmunya di bawah bimbingan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan hal ini juga penting untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga penyuluhan pembangunan nasional yang efektif dan efisien, melengkapi penggunaan pendekatan bahasa agama di dalam mengajak umat berpartisipasi dalam pembangunan, sebagaimana selama ini dilakukan oleh pesantren.
9.    Noeng Muhadjir
Gagasan pemikiran pendidikan Islam Noeng Muhadjir terpusat pada usahanya dalam mengukuhkan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang khas, unik dan berbeda dengan konsep pendidikan yang lain. Dia menawarkan sepuluh paradigma pemikiran pendidikan, yaitu :[62]
Pertama, asumsi dasar yang perlu dipakai adalah pandangan realisme metaphasik yang mengakui adanya keteraturan alam semesta. Keteraturan tersebut adalah ciptaan Allah. Filsafat yang mendukung asumsi dasar tersebut adalah realisme metaphisik.
Kedua, postulasi ontologiknya : keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran multifaset atau multistrata yaitu eksistensi sensual, logik, etik, dan transenden yang paralel dengan ayah, isyarah, hudan dan rahmah. Filsafat yang secara eksplisit mengakui yang transenden adalah phenomenologi dan realisme metaphisik. Filsafat yang secara implisit mengakomodasi yang etik dan transenden adalah rasionalisme.
Ketiga postulasi aksiologiknya : ilmu pendidikan itu ilmu normatif, sehingga perlu dan harus diorientasikan kepada nilai atau “value” baik yang insaniyah (berkembang dengan budaya manusia) dan yang ilahiyah (diwahyukan). Filsafat yang mendukung sama dengan yang diketengahkan pada postulasi ontologik.
Keempat, tesis episetemologik utama : wahyu adalah kebenaran mutlak
Kelima, tesis epistemologik I : karena dhaifnya akal budi manusia, maka kebenaran yang dapat dijangkau oleh manusia dengan ilmunya hanyalah kebenaran problabilistik.
Keenam tesis epistemologik II : ujud kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logik, etik atau transenden ; atau dalam “bahasa” Qur’ani  dalam ujud kebenaran ayah, isyarah, hudan dan rahmah. Bukan empat ganda tetapi empat faset atau empat strata.
Ketujuh, tesis epistemologik III : karena kebenaran yang dapat dijangkau manusia adalah kebenaran probabilistik, maka model logika untuk pembuktian kebenaran yang tepat adalah model logika probabilistik.
Kedelapan, tesis epistemologi IV : untuk pemahaman hubungan antarmanusia dan antara manusia dengan alam, sejauh tidak terkait dengan nilai (baik yang insaniyah maupun yang ilahiyyah) model pembuktian induktif probabilistik dapat digunakan.
Kesembilan, tesis epistemologik V : untuk pemahaman beragam hubungan tersebut di atas, bila terkait pada nilai model pembuktian deduktif probabilistik dapat digunakan.
Kesepuluh, tesis epistemologi VI untuk menerima kebenaran mutlak nash, model logika reflektif probabilistik dengan terapan tematik atau maudhu’i lebih tepat digunakan.
Dalam paradigma Noeng Muhadjir, perenial knowledge berada di sentral pengembangan ilmu. Sedangkan acquired knowledge berada di perifer pengembangan ilmu. Perenial knowledge ditata dalam aqidah, muamalah dan akhlak. Sedangkan acquiered knowledge sebagai perifer dari perenial knowledge memiliki garis linear sebagai berikut. Ilmu-ilmu humaniora perlu berkonsultasi terutama dengan aqidah, ilmu-ilmu teknologi perlu berkonsultasi terutama pada ilmu syariah sedangkan ilmu sosial perlu berkonsultasi terutama pada akhlak.[63]
Menurut Noeng Muhadjir untuk memberikan nafas Islami pada ilmu pendidikan setidaknya ada empat model yang bisa diajukan :
1.    Konstruksi atau paradigma teori pendidikan diberi penguat berupa nas-nas al-Qur’an dan hadis.
2.    Membangun aksioma atau postulat-postulat yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis, kemudian dari aksioma tersebut dibangun bangunan teoretik ilmu pendidikan
3.    Mengadakan telaah reflektif multidisiplin, yang operasionalisasinya seseorang dengan bekal pengetahuan ilmu pendidikan dan agama menelaah secara teoretik sosok pendidikan Islam, berdiskusi dan berkonsultasi terus menerus dengan ahli ilmu pendidikan dan ahli dalam ulumul Qur’an dan ulumul hadis untuk memperkaya konseptualisasinya
4.    Mengadakan telaah reflektif interdisipliner; sejumlah ahli ulumul Qur’an dan ulumul hadis berkerja sama membangun teori pendidikan Islam

Dari empat model yang ditawarkan tersebut kiranya yang paling ideal ialah model kedua karena secara murni dapat membangun suatu teori ilmu pendidikan dengan postulat yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi karena teori-teori pendidikan dewasa ini sudah berkembang yang didasarkan atas  realitas yang timbul dalam peristiwa-peristiwa pendidikan, maka tidak realistik bila dalam upaya menyusun teori pendidikan tersebut kita tidak menutup mata sama sekali akan adanya perkembangan teori yang sudah ada. Oleh karena itu langkah yang cukup realistik ialah model ketiga, yakni mengadakan telah reflektif multidisipliner.[64]
10.     Zamroni
Pemikiran pendidikan Zamroni terbagi menjadi beberapa hal :[65]
a.    Paradigma pendidikan sistemik-organik
Paradigma pendidikan sistemik-organik merupakan paradigma baru dalam pendidikan kaitannya dengan peran pendidikan dalam pembangunan nasional. Ciri-ciri paradigma pendidikan sistemik-organik adalah :[66]
1)      pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)
2)      Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel
3)      Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri
4)      Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendiddikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat doble tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat doble track menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
b.    Reformasi pendidikan
Reformasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kemampuan guru dan murid untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksdukan untuk mengembangkan struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut di atas. Oleh karena itu reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga aspek dalam pendidikan : aspek organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan guru dan aspek interaksi sekolah dan masyarakat.[67]
Strategi yang perlu dikembangkan dalam proses reformasi adalah: pertama, karena luasnya cakupan pendidikan maka reformasi ditekankan  pada :
1.    masing-masing sekolah memiliki otonomi merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan
2.    Orang tua dan masyarakat berkerja sama dengan guru untuk kemajuan peserta didik
3.    Sekolah harus mengembangkan suatu sistem pelaporan tentang kemajuan pendidikan yang dengan cepat dan secara periodik dapat dikaji orang  tua dan masyarakat
4.    Guru harus memiliki kesempatan yang luas untuk merancang kegiatan dan mengembangkan kerja sama antara kolega guru ataupun dengan orang tua dan masyarakat sekitar
5.    Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kerja kelompok atau kerja individual dan sebaliknya kerja kelompok kelas dikurangi
Kedua, reformasi pendidikan memerlukan kesadaran akan berbagai kemungkinan yang timbul dari kebijakan reformasi tersebut, oleh karena itu perlu disediakan “room formanoeuvre” bagi sekolah atau guru. Hal ini perlu agar kebijakan yang baru tidak terjebak oleh aturan dan prosedur yang bersifat birokratis. Di samping itu, “room for manoeuvre” ini diperlukan untuk antisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan, seperti adanya guru yang berkualitas, kualitas guru rendah, fasilitas yang tidak memadai dan sebagainya.
Ketiga, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan produk bukan pendekatan proses. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana masing-masing sekolah bisa meningkatkan dan mencapai sepenuhnya tergantung kebijakan masing-masing sekolah. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan dan menentukan :
1)   Standar pendidikan yang harus dicapai
2)   Insentif terutama dalam masalah akademik
3)   Melibatkan aparat biriokrasi propinsi, kabupaten/kotamadia dan kecamatan untuk mendukung keberhasilan pencapaian target dari sekolah yang ada di wilayahnya masing-masing.

Keempat, di masing-masing sekolah diminta untuk mengembang-kan gugus kendali mutu yang secara terus menerus mencari model-model dan teknik-teknik yang paling efisien dan produktif dalam kegiatan proses belajar mengajar. [68]
c.    Pendidikan berwawasan global[69]
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global.



[1] HAR Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional  (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 157.
[2] Ibid., hlm. 105.
[3] Pada waktu pemerintahan Gus Dur, tidak hanya pengubahan nama departemen melainkan terjadi juga penghapusan beberapa departemen. Departemen Sosial dan Departemen Penerangan adalah dua departemen yang dihapus pada waktu pemerintahannya. Kini, kedua departemen tersebut dihidupkan kembali.
[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 285.
[5] Abdul Wahid, ‘Pendidikan Islam Kontemporer : Problem Utama, Tantangan dan Prospek’ dalam Ismail SM, et. al., (Ed.),  Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 279-287.
[6] Ahmad Watik Pratiknya, ‘Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia’ dalam Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 103.
[7] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum)  (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 1-14.
[8] Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikososial dan Kultural, Golden Terayon Press, tt.
[9] Lihat M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.1-37.
[10] Hasbullah, Kapita Seleta Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
[11] Zuhairini et. al., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
[12] Ahmad Ludjito, Peran Pendidikan Agama dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia, Paper Kuliah Perdana pada Pembukaan Program Penyetaraan D.2/D.3  tahun 1994/1995.
[13] Ahmad Tafsir meneliti mutu sekolah-sekolah Muhammadiyah dibandingkan sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola lembaga-lembaga Katholik. Indikator yang digunakan adalah jumlah lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, mutu sekolah-sekolah Muhammadiyah lebih rendah daripada mutu sekolah yang dikelola lembaga-lembaga Katholik.  Kemudian dia mencoba memperhatikan (penelitian dangkal) sekolah-sekolah yang dikelola oleh organisasi atau yayasan Islam selain Muhammadiyah. Ternyata, hasilnya sama, bahkan cenderung lebih rendah mutunya ketimbang sekolah-sekolah Muhammadiyah. Lihat Ahmad Tafisr, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,1994), hlm. 1-4.

[14] Fatah Syukur, “Book Review Master Intelektual Tradisi Pesantren” dalam  Ihya Ulum al-Din Number 01 Volume 1, tahun 1999. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud “Sejarah Pesantren dari Walisongo hingga Kini” dalam Majalah Jurnal Justisia  Edisi 18 Th VII/2000, hlm. 32-43.
[15] Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings (1850-1950)  Umi Microfilm, 1997, hlm. xi.

[16] Lihat Jurnal Ihya Ulum al-Din Volume 1, tahun 1994. Lihat juga Jurnal Ilmu Pendidikan dan Islam Edisi 28/Th. VI/Nop/1997.
[17] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
[18] Ibid., hlm. 15.
[19] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 292.
[20] Mengenai penelitian tentang problem guru, setidaknya ditemukan lima problem utama, pertama sedikitnya waktu untuk istirahat dan untuk persiapan pada waktu dinas di sekolah. Kedua, kelas terlalu besar. Ketiga kurangnya bantuan adminiastratif, empat gaji yang kurang memadai dan kelima kurangnya bantuan kesejahteraan. Perihal model penelitian lembaga pendidikan Islam, Nata mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya yang berjudul Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam. Tentang kultur Islam, Abuddin Nata memberikan contoh penelitian yang dilakukan Mastuhu dan Zamachsyari Dhofier. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 299-311. Lihat juga HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 152-153.
[21] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Op. Cit., hlm. 211.
[22] Abuddin Nata, ‘Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum IAIN’ dalam Didak-tika Islamika, Jurnal Keislaman, Kependidikan dan Kebahasaan Volume 1, Nomor 1, April 1999. 
[23] Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992).
[24] Ibid., hlm. vii-viii.
[25] Ibid., hlm. 19.
[26] Achmadi, ‘Dasar-dasar Pelaksanaan PAI di Sekolah’ dalam M. Chabib Thoha, Abdul Mu’ti (Ed.) PBM PAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar-Mengajar PAI (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31-70.
[27] Achmadi, ‘Reformasi Sistem PAI dalam Era Reformasi (Telaah Filsafat Pendidikan)’ dalam Ismail SM, Abdul Mukti (Ed.) Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 154-162.
[28] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 7.
[29] Ibid., hlm. 14-15.
[30] Ibid., hlm. 8.
[31] Ibid., hlm. 12.
[32] Ibid., hlm. 16-17.
[33] Lihat Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).

[34] Ibid., hlm. 9.
[35] Ibid., hlm. 12.
[36] Ibid., hlm. 13-43.
[37] Ahmad Tafsir, ‘Pentingnya Pendidikan Agama dalam Kelurga’ dalam Ahmad Tafsir (Ed.) Pendidikan Agama dalam Keluarga  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996).
[38] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999), hlm. 27-30.
[39] Ibid., hlm. 36.

[40] Ibid., hlm. 44-45.
[41] Ibid., hlm. 49.
[42] Ibid., hlm. 63.
[43] A. Malik Fadjar, ‘Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama : Reorientasi Wawasan Pendidikan’ dalam Yunahar Ilyas et.al. (Ed.) Muhammdiyah dan NU : Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: Kerja sama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP Al-Muhsin, 1994), hlm.63.
[44] A. Malik Fadjar, Pendidikan Sebagai Praksis Humanisasi Makalah Seminar, tt.

[45] A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999).

[46] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ; Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
[47] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII ; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998).

[48] Ibid., hlm. 16-17.
[49] Ibid., hlm. 294-296.
[50] Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih  (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 430-436. Lihat juga Azyumardi Azra, ‘IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi’ dalam Komaruddin Hidayat, Hendro Prasetyo (Ed.),  Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Depag RI, 2000), hlm. 3-17.
[51] Azyumardi Azra, ‘Pembaruan Pendidikan Islam’ kata pengantar dalam Marwan Sarijo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Depag RI, 1996).
[52] Ibid., hlm. 2.
[53] Ibid., hlm. 14.
[54] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. v.
[55] M Amin Abdullah, ‘Kajian Ilmu Kalam’ dalam Komaruddin Hidayat, Hendro Prasetyo (Ed.) Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam  (Jakarta: Depag RI, 2000).

[56] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. vii-viii.
[57] M. Amin Abdullah, ‘Kata Pengantar’ dalam buku Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1-11.

[58] M. Amin Abdullah, 1995, Op. Cit.,  hlm. 12-13.
[59] Amin Abdullah, ‘Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam’ dalam M. Anies (Ed.) Religiusitas IPTEK  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 55.
[60] M. Amin Abdullah, 1995, Op. Cit.,  hlm. 17.
[61] Ibid., hlm. 29-44.

[62] Noeng Muhadjir, ‘Epistemologi Pendidikan Islam Pendekatan Teoretik-Filofik’ dalam M. Chabib Thoha et. al. (Ed.) Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 195-197.

[63] Noeng Muhadjir, ‘Pendidikan Islam bagi Masa Depan Umat Manusia’ dalam Nurhadi M. Musawir (Ed.) Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah (Almanak Muhammadiyah tahun 1997 M / 1417-1418 H)  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 105.
[64] Achamdi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 137-138. Lihat juga Slamet Widodo, “Pemikiran Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir tentang Pendidikan dan Metode Pengajaran (1987-1996)” (Skirpsi Sarjana, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1997),  hlm. 47-48.
[65] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan  (Yogyakarta:  BIGRAF Publishing, 2000).
[66] Ibid., hlm. 9.
[67] Ibid., hlm. 37-38.
[68] Ibid., hlm. 44-45.
[69] Ibid., hlm. 90-91.

0 Response to "GAGASAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ERA TAHUN 1990-2000"

Post a Comment