EKSPLORASI GAGASAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ERA TAHUN 1990-2000
A.
Kondisi Umum Pendidikan tahun
1990-2000
Secara umum di era tahun 1990 hingga tahun 2000 bangsa Indonesia tidak mengalami perubahan
“berarti”. Meski pemerintahan berganti tiga kali, perubahan sosial sebagai
dampak dari kebijakan pemerintah tidak banyak. Agaknya, sepanjang kurang lebih
sepuluh tahun hanya ada tiga fenomena besar, yakni kebijakan referendum untuk
Timor Timur yang berimplikasi lepasnya propinsi yang ke-27 tersebut, munculnya
UU No.2 tahun 1999 yang berujung pada menjamurnya partai-partai politik serta
dikeluarkannya UU No. 22 tentang otonomi daerah.
Di antara ketiga kebijakan tersebut, Undang-undang No. 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah-lah yang memiliki imbas langsung pada dunia
pendidikan. Otonomi daerah secara langsung berimbas pada adanya otonomi dalam
bidang pendidikan.
Otonomi pendidikan adalah kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, kabupaten mempunyai otonomi yang seluas-luasnya,
propinsi mempunyai wewenang di dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum.
Antara Pemda Kabupaten dengan Pemda Propinsi terdapat hubungan koordinatif dan
konsultatif, sedangkan antara Pemda Propinsi dan pemerintah pusat terdapat
hubungan akuntabilitas vertikal.
Melalui Undang-undang ini kepengurusan pendidikan diserahkan
kepada Pemda Kabupaten. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh di dalam
pengelolaan pendidikan yang lebih dekat kepada kebutuhan masyarakat daerah.[1]
Dalam hal ini antara masyarakat dan Pemda Kabupaten terdapat
hubungan akuntabilitas horizontal, artinya masyarakat dan Pemda dua-duanya
bertanggung jawab terhadap the stake
holder (masyarakat) yang memiliki
pendidikannya. Pemda berkewajiban untuk membantu masyarakat agar
penyelenggaraan pendidikannya efisien dan bermutu.[2]
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah tersebut,
perubahan di bidang pendidikan tampak pada diberlakukannya kurikulum 1994 untuk
sekolah dasar dan menengah yang kemudian disempurnakan pada tahun 1999. Untuk
tingkat perguruan tinggi perubahan kurikulum terjadi pada tahun 1995 dan
disempurnakan tahun 1997.
Perubahan lain di bidang pendidikan adalah diubahnya nama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) menjadi Departemen Pendidikan
Nasional (Diknas). Perubahan ini terjadi pada waktu pemerintahan Abdurrahman
Wahid.[3]
Sementara itu, selama kurun waktu tahun 1990-an hingga tahun
2000 wacana/diskursus pendidikan Islam di Indonesia cukup marak. Beberapa isu-
besar yang diungkap diantaranya adalah persoalan hubungan Pendidikan Islam
dengan Iptek, pendidikan Islam kaitannya dengan pendidikan nasional,
persoalan-persoalan pendidikan agama Islam (PAI) serta masalah-masalah di
seputar lembaga pendidikan Islam: pesantren, madrasah, IAIN dan sekolah Islam.
Selain itu, terdapat pula jawaban-kreatif
seputar pertanyaan klasik, “Adakah sistem pendidikan Islam ?”
B.
Pendidikan Islam dalam Sorotan
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena di samping
peranannya yang amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia,
juga karena di dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks
dan memerlukan penanganan segera.[4]
Beberapa masalah utama yang mewarnai dunia pendidikan Islam
dapat diklasifikasikan dalam lima hal, yaitu :
1.
Dicotomic yakni adanya
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu yang berasal dari wahyu dan ilmu
yang diperoleh dengan akal.
2.
Too general knowledge yaitu sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu
general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
3.
Lack of spirit inquiry atau rendahnya semangat untuk
melakukan penelitian/penyelidikan.
4.
Memorisasi yakni belajar dengan sistem hafalan (memorizing). Hal
ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan.
5.
Certificate oriented yaitu belajar yang hanya mengejar sertifikat/ijazah
bukan “kualitas substansial” yang dapat diterapkan /dimanfaatkan dalam proses
pembangunan.[5]
Ahmad Watik Pratiknya
mengungkapkan bahwa di antara persoalan pendidikan Islam adalah tiadanya
taksonomi dalam pendidikan Islam. Tentang masalah ini ia menulis:
Sudah menjadi
pengetahuan umum, bahwa taksonomi dalam sistem pendidikan apapun, memegang
peranan yang sangat penting dalam keseluruhan proses pendidikan, sejak dari perencanaan, pengembangan kurikulum,
implementasi dan evaluasinya.
Sudah diketahui pula bahwa taksonomi Bloom (dan modifikasinya) yang menstrukturasikan perilaku manusia dalam
tiga ranah (domain) yaitu: ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor, yang sudah merupakan
“acuan/pedoman suci” di dunia pendidikan kita, termasuk khasanah pendidikan
Islam. Walaupun dalam praktek para pendidik Islam menjumpai kesulitan (misalnya
masuk ranah apakah iman, ibadah, akhlak dan sebagainya) tetapi mereka cenderung
secara “membabi buta” menggunakan taksonomi
Bloom tersebut sebagai instrumen dalam proses pendidikan bagaikan sesuatu
yang “tabu” atau haram untuk dipersoalkan, apalagi diubah.[6]
Dalam buku Kapita
Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),[7] Muzayyin Arfin mengemukakan lima problem pendidikan
Islam, yaitu :
1.
Pengertian pendidikan Islam
2.
Sistem pendekatan dan
orientasi
3.
Pelembagaan proses
kependidikan Islam
4.
Pengaruh sains dan teknologi
canggih
5.
Perencanaan dan model-model
pendidikan Islam
Dalam buku yang lain,[8] Muzayyin
Arifin mengidentifikasi beberapa krisis pendidikan sebagai berikut :
1.
Krisis nilai-nilai
2.
Krisis konsep tentang
kesepakatan arti “hidup yang baik”
3.
Adanya kesenjangan
kredibilitas
4.
Beban institusi sekolah kita
terlalu besar melebihi kemampuannya
5.
Kurangnya sikap idealisme
dan citra remaja kita tentang peranannya di masa depan bangsa
6.
Kurang sensitif terhadap
pola kelangsungan hidup masa depan
7.
Kurangnya relevansi program
pendidikan di sekolah dengan kebutuhan pembangunan
8.
Adanya tendensi dalam
pemanfaatan secara naif kekuatan teknologi canggih
9.
Makin membesarnya
kesenjangan si kaya dan si miskin
10.
Ledakan pertumbuhan penduduk
11.
Makin bergesernya sikap
manusia ke arah pragmatisme yang pada gilirannya membawa ke arah materialisme
dan individualisme
M. Chabib Thoha –mantan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo- mengungkapkan dua tema besar yang dihadapi pendidikan Islam yakni
pendidikan Islam menyongsong abad ke-21 dan pendidikan Islam menghadapi
perkembangan iptek dan trasformasi sosiokultural.[9]
Sementara itu, Hasbullah[10]
mengungkapan ada tiga isu-isu besar pendidikan Islam di Indonesia, yaitu
pendidikan Islam pada sekolah umum, pendidikan Islam dan hubungannya dengan
IPTEK serta pendidikan Islam dalam satu sistem pendidikan nasional.
M. Noorsyam sebagaimana
dikutip oleh Zuhairini dan kawan-kawan[11]
mengungkapkan adanya beberapa masalah kependidikan yaitu hakikat pendidikan, apakah pendidikan itu
berguna untuk membina kepribadian manusia, tujuan pendidikan, siapakah yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan, apakah hakikat pribadi manusia itu,
apakah hakikat masyarakat itu, apakah isi kurikulum yang relevan dengan
pendidikan ideal, bagaimana metode pendidikan yang efektif serta bagaimana
penyelenggaraan pendidikan yang baik.
Guru Besar Ilmu Pendidikan
Islam yang juga mantan Rektor IAIN
Walisongo Semarang, Ahmad Ludjito (alm.) mengungkapkan beberapa masalah
pendidikan agama Islam yaitu masalah kurangnya jam pelajaran, Masalah dikotomi
antara pendidikan agama dan pendidikan umum serta masalah pendidikan agama dan
pendidikan pancasila. [12]
Masalah lain yang cukup memprihatinkan adalah persoalan
rendahnya kualitas sekolah-sekolah Islam. Menurut Ahmad Tafsir dalam tesis
magisternya, sekolah Islam secara pukul rata mutunya lebih rendah ketimbang
sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh lembaga Katholik.[13]
Persoalan-persoalan yang diungkap di atas ada yang tidak
pernah selesai, sudah selesai dan ada yang dalam proses penyelesaian. Problem
dicotomic adalah contoh persoalan yang terselesaikan oleh Noeng Muhadjir
melalui sepuluh paradigma pemikiran pendidikannya. Sementara itu, keterkaitan
pendidikan Islam dan IPTEK merupakan contoh persoalan yang tidak pernah akan
terselesaikan. Persoalan mutu sekolah-sekolah Islam adalah persoalan yang
sedang dalam proses penyelesaian.
Dalam praktek, persoalan pendidikan Islam sebenarnya
terkonsentrasi pada tiga tempat; pendidikan dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat. Ketiga tempat tersebut masing-masing memiliki karakteristik
persoalan yang berbeda serta membutuhkan jawaban dan solusi yang berbeda pula.
C.
Gagasan Pendidikan Intelektual Muslim
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa pendidikan Islam di sini
diartikan sebagai pendidikan yang dikemukakan oleh seorang muslim atau tepatnya
intelektual muslim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa sajakah
intelektual muslim itu ? Dengan kata lain, intelektual muslim mana saja yang concern terhadap pendidikan.
Atas dasar itulah maka perlu kiranya dibuat semacam kriteria
tentang siapa yang layak mendapat gelar “Pakar Pendidikan Muslim Indonesia
Kontemporer”. Untuk keperluan penelitian ini beberapa kriteria yang penulis
ajukan adalah :
1.
Beragama Islam
2.
Memiliki integritas keilmuan
yang diakui oleh masyarakat
3.
Mempunyai karya ilmiah dalam
bentuk buku yang dipublikasikan -edisi
pertama, cetakan pertama- antara tahun 1990-2000
4.
Memiliki popularitas di
tingkat Jawa Tengah
5.
Mempunyai original idea (gagasan yang orisinil)
mengenai pendidikan Islam
Berdasarkan lima kriteria tersebut di atas beberapa nama yang
muncul adalah Abdurrahman Mas’ud, Abuddin Nata, Achmadi, Ahmad Tafsir, A. Malik
Fadjar, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, Mastuhu, Noeng Muhadjir dan Zamroni.
Berikut akan diuraikan secara lebih detil gagasan
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh tersebut :
1.
Abdurrahman
Mas’ud
Gagasan pemikiran pendidikan Islam Abdurrahman Mas’ud tergambar dalam disertasinya yang berjudul The Pesantren Architecth and Their
Socio-Religious Teachings (1850-1950) yang ditulis untuk memperoleh gelar
doktor dalam bidang kajian Islam di University of California Los Angeles tahun
1997.
Inti sari disertasi tersebut sebagaimana menurut Fatah Syukur[14] adalah
pelacakan terhadap lima ulama besar yang berhubungan dengan Hijaz dan mempunyai
pengaruh pada dunia pesantren sampai sekarang ini. Kelima ulama ini
dikategorikan menjadi dua, kategori pertama yakni Nawawi al-Bantani dan Mahfud
al-Tirmizi. Kemudian kategori kedua adalah Hasyim Asy’ari, Khalil Bangkalan dan
Raden Asnawi Kudus.
Secara lengkap Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan :
The roots of Islamic teaching, the santri Muslims of Indonesia together with the intellectual masters
of the pesantren tradition and the pesantren strategists during the
nineteenth and twentieth centuries are the main subjects in this work. Their
intellectual biography including their historical background, socio-religious
role in society as well as their religious principles are elaborated. These ulama who were intellectually linked to Hijazi education are Nawawi al-Bantani
(d.1897), Mahfud al-Turmusi (d. 1919), Khalil Bangkalan (d.1924), Hasyim
Asy’ari (d. 1947) and Asnawi Kudus (d. 1959). The supremacy of these ulama is demonstrated by the fact that
their students became the leaders of the pesantren
community all over Java, and that the letter not only glorified them as actual
masters and leaders but used the works of these ulama as well until now.[15]
Abdurrahman Mas’ud menyebut Nawawi al-Bantani dan Mahfud
al-Tirmizi sebagai pesantren intelectual
masters. Sementara untuk Hasyim Asy’ari, Khalil Bangkalan dan Raden Asnawi
Kudus disebutnya sebagai pesantren
strategits.
Nawawi al-Bantani dan Mahfud al-Tirmizi, menurut Rahman,
bukan hanya besar karena menjadi Imamul Haramain, lebih dari itu, mereka telah
melahirkan santri-santri yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh utama di
Jawa khususnya. Di samping itu, ulama tersebut melahirkan banyak karya yang hingga kini masih dipakai di dunia
pesantren.
Kontribusi kedua ulama besar ini dapat dikenal melalui
karya-karyanya dan status mulia (imam masjid Makkah) yang sangat diakui oleh
dunia Islam secara umum. Warisan utama mereka ke dunia pesantren adalah
dedikasinya secara utuh dalam mentransfer ilmu pengetahuan serta mendidik para
pendiri pesantren di Indonesia.
Para pendiri pesantren yang dikategorikan dalam kelompok
kedua (Hasyim Asy’ari, Khalil Bangkalan dan Raden Asnawi Kudus) atau yang dia
sebut sebagai pesantren strategits telah
belajar banyak kepada kedua ulama ini. Meskipun master intelektual pesantren
ini domisilinya berada di negeri jauh, tapi posisi mereka sebagai master
intelektual pesantren tidak bisa diragukan. Kedua ulama ini sebagai inspirator
dan kiblat utama para pendiri pesantren di Jawa dan Madura.
Ulama-ulama ini setelah belajar/diwisuda dari Hijaz kemudian
mendirikan pesantren di Jawa dan Madura. Keterlibatan mereka dalam komunitas
pesantren sangat jelas. Selain sebagai pendiri pesantren-pesantren besar,
mereka sangat dihormati dan dijadikan model bagi pesantren-pesantren yang
muncul sesudahnya. Lebih dari itu mereka
memelopori perkembangan komunitas pesantren secara organisatoris pada level
nasional, yang berupa jam’iyyah Nahdatul Ulama.
Ketiga ulama terakhir ini jelas mempunyai pengaruh besar
dalam dunia pesantren yang terlihat sampai sekarang. Ketiganya bukan hanya
pernah mendirikan pesantren besar, tetapi juga telah melahirkan santri-santri
dan ulama-ulama besar setelahnya. Oleh karena itu Rahman menyebutnya sebagai
‘kaum pesantren strategis’
Keterikatan hubungan antara ulama kelompok pertama dan kedua
terlihat juga pada orientasi pesantren pada ajaran madzhab yang
dikembangkannya, yakni lebih berorientasi pada fiqh madzhab empat (Hanafi,
Maliki, Syafi’i da Hanbali) atau yang lebih dominan lagi adalah madzhab
Syafi’i. Penelitian yang mendalam mengenai dimensi ini menunjukkan adanya
hubungan filosofis dan keagamaan antara taklid (intelectual imitation) dan
fungsi ulama sebagai role model
dalam masyarakat.
Berbicara tentang model, menurut Rahman bahwa sebenarnya
ulama pesantren mendasarkan tingkah laku dan model dakwahnya pada contoh Nabi
dan Walisongo. Melalui ajaran cultural
resistence (pemeliharaan budaya) yang diwariskan Walisongo, tradisi
pesantren menunjukkan dinamika dalam mengambil elemen-elemen budaya Islam dan
asing. Namun demikian mereka masih tetap berdiri tegas pada prinsip-prinsip
ajaran Islam.
Setelah mengurai sejarah pesantren dari Walisongo hingga
kini, secara atraktif Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan tiga karakteristik utama
budaya pesantren. Rahman menarik benang merah tentang hakikat dan watak dasar
pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai sosiokultural politik.
Menurutnya, ada tiga karakteristik pesantren yakni modelling, cultural
resistence dan budaya keilmuan yang tinggi.
Selain itu, Abdurrahman Masu’ud[16] juga
mengungkap tentang Reward and Punishment
in Islamic Education. Menurutnya, dalam dunia pendidikan ada teori umum
yang perlu dipertimbangkan bahwa sistem punishment
dan reward yang paling efektif adalah
jika pelaksanaan punishment dikurangi
atau dihindarkan bila memungkinkan dan konsep reward ditekankan pelaksanaanya.
2.
Abuddin
Nata
Secara umum, pemikiran pendidikan Abuddin Nata terkonsentrasi
pada sepuluh hal, yaitu :[17]
1.
Pengertian, ruang lingkup dan
kegunaan filsafat pendidikan Islam
2.
Kedudukan manusia dalam alam
semesta
3.
Tinjauan filosofis tentang tujuan
pendidikan
4.
Tinjauan filosofis tentang
pendidik
5.
Tinjauan filosofis tentang anak
didik
6.
Tinjauan filosofis tentang metode
pendidikan
7.
Tinjauan filosofis tentang
lingkungan pendidikan Islam
8.
Tinjauan filosofis tentang
kurikulum
9.
Tinjauan filosofis tentang
evaluasi pendidikan Islam
10.
Pemikiran tokoh-tokoh pendidikan
Islam
Perihal filsafat
pendidikan Islam dia menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan
suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam
kegiatan pendidikan yang didasarkan pada
al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber primer dan pendapat para ahli, khususnya
para para filosof muslim, sebagai sumber sekunder.
Selain itu filsafat
pendidikan Islam dapat pula dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis,
yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal tentang
masalah-masalah pendidikan seperti masalah manusia (anak didik), guru,
kurikulum, metode dan lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar acuannya.[18]
Menurut Abuddin Nata, yang
tergolong pakar pendidikan Islam adalah Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan
al-Safa, Zainudin Labai, Ahmad Surkati dan Ahmad Dahlan.
Mengenai pendidikan Islam,
Nata mengartikan sebagai upaya membimbing, mengarahkan dan membina peserta
didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian
yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[19]
Lebih lanjut, Abuddin Nata
membagi model-model penelitian pendidikan ke dalam tiga contoh : [20]
1.
Model penelitian tentang problem
guru
2.
Model penelitian tentang lembaga
pendidikan Islam
3.
Model penelitian tentang kultur
pendidikan Islam
Di bagian penutup Abuddin
Nata berkesimpulan bahwa Islam dengan sumber ajarannya al-Qur’an dan al-Sunnah
yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan
jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang
pendidikan. Karenanya tidak heran untuk kita katakan bahwa secara epistemologis
Islam memiliki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam.[21]
Dalam suatu
tulisannya, Abuddin Nata mengusulkan tentang perlunya pembinaan dan
pengembangan kurikulum IAIN. Beberapa strategi yang bisa dilakukan yakni, pertama, memfungsikan pejabat yang
berwenang dan dosen, kedua, menghidupkan
konsorsium, ketiga, mengaktifkan
kegiatan penelitian, keempat, menyediakan
berbagai sarana belajar mengajar dan kelima
adalah menciptakan situasi akademik
yang demokratis.[22]
3.
Achmadi
Pokok pikiran Achmadi
tentang pendidikan Islam dapat dikelompokkan menjadi empat hal :
a.
Gagasan Islam sebagai
paradigma ilmu pendidikan [23]
Yang
dimaksud dengan Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah penggunaan
nilai-nilai Islam sebagai sudut pandang secara menyeluruh mengenai
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala pendidikan dalam rangka
menyusun teori pendidikan.
Hal ini didasarkan kenyataan bahwa Islam sebagai wahyu Allah
yang merupakan pedoman hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan
di akhirat, baru dapat dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah
melalui pendidikan. Karena Nabi Muhammad SAW. sendiri diutus sebagai pendidik
umat manusia, atau The Educator of Mankind, maka tidak diragukan lagi bahwa
ajaran Islam sarat dengan konsep-konsep pendidikan. Oleh karena itu bukan suatu
pekerjaan mengada-ada bila Islam diangkap sebagai alternatif paradigma ilmu
pendidikan.
Alasan-alasan mendasar lain yang dapat dikemukakan adalah
sebagai berikut :
Pertama, Ilmu
pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif karena ia terikat
dengan norma-norma tertentu; dan di sini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk
dijadikan norma dalam ilmu pendidikan itu.
Kedua, dalam
menganalisis dan mengatasi berbagai masalah pendidikan, para ahli pendidikan
kita selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan segala masalah
pendidikan, baik makro maupun mikro, yang ada di negeri kita ini dapat
diterangkan dengan teori-teori atau falsafat pendidikan Barat. Padahal filsafat
Barat pada umumnya bersifat sekular, sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Karena itu nilai-nilai ideal Islam kiranya akan lebih sesuai
untuk menganalisis gejala-gejala kependidikan di Indonesia tersebut.[24]
b.
Perihal pendidikan Islam dan
pendidikan agama Islam
Achmadi membedakan antara Pendikan Islam dengan Pendidikan
Agama Islam.[25] Bila
pendidikan Islam diartikan sebagai segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Sedang
pendidikan agama Islam (PAI) merupakan usaha yang lebih khusus ditekankan untuk
mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik agar lebih mampu memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Implikasi dari pengertian ini, pendidikan agama Islam
merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam. Bahkan
tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai
jalur pengintegrasian wawasan Islam dengan bidang-bidang studi (pendidikan)
yang lain. Implikasinya lebih lanjut pendidikan agama harus sudah dilaksanakan
sejak dini sebelum anak memperoleh pendidikan atau pengajaran ilmu-ilmu yang
lain.
Pendidikan agama Islam mencakup bidang-bidang studi agama
seperti tauhid, fiqh, tarikh nabi, membaca al-Qur’an, tafsir dan hadis.
Sedangkan pendidikan Islam mencakup lebih luas dari itu.
c.
Dasar-dasar pelaksanaan
pendidikan agama Islam di sekolah[26]
Dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah
merupakan alasan-alasan atau landasan penyelenggaraan pendidikan agama Islam di
sekolah.
Menurut Achmadi, dasar-dasar atau landasan penyelenggaraan
pendidikan agama Islam di sekolah dapat ditinjau dari berbagai aspek :
1)
Aspek Normatif
2)
Aspek Psikologis
3)
Aspek Historis
4)
Aspek Yuridis
Berdasarkan tinjauan keempat aspek tersebut jelas sekali
bahwa pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di Indonesia khususnya pendidikan
agama di sekolah memiliki landasan yang sangat kuat.
d.
Orientasi pendidikan agama
Islam [27]
Achmadi menjelaskan adanya empat orientasi pendidikan agama
Islam (PAI) yaitu :
1)
Orientasi kebutuhan hidup
bersama
2)
Orientasi mewujudkan rahmatan li al-alamin
3)
Orientasi nilai Islam
4)
Orientasi keterpaduan
wawasan agama dan Ilmu
Menurutnya, dengan mengacu pada
keempat orientasi tersebut seluruh komponen dalam PAI diformulasikan dan
dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah, sehingga lebih mengarah ke
esensi ajaran agama Islam (back to the
essence of the religion). Di samping
itu juga akan selalu relevan dengan kondisi obyektif-empiris.
4.
Ahmad
Tafsir
Pemikiran pendidikan Ahmad Tafsir terbagi menjadi :
1.
Perihal konsep pengetahuan
Menurut Tafsir, konsep pengetahuan dibagi menjadi tiga macam,
yakni sains, filsafat dan mistik. Ketiga pengetahuan tersebut digambarkan dalam
sebuah matriks sebagai berikut :[28]
MACAM PENGETAHUAN
|
OBJEK
|
PARA- DIGMA
|
METODE
|
KRITERIA
|
Sains
|
Empiris
|
Sains
|
Sains
|
Logis dan empiris
|
Filsafat
|
Abstrak Logis
|
Logis
|
Logis
|
Logis
|
Mistik
|
Abstrak Supralogis
|
Mistik
|
Mistik
|
Keyakinan, rasa
|
Sains adalah
sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap objek-objek
yang empiris; benar-tidaknya suatu teori ditentukan oleh logis-tidaknya dan
ada-tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis dan ada bukti empiris, maka
teori sains itu benar. Teori-teori dalam pendidikan Islam haruslah dapat diuji
secara logis dan sekaligus empiris.
Filsafat adalah
sejenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang objek-objek yang abstrak.
Filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya
dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara
empiris.
Mistik adalah
pengetahuan tentang objek-objek supralogis atau suprarasional atau
metarasional. Pengetahuan jenis ini diperoleh dengan cara merasakan,
mempercayai begitu saja. Rasa kita
itulah yang bekerja untuk menerima dan memperoleh pengetahuan jenis ini.[29]
Mana pengetahuan agama ? Pengetahuan agama itu apa ? Bila
agama ialah wahyu Tuhan, maka al-Qur’an (untuk agama Islam) itu isinya ada yang
dapat dipahami secara sains, ada yang dapat dipahami secara filsafat, dan
kebanyakan hanya dapat dipahami secara mistik. Dilihat dari segi lain, seluruh
ayat al-Qur’an harus diterima dengan yakin; berarti semuanya masuk pengetahuan
mistik. Jadi, al-Qur’an itu isinya ada yang saintifik, ada yang logis, ada yang
mistik. Dilihat dari segi lain, isi al-Qur’an semuanya diterima berdasarkan
keyakinan, jadi semuanya pengetahuan mistik.[30]
2.
Perbedaan filsafat, ilmu dan
teknik pendidikan Islam
Bagi Tafsir,[31] ilmu
pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah
teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Ilmu sejarah berisi tentang
sejarah, ilmu alam (fisika) berisi teori-teori tentang alam fisik. Maka isi
ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu pendidikan Islam
merupakan kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkan ajaran Islam.
Akan tetapi, apakah isi
ilmu hanya kumpulan teori ? Secara esensial memang ya, tetapi sebenarnya
secara lengkap isi suatu ilmu bukan hanya teori. Secara lengkap isi ilmu adalah
(1) teori, (2) penjelasan tentang teori, (3) data yang mendukung penjelasan
itu.
Ilmu atau sains adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis
dan mempunyai bukti empiris. Kaidah ini saya gunakan untuk ilmu pendidikan
Islam. Teori-teori di dalam ilmu pendidikan Islam haruslah dapat diuji secara
logis sekaligus empiris. Bila kurang satu saja, maka ia bukan ilmu pendidikan Islam.
Adapun filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis
saja, tentang objek-objek yang abstrak. Bisa saja objek penelitiannya kongkret,
tetapi yang ingin diketahuinya adalah bagian abstraknya. Sedangkan mistik
adalah pengetahuan tentang objek-objek abstrak supralogis, atau suprarasional
atau metarasional. Pengetahuan mistik diperoleh dengan cara merasakan,
mempercayai begitu saja. Rasa kita
itulah yang bekerja untuk menerima dan memperoleh pengetahuan jenis ini.
Pengetahuan kita tentang Tuhan, surga, neraka dan sebangsanya sebenarnya bukan
diperoleh lewat akal, melainkan diperoleh lewat iman; iman itu pada hakikatnya
adalah rasa.
Jadi menurut Tafsir,[32] ada tiga
macam pengetahuan : sains, filsafat dan mistik. Bagaimana dengan teknik pendidikan Islam ? Teknik yang
dimaksud di sini bukanlah teknologi; teknologi bagi saya masih berada pada
daerah sains, selevel dengan sains. Teknik adalah juklak (petunjuk pelaksanaan)
teori-teori sains. Yang saya maksud dengan teknik adalah manual, yaitu cara operasional dalam melaksanakan ajaran-ajaran
teori. Bagaimana kedudukan teknik ini dalam struktur pengetahuan tadi ?
Bagi orang yang beriman secara Islam, struktur pengetahuannya
kira-kira sebagai berikut :
3.
Metodologi Pengajaran Agama
Islam[33]
Metode pengajaan agama Islam adalah cara yang paling tepat
dan cepat dalam mengajarkan agama Islam. Kata “tepat dan cepat” inilah yang
sering diungkapkan dalam ungkapan “efektif dan efisien”. Dengan kata lain,
metodologi pengajaran agama Islam adalah cara yang paling efektif dan efisien
dalam mengajarkan agama Islam.[34]
Metodologi ialah pembahasan tentang metode atau
metode-metode. Metodologi pengajaran agama Islam ialah pembahasan tentang
metode atau metode-metode pengajaran agama Islam. Sedangkan metodologi pengajaran
agama Islam disederhanakan menjadi tentang teori-teori tentang langkah-langkah
pengajaran dalam pengajaran agama Islam, atau teori-teori membuat lesson plan
agama Islam.[35]
Menurutnya,[36] dalam
pembuatan lesson plan kita harus berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut
:
1.
Memahami tujuan pendidikan
2.
Menguasai bahan pengajaran
3.
Memahami teori pendidikan
selain teori pengajaran
4.
Memahami prinsip-prinsip
mengajar
5.
Memahami teori-teori belajar
6.
Memahami metode mengajar
7.
Memahami model-model
pengajaran
8.
Menerapkan prinsip-prinsip
evaluasi yang tepat
Dalam penerapan lesson plan, Tafsir membaginya pada aspek
ketrampilan, kognitif dan sikap beragama.
Dalam suatu tulisannya,[37] dia
menyoroti pentingnya pendidikan agama dalam keluarga. Menurutnya, menyerahkan
seratus persen pendidikan keimanan bagi anak-anak kita ke sekolah, ke pesantren
dan atau kepada guru agama yang diundang ke rumah merupakan tindakan yang
berbahaya. Sebab, sekolah, pesantren dan guru agama yang diundang itu tidak
akan mampu melakukan pendidikan keimanan tersebut.
Pendidikan agama di dalam keluarga sangatlah perlu, karena
keluargalah satu-satunya institusi pendidikan yang mampu melakukan pendidikan
keberimanan bagi anak-anaknya.
5.
A. Malik
Fadjar
Beberapa pokok pikiran A Malik Fadjar tentang pendidikan adalah
:
a.
Empat model pemikiran
pendidikan Islam[38]
Model-model pemikiran pendidikan tersebut adalah :
1)
Pendidikan Islam harus
merujuk kepada pendidikan sebagaimana yang secara sosiologis dicontohkan oleh
Rasulullah dan generasi sahabatnya
2)
Pendidikan Islam sebenarnya
tidak ada; yang ada adalah pendidikan Islami. Pendidikan Islam tidak lain
adalah pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi Islam, baik
dikelola oleh kaum muslimin maupun yang bukan
3)
Pendidikan Islam hanya
menyediakan bahan baku, sedangkan untuk menjadi sistem yang operasional,
manusia diberikan kebebasan untuk membangun dan menerjemahkan. Karenya tidak
ada pendidikan Islam yang baku, melainkan manusia dirangsang untuk menciptakan
sistem pendidikan yang paling ideal
4)
Islam tidak mengatur masalah
pendidikan. Islam hanya memberikan petunjuk sebagai asas, tujuan dan
nilai-nilai etis berkenaan dengan operasionalisasi pendidikan.
b.
Pendidikan berwawasan
semesta [39]
Pendidikan Islam adalah bagian tidak terpisahkan dari
tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan
kader-kader khalifah dalam rangka
membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana
diisyaratkan oleh Allah, maka pendidikan Islam mestinya adalah pendidikan yang
paling ideal, karena tidak hanya berwawasan mendunia –apalagi pragmentaris-
tetapi juga berwawasan kehidupan secara utuh dan multi dimensional. Tidak hanya
berorientasi untuk membuat dunia menjadi
sejahtera dan gegap gempita, tetapi juga mengajarkan bahwa dunia sebagai
ladang, sekaligus ujian untuk dapat lebih baik di akhirat.
Pendidikan Islam mengemban misi melahirkan manusia
yang tidak hanya memanfaatkan persediaan alam, tetapi juga manusia yang mau
bersyukur kepada yang membuat manusia dan alam, memperlakukan manusia sebagai
khalifah dan memperlakukan alam tidak hanya sebagai objek penderita semata
tetapi juga sebagai komponen integral dari sistem kehidupan.
c.
Perlunya liberalisasi ilmu [40]
Bangsa yang hendak maju adalah bangsa yang melakukan
liberalisasi dalam bidang berpikir dan ilmu pengetahuan. Yakni bangsa yang
tidak menganggap dirinya paling maju, bangsa yang terbuka untuk menerima ilmu
dari mana saja, bangsa agresif, ofensif dan mendunia. Bukan bangsa yang
tertutup, arogan, dan menganggap ilmu orang lain sebagai ilmu sekuler, ilmu
kafir dan lain sebagainya.
Salah satu kunci untuk menciptakan masyarakat yang
maju adalah dengan cara membiasakan masyarakat untuk berpandangan bahwa setiap
persoalan selalu terdapat lebih dari satu jawaban. Dan jawaban yang satu tidak
sama dengan jawaban yang lain. Berdasarkan pandangan ini, suatu masyarakat yang
memiliki sikap tadi akan selalu mencari jawaban terbaik dalam menghadapi setiap
persoalan. Dan sikap semacam ini, akan mendorong masyarakat untuk selalu
mencari jawaban yang lebih baik daripada jawaban yang telah ada.[41]
Sikap semacam ini tidak akan timbul selama suatu
masyarakat masih berpegang kepada suatu pandangan bahwa setiap jawaban yang
terdapat di dalam masyarakat untuk menjawab berbagai masalah dan tantangan
merupakan anugerah dari kekuatan gaib, yang diturunkan kepada manusia sejak
permulaan kehidupan.
d.
Saran untuk Guru agama[42]
Pertama, untuk
memperkaya dan memperluas pengetahuan guru agama diperlukan adanya kegiatan
orientasi secara periodik antar guru agama. Pelaksanaanya bisa dilakukan
berdasarkan sistem rayon, baik melalui unit pemiliknya maupun lewat PGRI.
Kedua, program
penataran dan penyetaraan yang sekarang berlaku hendaknya pada
pengembangan wawasan dan bukan pada
hal-hal yang bersifat teknis seperti hanya berkisar pada persoalan
institusionalnya, tetapi lebih jauh dari itu juga yang bersifat penalaran
konsepsionalnya.
Ketiga, dengan
keterbatasan pemilikian sumber belajar dan informasi ada baiknya kalau minimal
satu tahun sekali ada paket buku untuk guru agama. Dan untuk ini bisa diproyekkan
lewat Yayasan Haji Indonesia atau yayasan-yayasan pendidikan Islam yang sudah
mapan.
e.
“Pilot Project” Andal antara
Muhammadiyah dan NU
Dalam seminar
Nasional Muhammadiyah dan NU : Reorientasi Wawasan Keislaman tanggal 30-31
Januari 1993 di UMM Yogyakarta, Malik Fadjar menawarkan gagasan praktis, yaitu
perlunya Muhammadiyah dan NU membuat semacam “pilot proyek” pendidikan yang
secara spiritual Islami namun berwawasan keilmuan dan empirik. Sehingga bisa
melahirkan hasilan yang “hatinya dilimpahi suasana iman, dan di dalam
pemikirannya melimpahkan ilmu pengetahuan”, serta “di tangannya tersimpan
sejuta kecakapan”.[43]
f.
Pendidikan sebagai praksis
humanisasi[44]
Beberapa noktah pemikiran A. Malik Fadjar berkaitan dengan
pendidikan sebaggai praksis humanisasi adalah sebagai berikut :
Pertama, pada
tataran filosofis terutama yang berhubungan dengan manusia perlu dilakukan
langkah rekonstruksi. Dengan kata lain, pandangan tentang manusia sebagai
subyek didik harus ditinjau ulang dan dirumuskan kembali. Kita perlu merubah
cara pandang reduksionistik dan menggantikan cara pandang yang holistik dan
mendasar. Oleh karena itu, telaah kefilsafatan menjadi penting di sini. Dalam
telaah ini watak eksistensial manusia sebagai makhluk merdeka dan memiliki
kemajemukan dalam berbagai dimensinya perlu diungkap secara elaboratif. Dalam
konteks ini, konsep tauhid, dapat dijadikan sebagai acuan paradigmatis. Hal ini
karena dalam konsep tauhid terkandung ajaran pemerdekaan dan pembebasan yang
sejati.
Kedua, dalam
pembelajaran perlu dihindari cara-cara indoktrinasi dan monologis serta
perlakuan yang bersifat uniform terhadap peserta didik. Sebaliknya, peserta
didik perlu diakui kemerdekaan dan individualitasnya, serta peserta didik
terus-menerus ditumbuhkan kemandirian dalam berpikir dan bertindak. Sikap yang
lebih mengutamakan pencapaian target formalitas perlu diubah dengan sikap yang
lebih mengutamakan peningkatan kemampuan belajar (learning capacity) peserta
didik.
Ketiga, di masa
sekarang dan yang akan datang pengelolaan pendidikan harus lebih demokratis
dalam bentuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat. Saat ini
pemerintah sedang menggulirkan kebijakan otonomi pendidikan. Ini merupakan
momentum penting bagi masyarakat untuk berpartisipasi tidak saja dalam aspek manajemennya,
lebih penting lagi adalah dalam memperkaya muatan pendidikan dengan wacana
kultural, sosial, agama dan lain sebagainya yang berkembang di lingkungan
sekitarnya.
g.
Madrasah dan Tantangan
Modernitas[45]
Dalam buku madrasah dan tantangan modernitas ini A.
Malik Fadjar mengurai secara baik kondisi madrasah. Dia melakukan pemetaan
terhadap potensi, kendala, tantangan, harapan dan peluang serta perkembangan
madrasah dalam partisipasinya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam karyanya ini terlihat bahwa pada satu sisi Malik
Fadjar ingin memberdayakan madrasah, namun di sisi lain ia ingin mempertahankan
keunikan madrasah.
6.
Azyumardi
Azra
Meskipun berlatar belakang sejarah, pemikiran pendidikan Azyumardi Azra teramat banyak. Secara
mudah pemikiran Azyumardi Azra dikelompokkan menjadi tiga tema besar, yaitu
pendidikan Islam menghadapi kemajaun sains, masalah pesantren dan surau serta
persoalan yang melingkupi IAIN.[46]
Pemikiran pendidikan Azyumardi Azra yang lain setidaknya
terangkum dalam disertasinya yang berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to
Indonesia; Networks of Middle Eastern and Malay Indonesian ‘ulama’ in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries”.
Inti pokok isi disertasi tersebut adalah perihal transmisi
gagasan-gagaasan pembaharuan keagamaan dari pusat-pusat keilmuan Islam (Mekkah,
Madinah) ke Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 masehi. Menurut Azyumardi Azra
sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama, yang
terutama berpusat di Mekkah dan Madinah.[47]
Bagi Azra, pengembangan gagasan pembauran dan tranmisi
melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat kompleks. Terdapat
saling silang hubungan di antara banyak ulama dalam jaringan sebagai hasil dari
proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang hadis dan tasawuf (thariqah).
Hubungan antara kaum
muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah terjalin sejak masa-masa
awal Islam. Para pedagang muslim dari Arab, Persia, dan anak benua India yang
mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas
tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penetrasi Islam di
masa lebih belakangan nampaknya lebih dilakukan para guru pengembara sufi yang
sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara.[48]
Azra berkesimpulan[49] bahwa
pembaharuan Islam di Nusantara dimulai sejak paruh kedua abad ketujuh belas dan
bukannya pada abad kesembilan belas atau kedua puluh.
Menyangkut pembaharuan ini, Islam diwilayah Malayu-Indonesia
pada abad ketujuh belas bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf
melainkan juga Islam yang berorientasi pada syariat (hukum). Ini merupakan
pembaharuan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abad-abad
sebelumnya, Islam mistislah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di
Timur Tengah, para ulama Melayu-Indonesia sejak paruh kedua abad ketujuh belas
dan seterusnya melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar, bahkan
secara serentak, untuk menyebarkan neo-Sufisme di Nusantara.
Neo-Sufisme berbeda dari jenis tasawuf sebelumnya yang
sebagian besarnya merupakan semacam penafsiran mistiko-filosofis terhadap
Islam. Sementara mempertahankan doktrin-doktrin mistisisme filosofis tertentu,
yang sangat penting bagi setiap jenis tasawuf, neo-Sufisme memberikan tekanan
lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya kepada
syariat. Lebih jauh lagi, berbeda dengan jenis tasawuf sebelumnya yang
cenderung mendorong para sufi bersikap pasif, neo-Sufisme menganjurkan
aktivisme. Keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu
langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis.
Bangkitnya neo-Sufisme merupakan hasil usaha jaringan ulama,
yang semakin berjaya sejak menjelang akhir abad keenam belas. Jaringan ulama
yang terpusat terutama di Haramayn timbul sebagai akibat interaksi berbagai
tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam dari Afrika Utara, Mesir, Syiria, Yaman,
India dan Haramayn sendiri.
Pembaharuan dalam jaringan ulama tidak selalu seragam.
Kebanyakan ulama cenderung mendukung evolusioner terhadap pembaharuan,
sementara sebagian di antara mereka seperti Abd Al-Wahhab dan Utsman bin Fudi
memilih pendekatan lebih radikal dan melancarkan jihad melawan kaum muslim yang
tidak mau menerima ajaran-ajaran mereka. Dalam kasus wilayah Melayu-Indonesia,
gagasan pembaruan yang disebarkan para ulama sebelumnya menemukan ekspresi yang
radikal dalam Gerakan Padri.
Dalam suatu kumpulan tulisan,[50] Azra
mengusulkan perlunya IAIN berubah menjaid Universitas Islam Negeri (UIN). Untuk
menuju ke arah itu, IAIN perlu menerapkan konsep IAIN with wider mandate (IAIN dengan mandat yang diperluas). Artinya IAIN bisa
membuka program studi di bidang ilmu-ilmu eksak seperti matematika dan IPA.
Jurusan-jurusan tersebut pada waktunya nanti akan dikonsolidasikan menjadi
Fakultas MIPA.
Dalam tulisan yang lain,[51] Azra
mengemukakan tentang perlunya pembaruan pendidikan Islam. Gagasan dan program
pembaruan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan
program pembaruan Islam secara keseluruhan.
Kerangka dasar yang berada di balik “modernisme” Islam adalah
bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam –termasuk pendidikan- haruslah
dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”;
mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan
memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslimin dalam berhadapan dengan
kemajuan modern.[52]
Selain hal tersebut, Azra juga mengakui adanya krisis
epistemologis dalam pendidikan Islam. Salah satu masalah pokok yang hingga
sekarang masih menduduki tempat dalam wacana pemikiran Islam pada umumnya
adalah hubungan antara Islam dengan modernisme, modernitas dan modernisasi itu
sendiri.
Pada tingkat doktrin, hampir seluruh pemikir Islam modern
sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan
modernitas. Persoalannya kemudian adalah jika Islam compatibe dengan modernitas
sejauh manakah modernisme dan modernisasi bisa ditoleransi ?[53]
7.
M. Amin
Abdullah
Keseluruhan pemikiran Amin Abdullah berkisar pada ide tentang
pemikiran kalam (falsafah kalam) sesuai dengan disiplin ilmu yang dia geluti.
Meski berkutat masalah kalam, bukan berarti substansi pemikiran Amin Abdullah
tak tidak menyentuh pada persoalan pendidikan. Menurutnya, pemikiran kalam
mempunyai tempat yang cukup sentral, sedemikian sentralnya sehingga segala
persoalan keagamaan selalu saja dilihat dan ditelaah dari perspektif ilmu
kalam, terutama klasik.[54]
Dalam Dirasat
Islamiyah, Ilmu Kalam (ilm al-kalam) termasuk kajian yang pokok dan
sentral. Ilmu ini masuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber
pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia mewarnai, mengarahkan sampai
batas-batas tertentu “mendominasi” arah, corak, muatan materi dan metodologi
kajian-kajian keislaman yang lain.[55]
Bila ditarik secara luas maka pemikiran pendidikan pun
terpengaruh oleh pemikiran ilmu kalam. Dengan demikian secara mudah menurut
Amin Abdullah pemikiran pendidikan terbagi atas (sebagaimana dalam paham atau
aliran teologi klasik) :
1.
Pemikiran Khawarij
2.
Pemikiran Murji’ah
3.
Pemikiran Qadariah dan
Jabariah
4.
Pemikiran Mu’tazilah
5.
Pemikiran Ahli Sunah wal
Jamaah
Ide besar Amin Abdullah adalah perihal sudut pendekatan dalam
memahami agama antara normativitas ajaran wahyu dan historisitas pemahaman dan interpresi
orang perorang atau kelompok perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang
dipeluknya.
Menurutnya, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah
koin (mata uang) dengan dua permukaan. Hubungan antara kedua permukaan koin tidak dapat dipisahkan tetapi secara
tegas dan jelas dapat dibedakan.
Hubungan antara keduanya bukan seperti dua entitas yang berdiri sendiri-sendiri
dan saling berhadap-hadapan tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut
sedemikian ruap sehingga keduanya menyatu menjadi satu keutuhan yang kokoh dan
kompak.[56]
Dalam tulisan yang lain,[57] Amin
mengungkapkan bahwa dalam memahami agama terdapat tiga pendekatan:
doktrinal-normatif, kultural-historis dan kritis-filosofis. Hubungan antara
ketiganya bersifat sirkular dalam
arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam studi agama
sadar dan memahami keterbatasan dan kelemahan yang melekat pada dirinya.
Menurut Amin Abdullah
sistem pendidikan agama pada zaman dahulu diarahkan untuk menumbuhkan penalaran logis dan kritis. Sehingga,
tantangan utama pendidikan agama dewasa ini, baik pesantren, madrasah ataupun
lebih-lebih perguruan tinggi agama yakni “Mungkinkah bisa mencetak dan
melahirkan para mujtahid, yakni para pengamat dan pemikir agama ? Yakni mungkinkah fakultas-fakultas agama
dalam jangka dua puluh lima tahun mendatang dapat mencetak para calon mujtahid
muda ? [58]
Dalam suatu tulisannya, [59] Amin
Abdullah mengemukakan adanya problem epistemologis-metodologis pendidikan
Islam. Menurutnya, diskursus epistemologis yang mengandaikan perlunya shifting paradigm dalam metodologi,
tidak perlu dipertentangkan dengan wilayah realitas ontologis dari keyakinan
beragama yang dianggap tidak perlu berubah.
Perihal IAIN, menurutnya terdapat tuntutan “ganda” terhadap
keberadaannya. Yang pertama,
berkaitan erat dengan eksistensinya sebagai lembaga “keilmuan” yang dituntut
untuk mengajarkan, meneliti, mengembangkan ilmu pengetahuan agama Islam. Kedua, tuntutan yang terkait dengan
kelembagaan IAIN sebagai lembaga “keagamaan” Islam, yang mempunyai dasar
pemikiran yang berbeda dari tuntutan pertama di atas. Yang pertama, lebih berorientasi pada dunia pemikiran dan
analisis-kritis, sedang yang kedua
lebih pada pemihakan dan pemegangan secara teguh pada pandangan hidup tertentu.[60]
Reformulasi tradisi keilmuan merupakan suatu keharusan bagi
pesantren dan perguruan tinggi Islam. Artinya, perlu ada pergeseran dari trend
pemikiran Islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan
Islam yang telah terbangun kokoh sejak berabad-abad lalu kepada tradisi
pemikian keagamaan yang bersifat kritis-analitis-filosofis.[61]
8.
Mastuhu
Secara mudah pemikiran
pendidikan Mastuhu terangkum dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan oleh
Indonesian Netherlands Cooperation in
Islamic Studies (INIS) dengan judul “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren”.
Dengan metode grounded research Mastuhu meneliti enam
pesantren yakni PP An-Nuqoyah dari desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk
Kabupaten Sumenep-Madura, PP Salafiyah Ibrahimiyah di desa Sukorejo, Kecamatan
Asembagus Kabupaten Situbondo, PP Blok Agung, di desa Blok Agung Kecamatan
Jajak, Kabupaten Banyuwangi, PP Tebu Ireng, di desa Tebu Ireng, Kecamatan Diwek
Kabupaten Jombang, PP Karangasem Muhammadiyah Paciran, di desa Paciran,
Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan dan PP Modern Darussalam Gontor Ponorogo,
di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo.
Hasil penelitian Mastuhu
mengungkapkan adanya unsur-unsur/nilai-nilai/butir-butir sistem pendidikan
pesantren; ada diantaranya yang perlu dikembangkan lebih lanjut, yang tidak
perlu dipertahankan dan mana yang perlu diubah dan disempurnakan atau
diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional.
Secara lengkap penemuan
Mastuhu tentang nilai-nilai pesantren adalah sebagai berikut :
1.
Butir-butir positif dari
sistem pendidikan pesantren yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan
nasional adalah sebagai berikut :
a.
Pandangan pesantren bahwa
manusia dilahirkan menurut fitrah-nya
masing-masing. Tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya positif
(ilahiyah) dan mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaitaniyah)
b.
Pandangan bahwa tugas
melaksanakan pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, di dalam menjalankan proses kegiatan belajar-mengajar
seyogianya dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha Tuhan.
c.
Hubungan yang baik dan
saling menghormati antara murid dan guru. Murid percaya bahwa dirinya tidak
akan menjadi orang baik dan pandai tanpa guru, dan guru di dalam melaksanakan
tugasnya dirasakan sebagai pengemban amanat Tuhan.
d.
Lembaga pendidikan pesantren
dipandang sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan sebagai tempat
mencari kelas dan ijazah
e.
Metode belajar halaqoh dan sorogan (disesuiakan dengan zamannya, lihat butir-butir plus-minus)
f.
Nilai pendidikan dengan
sistem asrama : 1) pandangan bahwa dalam hal hak, orang sebaiknya mendahulukan hak orang lain daripada haknya
sendiri, tetapi dalam hak kewajiban,
orang sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. 2)
Keteladanan dan berlomba dalam kebajikan dalam hal mengamalkan ajaran agama
dalam hidup keseharian di pesantren
g.
Pandangan hidup jangka
panjang dan menyeluruh : Bagi yang benar-benar percaya kepada Tuhan, maka ia
bersikap optimistis dalam menjalani kehidupan. Ia tidak akan putus asa jika
menerima musibah, dan sebaliknya ia juga tidak “lupa daratan” jika memperoleh
keuntungan, karena setiap peristiwa dipandang belum final dan semua peristiwa
pada akhirnya akan kembali ke kebenaran Tuhan, sekalipun pada waktu itu ia
belum mengerti.
2.
Butir-butir negatif dari
sistem pendidikan pesantren yang tidak perlu dikembangkan lebih lanjut dalam
sistem pendidikan pesantren karena tidak sesuai dengan kebutuhan zaman adalah
sebagai berikut :
a.
Pandangan bahwa ilmu adalah
hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui berkah kiai
b.
Pandangan tidak kritis yang
menyatakan bahwa apa-apa yang diajarkan oleh kiai , ustadz dan kitab-kitab
agama diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi
c.
Pandangan bahwa kehidupan ukhrowi paling penting, sedang kehidupan
duniawi dipandang tidak atau kurang penting
d.
Metode belajar dengan
menghafal dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua ilmu
e.
Kepatuhan mutlak pada guru
dan pada kehidupan kolektif (asrama), sehingga dapat menghambat perkembangan
individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya berfikir kritis
f.
Pandangan hidup fatalistis
yang menyerahkan nasib kepada keadaan dan perilaku sakral dalam menghadapi
berbagai realita kehidupan keduniawian sehari-hari
3.
Butir-butir plus-minus,
yaitu butir-butir yang perlu dikembangkan lebih lanjut dari sistem pendidikan
pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional, tetapi sebelumnya harus
disempurnakan lebih dahulu adalah sebagai berikut :
a.
sistem asrama. Untuk mencegah ekses-ekses negatif
dari asrama sebagaimana disebutkan di muka, sistem “asrama di masa depan” harus
mampu berfungsi sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu dan kepribadian
yang seimbang antara kepribadian individual dan kolektif. Dalam konsep “asrama
masa depan”, hubungan para santri dengan keluarganya masing-masing tidak
terputus dan mempunyai waktu berkumpul dengan lebih sering, sehingga dapat
dijaga identitas keluarga untuk tidak hanyut dalam kepribadian kolektif
(asrama), tetapi ia tetap terikat selama 24 jam dengan program-program ilmiah
yang telah direncanakan bersama.
b.
Metode halaqoh. Metode
halaqoh di pesantren adalah cara belajar bersama antar santri untuk memahami
ajaran kiai, ustadz dan isi kitab. Arahnya untuk menanyakan dari segi “apanya”
dan untuk “memiliki” ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadanya. Dengan kata lain
metode yang digunakan dalam halaqoh adalah menghafal. Hal seperti itu perlu
diubah dan ditingkatkan menjadi menanyakan ilmu dari segi “mengapa” dan
“bagaimana” perspektif atau perkembangannya mendatang, serta memperlakukan
forum halaqoh sebagai proses
“menjadi”, yaitu memandang ilmu sebagai sarana untuk mengembangkan kepribadian
intelektualnya. Dengan demikian, dalam konsep “menjadi” ilmu dipandang sebagai
instrumen atau sarana dan oleh karena itu ilmu tidak akan teralienasi dari
pribadinya, sebaliknya dalam konsep “memiliki” yang diperoleh melalui metode
hafalan memungkinkan teralienasinya ilmu dari pribadinya. Oleh karena itu,
metode halaqoh tersebut perlu
dikembangkan dari metode hafalan menjadi dialog. Demikian pula halnya dengan
metode sorogan, perlu ditingkatkan
dari murid siap menerima pelajaran dari guru, menjadi murid siap berdialog
dengan guru dalam rangka mengembangkan kepribadian intelektualnya atau
mengembangkan pemikiran kritis.
c.
Jenis kepemimpinan. Kepemimpinan kharismatik (agama) perlu dilengkapi
atau dikembangkan dengan kepemimpinan rasional (ilmu) agar lebih mampu
menghadapi tantangan zamannya
4.
Bentuk pendidikan pesantren
di masa depan seharusnya merupakan sekolah (madrasah) dengan kurikulum : 30 %
moral (agama), 70 % akal (pengetahuan umum atau metode berpikir) dan
dilaksanakan dalam kultur pesantren lengkap dengan konsep “asrama masa depan”
yang kreatif dan inovatif dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu yang
diasuhnya, serta mampu menciptakan program-program kegiatan ilmiah sesuai
dengan tantangan zamannya. Untuk itu pesantren perlu mengadopsi dan
mengembangkan budaya berfikir : deduktif, induktif, kausalitas dan kritis dari
sistem pendidikan nasional, sehingga lulusannya mampu mengamalkan dan
mengembangkan ilmunya di bawah bimbingan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan hal ini juga penting untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga
penyuluhan pembangunan nasional yang efektif dan efisien, melengkapi penggunaan
pendekatan bahasa agama di dalam mengajak umat berpartisipasi dalam
pembangunan, sebagaimana selama ini dilakukan oleh pesantren.
9.
Noeng
Muhadjir
Gagasan pemikiran pendidikan Islam Noeng Muhadjir terpusat
pada usahanya dalam mengukuhkan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang
khas, unik dan berbeda dengan konsep pendidikan yang lain. Dia menawarkan
sepuluh paradigma pemikiran pendidikan, yaitu :[62]
Pertama, asumsi
dasar yang perlu dipakai adalah pandangan realisme metaphasik yang mengakui
adanya keteraturan alam semesta. Keteraturan tersebut adalah ciptaan Allah.
Filsafat yang mendukung asumsi dasar tersebut adalah realisme metaphisik.
Kedua, postulasi
ontologiknya : keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran
multifaset atau multistrata yaitu eksistensi sensual, logik, etik, dan
transenden yang paralel dengan ayah,
isyarah, hudan dan rahmah.
Filsafat yang secara eksplisit mengakui yang transenden adalah phenomenologi
dan realisme metaphisik. Filsafat yang secara implisit mengakomodasi yang etik
dan transenden adalah rasionalisme.
Ketiga postulasi
aksiologiknya : ilmu pendidikan itu ilmu normatif, sehingga perlu dan harus
diorientasikan kepada nilai atau “value”
baik yang insaniyah (berkembang dengan budaya manusia) dan yang ilahiyah
(diwahyukan). Filsafat yang mendukung sama dengan yang diketengahkan pada
postulasi ontologik.
Keempat, tesis
episetemologik utama : wahyu adalah kebenaran mutlak
Kelima, tesis
epistemologik I : karena dhaifnya akal budi manusia, maka kebenaran yang dapat
dijangkau oleh manusia dengan ilmunya hanyalah kebenaran problabilistik.
Keenam tesis
epistemologik II : ujud kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual,
logik, etik atau transenden ; atau dalam “bahasa”
Qur’ani dalam ujud kebenaran ayah, isyarah, hudan dan rahmah. Bukan empat ganda tetapi empat
faset atau empat strata.
Ketujuh, tesis
epistemologik III : karena kebenaran yang dapat dijangkau manusia adalah
kebenaran probabilistik, maka model logika untuk pembuktian kebenaran yang
tepat adalah model logika probabilistik.
Kedelapan, tesis
epistemologi IV : untuk pemahaman hubungan antarmanusia dan antara manusia
dengan alam, sejauh tidak terkait dengan nilai (baik yang insaniyah maupun yang
ilahiyyah) model pembuktian induktif probabilistik dapat digunakan.
Kesembilan, tesis
epistemologik V : untuk pemahaman beragam hubungan tersebut di atas, bila
terkait pada nilai model pembuktian deduktif probabilistik dapat digunakan.
Kesepuluh, tesis
epistemologi VI untuk menerima kebenaran mutlak nash, model logika reflektif
probabilistik dengan terapan tematik atau maudhu’i lebih tepat digunakan.
Dalam paradigma Noeng Muhadjir, perenial knowledge berada di sentral pengembangan ilmu. Sedangkan acquired knowledge berada di perifer
pengembangan ilmu. Perenial knowledge ditata
dalam aqidah, muamalah dan akhlak. Sedangkan acquiered knowledge sebagai perifer dari perenial knowledge memiliki garis linear sebagai berikut. Ilmu-ilmu
humaniora perlu berkonsultasi terutama dengan aqidah, ilmu-ilmu teknologi perlu
berkonsultasi terutama pada ilmu syariah sedangkan ilmu sosial perlu
berkonsultasi terutama pada akhlak.[63]
Menurut Noeng Muhadjir untuk memberikan nafas Islami pada
ilmu pendidikan setidaknya ada empat model yang bisa diajukan :
1.
Konstruksi atau paradigma
teori pendidikan diberi penguat berupa nas-nas al-Qur’an dan hadis.
2.
Membangun aksioma atau
postulat-postulat yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis, kemudian dari
aksioma tersebut dibangun bangunan teoretik ilmu pendidikan
3.
Mengadakan telaah reflektif
multidisiplin, yang operasionalisasinya seseorang dengan bekal pengetahuan ilmu
pendidikan dan agama menelaah secara teoretik sosok pendidikan Islam,
berdiskusi dan berkonsultasi terus menerus dengan ahli ilmu pendidikan dan ahli
dalam ulumul Qur’an dan ulumul hadis untuk memperkaya konseptualisasinya
4.
Mengadakan telaah reflektif
interdisipliner; sejumlah ahli ulumul Qur’an dan ulumul hadis berkerja sama
membangun teori pendidikan Islam
Dari empat model yang ditawarkan
tersebut kiranya yang paling ideal ialah model kedua karena secara murni dapat
membangun suatu teori ilmu pendidikan dengan postulat yang bersumber dari
al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi karena teori-teori pendidikan dewasa ini sudah
berkembang yang didasarkan atas realitas
yang timbul dalam peristiwa-peristiwa pendidikan, maka tidak realistik bila
dalam upaya menyusun teori pendidikan tersebut kita tidak menutup mata sama
sekali akan adanya perkembangan teori yang sudah ada. Oleh karena itu langkah
yang cukup realistik ialah model ketiga, yakni mengadakan telah reflektif multidisipliner.[64]
10.
Zamroni
Pemikiran pendidikan Zamroni terbagi menjadi beberapa hal :[65]
a.
Paradigma pendidikan
sistemik-organik
Paradigma pendidikan sistemik-organik merupakan paradigma
baru dalam pendidikan kaitannya dengan peran pendidikan dalam pembangunan nasional.
Ciri-ciri paradigma pendidikan sistemik-organik adalah :[66]
1)
pendidikan lebih menekankan
pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)
2)
Pendidikan diorganisir dalam
suatu struktur yang fleksibel
3)
Pendidikan memperlakukan
peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri
4)
Pendidikan merupakan proses
yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendiddikan
sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat doble tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan
senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya dan
dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi
peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan
sekolah, melainkan prestasi peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka
kerjakan di dunia kerja dan masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain,
pendidikan yang bersifat doble track menekankan
bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi
yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal
sistem persekolahan.
b.
Reformasi pendidikan
Reformasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen
dan kemampuan guru dan murid untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana
diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksdukan untuk mengembangkan
struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut
di atas. Oleh karena itu reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga aspek
dalam pendidikan : aspek organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan guru
dan aspek interaksi sekolah dan masyarakat.[67]
Strategi yang perlu dikembangkan dalam proses reformasi
adalah: pertama, karena luasnya
cakupan pendidikan maka reformasi ditekankan
pada :
1.
masing-masing sekolah
memiliki otonomi merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan
2.
Orang tua dan masyarakat
berkerja sama dengan guru untuk kemajuan peserta didik
3.
Sekolah harus mengembangkan
suatu sistem pelaporan tentang kemajuan pendidikan yang dengan cepat dan secara
periodik dapat dikaji orang tua dan
masyarakat
4.
Guru harus memiliki
kesempatan yang luas untuk merancang kegiatan dan mengembangkan kerja sama antara
kolega guru ataupun dengan orang tua dan masyarakat sekitar
5.
Peserta didik harus diberi
kesempatan untuk mengembangkan kerja kelompok atau kerja individual dan
sebaliknya kerja kelompok kelas dikurangi
Kedua, reformasi
pendidikan memerlukan kesadaran akan berbagai kemungkinan yang timbul dari
kebijakan reformasi tersebut, oleh karena itu perlu disediakan “room
formanoeuvre” bagi sekolah atau guru. Hal ini perlu agar kebijakan yang baru
tidak terjebak oleh aturan dan prosedur yang bersifat birokratis. Di samping
itu, “room for manoeuvre” ini diperlukan untuk antisipasi adanya
kemungkinan-kemungkinan, seperti adanya guru yang berkualitas, kualitas guru
rendah, fasilitas yang tidak memadai dan sebagainya.
Ketiga,
pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan produk bukan pendekatan proses.
Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana masing-masing sekolah bisa
meningkatkan dan mencapai sepenuhnya tergantung kebijakan masing-masing
sekolah. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan dan menentukan :
1)
Standar pendidikan yang
harus dicapai
2)
Insentif terutama dalam
masalah akademik
3)
Melibatkan aparat biriokrasi
propinsi, kabupaten/kotamadia dan kecamatan untuk mendukung keberhasilan
pencapaian target dari sekolah yang ada di wilayahnya masing-masing.
Keempat, di
masing-masing sekolah diminta untuk mengembang-kan gugus kendali mutu yang
secara terus menerus mencari model-model dan teknik-teknik yang paling efisien
dan produktif dalam kegiatan proses belajar mengajar. [68]
c.
Pendidikan berwawasan global[69]
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi.
Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan
masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan
reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan
yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi
secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu,
pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala
faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan
kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan
berwawasan global adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia
yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami
lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan
masyarakat lain dan isu-isu global.
[1]
HAR Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hlm. 157.
[2] Ibid., hlm. 105.
[3]
Pada waktu pemerintahan Gus Dur, tidak hanya pengubahan nama departemen
melainkan terjadi juga penghapusan beberapa departemen. Departemen Sosial dan
Departemen Penerangan adalah dua departemen yang dihapus pada waktu
pemerintahannya. Kini, kedua departemen tersebut dihidupkan kembali.
[4]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 285.
[5]
Abdul Wahid, ‘Pendidikan Islam Kontemporer : Problem Utama, Tantangan dan
Prospek’ dalam Ismail SM, et. al., (Ed.),
Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 279-287.
[6]
Ahmad Watik Pratiknya, ‘Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di
Indonesia’ dalam Muslih Usa (Ed.), Pendidikan
Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991), hlm. 103.
[7]
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta:
Bumi Aksara, 1993), hlm. 1-14.
[8]
Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam dalam
Arus Dinamika Masyarakat Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikososial dan
Kultural, Golden Terayon Press, tt.
[9]
Lihat M. Chabib Thoha, Kapita Selekta
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.1-37.
[10]
Hasbullah, Kapita Seleta Pendidikan Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
[11]
Zuhairini et. al., Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
[12]
Ahmad Ludjito, Peran Pendidikan Agama
dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia, Paper Kuliah Perdana pada Pembukaan
Program Penyetaraan D.2/D.3 tahun
1994/1995.
[13]
Ahmad Tafsir meneliti mutu sekolah-sekolah Muhammadiyah dibandingkan
sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola lembaga-lembaga Katholik.
Indikator yang digunakan adalah jumlah lulusan yang diterima di perguruan
tinggi negeri. Menurutnya, mutu sekolah-sekolah Muhammadiyah lebih rendah
daripada mutu sekolah yang dikelola lembaga-lembaga Katholik. Kemudian dia mencoba memperhatikan
(penelitian dangkal) sekolah-sekolah yang dikelola oleh organisasi atau yayasan
Islam selain Muhammadiyah. Ternyata, hasilnya sama, bahkan cenderung lebih
rendah mutunya ketimbang sekolah-sekolah Muhammadiyah. Lihat Ahmad Tafisr, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya,1994), hlm. 1-4.
[14]
Fatah Syukur, “Book Review Master Intelektual Tradisi Pesantren” dalam Ihya
Ulum al-Din Number 01 Volume 1, tahun 1999. Lihat juga Abdurrahman Mas’ud
“Sejarah Pesantren dari Walisongo hingga Kini” dalam Majalah Jurnal Justisia
Edisi 18 Th VII/2000, hlm. 32-43.
[15]
Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren
Architects and Their Socio-Religious Teachings (1850-1950) Umi Microfilm, 1997, hlm. xi.
[16]
Lihat Jurnal Ihya Ulum al-Din Volume
1, tahun 1994. Lihat juga Jurnal Ilmu
Pendidikan dan Islam Edisi 28/Th. VI/Nop/1997.
[17]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997).
[18] Ibid., hlm. 15.
[19]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 292.
[20]
Mengenai penelitian tentang problem guru, setidaknya ditemukan lima problem
utama, pertama sedikitnya waktu untuk istirahat dan untuk persiapan pada waktu
dinas di sekolah. Kedua, kelas terlalu besar. Ketiga kurangnya bantuan
adminiastratif, empat gaji yang kurang memadai dan kelima kurangnya bantuan
kesejahteraan. Perihal model penelitian lembaga pendidikan Islam, Nata
mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya
yang berjudul Pesantren, Madrasah dan
Sekolah Pendidikan Islam. Tentang kultur Islam, Abuddin Nata memberikan
contoh penelitian yang dilakukan Mastuhu dan Zamachsyari Dhofier. Lihat Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 299-311. Lihat juga HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta:
Bumi Aksara, 1993), 152-153.
[21]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
Op. Cit., hlm. 211.
[22]
Abuddin Nata, ‘Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum IAIN’ dalam Didak-tika Islamika, Jurnal Keislaman,
Kependidikan dan Kebahasaan Volume 1, Nomor 1, April 1999.
[23]
Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu
Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992).
[24] Ibid., hlm. vii-viii.
[25] Ibid., hlm. 19.
[26]
Achmadi, ‘Dasar-dasar Pelaksanaan PAI di Sekolah’ dalam M. Chabib Thoha, Abdul
Mu’ti (Ed.) PBM PAI di Sekolah Eksistensi
dan Proses Belajar-Mengajar PAI (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.
31-70.
[27]
Achmadi, ‘Reformasi Sistem PAI dalam Era Reformasi (Telaah Filsafat
Pendidikan)’ dalam Ismail SM, Abdul Mukti (Ed.) Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 154-162.
[28]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 7.
[29] Ibid., hlm. 14-15.
[30] Ibid., hlm. 8.
[31] Ibid., hlm. 12.
[32] Ibid., hlm. 16-17.
[33]
Lihat Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran
Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).
[34] Ibid., hlm. 9.
[35] Ibid., hlm. 12.
[36] Ibid., hlm. 13-43.
[37]
Ahmad Tafsir, ‘Pentingnya Pendidikan Agama dalam Kelurga’ dalam Ahmad Tafsir
(Ed.) Pendidikan Agama dalam
Keluarga (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1996).
[38]
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999), hlm. 27-30.
[39] Ibid., hlm. 36.
[40] Ibid., hlm. 44-45.
[41] Ibid., hlm. 49.
[42] Ibid., hlm. 63.
[43]
A. Malik Fadjar, ‘Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama : Reorientasi Wawasan
Pendidikan’ dalam Yunahar Ilyas et.al. (Ed.) Muhammdiyah dan NU : Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta:
Kerja sama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP Al-Muhsin, 1994), hlm.63.
[44]
A. Malik Fadjar, Pendidikan Sebagai
Praksis Humanisasi Makalah Seminar, tt.
[45]
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan
Modernitas (Bandung: Mizan, 1999).
[46]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ;
Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999).
[47]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII ; Melacak Akar-akar
Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998).
[48] Ibid., hlm. 16-17.
[49] Ibid., hlm. 294-296.
[50]
Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar
Umat Tidak Jadi Buih (Bandung:
Mizan, 2000), hlm. 430-436. Lihat juga Azyumardi Azra, ‘IAIN di Tengah
Paradigma Baru Perguruan Tinggi’ dalam Komaruddin Hidayat, Hendro Prasetyo
(Ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta:
Depag RI, 2000), hlm. 3-17.
[51]
Azyumardi Azra, ‘Pembaruan Pendidikan Islam’ kata pengantar dalam Marwan
Sarijo, Bunga Rampai Pendidikan Agama
Islam (Jakarta: Depag RI, 1996).
[52] Ibid., hlm. 2.
[53] Ibid., hlm. 14.
[54]
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era
Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. v.
[55] M
Amin Abdullah, ‘Kajian Ilmu Kalam’ dalam Komaruddin Hidayat, Hendro Prasetyo
(Ed.) Problem dan Prospek IAIN Antologi
Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta:
Depag RI, 2000).
[56]
M. Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.
vii-viii.
[57] M.
Amin Abdullah, ‘Kata Pengantar’ dalam buku Metodologi
Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1-11.
[58]
M. Amin Abdullah, 1995, Op. Cit., hlm. 12-13.
[59]
Amin Abdullah, ‘Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam’ dalam M.
Anies (Ed.) Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 55.
[60]
M. Amin Abdullah, 1995, Op. Cit., hlm. 17.
[61] Ibid., hlm. 29-44.
[62]
Noeng Muhadjir, ‘Epistemologi Pendidikan Islam Pendekatan Teoretik-Filofik’
dalam M. Chabib Thoha et. al. (Ed.) Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
195-197.
[63]
Noeng Muhadjir, ‘Pendidikan Islam bagi Masa Depan Umat Manusia’ dalam Nurhadi
M. Musawir (Ed.) Dinamika Pemikiran Islam
dan Muhammadiyah (Almanak Muhammadiyah tahun 1997 M / 1417-1418 H) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 105.
[64]
Achamdi, Islam sebagai Paradigma Ilmu
Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 137-138. Lihat juga
Slamet Widodo, “Pemikiran Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir tentang Pendidikan dan
Metode Pengajaran (1987-1996)” (Skirpsi Sarjana, Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 1997), hlm. 47-48.
[65]
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta:
BIGRAF Publishing, 2000).
[66] Ibid., hlm. 9.
[67] Ibid., hlm. 37-38.
[68] Ibid., hlm. 44-45.
[69] Ibid., hlm. 90-91.
0 Response to "GAGASAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ERA TAHUN 1990-2000"
Post a Comment