GURU PAI, INTENSITAS SISWA DALAM
PROSES
BELAJAR MENGAJAR (PBM)
Porses Belajar Mengajar (PBM) dalam pendidikan formal akan melibatkan
peran aktif partisipasi guru dan siswa. Guru dan siswa merupakan variabel
penting dalam pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM). Masing-masing mereka
berupaya untuk mengkomunikasikan permasalahan transfer of knowlegde dan transfer
of value. Hal ini akan berdampak pada proses pembentukan kepribadian siswa
akibat dari adanya pengetahuan dan nilai-nilai yang berpadu dalam diri siswa
yang lama kelamaan membentuk kesadaran diri, berperilaku dewasa dan perbuatan
bebas bertanggungjawab yang dilahirkannya. Apabila sikap dan sifat tersebut
telah konsisten melekat pada diri siswa, maka akan mampu menempatkan diri untuk
belajar secara intens baik di kelas maupun di luar kelas.
Namun proses untuk menumbuhkan intensitas siswa dalam belajar membutuhkan
waktu yang panjang dan sangat diperlukan adanya fungsi dan peran strategis
guru. Siswa diharapkan mampu berpartisipasi aktif dalam proses tersebut. Hal
ini akan berguna bagi guru untuk memudahkan peran dan fungsinya pada saat
berinteraksi dengan siswa.
Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan variabel-variabel tentang guru,
siswa dalam proses belajar mengajar sehingga dapat memperjelas makna dan
pengertian masing-masing.
A. Guru PAI
1. Pengertian
Guru PAI
Dalam kamus bahasa Indonesia, guru didefinisikan
sebagai orang yang dipekerjakan (profesi atau pencahariannya) mengajar.[1]
Menurut Muhibbin Syah, pengertian ini
dapat menimbulkan beraneka ragam inter prestasi, pertama, kata seseorang
bisa mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya
mengajar). Dalam hal ini berarti bukan hanya seseorang yang sehari-harinya
mengajar di sekolah yang dapat disebut sebagai guru, melainkan juga orang lain
yang berposisi sebagai kiai di pesantren, pendeta di geraja, instruktur di
balai pendidikan dan pelatihan dan juga di pesilatan di padepokan. Kedua,
kata mengajar dapat pula ditafsirkan :
a. Memberikan
pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain.
b. Melatih
ketrampilan jasmani kepada orang lain.
c. Menanamkan
nilai dan keyakinan kepada orang lain.[2]
Menurut Zakiah Daradjat menyatakan bahwa guru adalah
pendidik profesional karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya
menerima dan memikul tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang
tua.[3]
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa guru adalah seseorang yang memiliki kemampuan
dan pengalaman yang dapat memudahkan dalam melaksanakan peranannya membimbing
muridnya. Ia harus sanggup menilai diri sendiri tanpa berlebih-lebihan, sanggup
berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Selain itu, perlu
diperhatikan pula dalam hal mana ia miliki kemampuan dan kelemahan.[4]
Pengertian semacam ini identik dengan pendapat Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan
yaitu pendidik (guru) adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberi
bimbingan atau bantuan kepada anak didik (siswa) dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai
makhluk Allah, kholifah di bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu
yang sanggup berdiri sendiri.[5]
Pendapat ini didukung oleh Hadari Nawawi, yang menyebutkan bahwa guru adalah
orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran dan ikut
bertanggungjawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.[6]
Hal ini guru bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas an sich untuk
menyampaikan materi pelajaran, namun harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta
kreatif dalam mengarahkan perkembangan siswa untuk menjadi orang yang dewasa.
Di sisi lain Uzer Usman memberikan pengerian spesifik
tentang guru yaitu sebagai jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus
sebagai guru. Dengan kata lain, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang
yang tidak memiliki keahlian khusus melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai
guru.[7]
Jadi, guru bukanlah seseorang yang hanya bertindak
mengajar di sembarang tempat, tetapi ditempat-tempat khusus dan juga guru
berkewajiban mendidik siswa dengan mengabdikan dirinya untuk cita-cita mulia,
yaitu mencapai tujuan pendidikan universal, sehingga fungsi / peranan guru
menjadi sangat berat.
Sedangkan PAI didalam GBPP SMP dan SMU mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum Tahun 1994 dinyatakan bahwa yang dimakud
dengan pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui
kegiatan bimbingan pengajaran dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan
untuk menghormati agama lain dan hubungan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[8]
Jadi guru PAI merupakan orang yang melakukan kegiatan
bimbingan pengajaran atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk
mencapai tujuan pembelajaran (menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara).[9]
2.
Fungsi Guru
Dalam proses belajar mengajar guru harus
bisa memposisikan sesuai dengan status serta dengan profesinya. Hal ini dapat
disesuaikan dan menerapkan dirinya sebagai seorang pendidik, seseorang
dikatakan sebagai seorang guru tidak cukup tahu sesuatu materi yang akan
diajarkan, tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang
memiliki kepribadian guru dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. Dengan kata
lain bahwa untuk menjadi pendidik atau guru, seseorang harus berpribadi,
mendidik berarti mentrasfer nilai-nilai pada siswanya. Nilai-nilai tersebut
harus diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari.oleh karena itu pribadi guru
itu sendiri merupakan perwujudan dan nilai-nilai yang akan di transfer, maka
guru harus bisa memfungsikan sebagai seorang pendidik ( tranfer of values ) ia
bukan saja pembawa ilmu pengetahuan akan tetapi juga menjadi contoh seorang
pribadi manusia.[10]
3. Peran Guru
Pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM) menuntut
adanya berbagai peran untuk senantiasa aktif dan aktivitas interaksi belajar
mengajar dengan siswanya. peran guru
dipandang strategis dalam usaha mencapai keberhasilan proses belajar mengajar
apabila guru mau menempatkan dan menjadikan posisi tersebut sebagai pekerjaan
profesional. Dengan demikian, guru akan disanjung, diagungkan dan dikagumi,
karena perannya yang sangat penting diarahkan ke arah yang dinamis yaitu
menjadi pola relasi antara guru dan lingkungannya, terutama siswanya.[11]
Mengenai peran
guru akan diuraikan beberapa pendapat, yaitu menurut Watten B. yang dikutip
oleh Piet A. Sahertian, peran guru adalah sebagai tokoh terhormat dalam
masyarakat sebab ia nampak sebagai orang yang berwibawa, sebagai penilai,
sebagai seorang sumber karena ia memberi ilmu pengetahuan, sebagai pembantu,
sebagai wasit, sebagai detektif, sebagai obyek identifikasi, sebagai penyangga
rasa takut, sebagai orang yang menolong memahami diri, sebagai pemimpin
kelompok, sebagai orang tua / wali, sebagai orang yang membina dan memberi
layanan, sebagai kawan sekerja dan sebagai pembawa rasa kasih sayang.[12]
Sedang menurut Oliva,
peran guru adalah sebagai penceramah, nara sumber, fasilitator,
konselor, pemimpin kelompok, tutor, manajer, kepala laboratorium, perancang
program dan manipulator yang dapat mengubah situasi belajar.[13]
Sejalan dengan penadapat Oliva, Sardiman AM,
menyatakan bahwa peran guru adalah
sebagai informator, organisator, motivator, direktor, inisiator, transmitter,
fasilitator, mediator dan evaluator.[14]
Lebih lanjut Sardiman menerangkan bahwa :
a. Informator
berarti guru harus melaksanakan cara-cara mengajar informatif, laboratorium,
studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
b. Organisator
berarti guru diharapkan mampu mengorganisasikan sedemikian rupa
komponen-komponen yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar sehingga
dapat dicapai efektifitas dan efisiensi belajar pada diri siswa.
c. Motivator
berarti guru dituntut mampu merangsang dan memberikan dorongan serta
reinforcement untuk mengkomunikasikan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dan
daya cipta (kreatif) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar
mengajar (PBM) sebagai usaha untuk meningkatkan kegairahan dan pengembangan
kegiatan belajar siswa.
d. Direktur
berarti guru harus memberikan bimbingan dan pengarahan tentang kegiatan belajar
siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai peranan ini akan menonjolkan jiwa
kepemimpinan guru dalam menjalankan pekerjaan profesional.
e. Inisiator
berarti guru dipandang sebagai pencetus ide-ide kreatif dalam proses belajar
yang dapat dicontoh oleh siswanya.
f. Transmitter
berarti guru bertindak sebagai penyebar kebijakan pendidikan dan pengetahuan
dalam kegiatan belajar mengajar.
g. Fasilitator
berarti guru hendaknya memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar
mengajar, misalnya dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian
rupa, serasi dengan perkembangan siswa sehingga interaksi belajar mengajar
dapat berlangsung efektif.
h. Mediator
berarti guru diartikan sebagai penengah atau pemberi jalan untuk mengatasi
kemacetan dalam kegiatan belajar mengajar siswa di samping penyedia media
sekaligus mengorganisasikan penggunaan media.
i. Evaluator
berarti guru berhak menilai prestasi akademik dan prilaku sosial sebagai
penentu berhasil atau tidaknya siswa dalam belajar. Evaluasi tidak hanya
sebatas ekstrinsik saja, tetapi juga menyentuh aspek intrinsik yang diwujudkan
dalam prilaku sehingga guru dalam menjatuhkan nilai akan lebih berhati-hati.
Sedangkan Syaiful Bahri Djamarah melengkapi beberapa
pendapat di atas dengan menyatakan bahwa
peran guru adalah sebagai korektor, inspirator, informator, organisator
motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas,
mediator, supervisor dan evaluator.[15]
Lebih lanjut Djamarah memperjelas keterangan dengan memberikan penjelasan pada
masing-masing peran tersebut yaitu :
a. Korektor
berarti guru berhak menilai dan mengoreksi sikap, tingkah laku dan perbuatan
siswa, sikap prilaku dan perbuatan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
melekat pada diri siswa. Oleh karena itu guru harus dapat membedakan antara
nilai yang baik dan nilai yang buruk, nilai yang baik guru harus mempertahankan
dan nilai yang buruk harus direduksi dari jiwa dan watak siswa.
b. Inspirator,
berarti guru dituntut untuk memberikan petunjuk tentang bagaimana cara belajar
yang baik, petunjuk tersebut dapat bertolak dari pengalaman atau pengetahuan
yang telah didapat oleh guru sehingga mampu untuk memecahkan problematika yang
dihadapi siswa.
c. Informator,
berarti guru harus memberikan informasi tentang perkembangan sains dan
teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang
telah diprogramkan oleh guru. Informasi ini harus baik sehingga sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan siswa.
d. Organisator
berarti guru memiliki kegiatan pengelolaan aktivitas akademik, menyusun tata
tertib kelas, menyusun kalender akademik dan sebagainya. Semua diorganisasikan
sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri
siswa.
e. Motivator
berarti guru harus memotivasi siswa agar bergairah dan aktif dalam belajar.
Untuk itu motif-motif yang melatar belakangi siswa dalam belajar harus dipacu
sedemikian rupa sehingga mereka mampu belajar secara mandiri sesuai dengan
kebutuhannya.
f. Inisiator
berarti guru menjadi pencetus ide-ide progresif dalam pendidikan sehingga
prosesnya tidak ketinggalan zaman dan mengalami perkembangan yang lebih baik
dari keadaan sebelumnya.
g. Fasilitator,
berarti guru menyediakan fasilitas belajar sehingga dapat tercipta lingkungan
belajar yang menyenangkan siswa dan memudahkan aktivitas belajar mereka.
h. Pembimbing,
berarti kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing siswa menjadi manusia
dewasa yang berprilaku secara mandiri, awalnya siswa tergantung pada bantuan
guru karena kekurangmampuannya. Namun dengan bimbingan guru, rasa
ketergantungan tersebut semakin berkurang dikarenakan tingkat kedewasaan telah
berkembang sehingga nantinya mampu berdiri sendiri (mandiri) dalam belajar.
i. Demonstrator
berarti guru harus memperjelas penjelasannya melelui peragaan alat dan
gerak-gerak ritme tubuh sehingga memudahkan pemahaman siswa, dengan demikian guru
dapat membantu memperjelas pemahaman siswa sehingga diharapkan adanya
kesejalanan antara keinginan guru dan pemahaman siswa dan diantara mereka tidak
terjadi salah pengertian.
j. Pengelolaan
kelas, berarti guru berperan dalam mengelola proses pembelajaran. Ia hendaknya
mengatur penempatan masing-masing siswa sesuai dengan proporsinya, menjadi dari
kegaduhan dan membuat suasana kelas semakin menyenangkan sehingga aktivitas
mengajar semakin optimal.
k. Mediator,
berarti guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap
penggunaan berbagai jenis media pendidikan sebagai alat komunikasi yang efektif
dalam proses belajar mengajar (PBM) sehingga dapat membantu memperjelas
eksplanasi dan sebagai jalan pemecahan masalah.
l. Supervisor,
berarti guru harus membantu memperbaiki dan menilai secara kritis terhadap
proses pembelajaran. Untuk itu teknik-teknik supervisi harus dikuasai oleh guru
sehingga akan membantu memperbaiki situasi dan kondisi belajar mengajar.
Teknik-teknik tersebut dapat diperoleh melalui jabatan, pengalaman, pendidikan,
kecakapan dan ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya serta sifat-sifat
kepribadian yang menonjol.
m. Evaluator,
berarti guru bertugas menilai aspek-aspek instrinsik (kepribadian) dan
ekstrinsik yang mengarah kepada pencapaian prestasi verbal siswa. Keduanya
bermanfaat bagi perkembangan jiwa dan prilaku mereka dalam pencapaian prestasi
yang optimal.
Jadi peranan
guru bukanlah bertindak yang hanya bertindak mengajar, tetapi haruslah sanggup
bertindak sebagai korektor, inspirator, informator, motivator, fasilitator,
pembimbing, demosntrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, organisator,
direktor ini sintora trans mitter, dan evaluator. Hal ini diperlukan sebagai
bekal untuk pengabdian dirinya dalam meraih cita-cita mulia yaitu mencapai
tujuan pendidikan universal.
3. Kode Etik
Guru
Guru di Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat
penting dan tanggung jawab besar dalam mengembangkan program pendidikan yang
terwujud dalam proses pembelajaran, oleh karenanya profesi guru dapat dipandang
sebagai pekerjaan profesi yang menuntut profesionalisme dalam menjalankan
fungsi dan perannya di lembaga pendidikan formal.
Sehubungan dengan pekerjaan profesional tersebut, guru
pasti memerlukan pedoman atau kode etik agar dalam menjalankan profesinya
sehingga dapat terhindar dari segala bentuk penyimpangan. Dengan demikian
penampilan guru akan terarah dan berkembang dengan baik karena ia akan terus
menerus memperhatikan dan mengembangkan profesinya. Setiap guru yang memegang
status sebagai pendidik yang profesionalis akan selalu berpegang pada kode etik
tersebut, sebab kode etik inilah yang merupakan salah satu ciri yang harus ada
pada pekerjaan profesi.
Sedangkan pengertian kode etik profesi itu sendiri
adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota di dalam
melekasanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma tersebut
berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka
melaksanakan profesinya dan larangan-larangannya.[16]
Berkaitan dengan profesi keguruan, penulis akan
mengemukakan dua pengertian. Menurut UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian pasal 28 menyatakan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) mempunyai kode
etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar
kedinasan. UU ini menjelaskan bahwa dengan adanya kode etik ini PNS termasuk
guru sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat mempunyai pedoman
sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan
hidup sehari-hari.[17]
Sedangkan menurut pidato Ketua Umum PGRI pada Kongres PGRI XIII tanggal 21-25
Nopember 1973 di Jakarta, kode etik guru Indonesia merupakan landasan moral dan
pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya
bekerja sebagai guru.[18]
Untuk mengetahui tentang kode etik guru Indonesia,
penulis akan mengungkapkan teks kode etik guru di Indonesia, yaitu :
a. Guru
berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya
yang berjiwa Pancasila.
b. Guru
memiliki dan melaksanakan kejujuran profesinya.
c. Guru
berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan
bimbingan dan pembinaan.
d. Guru
menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar mengajar.
e. Guru
memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk
membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
f. Guru
secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat
profesinya.
g. Guru
memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.
h. Guru secara
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian.
i. Guru
melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.[19]
Jadi sangatlah jelas bahwa kode etik profesi keguruan
diperlukan sebagai pedoman dan melaksanakan profesi keguruan dan diperlukan
sebagai rambu-rambu atau peraturan agar guru tidak bertindak menyeleweng dari profesi
guru, sehingga pelaksanaan profesi keguruan tetap mengacu pada kaidah-kaidah
yang berlaku dan utamanya tidak bertentangan dengan tugas yang diembannya.
B. Intensitas
Siswa Dalam Proses Belajar Mengajar
(PBM)
1. Pengertian
Intensitas Siswa
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, intensitas diartikan
keadaan tingkatan.[20]
Sedang siswa sendiri merupakan orang yang tengah menempuh pendidikan atau orang
yang sedang memerlukan pengetahuan atas ilmu, bimbingan dan pengarahan, dalam
proses belajar mengajar siswa dipengaruhi dua faktor yakni keluarga dan
lingkungan. Perbedaan latar belakang tersebut meliputi perbedaan sosial ekonomi
dan sosio kultural, amat penting bagi perkembangan siswa, akibatnya siswa-siswi
pada umur yang sama tidak selalu berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam
menerima pengaruh dari luar yang lebih luas dalam hal ini pelajaran di sekolah
(kelas). Dengan demikian, perbedaan-perbedaan individu itu tidak saja
disebabkan oleh keragaman dalam rentang kematangan tetapi juga oleh keragaman
dalam latar belakang sebelumnya.[21]
Maka guru sangat berperan dalam proses belajar
mengajar, proses pengajaran dan pengelolaan kelas yang perlu diperhatikan oleh
guru adalah perbedaan anak didik atau siswa pada aspek biologis, intelektual
dan psikologis. Tinjauan pada ketiga aspek ini akan membantu dalam menentukan
pengelompokan anak didik di kelas, interaksi edukatif yang akan terjadi. Juga
dipengaruhi oleh cara guru memahami perbedaan individu anak didik ini interaksi
yang biasanya terjadi di dalam kelas adalah interaksi antara guru dengan anak
didik dan interaksi anak didik dengan anak didik ketika pelajaran berlangsung.
Di sini tentu saja aktivitas optimal belajar anak didik sangat menentukan
kualitas interaksi yang terjadi di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan
belajar mengajar apa pun bentuknya sangat ditentukan dengan baik tidaknya bahan
program pengajaran yang telah direncanakan dan akan mempengaruhi tujuan
pembelajaran yang akan dicapai.
2. Hakikat
Siswa Sebagai Manusia
Secara harfiah, siswa berarti orang yang membutuhkan
sesuatu, menurut ilmu, pelajar atau seseorang yang tengah menempuh pendidikan.
Dengan kata lain, siswa berarti orang yang sedang memerlukan pengetahuan atau
ilmu, bimbingan dan pengarahan. Abuddin Nata menyatakan siswa sebagai makhluk yang
sedang berproses dalam perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju
kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.[22]
Siswa adalah salah satu komponen penting dalam proses
belajar mengajar (PBM) sehingga menjadi pokok persoalan dan tumpuan perhatian.
Di dalam PBM, siswa sebagai pihak yang meraih cita-cita, memiliki tujuan untuk
dicapainya secara optimal. Siswa menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan
proses pembelajaran sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu
yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Jadi perhatian pertama kali
hendaknya ditujukan kepada diri siswa yaitu keadaan dan kemampuannya, kemudian
menentukan komponen-komponen yang lain seperti bahan pelajaran, cara yang tepat
untuk bertindak, alat dan fasilitas yang cocok mendukung untuk digunakan.
Semuanya harus disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik siswa. Untuk
itulah siswa dianggap sebagai subyek pembelajaran yang harus diperlakukan sebagai
manusia, karena siswa adalah individu atau pribadi yang utuh. yang berarti
orang yang tidak bergantung pada orang lain dalam arti benar-benar seorang
pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar, mempunyai
sifat-sifat dan keinginan sediri.[23]
Anak didik (siswa) adalah sebagai manusia, maka perlu
dipahami bahwa :
a. Anak didik
(siswa) bukan miniatur-miniatur orang dewasa sehingga metode belajar mengajar
tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
b. Anak didik
(siswa) mengikuti priode-priode perkembangan tertentu dan punya pola
perkembangan, tempo dan iramanya.
c. Anak didik
(siswa) memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal
mungkin.
d. Anak didik
(siswa) memiliki perbedaan antara satu individu dengan lainnya karena faktor
endogen dan eksogen.
e. Anak didik
(siswa) adalah makhluk monopluralis yang mempunyai cipta, rasa dan karsa.
f. Anak didik
(siswa) merupakan obyek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif
sehingga mereka tidak dipandang sebagai obyek pasif yang biasanya hanya
menerima dan mendengarkan saja.[24]
Maka dari itu siswa dapat dipandang sebagai :
a. Individu
yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas sehingga merupakan insan yang
unik.
b. Individu
yang sedang berkembang.
c. Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakukan manusiawi.
d. Individu
yang memiliki kemampuan untuk mandiri.[25]
Kurang tepat apabila siswa dipandang sebagai obyek
dalam PBM layaknya konsep tabu larasa yaitu siswa ibarat kertas putih tanpa
coretan apapun dan kemudian tergantung pada guru. Hal ini akan menganggap bahwa
siswa hanyalah obyek pasif yang seolah-olah barang, terserah mau diapakan dan
dibawa ke mana, tergantung kepada gurunya yang diibaratkan sebagai raja di
dalam kelas.[26]
Di sisi lain ada pernyataan tentang siswa sebagai
manusia belum dewasa secara jasmani dan rohani. Hal ini bukan berarti
menganggap siswa sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan
kemampuan tertentu. Hanya saja mereka belum optimal dalam mengembangkan potensi
kemampuannya, di samping itu siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar tentunya
membutuhkan bantuan dan bimbingan guru untuk mengembangkan tingkat proses
kedewasaannya sehingga lama kelamaan mereka diharapkan dapat melakukan
aktivitas belajar mandiri.
Masa usia sekolah merupakan fase yang berproses untuk
menemukan eksistensi kesendirian secara utuh, oleh karenanya guru diharapkan
membina dan mengarahkan proses penemuan jati diri siswa agar mencapai hasil
yang lebih efektif dan efisien sesuai dengan harapan. Dalam proses ini guru
harus mampu mengorganisasikan aktivitas pembelajaran dan menghargai siswa
sebagai subyek didik yang memiliki bekal dan kemampuan. Perwujudan aktivitas
pembelajaran harus menunjukkan interaksi edukatif antara siswa dan guru yang di
dalamnya sarat dengan pemberian motivasi dari guru kepada siswa agar bergairah
memiliki semangat, dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya untuk
meningkatkan harga dirinya, dengan begitu siswa diharapkan lebih aktif dalam
melakukan kegiatan belajar.
3. Kebutuhan
Siswa
Pemahaman terhadap kebutuhan siswa bertujuan untuk
memberikan materi kegiatan yang setepat mungkin yang disesuaikan dengan
kebutuhan siswa sehingga proses pembelajaran menjadi lebih menarik, kalau kita
mencermati tentang kebutuhan riil siswa, maka akan nampak beraneka ragam
kebutuhan yang akan dicapai mereka. Namun untuk jelasnya, penulis akan
menggolongkan kebutuhan siswa menjadi :
a. Kebutuhan
jasmani yang meliputi aktivitas olah raga, makan, minum, pakaian dan lainnya.
b. Kebutuhan
sosial, yaitu pemenuhan keinginan saling bergaul antara sesama siswa dan guru
dalam hal ini sekolah harus dipandang sebagai tempat bagi siswa untuk belajar,
bergaul dan beradaptasi dengan lingkungan, guru diharapkan mampu menciptakan
kerja sama antara siswa dengan suatu harapan dapat melahirkan suatu pengalaman
belajar yang lebih baik. Guru harus dapat membangkitkan kerjasama sehingga
dapat dikembangkan sebagai metode yaitu metode kelompok.
c. Kebutuhan
intelektual, yaitu setiap siswa diharapkan belajar terhadap materi-materi
pelajaran sesuai dengan minat yang ada dalam diri mereka oleh karena itu, guru
seyogyanya berusaha menyalurkan minat mereka melalui program-program belajar
yang sesuai dengan keinginannya.[27]
Sedangkan menurut Morgan, kebutuhan siswa meliputi :
a. Kebutuhan
untuk berbuat suatu aktivitas.
b. Kebutuhan
untuk menyenangkan orang lain.
c. Kebutuhan
untuk mencapai hasil.
d. Kebutuhan
untuk mengatasi kesulitan.[28]
Menurut Sunarto dan B. Agung Hartono, kebutuhan siswa
(remaja) digolongkan menjadi :
a. Kebutuhan
organik, yaitu makan minum, bernapas, seks.
b. Kebutuhan
emosional, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan simpatik dan pengakuan dari pihak
lain.
c. Kebutuhan
berprestasi (need of achievement), yang berkembang karena didorong untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki dan sekaligus menunjukkan kemampuan
psikologis.
d. Kebutuhan
untuk mempertahankan diri dan mengembangkan jenis.[29]
Jadi sangatlah bermacam-macam kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh para siswa, diantaranya kebutuhan jasmani, kebutuhan sosial,
kebutuhan intelektual, kebutuhan untuk berbuat suatu aktifitas, kebutuhan untuk
menyenangkan orang lain, kebutuhan untuk mencapai hasil, kebutuhan untuk
mengatasi kesulitan, kebutuhan organik, kebutuhan emosional, kebutuhan
berprestasi (need of actievecement) kebutuhan untuk mempertahankan diri
dan mengembangkan jenis, kebutuhan tersebut harus diketahui oleh guru sedini
mungkin sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam melaksanakan
pembelajaran.
C. Proses
Belajar Mengajar (PBM)
1. Pengertian
Belajar Mengajar
a. Pengertian
Belajar
Banyak kita jumpai keaneka ragaman definisi belajar
yang dikemukakan para ahli psikologi. Hal ini disebabkan karena point of
viewmileu dan pendekatan antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan,
untuk mengetahui berbagai ragam definisi tentang belajar, maka akan penulis
kutip pendapat beberapa ahli psikologi :
1) S. Nasution
mendefinisikan belajar sebagai perubahan-perubahan dalam sistem syaraf
penambahan pengetahuan, dan perubahan kelakukan berkat pengalaman dan latihan.[30]
2) Chaplin,
mengemukakan definisi belajar menjadi dua rumusan, pertama, belajar
belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai
akibat latihan dan pengalaman, kedua, belajar adalah proses memperoleh
respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus.[31]
3) Witting,
menganggap belajar sebagai perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala macam / keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil
pengalaman.[32]
4) Biggs,
merumuskan definisi belajar menjadi tiga macam, yaitu secara kuantatif,
institusional dan kualitatif. Secara kuantitatif belajar merupakan aktivitas
pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya
secara institusional berarti proses validasi terhadap penguasaan siswa atas
materi yang telah ia pelajari, secara kualitatif ialah proses memperoleh
arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di
sekeliling siswa.[33]
Jadi dari pengertian belajar di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1) Bahwa
belajar menimbulkan suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap.
2) Bahwa
perubahan itu membedakan antara keadaan sebelum individu berada dalam situasi
belajar dan sesudah melakukan aktivitas belajar.
3) Bahwa
perubahan itu dilakukan lewat kegiatan atau usaha atau praktek secara disengaja
dan diperkuat.
b. Pengertian
Mengajar
Dalam hal ini ada tiga pandangan tentang mengajar
yaitu :
1) Mengajar
adalah menyampaikan pengetahuan dari seseorang kepada kelompok.
2) Mengajar
adalah membimbing peserta didik belajar.
3) Mengajar
adalah mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar (PBM) yang
baik.[34]
Sedangkan dalam buku proses belajar mengajar (PBM)
juga merumuskan bahwa mengajar adalah suatu usaha untuk mencapai tujuan berupa
kemampuan tertentu atau mengajar adalah usaha terciptanya situasi belajar
sehingga yang belajar memperoleh atau meningkatkan kemampuan.[35]
Dengan demikian mengajar merupakan suatu kompetensi /
tugas guru untuk mengubah prilaku dalam rangka mencapai tujuan pendidikan atau
pengajaran.
Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjuk kepada apa yang harus
dilakukan seseorang sebagai yang menerima pelajaran (peserta didik) sedangkan
menunjuk kegiatan apa yang harus dilakukan oleh seorang guru yang menjadi
pengajar.
Sementara itu proses belajar mengajar (PBM) dapat
diartikan hubungan antara pihak pengajar (guru) dan pihak yang di ajar (siswa),
sehingga terjadi suasana di mana pihak siswa aktif belajar dan pihak guru aktif
mengajar.[36] Dengan
demikian proses belajar mengajar ini merupakan proses interaksi antara guru
dengan murid atau peserta didik pada saat pengajaran.
Dalam proses interaksi, ada unsur memberi dan menerima
baik dari pihak guru / peserta didik, agar terjadi interaksi belajar mengajar
yang baik, ada beberapa faktor yang harus dipenuhi, sedangkan hal-hal yang
dapat dikemukakan sebagai dasar-dasar terjadinya interaksi belajar mengajar
yang baik ada beberapa faktor yang harus dipenuhi. Sedangkan hal-hal yang dapat
dikemukakan sebagai dasar-dasar terjadinya interaksi belajar mengajar adalah :
1) Interaksi
bersifat edukatif.
2) Dalam
interaksi terjadi perubahan tingkah laku pada siswa sebagai hasil belajar
mengajar.
3) Peranan dan
kedudukan guru yang tepat dari proses interaksi belajar mengajar.
4) Interaksi
sebagai proses belajar mengajar (PBM).
5) Sarana
proses mengajar yang tersedia yang membantu tercapainya interaksi belajar
mengajar siswa secara efektif dan efisien.[37]
2. Makna dan
Tujuan Belajar
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah termaktub
dalam sub bab tentang pengertian belajar, dikatakan bahwa esensi belajar adalah
perubahan dari hasil pengalaman (praktek) oleh karenanya, tergantung makna yang
mendalam dari hasil belajar bagi manusia yaitu adanya perubahan prilaku menuju
kwalitas perkembangan yang positif bagi kehidupan manusia, berarti bahwa adanya
kemajuan dan perkembangan prilaku dari minimal menuju ke tingkat yang lebih
baik, baik dari ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan
formal mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai, tentunya antara satu lembaga
dengan lembaga lain mengalami perbedaan lain karena tujuan-tujuan belajar
mengalami berbagai variasi.
Namun perlu diketahui bahwa secara eksplisit tujuan
belajar adalah untuk mencapai tindakan instruksional (innstructional
effects) yang berbentuk pengetahuan dan ketrampilan, sedang tujuan
sampingan lainnya adalah untuk mencapai nurturant effects seperti
kemampuan berfikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima
pendapat orang lain.
a. Untuk
Mendapatkan Pengetahuan
Hal ini ditandai dengan pemilihan pengetahuan dan
kemampuan berfikir membutuhkan adanya bahan pengetahuan dan kemampuan berfikir
dapat memperluas pengetahuan.
b. Penanaman
Konsep dan Ketrampilan
Artinya bahwa penanaman konsep / merumuskan konsep
memerlukan suatu ketrampilan baik ketrampilan jasmani yang dapat dilihat
dialami sehingga menitik beratkan pada ketrampilan gerak atau penampilan
anggota tubuh seseorang yang sedang belajar, atau ketrampilan ruhani yang
menyangkut persoalan-persoalan kreatifitas untuk menyelesaikan dan merumuskan
suatu masalah atau konsep.
c. Pembentukan
Konsep
Adalah guru harus bertindak bijaksana dalam
menumbuhkan sikap mental, prilaku dan pribadi siswa. Ia harus cakap dalam
mengarahkan motivasi dan berfikir bahwa pribadi guru harus dipakai sebagai uswah.[38]
Relevan dengan tujuan belajar tersebut, maka hasil
yang ingin dicapai adalah :
a. Hal ikhwal
keislaman dan pengetahuan, konsep dan fakta (kognitif).
b. Hal ikhwal
personal, kepribadian / sikap (afektif).
c. Hal ikhwal
kelakuan, ketrampilan / penampilan (psikomotorik).
3. Aktivitas
Belajar
Aktivitas atau perbuatan belajar merupakan suatu
proses yang disadari dan setidaknya si pembelajar dapat menjadi sadar bahwa dia
telah belajar. Hasil dari aktivitas tersebut berupa perubahan pada aspek-aspek
kepribadian yang terus menerus berfungsi, maksud pengalaman-pengalaman baru itu
tidak bersifat statis. Bukhari menyatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut
yang merupakan hasil belajar antara seseorang yang telah belajar tidak sama
dengan yang dialami orang lain.[39]
Dalam proses belajar dikenal adanya ragam aktivitas
atau perbuatan belajar yang memiliki karakteristik yang berbeda antara satu
jenis dengan lainnya. Keaneka ragaman jenis tersebut muncul dalam dunia
pendidikan sejalan kebutuhan kehidupan manusia (siswa) yang juga bermacam-macam
keanekaragaman aktivitas belajar tersebut adalah
a. Belajar
abstrak adalah belajar yang menggunakan cara-cara berfikir abstrak, tujuannya
adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak
nyata.
b. Belajar
ketrampilan adalah belajar guna memperoleh dan menguasai ketrampilan jasmaniah
tertentu.
c. Belajar
sosial adalah belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk
memecahkan masalah sosial, tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan
kecakapan dan memecahkan masalah-masalah sosial.
d. Belajar
pemecahan masalah adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berfikir
sistematis, logis, teratur dan teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh
kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional,
lugas dan tuntas.
e. Belajar
rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan
rasional. Tujuannya adalah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan
prinsip-prinsip dan konsep-konsep.
f. Belajar
kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh
sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif
dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu.
g. Belajar
apresiasi adalah belajar mempertimbangkan arti penting atau nilai suatu obyek.
Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa,
dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai obyek tertentu.
h. Belajar
pengetahuan adalah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap
obyek pengetahuan tertentu. Tujuannya agar siswa memperoleh atau menambah
informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit
dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya.[40]
4. Prinsip-Prinsip
Dalam Proses Belajar Mengajar
Made Pidarta mengutip pendapat Gagne, yang mengatakan
bahwa prinsip belajar meliputi :
a. Kontiguitas,
memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang
respon anak yang diharapkan, beberapa kali secara berturut-turut.
b. Pengulangan,
situasi dan respon anak diulang-ulang atau dipraktekkan agar belajar lebih
sempurna dan lebih lama diingat.
c. Penguatan,
respon yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan
respon itu.
d. Motivasi
positif dan percaya diri dalam belajar.
e. Tersedia
materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak-anak.
f. Ada upaya
membangkitkan ketrampilan intelektual untuk belajar seperti apersepsi dalam
mengajar.
g. Ada
strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar.
h. Aspek-aspek
jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran.[41]
Sedangkan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan
oleh Alvin C. Eurich dari Ford Foundation adalah :
a. Hal apapun
yang dipelajari oleh siswa, maka ia harus mempelajarinya sendiri.
b. Setiap
belajar siswa menurut tempo (kecepatan)nya sendiri, dan untuk setiap kelompok
umur, terdapat variasi dalam kecepatan belajar.
c. Seorang
siswa belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan penguatan.
d. Penguasaan
secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih
berarti.
e. Apabila
siswa diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri maka ia lebih
termotivasikan untuk belajar, ia akan belajar dan mengingat secara baik.[42]
Menurut Nasution, prinsip-prinsip belajar meliputi :
a. Agar
seseorang (siswa) benar-benar belajar, maka ia harus mempunyai suatu tujuan.
b. Tujuan itu
harus timbul dari atas berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena
dipaksakan oleh orang lain.
c. Orang itu
bersedia mengalami bermacam-macam kesukaran dan berusaha dengan tekun untuk
mencapai tujuan yang berharga baginya.
d. Belajar itu
harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
e. Selain
tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil-hasil sambilan atau
sampingan, misalnya ia tidak hanya bertambah terampil membuat soal-soal ilmu
pengetahuan alam akan tetapi juga memperoleh minat yang lebih besar untuk
bidang studi itu.
f. Belajar
lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan (learning by doing).
g. Seseorang
(siswa) belajar sebagai keseluruhan, tidak dengan otaknya atau secara
intelektual saja tetapi juga secara sosial, emosional, etis dan sebagainya.
h. Dalam hal
belajar seseorang (siswa) memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
i. Untuk
belajar diperlukan insight, apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami.
j. Di samping
mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang (siswa) sering mengejar
tujuan-tujuan lain.
k. Belajar
lebih berhasil apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
l. Belajar
hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.[43]
Jadi jelaslah belum dengan mengetahui prinsip-prinsip
belajar, seseorang guru akan dapat melaksanakan fungsi / perannya semakin baik.
Hal ini dikarenakan bahwa prinsip-prinsip belajar memberikan pedoman berharga
bagi guru untuk dapat ditindak lanjuti dengan benar, sehingga pelaksanaan
pembelajaran dapat diarahkan secara efektif dan efisien.
5. Faktor Yang
Mempengaruhi Belajar
Proses belajar merupakan hal yang komplek, siswalah
yang sering menentukan terjadi atau tidak terjadinya belajar. Untuk
melaksanakan tindakan atau aktivitas belajar, siswa akan menghadapi
permasalahan-permasalahan baik secara intern maupun ekstern.[44]
Ausukel menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu faktor yang terdapat
dalam diri pelajar (siswa) dan faktor situasi, lebih lanjut ia membagi
faktor-faktor dalam diri pelajar yang meliputi :
a. Perubahan
struktur kognitif adalah sifat-sifat yang subtantif suatu riil dan organisasi
pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dalam bidang subject matter yaitu yang
relevan untuk mengasimilasikan tugas belajar lainnya dalam bidang yang sama.
b. Kesiapan
yang berkembang yaitu kesiapan khusus yang mencerminkan taraf perkembangan
intelektual siswa dan kapasitas intelektualnya dan cara-cara berfungsinya
intelektual yang memang khas untuk taraf ini, jadi siswa yang cenderung umurnya
lebih tua akan menghadapi bermacam tugas dari pada siswa yang relatif lebih
muda.
c. Kemampuan
intelektual yaitu tingkat yang nisbi dari bakat skolastik umum individu
(tingkat intelegensi atau kecerdasan dan kedudukannya yang nisbi dalam
hubungannya dengan kemampuan kognitif yang lebih berbeda atau luas biasa).
d. Faktor
motivasi dan sikap meliputi keinginan akan pengetahuan, keinginan akan prestasi
dan peningkatan diri dan keterlibatan ego / minat dalam suatu jenis subject
matter tertentu faktor ini mempengaruhi kesiapan, perhatian, tingkat usaha,
ketekunan (mersis tensi) dan kosentarasi.
e. Kepribadian
yaitu perbedaan-perbedaan individu dalam tingkat dan jenis motivasi,
penyesuaian diri, sifat-sifat khas kepribadian lainnya dan tingkat kegelisahan
dan keresahan.
Sedangkan faktor-faktor situasi yang dikemukakan
meliputi :
a. Praktik
meliputi frekuensi, distribusi, metode dan kondisi-kondisi umum.
b. Susunan
atau rencana bahan pengajaran yaitu meliputi jumlah, kesulitan tingkat ukuran,
logika yang mendasari, urutan, pengaturan kecepatan dan penggunaan alat-alat
peraga dan pengajaran.
c. Faktor
kelompok dan sosial tertentu, seperti suasana kelas kerjasama dan kompetisi,
keadaan kultur yang tidak menguntungkan dan pemisahan rasial.
d. Karakteristik
guru seperti kemampuan guru, pengetahuan tentang subject materi kemampuan dan
kesanggupan pedagogis, kepribadian dan tingkahlakunya.[45]
Muhibbin Syah mengemukakan secara global tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar yaitu :
a. Faktor
internal (Faktor dalam diri siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan
rohani siswa.
b. Faktor
eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkugan di sekitar siswa.
c. Faktor
pendekatan belajar, yakni jenis upaya belajar yang meliputi strategi dan metode
yang dipergunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi
pelajaran.[46]
Selanjutnya ia membagi faktor internal menjadi faktor
fisiologi dan psikologi. Faktor fisiologi ini dimaksudkan bahwa apabila kondisi
organ tubuh yang lemah akan dapat menurunkan kualitas ranah kognitif sehingga
materi yang dipelajarinya pun kurang / tidak berbekas. Untuk itu siswa
dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi serta memilih pola
istirahat dan olah raga yang teratur. Kondisi organ khususnya lainnya seperti
indera penglihat dan pendengar juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam
menyerap informasi dan pengetahuan. Sedangkan faktor psikologi dibedakan menjadi
:
a. Intelegensi,
yaitu kemampuan psiko fisik untuk mereaksi / penyesuaian diri dengan lingkungan
dengan cara yang tepat tingkat kecerdasan tidak dapat diragukan lagi
eksistensinya untuk meraih keberhasilan belajar siswa. Semakin tinggi tingkat
intelegensi siswa, maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses,
sebaliknya semakin rendah kemampuan intelegensi siswa, maka semakin kecil
peluang untuk memperoleh sukses.
b. Sikap
adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kemampuan untuk mereaksi /
merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap obyek orang, barang dan
sebagainya baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif
merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa, sebaliknya sifat
negatif siswa dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa.
c. Bakat
adalah kemampuan potensial yang dimiliki (siswa) untuk mencapai keberhasilan
pada masa yang akan datang. Bakat ini berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
prestasi belajar. Oleh karenanya, hal yang tidak bijaksana apabila orang tua
memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tanpa
mengetahui bakat yang dimiliki anaknya.
d. Minat
adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi / keinginan yang besar terhadap
sesuatu. Minat berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar. Siswa yang
berminat besar dalam belajar akan memusatkan perhatiannya terhadap
materi-materi pelajaran sehingga ia lebih giat belajar dengan lebih intensif.
Guru juga perlu membangkitkan minat siswa terhadap materi-materi yang bersentuhan
dengan siswa.
e. Motivasi
adalah keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk berbuat suatu atau
pemasok daya untuk bertingkah laku secara terarah kekurangan atau ketiadaan
motivasi baik intrinsik / ekstrinsik akan menyebabkan kurang bersemangatnya
siswa dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran.
Sedangkan eksternal yang Muhibbin Syah maksud adalah
meliputi :
a. Lingkungan
sosial, seperti guru, staf administrasi tema-tema sekelas orang tua, keluarga
dan masyarakat serta teman-teman sepermainan dapat mempengaruhi semangat
belajar siswa, guru misalnya apabila ia mampu mewujudkan sikap dan prilaku yang
simpatik dan memperlihatkan suri tauladan yang baik dan rajin dalam belajar
khususnya membaca buku dan berdiskusi, maka akan dapat menjadi daya dorong yang
positif bagi kegiatan belajar siswa.
b. Lingkungan
non sosial, seperti gedung sekolahg dan tata letaknya tempat tinggal siswa dan
letaknya, alat-alat belajar keadaan cuaca dan waktu belajar yang dipergunakan
siswa.
Sedangkan pendekatan belajar, adalah strategi atau
cara yang digunakan siswa untuk menunjang keefektifan dan keefisiensi dalam
proses pembelajaran materi-materi tertentu, strategi dalam hal ini berarti
seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan
masalah untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
Menurut Dimyati dan Mudjiono, faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar dikategorikan menjadi faktor intern dan ekstern. Faktor
intern meliputi sikap siswa terhadap belajar. Motivasi belajar kosentrasi
belajar, mengolah bahan belajar, menyimpan perolehan hasil belajar, mengali
hasil belajar yang tersimpan, kemampuan berprestasi atau untuk hasil belajar
kebiasaan belajar, cita-cita siswa. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi guru
sebagai pembina siswa, prasarana dan sarana pembelajaran, kebijakan penilaian
lingkungan sosial siswa di sekolah dan kurikulum sekolah.[47]
Jadi beberapa pendapat yang telah dikemukakan tersebut
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar tidak hanya
timbul dari dalam diri siswa saja (faktor intrinsik) dan juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari luar diri siswa (faktor eksternal) serta faktor pendekatan
yang dilakukan oleh guru dan siswa sendiri.
D. Hubungan
Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
Guru merupakan unsur manusiawi dalam lembaga
pendidikan formal. Di lembaga inilah sebagai dunia kehidupan guru yang sebagian
besar waktu guru dihabiskan. Ia hadir untuk mengabdikan diri kepada siswa yang
membutuhkan pembinaan dan bimbingan.
Guru dan siswa adalah dua sosok manusia yang tidak
dapat dipisahkan bagai orang tua dan anak yang terikat dalam tali jiwa. Di mana
ada guru di situ ada siswa yang membutuhkan pembinaan dan bimbingan belajar,
mereka berada dalam kesatuan dwi tunggal yang seiring dan setujuan. Hubungan mereka
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar
siswa, bahkan yang menentukan. Bagaimanapun baiknya bahan pelajaran yang
diberikan, bagusnya metode yang digunakan, namun jika hubungan guru dan siswa
tidak harmonis, maka dapat menciptakan proses dan hasil pembelajaran yang tidak
diinginkan.
Hubungan guru dan siswa yang tidak harmonis biasanya
sering tidak disukai siswa. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sikap guru
kasar dan keras, berprilaku yang menyimpang, dingin dalam hubungan mereka
sehingga dapat menjadi pendorong utama siswa untuk berprilaku negatif.
Dalam pengabdiannya, guru tidak hanya bersandar
tuntutan pekerjaan tetapi juga sebagai panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani
sehingga ia dapat merasakan jiwanya lebih dekat dengan siswanya. Dengan
demikian guru merupakan cerminan pribadi yang mulia, ia dengan rela hati
menyisihkan waktunya demi kepentingan siswanya demi membimbing, mendengarkan
keluhan, menasehati, membantu kesulitan siswa dalam segala hal yang bisa menghambat
aktivitas belajarnya, merasakan kedukaan siswa, bersama-sama dengan siswa pada
waktu senggang, berbicara dan bersendau gurau di sekolah, di luar jam kegiatan
kelas, bukan hanya duduk di kantor dengan dewan guru dan membuat jarak dengan
siswa.[48]
Sebelum mengawali pengabdiannya tersebut, guru harus
menanamkan niatnya untuk mendidik siswa agar menjadi orang yang berilmu
pengetahuan, mempunyai sikap dan watak yang baik, cakap dan terampil, bersusila
harus menyadari bahwa dalam dirinya terdapat fiqur yang diteladani oleh semua
pihak terutama siswa. Dengan demikian guru dapat meluruskan tingkah laku dan
perbuatan siswa yang kurang baik terutama peningkatan kualitas belajar siswa,
peran guru menjadikan salah satu keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar.
[1]
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi II, 1995, Cet. 4, hal. 330
[2]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. 222-223
[3]
Zakiah Daradjat (et. al), Ilmu Pendiidkan
Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hal. 266
[4]
Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran
Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal. 266
[5]
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, hal. 93
[6]
Abbdudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal. 62
[7]
Moh.
Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,
Cet. 13, hal. 5
[8]
Muhaimin, Abdul Ghofur, Nur Ali Rahman, Strategi
Belajar Mnegajar Penerapan dalam Pembelajaran Pendidikan Agama, CV. Citra
Media, Surabaya, 1996, hlm. 1
[9]
Ibid,
hlm. 2
[10] Sardiman AM , Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar, Raja Grafindo persada, Jakarta, 2000, Cet 7, hal 135
[11]
Dedi
Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta, 1999, Cet. 2, hal. 334
[12]
Piet
Suhertian, Profil Pendidik Profesional, Andi Offset,
[13]
Ibid., hal. 16
[14]
Sardiman A.M, Op Cit, hal. 142-144
[15]
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik
dalam Interaksi Edukatif, Reneka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 43-48
[16]
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi
Keguruan, Reneka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 30
[17]
Ibid., hal. 29
[18]
Ibid., hal. 30
[19]
Abd.
Rachman Sholeh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Gemawindu Panca Perkasa,
Jakarta, 2000, hal. 101
[20]
Anton Moeliono, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta,
1993, hal. 383
[21]
Prof. Sunarto, B. Agung Hartono, Perkembangan
Peserta Didik, Reneka Cipta, Jakarta, 1998, hal. 16-17
[22]
Abudin Nata, Op. Cit., hal. 79
[23]
Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Reneka Cipta, Jakarta, 1991,
hal. 39
[24]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
Triganda Karya, Bandung, 1993, hal. 177-183
[25]
Umar
Tirta Rahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, Reneka Cipta, Jakarta,
2000, hal. 52
[26]
Sardiman AM., Op. Cit., hal. 109-110
[27]
Ibid., hal. 112
[28]
Ibid., hal. 76-78
[29]
Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan
Peserta Didik, Reneka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 68-69
[30]
S.
Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal.
35
[31]
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,
Logos, Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, Cet. 3, hal. 60
[32]
Ibid., hal. 61
[33]
Ibid., hal. 63
[34]
A.
Tabrani (at all), Pendekatan Dalam PBM, Remaja Karya, Bandung, 1989,
hal. 7
[35]
Depag RI., PBM I B, 1985, hal. 3
[36]
Iskandar W. dan J. Mandalika, Kumpulan dan
Pikiran-pikiran dalam Pendidikan, Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 37
[37]
Roestiyah, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu
Sistem, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 37
[38]
Sardiman AM., Op. Cit., hal. 26-28
[39]
R.
Soetarno, Psikologi Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1993, Cet. 2, hal. 25
[40]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidik dengan
Pendekatan Baru, Op. Cit., hal. 122-124
[41]
Made
Pidarta, Landasan Pendidikan, Stimulus Ilmu Pendidik Bercorak
Indonesia, Reneka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 197
[42]
Ivor
K. Davies, Pengelolaan Belajar, Terj. Sudarsono, Rajawali, Jakarta,
1991, hal. 32
[43]
S.
Nasution, Op. Cit., hal. 46-47
[44]
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan
Pembelajaran, Reneka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 239
[45]
Abd.
Rachman Abror, Op. Cit., hal. 73-74
[46]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Op. Cit., hal. 132-139
[47]
Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., hal.
239-254
[48]
Saiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hal. 3
0 Response to "GURU PAI, INTENSITAS SISWA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR (PBM)"
Post a Comment