BANI ABBASYIAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Sejarah Pembentukan
Dinasti Abbasiyah
1. Asal – Usul Dinasti
Abbasiyah
Pemerintah Dinasti Abbasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai
pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan Al–Abbas dan para penentang lainnya
terhadap kekuasaan Dinasti Dinasti Umayyah di Damaskus. Ketidak berdayaan
mengatasi pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti
Umayyah pada tahun 750 M / 132 H dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad sebagai
khalifah terakhir Dinasti Umayyah.[1]
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam di buka oleh khalifah Abu
al-Abbas (750 – 754 M), merupakan khalifah pertama yang bergelar as-Saffah
(penumpah darah).[2]
Ide untuk mengambil alih kepemimpinan tidak hanya berdasarkan atas klan
kenabian, tetapi juga faktor persaingan memperebutkan supremasi kabilah antara Dinasti
Hasyim dan Dinasti Umayyah. Apalagi Dinasti Hasyim selama ini di pihak yang termarjinal.[3]
Menjelang akhir Dinasti Umayyah (akhir Abad I H.), terjadi bermacam-macam kekacauan
dan pelanggaran – pelanggaran terhadap ajaran Islam yang antara lain disebabkan
:
a. Penindasan yang terus
menerus terhadap pengikut Ali r.a. dan Dinasti Hasyim (Hasyimiyah) pada
umumnya.
b. Merendahkan kaum
muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam
pemerintah (Arab Oriented)
c. Pelanggaran terhadap
ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4]
Oleh karena itu, logis kalau Dinasti Hasyim mencari jalan keluar dengan
mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan daulah Umayyah. Di bawah
pimpinan Muhammad bin Ali – Al – Abbasy mereka bergerak dalam dua fase. Pertama,
fase sangat rahasia. Kedua, fase terang-terangan dan pertempuran.[5]
Gerakan ini menghimpun :
a. Keturunan Ali
(Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah
b. Keturunan Abbas
(Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman
c. Keturunan bangsa
Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.
Setelah Muhammad meninggal (126 H), perjuangan dilanjutkan oleh putarannya
Ibrahim. Dalam perjuangannya ia menemukan tokoh yang cerdas bernama Abu Muslim
al-Khurasany.
Bergabungnya Abu Muslim al-Khurasany ke dalam gerakan rahasia ini, maka
dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan dan pertempuran.[6]
Sementara itu, terdapat 3 tempat penting yang dijadikan basis kegitan dengan fungsi
yang berbeda. Tiga poros itu ialah Humaymah, Kufah dan Khurasan.[7]
Pertama Humaymah
berfungsi sebagai basis penyusunan strategi, taktik, inteligen dan basis
pengkaderan pasukan untuk melumpuhkan kekuatan pertahanan lawan. Kedua,
Kufah berfungsi sebagai basis komunikasi dan informasi antara Humayyah dan
Khurasan. Ketiga, Khurasan berfungsi sebagai basis kegiatan perlawanan.[8]
Puncak perlawanan berujung pada penyerbuan ibukota dinasti Dinasti Umayyah
(Damaskus) tahun 132 H / 750 M, yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah
terakhir dinasti Umayyah Marwan Ibn Muhammad oleh pasukan Abbasiyah.[9]
Keberhasilan Abbasiyah menumbang Dinasti Umayyah tidak terlepas dari
beberapa faktor, yaitu : Pertama, gencarnya propaganda yang dilakukan
oleh al-Abbas kepada setiap penduduk yang kecewa atas kepemimpinan Dinasti
Umayyah.[10] Kedua,
meningkatnya pendukung dari berbagai lapisan masyarakat terhadap kaum
pemberontak sehingga kebencian mereka terhadap Dinasti Umayyah menjadi faktor
yang memudahkan mobilisasi massa terutama kaum Mawalli. Ketiga,
pemerintahan Dinasti Umayyah yang dianggap dzalim ikut mendorong
meningkatnya kebencian di kalangan rakyat. Keempat, kelemahan yang
berasal dari internal Dinasti Umayyah sendiri.
Adapun kelemahan yang kemudian menyebabkan kehancuran Dinasti Umayyah
antara lain disebabkan :
1. Kesibukan melakukan
penyebaran Islam ke wilayah-wilayah seperti Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriah,
Palestina, sampai wilayah India bagian barat.[11]
Sehingga perhatian ke dalam pemerintahan sendiri kurang diutamakan
2. Persaingan dikalangan anggota-anggota keluarga Dinasti Umayyah
juga membawa kelemahan kepada kondisi Dinasti Umayyah.
3. Kehidupan mewah
Istana memperlemah jiwa dan kreativitas anak-anak khalifah yang membuat mereka
kurang sanggup memikul beban pemerintahan negara yang demikian besar. Sementara
itu, Azyumardi Azra berpendapat Dinasti Umayyah kurang respons terhadap
perubahan yang terjadi yaitu bertambah banyaknya jumlah kaum Mawali non Arab
yang setelah tahun 700 M jumlahnya melebihi kaum muslim Arab. Disamping
itu perlakuan Dinasti Umayyah terhadap kaum Mawali bersifat diskriminatif
karena kaum Mawali ditempatkan sebagai warga kelas dua (second class).
Sementara itu perubahan situasi menuju struktur sosial dan politik kosmopolitan
yang lebih sesuai dengan realitas umat terus berkembang.[12]
4. Menurut para
sejarawan dalam revolusi Abbasiyah terdapat tiga model klasifikasi yaitu pertama,
ras atau kesukuan seperti pengelompokan karena kesamaan bahasa, budaya, dan
organisasi sosial politik. Kedua, terjadinya afiliasi suku bangsa di
kalangan suku Arab muslim. Ketiga, kesetiaan atau kepentingan daerah
seperti antara penduduk Syiria, Irak dan Khurasan.[13]
Dinasti Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan idiologi baru, serta
beranggapan kekuasaannya berasal dari tuhan (divine origin) yang berasas
Islamiyah yaitu persamaan, kebebasan, persaudaraan, keadilan sosial dan
kerukunan terhadap agama-agama lain.[14]
2. Khilafah dan Khalifah
Dinasti Abbasiyah
a.
Khilafah Abbasiyah
Kepala negara adalah seorang khalifah yang
mengendalikan semua kekuasaan dalam pemerintahan. Pola pengangkatan dan
pergantian Khalifah Masa Abbasiyah berlangsung secara turun-temurun (monarki).[15]
Sehingga, pola seperti ini pada gilirannya menyuburkan budaya korupsi,
otoriter, absolut, dan diktator dalam menjalankan pemerintahan.[16]
Secara Politis pada masa awal Dinasti
Abbasiyah, khalifah berkuasa pada dua aspek, yaitu :
Pertama,
aspek spiritual yang berorientasi pada keagamaan dimana khalifah berfungsi
sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang bertanggung jawab untuk mengolah,
mengelola, memakmurkan bumi, dan memelihara bumi dari kehancuran. Sebagaimana
firman Allah SWT :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً (البقرة: 30)
Dan ingatlah
ketika tuhanmu berkata sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah di
muka bumi. (QS. Al-Baqarah : 30).[17]
Di samping itu Dinasti Abbasiyah membentuk
pemerintahannya di atas dasar Islam dengan menerapkan prinsip persamaan,
keadilan, kebebasan, amanah, persaudaraan dan persatuan, perdamaian dan amar
ma’ruf nahi munkar yang secara eksplisit diungkapkan Allah SWT melalui
Al-Quran.[18]
Kedua, aspek temporal yang berorientasi keduniaan, di mana
ia bertindak sebagai pemegang otoritas dalam pemerintahan. Di mana khalifah
dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang Perdana Menteri (wazir),
otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi) dan otoritas militer
kepada seorang jenderal (amir). Namun khalifah sendiri tetap menjadi
pengambil keputusan akhir dalam setiap kebijakan pemerintahan.[19]
Sistem pemerintahan monarki
Abbasiyah yang diadopsi dari Persia dan Byzantium bahkan Dinasti Umayyah,
cenderung despotis dan antikritik. Namun demikian, terdapat
beberapa perbedaan antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah antara lain:
1. Dinasti Umayyah masih
mempertahankan dan mengagungkan ke-Araban murni (Arabic oriented) baik
khalifah atau pegawai dan rakyatnya. Sehingga berkembanglah sebutan Abbasiyah
lebih bersikap toleran bahkan meniadakan “Mawali” dengan memberikan hak yang
sama.
2. Dinasti Umayyah
berpusat di Damaskus, sedangkan Dinasti Abbasiyah menempati Baghdad sebagai
pusat pemerintahannya.
3. Kebudayaan Umayyah
lekat dengan corak Arab Jahiliyah dengan kemegahan bersyair dan
berkisah. Sedangkan kebudayaan Abbasiyah terbuka terhadap semua kebudayaan
sampai akhirnya terjadi asimilasi antara budaya Arab dan bangsa lain.
4. Dinasti Umayyah bukan
keluarga nabi, sedangkan Abbasiyah mendasarkan kekhalifahan pada keluarga nabi
(Abbas adalah paman Nabi)
5. Khalifah Umayyah
gemar bersyair dan berkasidah. Sedangkan khalifah Abbasiyah gemar kepada ilmu
pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan mencapai masa keemasannya.[20]
b.
Khalifah Abbasiyah
Masa kekuasaan Abbasiyah yang berlangsung
dari tahun 132 H (750 M) – 656 H (1258 M) dengan wilayah kekuasaan yang amat
luas dalam bentuk provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (amir),[21]
berdampak pada kesulitan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan membagi masa
pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah) menjadi 5 periode:[22]
1. Periode pertama (750
– 847 M) atau (132 – 232 H) disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (847 –
945 M) atau (232 – 334 H) disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (945 –
1055 M) atau (334 – 447 H) kekuasaan Abbasiyah berada di bawah Dinasti Buwaih.
4. Periode keempat (1055
– 1194 M) atau (447 – 590 H) kekuasaan Abbasiyah di bawah Dinasti Saljuk atau
disebut pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima, (1194
– 1258 M) atau (590 – 656 H) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad saja.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa (132 –
656 H atau 750 – 1258 M) tercatat lima khalifah yang dianggap besar dari 37
khalifah Abbasiyah yang ada. Di antaranya Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far
Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Al-Rasyd dan Al-Makmun. Walaupun secara politis para
khalifah dinasti Abbasiyah lemah dan mundur, dipihak lain kemajuan intelektual,
sains, dan filsafat terus berkembang.
Tabel
Nama-Nama
Khalifah Dinasti Abasiyyah
Nama Khalifah
|
Tahun Masehi
|
Tahun Hijriyah
|
Abu Al-Abbas Al-Saffah
|
750-754
|
132-136
|
Abu Ja’far A- Mansur
|
754-775
|
136-158
|
Al-Mahdi
|
775-785
|
158-169
|
Al-Hadi
|
785-786
|
169-170
|
Harun Al-Rayid
|
786-809
|
170-193
|
Al-Amin
|
809-813
|
193-198
|
Al-Makmun
|
813-833
|
198-218
|
Al-Mu’tashim
|
833-842
|
218-227
|
Al-Watsiq
|
842-847
|
227-232
|
Al-Mutawakkil
|
847-861
|
232-247
|
Al-Mutasir
|
861-862
|
247-248
|
Al-Musta’in
|
862-866
|
248-252
|
Al-Mu’taz
|
866-869
|
252-255
|
Al-Muhtadi
|
869-870
|
255-256
|
Al-Mu’tamid
|
870-892
|
256-279
|
Al-Mu’tadid
|
892-902
|
279-289
|
Al-Muktafi
|
902-908
|
289-295
|
Al-Muqtadir
|
908-932
|
295-320
|
Al-Qahir
|
932-934
|
320-322
|
Al-Radi
|
934-940
|
322-329
|
Al-Muttaqi
|
940-944
|
329-333
|
Al-Mustakfi
|
944-946
|
333-334
|
Al-Muthi’
|
946-974
|
334-363
|
Al-Tha’
|
974-991
|
363-381
|
Al-Qadir
|
991-1031
|
381-442
|
Al-Qaim
|
1031-1075
|
422-467
|
Al-Muqtadi
|
1075-1094
|
467-487
|
Al-Mustazhir
|
1094-1118
|
487-512
|
Al-Mustarsyd
|
1118-1135
|
512-529
|
Al-Rasyd
|
1135-1136
|
529-530
|
Al-Muqtafi
|
1136-1160
|
530-555
|
Al-Mustanjid
|
1160-1170
|
555-566
|
Al-Mustadhi
|
1170-1180
|
566-575
|
Al-Nashir
|
1180-1225
|
575-622
|
Al-Zhahir
|
1225-1226
|
622-623
|
Al-Mustanshir
|
1226-1242
|
623-640
|
Al-Musta’shim
|
1242-1258
|
640-656
|
Table di atas merupakan nama-nama khalifah
yang memerintah pada masa Abbasiyah
B. Pendidikan Islam pada
Masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum masa pemerintah Islam, mayoritas penduduk bangsa Arab merupakan
penduduk yang buta huruf (jahiliyah). Maka dari itu mereka harus
bergantung kepada hafalan atau ingatan untuk meriwayatkan/ menghubungkan
tradisi mereka secara lisan. Setelah kebangkitan Islam, Nabi Muhammad mempunyai
minat yang kuat untuk mendidik bangsa Arab.
Untuk mencapai tujuan sebagai berikut, beliau mempekerjakan tawanan Perang
Badar pertama yang pandai membaca dan menulis dan tidak bisa membayar tebusan
untuk mengajar 10 anak-anak muslim dalam membaca dan menulis.[23]
Pada awal mula zaman Islam, ilmu pengetahuan umat Islam banyak berasal dari
Al-Qur,an dan Hadits Nabawy. Kemudian umat Islam keturunan non-Arab
khususnya orang-orang Persia berpendapat bahwa mereka perlu mempelajari tata
bahasa Arab (nahwu) psikologi, dan syair–syair sebelum Islam yang
memerlukan studi genelogi dan history untuk memahami Al-Qur'an
dan Hadits. Mulai saat itu mereka (bangsa Persia) tertarik untuk mempelajari theology
Islam.[24]
Sehingga sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi,
tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Abbasiyah sendiri.
Sebagian di antaranya sudah mulai sejak awal kebangkitan Islam.
Pada periode Abbasiyah pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam menjadi
prioritas utama daripada perluasan wilayah. Dalam bidang pendidikan misalnya,
di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga
pendidikan terdiri dari dua tingkat.[25]
1. Maktab/Kuttab dan Masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, hitungan dan tulisan. Dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fiqih dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman,
para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu
kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu agama. Pengajarannya
berlangsung di masjid-masjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak
penguasa pendidikan bisa berlangsung distana atau di rumah penguasa tersebut
dengan memanggil ulama ahli ke sana.[26]
(Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Harun ar-Rasyid).
Lembaga-lembaga itu kemudian berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah
dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab di sana
orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan
bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman
dinasti Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu,
kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :
1. Terjadinya asimilasi
antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan dinasti
Abbasiyah, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan efisien. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia,
sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping
itu, bangsa Persia berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.[27]
Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran ilmu matematika dan astronomi.[28]
2. Gerakan terjemahan
yang berlangsung dalam tiga fase.
Fase pertama, pada masa
khalifah Al-Mansur hingga Harun Al-Rasyd. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq.
Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H.
buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang – bidang ilmu yang diterjemahkan makin meluas.[29]
Imam-imam madzhab yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah. Imam
Abu Hanifah (700 – 767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh
perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah
kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan
Persia lebih tinggi.[30]
Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada
Hadits. Muridnya dan sekaligus penerusnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat
di zaman Harun ar-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713 – 795 M) banyak menggunakan
hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh Madzhab hukum itu ditengahi
oleh Imam Syafi’i (767 – 820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (780 – 855 M) di samping
empat pendiri madzhab besar itu, pada masa pemerintahan Abbasiyah banyak mujtahid
mutlak lain yang mengeluarkan pendapat secara bebas dan mendirikan madzhabnya
pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan madzhab
itu hilang bersama berlalunya zaman. Aliran-aliran theologi sudah ada
pada masa Dinasti Umayyah, seperti khawarij, murjiah dan mu’tazilah.
Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah
muncul diujung pemerintahan dinasti Umayyah. Namun pemikiran- pemikirannya yang
lebih kompleks dan sempurna dirumuskan pada masa Abbasiyah setelah terjadi
kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.[31]
Tokoh perumus pemikiran mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-
Huzail al-Allaf dan an-Nazzam. Asy’ariyah.Aliran tradisional di bidang teologi
yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang lahir pada masa Dinasti
Abbasiyah ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Penulisan
Hadits, sastra juga berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu
mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi
sehingga memudahkan para pemikir dan pengembang ilmu pengetahuan beraktivitas
sesuai dengan kapabilitas dan kapasitasnya masing-masing.
Kemenangan tentara Islam pada masa
Al-Mahdi dan Al-Rasyd atas orang Byzantium telah membuat Dinasti Abbasiyah
populer, megah dan dikenal dalam sejarah dan fiksi. Akan tetapi kemunculan
gerakan intelektual dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran
dan budaya, menghantarkan Abbasiyah mencapai puncak keemasan dalam Islam (The
golden Age of Islam).[32]
Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya
perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abbasiyah, diantaranya sebagai
berikut :
1. Pertama, kontak antara
Islam dan Persia yang secara kultural banyak berperan dalam pengembangan
tradisi keilmuan Yunani. Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang
Arab bergerak menaklukkan daerah bulan sabit subur. Hellenisme akhirnya
menjadi unsur yang paling dominan mempengaruhi kehidupan orang Arab. Menurut
analisis Mehdi Nakosteen, faktor-faktor penyebab helenisme dan helenistik
antara lain : Pertama, Peran umat kristiani ortodoks seperi Nestorian[33],
toleransi kaum muslim terhadap mereka dibalas dengan dibiarkannya berkembang
tradisi–tradisi keilmuan Islam. Kedua, penaklukan oleh Alexander yang
agung (Alexander the great). Ketiga, peran Akademi Jundishapur di
Persia warisan kekuasaan Sassaniah. Keempat, karya ilmiah Yahudi yang
tidak dapat dilupakan.[34]
2. Etos keilmuan
Khalifah Abbasiyah yang menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu
Harun Al-Rasyd dan Al-Makmun pada masa kedua khalifah tersebut Abbasiyah yang
berpusat di Baghdad mencapai “masa keemasan Islam”.
3. Peran keluarga Barmak
yang sengaja dipanggil khalifah ke istana untuk mendidik keluarga istana.
Karena keluarga Barmak memiliki etos intelektual yang baik, profesional dan jujur,
maka diangkat sebagai penasihat intelektual khalifah secara turun-temurun.
4. Aktivitas
penerjemahan literatur – literatur Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun
sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Aramaik (Suriah) karena
kebanyakan penerjemah berbahasa Aramaik. Dari penerjemahan ini
terjadilah helenisasi pemikiran Islam sekaligus Islamisasi pemikiran helenistik
di dunia Islam.
5. Konsentrasi
pemerintah terhadap kemajuan aspek sosial dan intelektual, dengan mengesampingkan
ekspansi wilayah. Kuatnya hegemoni Abbasiyah menjadi faktor terkendalinya
stabilitas politik negara.
6. Heterogenitas
peradaban dan kebudayaan di Baghdad mengakibatkan terjadi proses asimilasi,
saling memberi dan menerima dalam perkembangan intelektual masyarakat pada masa
itu.
7. Situasi sosial Baghdad
yang kosmopolit di mana berbagai macam suku, ras dan etnis serta masing-masing
kulturnya yang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya pemecahan masalah
dari pendekatan intelektual.
Pengadopsian warisan-warisan intelektual
Yunani ke dalam dunia Islam setidaknya menimbulkan dua penilaian. Islamisasi
karya-karya Yunani dan pendangkalan nilai-nilai Islam. Pendapat bahwa telah
terjadi proses pengislaman ada benarnya karena para pemikir muslim kontemplatif
telah melakukan penyesuaian dan penambahan nilai-nilai Islam ke dalam
pemikirannya.
Namun, penilaian telah terjadi
pendangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam juga ada benarnya ketika sang penilai
berada dalam posisi di luar bidangnya.
Berdasarkan pada faktor-faktor di atas,
seiring dengan semaraknya penerjemahan buku-buku ataupun manuskrip filsafat
Yunani, didirikanlah lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Berawal dari
lembaga pendidikan terendah yaitu maktab/Kuttab. Lembaga ini merupakan cikal
bakal dari berkembangnya lembaga pendidikan. Tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan yang sudah ada sejak masa nabi.
Kemudian, halaqoh merupakan
model pendidikan di mana seorang guru duduk dikelilingi oleh murid-murid umtuk
mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru.
Halaqoh yang dilaksanakan di masjid-masjid terbagi
menjadi dua jenis. Pertama, halaqoh
yang mengkaji ilmu-ilmu agama secara umum pada tingkat tinggi. Kedua halaqah yang secara khusus diperuntukkan bagi kajian
fiqih dalam salah satu madzhab. Halaqoh tersebut di laksanakan di masjid
Jami’ yang dibangun oleh negara di bawah pengawasan khalifah dan masjid non
jami’ (masjid lokal yang eksklusif) yang dibangun untuk kebutuhan sekelompok
masyarakat Islam yang tinggal di lingkungan tertentu atau sekelompok penganut
madzhab tertentu.[35]
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa Harun al- Rasyid
(786-809 M) berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian kemudian
al-Makmun (813-833 M) lembaga ini berubah menjadi Baitul Hikmah yang tidak
hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi ,
riset astronomi dan matematika.
Adapun faktor-faktor berdirinya Baitul
Hikah adalah sebagai berikut:
1.
Melimpahkan kekayaan negara dan tingginya
apresiasi khalifah al-Maknun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2.
Pada saat itu kawasan Irak (Mesopotamia) dan
sekitarnya telah mempunyai tradisi keilmuan yang berasal dari warisan masa
lampau.
3.
Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan
angota masyarakat (dari berbagai lapiasan sosial) terhadap kegiatan
keilmuan.
Adanya institusi pendidikan Islam pada masa
Abbasyiah, senantiasa mengalami perkembangan dari masa khalifah satu ke
khalifah lainnya. Adanya merupakan bukti dari kebebasan khalifah kepada para
civitas akademika untuk mengembangkan keilmuan secara maksimal merupakan peran
umat islam dalam sejarah umat manusia aalah revolusioner penting, terutama pada
masa Abbasiyah. Ilmu pengetahuan islam mengalami kemajuan yang mengesankan
selama periode tersebut. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju
tersebut, melalui gerakan terjemahan yang dipelopori oleh Al-Makmun telah
membawa perkembangan ilmu pengetahuan di bidang astronomi, kedokteran,
filsafat, kimia, matematika, sejarah an disiplin ilmu lainnya. Dalam bidang
keilmuan yang bersumber keagamaan seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih,
teologi juga memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap kemajuan
intelektual Islam.. Akan tetapi, semua itu dilakukan dalam fram work keagamaan dan
skolatikisme. Kemudian, lembaga pendidikan pada masa
Abbasiyah mengalami perkembangan dengan
adanya madrasah Nizamiyah baik dari segi sistem, kurikulum, materi dan metode
pembelajaran.
Kurikulum pada lembaga pendidikan
Abbasiyah dikenal istilah ta’liqah yang mengandung rincian materi
pelajaran serta membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun untuk
menyelesaikannya. Meteri yang terkandung dalam ta’liqah menjadi latar belakang
informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan formal, tergantung pada aturan
logika dan retorika di mana seseorang mempertahankan satu pandangan dan
argumentasinya mengenai permasalahan yang dihadapinya
Metode pembelajaran pada yang berlaku pada
masa Abbasiyah yaitu metode pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centris) di mana guru sebagai
pemberi informasi, pembina dan pengarah dalam proses belajar mengajar. Karena
guru merupakan faktor penentu seluruh aspek pendidikan, maka tujuan kurikulum,
materi dan metode serta pendekatan yang digunakan seluruhnya ditentukan oleh
guru. Metode ini didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas
akademis yang menekankan pada segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan
mengesampingkan tujuan membina dan mengembangkan potensi siswa
[1]
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm. 27.
[2]
Philp K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : Serambi, 2002), hlm. 358.
[3]
Karen Amstrong, Islam, (Jogjakarta :
Jendela, 2003), hlm. 63.
[4]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam.
(Jakarta :
Prenada Media, 2004), hlm. 47.
[5] A.
Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm.
186.
[6] Ibid.,
hlm. 187.
[7]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997),
hlm. 87.
[8]
Didin, Saefudin, op.cit., hlm. 29-30.
[9] A.
Hasymy op.cit., hlm. 186.
[10]
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abasyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 11.
[11]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Jaya Murni,
1983), hlm. 19.
[12]
Didin Saefudin, op.cit., hlm. 31.
[13] Ibid.,
hlm. 32.
[14]
Amir Hasan Siddiqi, Studies Islamic History, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1987), hlm. 59.
[15]
Philip K. Hitti, op.cit., hlm. 395.
[16]
Didin Saefudin, op. cit., hlm. 62.
[17]
Soenarjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1990), hlm.13.
[18].Mat
Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Rasail, 2005), hlm. 87.
[19]
Philip K. Hitti, op.cit., hlm. 395.
[20]
Musrifah Sunanto, op.c it., hlm. 48-49.
[21]
Philip K. Hitti, op. cit., hlm. 397.
[22]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 49-50.
[23]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: P Kota
Kembang, 1989), hlm. 128.
[24] Ibid.,
hlm. 131.
[25]
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit., hlm. 129.
[26] Ibid.,
hlm. 129.
[27]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid I (Kairo: Lajnah at-Ta’lif wa
an-Nasyr), hlm. 207.
[28] Ibid.,
hlm. 177-178.
[29] Ibid.,
hlm. 288 – 290.
[30]
Harun Nasution, op.cit., hlm. 67.
[31]
W. Montgometry Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta:
P3M, 1987), hlm. 54-113.
[32]
Philip K. Hitti, op. cit., hlm. 381.
[33]
Nestorian adalah Sekte Kristiani Ortodoks yang dikucilkan oleh gereja induk.
[34]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 2001),
hlm. 65.
[35]
Charles Michel Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam Sejarah dan Peranannya
dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan, Terj. Hasan Asari, (Jakarta:Logos
Publishing House, 1998), hlm. 36
0 Response to "BANI ABBASYIAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment