BANI ABBASYIAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

 
BANI ABBASYIAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

A.    Sejarah Pembentukan Dinasti Abbasiyah

1.      Asal – Usul Dinasti Abbasiyah

Pemerintah Dinasti Abbasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan Al–Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan Dinasti Dinasti Umayyah di Damaskus. Ketidak berdayaan mengatasi pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti Umayyah pada tahun 750 M / 132 H dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah.[1]
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam di buka oleh khalifah Abu al-Abbas (750 – 754 M), merupakan khalifah pertama yang bergelar as-Saffah (penumpah darah).[2] Ide untuk mengambil alih kepemimpinan tidak hanya berdasarkan atas klan kenabian, tetapi juga faktor persaingan memperebutkan supremasi kabilah antara Dinasti Hasyim dan Dinasti Umayyah. Apalagi Dinasti Hasyim selama ini di pihak yang termarjinal.[3]
Menjelang akhir Dinasti Umayyah (akhir Abad I H.), terjadi bermacam-macam kekacauan dan pelanggaran – pelanggaran terhadap ajaran Islam yang antara lain disebabkan :
a.       Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali r.a. dan Dinasti Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya.
b.      Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintah (Arab Oriented)
c.       Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4]
Oleh karena itu, logis kalau Dinasti Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan daulah Umayyah. Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali – Al – Abbasy mereka bergerak dalam dua fase. Pertama, fase sangat rahasia. Kedua, fase terang-terangan dan pertempuran.[5] Gerakan ini menghimpun :
a.       Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah
b.      Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman
c.       Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.
Setelah Muhammad meninggal (126 H), perjuangan dilanjutkan oleh putarannya Ibrahim. Dalam perjuangannya ia menemukan tokoh yang cerdas bernama Abu Muslim al-Khurasany.
Bergabungnya Abu Muslim al-Khurasany ke dalam gerakan rahasia ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan dan pertempuran.[6] Sementara itu, terdapat 3 tempat penting yang dijadikan basis kegitan dengan fungsi yang berbeda. Tiga poros itu ialah Humaymah, Kufah dan Khurasan.[7]
Pertama Humaymah berfungsi sebagai basis penyusunan strategi, taktik, inteligen dan basis pengkaderan pasukan untuk melumpuhkan kekuatan pertahanan lawan. Kedua, Kufah berfungsi sebagai basis komunikasi dan informasi antara Humayyah dan Khurasan. Ketiga, Khurasan berfungsi sebagai basis kegiatan perlawanan.[8] Puncak perlawanan berujung pada penyerbuan ibukota dinasti Dinasti Umayyah (Damaskus) tahun 132 H / 750 M, yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah terakhir dinasti Umayyah Marwan Ibn Muhammad oleh pasukan Abbasiyah.[9]
Keberhasilan Abbasiyah menumbang Dinasti Umayyah tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu : Pertama, gencarnya propaganda yang dilakukan oleh al-Abbas kepada setiap penduduk yang kecewa atas kepemimpinan Dinasti Umayyah.[10] Kedua, meningkatnya pendukung dari berbagai lapisan masyarakat terhadap kaum pemberontak sehingga kebencian mereka terhadap Dinasti Umayyah menjadi faktor yang memudahkan mobilisasi massa terutama kaum Mawalli. Ketiga, pemerintahan Dinasti Umayyah yang dianggap dzalim ikut mendorong meningkatnya kebencian di kalangan rakyat. Keempat, kelemahan yang berasal dari internal Dinasti Umayyah sendiri.
Adapun kelemahan yang kemudian menyebabkan kehancuran Dinasti Umayyah antara lain disebabkan :
1.      Kesibukan melakukan penyebaran Islam ke wilayah-wilayah seperti Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriah, Palestina, sampai wilayah India bagian barat.[11] Sehingga perhatian ke dalam pemerintahan sendiri kurang diutamakan
2.      Persaingan dikalangan anggota-anggota keluarga Dinasti Umayyah juga membawa kelemahan kepada kondisi Dinasti Umayyah.
3.      Kehidupan mewah Istana memperlemah jiwa dan kreativitas anak-anak khalifah yang membuat mereka kurang sanggup memikul beban pemerintahan negara yang demikian besar. Sementara itu, Azyumardi Azra berpendapat Dinasti Umayyah kurang respons terhadap perubahan yang terjadi yaitu bertambah banyaknya jumlah kaum Mawali non Arab yang setelah tahun 700 M jumlahnya melebihi kaum muslim Arab. Disamping itu perlakuan Dinasti Umayyah terhadap kaum Mawali bersifat diskriminatif karena kaum Mawali ditempatkan sebagai warga kelas dua (second class). Sementara itu perubahan situasi menuju struktur sosial dan politik kosmopolitan yang lebih sesuai dengan realitas umat terus berkembang.[12]
4.      Menurut para sejarawan dalam revolusi Abbasiyah terdapat tiga model klasifikasi yaitu pertama, ras atau kesukuan seperti pengelompokan karena kesamaan bahasa, budaya, dan organisasi sosial politik. Kedua, terjadinya afiliasi suku bangsa di kalangan suku Arab muslim. Ketiga, kesetiaan atau kepentingan daerah seperti antara penduduk Syiria, Irak dan Khurasan.[13] Dinasti Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan idiologi baru, serta beranggapan kekuasaannya berasal dari tuhan (divine origin) yang berasas Islamiyah yaitu persamaan, kebebasan, persaudaraan, keadilan sosial dan kerukunan terhadap agama-agama lain.[14]

2.      Khilafah dan Khalifah Dinasti Abbasiyah

a.       Khilafah Abbasiyah

Kepala negara adalah seorang khalifah yang mengendalikan semua kekuasaan dalam pemerintahan. Pola pengangkatan dan pergantian Khalifah Masa Abbasiyah berlangsung secara turun-temurun (monarki).[15] Sehingga, pola seperti ini pada gilirannya menyuburkan budaya korupsi, otoriter, absolut, dan diktator dalam menjalankan pemerintahan.[16]
Secara Politis pada masa awal Dinasti Abbasiyah, khalifah berkuasa pada dua aspek, yaitu :
 Pertama, aspek spiritual yang berorientasi pada keagamaan dimana khalifah berfungsi sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang bertanggung jawab untuk mengolah, mengelola, memakmurkan bumi, dan memelihara bumi dari kehancuran. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً  (البقرة: 30)
Dan ingatlah ketika tuhanmu berkata sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Al-Baqarah : 30).[17]
Di samping itu Dinasti Abbasiyah membentuk pemerintahannya di atas dasar Islam dengan menerapkan prinsip persamaan, keadilan, kebebasan, amanah, persaudaraan dan persatuan, perdamaian dan amar ma’ruf nahi munkar yang secara eksplisit diungkapkan Allah SWT melalui Al-Quran.[18]
Kedua, aspek temporal yang berorientasi keduniaan, di mana ia bertindak sebagai pemegang otoritas dalam pemerintahan. Di mana khalifah dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang Perdana Menteri (wazir), otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi) dan otoritas militer kepada seorang jenderal (amir). Namun khalifah sendiri tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam setiap kebijakan pemerintahan.[19]
Sistem pemerintahan monarki Abbasiyah yang diadopsi dari Persia dan Byzantium bahkan Dinasti Umayyah, cenderung despotis dan antikritik. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah antara lain:
1.       Dinasti Umayyah masih mempertahankan dan mengagungkan ke-Araban murni (Arabic oriented) baik khalifah atau pegawai dan rakyatnya. Sehingga berkembanglah sebutan Abbasiyah lebih bersikap toleran bahkan meniadakan “Mawali” dengan memberikan hak yang sama.
2.       Dinasti Umayyah berpusat di Damaskus, sedangkan Dinasti Abbasiyah menempati Baghdad sebagai pusat pemerintahannya.
3.       Kebudayaan Umayyah lekat dengan corak Arab Jahiliyah dengan kemegahan bersyair dan berkisah. Sedangkan kebudayaan Abbasiyah terbuka terhadap semua kebudayaan sampai akhirnya terjadi asimilasi antara budaya Arab dan bangsa lain.
4.       Dinasti Umayyah bukan keluarga nabi, sedangkan Abbasiyah mendasarkan kekhalifahan pada keluarga nabi (Abbas adalah paman Nabi)
5.       Khalifah Umayyah gemar bersyair dan berkasidah. Sedangkan khalifah Abbasiyah gemar kepada ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan mencapai masa keemasannya.[20]

b.       Khalifah Abbasiyah

Masa kekuasaan Abbasiyah yang berlangsung dari tahun 132 H (750 M) – 656 H (1258 M) dengan wilayah kekuasaan yang amat luas dalam bentuk provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (amir),[21] berdampak pada kesulitan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan membagi masa pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah) menjadi 5 periode:[22]
1.       Periode pertama (750 – 847 M) atau (132 – 232 H) disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.       Periode kedua (847 – 945 M) atau (232 – 334 H) disebut masa pengaruh Turki pertama.
3.       Periode Ketiga (945 – 1055 M) atau (334 – 447 H) kekuasaan Abbasiyah berada di bawah Dinasti Buwaih.
4.       Periode keempat (1055 – 1194 M) atau (447 – 590 H) kekuasaan Abbasiyah di bawah Dinasti Saljuk atau disebut pengaruh Turki kedua.
5.       Periode kelima, (1194 – 1258 M) atau (590 – 656 H) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad saja.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa (132 – 656 H atau 750 – 1258 M) tercatat lima khalifah yang dianggap besar dari 37 khalifah Abbasiyah yang ada. Di antaranya Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Al-Rasyd dan Al-Makmun. Walaupun secara politis para khalifah dinasti Abbasiyah lemah dan mundur, dipihak lain kemajuan intelektual, sains, dan filsafat terus berkembang.
Tabel
Nama-Nama Khalifah Dinasti Abasiyyah
Nama Khalifah
Tahun Masehi
Tahun Hijriyah
Abu Al-Abbas Al-Saffah
750-754
132-136
Abu Ja’far A- Mansur
754-775
136-158
Al-Mahdi
775-785
158-169
Al-Hadi
785-786
169-170
Harun Al-Rayid
786-809
170-193
Al-Amin
809-813
193-198
Al-Makmun
813-833
198-218
Al-Mu’tashim
833-842
218-227
Al-Watsiq
842-847
227-232
Al-Mutawakkil
847-861
232-247
Al-Mutasir
861-862
247-248
Al-Musta’in
862-866
248-252
Al-Mu’taz
866-869
252-255
Al-Muhtadi
869-870
255-256
Al-Mu’tamid
870-892
256-279
Al-Mu’tadid
892-902
279-289
Al-Muktafi
902-908
289-295
Al-Muqtadir
908-932
295-320
Al-Qahir
932-934
320-322
Al-Radi
934-940
322-329
Al-Muttaqi
940-944
329-333
Al-Mustakfi
944-946
333-334
Al-Muthi’
946-974
334-363
Al-Tha’
974-991
363-381
Al-Qadir
991-1031
381-442
Al-Qaim
1031-1075
422-467
Al-Muqtadi
1075-1094
467-487
Al-Mustazhir
1094-1118
487-512
Al-Mustarsyd
1118-1135
512-529
Al-Rasyd
1135-1136
529-530
Al-Muqtafi
1136-1160
530-555
Al-Mustanjid
1160-1170
555-566
Al-Mustadhi
1170-1180
566-575
Al-Nashir
1180-1225
575-622
Al-Zhahir
1225-1226
622-623
Al-Mustanshir
1226-1242
623-640
Al-Musta’shim
1242-1258
640-656 
Table di atas merupakan nama-nama khalifah  yang memerintah pada masa Abbasiyah

B.     Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah

Sebelum masa pemerintah Islam, mayoritas penduduk bangsa Arab merupakan penduduk yang buta huruf (jahiliyah). Maka dari itu mereka harus bergantung kepada hafalan atau ingatan untuk meriwayatkan/ menghubungkan tradisi mereka secara lisan. Setelah kebangkitan Islam, Nabi Muhammad mempunyai minat yang kuat untuk mendidik bangsa Arab.
Untuk mencapai tujuan sebagai berikut, beliau mempekerjakan tawanan Perang Badar pertama yang pandai membaca dan menulis dan tidak bisa membayar tebusan untuk mengajar 10 anak-anak muslim dalam membaca dan menulis.[23]
Pada awal mula zaman Islam, ilmu pengetahuan umat Islam banyak berasal dari Al-Qur,an dan Hadits Nabawy. Kemudian umat Islam keturunan non-Arab khususnya orang-orang Persia berpendapat bahwa mereka perlu mempelajari tata bahasa Arab (nahwu) psikologi, dan syair–syair sebelum Islam yang memerlukan studi genelogi dan history untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits. Mulai saat itu mereka (bangsa Persia) tertarik untuk mempelajari theology Islam.[24]
Sehingga sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Abbasiyah sendiri. Sebagian di antaranya sudah mulai sejak awal kebangkitan Islam.
Pada periode Abbasiyah pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam menjadi prioritas utama daripada perluasan wilayah. Dalam bidang pendidikan misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat.[25]
1.       Maktab/Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqih dan bahasa. 
2.       Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung distana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.[26] (Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Harun ar-Rasyid).
Lembaga-lembaga itu kemudian berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman dinasti Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :
1.       Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan efisien. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.[27] Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran ilmu matematika dan astronomi.[28]  
2.       Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansur hingga Harun Al-Rasyd. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang – bidang ilmu yang diterjemahkan makin meluas.[29]
Imam-imam madzhab yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (700 – 767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan Persia lebih tinggi.[30] Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadits. Muridnya dan sekaligus penerusnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun ar-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713 – 795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh Madzhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767 – 820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (780 – 855 M) di samping empat pendiri madzhab besar itu, pada masa pemerintahan Abbasiyah banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapat secara bebas dan mendirikan madzhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan madzhab itu hilang bersama berlalunya zaman. Aliran-aliran theologi sudah ada pada masa Dinasti Umayyah, seperti khawarij, murjiah dan mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung pemerintahan dinasti Umayyah. Namun pemikiran- pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna dirumuskan pada masa Abbasiyah setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.[31]
Tokoh perumus pemikiran mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al- Huzail al-Allaf dan an-Nazzam. Asy’ariyah.Aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang lahir pada masa Dinasti Abbasiyah ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Penulisan Hadits, sastra juga berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi sehingga memudahkan para pemikir dan pengembang ilmu pengetahuan beraktivitas sesuai dengan kapabilitas dan kapasitasnya masing-masing. 
Kemenangan tentara Islam pada masa Al-Mahdi dan Al-Rasyd atas orang Byzantium telah membuat Dinasti Abbasiyah populer, megah dan dikenal dalam sejarah dan fiksi. Akan tetapi kemunculan gerakan intelektual dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran dan budaya, menghantarkan Abbasiyah mencapai puncak keemasan dalam Islam (The golden Age of Islam).[32]
Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut :
1.       Pertama, kontak antara Islam dan Persia yang secara kultural banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani. Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang Arab bergerak menaklukkan daerah bulan sabit subur. Hellenisme akhirnya menjadi unsur yang paling dominan mempengaruhi kehidupan orang Arab. Menurut analisis Mehdi Nakosteen, faktor-faktor penyebab helenisme dan helenistik antara lain : Pertama, Peran umat kristiani ortodoks seperi Nestorian[33], toleransi kaum muslim terhadap mereka dibalas dengan dibiarkannya berkembang tradisi–tradisi keilmuan Islam. Kedua, penaklukan oleh Alexander yang agung (Alexander the great). Ketiga, peran Akademi Jundishapur di Persia warisan kekuasaan Sassaniah. Keempat, karya ilmiah Yahudi yang tidak dapat dilupakan.[34]
2.       Etos keilmuan Khalifah Abbasiyah yang menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Al-Rasyd dan Al-Makmun pada masa kedua khalifah tersebut Abbasiyah yang berpusat di Baghdad mencapai “masa keemasan Islam”.
3.       Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil khalifah ke istana untuk mendidik keluarga istana. Karena keluarga Barmak memiliki etos intelektual yang baik, profesional dan jujur, maka diangkat sebagai penasihat intelektual khalifah secara turun-temurun.
4.       Aktivitas penerjemahan literatur – literatur Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Aramaik (Suriah) karena kebanyakan penerjemah berbahasa Aramaik. Dari penerjemahan ini terjadilah helenisasi pemikiran Islam sekaligus Islamisasi pemikiran helenistik di dunia Islam.
5.       Konsentrasi pemerintah terhadap kemajuan aspek sosial dan intelektual, dengan mengesampingkan ekspansi wilayah. Kuatnya hegemoni Abbasiyah menjadi faktor terkendalinya stabilitas politik negara.
6.       Heterogenitas peradaban dan kebudayaan di Baghdad mengakibatkan terjadi proses asimilasi, saling memberi dan menerima dalam perkembangan intelektual masyarakat pada masa itu.
7.       Situasi sosial Baghdad yang kosmopolit di mana berbagai macam suku, ras dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.
Pengadopsian warisan-warisan intelektual Yunani ke dalam dunia Islam setidaknya menimbulkan dua penilaian. Islamisasi karya-karya Yunani dan pendangkalan nilai-nilai Islam. Pendapat bahwa telah terjadi proses pengislaman ada benarnya karena para pemikir muslim kontemplatif telah melakukan penyesuaian dan penambahan nilai-nilai Islam ke dalam pemikirannya.
Namun, penilaian telah terjadi pendangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam juga ada benarnya ketika sang penilai berada dalam posisi di luar bidangnya.
Berdasarkan pada faktor-faktor di atas, seiring dengan semaraknya penerjemahan buku-buku ataupun manuskrip filsafat Yunani, didirikanlah lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Berawal dari lembaga pendidikan terendah yaitu maktab/Kuttab. Lembaga ini merupakan cikal bakal dari berkembangnya lembaga pendidikan. Tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan yang sudah ada sejak masa nabi. Kemudian, halaqoh   merupakan model pendidikan di mana seorang guru duduk dikelilingi oleh murid-murid umtuk mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru.
Halaqoh yang dilaksanakan di masjid-masjid terbagi menjadi dua jenis. Pertama, halaqoh  yang mengkaji ilmu-ilmu agama secara umum  pada tingkat tinggi. Kedua halaqah  yang secara khusus diperuntukkan bagi kajian fiqih dalam salah satu madzhab. Halaqoh tersebut di laksanakan di masjid Jami’ yang dibangun oleh negara di bawah pengawasan khalifah dan masjid non jami’ (masjid lokal yang eksklusif) yang dibangun untuk kebutuhan sekelompok masyarakat Islam yang tinggal di lingkungan tertentu atau sekelompok penganut madzhab tertentu.[35]   
Baitul Hikmah  merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa Harun al- Rasyid (786-809 M) berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian kemudian al-Makmun (813-833 M) lembaga ini berubah menjadi Baitul Hikmah yang tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi , riset astronomi dan matematika. 
Adapun faktor-faktor berdirinya Baitul Hikah adalah sebagai berikut:
1.          Melimpahkan kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah al-Maknun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2.          Pada saat itu kawasan Irak (Mesopotamia) dan sekitarnya telah mempunyai tradisi keilmuan yang berasal dari warisan masa lampau.
3.          Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan angota masyarakat (dari berbagai lapiasan sosial) terhadap kegiatan keilmuan. 
Adanya institusi pendidikan Islam pada masa Abbasyiah, senantiasa mengalami perkembangan dari masa khalifah satu ke khalifah lainnya. Adanya merupakan bukti dari kebebasan khalifah kepada para civitas akademika untuk mengembangkan keilmuan secara maksimal merupakan peran umat islam dalam sejarah umat manusia aalah revolusioner penting, terutama pada masa Abbasiyah. Ilmu pengetahuan islam mengalami kemajuan yang mengesankan selama periode tersebut. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, melalui gerakan terjemahan yang dipelopori oleh Al-Makmun telah membawa perkembangan ilmu pengetahuan di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, matematika, sejarah an disiplin ilmu lainnya. Dalam bidang keilmuan yang bersumber keagamaan seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, teologi juga memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap kemajuan intelektual Islam.. Akan tetapi, semua itu dilakukan dalam fram work  keagamaan dan  skolatikisme. Kemudian, lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah  mengalami perkembangan dengan adanya madrasah Nizamiyah baik dari segi sistem, kurikulum, materi dan metode pembelajaran.
Kurikulum pada lembaga pendidikan Abbasiyah dikenal istilah ta’liqah yang mengandung rincian materi pelajaran serta membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun untuk menyelesaikannya. Meteri yang terkandung dalam ta’liqah menjadi latar belakang informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan formal, tergantung pada aturan logika dan retorika di mana seseorang mempertahankan satu pandangan dan argumentasinya mengenai permasalahan yang dihadapinya
Metode pembelajaran pada yang berlaku pada masa Abbasiyah yaitu metode pembelajaran yang berpusat pada guru  (teacher centris) di mana guru sebagai pemberi informasi, pembina dan pengarah dalam proses belajar mengajar. Karena guru merupakan faktor penentu seluruh aspek pendidikan, maka tujuan kurikulum, materi dan metode serta pendekatan yang digunakan seluruhnya ditentukan oleh guru. Metode ini didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasionalitas akademis yang menekankan pada segi pemberian pengetahuan semata-mata, dengan mengesampingkan tujuan membina dan mengembangkan potensi siswa 

 


 






[1] Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 27.
[2] Philp K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 358.
[3] Karen Amstrong, Islam, (Jogjakarta: Jendela, 2003), hlm. 63.
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 47.
[5] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 186.
[6] Ibid., hlm. 187.
[7] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 87.
[8] Didin, Saefudin, op.cit., hlm. 29-30.
[9] A. Hasymy op.cit., hlm. 186.
[10] Joesoef  Sou’yb, Sejarah Daulat Abasyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 11.
[11] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Jaya Murni, 1983), hlm. 19. 
[12] Didin Saefudin, op.cit., hlm. 31. 
[13] Ibid., hlm. 32.
[14] Amir Hasan Siddiqi, Studies Islamic History, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 59.
[15] Philip K. Hitti, op.cit., hlm. 395.
[16] Didin Saefudin, op. cit., hlm. 62.
[17] Soenarjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1990), hlm.13.
[18].Mat Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 87.
[19] Philip K. Hitti, op.cit., hlm. 395.
[20] Musrifah Sunanto, op.c it., hlm. 48-49.
[21] Philip K. Hitti, op. cit., hlm. 397.
[22] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 49-50.
[23] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: P Kota Kembang, 1989), hlm. 128.
[24] Ibid., hlm. 131.
[25] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit., hlm. 129.
[26] Ibid., hlm. 129.
[27] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid I (Kairo: Lajnah at-Ta’lif wa an-Nasyr), hlm. 207.
[28] Ibid., hlm. 177-178.
[29] Ibid., hlm. 288 – 290.
[30] Harun Nasution, op.cit., hlm. 67. 
[31] W. Montgometry Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 54-113. 
[32] Philip K. Hitti, op. cit., hlm. 381.
[33] Nestorian adalah Sekte Kristiani Ortodoks yang dikucilkan oleh gereja induk.
[34] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001), hlm. 65.
[35] Charles Michel Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam Sejarah dan Peranannya dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan, Terj. Hasan Asari, (Jakarta:Logos Publishing House, 1998), hlm. 36

0 Response to "BANI ABBASYIAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment