PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
A. Pendidikan Akhlak Anak Usia 0 – 5
Tahun
1. Pengertian
a. Pengertian
Akhlak
Dipandang dari sudut epistemologi, akhlak adalah jama’
dari kata “khuluq” yang artinya sebagai “budi pekerti, perangai atau
tabiat.[1]
Sedangkan secara terminologi para pakar telah mendifinisikan akhlak sebagai
berikut :
Imam Ghazali mendefinisikan khuluq atau akhlak
sebagai berikut :
“Akhlak adalah suatu keterangan kesediaan jiwa yang (relatif)
tetap, yang dari padanya muncul perbuatan-perbuatan yang mudah dan gampang
tanpa disertai pikir dan pertimbangan”.
Menurut Hasan Langgulung akhlak adalah “kebiasaan atau
sikap yang mendalam di dalam jiwa dari mana muncul perbuatan-perbuatan dengan
mudah, yang dalam pembentukannya bergantung pada faktor-faktor keturunan dan
lingkungan”.[3]
Menurut Zakiah Daradjat akhlak adalah “kekuatan dalam
diri yang merupakan alat pengendali diri yang terbaik, ia mengatur tingkah
laku, tutur kata dan sikap, merupakan kekuatan pendorong yang bekerja secara
tetap, terus menerus dan teratur”.[4]
Dari beberapa pendapat tersebut dapat didefinisikan
bahwa akhlak adalah kebiasaan tingkah laku seseorang yang sebagai aktualisasi
cerminan dari nash Al-Qur’an maupun sunnah Rosul SAW.
b. Pengertian
Pendidikan Akhlak
Pendidikan menurut Hasan Langgulung
adalah suatu tindakan (action) yang diambil oleh suatu masyarakat,
kebudayaan, atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival).[5]
Di dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional dijelaskan, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.[6]
Sedangkan menurut R. Soegarda
Poerbakawatja dan H.A.H Harahap pendidikan adalah usaha manusia untuk membawa
si anak yang belum dewasa ketingkat kebiasaan dalam arti sadar dan mampu
memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya secara moril.[7]
Jadi yang dimaksud
pendidikan yaitu bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terwujudnya kepribadian yang utama.
Pendidikan akhlak adalah suatu proses
bimbingan dan pengarahan dalam rangka penanaman dan pengembangan nilai-nilai
budi pekerti, sehingga anak memiliki budi pekerti (akhlaqul karimah).
Pendidikan dan pengembangan akhlaqul karimah ini dipengaruhi faktor
keturunan dan lingkungan.
2. Aspek-aspek
Perkembangan Pendidikan Anak
a. Perkembangan
Fisik
Pada saat anak mencapai tahapan pra
sekolah (3 – 6 tahun) ada ciri yang jelas membedakan antara anak usia bayi dan
anak usia pra sekolah. Perbedaan tersebut dapat pada proporsi tubuh (postur
tubuh, berat, dan gerakan-gerakan yang dimiliki anak). Melalui pengamatan
perkembangan jasmani, pertumbuhan bersifat cephalo candal (mulai dari
kepala menuju tulang ekor) dan proximo distal (dari bagian tengah ke
arah tepi tubuh).[8]
Pertumbuhan fisik, baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi prilaku anak sehari-hari,
secara langsung pertumbuhan fisik seorang anak akan menentukan ketrampilan anak
dalam bergerak, secara tidak langsung pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisik
akan mempengaruhi bagaimana anak itu memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia
memandang orang lain. Syamsu Yusuf LN, menyatakan bahwa: “perkembangan fisik
merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Dengan meningkatnya
pertumbuhan kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan
ketrampilan fisiknya dan eksplorasinya terhadap lingkungannya dengan tanpa
bantuan dari orang tuanya.[9]
Untuk membantu perkembangan fisik
anak sangat dibutuhkan gizi yang cukup, baik protein, vitamin dan mineral.
Kekurangan gizi pada anak akan mengakibatkan cacat tubuh dan kelemahan mental
sehingga proses perkembangannya akan terganggu, yang akibatnya akan
mempengaruhi aspek perkembangan lain pada diri anak.
b. Perkembangan Bahasa
Sesuai dengan fungsinya, bahasa
merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam pergaulan atau
hubungannya dengan orang lain. Menurut Soemiarti Patmonodewo mengatakan bahwa
perkembangan bahasa pada anak, banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak
prasekolah biasanya telah mampu mengembangkan ketrampilan berbahasa melalui
percakapan yang memikat orang lain, mereka menggunakan bahasa dengan berbagai
cara, misalnya melalui bertanya, berdialog dan bernyanyi.[10]
Perkembangan bahasa yang dimiliki
anak prasekolah banyak dipengaruhi lingkungannya, sehingga untuk membantu
perkembangan bahasa atau kemampuan berkomunikasi, maka pendidik harus memberi
fasilitas dan kemudahan bagi anak. Menurut Sunarto dan Agung Hartono mengatakan
bahwa perkembangan bahasa ini terkait dengan perkembangan intelektual anak,
yang berarti anak yang rendah kemampuan berfikirnya akan mengalami kesulitan
untuk mengungkapkan keinginan melalui komunikasi atau bahasa.[11]
c. Perkembangan
Intelektual atau Kognitif
Intelektual atau kognitif
seringkali diartikan sebagai kecerdasan atau berfikir. Perkembangan kognitif
menunjukkan perkembangan dari cara anak berfikir. Ada beberapa ciri dan
karakteristik yang menandai masa ini di antaranya :
1) Egosentrisme yaitu
anak cenderung menafsirkan sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri. Salah
satu implikasinya, anak tidak dapat memahami persepsi konseptual orang lain.
2) Kaku
dalam berfikir, berfikir yang bersifat centration (memusat) yaitu kecenderungan
berfikir atas dasar satu dimensi baik mengenai obyek maupun peristiwa dan tidak
menolak dimensi-dimensi lainnya.
3) Semilogical
rentoning, anak-anak mencoba untuk menjelaskan peritiwa-peristiwa alam yang
misterius yang dialaminya sehari-hari, salah satu pemecahannya dalam
menjelaskan itu dianalogikan dengan tingkah laku manusia.[12]
Melalui peningkatan
perkembangan intelegensi anak, mereka akan memiliki kemampuan untuk berfikir
belajar dan mendapatkan pengalaman. Oleh sebab itu pendidik harus berusaha
membantu anak agar kualitas intelegensinya senantiasa berkembang. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan demi peningkatan kualitas intelegensi anak, di
antaranya :
1) Setiap
pertanyaan yang diajukan anak harus diberi jawaban mudah tidak berbohong dan
tidak berbelit.
2) Jauhkan
anak-anak dar cerita-cerita fiksi yang manfaatnya tidak jelas.
3) Latihlah
anak berfikir logis dan melibatkan mereka dalam permasalahan-permasalahan
sederhana melalui dialog.
4) Hindarkan
anak-anak dari keterlibatan mereka dalam percekcokan orang dewasa, karena itu
akan berpengaruh dan berbahaya bagi pribadi anak-anak.
5) Cermatilah
perbedaan individual anak-anak dalam hal prestasi belajar, kecerdasan respon
atau hapalan-hapalan.
6) Jagalah
anak-anak jangan sampai terkena penyakit karena hal itu menyebabkan
keterbelakangan atau gangguan intelegensi.
7) Tangani
berbagai kelemahan indra penglihatan pandangan, penciuman, perasa dan lisan
sejak dini.[13]
d. Perkembangan
Sosial
Pada saat berusia 3 tahun,
anak mulai belajar mengenal lingkungan di luar keluarga dimulai melakukan
hubungan sosial dengan orang lain, mereka belajar menyesuaikan diri dan
bersikap sesuai dengan kelompoknya. Anak mulai mengetahui aturan-aturan baik
lingkungan keluarga maupun di lingkungan tempat bermain. Mereka mulai aktif
bermain dengan anak-anak lain atau teman sebayanya.
Untuk membantu perkembangan sosial,
anak dapat dimasukkan ke Taman Kanak-kanak (TK). TK merupakan tempat yang
memberikan peluang bagi anak sebagai ajang bergaul yang akan memperluas
pergaulan sosialnya. TK dipandang mempunyai kontribusi yang baik bagi
perkembangan sosial anak, karena alasan-alasan berikut :
1)
Suasana TK sebagian besar seperti
suasana keluarga.
2)
Tata tertibnya masih longgar,
tidak terlalu mengikat keterbatasan anak.
3)
Anak berkesempatan untuk aktif
bergerak, bermain, dan riang gembira yang kesemuanya mempunyai nilai padagogis.
4)
Anak dapat mengenal dan bergaul
dengan teman sebaya yang beragam, baik etnis, agama dan budaya. [14]
Dengan bergaul dan bermain
bersama-sama, pergi dan pulang bersama-sama, bercakap-cakap dan bernyanyi
bersama-sama yang terdapat di TK tersebut, maka perasaan sosial anak itu telah
mulai dilatih sejak dini, sehingga perkembangan sosial anak akan meningkat
dengan baik.
e. Perkembangan
Emosi
Perkembangan emosi berhubungan dengan
seluruh aspek perkembangan anak, setiap anak mempunyai perasaan rasa senang,
marah, jengkel, dalam menghadapai lingkungannya sehari-hari. Pada masa ini anak
berada pada masa ketidak seimbangan, dalam arti bahwa anak-anak mudah terbawa
ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Perilaku yang
muncul sehubungan dengan masa ini adalah perilaku melawan otoritas orang tua,
agresif, kasar, merusak, memikirkan diri sendiri. Ciri-ciri emosional pada anak
usia prasekolah dan TK yaitu : 1) anak TK cenderung mengekspresikan emosinya
dengan bebas dan terbuka ; 2) irihati pada anak prasekolah sering terjadi,
mereka sering memperebutkan perhatian guru.[15]
Beberapa jenis emosi yang berkembang pada usia ini, seperti rasa takut, marah,
rasa cemas, kegembiraan, kesenangan, cemburu, dan lain sebagainya.
f. Perkembangan
Moral
Pada masa ini, anak telah
memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya orang (tua,
teman sebayanya dan saudaranya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang
lain yang ada di sekitarnya, anak belajar memahami kegiatan atau perilaku mana
yang baik, boleh, disetujui atau buruk, tidak boleh, dan yang tidak disetujui.
Menurut Elisabeth B. Hurlock yang mengatakan :
“Perkembangan
moral mempunyai aspek kecerdasan dan anak impulsif. Anak harus belajar apa saja
yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka cukup besar,
mereka harus diberi penjelasan mengapa ini benar dan itu salah, mereka juga
harus mempunyai kesempatan untuk mengambil bagian dalam kegiatan kelompok.
Lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan untuk melakukan hal
yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang salah”.[16]
Berdasarkan pemahamannya
tersebut, maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai
bagaimana dia harus bertingkah laku, berbuat dan bergaul. Pada saat mengenalkan
konsep-konsep baik buruk, benar salah, hendaknya pendidik memberi alasan dan
jawaban yang baik dan sederhana. Apabila penanaman kedisiplinan tidak diiringi
dengan penjelasan tentang alasannya atau bersifat doktriner, biasanya akan
lahir disiplin buta dan anak tidak tahu maksudnya, yang berakibat anak
bertindak karena takut bukan karena kesadaran sendiri.
g. Perkembangan
Keagamaan Anak Prasekolah
Pada dasarnya anak yang
baru lahir ke dunia belum beragama, namun dia telah dibekali suatu potensi atau
fitrah untuk berkembang menjadi manusia yang beragama. Dalam Islam
mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada pada diri setiap insan, dan hal
tersebut merupakan fitrah (bawaan) yang diberikan Allah kepada manusia sejak
asal kejadiannya, seperti dalam firman Allah SWT yaitu :
فاقم
وجهك للدّ ين حنفا فطرة الله التى فطر النّاس عليها لا تبد يل لخلق الله ذ لك الدّ
ين القيّم ولكنّ اكثرالنّاس لا يعلمون (الروم : 30)
“Maka hadapkan
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) (tataplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidaklah ada perubahan pada fitrah
Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[17]
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa
agama telah berkembang pada diri anak sejak manusia itu diciptakan oleh Allah,
selanjutnya pendidikan agama yang akan membawa anak menjadi orang yang taat
beragama atau tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki kesadaran agama.
Untuk memahami dan mengetahui
keagamaan pada anak prasekolah atau TK, tentunya tidak dapat terlepas dari
sifat-sifat dan ciri-ciri dari keagamaan yang dimiliki oleh anak. Kesadaran
beragama yang dimiliki anak usia ini, ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut
:
1)
Sikap keagamaannya bersifat reseptif
(menerima) meskipun banyak bertanya.
2)
Pandangan ketuhanannya bersifat anthropolmoph
(dipersonifikasikan)
3)
Penghayatan secara rohaniah masih superfical
(belum mendalam)
4)
Hal ketuhanan dipahamkan secara ideasyncritic
(menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang masih
bersifat egosentrik (memandang suatu dari sudut dirinya).[18]
Selaras dengan perkembangan
kepribadian, maka keagamaan seseorang juga menunjukkan adanya kelangsungan
(kontinuitas) dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan keagamaan
seseorang itu berlanjut, namun sikap fase perkembangan menunjukkan adanya
sifat-sifat tertentu yang membedakan dari setiap fase tersebut. Sejalan dengan
ciri-ciri keagamaan di atas, maka dapat diketahui beberapa sifat keagamaan yang
melekat pada diri anak, di antaranya :
1) Unreflektive (tidak mendalam)
Kebenaran
tentang agama yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup
sekedarnya saja dari mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang
kadang-kadang kurang masuk akal.
2) Egosentris
Tidak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun
pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan bertambahnya
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri sendiri mulai subur pada diri anak,
maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal itu maka
dalam masalah keagamaan anak telah menonjol kan kepentingan dirinya.
3) Anthromorpis
Kepercayaan anak-anak tumbuh dan berkembang melalui
latihan-latihan dan pendidikan yang ia terima dalam lingkungan. Biasanya
kepercayaan yang dimiliki anak berdasarkan konsep-konsep nyata, misalnya cara
pandang tentang Tuhan, surga, neraka, malaikat, jin dan sebagainya adalah dalam
bentuk dan gambaran yang pernah dilihat dan didengarnya dari tempat tingalnya
(lingkungannya).
4) Verbalis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama
pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan), mereka
menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari
alamiah yang mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan
baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif.
5) Imitatif
Pada dasarnya tindak keagamaan yang dilakukan anak-anak
diperoleh dari meniru. Berdo’a dan sholat misalnya mereka melaksanakan karena
hasil melihat perbuatan di lingkungan baik berupa pembiasaan maupun pengajaran
yang intensif.
6) Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan salah satu sifat
keagamaan yang melekat pada diri anak. Berbeda dengan orang dewas, maka rasa
kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Meraka hanya kagum pada
lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan
anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience).
Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa
takjub.[19]
3. Dasar dan Tujuan
Pendidikan Akhlak
a. Dasar
Pendidikan Akhlak
Sumber pedoman hidup dalam
Islam yang menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan adalah
Al-Qur'an dan Al-Hadits. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber
ajaran agama Islam secara keseluruhan sebagai pola untuk mendapatkan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Al-Qur'an menyebutkan dasar akhlak
dalam beberapa surat:
1) Dalam surat
AL-Baqarah : 148, Allah SWT berfirman :
ولكلّ
وجهة هو مولّيهافا استبقوالخيرات . (البقراة : 148)
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah kamu dalam (membuat) kebaikan”. [20]
2) Dalam
surat Al-Qalam : 4, Allah SWT berfirman :
وانّك
لعلى خلق عظيم (القلم : 4)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur”.[21]
3) Hadits
Nabi SAW, menyebutkan tentang akhlak
عن
مالك بن الناس ان رسول الله صلىالله عليه وسلّم قا ل : بعثت لا تمّم حسن ا لا خلا
ق .
“Dari Malik bin Annas
bahwasanya Rosulullah SAW bersabda : sesunggunya aku diutus untuk
menyempurnakan keutamaan akhlak”.[22]
Al-Qur'an dan Hadits sebagai syari’at telah
memberikan dasar yang mendasari ajaran akhlak. Dari sumber tersebut jelas bahwa
akhlak bertujuan mendidik pribadi manusia supaya menjadi sumber kebaikan dalam
kehidupan masyarakatnya dan tidak menjadi pintu keburukan meskipun terhadap
seseorang, ia juga bertujuan menegakkan keadilan dan menciptakan masalah bagi
semua pihak.
Menurut M. Ali Hasan, tujuan pendidikan akhlak adalah
agar setiap orang berbudi pekerti (berakhlak), tingkah laku (tabiat),
berperangai atau beradat istiadat yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam.[23]
Kemudian menurut Barnawie Umarie, tujuan pendidikan
akhlak adalah agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis antara sesama
manusia dengan sesama makhluk.[24]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan
akhlak di lingkungan keluarga adalah terciptanya kesempurnaan akhlak dari
masing-masing anggota keluarga, baik akhlak kepada Allah SWT, Rosulullah, sesama
manusia, diri sendiri, maupun terhadap makhluk lainnya.
b. Tujuan
Pendidikan Akhlak
Tujuan diajarkannya akhlak
adalah :
1) Terwujudnya taqwa
terhadap Allah.
2) Kemuliaan
jiwa
3) Cinta
terhadap kebenaran dan keadilan secara teguh dalam tiap pribadi muslim.[25]
Dilihat dari segi tujuan bahwa akhir setiap ibadah
adalah pembinaan taqwa, maka taqwa dapat ditelaah lebih lanjut, bertaqwa
mengandung arti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat dan melakukan
perbuatan-perbuatan baik. Perintah Allah ditujukan kepada perbuatan-perbuatan
baik dan larangan-larangan-Nya ditujuakan pada perbuatan-perbuatan jahat.
Dengan lain perkataan bahwa orang yang bertaqwa ialah orang yang baik dan
berbudi pekerti yang luhur.
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, kita diingatkan kepada
hal-hal yang bersih dan suci. Ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas dan
tunduk untuk mengantarkan rasa kesucian kita menjadi tajam dna kuat, sedangkan
jiwa yang suci membawa kita pada budi pekerti yang baik dan luhur.
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, kita diingatkan
pada hal-hal yang bersih dan suci. Ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas dan
tunduk untuk mengantarkan rasa kesucian kita menjadi tajam dan kuat sedangkan
jiwa yang suci membawa kepada budi pekerti yang baik dan luhur. Oleh karena itu
ibadah di samping latihan spiritual juga merupakan latihan sikap dan akhlak.
Shalat memang erat kaitannya dengan latihan akhlak,
seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Annkabut : 45, yang berbunyi
:
انّ
الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر (العنكبوت : 45).
“Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. (QS. Al-Ankabut : 45).[26]
Dengan kata lain bahwa shalat yang tidak mencegah
seseorang dari perbuatan jahat bukanlah sebenarnya shlat. Jadi salah satu
tujuan shalat yaitu menjauhkan dari kita perbuatan jahat dan mendorong untuk
berbuat hal-hal yang baik.
4. Aspek-aspek
Pendidikan Akhlak
Manusia merupakan makhluk Allah yang
memiliki bentuk sebaik-baiknya, baik secara jasmaniah maupun secara rohaniah,
ia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial dan religius. Oleh karena itu
ia mempunyai kewajiban-kewajiban baik terhadap Tuhan, sesama dan terhadap diri
sendiri. Sehubungan dengan kenyataan ini Rosulullah SAW bersabda :
اتّق الله حيثما كنت واتبع السّيئة الحسنة تمحها وخا
لق النّاس بخلق حسن (رواه الترمذى)
“Takutlah engkau
kepada Allah dimana saja engkau berada, dan susul (tutup)lah sesuatu kejahatan
itu dengan kebaikan, pasti akan menghapusnya bergaullah sesama manusia dengan
budi pekerti yang baik” (HR. At-Tarmidzi).[27]
Sebagai makhluk Tuhan yang paling
mulia, sempurna dan ditugaskan sebagai pengatur alam seisinya, mempunyai
tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang baik terhadap Tuhannya, terhadap
manusia dan masyarakat serta terhadap alam sekitarnya.[28]
Berdasarkan uraian di atas maka
materi pendidikan akhlak anak yang akan menjadi materi pokok pembahasan penulis
ketengahkan dalam suatu ruang lingkup yang sangat saderhana, sebagai berikut :
a.
Akhlak terhadap Tuhan (Allah) dengan
pembahasan shalat dan puasa.
b.
Akhlak terhadap sesama dengan
pembahasan tolong menolong sesama manusia dan bersifat jujur.
c.
Akhlak terhadap alam dengan
pembahasan kasih sayang terhadap binatang.
Berikut ini akan diuraikan tentang
aspek-aspek pendidikan akhlak :
a.
Akhlak terhadap Tuhan
Konsekuensi logis dari keyakinan terhadap Allah bagi
manusia adalah kewajiban mematuhi undang-undang yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, setiap orang yang telah mengikrarkan dirinya beriman kepada
Allah, ada beberapa ibadah yang harus dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan
hubungan dengan Tuhan, yaitu shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam
hal ini akan dijelaskan dua hal saja yaitu shalat lima waktu dan puasa
Ramadlan.
1)
Shalat lima waktu
Asal makna shalat menurut bahasa Arab berarti d’,
sedangkan yang dimaksud di sini yaitu suatu sistem ibadah yang tersusun dari
beberapa perkataan dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Berdasarkan
syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu.[29]
Shalat merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang
telah mencapai usia baligh.
Ada lima macam shalat fardlu yang harus dikerjakan
oleh setiap muslim sehari semalam yaitu, shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya’,
dan subuh.
Kewajiban shalat telah jelas diperintahkan oleh Allah
dalam Al-Qur'an, akan tetapi masih bersifat umum, sedangkan operasionalnya
dijelaskan dalam sunnah fi’liyah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman :
فاقيموالصلوة انّ الصّلوة كا نت على
المؤمنين كتابا موقو تا
(النسأ : 103)
“Maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa) sesungguhnya shalat itu adalah fardlu
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa’ : 103).[30]
Selain shalat fardlu atau wajib ada lagi shalat
sunnah. Jika shalat fardlu harus dilaksanakan oleh orang Islam, sedangkan
shalat sunnah adalah jika orang Islam mengerjakan akan mendapoat pahala, tapi
jika tidak dilaksanakan tidak mendapat dosa.
Ada bermacam-macam sholat sunnah seperti sholat
rawatib (qabliyah dan ba’diyah), sholat witir, tahajud, tarawih (bulan
ramadlan) dan lain sebagainya.
Kedudukan shalat dalam Islam sangat penting karena
shalat merupakan tiang agama. Maka dapak positif dari shalat yang apabila
didirikan dengan penuh ikesadaran dan keikhlasan antara lain :
a)
Alat pendidikan, rohani manusia
yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa serta memupuk pertumbuhan dan
kesadaran.
b)
Dari segi disiplin, sholat
merupakan pendidikan positif menjadikan manusia dan masyarakatnya teratur.
c)
Shalat penting untuk kesehatan (hygiene)
2)
Puasa Ramadhan
Ibadah puasa termasuk salah satu syar’at Allah untuk
manusia, agar dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Puasa dalam bahasa Arab
disebut “saumun” atau “siyaaman”, artinya menahan diri dari segala sesuatu
seperti makan, minum, menahan bicara yang jelek dan seterusnya. Menurut istilah
puasa ditujukan kepada menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama
(jima’/coitus) suami istri mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari,
dengan niat melaksanakan perintah Tuhan serta mengharap ridla-Nya.[32]
Sebagaimana difirmankan Allah tentang diwajibkannya
berpuasa dalam surat Al-Baqarah : 183 sebagai berikut :
يا ايها الّذين امنوا كتب
عليكم الصيام كما كتب على الّذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقراة : 183 )
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 183).[33]
Sama seperti ibadah shalat, puasa ada juga yang wajib
dan sunnah, puasa yang dimaksud pada ayat di atas adalah puasa wajib, yaitu
puasa Ramadlan.
Sedangkan puasa sunnah ialah puasa yang dilakukan di
luar pada bulan Ramadlan. Banyak sekali macam puasa sunnah, antara lain yang
serig dilakukan oleh banyak orang yaitu puasa hari senin dan kamis, puasa
Dzulhijjah dan lain sebagainya.
b.
Akhlak terhadap sesama
Di samping makhluk individu, manusia juga sebagai
makhluk sosial artinya makhluk yang senantiasa membutuhkan peran serta orang
lain dalam melangsungkan kehidupannya secara harmonis. Dalam interaksi sosial
ini harus dilandasi dengan akhlak yang mulia, dengan demikian diharapkan
ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan yang bakal tercipta di tengah-tengah
situasi pergaulan. Karena hidup bahagia adalah hidup sejahtera yang diridloi
Allah SWT, serta disenangi sesama makhluk.[34]
Berikut ini akan penulis ketengahkan tentang beberapa
akhlak anak kepada sesama, antara lain :
1) Tolong
menolong
tolong menolong adalah ciri kehalusan
budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak dan membuahkan cinta antara teman, penuh
solidaritas dan penguat persahabatan dan persaudaraan.[35]
Orang yang senang memberikan
pertolongan, segala langkahnya akan mudah, pintu kebahagiaan akan terbuka baginya
dan biasanya orang lain pun akan senang memberikan pertolongan.
Apabila orang yang berbuat baik dan
dalam taqwa kepada Allah, harus kita bantu dan kita dukung. Dukungan itu
merupakan sugesti dan dorongan semangat yang searah dan tidak langsung dari
segi pendidikan termasuk pengembangan daya kreasi dan kemampuannya untuk
mempersembahkan baktinya kepada Allah yang berguna untuk masyarakat dan
dirinya.
Memberikan pertolongan janganlah
karena suatu pengharapan, tetapi berikanlah dengan ikhlas sebagai tugas kemanusiaan
guna mencari ridlo Allah. Firman Allah SWT :
وتعاونوا على البرّ
والتّقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان (المائداة : 2).
“Dan
bertolong-tolonglah kalian dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan” (QS. Al-Maidah :
2).[36]
Kewajiban tolong menolong bukan hanya
dari segi moril, melainkan juga dalam segi materi, yang bersifat kebutuhan
pokok manusia yang bersifat dururi untuk menjaga kelestarian hidup
manusia.
2) Jujur
Jujur artinya dalam hati, tentunya hal itu harus
sesuai dengan apa yang telah Allah SWT tetapkan.
Kejujuran adalah pilar utama keimanan. Kejujuran
adalah kesempurnaan, kemuliaan, saudara keadilan, roh pembicaraan, lisan
kebenaran, sebaik-baiknya ucapan, hiasan perkataan, sebenar-benarnya segala
sesuatu.[37]
Dengan jujur orang akan memperoleh popularitas, sealu
dipercaya, selalu dijadikan teladan bagi orang lain, banyak teman dan sahabat,
perintahnya selalu dituruti orang dan segala perkataannya senantiasa diturut
orang.
Dengan jujur pula orang akan menempuh kehidupan dengan
selamat, sahabat yang baik adalah kejujuran sebab ia berdaya membawa kita
kepada kebahagiaan.
Karena itu wajiblah agar memiliki sifat jujur dan
berusaha untuk menjauhi sifat dusta, sebab jujur adalah suatu jalan menuju
syurga, sedangkan dusta adalah suatu yang menjerumuskan diri ke dalam neraka,
apa yang anda katakan sesuai dengan apa yang ada.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
واوفوا بعهدالله اذاعاهدتم ولاتنقضوا
الايمان بعد توكيدها (النحل : 91)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah, apabila kamu berjanji
dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah mengumpulkannya,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah
itu)” (QS. An-Nahl : 91).[38]
c.
Akhlak Terhadap Alam
Yang dimaksud akhlak kepada alam
adalah berbuat baik terhadap apa yang ada di luar diri. Bagi seseorang yang
disebut lingkungan ialah apa yang mengelilinginya seperti rumah, pekarangan,
pohon, hewan, gunung, laut dan sebaginya.[39]
Manusia sebagai khalifah, pengganti
dan pengelola alam diturunkan ke bumi ini agar membawa rahmat dan cinta kasih
kepada alam seisinya, termasuk lingkungan dan manusia secara keseluruhan. Dalam
hal ini Allah berfirman :
ولا تبغ الفساد فى الارض انّ الله لا
يحبّ المفسد ين (القصص : 77).
“…..Dan janganlah kamu berbuat kerusukan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orng yang berbuat kerusakan” (QS.
Al-Qashas : 77)
Larangan mutlak merusak ini
harus dijalankan oleh manusia, sebab kalau tidak maka akan muncul malapetaka
yang akan menimpa dirinya.
Dalam pembahasan ini penulis hanya
menguraikan satu masalah yaitu tentang kasih sayang kepada hewan. Kasih sayang
adalah perasaan halus dan belas kasihan di dalam hati yang membawa kepada
perbuatan yang utama, memberi maaf dan berbuat baik.[40]
Dalam hal ini penulis mengambil sample
berupa makhluk hewan karena kalau kita kaji ajaran ikhsan dalam Islam, maka
moralitas yang dikehendakinya bukan hanya terbatas pada bangsa manusia saja
melainkan hewan-hewan yang disekeliling kita. Perbuatan ini dipandang sebagai
kelakuan yang baik dan berpahala. Kecuali terhadap binatang yang merusak
seperti tikus, kalajengking, anjing gila , dan lain-lain. Yang dibenarkan
syara’ untuk dibunuh, maka binatang-binatang selain itu tiaklah patut
diperlakukan sewenang-wenang misalnya dengan menyiksa.[41]
5. Metode
Pendidikan Akhlak
Metode pendidikan akhlak adalah suatu
cara untuk menyampaikan bimbingan dalam rangka membentuk akhlakul karimah.
Berkaitan dengan metode pendidikan
kahlak, Islam mencakup metode secara luas. Namun metoed yang tepat guna
mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik sesuai dengan materi yang
secara fungsional bisa dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang
terkandung dalam tujuan anak dalam Islam.
Diantara metode-metode dalam
pendidikan akhlak adalah :
a. Metode
keteladanan
Pada diri anak terdapat
potensi imitasi dan identifikasi terhadap seorang tokoh yang dikaguminya,
sehingga kepada mereka seorang pendidik atau orang tua harus mampu memberikan
suritauladan yang baik. Keteladanan ini sangat efektif digunakan, yaitu contoh
yang jelas untuk ditiru.
Ayat Al-Qur'an menegaskan pentingnya
contoh yang baik dalam membentuk kepribadian anak dalam surat Al-Ahzab : 67.
وقالوا
ربّنا انّا اطعمنا سا دا تنا وكبرنا فأ ضلّوا نا السّبيلا (الاحزاب : 67)
“Dan mereka berkata
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”
(QS. Al-Ahzab : 67).[42]
b. Metode Kisah/
Cerita
Dalam upaya membentuk watak
dan prilaku anak, slah satu cara yang digunakan adalah dengan melalui
cerita-cerita atau kisah-kisah yang mendidik merupakan kisah yang memuat unsur
keteladanan prilaku yang baik.
Pentingnya metode kisah/ cerita ini
sebagaimana diungkapkan oleh M. Quraisy Shihab, sebagaimana berikut :
“Salah satu
metode yang digunakan Al-Qur’an untuk mengarahkan manusia ke arah yang
dikehendaki adalah dengan menggunakan “kisah”. Setiap kisah menunjang materi
yang disajikan baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah-kisah
simbolik.[43]
Mengenai metode kisah atau cerita ini
disebutkan dalam Al-Qur'an :
لقد كان فى قصصهم عبرة لأولىالالباب
(يوسف : 111).
“Sesungguhnya pada
kisah-kisah itu terdapat pengajaran bagi aorang-orang yang mempunyai akal” (QS.
Yusuf : 111). [44]
c. Metode
Pembiasaan atau Latihan
Pembiasaan atau latihan
sangat doiperlukan dalam mewujudkan akhlak yang berbudi pada anak. Hal ini
lazim digunakan untuk menegakkan sikap disiplin terhadap perilakunya.
Pentingnya pembiasaan dan latihan ini
sebagaimana pendapat Zakiah Daradjat karena :
“Pembiasaan
dan latihan tersebut akan membentuk sikap tentunya pada anak yang lambat laun
sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi,
karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya”.[45]
Pembiasaan ini juga digunakan untuk
latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti shalat, do’a, membaca
dan lain sebagainya sehingga lama kelamaan tumbuh rasa senang melakukan ibadah
tersebut.
d. Metode
Pengawasan
Pengawasan sangat dominan
dalam pembentukan akhlak bagi anak, karena hilangnya pengawasan membawa ketidak
berhasilan dalam pembinaannya.
Metode ini dalam pendidikan
akhlak dapat berwujud kata-kata verbal seperti pesan, nasehat, anjuran,
lamaran, pemberian, peringatan, ancaman dan lain-lain. Namun bisa juga dengan
perbuatan seperti teladan, pembiasaan tindakan dan latihan.
Dengan demikian dalam usaha mendidik
prilaku anak, seorang pendidik harus mampu memilih serta menggunakan metode
sebagai penanaman nilai tersebut.
Penggunaan metode dalam penanaman
moral ini, dalam Islam dapat dilakukan dengan cara hikmah. Firman Allah SAW.
ادع
الى سبيل ربّك باالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم باالّتى هي احسن
(النحل : 125)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bentulkan mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl :
125).[46]
B. Peran Ibu dalam Proses Pembentukan Akhlak Anak
1. Motif dan
Tujuan Ibu Bekerja di Pabrik
Fenomena munculnya buruh pabrik yang
berasal dari pedesaan belum lama berlangsung. Hal itu sejalan dengan akselerasi
pembangunan nasional semenjak Orde Baru. Disatu pihak pembengunan itu ingin
mengejar ketertingglan ekonomi secara makro, dan dilain pihak untuk
mengantisipasi meningkatnya jumlah pengangguran akibat ledakan penduduk yang
cukup besar yang tidak diimbangi dengan peningkatan lapangan pekerjaan.
Gejala munculnya sejumlah besar pekerja
pabrik di kota sekaligus dapat menjelaskan bahwa wanita tidak selalu memasuki
sektor tradisional perkotaan. Selama ini asumsi tersebut diyakini kebenarannya
berdasarkan pandangan bahwa tenaga kerja wanita umumnya berpendidikan rendah.
Kenyataannya, mereka juga cukup banyak yang memasuki sektor modern, seperti
pabrik, meskipun harus ditambahkan bahwa sebagian besar pekerja hanya menjadi
tenaga kasar dengan upah rendah.[47]
Dari kenyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa motif ibu bekerja di pabrik adalah timbulnya tingkah laku
terhadap kebutuhan yang menuntut dipenuhinya pemuasannya atau tujuannya.
Tujuan bekerja di pabrik bagi para
ibu tidak hanya berwujud kebutuhan ekonomis saja (dalam bentuk uang), tetapi
bisa juga dalam bentuk keutuhan psikis atau untuk aktif berbuat. Sebabnya
antara lain adalah banyak para ibu yang dengan suka hati bekerja terus menerus,
sekalipun ia tidak memerlukan benda material dan uang sedikitpun, walaupun
keluarganya sudah tercukupi, namun dengan senag dan ihklas hati meneruskan pekerjaannya.
Hal ini sesuai dengan dasar motivasi
sebagai berikut : Individu mengalami suatu ketegangan sebab memiliki suatu
kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan itu ia memikirkan laternatif-alternatif
pemecahannya, sesudah terpilih salah satu ia bertindak bila tujuannya tercapai
berarti kebutuhannya terpenuhi maka ketegangan hilang.[48]
Bekerja di panrik sesuai dengan dasar
motivasi di atas terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dalam
kehidupannya. Menurut AH. Maslow, manusia mempunyai kebutuhan yang berjenjang,
meliputi :
a.
Kebutuhan yang berhubungan dengan
fisik (psicological need)
b.
Kebutuhan akan rasa aman (safety
need)
c.
Kebutuhan akan rasa sayang (love
need)
d.
Penghargaan akan harga diri (self need)
Sebab ganjaran yang paling manis dari
bekerja ialah nilai sosial dalam bentuk pengakuan, penghargaan, respek, dan
kekaguman kawan-kawan terhadap pribadinya.
Memang untuk beberapa orang
berpendapat bekerja di pabrik memang dorongan pemuas diri atau ego melalui
kekuasaan dan aktivitas menguasai orang lain. Namun hampir bagi semua orang,
bekerja di pabrik itu menyajikan persahabatan dan kehidupan sosial. pekerjaan
merupakan sumber utama bagi pencapaian status sosial seseorang. Dalam hal ini
pabrik merupakan sentrum sosial yang bisa memberikan sosial dan prestise sosial
bagi pria maupun wanita dalam kebudayaan modern sekarang. Sebab perusahaan tadi
memberikan ganjaran materiil (barang-barang konsumtif dan uang) dan ganjaran
sosial yang non materiil yaitu prestise dan status sosial.[50]
Dalam pandangan Islam yang menjadi
tujuan dalam bekerja adalah manusia yang dapat menimbulkan amal shaleh.
Al-Qur'an selalu menyebutkan iman diiringi dengan amal shaleh. Firman Allah :
وعدالله الّذ ين امنوا وعملوالصّلحت لهم
مغفرة واجر عظيم . (المائدة : 9).
“Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, (bahwa) untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Maidah : 9).[51]
2. Tanggung
Jawab Ibu terhadap Pendidikan Akhlak Anak
Keluarga adalah wadah pertama dan
uatama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga baik
dan menyenangkan, maka akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan
terlambat pertumbuhan anak tersebut. Peranan ibu dalam keluarga amat penting.
Dialah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota
keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.
Untuk mencapai kebahagiaan dan
ketentraman dalam keluarga memang diperlukan istri yang shaleh yang dapat
menjaga diri dari kemungkinan salah dankena fitnah dan mampu tentramkan suami
apabila gelisah, serta dapat mengatur keadaan rumah, anggota keluarga untuk
berada di rumah. Istri yang bijaksana mampu mengatur situasi dan keadaan,
hubungan yang saling melegakan dalam keluarga.[52]
Selanjutnya kita ikuti bagaimana
proses tanggung jawab ibu dalam pendidikan akhlak anak, agar anak tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang beriman atau mempunyai aqidah yang benar,
beribadah dan berakhlak terpuji.
Para pendidik dan orang tua, khususnya
ibu mempunyai peranan yang besar dalam menumbuhkan anak di atas dasar aqidah
dan keimanan. Dan ibu mempunyai tanggung jawab dalam menanamkan sendi-sendi
Islam kepada anak. Dengan demikian haruslah kita mengetahui batas-batas
tanggung jawab tersebut dan sejauh mana kewajiban itu agar setiap yang
berwenang mengetahui hak hak bimbingan dan pendidikan yang penting dan berada
di atas pundaknya untuk menumbuhkan anak atas dasar pendidikan keimanan yang
sempurna.
Batas-batas tangung jawab ini secara
runtut adalah sebagai berikut :
a. Hendaknya
para pendidik dan orang tua, khususnya memberikan petunjuk kepada anak-anak
tentang keimanan kepada Allah, kekuasaan-Nya yang mengagumkan, dan penciptaan
langit dan bumi.[53]
b. Menanamkan
perasaan khusu’, taqwa, dan ubudiyah penguasa segala alam dengan jalan
membukakan mata mereka untuk bisa melihat kekuasaan Allah dan mu’jizat serta
kerajaan-Nya yang amat besar dalam segala benda mati, benda hidup,
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan.[54]
Dalam
hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur'an :
قد افلح المؤمنون الّذ ين هم فى صلا تهم
خا شعون (المؤمنون : 1-2)
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu orang-orang yang khusu’ dalam
shalatnya (QS. Al-Mu’minun : 1-2).[55]
Dalam
ayat tersebut dijelaskan, bahwa salah satu sarana untuk menanamkan perasaan
khusu’ yaitu benar-benar ingat akan kekuasaan Allah, taqwa kita khususnya lagi
ketaqwaan anak-anak bertambah.
c. Menanamkan
dan mendidik jiwa menyadari akan muraqabatullah (pengawasan Allah)
terhadap setiap tingkah laku dan keadaan anak bisa dicapai bila anak dilatih
dan diyakinkan bahwa Allah selalu mengawasi dan melihatnya, selalu mengetahui
rahasia dan bukan rahasianya, serta Allah akan senantiasa mengetahui apa yang
disembunyikan di mata dan di hatinya.[56]
Adapaun cara anak untuk
melatih agar sadar akan pengawasan Allah dalam setiap perbuatannya, hendaknya
ia diajari ikhlas kepada Allah, dalam segala perbuatan, perkataan, dan tingkah
lakunya agar setiap tingkah tujuannya tercapai, maka hendaknya segala perbuatan
didahului niat terlebih dahulu. Maka pada saat itulah sifat yang tulus ikhlas
kepada Allah, sehingga ia pun menjadi orang seperti yang disebutkan dalam
Al-Qur'an berikut ini :
وما امرو الاّ ليعبد
الله مخلصين له الد ّين خنفاء ويقيموالصّلوة ويؤتوالزّكوة وذ لك د ين القيّمة
.(البينة : 6)
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan yang demikain itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah :
6).[57]
Pembicaraan ketaatan beribadah pada
anak, juga dimulai dari dalam keluarga, anak yang masih kecil kegiatan ibadah
yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian
tentang ajaran agama belum dapat dipahaminya, karena itu ajaran agama yang
abstrak tidak menarik perhatiannya, anak-anak suka melakukan shalat, meniru
orang tuanya kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya itu. Pengalaman
beragama yang menarik bagi anak di antaranya shalat berjamaah, lebih-lebih lagi
bila ia ikut shalat di dalam shaf bersama orang dewasa. Di samping itu anak
senang melihat dan berada di dalam tempat ibadah (masjid, musholla, surau dan
lain-lain). [58]
Pengalaman keagamaan yangtidak mudah
terlupakan oleh anak-anak adalah pada bulan Ramadlan dan hari raya. Pada bulan
Ramadlan anak-anak senang ikut berpuasa dengan orang tuanya, walaupun dia belum
kuat untuk melaksanakan ibadah pada sehari penu. Kegembiraan yang dirasakannya
karena dapat berbuka bersama dengan bapak, ibu dan seluruh anggota keluarga.
Setelah itu mereka pergi ke masjid dan musholla bersama teman-temannya untuk
melakukan shlat terawih.
Kemudian kegembiraan yang tak pernah terlupakan
bagi anak-anak adalah pada saat tiba hari raya. Dimana ia dapat berpakaian baru
bersama teman-temannya, orang tuanya, dan orang banyak yang tampak gembira.
Demikian juga pada malam takbiran, berjalan atau naik kendaraan beramai-ramai
sambil mengumandangkan takbir bersama-sama.
Dari beberapa contoh di atas,
dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa peranan ibu dalam mengawasi tingkah
laku anak haruslah sangat ketat. Anak-anak harus diawasi dalam stiap kegiatan
ibadah, karena dalam Al-Qur'an telah menjelaskan :
ربّ اجعلني مقيم الصلوة ومن ذرّيتي
(ابراهيم : 40).
“Ya,
Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan shalat”
(QS. Ibrahim : 40).[59]
Dalam ayat tersebut,
dijelaskan bahwa ibadah yang paling penting adalah shalat. Jika suatu ketika
anak yang lupa melaksanakan shalat, namun jika anak sudah dewasa, maka orang
tua boleh menegur anak dengan teguran yang lebih keras lagi yaitu degan cara
memukul anaknya. Demikianlah semua pengalaman keagamaan tersebut merupakan
unsur-unsur yang positif di dalam pembentukan pribadinya. Dan peran ibu sebagai
penentu tumbuhnya akhlak anak merupakan tanah subur bagi penyemaian tunas-tunas
muda yang lahir dalam keluarga.
[1]Muhammad
Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 120.
[2]Imam
Al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, Juz III, (Mesir: Isa Albaby Alhalby), hlm.
52.
[3]Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Al-Husna, 1998),
hlm. 58.
[4]Zakiah
Daradjat, Kebahagiaan, (Jakarta: CV. Ruhama, 1999), hlm. 40-41.
[5]Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1995), hlm. 91-92.
[6]UU
RI No. 2 Tahun 1998, Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 1.
[7]R.
Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H Harahap, Ensiklopedi Pendidikan,
(Jakarta: Agung, 1982), hlm. 257.
[8]Soemiarti
Patmodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),
hlm. 19.
[9]Syamsu
Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), hlm. 50.
[10]Soemiarti
Patmodewo, Op.cit, hlm. 29.
[11]Sunarto
dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: Rineka Cipta,
1999), hlm. 140.
[12]Syamsu
Yusuf LN, Op.cit, hlm. 166.
[13]Jaudah
Muhammad Awwad, Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), hlm. 32.
[14]Syamsu
Yusuf LN, Op.cit, hlm. 17.
[15]Soemiarti
Patmodewa, Op.cit, hlm. 35.
[16]Elisabeth
B. Hurlock, Perkembangan Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa (Jakarta:
Erlangga, 1989), hlm. 75.
[17]Soenarjo,
Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 645.
[18]Syamsu
Yusuf LN, Op.cit, hlm. 176-177.
[19]Jalaluddin,
Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.
68-71.
[20]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 38.
[21]Ibid,
hlm. 960.
[22]Malik
bin Annas, Al-Muwatha’, Cet. II, (Beirut: Dar Ihya’ Al-Ulum, 1990), hlm.
693.
[23]M.
Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 11.
[24]Barnawie
Umarie, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1978), hlm. 2.
[25]Amin
Syukur, Pengantar Studi Akhlak, (Semarang: Duta Grafika, 1987), hlm. 76.
[26]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 635.
[27]Syyid
Ahmad Affandi, Mukhtarul Al-Hadis Sunnah Nabawiyyah, Cet VI, (Surabaya:
1948), hlm. 5.
[28]Amin
Syukur, Op.cit, hlm. 132.
[29]Nasruddin
Razak, Dienul Islam Penafsiran Kembali Islam sebagai suatu Aqidah dan Way of
Life, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), hlm. 178.
[30]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 635.
[31]Nasruddin
Razak, Op.cit, hlm. 202.
[32]Ibid,
hlm. 200-202.
[33]Soenarjo,Op.cit,
hlm. 44.
[34]Barnawie
Umarie, Op.cit, hlm. 2.
[35]Ibid,
hlm. 53.
[36]Soenarjo,Op.cit,
hlm. 157.
[37]Khalil
Al-Musawi, Kaifa Tabni Syakh Shiyyafak, Alih Bahasa Ahmad Subandi, Bagaimana
Membangun Kepribadian Anda, (Jakarta: Lentera, 1998), hlm. 28.
[38]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 415.
[39]Amin
Syakur, Op.cit, hlm. 145.
[40]Muhammad
Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Alih Bahasa Moh. Rifa’i (Semarang:
Wicaksana, 1992), hlm. 422.
[41]Hamzah
Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah Suatu Pengantar, Cet. VI,
(Bandung: Diponegoro, 1993), hlm. 171.
[42]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 680.
[43]M.
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 175.
[44]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 366.
[45]Zakiah
Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 77.
[46]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 421.
[47]Irwan
Abdullah, Sangkan Paran Jender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 156.
[48]Made
Pidarta, Perencanaan Pendidikan Partisipasi dengan Pendekatan sistem,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 285.
[49]Suharsimi
Arikunta, Manajemen Pengajaran secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka Cipta,
1993), hlm. 75.
[50]Kartini
Kartono, Psikologi Sosial untuk Managemen Perusahaan dan Industri,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 147-148.
[51]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 159.
[52]Zakiah
Daradjat, Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama,
1995), hlm. 47.
[53]Abdullah
Nasikh Ulwan, Op.cit, hlm. 151.
[54]Ibid,
hlm. 157.
[55]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 526.
[56]Abdullah
Nasikh Ulwan, Op.cit, hlm. 160.
[57]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 1084.
[58]Zakiah
Daradjat, Op.cit, hlm. 60-61.
[59]Soenarjo,
Op.cit, hlm. 387.
0 Response to "PENDIDIKAN ANAK USIA DINI"
Post a Comment