METODE DISKUSI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR

METODE DISKUSI DAN  KEMANDIRIAN BELAJAR



    A.  Metode Diskusi
    1.      Pengertian Metode Diskusi
Dalam dunia pendidikan metode diskusi ini mendapat perhatian karena dengan diskusi merangsang siswa-siswi berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri. Oleh karena itu metode diskusi bukanlah hanya percakapan atau pendapat yang bermacam-macam.[1]
Berikut ini akan dijelaskan pengertian metode diskusi yang diambil dari beberapa sumber.
       a.      Dalam buku Proses Belajar Mengajar di Sekolah disebutkan bahwa, metode diskusi adalah: suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan dan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas sesuatu masalah.[2]
    b.      Dalam buku Metodologi Pembelajaran Agama Islam disebutkan bahwa, metode diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan objektif.[3]
    c.       Dalam buku Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam disebutkan bahwa metode diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengadakan pembicaraan ilmiah guna memngumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah.[4]
Dari beberapa pengertian maka secara umum dapat dijelaskan metode diskusi adalah: suatu cara interaksi edukatif dalam mempelajari bahan atau penyampaian materi pelajaran dengan jalan memperdebatkan permasalahan yang ada sehingga menimbulkan pengertian, pemahaman, serta perubahan tingkah laku siswa seperti yang dirumuskan dalam tujuan instruksionalnya.
2.      Relevansi Metode Diskusi
Teknik diskusi sebagai metode belajar mengajar lebih dan diperlukan apabila guru hendak:
     a.      Memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh para siswa
   b.      Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan kemampuannya masing-masing.
     c.       Memperoleh umpan balik dari para siswa tntang apakah tujuan telah dirumuskan telah tercapai.
   d.     Membantu para siswa belajar berfikir teoritis dan praktis lewat pelajaran dan kegiatan sekolah.
  e.      Membantu para siswa belajar menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun orang lain.
   f.        Membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
   g.      Mengembangkan  motivasi untuk belajar lebih lanjut.[5]
3.      Peranan Guru dalam Diskusi
Dalam tekhnik diskusi peranan guru amatlah penting yaitu:
    a.      Guru sebagai ahli (expert)
Sebagai seorang yang ahli, guru tentunya mempunyai pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai hal. Di sini guru dapat memberitahu, menjawab pertanyaan atau mengkaji (menilai) segala sesuatu yang sedang didskusikan oleh para siswa. Hal ini sesuai dengan tugas utamanya yaitu guru sebagai agen of instruction.
    b.      Guru sebagai pengawas
Agar dapat berjalan dengan lancar, benar dan dapat mencapai tujuan, maka gurupun harus bertindak sebagai pengawas dan penilai. Dengan kata lain dalam format diskusi ini guru menentukan tujuan dan prosedur untuk mencapainya.
     c.     Guru sebagai penghubung kemasyarakatan
Dalam hal ini guru dapat memperjelas dan menunjukan jalan-jalan pemecahan sesuai kriteria yang ada dan hidup dalam masyarakat. Peranan guru disini adalah sebagai sosializing agent [6]
4.      Macam-Macam Diskusi
Ada beberapa diskusi yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing belajar siswa.
        a.       Whole Group
Whole group adalah bentuk diskusi kelas dimana para pesertanya duduk setengah lingkaran. Dalam diskusi ini guru bertindak sebagai pemimpin dan topik yang akan dibahas telah direncanakan sebelumnya.
b.      Diskusi Kelompok
Dalam diskusi kelompok biasanya dapat berupa diskusi kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang peserta dan juga diskusi kelompok besar yang terdiri 7-15 orang anggota. Dalam diskusi ini dipimpin oleh seorang ketua dan seorang sekretaris. Para anggota diberi kesempatan berbicara atau mengemukakan pendapat dalam pemecahan masalah.
      c.       Buzz Group
Bentuk diskusi ini terdiri dari kelas yang dibagi-bagi menjadi kelompok. Kelompok kecil yang terdiri 3-4 orang peserta. Diskusi ini biasanya dilakukan ditengah-tengah pelajaran atau diakhir pelajaran dengan maksud untuk memperjelas atau mempertajam kerangka bahan pelajaran atau sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
      d.     Panel
Yang dimaksud panel adalah diskusi yang diikuti oleh banyak murid sebagai peserta, yang dibagi kepada aktif dan peserta tidak aktif. Peserta aktif langsung mengadakan diskusi, sedang peserta tidak aktif sebagai pendengar.
    e.      Diskusi Simposium
Dalam diskusi ini permasalahan diantarkan seorang atau lebih pembicara atau pemrasaran. Pemrasaran boleh berpendapat berbeda-beda terhadap suatu masalah, sedangkan peserta menanggapi apa yang telah dikemukakan pemrasaran.[7]
5.      Fungsi Metode Diskusi
Metode diskusi berfungsi sebagai:
   a.      Untuk merangsang murid-murid berfikir dan mengeluarkan pendapatnya sendiri, serta ikut menyumbangkan fikiran-fikiran dalam masalah bersama.
   b.      Untuk mengambil satu jawaban akhir atau rangkaian jawaban yang didasarkan atas pertimbangan yang seksama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode diskusi berfungsi untuk mengembangkan fikiran-fikian dalam masalah bersama dan kesanggupan untuk mendapatkan jawaban atau rangkaian jawaban yang didasarkan atas pertimbangan yang seksama.[8]
B.  Kemandirian Belajar
      1.      Kemandirian Belajar
Belajar merupakan proses dari perkembangan hidup manusia, semua aktivitas yang dicapai manusia pada dasarnya tidak lain adalah hasil belajar. Oleh karena itu belajar berlangsung secara aktif dengan berbagai macam bentuk perbuatan dalam upaya mencapai tujuan yang dinginkan sebagai bekal untuk kehidupan. Untuk memperoleh gambaran tentang belajar, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain:
   a.      H. Abu Ahmadi memberi pengertian tentang belajar adalah sesuatu bentuk pertumbuhan dalam diri sesorang yang dinyatakan dalam cara-cara tingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.[9]
   b.      A. Tabroni Rusyan mengemukakan, belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan penggunaan dan penelitian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.[10]
  c.       M. Ngalim Purwanto, MP. Mengemukakan bahwa, belajar adalah “suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri suatu pola dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.[11]
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah “aktifitas yang menghasilkan perubahan dalam diri pelajar” yang mana perubahan itu meliputi pengetahuan, pemahaman, ketrampilan serta nilai, sikap dan perilaku. Perubahan tersebut akibat dari adanya latihan dan pengalaman  yang dilakukan secara sadar dan bersifat permanen.
2.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Belajar sebagai aktifitas yang berlangsung melalui proses, sudah barang tentu tidak lepas dari pengaruh, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri atau individu yang mengalaminya. M. Ngalim Purwanto sendiri mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah:
    a.      Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual.
      b.      Faktor yang ada diluar individual yang disebut faktor sosial
Yang termasuk faktor individual antara lain, faktor kematangan/pertumbuhan kecerdasan, latihan, motivasi dan faktor-faktor pribadi yang lain, sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain: faktor keluarga, keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi belajar secara garis besar antara lain:
    a.      Faktor eksternal (dari luar diri pelajar)
Yang termasuk faktor eksternal adalah:
        1)      Faktor sosial yang terdiri atas: lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan kelompok.
     2)      Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, tekhnologi dan kesenian.
      3)      Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan iklim
      4)      Faktor lingkungan atau keamanan.
Dari keterangan tersebut maka faktor keluarga mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk kegaiatan belajar anak, kemudian sekolah menempati urutan yang besar juga.[12]
     b.      Faktor internal
Faktor ini dapat berupa faktor psikologis dan fisiologis, faktor fisik berasal dari keadaan jasmani dan faktor psikologis berasal dari keadaan rohani. Faktor ini mungkin dapat berdiri sendiri tetapi mungkin saling berhubungan, keadaan fisik yang terganggu akan mempengaruhi pada psikologinya dan sebaliknya. Bagaimana juga kedua saling berhubungan.
Yang termasuk faktor internal ialah:
   1)      Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, yang termasuk faktor ini misalnya: penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dll.
    2)      Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, yang terdiri atas faktor intelektif yang meliputi faktor potensi yaitu kecerdasan dan bakat. Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki.
    3)      Faktor kematangan fisik maupun psikis.[13]
Faktor-faktor tersebut berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mencapai prestasi belajar.
3.      Pengertian Kemandirian Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan bahwa ”kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain”.[14] Chabib Thoha mengungkapkan bahwa kemandirian adalah “bentuk sikap terhadap obyek dimana individu memiliki independensi yang tidak berpengaruh terhadap orang lain. [15]
Belajar mandiri sebagaimana disebutkan oleh Herman Holstein dalam bukunya “Shul lernen selbstandig standing” (murid belajar mandiri) diterjemahkan oleh Soeparmo bahwa belajar mandiri adalah mengarahkan murid agar berperan dalam memilih dan menentukan apa yang akan dipelajarinya dan cara serta jalan apa yang akan ditempuhnya dalam belajar.[16] Dengan demikian tugas guru ialah mengarahkan yang berangsur-angsur semakin dikurangi. Namun dibalik itu tugas guru yang penting sesungguhnya ialah merencanakan dan mempersiapkan situasi belajar mandiri sehingga apa yang dicapai oleh  murid sebenarnya sesuai dengan yang direncanakan dan diinginkan guru.
Siswa belajar mandiri tidak dimaksudkan dengan belajar agar bisa mandiri tetapi tetapi belajar secara mandiri, dan mandiri disini tidak dimaksudkan murid-murid belajar secara individual bahkan sebaliknya, situasi dibina untuk belajar secara individual bahkan ditanamkan rasa kebersamaan, kesadaran untuk bekerja sama, serta mampu membedakan seseorang sebagai personal dan seseorang sebagai pendapat orang itu.
Untuk lebih jelasnya bahwa belajar mandiri dalam hal ini lebih menekankan penciptaan dan pemanfaatan situasi, situasi belajar yang direncanakan murid. Disini hanya dapat diterapkan bentuk situasi dalam belajar mandiri. Bagi pedagogik situasi itu adalah jalan keluar dan sekaligus sebagai tujuan, setiap pendidik dalam situasinya masing-masing memberikan struktur dan bentuk gambarannya. Pendidikan untuk kemandirian menimbulkan situasi belajar mandiri sebagai tujuan.
     4.      Ciri-Ciri Kemandirian
     a.      Kematangan fungsi-fungsi psikis
Kematangan proses baturis/kematangan yang muncul secara alamiah, namun ada juga yang melalui latihan yang dilakukan sendiri karena mendapat rangsangan melalui media sebagai rangsangan perkembangan fungsi psikis. Karena itu perkembangan fungsi psiis tampak didorong kekuatan dari dalam sehingga pada suatu saat muncul kepermukaan untuk bertingkah laku. Saat yang demikian itu sering disebut sebagai masa peka atau saat kematangan. Suatu kecakapan/keterampilan adalah sangat bergantung pada kematangan anak.
Zakiah Daradjat mengatakan: “Sesungguhnya belajar suatu kepandaian bagi anak adalah tergantung pada dua faktor penting, yaitu kematangan dan latihan.”[17] Demikian juga Zakiah Daradjat memberikan ciri kemandirian belajar sebagai berikut: “Berdiri sendiri yakni melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mengarahkan kelakuannya tanpa tunduk orang lain, dapat berdiri sendiri dan pada umumnya mempunyai emosi yang stabil. Dari dua pokok pikiran di atas, tampak adanya keselarasan antara ciri ematangan dan ciri kemandirian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kematangan merupakan ciri dai kemandirian.
b.      Tingkah laku swakarsa (kegiatan sendiri)
Kemandirian anak, disamping adanya tingkat kematangan yang dicapai, ditandai pula adanya kecenderungan untuk berbuat yang dilakukan sendiri secara aktif atau pengambilan sikap yang dikemudikan secara otonomi terhadap suatu obyek. Bertumbuhnya umur mendorong timbulnya kecenderungan untuk melepaskan diri ikatan orang tuanya, anak mulai mengetahui hal baru dalam lingkungan. Zakiah Daradjat mengatakan faktor yang paling dalam mendidik anak adalah memenuhi kebutuhan anak melakukan aktifitasnya sendiri.[18]
c.       Sikap disiplin
Ketika sejumlah ahli psikologi di Indonesia diminta untuk menentukan ciri-ciri yang mencerminkan kepribadian yang kreatif, maka diantara yang dapat rangking tertinggi adalah: bebas dalam befikir, senang mencari pengalaman baru, dapat memulai sendiri (inisiatif), bebas dalam mengemukakan pendapat, begitu saja ciri-ciri tersebut erta dengan kebebasan dan kemandirian.[19] Selanjutnya S.C. Utama, M. mengatakan bahwa: ciri kepribadian anak yang penting menurut pendapat guru adalah ketekunan, kerajinan, keuletan, kedisiplinan, ketelitian, inisiatif disiplin, patuh, kerapian, kemandirian dan kesabaran.[20]
Dari pokok pikiran tersebut memberikan kesimpulan bahwa disiplin merupakan ciri dari aspek kemandirian seseorang yang perlu dimanifestasikan dalam menuju kesuksesan.
5.      Prinsip-Prinsip Mandiri Dalam Belajar
Agnes Soejanto memberikan beberapa uraian tentang prinsip-prinsip mandiri dalam belajar sebagai berikut.
            a.      Belajar harus dengan rencana yang teratur
            b.      Belajar harus dengan disiplin diri
            c.       Belajar harus dengan minat dan perhatian
           d.     Belajar harus diselingi kolasi sederhana
            e.      Belajar harus dengan tujuan yang jelas.[21]
Sedang menurut Abu Ahmadi tentang prinsip-prinsip belajar mandiri adalah sebagai beriktu:
        a.      Belajar harus bertujuan dan terarah, tujuan akan menuntun belajar untuk mencapai harapan-harapannya.
      b.      Belajar memerlukan bimbingan,baik dari guru ataudari buku pelajaran sendiri.
      c.       Belajar memerlukan pemahaman atas apa hal yang dipelajari sehingga diperoleh pengertian.
      d.     Belajar memerlukan latihan dan ulangan  agar apa yang dielajari dapat dikuasai.
       e.      Belajar adalah suatu proses aktif dimana tejadi saling mempengaruhi secara dinamis antara murid dengan lingkungan.
     f .        Belajar haus disertai dengan keinginan dan kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan.[22]
C.  Pendidikan Agama Islam
        1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Secara harfiah kata “pendidikan” terdiri dari kata didik yang mendapat awalah pen dan akhiran an, yang berarti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya).[23] Islam dari bahasa Arab yang berasal dari kata “salima” yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam seadaan selamat. Selanjutnya Allah SWT menggunakan Islam sebagai nama salah satu agama yang diturunkan kepada nabi Muhamad saw  dalam hubungan ini harun nasutiion mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw.[24]
Adapun pengertian istilah dinukilkan dari berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam.
    a.      Burlian Shomat, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yangbercorak diri berderajat tinggi menurut ukurq\an Allah SWT dan sisi pendidikannya mewujudkan ajaran Allah SWT.[25]
     b.      Sebagaimana yang dikutip dari bukunya Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan kebaikan, kemanfaatan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.[26]
      c.       Sebagaimana dikutip dalam bukunya H. Zuhairini dkk, dalam bukunya yang berjudul Metodologi Pendidikan Agama, dalam pendidikan agama adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai jalan kehidupan.[27]
Dari tiga pendapat tersebut dapat disimpulakn bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha untuk membimbing kearah pertumbuhan kepribadian peserta didik secara sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam, sehingga terjalin kebahagiaan di dunia dan di akherat.
      2.      Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
      a.      Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam merupakan suatu pelajaran yang diajarkan diberbagai sekolah baik umum maupun kejuruan, lebih-lebih madrasah. Adapun yang menjad dasar pijakan dalam menjalankan kegiatan usaha pendidikan agama Islam ialah Al-Qur’an hadits . lebih jelasnya Al-Qur’an dan hadits merupakan dasar dan landasan bagi filsafat pendidikan Islam, menjadi standar kebenaran bagi hasil pemikiran filosofis manusia untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[28]
AD. Marimba mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya.[29] Sedangkan sunnah Rasululloh ialah perilaku, ajaran-ajaran dan perkenaan Rasululloh Muhammad SAW sebagai pelaksana hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, inipun tidak diragukan lagi.[30]
Berdasarkan pandangan atau filsafah hidup bangsa,maka dasar pendidikan agama di negara indonesia secara yuridis formal telah dirumuskan sebagai berikut.
           1)      Dasar dari segi yuridis/hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari segi yuridis formal adan 3 macam yaitu:
             a)      Dasar ideal
Dasar ideal dari falsafah negara Pancasila dimana sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan Tap MPR No. IV/MPR/1999 disebutkan, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adi dan beradab.
             b)     Dasar struktural / konstitusi
Yakni UUD 1945 dalam bab IX pasal 29 ayat 1 dan 2.
             c)      Dasar operasional
Merupakan dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan agama-agama disekolah-sekolah Indonesia seperti disebutkan Tap. MPR No IV/MPR/1999.[31]
     2)      Dasar religius
Adalah dasar-dasar yang bersumber dalam agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an maupun hadits nabi. Menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya.
     3)      Dasar sosial
Bagi manusia agama merupakan pegangan, manusia merasakan bahwa jiwanya ada sesuatu perasaan yang mengakui adanya zat yang maha kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat meminta pertolongan.[32]
    b.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Secara hukum tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beriman kepadanya.[33]
Sedangkan tujuan pendidikan agama islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut:
        1)      Mengembangkan ketaqwaan kepada Alah SWT
      2)      Menumbuhkan jiwa dan sikap yang selau taat beribadah kepada Allah SWT
       3)      Membina dan memupuk akhlaqul karimah
       4)      Menumbuhkan kesadaran ilmiah.[34]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam, tidaklah sempit sebab pendidikan agama Islam sebagai studi mata pelajaran tidaklah hanya memberikan sejumlah pengetahuan kepada para siswa melainkan membentuk kepribadian siswa. Oleh karena itu tugas yang diembannya mempunyai tugas ganda yaitu sebagai pembentuk pribadi muslim dan memberikan sejumlah ilmu pengetahuan yang melimpah.





[1] Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Direktorat Jenderal Kepemimpinan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1984, hal. 230.
[2] B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 180.
[3] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 36.
[4] Armai Arief, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 146.
[5] Suryo Subroto, Loc. Cit., hal. 180
[6] M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., hal. 36-37
[7] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 1980, hal. 235.
[8] Proyek Pembinaan Prasara dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1984, hal. 230.
[9] Abu Ahmadi, Belajar Yang Mandiri dan Sukses, CV Aneka Ilmu, Solo, 1993, hal. 20.
[10] Tabrani Rusyan et all, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 8.
[11] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996, hal. 84.
[12] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1997, hal. 104.

[13] Selamet, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 130.
[14] Tim Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 555.
[15] M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 121.
[16] Herman Holstein, Murid Belajar Mandiri, Terj. Soeparmo, Remaja Rosda Karya, 1984, hal. xiii
[17] Zakiah Daradjat, Perawatan Jiwa Untuk Anak, Bulan Bintang, 1973, hal. 99.
[18] Ibid., hal. 130.
[19] S.C. Utami Munandar, Pemanduan Anak Berbakat, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 45.
[20] Ibid., hal. 44
[21] Agnes Suyanto, Bimbingan Ke Arah Belajar Yang Sukses, Aneka Ilmu Surabaya 1979, hal. 72
[22] Abu Ahmadi, Op. Cit., hal. 22
[23] Ibid., hal. 11.
[24] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos, Wacana Ilmu, Cet. 1, hal. 4
[25] Ibid, hal. 11
[26] H. Hamdani Ihsan, Fuat Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, 1998, hal. 15.
[27] Hamdani Ihsan, dkk, Op. Cit., hal. 27
[28] Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 16
[29] AD. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989, hal. 14.
[30] Ibid., hal. 28.
[31] Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 18-19.
[32] Tim Redaksi Rineka Cipta, Perubahan UUD 45 dan Ketetapan-Ketetapan MPR Tahun 1999, Rineka Cipta, 1999, hal. 94.
[33] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 1996, hal. 100.
[34] Ibid., hal.101.

0 Response to "METODE DISKUSI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR"

Post a Comment