METODE
DISKUSI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR
A. Metode Diskusi
1. Pengertian Metode Diskusi
Dalam dunia
pendidikan metode diskusi ini mendapat perhatian karena dengan diskusi
merangsang siswa-siswi berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri. Oleh
karena itu metode diskusi bukanlah hanya percakapan atau pendapat yang
bermacam-macam.[1]
Berikut ini akan
dijelaskan pengertian metode diskusi yang diambil dari beberapa sumber.
a.
Dalam buku Proses
Belajar Mengajar di Sekolah disebutkan bahwa, metode diskusi adalah: suatu
cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan kepada para siswa
untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat
kesimpulan dan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas sesuatu
masalah.[2]
b.
Dalam buku Metodologi
Pembelajaran Agama Islam disebutkan bahwa, metode diskusi adalah suatu cara
mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan
saling mengadu argumentasi secara rasional dan objektif.[3]
c.
Dalam buku Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam disebutkan bahwa metode diskusi adalah
suatu cara penyajian bahan pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengadakan pembicaraan ilmiah guna memngumpulkan pendapat, membuat
kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah.[4]
Dari beberapa
pengertian maka secara umum dapat dijelaskan metode diskusi adalah: suatu cara
interaksi edukatif dalam mempelajari bahan atau penyampaian materi pelajaran
dengan jalan memperdebatkan permasalahan yang ada sehingga menimbulkan
pengertian, pemahaman, serta perubahan tingkah laku siswa seperti yang
dirumuskan dalam tujuan instruksionalnya.
2. Relevansi Metode Diskusi
Teknik diskusi
sebagai metode belajar mengajar lebih dan diperlukan apabila guru hendak:
a.
Memanfaatkan
berbagai kemampuan yang dimiliki oleh para siswa
b.
Memberikan
kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan kemampuannya masing-masing.
c.
Memperoleh umpan
balik dari para siswa tntang apakah tujuan telah dirumuskan telah tercapai.
d.
Membantu para siswa
belajar berfikir teoritis dan praktis lewat pelajaran dan kegiatan sekolah.
e.
Membantu para siswa
belajar menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun orang lain.
f.
Membantu para siswa
menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang dilihat baik dari
pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
g.
Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.[5]
3. Peranan Guru dalam Diskusi
Dalam tekhnik
diskusi peranan guru amatlah penting yaitu:
a.
Guru sebagai ahli (expert)
Sebagai seorang
yang ahli, guru tentunya mempunyai pengetahuan yang lebih luas mengenai
berbagai hal. Di sini guru dapat memberitahu, menjawab pertanyaan atau mengkaji
(menilai) segala sesuatu yang sedang didskusikan oleh para siswa. Hal ini
sesuai dengan tugas utamanya yaitu guru sebagai agen of instruction.
b.
Guru sebagai
pengawas
Agar dapat berjalan
dengan lancar, benar dan dapat mencapai tujuan, maka gurupun harus bertindak
sebagai pengawas dan penilai. Dengan kata lain dalam format diskusi ini guru
menentukan tujuan dan prosedur untuk mencapainya.
c. Guru sebagai
penghubung kemasyarakatan
Dalam hal ini guru
dapat memperjelas dan menunjukan jalan-jalan pemecahan sesuai kriteria yang ada
dan hidup dalam masyarakat. Peranan guru disini adalah sebagai sosializing
agent [6]
4. Macam-Macam Diskusi
Ada beberapa
diskusi yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing belajar siswa.
a.
Whole
Group
Whole group
adalah bentuk diskusi kelas dimana para pesertanya duduk setengah lingkaran.
Dalam diskusi ini guru bertindak sebagai pemimpin dan topik yang akan dibahas
telah direncanakan sebelumnya.
b.
Diskusi Kelompok
Dalam diskusi
kelompok biasanya dapat berupa diskusi kelompok kecil yang terdiri dari 4-6
orang peserta dan juga diskusi kelompok besar yang terdiri 7-15 orang anggota.
Dalam diskusi ini dipimpin oleh seorang ketua dan seorang sekretaris. Para
anggota diberi kesempatan berbicara atau mengemukakan pendapat dalam pemecahan
masalah.
c.
Buzz
Group
Bentuk diskusi ini
terdiri dari kelas yang dibagi-bagi menjadi kelompok. Kelompok kecil yang
terdiri 3-4 orang peserta. Diskusi ini biasanya dilakukan ditengah-tengah
pelajaran atau diakhir pelajaran dengan maksud untuk memperjelas atau
mempertajam kerangka bahan pelajaran atau sebagai jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
d.
Panel
Yang dimaksud panel
adalah diskusi yang diikuti oleh banyak murid sebagai peserta, yang dibagi
kepada aktif dan peserta tidak aktif. Peserta aktif langsung mengadakan
diskusi, sedang peserta tidak aktif sebagai pendengar.
e.
Diskusi Simposium
Dalam diskusi ini
permasalahan diantarkan seorang atau lebih pembicara atau pemrasaran.
Pemrasaran boleh berpendapat berbeda-beda terhadap suatu masalah, sedangkan
peserta menanggapi apa yang telah dikemukakan pemrasaran.[7]
5. Fungsi Metode Diskusi
Metode diskusi
berfungsi sebagai:
a.
Untuk merangsang
murid-murid berfikir dan mengeluarkan pendapatnya sendiri, serta ikut
menyumbangkan fikiran-fikiran dalam masalah bersama.
b.
Untuk mengambil
satu jawaban akhir atau rangkaian jawaban yang didasarkan atas pertimbangan
yang seksama.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa metode diskusi berfungsi untuk mengembangkan
fikiran-fikian dalam masalah bersama dan kesanggupan untuk mendapatkan jawaban
atau rangkaian jawaban yang didasarkan atas pertimbangan yang seksama.[8]
B. Kemandirian Belajar
1.
Kemandirian
Belajar
Belajar merupakan
proses dari perkembangan hidup manusia, semua aktivitas yang dicapai manusia
pada dasarnya tidak lain adalah hasil belajar. Oleh karena itu belajar
berlangsung secara aktif dengan berbagai macam bentuk perbuatan dalam upaya
mencapai tujuan yang dinginkan sebagai bekal untuk kehidupan. Untuk memperoleh
gambaran tentang belajar, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa
ahli antara lain:
a.
H. Abu Ahmadi
memberi pengertian tentang belajar adalah sesuatu bentuk pertumbuhan dalam diri
sesorang yang dinyatakan dalam cara-cara tingkah laku yang baru berkat
pengalaman dan latihan.[9]
b.
A. Tabroni Rusyan
mengemukakan, belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan
dalam bentuk penguasaan penggunaan dan penelitian terhadap atau mengenai sikap
dan nilai-nilai pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai
bidang studi atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau
pengalaman yang terorganisasi.[10]
c.
M. Ngalim Purwanto,
MP. Mengemukakan bahwa, belajar adalah “suatu perubahan di dalam kepribadian
yang menyatakan diri suatu pola dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap,
kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.[11]
Dari beberapa
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah “aktifitas yang
menghasilkan perubahan dalam diri pelajar” yang mana perubahan itu meliputi
pengetahuan, pemahaman, ketrampilan serta nilai, sikap dan perilaku. Perubahan
tersebut akibat dari adanya latihan dan pengalaman yang dilakukan secara sadar dan bersifat
permanen.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Belajar sebagai
aktifitas yang berlangsung melalui proses, sudah barang tentu tidak lepas dari
pengaruh, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri atau individu yang
mengalaminya. M. Ngalim Purwanto sendiri mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar adalah:
a.
Faktor yang ada
pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual.
b.
Faktor yang ada
diluar individual yang disebut faktor sosial
Yang termasuk
faktor individual antara lain, faktor kematangan/pertumbuhan kecerdasan,
latihan, motivasi dan faktor-faktor pribadi yang lain, sedangkan yang termasuk
faktor sosial antara lain: faktor keluarga, keadaan rumah tangga, guru dan cara
mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial.
Dari rumusan
tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi belajar secara garis
besar antara lain:
a.
Faktor eksternal
(dari luar diri pelajar)
Yang termasuk faktor eksternal adalah:
1)
Faktor sosial yang
terdiri atas: lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan kelompok.
2)
Faktor budaya
seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, tekhnologi dan kesenian.
3)
Faktor lingkungan
fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan iklim
4)
Faktor lingkungan
atau keamanan.
Dari keterangan
tersebut maka faktor keluarga mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk
kegaiatan belajar anak, kemudian sekolah menempati urutan yang besar juga.[12]
b.
Faktor internal
Faktor ini dapat
berupa faktor psikologis dan fisiologis, faktor fisik berasal dari keadaan
jasmani dan faktor psikologis berasal dari keadaan rohani. Faktor ini mungkin
dapat berdiri sendiri tetapi mungkin saling berhubungan, keadaan fisik yang
terganggu akan mempengaruhi pada psikologinya dan sebaliknya. Bagaimana juga kedua
saling berhubungan.
Yang termasuk faktor internal ialah:
1)
Faktor jasmaniah
(fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, yang termasuk
faktor ini misalnya: penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dll.
2)
Faktor psikologis
baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, yang terdiri atas faktor
intelektif yang meliputi faktor potensi yaitu kecerdasan dan bakat. Faktor
kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki.
3)
Faktor kematangan
fisik maupun psikis.[13]
Faktor-faktor
tersebut berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mencapai
prestasi belajar.
3. Pengertian Kemandirian Belajar
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dituliskan bahwa ”kemandirian adalah hal atau keadaan dapat
berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain”.[14]
Chabib Thoha mengungkapkan bahwa kemandirian adalah “bentuk sikap terhadap
obyek dimana individu memiliki independensi yang tidak berpengaruh terhadap
orang lain. [15]
Belajar mandiri
sebagaimana disebutkan oleh Herman Holstein dalam bukunya “Shul lernen
selbstandig standing” (murid belajar mandiri) diterjemahkan oleh Soeparmo bahwa
belajar mandiri adalah mengarahkan murid agar berperan dalam memilih dan
menentukan apa yang akan dipelajarinya dan cara serta jalan apa yang akan
ditempuhnya dalam belajar.[16]
Dengan demikian tugas guru ialah mengarahkan yang berangsur-angsur semakin
dikurangi. Namun dibalik itu tugas guru yang penting sesungguhnya ialah
merencanakan dan mempersiapkan situasi belajar mandiri sehingga apa yang
dicapai oleh murid sebenarnya sesuai
dengan yang direncanakan dan diinginkan guru.
Siswa belajar
mandiri tidak dimaksudkan dengan belajar agar bisa mandiri tetapi tetapi
belajar secara mandiri, dan mandiri disini tidak dimaksudkan murid-murid
belajar secara individual bahkan sebaliknya, situasi dibina untuk belajar
secara individual bahkan ditanamkan rasa kebersamaan, kesadaran untuk bekerja
sama, serta mampu membedakan seseorang sebagai personal dan seseorang sebagai
pendapat orang itu.
Untuk lebih
jelasnya bahwa belajar mandiri dalam hal ini lebih menekankan penciptaan dan
pemanfaatan situasi, situasi belajar yang direncanakan murid. Disini hanya
dapat diterapkan bentuk situasi dalam belajar mandiri. Bagi pedagogik situasi
itu adalah jalan keluar dan sekaligus sebagai tujuan, setiap pendidik dalam
situasinya masing-masing memberikan struktur dan bentuk gambarannya. Pendidikan
untuk kemandirian menimbulkan situasi belajar mandiri sebagai tujuan.
4.
Ciri-Ciri
Kemandirian
a.
Kematangan
fungsi-fungsi psikis
Kematangan proses
baturis/kematangan yang muncul secara alamiah, namun ada juga yang melalui
latihan yang dilakukan sendiri karena mendapat rangsangan melalui media sebagai
rangsangan perkembangan fungsi psikis. Karena itu perkembangan fungsi psiis
tampak didorong kekuatan dari dalam sehingga pada suatu saat muncul kepermukaan
untuk bertingkah laku. Saat yang demikian itu sering disebut sebagai masa peka
atau saat kematangan. Suatu kecakapan/keterampilan adalah sangat bergantung
pada kematangan anak.
Zakiah Daradjat
mengatakan: “Sesungguhnya belajar suatu kepandaian bagi anak adalah tergantung
pada dua faktor penting, yaitu kematangan dan latihan.”[17]
Demikian juga Zakiah Daradjat memberikan ciri kemandirian belajar sebagai
berikut: “Berdiri sendiri yakni melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mengarahkan
kelakuannya tanpa tunduk orang lain, dapat berdiri sendiri dan pada umumnya
mempunyai emosi yang stabil. Dari dua pokok pikiran di atas, tampak adanya
keselarasan antara ciri ematangan dan ciri kemandirian. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kematangan merupakan ciri dai kemandirian.
b.
Tingkah laku
swakarsa (kegiatan sendiri)
Kemandirian anak,
disamping adanya tingkat kematangan yang dicapai, ditandai pula adanya
kecenderungan untuk berbuat yang dilakukan sendiri secara aktif atau
pengambilan sikap yang dikemudikan secara otonomi terhadap suatu obyek.
Bertumbuhnya umur mendorong timbulnya kecenderungan untuk melepaskan diri
ikatan orang tuanya, anak mulai mengetahui hal baru dalam lingkungan. Zakiah
Daradjat mengatakan faktor yang paling dalam mendidik anak adalah memenuhi
kebutuhan anak melakukan aktifitasnya sendiri.[18]
c.
Sikap disiplin
Ketika sejumlah
ahli psikologi di Indonesia diminta untuk menentukan ciri-ciri yang
mencerminkan kepribadian yang kreatif, maka diantara yang dapat rangking
tertinggi adalah: bebas dalam befikir, senang mencari pengalaman baru, dapat
memulai sendiri (inisiatif), bebas dalam mengemukakan pendapat, begitu saja
ciri-ciri tersebut erta dengan kebebasan dan kemandirian.[19]
Selanjutnya S.C. Utama, M. mengatakan bahwa: ciri kepribadian anak yang penting
menurut pendapat guru adalah ketekunan, kerajinan, keuletan, kedisiplinan,
ketelitian, inisiatif disiplin, patuh, kerapian, kemandirian dan kesabaran.[20]
Dari pokok pikiran
tersebut memberikan kesimpulan bahwa disiplin merupakan ciri dari aspek
kemandirian seseorang yang perlu dimanifestasikan dalam menuju kesuksesan.
5. Prinsip-Prinsip Mandiri Dalam Belajar
Agnes Soejanto
memberikan beberapa uraian tentang prinsip-prinsip mandiri dalam belajar
sebagai berikut.
a.
Belajar harus
dengan rencana yang teratur
b.
Belajar harus
dengan disiplin diri
c.
Belajar harus
dengan minat dan perhatian
d.
Belajar harus
diselingi kolasi sederhana
e.
Belajar harus
dengan tujuan yang jelas.[21]
Sedang menurut Abu
Ahmadi tentang prinsip-prinsip belajar mandiri adalah sebagai beriktu:
a.
Belajar harus
bertujuan dan terarah, tujuan akan menuntun belajar untuk mencapai
harapan-harapannya.
b.
Belajar memerlukan
bimbingan,baik dari guru ataudari buku pelajaran sendiri.
c.
Belajar memerlukan
pemahaman atas apa hal yang dipelajari sehingga diperoleh pengertian.
d.
Belajar memerlukan
latihan dan ulangan agar apa yang
dielajari dapat dikuasai.
e.
Belajar adalah
suatu proses aktif dimana tejadi saling mempengaruhi secara dinamis antara
murid dengan lingkungan.
f .
Belajar haus
disertai dengan keinginan dan kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan.[22]
C. Pendidikan Agama Islam
1.
Pengertian
Pendidikan Agama Islam
Secara harfiah kata
“pendidikan” terdiri dari kata didik yang mendapat awalah pen dan akhiran an,
yang berarti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya).[23]
Islam dari bahasa Arab yang berasal dari kata “salima” yang berarti berserah
diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam seadaan selamat. Selanjutnya
Allah SWT menggunakan Islam sebagai nama salah satu agama yang diturunkan
kepada nabi Muhamad saw dalam hubungan
ini harun nasutiion mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw.[24]
Adapun pengertian
istilah dinukilkan dari berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam.
a.
Burlian Shomat, pendidikan
Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk
yangbercorak diri berderajat tinggi menurut ukurq\an Allah SWT dan sisi
pendidikannya mewujudkan ajaran Allah SWT.[25]
b.
Sebagaimana yang
dikutip dari bukunya Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan dalam bukunya yang
berjudul Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan Islam adalah menanamkan
akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya
dengan air petunjuk dan nasehat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan
(meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan kebaikan,
kemanfaatan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.[26]
c.
Sebagaimana dikutip
dalam bukunya H. Zuhairini dkk, dalam bukunya yang berjudul Metodologi
Pendidikan Agama, dalam pendidikan agama adalah usaha berupa bimbingan dan
asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat
memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai
jalan kehidupan.[27]
Dari tiga pendapat
tersebut dapat disimpulakn bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha untuk
membimbing kearah pertumbuhan kepribadian peserta didik secara sistematis dan
pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam, sehingga terjalin
kebahagiaan di dunia dan di akherat.
2.
Dasar
dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
a.
Dasar-Dasar
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama
Islam merupakan suatu pelajaran yang diajarkan diberbagai sekolah baik umum
maupun kejuruan, lebih-lebih madrasah. Adapun yang menjad dasar pijakan dalam
menjalankan kegiatan usaha pendidikan agama Islam ialah Al-Qur’an hadits .
lebih jelasnya Al-Qur’an dan hadits merupakan dasar dan landasan bagi filsafat
pendidikan Islam, menjadi standar kebenaran bagi hasil pemikiran filosofis
manusia untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[28]
AD. Marimba
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebenaran yang tidak dapat diragukan
lagi kebenarannya.[29]
Sedangkan sunnah Rasululloh ialah perilaku, ajaran-ajaran dan perkenaan
Rasululloh Muhammad SAW sebagai pelaksana hukum-hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an, inipun tidak diragukan lagi.[30]
Berdasarkan
pandangan atau filsafah hidup bangsa,maka dasar pendidikan agama di negara
indonesia secara yuridis formal telah dirumuskan sebagai berikut.
1)
Dasar dari segi
yuridis/hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan
agama yang berasal dari segi yuridis formal adan 3 macam yaitu:
a)
Dasar ideal
Dasar ideal dari
falsafah negara Pancasila dimana sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa,
sesuai dengan Tap MPR No. IV/MPR/1999 disebutkan, bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adi dan beradab.
b)
Dasar struktural /
konstitusi
Yakni UUD 1945 dalam bab IX pasal 29
ayat 1 dan 2.
c)
Dasar operasional
Merupakan dasar yang secara langsung
mengatur pelaksanaan agama-agama disekolah-sekolah Indonesia seperti disebutkan
Tap. MPR No IV/MPR/1999.[31]
2)
Dasar religius
Adalah dasar-dasar
yang bersumber dalam agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an maupun hadits
nabi. Menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah
merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya.
3)
Dasar sosial
Bagi manusia agama
merupakan pegangan, manusia merasakan bahwa jiwanya ada sesuatu perasaan yang
mengakui adanya zat yang maha kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat
meminta pertolongan.[32]
b.
Tujuan Pendidikan
Agama Islam
Secara hukum tujuan
pendidikan agama Islam adalah untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni
menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan SWT agar mereka tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beriman kepadanya.[33]
Sedangkan tujuan
pendidikan agama islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1)
Mengembangkan
ketaqwaan kepada Alah SWT
2)
Menumbuhkan jiwa
dan sikap yang selau taat beribadah kepada Allah SWT
3)
Membina dan memupuk
akhlaqul karimah
4)
Menumbuhkan
kesadaran ilmiah.[34]
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam, tidaklah sempit sebab
pendidikan agama Islam sebagai studi mata pelajaran tidaklah hanya memberikan
sejumlah pengetahuan kepada para siswa melainkan membentuk kepribadian siswa.
Oleh karena itu tugas yang diembannya mempunyai tugas ganda yaitu sebagai
pembentuk pribadi muslim dan memberikan sejumlah ilmu pengetahuan yang
melimpah.
[1] Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan
Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Direktorat Jenderal
Kepemimpinan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1984, hal. 230.
[2] B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di
Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 180.
[3] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran
Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 36.
[4] Armai Arief, Pengantar dan Metodologi Pendidikan
Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 146.
[5] Suryo Subroto, Loc. Cit., hal. 180
[6] M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., hal. 36-37
[7] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Pusat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 1980, hal. 235.
[8] Proyek Pembinaan Prasara dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1984, hal. 230.
[9] Abu Ahmadi, Belajar Yang Mandiri dan Sukses,
CV Aneka Ilmu, Solo, 1993, hal. 20.
[10] Tabrani Rusyan et all, Pendekatan dalam Proses
Belajar Mengajar, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 8.
[11] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan,
Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996, hal. 84.
[12] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja
Rosda Karya, Bandung, 1997, hal. 104.
[13] Selamet, Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 130.
[14] Tim Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 555.
[15] M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 121.
[16] Herman Holstein, Murid Belajar Mandiri, Terj.
Soeparmo, Remaja Rosda Karya, 1984, hal. xiii
[17] Zakiah Daradjat, Perawatan Jiwa Untuk Anak,
Bulan Bintang, 1973, hal. 99.
[18] Ibid., hal. 130.
[19] S.C. Utami Munandar, Pemanduan Anak Berbakat,
CV Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 45.
[20] Ibid., hal. 44
[21] Agnes Suyanto, Bimbingan Ke Arah Belajar Yang
Sukses, Aneka Ilmu Surabaya 1979, hal. 72
[22] Abu Ahmadi, Op. Cit., hal. 22
[23] Ibid., hal. 11.
[24] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
Logos, Wacana Ilmu, Cet. 1, hal. 4
[25] Ibid, hal. 11
[26] H. Hamdani Ihsan, Fuat Ihsan, Filsafat Pendidikan
Islam, Pustaka Setia, 1998, hal. 15.
[27] Hamdani Ihsan, dkk, Op. Cit., hal. 27
[28] Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 16
[29] AD. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam,
Al-Ma’arif, Bandung, 1989, hal. 14.
[30] Ibid., hal. 28.
[31] Zuhairini, dkk., Op. Cit., hal. 18-19.
[32] Tim Redaksi Rineka Cipta, Perubahan UUD 45 dan
Ketetapan-Ketetapan MPR Tahun 1999, Rineka Cipta, 1999, hal. 94.
0 Response to "METODE DISKUSI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR"
Post a Comment