REWARD DAN
PUNISHMENT DALAM PEMBENTUKAN KEPERCAYAAN DIRI ANAK DIDIK PADA MASA ADOLESEN DI MA
MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI
A.
Implikasi Reward Dan Punishment Dalam Pembentukan Kepercayaan Diri
Kepercayaan
diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting. Maka tak heran
manakala banyak persoalan yang timbul karena seseorang tidak percaya pada
dirinya sendiri. Keragu-raguan seseorang pada dirinya hanya akan melahirkan
seeorang yang lemah, yang tidak sadar bahwa dirinya memiliki derajat dan
martabat yang tinggi sebagai sebaik-baik bentuk ciptaan-Nya, achsanu takwim.
Mereka tidak sadar bahwa Allah telah memberinya potensi sebagai keunikan
pribadi untuk mengembangkan kreativitas diri dalam menemukan kebenaran.
Sebagai
khalifatullah yang bertugas memakmurkan bumi, maka dalam menjalankan misinya
manusia harus melihat dirinya sebagai seseorang yang kuat, berani, optimis
serta percaya diri. Dalam mengadakan
bentuk perubahan di muka bumi, seseorang
yang kuat lebih mampu dan lebih baik dari pada seseorang yang lemah. Kondisi
ketidakberdayaan, ketidakpercayaan diri akan menjadikan seseorang memiliki
kepekaan yang berlebihan, sehingga ia menderita karena cobaan yang kecil
sekalipun1. Kepercayaan diri adalah kunci
keberhasilan seseorang menuju kesuksesan.
Adapun
pengertian kepercayaan diri secara definitif sebagaimana dalam penjelasan pada
bab satu dalam penelitian ini adalah yakin atau memastikan benar akan kemampuan
atau kelebihan diri sendiri. Kepercayaan diri muncul dari konsep diri yang
positif (gambaran diri sebenarnya). Artinya orang yang percaya diri adalah
orang yang yakin atau memastikan benar akan kemampuan atau kelebihan dirinya,
orang yang mandiri, tidak suka meminta bantuan kepada pihak lain.2 Sedangkan kepercayaan diri anak didik
dalam penelitian ini dilihat melalui indikator antara lain : kemandirian
belajar siswa, kemampuan beradaptasi dan aktualisasi diri mengemukakan
pendapat, kemampuan bertanya).
Diri
atau “self“ serta kepercayaan diri dalam pembentukan dan
perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial anak yaitu keluarga dan
sekolah. Keluarga merupakan dasar peletak utama diri atau kepribadian. Tetapi
karena semakin meluasnya lingkungan sosial anak seperti sekolah, ikut
berpengaruh dalam pembentukan kepribadian. Mengingat sebagian besar waktu anak didik dihabiskan di sekolah. Hubungan
pendidik (guru) dengan anak didik akan mempengaruhi perkembangan kepribadian
dan kepercayaan diri anak.
Dalam jaringan rekaya paedagogis harus
merupakan upaya membuat anak mau dan dapat belajar atas dorongan sendiri untuk
mengembangkan bakat, pribadi dan potensi secara optimal.3
Sehingga berkaitan dengan pemakaian reward
dan punishment sebagai salah satu
teknik pendidikan yang sering dipergunakan dalam mendidik, harus mampu
menjadikan anak didik berkembang sesuai dengan fitrahnya bukan perbudakan
otoritas pendidik pada diri anak yang mematikan inisiatif dan potensi.
1. Implikasi Reward Dalam Pembentukan Kepercayaan Diri Anak
Adanya
konsepsi tentang reward di MA MATHOLI’UL
HUDA PUCAKWANGI dalam penjelasan pada
bab tiga, memberikan pengertian bahwa setidaknya ada lima unsur yang membangun
istilah reward yaitu :
- Tiap bentuk penghargaan untuk hasil yang baik.
- Pendidik atau guru sebagai sumber reward.
- Anak didik (penerima reward).
- Berhubungan dengan kemampuan/ prestasi.
- Bentuk dorongan atau tanda kepercayaan.
Dari
kelima unsur diatas, dapat memberikan suatu pemahaman bahwa reward di MA MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI tidak diperuntukkan bagi semua anak didik.
Pemberian reward hanya diberlakukan
bagi sekelompok anak yaitu anak didik yang memiliki kemampuan/ prestasi atau
bertindak sesuai dengan kesepakatan sosial. Hal demikian akan membawa dampak
yang berbeda dalam diri anak didik.
Adapun
berkenaan dengan implikasi raward dalam pembentukan kepercayaan diri anak
didik, dapat penulis jelaskan dalam dua sudut pandang yaitu :
a. Implikasi reward
ditinjau dari posisi anak didik
Sebagai
lingkungan sosial anak, di sekolah anak didik tidak hanya belajar ilmu pengetahuan, melainkan terjadi
proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai dalam diri anak didik, yang
akan mempengaruhi kepribadian anak. Dalam lingkup yang lebih khusus, ketika
praktik pemberian reward hanya
diberikan untuk sekelompok orang anak didik serta diberikan di depan anak lain,
bukan secara impersonal, maka akan berdampak pada semua anak didik. Adapun
implikasi reward ditinjau dari posisi
anak didik, penulis kelompokkan menjadi dua yaitu :
- Anak didik (penerima reward)
- Anak didik (jarang atau tidak menerima reward)
1). Anak Didik (penerima reward)
Dampak
reward bagi anak didik “si penerima reward “ antara anak satu dengan anak
lain adalah berbeda, tergantung interpretasi anak terhadap reward yang ada. Adapun implikasi reward bagi anak didik “si penerima reward “ adalah sebagai berikut :
Pertama,
anak didik yang tertekan oleh adanya reward.
Anak didik dalam kelompok ini berasumsi bahwa reward yang diberikan merupakan suatu bentuk tekanan dan beban.
Harapan-harapan yang termuat dalam reward
dianggap sebagai bentuk pemaksaan pemenuhan standar-standar tertentu pada diri
anak didik, yang tidak realistik. Adanya perasaan tertekan, takut, cemas akan
standar-standar yang ditentukan pendidik, menjadikan anak ragu pada
kemampuannya. Sekalipun pada dasarnya, manusia (anak didik) memiliki
kualitas-kualitas khas insani sebagai karakteristik eksistensinya serta dalam
batas-batas tertentu dapat diaktualisasikan.4
Dalam situasi ini rasa tenang, sebagai kebutuhan pokok belajar anak tidak
terpenuhi. Adanya rasa takut, tertekan, cemas, ragu akan kemampuan memunculkan
rasa pesimistis dan kurangnya kepercayaan diri anak didik. Kondisi anak didik
yang hidup dalam kungkungan harapan-harapan, menafikkan kebebasan anak untuk
berkembang sejalan dengan fitrah, keunikan pribadi. Sekalipun pemberian reward dimaksudkan sebagai wujud
penghargaan diri kepada anak, yaitu pemenuhan kebutuhan akan harga diri yang
akan membawa perasaan percaya diri5. Namun reward penghargaan diri yang berlebihan,
justru tidak dapat merefleksikan kepercayaan diri anak didik.
Kedua,
anak didik yang “ternina bobokkan“ oleh reward. Sifat interaksional yang terjadi antara pendidik (guru)
dengan anak didik memiliki arti bahwa sikap pendidik terhadap anak didik
tergantung pada sikap anak terhadap pendidik, dan sebaliknya sikap anak didik
terhadap pendidik ditentukan pula oleh sikap pendidik terhadap anak didik. Oleh
karena itu sikap pendidik berkaitan dengan pemberian reward sangat ditentukan oleh sikap anak didik baik tindakan maupun
kemampuannya. Sehingga pemberian reward
dalam bentuk apapun, oleh anak didik
diinterpretasikan sebagai “sikap pengistimewaan“ terhadap diri anak didik.
Dalam istilah lain ada justifikasi pendidik (guru) terhadap kemampuan atau
prestasi anak didik. Dalam hal ini reward
akan menimbulkan rasa primordial yang berlebihan. Ketidakmampuan melihat
gambaran diri secara realistis berekses pada tindakan menyimpang yang dilakukan
anak, penyepelean terhadap anak didik lain maupun masalah belajar. Kondisi
ketergantungan pada motivasi ekstrinsik, akan berimplikasi pada kurangnya rasa
responsibility, kemandirian belajar serta penurunan motivasi belajar.
Ketiga,
anak didik yang termotivasi oleh reward.
Anak didik dalam kelompok ini menganggap reward
sebagai motivasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari yang diperolehnya
di masa lalu. Reward
diinterpretasikan sebagai bentuk penghargaan diri secara realistis yaitu
nilai-nilai realistis seorang pendidik terhadap kinerja anak, bukti penerimaan
dirinya dalam berbagai ukuran norma yang ada, yang akan dapat dihayati oeh anak
didik. Hal demikian akan menghilangkan perasaan tertekan dan frustasi pada diri
anak. Adanya motivasi instrinsik yuang lebih mendominasi membawa dampak yang
permanen dalam diri anak didik. Konsistensi anak didik untuk dapat berkembang
bebas sesuai dengan potensi pribadi dengan penuh rasa tenang, aman, akan
menumbuhkembangkan kapercayaan diri anak didik.
2). Anak didik yang jarang atau tidak menerima reward
Mengingat
reward di MA MATHOLI’UL HUDA
PUCAKWANGI hanya diperuntukkan bagi anak
didik yang memiliki kemampuan/prestasi
dan berperilaku sesuai dengan kesepakatan sosial. Dari sini dapat
diartikan bahwa ada “double standard”, pilih-pilih dalam pemberian reward. Sedangkan semua anak didik
membutuhkan reward sebagai bentuk
penghargaan dan penerimaan diri anak didik oleh pendidik sesuai dengan
batas-batas kemampuannya. Ketidakmampuan pendidik (guru) menghargai keunikan
pribadi, penghayatan subyektifitas, kebebasan, tanggungjawab dan kemampuan
mengaktualisasikan diri setiap anak, menjadikan anak sebagai subjek tidak mampu
berkembang sendiri.
Pemberian
reward pada anak tertentu di depan
kelas, diasumsikan oleh anak lain sebagai bentuk tanda kasih sayang dan
pengistimewaan terhadap anak tersebut. Hal ini menyebabkan anak didik lain
merasa tidak diakui keberadaannya, banyak kekurangan serta tidak memiliki
kemampuan untuk dikembangkan. Implikasinya anak merasa rendah diri, pesimistis,
kurang percaya diri yang akan menghambat kreativitas anak. Di sisi lain bahkan
anak didik bisa bersikap marah yang diaplikasikan dalam bentuk perilaku
menyimpang sebagai wujud sikap berontak terhadap pendidik (guru).
b. Implikasi reward
ditinjau dari jenis/bentuk rewad
Sebagaimana
telah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa jenis-jenis reward di MA MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI dibagi dalam empat bentuk yaitu kata-tata
pujian, pemberian kepercayaan, senyuman, pandangan dan tepukan punggung,
material. Adapun implikasi reward
dalam diri anak didik di MA MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI dilihat dari bentuk reward yang diberikan adalah sebagai berikut :
1). Kata-kata Pujian
Kata-kata
memuji cenderung berdampak negatif pada anak didik. Karena pujian dirasakan
sebagai bentuk harapan untuk memenuhi standar yang luar biasa. Sehingga pujian
yang ada merupakan sesuatu yang diluar batas kewajaran untuk dipenuhi, yang
pada akhirnya pujian dapat menjadi sebuah harapan yang mustahil. Di satu sisi
pujian dapat menjadikan perasaan tertekan anak didik. Anak merasa dirinya
dipenuhi oleh harapan-harapan dan tuntutan (dari sumber reward) yang tidak realistis. Secara psikologis, adanya perasaan
tertekan, takut dan cemas menjadikan jiwa tidak aman, kurang tenang. Sedangkan
dalam kondisi ini seseorang tidak akan mungkin mencapai hasil secara maksimal.
Sehingga banyak dari pemberian kata-kata pujian berimplikasi pada penurunan
kepercayaan diri anak didik dan kemampuan/ prestasi, karena rasa tenang,
tentram, yang menjadi kebutuhan pokok dalam belajar tidak terpenuhi.
Di
sisi lain bagi sebagian anak mungkin kata-kata pujian dapat menimbulkan
kepercayaan diri yang berlebihan, yaitu “rasa keakuan“, merasa dirinya memiliki
kemampuan yang lebih dari anak lain. Hal ini menjadikan anak menyakini benar
akan kemampuan dirinya secara tidak realistik. Ketidakmampuan melihat gambaran
diri secara benar, pada akhirnya akan menurunkan motivasi belajar anak.
2). Pemberian
Kepercayaan
Pemberian
kepercayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup mempercayai anak
bahwa iamampu belajar dan memberi kesempatan pada mereka untuk mempresentasikan
hasil belajar. Pemberian kepercayaan diri pada berdampak positif dalam
perkembangan kepribadian anak didik yaitu memunculkan rasa responsibility anak.
Adanya
kepercayaan dari pendidik berarti seorang anak diberi kesempatan untuk
membuktikan kemampuannya dalam situasi tertentu. Pemberian kepercayaan sebagai
wujud penerimaan dan penghargaan diri bagi anak, akan memunculkan kepercayaan
diri dan sikap kemandirian, bahwa anak sebenarnya diberi kesempatan untuk
menguji kemampuan. Dalam hal ini anak akan berusaha semaksimal mungkin untuk
tetap menjaga kepercayaan yang diberikan. Dengan kata lain sikap penerimaan
diri berupa pemberian kepercayaan berimplikasi dalam pengaktualisasian potensi
diri anak.
3). Senyuman,
Pandangan dan Tepukan Punggung
Reward
dalam bentuk ini merupakan jenis reward
yang paling mudah dan ringan diberikan. Namun lebih dari itu, senyuman,
pandangan dan tepukan punggung dapat menunjukkan besarnya rasa cinta dan kasih
sayang pendidik terhadap anak didik serta dirasa tidak berlebihan bagi anak
lain. Sikap cinta kasih dan penerimaan yang baik dari pendidik akan lebih
membekas dalam diri anak sekaligus menimbulkan perasaan tenang, aman dalam jiwa
anak, sehingga anak tidak sempit hati
dan merasa percaya diri. Anak akan tetap berada dalam situasi serta dapat
berkembang sesuai potensi diri.
4). Pemberian sesuatu
yang bersifat material
Pemberian
yang bersifat material akan berdampak negatif pada diri anak didik. Reward dalam bentuk material mampu
menjadi motivasi bagi anak, akan tetapi semua itu hanya bersifat semu. Karena
pikiran anak akan lebih bertumpu pada reward
(hadiah materi) yang diberikan dari pada tindakan yang dilakukan. Ketika
kegiatan belajar anak misalnya, hanya bergantung pada ada tidaknya hadiah
justru akan mematikan inisiatif dan kreatifitas anak didik. Karena aktualisasi
diri anak dilakukan manakala ada hadiah.
2. Implikasi Punishment
dalam pembentukan kepercayaan diri anak didik
Dalam
KBM, punishment di MA MATHOLI’UL HUDA
PUCAKWANGI lebih dipentingkan dari pada reward. Dalam uraian pada bab tiga, punishment sebagai teknik dalam mendidik
digunakan untuk mencegah tindakan yang salah, membentuk moralitas, peningkatan
kedisiplinan serta memotivasi anak untuk belajar.
Secara
umum sebagaimana ungkapan Nur Akhmad,
bahwa punishment terutama hukuman
badan lebih efektif untuk menggugah motivasi anak, meluruskan perilaku
menyimpang dan kedisiplinan anak. Pernyataan ini mungkin benar, karena punishment akan mengebiri anak didik
dengan rasa takut. Selanjutnya perasaaan takut akan menyebabkan sikap
kepatuhan, ketundukan pada diri anak. Akan tetapi perlu disadari kepatuhan itu
hanya bersifat sementara dan akhirnya pada saat yang bersamaan, setelah anak
merasa dirinya kuat (steril) dan sanggup menerima konsekuensi punishment yang ada, mereka akan
berperilaku yang sama sebagaimana sebelumnya.
Sekalipun
demikian untuk mengetahui lebih jauh tentang efektifitas serta implikasi punishment dalam diri anak didik, perlu
melihat persoalan tersebut dengan berbagai sudut pandang. Adapun dampak punishment dalam diri anak didik,
khususnya pembentukan kepercayaan diri dilihat dari bentuk besar-kecilnya punishment yang diberikan adalah sebagai
berikut :
a. Pandangan sinis, peringatan dan ancaman
Pandangan
sinis, peringatan dan ancaman menunjukkan ekspresi ketidaksenangan, kekurang
setujuan terhadap anak didik mengenai tindakan atau perilaku. Terutama ancaman
sebagai bentuk peringatan keras yang
didektekan kepada anak, seolah-olah merupakan suatu anjuran bagi seorang anak
untuk mengulangi suatu perbuatan yang terlarang. Ancaman seringkali merugikan
anak didik itu sendiri karena anak akan mengulangi kembali perbuatan-perbuatan
yang hendak dicegah oleh pendidik (guru).
Hal
semacam itu dikarenakan oleh segala bentuk ancaman atau peringatan yang
diterima oleh anak dirasakan sebagai suatu tantangan dan pukulan terhadap
otonomi dan pribadinya. Jika anak merasa memiliki harga diri, mereka akan harus
melanggarnya sekali lagi untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah suatu boneka yang
bisa diatur.
b. Pemberian “alfa”
Pemberian
alfa merupakan bentuk sanksi moral yang diberikan kepada anak ketika bertindak
kesalahan. Dalam bab tiga, dijelaskan bahwa pemberian alfa dikaitkan dengan
proses penentuan kenaikan kelas dan droup
out. Di MA MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI pemberian alfa berdampak positif dalam diri
anak didik. Sesuai tingkat perkembangan anak didik pada masa ini, mereka sudah
mampu menghargai nilai-nilai,6
memelihara rasa hormat.7 Maka
responsibility anak didik akan terbentuk sebagai pemenuhan dan pertahanan
kebutuhan harga diri termasuk kehormatan dan prestise. Sehingga adanya
penerimaan diri secara negatif berupa cemoohan, pengisolasian diri dari
masyarakat tidak diinginkan oleh anak didik.
c. Berdiri di depan kelas
Punishment yang diberikan di depan kelas
atau kelompok akan berakibat buruk dalam diri anak. Dengan ini anak akan merasa
tidak dihargai sebagaimana anak lain. Pemberian hukuman di depan kelas
memunculkan rasa malu dan dendam di mata anak, minder serta kurang percaya diri
yang akan menghilangkan moral dan aspek pribadi anak.
d. Hukuman badan (fisik)
Hukuman
fisik di MA MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI diaplikasiakn dalam bentuk melempar penghapus,
memukul, menampar dan menempeleng. Kekerasan menjadikan anak menyimpang dari
ruang lingkup aspek kemanusiannya. Di satu sisi hukuman ini dapat menimbulkan
kepatuhan dalam diri anak, tetapi juga menghambat perkembangan anak didik.
Hukuman badan akan memperlemah diri anak serta ketidaksanggupan memelihara
kehormatan diri dan keluarga.
Hukuman
fisik sebaiknya tidak dilakukan oleh pendidik, karena akan berdampak pada
jasmaniah dan rohaniah anak. Secara psikis, hukuman badan membuat anak takut,
perasaan tidak aman, tertekan. Keterkekangan akan menjadikan anak tumbuh
menjadi pribadi yang rendah diri, pesimistis, penakut dan tidak bertanggungjawab.
Hukuman badan di muka dan kepala (memukul, memampar, menempeleng) akan membuat
anak cidera, membahayakan kesehatan otak
dan merusak mata dan berbekas buruk pada wajah. Cacat jasmani yang
membekas pada diri anak atau bahkan dibawa seumur hidup merupakan bentuk
penyiksaan yang akan membentuk konsep diri negatif.
Apabila
hukuman fisik tetap dibutuhkan, sebaiknya dikenakan pada bagian-bagian tubuh
anak didik yang tahan terhadap pukulan. Sebagai mana himbauan Ibnu Sachnun
bahwa jangan memukul kepala, atau muka anak, sebaiknya pukulan diberikan pada
kaki, karena kaki lebih tahan dan aman terhadap pukulan8.
Efektifitas
pemberian hukuman dalam pembentukan kepercayaan anak didik, selain dipengaruhi
oleh ke-4 jenis punishment yang ada,
juga ditentukan oleh kewibawaan dari sumber punishment.
Ketika pendidik amat dihormati dan kewibawaannya benar-benar diakui oleh anak,
maka semakin besar pengaruhnya terhadap diri anak.
B.
Kontekstualisasi reward dan Punishment
dalam Pembentukan Kepercayaan Diri Anak Didik
Muhammad
adalah insan kamil yang dijadikan sebagai contoh tauladan bagi umat seru
sekalian alam. Dalam pelaksanaan tugas kenabian, menyeru ke jalan Tuhan,
Muhammad menggunakan cara yang baik dan bijaksana, sekalipun dengan orang kafir
bukan mementingkan kekerasan, violence. Hal ini bukan berarti Muhammad
berdiam diri, manakala orang kafir menyerangnya. Sehingga akhirnya Muhammad
mampu menjadi warner, pemenang.
Dalam
memberikan guidence, bimbingan kepada manusia untuk tetap berada pada
jalan yang lurus, Tuhan pun tidak langsung memberikan azhab, akan tetapi
peringatan, ancaman atau hukuman. Ancaman atau hukuman tidak memperoleh
restu-Nya (Q.S. Al-Hadid :16), ancaman perang dari Allah dan rosul-Nya (Q.S.
Al-Baqoroh : 278-298), hukuman di atas dunia dan akhirat (Q.S. At-Taubah : 39,
74) dan (Q.S. An-Nur : 24).
Dari
sini berarti ada tingkat-tingkat hukuman yang berbeda, sesuai dengan perbedaan
tingkat manusia. Ada orang yang sudah cukup baginya isyarat, hatinya sudah
bergetar dan akan memperbaiki kesalahan, akan tetapi ada pula yang baru
tergerak oleh peringan keras, ancaman bahkan hukuman badan. Demikian halnya
dalam pendidikan, ibarat seorang dokter dalam memberikan terapi (obat) kepada
pasien, ia harus mengetahui benar tentang penyakit yang diderita pasien, maka
seorang pendidik harus bijaksana dalam memilih metode yang tepat bagi anak
didik sesui dengan tingkat perkembangannya.
Oleh
karena itu dalam pemberian reward dan
punishment, pendidik harus mampu
benar melihat situasi dan kondisi anak dengan tingkat perkembangan intelektual,
emosional, moral, fisik, keagamaan. Karena tidak semua bentuk reward dan punishment cocok digunakan pada anak.
Berpijak
pada hal ini, maka perlu ada kontektualisasi dalam pemberian reward dan punishment sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Artinya reward dan punishment yang diberikan pada anak mampu mendorong anak berkembang
dengan potensi kualitas khas insani yang dimiliki serta mampu membentuk
kpercayaaan diri anak menuju aktualisasi diri.
Sehubungan
dengan objek penelitian yaitu anak didik masa adolesen, maka kontekstualisasi reward dan punishment pada masa adolesen di MA MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI adalah sebagai berikut :
1. Kontekstualisasi Reward
Sebagaimana
deskripsi sebalumnya, anak didik pada masa adolesen ditandai dengan tingkat
perkembangan intelektual yang sudah mampu berpikir abstrak hipotetikel-logik,
pergolakan emosional, kemampuan menghargai nilai-nilai moral, keinginan untuk
tetap dihargai keberadaannya di mata orang lain, pencarian dan pembentukan jati
diri, identity. Sejauh pengamatan yang telah dilakukan, diantara ke-4 bentuk
pemberian reward di MA MATHOLI’UL
HUDA PUCAKWANGI yang representatif
digunakan dalam diri anak didik pada masa ini
yaitu :
a. Pemberian kepercayaan
Dalam diri anak didik membutuhkan pengakuan eksistensinya di mata orang lain.
Pemberian kepercayaan membuat diri anak merasa diakui dan dihargai oleh
pendidik. Dengan diberikan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya, anak
mulai menghargai keberadaan diri dan orang lain. Hal ini akan memunculkan
responsibility untuk mampu menjaga dan mewujudkan amanat yang ada.
Pemberian
kepercayaan lebih berimplikasi positif pada diri anak dari pada pemberian
materi maupun kata-kata pujian yang tidak realistik. Kepercayaan menjamin
kesenangan seseorang yaitu akan mengurangi tekanan jiwa.
b. Senyuman, pandangan, tepukan punggung
Pemberian kasih sayang oleh pendidik yang diaplikasikan melalui ekspresi
wajah dan tindakan jasmaniah, akan lebih mengena pada diri anak. Keadaan
emosional anak yang labil akan sering menimbulkan sikap menolak, mencela bahkan
merombak ketentuan apapun yang dirasa mempersempit kebebasannya. Karena anak
didik pada masa adolesen ingin mendapatkan kebebasan dari ketergantungan.
Adanya
tekanan-tekanan dan kungkunghan akan menimbulkan ketegangan yang menjadikan
anak menjadi marah. Oleh karena itu adanya sikap penerimaan positif dari
pendidik sebagai wujud persetujuan pendidik pada perilaku anak, akan diimbangi
pula oleh penerimaan positif anak didik.
2. Kontekstualisasi punishment
Dengan
melihat implikasi punishment di MA
MATHOLI’UL HUDA PUCAKWANGI , di sini dapat dijelaskan bentuk punishment yang masih mempan dan relevan
pada diri anak didik, sesuai dengan tingkat perkembangan anak pada masa
adolesen yaitu :
a. Pandangan sinis, peringatan dan ancaman
Konsistensi dalam pemberian punishment
dalam bentuk ini aakn memunculkan kesadaran dalam diri anak. Anak tidak akan
menganggap punishment sebagai bentuk
pendektean yang mempersempit otonomi dan pribadinya. Anak didik pada masa ini
akan merombak dan bersikap berontak terhadap semua yang dirasa mengurangi dan
mempersempit kebebasannya. Dalam pemberian hukuman dalam bentuk ini harus
diimbangi dengan “gezag”
si pemberi hukuman serta perluada tindak lanjut impersonal kepada anak sebagai
wujud perhatian guru pada anak. Dalam situasi ini karena anak sudah mulai menghargai
nilai-nilai moral yang ada, mereka akan melakukan penyadaran diri secara
berlahan-lahan menuju perbaikan.
Ketidaktetapan dalam pemberian hukuman ini, sebagaimana penjelasan
sebelumnya dapat diasumsikan oleh anak didik sebagai anjuran bagi anak untuk
mengulangi kesalahan yang sama. Karena anak akan merasakan hukuman tersebut
sebagai tantangan dan pukulan terhadap otonomi dan pribadinya. Mengingat
kehidupan emosi anak mengalami
pergolakan hebat.
b. Pemberian alfa
Anak didik pada masa adolesen sudah mampu menghargai kejujuran,
kedisiplinan, keadilan, sehingga untuk periodesasi ini, pemberian sanksi alfa
mampu meresap dan dihayati dalam jiwa anak. Karena “alfa“ berhubungan dengan
penerimaan diri anak oleh masyarakat lingkungan sosialnya, akan kebutuhan harga
diri anak. Sekalipun masih ada beberapa anak yang tetap keras dan hanya mempan
dengan hukuman fisik.
1Sayid Mujtaba Musani lari, Menumpas
penyakit hati, Lentera, Jakarta, 1996, hal. 43.
2Arif Hadipranata, Peran
Psikologi Di Indonesia, Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta,
2000, hal. 75.
3Made Pidarta, Landasan
Kependidikan Stimulus Ilmu Kependidikan bercorak Indonesia, PT Rineka
Cipta, Jakarta, 1997, hal. 268.
4Jamaluddin Ancok, Membangun Paradigma Psikologi
Islami, Si Press, Yogyakarta, 1994, hal 78.
5Abraham H Maslow, Motivasi
dan Kepribadian 1 Teori dan Motivasi Dengan Pendekatan Hirearki kebutuhan
Manusia, PT Pustaka Binama, Jakarta, 1994, hal. 56.
6 Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 91.
7 Sylvia Rimm, Smart Parenting, Op. Cit,
hal. 33.
8H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu
Tinjauan Kritis Dan Praktis Berdasarkan Interdisipliner, Bumi Aksara,
Jakarta, Cet III, 1993, hal. 219.
0 Response to "REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PEMBENTUKAN KEPERCAYAAN DIRI"
Post a Comment