ORIENTASI
PENDIDIKAN MASYARAKAT BURUH
1. Pengertian
Pendidikan
Secara ontologis, sasaran obyek pendidikan
adalah manusia. Karena Manusia mengandung banyak aspek dan sifatnya yang
kompleks, karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan yang
cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan
pendidikan yang dirumuskan oleh para ahli sangat beraneka ragam, dan
kandungannyapun berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh orientasinya,
konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan atau karena falsafah
yang melandasi luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan.[1]
Kegiatan pendidikan dalam garis besarnya dapat dibagi
tiga: (1) kegiatan pendidikan oleh diri sendiri. (2) kegiatan pendidikan oleh
lingkungan, dan (3) kegiatan pendidikan oleh orang lain terhadap orang
tertentu. Adapun binaan pendidikan dalam garis besarnya mencakup tiga daerah;
(1) daerah jasmani (2) daerah akal, dan (3) daerah hati. Tempat pendidikan juga
ada tiga yang pokok; (1) di dalam rumah tangga, (2) di masyarakat, dan (3) di
sekolah.”[2]
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha
pemberian informasi dan pembentukan ketrampilan saja, namun diperluas, sehingga
mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu
sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. Pendidikan
bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang,
tetapi untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke
tingkat kedewasaan.
Dalam pengertian yang sederhana atau umum makna
pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.[3]
Pendidikan haruslah ditafsirkan secara luas, kini pendidikan
dibatasi hanya sebagai schoolling, oleh sebab itu tanggung jawab
pendidikan oleh masyarakat telah dilimpahkan semuanya oleh sekolah. Hal ini
telah menyebabkan terasingnya pendidikan dari kehidupan nyata dan terlemparnya
masyarakat dari tanggung jawab pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya
dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang
berkembang di dalam suatu masyarakat. Inilah pendidikan suatu proses pembudaya.[4]
Pendidikan ternyata tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan
hidup masyarakat atau dengan kata lain merupakan sebagian dari kebudayaan.
Dengan demikian tujuan pendidikan yang selama ini hanya pembentukan intelektual
semata-mata haruslah diubah, meliputi pembentukan spektrum intelegensi manusia.
Oleh sebab itu program pendidikan sekolah tidak hanya ditujukan kepada
sekelompok kecil anak-anak yang memiliki intelegensi akademik, tetapi juga
harus meliputi perkembangan berbagai macam intelegensi seperti intelegensi
emosional, intelegensi estetik, intelegensi interpersonal, dan seterusnya.[5]
Dengan tinjauan di atas, maka tujuan pendidikan bukan hanya
manusia yang cerdas di dalam arti menguasai kecerdasan akademik, tetapi yang
terpenting adalah ia haruslah manusia yang berbudaya (cerdas dan beradab).
Selain itu dapat kita rumuskan kembali definisi pendidikan nasional adalah
sebagai proses hominisasi dan humanisasi seseorang berlangsung dalam lingkungan
kehidupan keluarga dan masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan.[6]
Defisini yang sederhana di atas mengimplementasikan beberapa
pengertian pendidikan. Pertama-tama ialah bahwa pendidikan bukan hanya
menjadikan manusia itu berbeda dengan binatang yang dapat makan, minum, berpakaian
dan mempunyai tempat tinggal, tetapi juga merupakan suatu proses humanisasi
atau proses pemanusiaan seseorang. Hal ini berarti bahwa inti pendidikan ialah
memiliki dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut hidup dan berkembang,
dikembangkan di lingkungan keluarga dan masyarakat yang berbudaya. Orientasi
kebudayaan tersebut merupakan tuntutan kehidupan masa depan termasuk kehidupan
global.
2. Pengertian Budaya
Dalam ilmu antropologi yang telah menjadikan berbagai cara
hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan sebagai obyek penelitian
dan analisisnya. Maka dalam memberikan batasan terhadap konsep “kebudayaan”
atau “culture” sering sangat berbeda dengan ilmu lain.
Ilmu antropologi mendefinisikan kebudayaan adalah :
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar”.[7]
Definisi lainnya juga diajukan oleh beberapa ahli antropologi
terkenal (C. Wisster, C. Kluchohn, A. Davis/ A. Hoebel). Kebudayaan adalah
“segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (Learned
Behavier).[8]
E.B. Taylor mengemukakan kebudayaan adalah : suatu
keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat dan kecakapan-kecakapan serta kebiasaan-kebiasaan yang
lainnya diperoleh/ dihasilkan manusia sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat mengemukakan kebudayaan adalah seluruh
keseluruhan hasil kelakuan manusia yang teratur dari tata kelakuan yang
diperoleh dengan belajar.
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengemukakan
kebudayaan adalah semua karya dari cipta rasa dan karsa masyarakat.[9]
Budaya juga didefinisikan seluruh hasil usaha manusia dengan budinya berupa
segenap jiwa, yakni : cipta, rasa dan karsa.[10]
Kata “kebudayaan berasal dari kata Sanskarta Buddhayanah,
ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kemudian
kebudayaan itu diartikan : “Hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”.
Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata
itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi,
kekuatan dari akal.[11]
Kekayaan manusia yang paling penting adalah pikiran dan perasaan.
Kekayaan dan perasaan manusia dapat menghasilkan karya yang biasanya disebut
kebudayaan, karena itu manusia disebut sebagai mahluk berbudaya, yang dimaksud
adalah mahluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan
kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu
yang baik, benar dan adil, maka dapat dikatakan hanya manusia yang selalu
berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak
menyandang manusia berbudaya.[12]
Definisi dari kebudayaan di atas hanya salah satu diantara
lebih dari 179 buah definisi lain yang pernah dirumuskan di atas kertas. Bahwa
ada sekian banyak definisi dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan
keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh manusia yang muncul di
muka bumi ini, kira-kira empat juta tahun yang lalu, sampai sekarang. Dengan
demikian dapat dimengerti mengapa konsep kebudayaan itu sedemikian luas ruang
lingkupnya, sehingga seolah-olah tak dapat dibatasi.
Para ahli antropologi pendidikan seperti TheodoreBrameld
melihat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat, dan
kebudayaan.
Nilai budaya adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang
paling bernilai dalam kehidupan masyarakat yang bersifat abstrak dan luas ruang
lingkupnya. Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur, tetapi
walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya
berakar dalam emosional dari alam jiwa manusia.[13]
Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang
harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai
budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem
tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan
khusus, hukum dan norma-norma, semua juga berpedoman kepada sistem nilai
budaya.[14]
Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup
atau world view bagi manusia yang menganutnya. Namun istilah “pandangan
hidup” sebaiknya dipisahkan dari konsep sistem nilai budaya. Pandangan hidup
itu biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat, yang dipilih secara efektif oleh para individu dan
golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian apabila sistem nilai itu
merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar oleh warga masyarakat.
“pandangan hidup” itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh
golongan-golongan lebih sempit lagi individu-individu khusus dalam masyarakat.
karena itu hanya ada pandangan hidup golongan/ individu tertentu, tetapi tak
ada pandangan hidup seluruh masyarakat.[15]
Clifford Geertz mengemukakan bahwa nilai budaya dapat
mempersatukan masyarakat Indonesia terbagi-bagi berdasarkan orientasi nilai
budaya dan agama.[16]
Nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia
Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi
kemasa depan, suatu sistem nilai budaya yang semacam itu akan mendorong manusia
untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti,
dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati terutama
dalam berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas itu amat perlu
untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk
mengakumulasi modal.
Suatu nilai budaya lain yang juga perlu adalah nilai budaya
yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam.
Suatu nilai semacam itu akan menambah kemungkinan inovasi, terutama dalam
teknologi, pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu
tidak harus memanfaatkan teknologi yang makin lama semakin disempurnakan.
Mungkin ada yang beranggapan bahwa kita tidak perlu mengembangkan suatu
mentalitas yang menilai tinggi inovasi, karena kita tidak perlu lagi
mengembangkan teknologi. Sudah banyak bangsa-bangsa maju yang telah
melakukannya, sehingga kita tinggal membeli saja teknologi yang telah mereka
kembangkan. Namun banyak diantara kita sudah mengalami pahit getirnya membeli
teknologi asing itu. Lagi pula teknologi asing tidak bisa begitu saja kita
pakai, tetapi memerlukan suatu adaptasi yang seksama. Adapun usaha untuk
melakukan adaptasi itu sering merupakan suatu proses yang sama sulitnya dengan
mengembangkan teknologi juga memerlukan usaha mentalitas yang menilai tinggi
hasrat bereksplorasi, tetapi juga mutu dan ketelitian.[17]
B.
Lima Kerangka Pokok Dalam
Kehidupan
Untuk
menganalisa semua sistem nilai budaya dari semua kebudayaan yang ada di dunia,
seorang ahli antropologi terkenal Clyde Cluchohn, menemukan lima kerangka pokok
dalam kehidupan. Dengan konsep tersebut C. Cluckhohn bersama dengan istrinya
(Florence Cluckhohn), ia mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai oleh
para ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam
sistem nilai budaya dalam semua macam kebudayaan yang ada di dunia. Kelima
masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka
variasi sistem nilai budaya adalah :
1.
Masalah mengenai hakekat dari
hidup manusia (selanjutnya disebut MH).
2.
Masalah mengenai hakekat dari
karya manusia (selanjutnya disebut MK).
3.
Masalah mengenai hakekat dari
kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disebut MW).
4.
Masalah mengenai hakekat dari
hubungan manusia dengan alam sekitar (selanjutnya disebut MA).
5.
Masalah mengenai hakekat dari
hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disebut MM).[18]
Cara berbagai kebudayaan di dunia mengkonsepsikan kelima
masalah universal tersebut di atas itu mungkin berbeda-beda, walaupun
kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya, misalnya mengenai masalah
pertama (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakekatnya
suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari.
Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh oleh agama Budha misalnya dapat disangka
mengkonsepsikan hidup itu suatu hal yang buruk. Pola-pola tindakan manusia akan
mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan untuk dapat memadamkan
hidup itu (nirvana = meniup habis) dan merehkan segala tingkatan yang hanya
mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara). Adapun kebudayaan-kebudayaan
lain memandang hidup manusia itu pada hakekatnya buruk, tetapi manusia dapat
mengusahakan untuk menjadikannya suatu hal yang baik dan mengembirakan.
Mengenai masalah kedua (MK), ada kebudayaan-kebudayaan yang
memandang bahwa karya manusia pada hakekatnya bertujuan untuk memungkinkan
hidup kebudayaan lagi menganggap hakekat dari karya manusia itu untuk
memberikannya suatu kedudukan yang penuh kehormatan dalam masyarakat, sedangkan
kebudayaan-kebudayaan lain lagi menganggap hakekat karya manusia itu sebagai
suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Kemudian
mengenai masalah ketiga (MW), ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang penting
dalam kehidupan manusia itu masa yang lampau. Dalam kebudayaan-kebudayaan
serupa itu orang akan lebih sering mengambil sebagai pedoman dalam tindakannya,
contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa yang lampau. Sebaliknya, ada
banyak pula kebudayaan dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang
sempit. Warga dari suatu kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri
dengan memikirkan zaman yang lampau maupun masa yang akan datang, mereka hidup
menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini. Kebudayaan-kebudayaan lain
lagi malah justru memntingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin
terhadap masa yang akan datang, dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup
menjadi suatu hal yang penting.
Selanjutnya menganai masalah keempat (MA), ada
kebudayaan-kebudayaan memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat
sehingga manusia pada hakekatnya hanya dapat bersifat menyerah saja tanpa dapat
berusaha banyak, sebaliknya banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam
sebagai suatu hal yang dapat dilawan oleh manusia dan mewajibkan manusia untuk
selalu berusaha menaklukkan alam. Kebudayaan lain lagi menganggap bahwa manusia
hanya dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Akhirnya
mengenai masalah kelima (MM) ada kebudayaan-kebudayaan yang sangat mementingkan
hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Dalam tingkah lakunya
manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada
tokoh-tokoh pemimpin orang-orang senior, atau orang-orang atasan. Kebudayaan
lain lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya.
Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu akan sangat merasa tergantung kepada
sesamanya, dan usaha untuk memilihara hubungan baik dengan tetangganya dan
sesamanya merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dalam hidup, kecuali
itu ada banyak kebudayaan lain yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia
itu tergantung kepada orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan-kebudayaan serupa
itu, yang sangat mementingkan individualime, menilai tinggi anggapan bahwa
manusia terus berdiri sendiri dalam hidupnya, dan sedapat mungkin mencapai
tujuannya dengan bantuan orang lain sedikit mungkin.
C.
Orientasi Pendidikan
Masyarakat Buruh Pabrik
1.
Nilai Budaya Mengenai Hakekat dari
Hidup
Masyarakat buruh pabrik lebih tepatnya pekerja mbathil
adalah masyarakat yang amat sederhana, jika ditanya mengenai masalah ini,
seorang sampling atau informan yang dianggap bisa mewakili dari komunitasnya
menjawab “Sing penting sehat, iso kerjo, Alhamdulillah” (yang penting
badan sehat, bisa kerja, Alhamdulillah).[19]
Dari ucapan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup
adalah sesuatu yang perlu disyukuri, mereka hanya dapat berusaha untuk
mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Dengan menjadi buruh pabrik (mbathil) mereka
sudah merasa cukup dari pada sama sekali tidak bekerja atau menjadi
pengangguran. Dan jika dibandingkan menjadi buruh tani, mereka lebih memilih
menjadi buruh pabrik, walaupun sebagian dari mereka juga mengandalkan dari
pertanian (sawah). Mengapa demikian ? dengan tegas mereka menjawab :
a.
“Akeh senenge ketimbang susahe,
susahe mung bosen ora ono kemajuan, mung ngono wae” (banyak senangnya
daripada susah, susahnya bila tidak ada kemajuan, cuma begitu saja).[20]
Mereka menganggap bahwa buruh pabrik (mbathil) adalah pekerjaan
yang membosankan, perasaan tersebut wajar bagi kita yang melakukan rutinitas
yang sama setiap hari. Karena mbathil adalah pekerjaan yang kurang
menantang, beda dengan menjahit, misalnya tiap ada ganti model, dituntut harus
dapat membuatnya, Jadi ada pergantian tiap bulannya bahkan bisa tiap minggunya.
b.
Alasan kedua “Nak kawin, manak,
loro ning rumah sakit, ono kematian ditanggung, durung mengko ono cuti, jasa,
premi karo THR” (menikah, melahirkan, sakit di rumah sakit, ada kematian,
ditanggung, belum nanti ada cuti, jasa, premi dan THR).[21]
Dengan bekerja sebagai buruh pabrik mereka bisa
mendapatkan asuransi jiwa, dan hak-hak buruh pabrik lainnya, yang akan dibahas
dalam sub bab selanjutnya.
Keuntungan lainnya adalah mereka mendapatkan
tunjangan. Tunjangan-tunjangan tersebut antara lain :
a.
Menikah mendapat ± Rp. 17.000,-
b.
Melahirkan mendapatkan ± Rp. 1
juta.
c.
Kematian mendapatkan ± Rp. 3 juta.
d.
Masuk rumah sakit (rawat inap)
ditanggung.
e.
Dapat cuti, dihitung dari
kedisiplinan mereka dalam masuk kerja per tahun, jika disiplinnya tinggi
mendapatkan ± Rp. 80.000,-
f.
Hari libur nasional (premi) selain
hari minggu mendapat ± Rp. 7.000,-
g.
Dapat jasa, natalan/ akhir tahun
mendapatkan ± Rp. 300.000,-
h.
THR (Tunjangan Hari Raya)
mendapatkan ± Rp. 300.000,-
2.
Hakekat Karya Manusia
Segala tindakan manusia memang mengarah kepada
pemenuhan kebutuhan hidup terutama dalam hal pangan. Masyarakat buruh pabrik
memang semula mempunyai mata pencaharian petani. Sebagai petani di desa
Ngemplak yang terkondisikan lahan tandus, maka hal tersebut tidak menjanjikan
untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Untuk mengatasi masalah tersebut,
mereka (petani) alih profesi menjadi buruh industri atau buruh bangunan sebagai
pelarian.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan memang sangat mendesak
bagi setiap manusia. Para buruh pabrik dalam hal ini memang memperoleh
keuntungan-keuntungan sebagaimana tersebut di atas. Tetapi ada juga kerugian
yang mereka tidak sadari yaitu dalam hal pengawasan terhadap anak-anak mereka.
pada saat anak-anak sangat membutuhkan pengawasan tetapi orang tuanya (ibu)
sibuk bekerja di pabrik.
Para buruh pabrik (mbathil) semuanya adalah
perempuan yang terdiri dari ibu rumah tangga dan remaja (± 13-19 tahun), justru
mereka merasa senang dan bangga dengan apa yang telah ada. Uang yang mereka
hasilkan dari mbathil dapat membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga
(bagi yang berkeluarga). Bagi yang belum keluarga (remaja), meraka merasa
senang dan cukup bangga dengan bisa membantu orang tua dengan tidak meminta
uang jajan, dan merasa puas dapat menikmati jerih payahnya.
Seorang remaja berkata : “Sopo sing ora pingin
bantu wong tuwo, yo… mending mbathil ketimbang ora kerjo, piro-piro ora njaluk
wong tuwo, aku wis ayem iso njajan karo duwitku dewe” (siapa yang tidak
ingin membantu orang tua, lebih baik mbathil daripada tidak kerja, lebih-lebih
tidak meminta orang tua, saya sudah senang bisa jajan dengan uang saya
sendiri).[22]
Lain halnya dengan yang sudah berumah tangga “Alhamdulillah
sedinane iso tak cukup-cukupno, kanggo nglurokno sangune anak, karo jajane anak
yo…wis seneng, trimo mangkat ucap-ucapane modal raup” (Alhamdulillah,
seharinya bisa saya cukupkan, dan buat mencari uang jajan anak, saya sudah
senang, hanya bermodal cuci muka saja).[23]
Mereka sudah puas apa yang diperolehnya, secara
rutinitas dari jam 5 pagi sampai jam 10-12 siang, dengan mendapatkan gaji ± Rp.
10.000,- per hari. Bagi meraka yang rata-rata hidup sederhana, dengan uang
tersebut dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan sudah merasa
cukup, belum lagi ditambah penghasilan suaminya.
Jadi dapat disimpulkan karya menurut mereka adalah uang
yang dihasilkan dari bekerja (mbathil). Uang adalah segala-galanya,
dengan uang mereka bisa melakukan apa saja terutama untuk mencukupi kebutuhan
yang semakin meningkat. Bagi sebagian orang tua yang mempunyai cukup uang, akan
menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang SLTA, namun bagi yang tidak mampu,
tidak ada pekerjaan lain selain anak-anak tersebut membantu perokonomian
keluarga. Fenomena anak-anak yang telah ikut serta dalam kegiatan ekonomi baik
yang mendapatkan upah atau tidak telah dipaparkan dalam beberapa studi tentang
kehidupan di pedesaan Indonesia sejak tahun 1960.
3.
Persepsi Tentang Waktu
Masyarakat buruh pabrik dari waktu ke waktu mempunyai
rutinitas yang sama, namun jika ditanya tentang masa depan, dapat dipastikan
setiap orang pasti menjawabnya sama, yaitu punya rencana untuk maju. Begitu
pula dengan mereka buruh pabrik (mbathil) mempunyai keinginan untuk
menjadi yang lebih baik, mempunyai usaha sendiri (wiraswasta), tidak menjadi
buruh lagi (berdagang misalnya), mereka ingin menyekolahkan anak-anaknya ke
jenjang yang lebih tinggi lagi sampai ke Perguruan Tinggi (kuliah), supaya
tidak megikuti jejak orang tuanya. Akan tetapi keinginan-keinginan untuk
perbaikan ke arah masa depan tersebut mengalami berbagai macam hambatan
diantaranya adalah :
a.
Biaya
1)
Gaji seorang buruh tidak cukup
untuk modal (berspekulasi di dunia perdagangan).
2)
Gaji seorang buruh tidak cukup
menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang Perguruan Tinggi, yang biasanya rata-rata
meraka mempunyai lebih dari dua orang anak.
b.
Pendidikan rendah
1)
Mayoritas meraka adalah lulusan
dari SD dan SLTP.
2)
Tidak mempunyai ketrampilan.
c.
Lingkungan Desa Ngemplak Undaan
Kudus
1)
Mayoritas pendidikannya rendah
(lulusan Diploma - S1 ± 20 orang).
2)
Mayoritas pekerja buruh pabrik.
3)
Dekat dengan lokasi pabrik.
4)
Pabrik membuka lowongan
seluas-luasnya untuk pekerja mbathil.
5)
Kebiasan masyarakat buruh pabrik (mbathil)
merupakan pekerjaan warisan/ diturunkan dari orang tua ke anak).
Jadi mereka hanya bisa
berharap saja, dan hidup menurut keadaan yang sudah ada pada masa sekarang,
mengikuti arus atau pasrah terhadap keadaan yang ada.
“Nak bejo yo ora mbathil, enthuk bojo adoh misale,
ning nak ijeh ning kene yo… mengkene terus”. (kalau beruntung ya tidak
mbatil, dapat suami orang jauh misalnya, namun kalau masih disini ya… tetep
mbathil terus)[24]
Orientasi mereka yang semacam itu dikarenakan warisan
masa lalu, mereka terjebak menjadi seorang buruh, karena orang tua mereka semua
memang menjadi buruh pabrik.
4.
Hakekat Hubungan Manusia dengan
Alam
Setiap manusia hidup dikelilingi oleh alam semesta,
tetapi sebagian besar masyarakat buruh pabrik tidak banyak dipengaruhi dengan
keadaan alam dalam kehidupannya. Tidak ada usaha untuk melawan, meraka hanya
bisa mengikuti keadaan alam yang terjadi. Pada musim hujan dan kemarau
misalnya, tidak ada perbedaan-perbedaan yang dilakukan (sama), artinya tidak
terpengaruh, namun demikian masih ada pengaruhnya walaupun sedikit, hal ini
dikarenakan meraka hidup dengan sebagian besar masyarakat petani dan mempunyai
anggota keluarga petani (orang tua/ suami).
Masih ada tradisi-tradisi berhubungan dengan alam, yang masih
mereka lakukan, misalnya; pada waktu malam 1 syuro, biasanya mereka semalam
tidak tidur atau tidur kalau waktu sudah lewat pukul 00.00. Hal ini dimaksudkan
untuk menanggulangi wabah penyakit yang mereka yakini setiap datangnya pada
bulan syuro. Ada juga selametan-selametan yang mereka lakukan, diantaranya
adalah pada saat akan diadakan pesta pernikahan atau khitan yang seing kita
sebut gawe. Sehari sebelum hari yang ditentukan diadakan selametan dan
hal tersebut biasanya dipimpin seorang Kyai untuk membaca manaqib.
Hal-hal tersebut menandakan bahwa masyarakat buruh pabrik,
percaya pengaruh-pengaruh dari alam yang dahsyat, maka mereka melakukan hal-hal
tersebut di atas karena mereka tunduk terhadap kekuatan-kekuatan yang terdapat
dalam alam. Hal yang demikian ini juga dapat kita maknai dari warisan nenek
moyang mereka (Agama Hindu – Budha). Yang menunjukkan orientasi mereka
dipengaruhi oleh orientasi masa lalu.
Meraka hanya pasrah terhadap nasib, tak banyak usaha untuk
mengubahnya. Hal tersebut juga dapat kita ketahui dari pernyataan saudari
Sukaenah yang menggantungkan kepada nasib, jika nasib meraka baik meraka bisa
mengubah keadaannya.
5.
Hubungan Manusia dengan Sesamanya
Dalam hal ini penulis dapat mengamati dalam kehiduapan
meraka sehari-hari. Masyarakat buruh pabrik menilai dalam berhubungan dengan
tetangga dan teman kerja harus saling tepo seliro (saling tenggang
rasa). Konsep tersebut harus kita artikan dengan konsep gotong royong.
Menurut Koentjaraningrat, konsep gotong royong merupakan
suatu konsep yang erat bersangkut-paut dengan kehidupan rakyat sebagai petani
dalam masyarakat desa.[25]
Tetapi aktivitas gotong royong tidak hanya dalam produksi pertanian (para
petani) saja, gotong royong juga tampak dalam kehiduapan masyarakat buruh
pabrik, di antaranya yaitu :
a.
Jika teman satu dampar (meja)
terlambat dalam menyelesaikan pekerjaan (mbathil) maka yang sudah
selesai membantu menyelesaikan dengan Cuma-Cuma, kadang-kadang dibantu oleh
teman dari meja (dampar) lain, yang merupakan tetangganya, dengan
harapan dapat pulang sama-sama. Hal tersebut terjadi dalam hubungan teman
kerja.
b.
Dalam hubungan dengan tetangga,
terdapat istilah “rewang” yaitu tolong menolong untuk membantu
menyelenggarakan pesta pernikahan, khitanan, dan upacara-upacara lain (puputan/
lepasnya tali pusar, hamil tujuh bulan/ mithoni, melahirkan/ krayanan). Rewang
biasanya dilakukan tanpa pamrih dan dilakukan secara bergantian dengan
tetangganya yang punya hajat. Rewang juga disebut “sambatan”.
c.
Kadang-kadang mereka saling
memberi hasil dari sawah dan makanan sehari-hari walaupun berupa semangkok
sayur, dan lain-lain.
Dengan demikian masyarakat buruh pabrik menganggap
menjaga hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya merupakan suatu hal yang
penting dalam hidup, karena manusia pada dasarnya mahluk sosial.
Untuk memudahkan para pembaca, maka penulis mencoba
mencantumkan penelitian di atas dalam tabel.
Tabel 1
ORIENTASI NILAI BUDAYA MASYARAKAT BURUH PABRIK DI
DESA NGEMPLAK UNDAAN KUDUS
Masalah Dasar dalam
Hidup
|
Orientasi Nilai
Budaya
|
Hakekat hidup
|
·
Hidup adalah sesuatu yang
disyukuri
·
Hidup adalah sebuah
perjuangan (kerja) untuk mencukupi kebutuhan
|
Hakekat karya
|
·
Karya adalah uang
·
Karya untuk nafkah hidup
·
Karya memberikan sebuah
kebanggaan
|
Persepsi manusia tentang waktu
|
·
Orientasi ke masa depan,
namun meraka menjalani hidup dengan apa adanya dan pasrah terhadap keadaan
|
Pandangan manusia terhadap alam
|
·
Tidak banyak dipengaruhi
oleh alam
·
Pasrah terhadap nasib
|
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya
|
·
Orientasi kolateral
(horizontal), rasa ketergantungan pada sesamanya berjiwa gotong royong
|
D.
Hak dan Kewajiban Buruh/
Pekerja Pabrik
1.
Hak Pekerja
a.
Setiap pekerja/ buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 Ayat 1).
b.
Tuntutan upah pekerja/ buruh dan
segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah
melampaui jangka waktu 2 tahun (dua tahun sejak timbul hak) (Undang-undang RI
No. 13 Tahun 2003 Pasal 96).
c.
Menerima tunjangan bila sakit
(Undnag-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 93 Ayat 3).
d.
Hak mendirikan dan menjadi anggota
perserikatan tenaga kerja (Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 104 Ayat
1).
e.
Menerima hak jaminan tenaga kerja
(Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Pasal 4 Ayat 1).
f.
Hak untuk berorganisasi dan
berunding bersama (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 18 Tahun 1956 tentang
konvensi ILO).
g.
Hak penerimaan upah pada hari raya
resmi (Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER. 03/ MEN/ 1987).
2.
Kewajiban Pekerja
Berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 1954 tentang
perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan adalah sebagai berikut :
a.
Serikat buruh wajib mengusahakan
agar anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk mereka.
b.
Wajib memberitahu isi perjanjian
kepada angota-anggotanya berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
disebutkan pada pasal-pasal sebagai berikut :
1)
Pasal 1603 : “Si buruh diwajibkan
melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya dengan
sebaik-baiknya”.
2)
Pasal 1063 : “Si buruh diwajibkan
sendiri melakukan pekerjaannya, tidak boleh digantikan, selain izin si majikan
dalam melakukan pekerjaan itu digantikan oleh orang ketiga”.
3)
Pasal 1603 : “Si buruh diwajibkan
mentaati aturan-aturan yang ditunjukkan pada perbaikan tata tertib dalam
perusahaan majikan”.
3.
Pengertian Upah
a.
Berdasarkan undang-undang
kecelakaan tahun 1947 nomor 33 pasal 4 ayat 1 yang dimaksud dengan kata “upah”
dalam undang-undang ini adalah :
1)
Tiap-tiap pembayaran berupa uang
yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan.
2)
Perumahan, makanan, bahkan makanan
dan pakaian dengan percuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum di tempat
itu.
b.
Pengertian upah juga terdapat di
dalam Undang-undang RI No. 3 Tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja,
yakni terkandung dalam pasal 1 ayat (5) dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan upah adalah :
Suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja
untuk suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan, dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan
perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri
maupun keluarganya.
Demi meningkatkan taraf hidup (upah) pekerja/ buruh.
Biasanya meraka melakukan beberapa usaha melalui proses pendidikan yang dapat
ditempuh melalui 3 jalur, yaitu :
a.
Pendidikan formal (sekolah).
b.
Pendidikan informal (kursus
ketrampilan).
c.
Pendidikan magang (belajar
sekaligus bekerja).
Menurut Ubu Ahmad dan Nur Uhbiyati pendidikan terdapat
tiga bagian yaitu :
a.
Pendidikan formal adalah pendidikan
yang mempunyai jenjang yang bertingkat, seperti lembaga pendidikan SD dari
kelas I sampai dengan kelas VI, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi yang dilakukan
karena tugas jabatan oleh guru kepada murid-muridnya.
b.
Pendidikan informal adalah
pendidikan tidak resmi yaitu pendidikan keluarga yang dilakukan karena
kewajiban kodrati oleh orang tua kepada anaknya.
c.
Pendidikan non formal yaitu
pendidikan tersebut bukan resmi seperti dalam pramuka, Organisasi masyarakat,
PKK, pengajian dan sebagainya.[26]
Di samping Tri Pusat pendidikan tersebut, dengan
istilah-istilah yang berbeda, ada juga yang mengatakan istilah lain yaitu
pendidikan unformal (tak resmi). Istilah informal ini dimaksudkan untuk
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak mempunyai jenjang tertinggi, seperti kursus-kursus,
misalnya kursus mengetik, montir, menjahit, computer dan lain-lain.
Asmuni Syukir dalam bukunya Dasar-Dasar Strategi Dakwah
Islam, juga menyebutkan bahwa “Pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang
memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin dan sebagainya,
seperti sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan lain sebagainya.[27]
Dari bahasan di atas dapat diasumsikan bahwa untuk
meningkatkan produktifitas rakyat, perlu memiliki pendidikan yang memadai.
Namun, usaha dalam peningkatan taraf hidup atau lebih sering kita dengar dengan
pengentasan kemiskinan melalui jalur-jalur pendidikan tersebut marupakan usaha
yang sia-sia saja, karena pendidikan perlu banyak biaya, apalagi masa sekarang
ini, kebutuhan hidup meningkat termasuk di dalamnya biaya pendidikan. Dalam
kenyataan usaha-usaha yang dilakukan masyarakat hanya untuk bertahan hidup dan
perhatian dibidang pendidikan sama sekali tidak ada.
Perlu disadari bahwa mayoritas dari mereka yang termasuk
katagori miskin tinggal di pedesaan, sekarang ini tercatat 27,2 juta jiwa
dikatagorikan miskin dan hidup di 20,663 desa tertinggal, yang terdiri atas
18,625 berada di pedesaan dan hanya 1008 yang berada di perkotaan.[28]
[1]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif, Remaja
Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm 26.
[2]Ibid.
[3]Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, Rineka
Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 2.
[4]HAR. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat
Madani Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999, hlm. 9.
[5]HAR. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional,
Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 53.
[6]Ibid, hlm.
54.
[7]Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 180.
[8]Ibid, hlm.
180.
[9]Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan, Rineka
Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 16.
[10]Djoko Widagdho, Op.cit, hlm,. 27.
[11]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 9.
[12]Djoko Widagdho, et.al, Ilmu Budaya Dasar, Bumi
Aksara, Jakarta, 1994, hlm. 24.
[13]Ibid, hlm.
11.
[14]Ibid, hlm.
25.
[15]Kontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Op.cit,
hlm. 193-194.
[16]Syafri Suirin, Perubahan Sosial Masyarakat
Indonesia Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2001, hlm. 5.
[17]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, Op.cit, hlm. 34.
[18] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
Op.cit, hlm. 191.
[19] Hasil Wawancara dengan Saudari Sukaenah, Pada tanggal
20 Mei 2004.
[20] Hasil Wawancara dengan Saudari Sukaenah, Pada tanggal
20 Mei 2004.
[21] Hasil Wawancara dengan Saudari Sukaenah, Pada tanggal
20 Mei 2004.
[22] Hasil Wawancara dengan Saudari Sukaenah, Pada tanggal
23 Mei 2004.
[23] Hasil Wawancara dengan Saudari Sukaenah, Pada tanggal
23 Mei 2004.
[24] Hasil Wawancara dengan Saudari Sukaenah, Pada tanggal
23 Mei 2004.
[25] Syafri Suirini, Op.cit, hlm. 26.
[26]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 191.
[27]Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam,
Al-Ikhlas, Surabaya, 1983, hlm. 168.
0 Response to "ORIENTASI PENDIDIKAN MASYARAKAT BURUH"
Post a Comment