PERNIKAHAN
DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan
berasal dari bahasa arab yaitu Nikah : نكاح , yang berarti menikah; kawin.[1]
Kemudian dari kata itu Kamal Muhtar
mendefinisikan arti nikah sebagai berikut :
“Nikah menurut bahasa mempunyai dua
arti : arti haqiqat (sebenarnya) dan arti majaz (kiasan). Arti haqiqat dari
nikah adalah “dham”, yaitu menghimpit, menindih atau
berkumpul/bersetubuh, sedang arti majaznya adalah watha’, yang berarti
bersetubuh atau akad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.”[2]
Menurut
pasal 1 Undang-Undang No. 1 Th. 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Dan dalam Kompilasi Hukum Islam ialah akad yang sangat kuat atau (mitsaqon
golidzon) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.[4]
Sedangkan
menurut Ali Hamidi bahwa “pernikahan itu merupakan salah satu daripada
keperluan jasmani yang telah digariskan oleh Allah untuk menjaga kondisi
bangsa”.[5]
Bertitik
tolak dari uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara pria dan wanita demi membangun rumah tangga dalam rangka
untuk mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani yang telah digariskan oleh Allah
atas dasar kesucian, oleh karena itu orang yang melaksanakan pernikahan akan
memperoleh ketenangan dan ketentraman dalam suatu keluarga.
Dengan
penjelasan di atas dapat diambil pelajaran bahwa dengan pernikahan akan
menciptakan cinta mencintai, kasih mengasihi antara keduanya dalam rangka untuk
membentuk keluarga sejahtera kekal yang meliputi rasa kasih sayang untuk
mencapai suatu tujuan, maka calon suami istri perlu mempersiapkan diri dengan
baik fisik maupun psikis dalam menghadapi rumah tangga.
Di
samping itu pernikahan merupakan awal kehidupan keluarga, untuk melaksanakan
harus sesuai dengan ketentuan agama dan undang-undang yang berlaku. Pernikahan
yang dilaksanakan yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut akan dapat
menimbulkan masalah dalam keluarga dan masyarakat. Sedang pernikahan yang tidak
memenuhi ketentuan agama adalah perzinaan. Untuk itu maka di bawah ini akan
diuraikan secara singkat berbagai hal mengenai masalah yang berhubungan dengan
pernikahan.
1. Dasar dan
Hukum Melakukan Pernikahan
a. Dasar
Pernikahan
Pernikahan
adalah sunnatullah pada hamba-hambanya. Dengan menikah, Allah menghendaki agar
mereka mengemudikan bahtera kehidupan secara bersama. Di dalam Al-Qur’an
disebutkan tentang perintah untuk menikah, seperti yang termaktub dalam Surat
An-Nur ayat 32 yang berbunyi :
وَانْكِحُوْاْلأَيَامى
مِنْكُمْ وَالصَلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ قلى
اِنْ يكُوْنُوْافُقَرَاءَ يُغْنِهُمُ الله ُمِنْ فَضْلِه والله
واسع عليم (النور : 32)
Artinya
: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS. An-Nur : 32).[6]
Kemudian
dalam surat Ar-Ra’du ayat 38.
ولقد ارسلنا رسولا من
قبلك وجعلنا لهم ازواجا وذ ريه..(الرعد: 38)
Artinya
: “Dan sesungguhnya kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan”.[7]
Begitu
pula dalam hadits-hadits Nabi seperti :
وَأمَااْلاَخْبَارَفَقَوْلُهُ صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ :
اَلنِكَاحُ سُنَتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِى فَقَدْ رَغِبَ عَنِى.[8]
Artinya : “Rasulullah
bersabda: Nikah adalah sunnahku. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku,
maka ia tidak menyukaiku”. (HR. Ibnu Abbas).
عن انس ابن ما لك رضي الله
عنه ان النبي صَلَى الله ُعَلَيْهِ
وَسَلَم حمدالله واثني عليه وقال: (لكني انا اصلي وانا م واصوم وافطر واتزوج
النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني.( متفق عليهَ)
[9]
Artinya :
“Dari Anas putera Malik r.a.
Bahwasannya Rasulullah Saw. Setelah bertahmid dan menyanjung-Nya, kemudian
bersabda: melainkan akupun sholat, tidur dan puasa serta berbuka dan mengawini
perempuan, maka barang siapa yang tidak suka akan sunnahku, maka ia bukan dari
golonganku. (Muttafaqun ‘alaihi).
Berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadits di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa itu merupakan
ajaran Islam “Sunnah Rasul”, maka nikah dapat dikategorikan sebagai ibadah,
oleh sebab itu kita diharapkan untuk melaksanakannya.
b.
Hukum Melakukan Pernikahan
Dalam
melakukan pernikahan yang merupakan Sunnah Rasul tidak serta merta semua orang
bisa dengan leluasa menikah, namun ada hukum-hukum tertentu yang telah
ditetapkan para ulama’.
Dalam
penentuan hukum pernikahan para fuqoha’ berbeda pendapat. Menurut Mazhab Syafi’i
hukum nikah adalah mubah (boleh), menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali
nikah hukumnya adalah sunnah. Kemudian kalau dikaitkan dengan kondisi seseorang
serta niat dan akibat-akibatnya, maka para ulama’ sepakat bahwa hukum nikah itu
ada lima, yaitu :
1) Wajib : Ketentuan
ini berlaku bagi orang yang telah mempunyai kemauan untuk kawin dan apabila
tidak menikah dikhawatirkan akan tergelincir pada perzinahan.
2) Sunnah : Ketentuan
ini berlaku bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan, namun jika tidak
menikah tidak dikhawatirkan untuk berbuat zina.
3) Mubah : Ketentuan
ini berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan, tapi bila tidak melakukannnya
tidak dikhawatirkan akan berzina dan apabila menikah juga tidak akan
menelantarkan istri pernikahan orang itu hanya didasarkan untuk memenuhi
kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan dan membina keluarga
sejahtera.
4) Makruh : Ketentuan
ini berlaku bagi orang yang mempunyai keinginan untuk menikah juga cukup
mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya
untuk berbuat zina jika ia tidak menikah, hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan untk dapat memenuhi kewajiban yang baik
5) Haram : Ketentuan ini berlaku bagi orang yang tidak
mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai tanggung jawab.[10]
2.
Tujuan Melakukan Pernikahan
Mengenai
hal ini Allah berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 21, yang berbunyi :
وَمِنْ
ايتِه انْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًالِّتَسْكُنُوْا
اِلَيْهَاوَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةًوَّرَحْمَهً قلى اِنَ فِىذلِكَ
لاَ يتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ. (الروم : 21)
Artinya
: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya
ialah Dia menciptakan untukmu istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadaNya
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir…” (QS. Ar
Ruum : 21).[11]
Dan
kemudian dijelaskan pula dalam Surat An-Nur ayat 23 yang berbunyi :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَيَجِدُ وْنَ
نِكَا حًا حَتَّى يُغْنِهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِه
(النور : 33)
Artinya :
“Dan orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian (diri) nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”. (QS. An-Nur : 33).[12]
Berdasarkan
pengertian yang tertuang dalam ayat Al-Qur'an di atas kiranya dapat diambil
kesimpulan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh rasa tentram, kasih
sayang (Mawaddah warahmah) dan untuk menjaga kehormatan diri.
Di
samping itu Aunur Rohim Faqih dalam Bimbingan dan Konseling Islam menyebutkan
bahwa tujuan pernikahan adalah :
a. Dapat
tersalurkannya nafsu seksual dengan sebagaimana mestinya dan juga sehat
(jasmani dan rohani) baik alamiah maupun agamis.
b. Tersalurkannya
perasaan kasih dan sayang yang sehat antar jenis kelamin yang berbeda.
c. Tersalurkannya
naluri keibuan seorang wanita dan naluri kebapakan seorang pria, yakni dengan
cara memperoleh keturunan.
d. kebutuhan akan
rasa aman, memberi dan memperoleh perlindungan dan kedamaian, terwadahi dan
tersalurkan secara sehat.
e. Pembentukan
generasi mendatang yang sehat, baik kuantitas maupun kualitas. [13]
3. Macam-macam pernikahan
Perkawinan
atau pernikahan di dalam agama Islam ada berbagai macam, antara lain :
a. Perkawinan
Campuran
Perkawinan campuran
menurut UU No 1 Tahun 1974 adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah
satu berkewarganegaraan Indonesia.[14]
b. Perkawinan
Muhallil
Perkawinan muhallil
adalah perkawinan seorang lelaki, sesudah wanita itu diceraikan oleh suami
pertama. Lalu muhallil itu kawin dengan wanita tersebut. Kemudian ia dicerai.
Dan sesudah iddah berlalu, maka wanita itu menjadi halal untk dinikahi suami
pertama. Dari itulah ia dinamakan muhallil yakni menghalalkan pernikahan itu.[15]
c. Kawin mut’ah
Kawin mut’ah asli
maknanya adalah bersenang-senang. Sedangkan pengertiannya adalah perkawinan
yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja, dan dalam waktu
tertentu saja, apakah seminggu, 2 minggu atau sebulan.[16]
d. Nikah Sirri
Sirri berarti
sembunyi-sembunyi atau diam-diam atau tidak terbuka. Jadi nikah sirri diartikan
sebagai nikah yang sudah sesuai dengan ketentuan agama, tetapi tidak dicatat
dalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA. Dll).[17]
4.
Faktor-faktor yang Harus Dipertimbangkan
dalam Pernikahan
Selama
ini masih banyak orang yang kurang memikirkan pernikahan, sehingga banyak
kejadian yang tidak diijinkan setelah proses pernikahan itu berlangsung, hal
tersebut barangkali disebabkan adanya kecenderungan untuk berkeluarga, dan orang
tua itu sendiri selalu mendorong anaknya baik yang sudah mencapai usia ataupun
yang belum untuk segera menikah. Dan kadang-kadang mereka itu tidak memikirkan
akibatnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Zakiah Daradjat bahwa “Kondisi seperti itu berlaku pada semua
suku bangsa dan semua tingkat social, yakni mulai dari yang terendah sampai
kepada yang tertinggi, dari yang paling terbelakang sampai yang paling maju.”[18]
Betapa
banyak suami istri yang tidak dapat menikmati keharmonisan dalam kehidupan
berkeluarga, tapi mereka tetap berlangsung, karena mereka malu bercerai dan
merasa kasihan kepada anak-anaknya, sehingga kehidupan berkeluarga tetap
berjalan terus walaupun segala kepahitan dan kehampaan mereka alami.
Sebetulnya
banyak faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya keharmonisan dalam keluarga,
adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pernikahan yaitu :
a. Faktor Usia
Ditinjau
dari segi usia banyaknya selisih usia, suami dengan istri dapat dikatakan
pasangan yang kurang ideal, walaupun hal itu tidak mutlak, tetapi kenyataan
banyak membenarkan. Pengalaman menunjukkan bahwa wanita akan lebih cepat
kelihatan tua dari pada pria. Hal ini dimungkinkan karena proses menstruasi,
mengandung, melahirkan, dan sebagainya. Agar tercapai keharmonisan dalam
keluarga, maka usia pria sebaiknya lebih tua dari pada wanita.
Hal
ini sebagaimana pendapat Ali Akbar “Sebaiknya pria lebih tua dari pada wanita
3-6 tahun”.[19]
Hal ini dimaksudkan keselarasan dalam keluarga, dan secara psikologis akan
lebih menguntungkan, biasanya pria yang lebih tua akan mempunyai rasa tanggung
jawab yang besar dan dihormati istrinya.
b. Faktor
Pendidikan
Pengalaman
menunjukkan bahwa suami istri itu sebagian besar bertemu setelah dewasa atau
paling cepat setelah remaja, yang kadang-kadang kurang diketahui latar belakang
pendidikannya. Sehingga tidak jarang timbul perselisihan hanya karena remaja
saja, mungkin karena tidak adanya pengetahuan atau terlalu rendahnya pendidikan
yang dimilikinya.
Untuk
menciptakan keluarga yang harmonis
sangatlah perlu suami istri mengetahui latar belakang pendidikan masing-masing.
Orang yang berpendidikan tinggi mempunyai pandangan hidup lain dengan orang
yang berpendidikan rendah, dengan demikian keseimbangan pendidikan sangatlah
diperhatikan.
Hal
ini sebagaimana pendapat Ali Akbar “Sebaiknya mengambil wanita yang
pendidikannya tidak begitu jauh berbeda dengan pria, sehingga si wanita dapat
memahami inspirasi si suami dan membantu dimana ia diperlukan. Jangan istri itu
merasa sangat tertinggal dari suaminya.[20]
Dengan
latar belakang pendidikan yang tidak terlalu jauh, maka dalam kehidupan
berkeluarga akan mengetahui apa yang menjadi keinginan yang ada pada suami dan
suamipun dengan mudah akan mengetahui bagaimana memperlakukan istrinya. Apapun
keseimbangan antara suami istri dalam hal pendidikan kemungkinan besar rumah
tangga harmonis akan tercipta.
c. Faktor Agama
Agama
merupakan faktor yang sangat penting, karena dalam suatu pernikahan bila
terjadi perbedaan agama antara suami dan istri kemungkinan kecil akan membaca
keharmonisan, mengapa demikian? Karena masing-masing agama membawa syari'at
sendiri-sendiri dalam pengalamannya. Dalm Islam agama membawa peranan penting
dalam membentuk keluarga yang harmonis, karena dengan agama yang kuat akan
memperoleh keuntungan yang dapat menentramkan diantara keduanya dan
anak-anaknya. Maka wajarlah bila Islam menganjurkan menikah dengan sesama
Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah : 22
وَلاَتَنْكِحُوْالْمُشْرِكتِ حَتىّ يُؤْمِنَّ ط وَلاََ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ
وَّلَوْاَعْجَبَتْكُمْ ج وَلاَ
تُنْكِحُوالْمُشْرِكِيْنَ حَتّى يُؤْ مِنُوْا ط وَلَعَبْدُ مُؤْ مِنٌ
خَيْرُ مِِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْاَعْجَبَكُمْ قلى
Artinya
: “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
jangan pula kamu sekalian para wali menikahkan orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. Al
Baqarah : 221).[21]
Berdasarkan
pengertian ayat di atas, jelaslah bahwa sama-sama memeluk agama Islam menjadi
syarat mutlak untuk mencari jodoh seorang muslim. Oleh karena itu sebelum
menjatuhkan pilihan harus berhati-hati, dan mengetahui agama terlebih dahulu.
Sesuai dengan anjuran Rasulullah bahwa pilihan karena agamanya, maka akan
beruntunglah kamu.
Dengan
demikian jelaslah bahwa persamaan agama juga merupakan faktor yang harus
diperhitungkan untuk menciptakan keluarga serta meneruskan keluarga yang baik,
karena perbedaan agama dan kepercayaan sering membawa konflik di dalam keluarga
dan membingungkan anak-anak mereka di dalam pendidikan keagamaan.
d. Faktor Akhlak
dan Moral
Akhlak
atau budi pekerti adalah merupakan syarat yang sangat penting dalam pembentukan
suatu rumah tangga, sebab dengan budi pekerti yang baik dan kuatnya keyakinan
agama akan menjadi suatu sendi yang kokoh dan kuat dalam membangun kehidupan
rumah tangga. Perempuan yang taat terhadap agamanya akan setia dan patuh
terhadap suaminya, sehingga dirinya akan menjadi wanita yang sholihah sebagai
perhiasan dunia. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah yang berbunyi :
عَنْ
عَمْرٍابْنِ الْعَاصِى أَنَّ رَسُوْ لَ اللِه صَلْعَمْ قَالَ اِنَّ الدُّنْيَا
كُلِّهَا مَتَاعٌ خَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْياَ المَرْ أَةُ الصَّالِحَةُ (النسائ)
Artinya : “Dari Amr
bin ‘Ash : Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya dunia seluruhnya
adalah bagaikan perhiasan, tetapi sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan
yang sholihah (Hadits Riwayat Nasa’i).[22]
Begitu
pula hanya bagi perempuan mamilih calon suami pilihlah suami yang taat terhadap
agama, karena suami yang taat terhadap agama, akan bertanggung jawab penuh atas
pemeliharaan rumah tangganya, dan akan memperlakukan istrinya dengan
sebaik-baiknya.
Dengan
demikian jelaslah ketaatan seorang laki-laki terhadap agama itu akan melahirkan
suatu kebaikan dan pertanggung jawaban terhadap pengurusan rumah tangganya.
Oleh karenanya, hendaklah pilihan agama merupakan syarat utama bagi calon
suami.
e. Faktor
Keturunan atau Nasab
Termasuk
salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang sehat dan
baik. Berkaitan dengan hal tersebut telah dijelaskan oleh Ali sebagai seorang
dokter spesialis anak sebagai berikut :
“Bila kita ingin memperoleh
keturunan yang sehat dan baik, maka penting sekali untuk meneliti keturunan
masing-masing calon suami istri terutama meneliti keturunan masing-masing calon
suami istri terutama mengenai penyakit keturunan, seperti ayan (epilepsi),
kurang cerdas (bukan karena kurang pendidikan), penyakit gila, penyakit
menular, seperti syphilis”.[23]
Dengan
demikian jelaslah bahwa faktor keturunan haruslah diperhitungkan dalam
membangun rumah tangga yang harmonis, khususnya dalam mendapatkan keturunan
yang baik dan sehat, sebagai usaha lahiriyah, karena keturunan yang baik
biasanya akan menurunkan keturunan yang baik pula.
f. Faktor Rupa
Rupa
adalah faktor yang ikut menentukan pula bagi tercapainya kebahagiaan pernikahan
dan kehidupan rumah tangga, sebab rupa atau kecantikan ini sebagai daya tarik
yang pertama kali dalam timbulnya simpati dan cinta kasih seseorang. Memang
benar pada prinsipnya setiap orang menyukai kecantikan, sehingga kecantikan ini
mempunyai andil yang sangat besar sekali terhadap perasaan kasih sayang
seseorang kepada lawan jenisnya.
Berkaitan
dengan hal di atas, maka Rasulullah Saw, selalu menganjurkan kepada umat Islam
lewat haditsnya yang berbunyi sebagai berikut :
عَنِ اْلمُغِيْرَةِابْنِ سُعْيَةَ اَنَهُ
ضَطَ بَ اْمرَأةَ فَقَالَ النَبِيُى صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ
اُنْظُرْاِلَيْهَا فَاِنَهُ أحْرَىاَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا (رواهلترمذى)
Artinya
: “Dari Mughirah bin Sya'ban bahwasannya
Rasulullah bersabda pandanglah akan dia, itulah cara yang terbaik untuk
mengekalkan hubungan kamu kelak”. (HR. Turmudzi).[24]
Bertitik tolak dari pengertian
hadits bahwa faktor rupa atau kecantikan itu ikut menentukan pula dalam kebahagiaan hidup dalam rumah
tangga seseorang dan sesuai dengan nilai-nilai fitrah manusia yang menyukai
kecantikan. Dan boleh pula dikatakan bahwa karena faktor inilah yang pertama
kali menarik perhatian seseorang untuk menetapkan calon jodohnya baik bagi
laki-laki maupun perempuan.
g. Faktor Harta
Berbagai
kontradiksi tampak dalam kenyataan kehidupan sehari- hari, kadang-kadang harta
kekayaan, membawa percekcokan dan persengkataan. Akan tetapi sekalipun demikian
masalah harta ini menjadi faktor yang ikut menentukan pula terhadap kebahagiaan
serta kelangsungan hidup rumah tangga. Orang yang mempunyai ekonomi relatif
cukup, kemungkinan segala keinginannya dapat terjangkau, hal ini disadari atau
tidak, namun kenyataan membuktiian demikian. Biasanya kekurangan atau
kemiskinan atau yang disebut keadaan ekonomi lemah condong menjodohkan orang
berbuat yang kurang baik, bahkan dalam agama sendiri mudah menjatuhkan
kekufuran. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah yang berbunyi :
كَادَاْلفَقْرُاَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Artinya : “Kefakiran itu akan membawa kekufuran”[25]
Dengan berbagai penjelasan di atas,
dapat dikatakan bahwa ekonomi juga ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan
rumah tangga. Oleh karena itu dalam memilih jodoh masalah ekonomi benar-benar
harus diperhatikan.
h. Faktor Adat
Istiadat
Di dalam adat istiadat timur pada
masa beberapa puluh tahun yang lalu, tentang penentuan calon jodoh adalah hak
monopoli orang tua bagi para putra-putrinya.
Karena
ia menganggap bahwa putra-putrinya belum cukup pengetahuannya dalam menentukan
pilihan akan jodoh putra-putrinya selalu menekankan pada bibit, bebet, dan
bobot.
Berkaitan
dengan hal diatas para orang tua secara otoriter “berhak” menolak calon jodoh
putra-putrinya, apabila dilihat dari keempat kriteria tersebut (bibit, bebet,
dan bobot) tidak sesuai dengan keinginannya. Meskipun pasangan muda-mudi sudah
saling mencintai dan saling mengasihi. Hal ini sebagaimana apa yang dikatakan
oleh Hasbi bahwa “pilihan orang tua, relatif masih lebih baik, karena mereka
lebih generatif memilih”.[26]
Namun seiring dengan perjalanan
zaman bisak-bisik itu perlahan- lahan menjadi hilang, orang tidak akan
menghiraukan lagi seseorang yang telah senja masih hidup sendiri, karena perlu
adanya pemikiran dan pertimbingan yang matang, tidak mau menerima begitu saja
pilihan dari orang tuanya, karena yang akan menghadapi baik dan buruknya suatu
pernikahan adalah mereka sendiri.
Berdasarkan
pemikiran diatas kiranya dapat diambil suatu pelajaran bahwa orang tualah yang
sangat dominan dalam hal menentukan calon jodoh bagi para putra-putrinya. Namun
di sisi lain orang tua kurang memberi hak dan kesempatan putra-putrinya untuk
berfikir. Alangkah baiknya jika adat istiadat dan kebudayaan yang demikian itu
dikompromikan, artinya antara orang tua dan anaknya perlu adanya persetujuan
terlebih dahulu dalam menentukan jodoh, dengan harapan nantinya dalam
berkeluarga penuh dengan kasih sayang.
C. Proses Belajar Mengajar (PBM)
1. Pengertian Belajar Mengajar
a. Pengertian Belajar
Banyak
kita jumpai keanekaragaman definisi belajar yang dikemukakan para ahli
psikologi. Hal ini disebabkan karena point of view milleu dan pendekatan
antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan, untuk mengetahui berbagai ragam
definisi tentang belajar, maka akan penulis kutip pendapat beberapa ahli
psikologi :
1) S. Nasution mendefinisikan belajar sebagai
perubahan-perubahan dalam sistem syaraf penambahan pengetahuan, dan perubahan
kelakukan berkat pengalaman dan latihan.[27]
2) Chaplin, mengemukakan definisi belajar
menjadi dua rumusan, pertama, belajar adalah perolehan perubahan tingkah
laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman, kedua,
belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan
khusus.[28]
3) Witting, menganggap belajar sebagai
perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan
tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.[29]
4) Biggs, merumuskan definisi belajar menjadi
tiga macam, yaitu secara kuantitatif, institusional dan kualitatif. Secara
kuantitatif belajar merupakan aktivitas pengisian atau pengembangan kemampuan
kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Secara institusional berarti proses
validasi terhadap penguasaan siswa atas materi yang telah ia pelajari, secara
kualitatif ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta
cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa.[30]
Dari
pengertian belajar di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Bahwa belajar menimbulkan suatu perubahan
tingkah laku yang relatif menetap.
2) Bahwa perubahan itu membedakan antara
keadaan sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan
aktivitas belajar.
3) Bahwa perubahan itu dilakukan lewat kegiatan
atau usaha atau praktek secara disengaja dan diperkuat.
b. Pengertian Mengajar
Dalam
hal ini ada tiga pandangan tentang mengajar yaitu :
1) Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan dari
seseorang kepada kelompok.
2) Mengajar adalah membimbing peserta didik
belajar.
3) Mengajar adalah
mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar (PBM) yang baik.[31]
Pada
perguruan tinggi mengajar diartikan dengan :
1) Mengajar adalah
menyampaikan.
2) Mengajar adalah
mengorganisir aktivitas mahasiswa
3) Mengajar adalah
membuat mahasiswa belajar. Mengajar dipahami sebagai suatu proses kerja sama
antara dosen dan mahasiswa untuk membantu mengubah pandangan mereka. Mengajar
mendorong mahasiswa untuk menemukan kesalahpahaman, mendorong perubahan, dan
menciptakan situasi atau konteks belajar yang dapat mendoerong mahasiswa agar
secara aktif bergelut dengan materi perkuliahan.[32]
Sedangkan
dalam buku Proses Belajar Mengajar (PBM) juga merumuskan bahwa mengajar adalah
suatu usaha untuk mencapai tujuan berupa kemampuan tertentu atau mengajar
adalah usaha terciptanya situasi belajar, sehingga yang belajar memperoleh atau
meningkatkan kemampuan.[33]
Mengajar
pada hakikatnya adalah suatu proses, yakni proses mengatur,mengorganisasi
lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong
siswa melakukan proses belajar atau bisa juga diartikan bahwa mengajar adalah
proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses
belajar.[34]
Dengan
demikian mengajar merupakan suatu kompetensi/tugas guru untuk mengubah prilaku
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan atau pengajaran.
Belajar
dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Belajar menunjuk kepada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai yang
menerima pelajaran (peserta didik) sedangkan mengajar menunjuk kegiatan apa
yang harus dilakukan oleh seorang guru yang menjadi pengajar.[35]
Sementara
itu Proses Belajar Mengajar dapat diartikan hubungan antara pihak pengajar dan
pihak yang di ajar, sehingga terjadi suasana di mana pihak siswa aktif belajar
dan pihak guru aktif mengajar.[36]
Dengan demikian proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara guru
dengan murid atau peserta didik pada saat pengajaran.
Dalam
proses interaksi, ada unsur memberi dan menerima baik dari pihak guru/peserta
didik, agar terjadi interaksi belajar mengajar yang baik, ada beberapa faktor
yang harus dipenuhi, sedangkan hal-hal yang dapat dikemukakan sebagai
dasar-dasar terjadinya interaksi belajar mengajar yang baik ada beberapa faktor
yang harus dipenuhi. Sedangkan hal-hal yang dapat dikemukakan sebagai
dasar-dasar terjadinya interaksi belajar mengajar adalah :
1) Interaksi bersifat edukatif.
2) Dalam interaksi terjadi perubahan tingkah
laku pada siswa sebagai hasil belajar mengajar.
3) Peranan dan kedudukan guru yang tepat dari
proses interaksi belajar mengajar.
4) Interaksi sebagai proses belajar mengajar
(PBM).
5) Sarana proses mengajar yang tersedia yang
membantu tercapainya interaksi belajar mengajar siswa secara efektif dan
efisien.[37]
2. Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Proses
belajar merupakan hal yang komplek, siswalah yang sering menentukan terjadi
atau tidak terjadinya belajar. Untuk melaksanakan tindakan atau aktivitas
belajar, siswa akan menghadapi permasalahan-permasalahan baik secara intern
maupun ekstern.[38]
Ausukel
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dikategorikan ke
dalam dua bagian, yaitu faktor yang terdapat dalam diri pelajar (siswa) dan
faktor situasi, lebih lanjut ia membagi faktor-faktor dalam diri pelajar yang
meliputi :
a. Perubahan struktur kognitif adalah
sifat-sifat yang subtantif suatu riil dan organisasi pengetahuan yang diperoleh
sebelumnya dalam bidang subject matter yaitu yang relevan untuk
mengasimilasikan tugas belajar lainnya dalam bidang yang sama.
b. Kesiapan yang berkembang yaitu kesiapan
khusus yang mencerminkan taraf perkembangan intelektual siswa dan kapasitas intelektualnya
dan cara-cara berfungsinya intelektual yang memang khas untuk taraf ini, jadi
siswa yang cenderung umurnya lebih tua akan menghadapi bermacam tugas dari pada
siswa yang relatif lebih muda.
c. Kemampuan intelektual yaitu tingkat yang
nisbi dari bakat skolastik umum individu (tingkat intelegensi atau kecerdasan
dan kedudukannya yang nisbi dalam hubungannya dengan kemampuan kognitif yang
lebih berbeda atau luas biasa).
d. Faktor motivasi dan sikap meliputi keinginan
akan pengetahuan, keinginan akan prestasi dan peningkatan diri dan keterlibatan
ego/ minat dalam suatu jenis subject matter tertentu faktor ini
mempengaruhi kesiapan, perhatian, tingkat usaha, ketekunan (mersis tensi) dan
kosentarasi.
e. Kepribadian yaitu perbedaan-perbedaan
individu dalam tingkat dan jenis motivasi, penyesuaian diri, sifat-sifat khas
kepribadian lainnya dan tingkat kegelisahan dan keresahan.
Sedangkan
faktor-faktor situasi yang dikemukakan meliputi :
a. Praktik meliputi frekuensi, distribusi,
metode dan kondisi-kondisi umum.
b. Susunan atau rencana bahan pengajaran yaitu
meliputi jumlah, kesulitan tingkat ukuran, logika yang mendasari, urutan,
pengaturan kecepatan dan penggunaan alat-alat peraga dan pengajaran.
c. Faktor kelompok dan sosial tertentu, seperti
suasana kelas kerjasama dan kompetisi, keadaan kultur yang tidak menguntungkan
dan pemisahan rasial.
d. Karakteristik guru seperti kemampuan guru,
pengetahuan tentang subject materi kemampuan dan kesanggupan pedagogis,
kepribadian dan tingkah lakunya.[39]
Muhibbin
Syah mengemukakan secara global tentang faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
yaitu :
a. Faktor internal (Faktor dalam diri siswa),
yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa.
b. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa),
yakni kondisi lingkugan di sekitar siswa.
c. Faktor pendekatan belajar, yakni jenis upaya
belajar yang meliputi strategi dan metode yang dipergunakan siswa untuk
melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.[40]
Selanjutnya
ia membagi faktor internal menjadi faktor fisiologi dan psikologi. Faktor
fisiologi ini dimaksudkan bahwa apabila kondisi organ tubuh yang lemah akan
dapat menurunkan kualitas ranah kognitif sehingga materi yang dipelajarinyapun
kurang/tidak berbekas. Untuk itu siswa dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman
yang bergizi serta memilih pola istirahat dan olah raga yang teratur. Kondisi
organ khususnya lainnya seperti indera penglihat dan pendengar juga sangat
mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan.
Sedangkan faktor psikologi dibedakan menjadi :
a. Intelegensi, yaitu kemampuan psiko fisik
untuk mereaksi/penyesuaian diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat
tingkat kecerdasan tidak dapat diragukan lagi eksistensinya untuk meraih
keberhasilan belajar siswa. Semakin tinggi tingkat intelegensi siswa, maka
semakin besar peluangnya untuk meraih sukses, sebaliknya semakin rendah
kemampuan intelegensi siswa, maka semakin kecil peluang untuk memperoleh
sukses.
b. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi
afektif berupa kemampuan untuk mereaksi/merespon dengan cara yang relatif tetap
terhadap obyek orang, barang dan sebagainya baik secara positif maupun negatif.
Sikap siswa yang positif merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar
siswa, sebaliknya sifat negatif siswa dapat menimbulkan kesulitan belajar
siswa.
c. Bakat adalah kemampuan potensial yang
dimiliki (siswa) untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Bakat
ini berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar. Oleh karenanya, hal
yang tidak bijaksana apabila orang tua memaksakan kehendaknya untuk
menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tanpa mengetahui bakat yang
dimiliki anaknya.
d. Minat adalah kecenderungan dan kegairahan
yang tinggi/keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat berpengaruh terhadap
pencapaian hasil belajar. Siswa yang berminat besar dalam belajar akan
memusatkan perhatiannya terhadap materi-materi pelajaran sehingga ia lebih giat
belajar dengan lebih intensif. Guru juga perlu membangkitkan minat siswa
terhadap materi-materi yang bersentuhan dengan siswa.
e. Motivasi adalah keadaan internal organisme
yang mendorongnya untuk berbuat suatu atau pemasok daya untuk bertingkah laku
secara terarah kekurangan atau ketiadaan motivasi baik intrinsik/ekstrinsik
akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses
pembelajaran materi-materi pelajaran.
Sedangkan
eksternal yang Muhibbin Syah maksud adalah meliputi :
a. Lingkungan sosial, seperti guru, staf
administrasi tema-tema sekelas orang tua, keluarga dan masyarakat serta teman-teman
sepermainan dapat mempengaruhi semangat belajar siswa, guru misalnya apabila ia
mampu mewujudkan sikap dan prilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri
tauladan yang baik dan rajin dalam belajar khususnya membaca buku dan
berdiskusi, maka akan dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan
belajar siswa.
b. Lingkungan non sosial, seperti gedung
sekolah dan tata letaknya tempat tinggal siswa dan letaknya, alat-alat belajar
keadaan cuaca dan waktu belajar yang dipergunakan siswa.
Sedangkan
pendekatan belajar, adalah strategi atau cara yang digunakan siswa untuk
menunjang keefektifan dan keefisiensi dalam proses pembelajaran materi-materi
tertentu, strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang
direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah untuk mencapai tujuan
belajar tertentu.
Menurut
Dimyati dan Mudjiono, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dikategorikan
menjadi faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi sikap siswa terhadap
belajar. Motivasi belajar kosentrasi belajar, mengolah bahan belajar, menyimpan
perolehan hasil belajar, menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan
berprestasi atau untuk hasil belajar kebiasaan belajar, cita-cita siswa.
Sedangkan faktor eksternalnya meliputi guru sebagai pembina siswa, prasarana
dan sarana pembelajaran, kebijakan penilaian lingkungan sosial siswa di sekolah
dan kurikulum sekolah.[41]
Jadi
beberapa pendapat yang telah dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar tidak hanya timbul dari dalam diri
siswa saja (faktor intrinsik) dan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar
diri siswa (faktor eksternal) serta faktor pendekatan yang dilakukan oleh guru
dan siswa sendiri.
3. Komponen-komponen Dasar dalam Proses Belajar
Mengajar
Dalam
proses belajar mengajar di sekolah sebagi suatu sistem interaksi, maka kiata
akan dihadapkan kepada komponen-komponen yang mau tidak mau harus ada. Tanpa
adanya komponen-komponen tersebut sebenarnya tidak akan terjadi proses
interaksi edukatif antar guru dengan peserta didik.
Komponen-komponen
tersebut adalah :
a. Tujuan
Instruksional
Tujuan instruksional ini
yang pertama kali harus dirumuskan. Sebab tanpa adanya tujuasn yang jelas,
proses interaksi ini berfungsi untuk menetapkan kemanakah tujuan pengajaran itu
diarahkan.
b. Bahan Pelajaran
Setelah tujuan
instruksional dirumuskan, harus diikuti langkah pemilihan bahan pelajaran yang
sesuai dengan tingkatan murid yang akan menerima pelajaran.jelasnya bahan
pelajaran isi dari proses interaksi tersebut.
c. Metode dan alat
dalam interaksi
Komponen ini merupakan
alat yang harus dipilih dan dipergunakan oleh guru untuk menunjang terciptanya
tujuan pengajaran.
d. Sarana
Komponen ini sangat
penting juga dalam rangka mencitakan interaksi, sebab interaksi hanya mungin terjadi
bila ada sarana waktu, sarana tempat, dan sarana-sarana lainnya.
e. Evaluasi
(penilaian)
Evaluasi ini perlu
dilakukan untuk melihat sejauh manakah bahan yang diberikan kepada peserta
didik derngan metode tertentu dan sarana yang telah ada dapat mencapai tujuan
yang telah dirumuskan. Evaluasi ini adalah barometer untuk mengukur tingkat
keberhasilan proses belajar mengajar.[42]
4.
Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan proses belajar mengajar adalah proses berlangsungnya
belajar mengajar dikelas yang merupakan inti dari kegiatan pendidikan di
sekolah. Jadi pelaksanaan proses belajar mengajar dapat disimpulkan sebagi
terjadinya interaksi guru dengan siswa dalam rangka menyampaikan bahan
pelajaran kepada siswa untukmencapai tujuan pengajaran.[43]
Dalam
pelaksanaan pengajaran meliputi 3 tahap
yaitu :
a. Tahap sebelum
pengajaran (pra instruksional)
b. Tahap
pengajaran (instruksional)
c. Tahap sesudah
pengajaran (evaluasi dan tindak lanjut)
Menurut
J. J. Hasibuan tahapan mengajar adalah:
a. Tahap sebelum
pengajaran, meliputi:
1) Menyusun
tahunan pelaksanaan kurikulum
2) Program
semester pelaksanaan kurikulum
3) Program satpel
dan perencanaan program pengajaran.
b. Tahap pengajaran, yaitu interaksi guru dan
siswameliputi:
1) Pengelolaan dan
pengendalian kelas.
2) Penyampaian
informasi, ketrampilan-ketrampilan, konsep.
3) Penggunaan
tingkah laku verbal dan non verbal.
4) Cara
mendapatkan balikan.
5) Mempertimbangkan
prinsip-prinsip psikologis yaitu motivasi dan keterlibatan siswa.
6) Mendiagnosis
kesulitan belajar .
7) Menyajikan
kegiatan sehubungan dengan perbedaan individu.
8) Mengevaluasi
kegiatan interaksi.
c. Tahap sesudah pengajaran, meliputi:
1) Menilai
pekerjaan siswa
2) Membuat
perencanaan untuk pertemuan berikut.
3) Menilaikembali
PBM.[44]
Di
dalam pelaksanaan proses belajar mengajar ini diharapkan semua komponen
komponen proses belajar mengajar dapat saling berkesinambungan agar dapat
tercapai tujuan yang diinginkan
Untuk memperlancar jalannya proses belajar mengajar
dibutuhkan berbagi macam metodeyang sesuai dengan mata pelajaran yang akan
disampaikan. Diantara metode yang bisa digunakan adalah :
a. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah
suatu cara mempelajari materipelajaran dengan memperdebatkan masalah ynag
timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan obyektif. [45]
b. Metode Tanya
Jawab
Metode tanya jawab
adalah penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan pertanyaan dan
sisswa memberikan jawaban, atau setidaknya. Siswa diberi kesempatan bertyanya
dan guru memberikan jawaban.[46]
Menurut Nana Sudjana, metode tanya jawab ini lebih memungkinkan terjadinya
komunikasi langsung yang bersifat two way traffic, sebab pada saat itu
bisa terjadi dialog antara guru dan siswa, dalam komunikasi ini terlihat adanya
hubungan timbal balik secara langsung antar guru dan siswa.[47]
c. Metode
Penugasan/Resitasi
Metode penugasan adalah
cara pemberian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar murid
melakukan kegiatan belajar, kemudian ia hatrus mempertanggung jawabkannya[48]
d. Metode Ceramah
Metode cermah menurut
Winarno Surhamad adalah, penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru
terhadap kelasnya. Dalam metode ini anak didik hanya mendengarkan dan sesekali
mencatat yang telah dikemukakan oleh guru.[49]
Dengan
metode dan strategi tersebut diharapkan setiap anak didik dapat mengembangkan
potensinya secara optimal.
[1]Abd. Bin Nuh
dan Oemar Bakry, Kamus Arab Indonesia, Mutiara, Jakarta, 1971, hlm. 255.
[2]Kamal Muhtar, Azas-azas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, 1974, hlm. 1.
[4]Depag RI, Kompilasi
Hukum Islam, Dirjen Binbaga Agama Islam Jakarta, !999, hlm. 14.
[5]Ali Al-Hamidi, Islam
dan Perkawinan, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hlm. 19.
[6]Al-Qur’an,
Surat An-Nur Ayat 32, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 549.
[7]Al-Qur’an,
Surat Ar-ra’du Ayat 38, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 376.
[8]Al-Ghazali, Ihya'
Ulumuddin, Juz II, Toha Putra, Semarang, t.th., hlm. 22.
[9]Moh. Machfuddin
A., Terjemah Bulughul Maram, Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqa, Toha Putra ,
Semarang, t.th., hlm. 491.
[10]Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm.
46-47.
[11]Al-Qur’an,
Surat Ar-Ruum Ayat 21, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 644.
[12]Al-Qur’an,
Surat An-Nur Ayat 33, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 549.
[13]Aunur Rohim
Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, LPPAI, Yogyakarta, 2001, hlm
71-72.
[14]Ropaun Rambe
dan A. Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam, Perca, Jakarta, 2001, hlm
65.
[15]Ismail Yakub, Terjemah
Al-Umm Kitab Induk Al-Imam Assyafi’i, CV. Faizan, Jakarta, 1983, hlm. 354.
[16]Zakiah
Daradjat, Op.cit, hlm 98.
[17]Miftah Faridl, 150
Masalah Nikah dan Keluarga, Gema Insani, Jakarta, 1999, hlm. 54.
[18]Zakiah
Daradjat, Ketentuan dan Kebahagiaan dalam Keluarga, Bulan
Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 56.
[19]Ali Akbar, Merawat
Cinta Kasih, Pustaka Antara, Jakarta, 1989, hlm. 22.
[21]Al-Qur’an,
Surat Al-Baqara Ayat 221, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Pentafsir Al-Qur'an,
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 53.
[22]Jalaluddin
As-Suyuthi, Syarah Sunan An-Nasa’i, Toha Putra, Semarang, hlm.
69.
[23]Ali Akbar, Op.cit.,
hlm. 23.
[24]Abu Isa
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Jami’us Shahih,
Juz II, Beirut, hlm. 275.
[25]Imam Jamaluddin
Abi Bakar As-Syuyuti, Al-Jamius Shaghir, Al-Ma’arif,
Bandung, t.th., hlm. 89.
[26]Al-Syaikhoni, Bulughul
Marom, Terj. Ahmad Subkhi, Raja Murah, Pekalongan, t.th., hlm.l 719.
[27]S. Nasution, Didaktik
Asas-asas Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 35.
[32]Hisyam Zaini,
et’al., Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, CTSD dan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002, hlm.
104-107.
33Depag RI., Proses
Belajar Mengajar, Direktorat Jenderal Pebinaan Kelembagaan Islam, Jakarta,
1985, hlm. 3.
[34]Nana Sudjana, Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002, hlm. 29.
36Iskandar W. dan
J. Mandalika, Kumpulan dan Pikiran-pikiran dalam Pendidikan, Rajawali,
Jakarta, 1982, hlm. 37.
[42]Suryo Subroto, Op.cit,
hlm. 157-158.
[43]Suryo Subroto, Proses
Belajar Mengajar di Sekolah Wawasan Baru, Beberapa Metode Pendukung, dan
Beberapa Komponen Layanan Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm.
36.
[45]B. Simanjuntak,
Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm
185.
[46]Muhammad Zain, Metodologi
Pengajaran Agama, A. K. Group dan Indra Buana, Yogyakarta, 1995, hlm 178.
[47]Nana Sudjana, Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru, Bandung, hlm 77.
[48]E. Mulyasa, Konsep,
Karakteristik dan Implementasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, hlm.
102.
[49]B. Suryo
Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta,
1997, hlm. 165.
0 Response to "PERNIKAHAN DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR"
Post a Comment