KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN

KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN


A.    Melihat Perkembangan Konstruktivisme
1.      Asal-usul dan Perkembangannya  
Menurut Glasersfeld,[1] sebagaimana yang dituliskan oleh Paul Suparno bahwa istilah constructive-cognitive mulai mengemuka pada abad 20-an, yang terdapat pada tulisan Mark Baldwin. Kemudian dalam tahap berikutnya dikaji dan dikembangkan oleh seorang psikolog perkembangan dari Swiss. Dialah Jean Peaget (1896-1980),[2] yang mulai intens melakukan penelitian-penelitian mengenai perkembangan kognitif.
Dalam salah satu statement filsafatnya, dia menyatakan, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan-Nya.”[4] Selanjutnya dia juga menyatakan bahwa ‘mengetahui’ berarti mengetahui membuat sesuatu.[5]Namun, jika ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebagai bagian dari diskursus epistemologi, sebenarnya telah diawali oleh Giambattista Vico, seorang ahli filsafat Neopolitan dari Italia. Sekitar tahun 1710-1712, dia memublikasikan hasil tulisannya mengenai konstruksi-pengetahuan, sebuah karya “The Giornale de’ Letterati d’Italia” benar-benar kontroversi, yang diterbitkan salah satu jurnal ilmiah yang paling bergengsi saat itu.[3] Sehingga banyak kalangan menilai bahwa Vico itulah yang menjadi cikal bakal konstruktivisme.
Dalam pandangannya, seseorang tidak bisa disebut mengetahui tentang ‘sesuatu’ jika dia tidak dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang terdapat pada ‘obyek yang diketahui’ tersebut. Jika demikian maka, dapat dikatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang komputer, tidak bisa dianggap valid, jika dia tidak dapat membuktikan serta mendeskripsikan komputer tersebut secara komprehenship. Dari mulai perangkat keras hingga perangkat lunak.
Argumentasi Vico tersebut mengingatkan pada seorang filsuf Yunani Kuno yang cukup ternama yakni Plato (428-347 sM).[6] Dia dikenal sebagai murid (sekaligus kawan dialog) Socrates, yang banyak menulis tentang pemikiran dan pandangan dari gurunya. Karya-karyanya banyak membahas tentang ide, negara, kosmologi, termasuk epistemologi. Pemikiran-pemikiran cerdasnya, cukup banyak mempengaruhi filsuf-filsuf sesudahnya, di mana banyak kajian epistemologi diteruskan dalam suatu aliran yang kurang lebih sama dengan aliran Plato.[7] Karya-karya Plato banyak membahas tentang epistemologi, di latar belakangi oleh serangan cukup serius dari kaum ‘skeptis’[8] yang diarahkan pada eksistensi pengetahuan objektif.
Ketika itu Plato melakukan banyak upaya guna mengungkapkan perbedaan esensial antara ‘pengetahuan’ dan ‘keyakinan sejati’ khususnya dalam sebuah karya epistemologinya yang cukup terkenal yakni Theaetetus. Di dalamnya banyak mengurai perbandingan antara pengetahuan dan keyakinan sejati. Pembahasan Plato sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan adalah keyakinan plus logos.[9] Logos sendiri, bagi para filsuf diartikan, kurang lebih merupakan sebuah cara menjelaskan atau memperoleh pemikiran rasional.  Pengetahuan memiliki realibilitas, sementara keyakinan sejati tidak. Untuk meyakini sebuah keyakinan sejati, maka harus memunculkan sejumlah alasan pembenaran.
Untuk lebih memahami perbedaan antara ‘pengetahuan’ dengan ‘keyakinan sejati’ ala Plato dapat digambarkan dengan dua perbedaan pernyataan berikut. Bandingkan antara; “orang yang mengetahui bagaimana cara mengendarai mobil,” dengan “orang yang hanya meyakini bahwa dia dapat mengendarai mobil.” Tentunya perbedaan yang dapat dilihat adalah fakta pertama benar-benar melakukan pekerjaan itu. Jika fakta kedua mampu menyetir, pasti dia juga mengerti bagaimana cara menyetir. Orang kedua bisa saja meyakini (namun dengan sejumlah alasan tertentu tidak mengetahui) bahwa dia mampu menyetir. Sekilas, memang tidak jelas bahwa pengetahuan tentang menyetir semata-mata persoalan ‘keyakinan’.
Intinya, pengetahuan merupakan penjumlahan dari keyakinan sejati dengan sesuatu, yakni sesuatu yang ‘semata-mata’ keyakinan menjadi pengetahuan. Maka jelas bahwa pengetahuan merupakan sebuah keadaan psikologis yang melibatkan seseorang dengan pengetahuan yang membenarkan atau mendukung sebuah dalil. [10]
Terkait dengan pandangan Vico yang membahas tentang ilmu pengetahuan, maka terlihat ada korelasi pemikiran di antara keduanya. Mereka sama-sama mempersoalkan pengetahuan dan keyakinan.  Menurut Vico, “hanya Tuhan sajalah yang benar-benar dapat mengerti alam semesta, karena hanya Dia yang benar-benar mengetahui secara pasti bagaimana alam raya ini diciptakan. Manusia hanya dapat mengetahui apa yang telah dikonstruksikannya.[11] 
Jika demikian, di benak Vico, pengetahuan manusia terhadap alam semesta, tidak akan mampu mencapai titik yang paling sempurna. Intinya dalam meletakkan dasar-dasar konstruktivisme, Vico berkeyakinan bahwa pengetahuan tetap saja tidak bisa terlepas dari orang (subyek) yang tahu, sehingga hasilnya merupakan struktur konsep dari pengamat itu sendiri.[12] Sehingga apapun deskripsi manusia tentang segala sesuatu, akan terus mengalami proses perkembangan secara terus menerus, hingga pengalaman itu membentuk pengetahuan ‘akhir’ yang lebih komplit.
Rorty (dalam Glasersfeld, 1988) menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme,[13] terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, sebab aliran yang dipelopori oleh William James (1842-1910) tersebut hanya mementingkan pada aspek kegunaan (nilai).[14] Pada hakikatnya pragmatisme merupakan filsafat Amerika, meskipun di Eropa dan Inggris juga banyak ditemukan gaya-gaya berpikir yang bertautan dengan pragmatisme. Sebelum ada James, pragmatisme diawali oleh Charles S.Peirce (1839-1914), baru kemudian disusul John Dewey (1859-1952).[15] Pragmatisme sebenarnya juga dikenal dengan istilah “empirisme radikal” yang cukup memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Eropa.
Dalam karya-karyanya, Pragmatism (1907), A pluralistice Universe (1909), Eassays in radical Empiricism (1912), James mengakui bahwa empirisme radikalnya adalah kelanjutan dari empirisme Inggris yang di usung oleh Lokce dan Hume.[16] Walaupun James mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari empirisme radikal, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasarkan fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan.  
Keradikalan empirisme yang diajarkannya terletak pada keadaan yang menunjukkan bahwa di dalam konstruksi-konstruksinya, dia tidak mengizinkan adanya satu unsur pun yang tidak secara langsung dialami, atau tidak ada satu unsur pun yang dialami secara langsung diabaikan. Sehingga hubungan-hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, sudah tentu merupakan hubungan yang dialami, dan setiap hubungan yang dialami harus dipandang sama ‘nyatanya’ seperti hal-hal lain yang terdapat dalam sistem ini.[17]
Kembali pada Vico, bahwa gagasannya cukup lama tenggelam, dan seolah tidak diketahui orang. Sehingga pada akhirnya Jean Piaget (1896-1980)[18] menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan idenya tentang teori adaptasi-kognitif dengan mendasarkan pada kenyataan berlangsungnya adaptasi dari setiap organisme pada lingkungannya. Begitu juga dengan struktur kognitif manusia, yang juga mengalami adaptasi-adaptasi tersebut.[19] Gagasan Piaget ini rupanya lebih cepat diterima dan tersebar dari pada gagasan Vico yang sebenarnya sudah lebih dahulu. Tidak jelas apakah pemikiran Piaget adalah pengaruh pemikiran dari Vico apa tidak.    
Merujuk pada Glasersfeld, Paul Suparno  membedakan adanya tiga tingkatan (taraf) konstruktivisme, yaitu;  pertama, konstruktivisme radikal. Konstruktivisme radikal menjadi bagian yang cukup besar dalam pergerakan filsafat dan ilmu pengetahuan sosial. Penganjur dan propagandis yang paling terkemuka adalah Psikolog Amerika yaitu Ernst von Glasersfeld.[20] Keradikalan dari aliran ini terbukti dengan pandangannya, bahwa that all knowledge is constructed rather than discovered, and that it is impossible to tell (and quite unnecessary to know) if and to what degree knowledge reflects an ‘ontological’ reality.”[21]
[seluruh pengetahuan itu dibangun, bukan ditemukan, dan mustahil untuk diberikan kepada orang yang tidak perlu mengetahui, dan tingkat pengetahuan bukan refleksi dari sebuah kenyataan ‘ontologis’][22]

Bagi para konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan dan menggambarkan suatu kenyataan ontologis obyektif, akan tetapi merupakan suatu pengaturan dan pengorganisasian dari realitas dunia yang dibentuk dari pengalaman seseorang. Konstruktivisme radikal berpendirian bahwa seseorang hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk oleh pikiran seseorang itu sendiri.[23]
Hasil bentukan itu harus ‘jalan’ tidak harus selalu merupakan representasi dari dunia nyata. Bisa diartikan bahwa sebuah pandangan terhadap obyek yang sama, antara orang satu dengan yang lain belum tentu seragam. Misalnya, pandangan seseorang mengenai waktu. Bagi orang yang menunggu dan yang ditunggu, walaupun sama-sama 1 jam, tentunya bagi orang yang menunggu waktu satu jam itu sangat lama, lain dengan yang ditunggu. Ini menunjukkan ada dimensi subyektif yang dirasakan oleh seseorang dalam memandang sesuatu.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak akan ada transfer dari penerima pasif yang tidak memiliki keinginan untuk mendapatnya. Penerima sendiri yang harus membentuk pengetahuan itu. Semua yang ada, apakah itu objek maupun lingkungan, hanyalah media untuk mengantarkan pada konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, dimana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan  menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain tidak lebih sebagai bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai oleh orang itu sendiri.
Kedua, realisme-hipotesis. Menurut realisme[24]-hipotesis, pengetahuan ilmiah dipandang sebagai suatu hipotesis (kesimpulan) dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas. Pengetahuan ilmiah sebenarnya berasal dari ‘tradisi’ positivistik yang diusung oleh August Comte (1798-1857).[25] Dalam pandangan Comte, perkembangan pengetahuan manusia terjadi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisika, dan positivistik.[26]
Bagi kaum positivistik apapun yang didapatkan dengan metode empiris-rasional juga dapat dikatakan sebagai realitas pengetahuan. Pengetahuan ilmiah mempunyai syarat, bahwa ‘pengetahuan’ dapat diterima manakala dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menerapkan cara kerja atau metode ilmiah.[27] Sedangkan metode ilmiah adalah prosedur atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan melalui persepsi inderawi, kemudian diuji coba sehingga mendapatkan hipotesis (teori sementara) secara terarah (sistematis).
Maka, pengetahuan ilmiah lebih merupakan hasil akhir dari pengamatan-pengamatan terhadap fakta[28] yang ada di lapangan, dan pada tahap selanjutnya harus dapat dibuktikan secara empiris-rasionalistik untuk mendapatkan validitas atas hipotesis (kesimpulan) tersebut.
Dengan demikian pengetahuan manusia menurut realisme-hipotesis, memiliki relasi yang sangat dekat dengan kenyataan, sebab dilihat dari proses mendapatkannya tidak lepas dari subyektivitas individu yang mengetahuinya. Ilmu pengetahuan tidak mungkin bebas dari pengaruh kondisi psikologis, latar belakang (setting) sosio-historis yang mengetahui. Hal ini yang menyebabkan hasil temuan ilmiah bersifat perspektifistik (ijtihadi), sehingga sama sekali boleh dipertanyakan kembali. 
Ketiga, konstruktivisme biasa. Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Pengetahuan, bagi aliran ini merupakan  gambaran dari realitas itu. Pengetahuan manusia dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu obyek dalam diri sendiri.[29]

2.      Beberapa Model Konstruktivisme
Konstruktivisme dikenal memiliki beberapa model. Model tersebut sebenarnya berangkat dari perdebatan siapa dan apa yang paling dominan dalam mempengaruhi konstruksi seseorang dalam membentuk pengetahuan. Apakah proses pembentukan kognitif seseorang sendiri atau lebih merupakan proses inkulturasi dalam masyarakat. Apakah proses konstruksi pengetahuan terjadi secara pribadi atau lebih bersifat sosial-kultural. Maka dari itu, konstruktivisme dibedakan menjadi tiga tradisi besar, yakni konstruktivisme psikologis-personal, konstruktivisme sosiologis dan konstruktivisme sosial (sosiokulturalisme).  


a.       Konstruktivisme Psikologis Personal
Konstruktivisme ini didasarkan pada penelitian-penelitian Jean Peaget terhadap perkembangan kognisi pada anak-anak. Piaget menyebutnya dengan istilah epistemologi-genetik. Kecintaan pada anak-anak sebagai obyek penelitiannya bermula saat dia bekerja di Laboratorium Binet di Paris bersama Theophile Simon pada tahun 1920.[30]
Selama di Paris tersebut, Piaget mencoba mengintegrasikan minatnya pada bidang biologi dan epistemologi. Dengan menggabungkan pemahamannya tentang psikologi intelegensi manusia, dengan epistemologi yang lebih berbicara bagaimana kognisi manusia terbentuk, dia mengambil hipotesis bahwa ada kesamaan antara adaptasi organisme terhadap lingkungannya, dengan perkembangan kognisi manusia.[31]
Keyakinan adanya tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak semakin bertambah, ketika Piaget berkesempatan melakukan banyak penelitian-penelitian tentang persepsi anak mengenai gejala alam, seperti; awan, sungai, bahasa, waktu, gerak, kecepatan dan lain sebagai. Jabatannya waktu itu, sebagai direktur penelitian di Institut Jean-Jaques Pousseau di Geneva, sangat mendukung aktivitasnya sebagai peneliti.
Pada tahun 1920-1930 keyakinan tersebut, direalisasikannya dengan melakukan penelitian bersama istrinya terhadap ketiga anaknya yang lahir 1925, 1927, dan 1931. Hasil pengamatannya kemudian dipublikasikan dalam The Origins of Intelligence in Children dan Construction of reality in the Child, yang kemudian dikenal dengan tahap-tahap perkembangan kognitif anak.[32] Dalam epistemologi genetiknya Piaget tidak membahas manusia secara umum, akan tetapi dia batasi pada anak-anak. Dia menyoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk dan mengubah skema dengan jalan asimilasi maupun akomodasi.[33] Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara reflektif dalam membentuk pengetahuan, berdasarkan informasi maupun fakta --baik secara fisis ataupun intuitif (rasa) – apapun yang diperolehnya dari lingkungannya.
b.      Konstruktivisme Sosiologis
Pandangan ini lebih percaya pada anggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan oleh faktor sosial juga. (Berger dan Luckmann, 1967). Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan  dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Dunia ini nyata bagi ‘saya’ dan bagi orang lain.[34]
Jelas bahwa proses menjadi manusia ada dalam konteks interelasi dengan lingkungannya baik alamiah maupun manusiawi. Sehingga ada ungkapan bahwa manusia menghasilkan ‘dirinya sendiri.’ Konstruktivisme sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Kelompok ini sangat menghargai lingkungan, masyarakat dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan.[35]
c.       Sosiokulturalisme
Aliran konstruktivisme model ini, dinilai sebagai jalan tengah dari perdebatan antara konstruktivisme psikologis personal yang menekankan pada otoritas individu dan konstruktivisme sosial yang lebih mempercayai interaksi sosial lebih berpengaruh dalam pembentukan pengetahuan. Sosiokulturalisme bersikap akomodatif, karena mengakui kedua-duanya, baik peran individu maupun peran interaksi sosial sebagai wahana dalam pembangunan pengetahuan seseorang.  Sosiokulturalisme yang dikembangkan oleh Vigotsky (1896-1934),[36] mengakui faktor eksternal, yaitu dengan jalan; interaksi sosial, pergaulan dan dialog-dialog seseorang dalam masyarakatnya. Oleh karenanya faktor bahasa, sebagai alat komunikasi budaya sangat dominan mempengaruhi konstruksi pengetahuan.[37]  
Belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Sementara itu, pengertian dalam pandangan Vygotsky ada dua jenis, yaitu pengertian spontan[38] dan pengertian ilmiah.[39] Pengertian (baik spontan dan ilmiah) dalam pandangan Vygotsky, bukan datang dalam bentuk yang sudah matang (jadi). Akan tetapi pengertian tersebut selalu mengalami perkembangan, dan sangat bergantung pada tingkat kemampuan anak dalam menangkap sebuah makna dari persinggungannya dengan realitas.
Vygotsky menggunakan istilah zo-ped yaitu suatu wilayah tempat bertemu antara pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang dewasa. Wilayah ini berbeda dari setiap anak dan ini menunjukkan kemampuan anak dalam menangkap logika dari pengertian ilmiah.[40]
Penelitian Piaget tentang bahasa anak-anak menyimpulkan bahwa bahasa anak bersifat egosentris. Mereka cenderung berbicara keras kepada diri sendiri dari pada kepada orang lain. Bahasa adalah aspek sosial yang paling awal, dan merupakan inner pseech (kemampuan bicara yang pokok) yang nantinya akan digunakan sebagai alat berpikir. Oleh karenanya anak terus berusaha mengungkapkan pengertian mereka dengan simbol yang sesuai, untuk berkomunikasi dengan orang lain.[41]
Sosiokulturalisme mempercayai bahwa aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek-praktek sosial dan kultural yang ada, seperti; situasi sekolah, masyarakat, teman, dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa konstruktivisme model ini bersifat kontekstual, artinya bahwa pelajar selalu membentuk pengetahuannya dalam situasi dan konteks khusus. Misalnya, dalam situasi masyarakat yang berbeda, pengertian tentang kesehatan pun dapat berbeda.
Sesungguhnya seorang dilahirkan dalam suatu lingkungan sosial dan kultural dimana semua objek dan kejadian yang ditemukan mempunyai arti yang khusus dan juga dikonstruksikan. Melalui interaksi dengan unsur-unsur yang hidup dan yang tidak hidup dalam lingkungan semua cara belajar berlangsung secara sosial.
Dengan cara seperti itu, dalam pengetahuan ada komponen sosial dan tidak dapat dilihat sebagai konstruksi individual melulu. Karena tidak mungkin seseorang memisahkan unsur-unsur sosiokultural dari apa yang ia ketahui, konstruktivisme tidak dapat dipikirkan sebagai suatu keyakinan yang lepas dari unsur sosial dan kultural. Oleh karena itu studi tentang belajar dan mengajar  perlu juga memperhatikan segi sosial dalam pembentukan arti.  

3.      Hubungan (posisi) Konstruktivisme dengan Aliran Filsafat Lain
Sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan, konstruktivisme tidak bisa mengelak dari perdebatan mengenai grand issue tentang “pengetahuan dan kebenaran.” Term ini pula yang akan menunjukkan bagaimana sebenarnya hubungan konstruktivisme dengan aliran filsafat yang lain.
Para pemikir sepanjang sejarah menegaskan bahwa kenyataan itu terdiri dari dua dimensi, eksternal dan internal. Dimensi eksternal menunjuk kepada dimensi objektif, sedangkan dimensi internal menunjuk dimensi subyektif. Perlu diingat bahwa epistemologi bukanlah cabang tertua filsafat, namun nyaris tertua. Salah satu filsuf pertama yang karya epistemologinya dikenal adalah Plato (428-347 sM),[42] dengan idealisme-nya yang kemudian disebut rasionalisme ala Plato. Menurut Plato hasil pengamatan inderawi tidak akan memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya. Ia lebih percaya kepada apa yang ada dibalik wilayah pengamatan indera, yaitu dunia ide.[43]  
Dalam pandangan Plato, seseorang dapat sungguh-sungguh mengetahui jika sesuatu itu sungguh nyata dan kriteria ini hanya ada pada obyek-obyek yang sempurna dan tak pernah berubah.[44] Melalui karyanya The Republik, dia menganalogikan pengetahuan manusia dengan “Gua”,[45] yang pada intinya menggambarkan bahwa pengetahuan manusia sangat terkait erat dengan apa yang mereka alami, mereka rasakan, mereka tangkap dari realitas yang ada. Ketika seseorang keluar gua dan melihat dunia luar dan memahaminya, kemudian ia masuk dalam gua kembali dan menceritakan apa adanya yang dia lihat di luar sana, bukan tidak mungkin teman-temannya mengira ia sudah gila.
Intinya bahwa dari ulasan Plato tersebut ada kesamaan pandangan mengenai pengetahuan dengan keyakinan kaum konstruktivis, yang  menganggap pengetahuan bukanlah suatu gambaran atau tiruan dari kenyataan (realitas) yang ada, namun selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.[46]
Konstruktivisme nampaknya juga tidak sepenuhnya menolak kaum rasionalis dalam mendapatkan pengetahuan. Hanya saja mereka kurang sepakat jika ada dominasi peran rasio dalam hal pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan seseorang menunjuk pada objek-objek dan bahwa kebenaran itu merupakan akibat dari deduksi logis. Rene Descartes (1596-16550) melakukan perenungan filsafatnya dengan menggunakan instrumen epistemologinya yaitu metode ‘skeptis’, yakni meragukan segala yang ada.[47]
Cara itu menurut Descartes, penting untuk mendapatkan pengetahuan yang progresif, oleh karenanya seseorang harus bersedia menanggalkan ‘baju-baju’ yang selama ini dipakai, dengan cara sementara waktu meragukannya. Dia meragukan kebenaran inderanya, karena dia menilai bahwa indera sangat rapuh untuk mengantarkan pada kebenaran. Dia juga tidak mau menyandarkan pada rasio, karena ia pun mempunyai banyak kelemahan. Sehingga dalam puncak keraguannya, dia disadarkan oleh satu poin, bahwa semuanya telah dapat diragukan, kecuali satu bahwa dia tidak bisa meragukan tentang keraguannya sendiri. Dari situ, karena dia merasa ragu, maka dia ‘ada’.[48]
Selanjutnya, bagaimana hubungan konstruktivisme dengan empirisme? Konstruktivisme merupakan salah kajian epistemologi, maka dia memerlukan alat maupun instrumen. Prinsip dan ajaran dari empirisme dalam metode membaca realitas oleh konstruktivisme menjadi penting. Untuk mengkonstruk pengetahuan, sesuai keyakinan konstruktivisme, seseorang membutuhkan seperangkat metode, salah satunya adalah indera, selain akal (rasio). Empirisme di pahami sebagai aliran yang menentang rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan. Sedangkan empirisme lebih memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.[49]
Hobbes (salah satu tokoh empiris) menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan pengenalan. Ajaran Hobbes dinilai sebagai sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern. Dunia dan manusia sebagai obyek pengenalan merupakan sistem materi, dan sekaligus sebagai suatu proses yang berlangsung tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme. Sementara itu, Locke mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurutnya, rasio mula-mula harus dianggap “as a white paper” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman.[50] Locke juga mengakui bahwa dalam dunia luar ada substansi-substansi, tetapi hanya dapat dikenal ciri-cirinya saja. Inilah yang kemudian disebut ‘substansi material’.
Sedangkan Berkeley, dengan tetap berangkat dari prinsip empirisme, merancang teori yang dinamakan “immaterialisme”. Berbeda dengan Locke yang masih mentolelir adanya substandi dari luar manusia, bagi Berkeley, yang ada hanyalah pengalaman dalam roh saja (ideas). Ini artinya dunia materiil sama saja dengan dunia ide-ide yang dialami. Seperti halnya gambar film pada bioskop, dilihat sebagai benda yang real dan hidup. Dia mengakui bahwa “aku” merupakan substansi rohani. Tuhan menurutnya adalah menjadi asal-usul dari ide yang aku lihat. Jika orang mengatakan Tuhan menciptakan dunia diluar manusia, bukan berarti ada dunia diluar manusia, melainkan Tuhan menunjukkan ide-ide pada manusia.[51] 
Empirisme memuncak pada David Hume, dengan menerapkan empirisme radikal. Karya besarnya adalah A Treatise of Human Nature,[52] yang ia tulis ketika berusia 26 tahun. Menurut Hume pengalaman memberikan kepada manusia, suatu kualitas khusus bukan suatu sub-stratum yang unik. Apa yang sebenarnya dipahami oleh seseorang, hanyalah hasil persepsi. Tidak benar kalau ide (gagasan) tentang substansi diturunkan dari hasil impresi (kesan). Sehingga dia, menyimpulkan bahwa substansi adalah kosong. Hukum kausalitas oleh Hume juga dibantah, dia lebih meyakini bahwa “hukum sebab akibat” merupakan suatu kebiasaan berfikir.[53] Pada intinya empirisme hanya percaya pada pengalaman, baik oleh inderawi maupun batiniah.
Menurut Staver, konstruktivisme merupakan  sintesis pandangan rasionalisme dan empirisme. Konstruktivisme menunjuk pada interaksi objek dan subyek, antara realitas internal dan eksternal. Untuk memahami ini ada baiknya, sedikit menengok pemikiran Immanuel Kant (1724-1804),[54] karena dia yang menjembatasi pertengkaran antara rasionalis dan empiris, yang kemudian dikenal dengan filsafat “kritisisme”.[55] Beberapa karyanya adalah The Critique of Pure Reason (1781), sebagai jalan tengah dari kebuntuan rasionalis dan empiris. Selain itu ada The Critique of Practical Reason (1788), dan The Critique of Judgement (1790).
Terminologi yang digunakan Kant adalah “bidang pertimbangan” untuk mewakili istilah pemahaman, dan “bidang kesimpulan” mewakili akal budi. Kekuatan untuk menghasilkan pertimbangan memerlukan kekuatan untuk menciptakan konsep, serta kekuatan membuat kesimpulan. Konsep dalam bidang kesimpulan oleh Kant disebut Ide Akal Budi, yang tidak berhubungan dengan representasi, sehingga pikiran memperoleh pola yang padu atas fakta-fakta mentah dari yang diberikan. Ide akal budi biasanya untuk menyatakan persoalan dan bersifat non-empiris. Kant hendak memperagakan bahwa ada unsur konstruksi dan interpretasi dalam semua pengetahuan manusia.[56]
Berangkat analisa bahwa konstruktivisme merupakan akibat dari sintesa dari rasionalisme dan empirisme, maka bisa dikatakan juga bahwa ada kedekatan konstruktivisme dengan pragmatisme.[57] Dengan kata lain konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, yang lebih mementingkan pada aspek kegunaan (nilai). Pragmatisme yang lebih condong pada aspek pengalaman agama dipopulerkan  oleh William James (1842-1910) dengan karyanya The Varieties of Religious Experience, sedangkan pada aspek pendidikan dipublikasikan dengan Experience and Education oleh John Dewey (1859-1952).
Dalam pembahasannya, James mengawali tulisannya dengan sebuah pertanyaan, “apakah hal yang paling penting dalam kehidupan manusia?” maka salah satu jawaban manusia yang diberikan adalah “kebahagiaan”.[58] Bagaimana cara mendapatkan, mempertahankan dan mencapai kebahagiaan, bagi setiap orang sejak dulu adalah motif tersembunyi dari segala sesuatu yang dilakukan, dari segala keinginan yang terpendam.
Pencapaian kebahagiaan atau ditimpa kesengsaraan lebih pada konsekwensi dari segala perilaku. Setiap tindakan/perilaku akan menghasilkan pengalaman. Sedangkan sumber pengalaman adalah salah satunya indra, baik penglihatan, pendengaran termasuk indra batin (intuisi) yang mampu merangkai serpihan-serpihan dari pengalaman inderawi untuk dikomunikasikan dengan akan serta diproses yang akan menghasilkan rasa.[59]
Sedangkan Dewey, lebih fokus pada kajiannya tentang peran penting pengalaman dalam proses pendidikan. Dia mengkritik pendidikan tradisional yang hanya pada upaya pengembangan  alamiah (kodrati) dari dalam. Keinginan pada upaya pendidikan yang benar-benar mengembangkan bakat, juga harus dilakukan dari luar diri manusia. Ide progresivitas mewarnai karya Dewey, terkait dengan teori pengalaman dalam pendidikan.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana hubungan konstruktivisme dengan filsafat Islam, yang tentunya memiliki corak tersendiri dengan filsafat barat yang cenderung empiris dan rasionalis. Adakah korelasi dengan ajaran-ajaran Islam (misal dalam al-Qur’an) yang terkait dengan konstruktivisme tersebut. Dalam Islam dikenal ada tiga jenis epistemologi yakni Bayani (teks), Irfani (intuisi), Burhani (rasio), dan Isyraqiyah (illunimnatif). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung dan justifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).[60]  
Sedangkan Irfani, berasal dari kata dasar ‘arafa (arab) semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau makrifat ilmu yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedangkan ilmu diperoleh melalui transformasi (naql) dan rasionalitas (aql). Oleh karena itu secara terminologis, Irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh dengan jalan penyinaran hakikat Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (ryadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love).[61]
Sementara Burhani (demonstrasi),[62] berbeda dengan bayani dari irfani yang masih terkait erat dengan teks suci, tetapi burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani lebih menyandarkan pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Menurut M. Jabid al-Jabiri, perbedaan dari ketiganya adalah bayani menghasilkan pengetahuan melalui analogi realitas non-fisik (qiyas) atau furu’ kepada asalnya. Sementara irfani menghasilkan pengetahuan dengan cara proses penyatuan ruhani pada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyat), sedangkan burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini keberadaannya.
Selain ketiga model epistemologi Islam (tradisi berpikir / nalar arab) tersebut, ada satu metode yang cukup terkenal yakni Isyraqiyyah (illuminatif) yang digarap oleh Suhrawardi (1153-1191).[63] Kata Israq mempunyai banyak arti yakni terbit, bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi. Istilah israqiyyah dalam lisan Inggris adalah illuminiation yang berarti cahaya atau penerangan. Sedangkan dalam wacana filsafat, illuminationalisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan harmoni. Bagi kaum israq sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi cahaya.[64]  
Maka dapat digambarkan bahwa hubungan maupun posisi konstruktivisme di antara filsafat lain (baik Barat maupun Islam), merupakan sebuah dialektika maupun diskursus epistemologi. Yang jelas kemunculan konstruktivisme juga dibidani oleh beberapa aliran filsafat sebelumnya, dari mulai epistemologi ala Plato, kemudian rasionalisme dan empirisme pada abad modern, hingga Kritisisme Kant. Selain itu konstruktivisme juga mempunyai hubungan erat dengan pragmatisme. Dan kesemuannya menunjukkan bahwa konstruktivisme merupakan aktivitas dalam pencapaian pengetahuan yang sangat menghargai peran akal, indra, dan konsepsi kreatif dari intuisi.
Selain dalam tradisi filsafat Barat, sebenarnya embrio maupun cikal bakal pemikiran konstruktivisme dalam Islam juga dikenalkan dalam al-Quran, seperti halnya dalam surat al-Ghasyiah ;
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ * وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ * وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ * فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ (الغاشيه : 17-20)

Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang  memberi peringatan. (QS. Al-Ghasyiah : 17-20) [65]

Dari ayat di atas, mengandung ajaran agar umat manusia memperhatikan alam semesta sebagai salah satu sumber epistemologi. Yang dimaksud alam adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang menjadi tempat tinggal manusia. Alam ini sangat terkait erat dengan instrumen manusia yang disebut inderawi.[66] Sebagai salah satu alat epistemologi, manusia akan kehilangan salah satu ilmu, jika inderanya tidak dapat berfungsi. Selain indera, dalam Islam juga dikenal rasio sebagai alat epistemologi. Rasio ini yang berfungsi sebagai alat untuk memilah dan memilih dan mempertimbangkan segala sesuatu yang ditangkap oleh dunia empiris manusia.
Dalam konstruktivisme sangat dibutuhkan kepekaan dalam mengamati dan merespon dunia sekitar, sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Fitjot Capra, “bahwa kita mengamati sebuah dunia yang mengada secara obyektif dan kemudian disajikan ulang, akan tetapi lebih berupa sebuah dunia yang diciptakan dalam proses mengetahui.”[67] Hal itu dipertegas oleh Maturana dan Varela, bahwa dunia dihasilkan dalam proses mengetahui.
 
B.     Memahami Kembali Konstruktivisme dalam Konsteks Pembelajaran
Konstruktivisme merupakan salah satu filsafat ilmu pengetahuan yang lebih dari dua dasawarsa ini mempengaruhi sistem pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kurikulum berbasis kompetensi yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 2004, untuk menggantikan kurikulum 1994, meskipun perjalanannya tidak terlalu mulus karena berbagai kendala, baik konsep maupun tehnis. Kurikulum yang lebih menekankan pada pertanyaan bagaimana, bukan apa. Artinya bahwa pembelajaran itu harusnya menitikberatkan pada kebisaan-kebisaan (kompetensi / kemampuan), bukan hanya puas pada sebatas mengerti dan memahami.
Untuk lebih memahami konstruktivisme dalam konteks pembelajaran, penulis akan sedikit menguraikan pengertian dan beberapa pandangan konstruktivisme khususnya terkait dengan pembelajaran atau pendidikan.
1.      Pengertian Konstruktivisme
Istilah konstruktivisme berasal dari kata constructive dan mendapat tambahan -ism (baca: paham). Dalam Oxford Advancd Learner’s Dictionary of Current English dituliskan, “to form [sth] by putting different things together: you must learn how to construct a logical argument, to construct a theory/...[68]
[membentuk dengan cara meletakkan sesuatu yang berbeda secara bersama; kamu harus mempelajari bagaimana cara menyusun suatu argumentasi yang logis, guna membangun sebuah teori][69]
   
Sementara kata -isme yang mengikutinya merupakan istilah menunjukkan sebuah aliran/ faham dalam filsafat. Sehingga secara sederhana konstruktivisme dapat dipahami sebagai paham atau aliran filsafat pengetahuan yang menganggap bahwa ide, gagasan, teori maupun sejenisnya, termasuk pengetahuan itu sendiri dibentuk serta disusun oleh subyeknya sendiri.
Secara etimologi, konstruktivisme oleh Pius A Partanto, diartikan sebagai kehidupan merancang dan membangun, atau budaya membangun.[70] Sedangkan Ali Mudhofir menuliskan, konstruktivisme merupakan pandangan yang menyatakan bahwa hal matematis (rasio) hanya ada, jika hal itu dapat dikonstruksikan atau secara intuitif menjadi ada (nilai guna). Pernyataan-pernyataan matematis dikatakan benar kalau dapat diberikan pembuktiannya secara konstruktif.[71] Dengan kata lain konstruktivisme lebih mengutamakan hal-hal yang lebih bersifat praksis (nilai praksis).
Sementara itu, dalam buku Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu, yang ditulis oleh André Kukla, menegaskan bahwa konstruktivisme sebenarnya sebuah kajian filsafat ilmu yang hendak menjawab beberapa pertanyaan; apakah realitas itu dibangun oleh aktivitas manusia, apakah manusia secara kolektif menciptakan dunia, dan bukan menemukannya. Mengapa bersemi anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan penuh perasaan, sementara di sisi lain muncul pembenaran bahwa laki-laki itu makhluk rasional dan mengandalkan kekuatan fisik.
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut melahirkan jawaban bahwa sesungguhnya anggapan-anggapan semacam itu semata-mata hasil konstruksi sosial yang sudah mempengaruhi mindset masyarakat begitu lama. Pendapat itu secara eksplisit menjelaskan bahwa konstruksi adalah sesuatu yang membagun kepercayaan kita berdasarkan klaim-klaim tertentu.[72]
Sedangkan dalam tulisan Paul Suparno,[73] dipaparkan bahwa konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan kontruksi (bentukan) dari pencari ilmu itu sendiri.[74] Konstruksi adalah suatu proses dimana pengetahuan dibangun dan diuji secara kontinu. Individu tidak hanya mengkonstruksi pengetahuan, namun pengetahuan mereka juga harus bekerja dan berfungsi secara aktif. Seperti apa yang diterangkan oleh David Jonassen, dia mendeskripsikan konstruktivisme sebagai berikut ;
[…as the individual student forming knowledge herself, and not relying on what someone else says is true.” In constructivism, the student acts as the creator of her own meaning. According to Jonassen et.al., conversation and collaboration are also key words in the constructivist approach to learning.][75]

Konstruktivisme sangat berbeda dengan rekonstruksionalisme yang sering dibahas dalam aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran tersebut lebih pada cita-cita bersama masyarakat yang ingin mengubah sebuah tatanan kehidupan. Dan perubahan tersebut tidak mungkin dapat dilakukan, jika tanpa konsensus bersama.[76]
Pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalen dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal.
Para konstruktivis, lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual. Maka dalam prakteknya, pendidikan selalu diarahkan pada upaya bagaimana menciptakan sistem yang dapat menciptakan pada sebuah kondisi yang mendukung terjadinya pengalaman belajar bagi peserta didik.

2.      Beberapa Pandangan Konstruktivisme
a.       Tentang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang bisa disingkat ilmu, memiliki arti ekuivalen dengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, wissenschaft (Jerman), wetenschap (Belanda). Ketika dirunut lebih jauh istilah science berasal dari kata scio, scire (bahasa Latin) yang berarti ‘tahu’, begitu pula ilmu berasal dari ‘alima (bahasa arab) yang juga berarti ‘tahu’. Jadi baik science maupun ilmu secara etimologi berarti pengetahuan.[77]
Bertrand Russell menjelaskan pengetahuan sebagai suatu sub-kelas dari kepercayaan yang benar: setiap hal yang mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan yang benar tetapi tidak sebaliknya.[78] Pengetahuan juga dapat bermakna berbeda-beda sesuai dengan jalan bagaimana mencapainya. Salah satunya adalah hakekat ilmu yang dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri. Dia mengingatkan pada sebuah patung karya Auguste Rodin (1840-1917) yang menggambarkan seorang manusia yang sedang tekun berfikir.[79] Berfikir pada hakekatnya sebuah proses membuahkan pengetahuan. Proses itu merupakan sebuah rangkaian gerak pemikiran dalam aturan tertentu hingga akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan.
Dalam pandangan konstruktivisme pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Berangkat dari pandangannya mengenai cara memperolehnya, pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Terkait dengan ini, maka interaksi dengan obyek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakan adalah pintu dalam mendapatkan pengetahuan. Termasuk pengalaman juga merupakan faktor penentu dalam proses konstruksi. Pengalaman tersebut tidak harus diartikan dengan pengalaman fisik, akan tetapi juga dapat dimaknai dengan pengalaman kognitif dan mental.
Secara sederhana gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat diringkas sebagai berikut :
(1)   Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek.
(2)   Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
(3)   Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman seseorang.

b.      Tentang Kebenaran
Ketika pengetahuan itu adalah hasil dari bentukan seseorang sendiri, persoalan yang muncul adalah “bagaimana kita mengetahui bahwa pengetahuan orang itu benar. apa jaminannya, bagaimana kebenaran pengetahuan itu?” Piaget dalam hal ini menerangkan bahwa pengetahuan itu disebut benar apabila pengetahuan itu viable (jalan) untuk menjelaskan persoalan terkait. Semakin pengetahuan itu dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan yang lebih luas, maka kebenaran itu semakin kuat.[80]
Intinya bahwa kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas, yaitu kemapuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Pengetahuan diposisikan sebagai sesuatu yang terus berkembang, bukan barang yang sudah jadi (finish).[81]
Karena pengetahuan adalah bentukan seseorang sendiri, sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa pengetahuan orang itu salah. Jadi yang boleh dikatakan adalah barangkali pengetahuan itu tidak sesuai dengan pengetahuan para pakar dibidang itu. Seringkali pengetahuan yang dianggap salah justru lebih berguna untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dengan kata lain, pengetahuan adalah jalan meskipun mungkin terbatas.
c.       Tentang Teori Belajar
Belajar pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan dalam diri (fisik, dan psikis) manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan kemampuan lainnya.[82]
Konstruktivisme dalam aplikasi pembelajaran berpegang pada beberapa prinsip, yaitu pertama, pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun sosial. Kedua, pengetahuan tidak dapat dipindah dari pendidik kepada peserta didik, kecuali dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar. Ketiga, Peserta didik aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Keempat, pendidik sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar konstruksi berjalan dengan baik.
Melihat dari beberapa prinsip tersebut, model belajar konstruktivisme ini memiliki hubungan dengan beberapa teori belajar, seperti Teori perubahan konsep, teori belajar bermakna ausubel, dan teori skema.[83]
1)      Teori Perubahan Konsep
Istilah lain dari konsep adalah paradigma. Sedangkan paradigma itu sendiri bisa dipahami sebagai kerangka berpikir. Deskripsi paradigma yang lain adalah suatu skema konseptual yang mendasari seseorang memandang sesuatu (persoalan maupun permasalahan) sesuai ideologi tertentu. Dalam konteks pendidikan ada beberapa ideologi yang mempengaruhi cara kerja pendidikan, dari mulai pandangan tentang makna, kurikulum, metode, bahan ajar, hingga sampai dataran praktis dalam pembelajaran. Oleh William F. O’Neill ideologi pendidikan dibedakan menjadi tiga, yakni konservatif, liberalis, dan liberasionis.[84]  
Perubahan konsep (paradigma), dalam situasi yang paling sederhana, khususnya pada proses pembelajaran sangat dibutuhkan. Struktur konsep pada peserta didik, dapat berubah ketika dihadapkan pada suatu kondisi yang konfliktual. Artinya bahwa peserta didik akan lebih bersemangat ketika melihat, dan merasakan fenomena yang sama sekali berbeda atau belum pernah di alami. Sehingga mereka secara tidak langsung akan mengusahakan agar sesuatu yang baru itu dapat diterima, walaupun kecenderungan bertentangan sangat terbuka.
Realitas yang sangat berbeda dengan skema awal akan berusaha dikompromikan, yakni dengan jalan asimilasi maupun akomodasi. Ini menandakan bahwa teori belajar perubahan konsep ini juga mempunyai keterkaitan erat dengan filsafat konstruktivisme.
2)      Teori Belajar Bermakna Ausubel
Terdapat dua grand teori belajar yakni belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar menghafal (rote learning). Meaningful learning merupakan proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar model ini, dapat terjadi apabila si pelajar mau menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
Upaya mengaitkan atau menganalogikan pengertian dan pemahaman tersebut, dilakukan dengan cara asosiasi. Asosiasi adalah proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.[85] Jadi pemahaman peserta didik tentang sesuatu (hasil belajar) di masa lalunya sangat mendukung proses pemahaman di masa mendatang. Istilah lainnya adalah transfer of learning.[86] 
Teori belajar bermakna sangat menekankan pada pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL).[87] Intinya bahwa belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan hanya ‘mengetahui’-nya.[88]
3)      Teori skema
Pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan seseorang. Skema bisa dipahami sebagai bagian-bagian terpenting dari sebuah obyek. Skema juga dapat disebut dengan atribut yang melekat dan menjelaskan kerangka pemikiran seseorang tentang sesuatu hal.[89]Skema dapat bekerja pada sesuatu yang bersifat konkret, maupun abstrak.
Maka hal ini, belajar diartikan sebagai proses bagaimana seseorang dapat membentuk dan mengubah skema. Jadi seorang pelajar melakukan (restrukturisasi) pengaturan, pengorganisasian, dan membangun skema baru, baik yang bersifat melengkapi, atau mengeliminasi maupun mengembangkannya.

C.    Proses Konstruksi Kognitif dalam Pembelajar Konstruktivis
Pembelajaran konstruktivis memprioritaskan pentingnya kegiatan seorang pelajar aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Karena hanya dengan keaktifan tersebut, pelajar mampu melakukan investigasi terhadap fakta-fakta dalam belajar, bisa dengan bertanya (wawancara), dan observasi, mengumpulkan serta memverifikasi, menelaah secara kritis, sehingga pelajar lebih mampu menguasai bahan ajar dengan lebih baik.
Jika demikian, kedudukan pendidik adalah menjadi semacam sutradara yang mengusahakan dan menyiapkan bahan-bahan, situasi-situasi, dan yang terpenting memberi motivasi peserta didik agar tetap aktif.[90] Sehingga dengan sendiri mereka dapat menemukan sendiri pemahaman dan pengertian serta makna-makna yang ada dalam kegiatan belajar. Belajar akan lebih berarti bagi mereka yang merasa dimanusiakan. Tidak dianggap anak kecil yang tidak mengerti apa-apa yang belum saatnya tahu tentang berbagai hal.
Dalam hal-hal tertentu, sebaiknya metode yang hanya melibatkan memori (hafalan) sangat perlu untuk dikurangi. Karena sesuatu yang sudah dipaket (baca: matengan) yang kemudian dipaksakan untuk diterima tanpa upaya kritis dari orang tidak membutuhkannya akan membunuh semangat belajarnya. Kebiasaan njaga’ke (baca: menunggu) bisa menjadi awal bagi peserta didik yang menyebabkan keterpurukan masa depan mereka. Dengan membiarkan mereka mengungkapkan pemikirannya, baik secara tertulis maupun lisan, menjadi salah satu tips atau cara dalam memberi kepercayaan diri pada mereka, agar tetap termotivasi oleh kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.
Motivasi dapat tercipta dari dalam (intrisik) dan dari luar (ekstrisik). Untuk menciptakan motivasi intrinsik tersebut, beberapa alternatif yang dapat dilakukan, menurut Piaget adalah : pertama, usahakan adanya proses asimilasi. Kedua, adanya situasi konflik yang merangsang seseorang mengadakan akomodasi. Agar proses adaptasi dengan asimilasi ini berjalan baik, diperlukan kegiatan pengulangan dalam suatu latihan dan praktik. Pengetahuan baru yang telah dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan agar semakin berarti dan tertanam. Sebagian ahli sepakat bahwa peristiwa anomali[91] dapat menyebabkan konflik dan ketidakseimbangan dalam proses berpikir peserta didik.
Sebagai seorang piskolog yang cukup ulet dalam mengkaji epistemologi yang juga berangkat basiknya sebagai seorang ahli biologi, dia membangun teori belajar dengan landasan konstruktivisme. Dia percaya bahwa perkembangan intelektual (kognitif) anak, tidak jauh beda dengan organisme (makhluk) hidup yang beradaptasi dengan lingkungannya. Berikut adalah proses konstruksi seseorang dalam pembelajaran:[92]
1.      Skema
Tubuh manusia mempunyai struktur tertentu, yang berfungsi sebagai organ-organ yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan badan itu sendiri, begitu pun dengan pikiran. Pikiran memiliki struktur yang disebut skema atau skemata (jamak). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan terus beradaptasi dan berubah selama perkembangan fisik ataupun mental masih berjalan.
Skemata bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri.
Skema juga dapat di nalar sebagai sebuah konsep atau kategori. Orang dewasa mempunyai banyak skema. Skema ini digunakan untuk memproses dan mengidentifikasi setiap rangsangan yang datang. Seorang anak yang baru lahir punya sedikit skema, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi lebih umum, lebih terperinci, dan lebih lengkap. Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skemata seorang anak berkembang menjadi skema orang dewasa. 
2.      Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema, yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus-terus menerus, sampai terjadi tingkat perkembangan yang paling kompleks.  
3.      Akomodasi
Akomodasi dapat terjadi, apabila menghadapi atau mendapat rangsangan pengalaman baru. Pertentangan dari dalam diri seseorang tidak bisa menyebabkan asimilasi terjadi, sebelum adanya proses akomodasi. Sebab pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini seseorang akan mengadakan akomodasi, yaitu; pertama, membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan baru. Kedua, memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut.
Skema seseorang dibentuk seseorang dengan pengalaman sepanjang waktu. Skema menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia sekitarnya. Karena skema ini suatu konstruksi, maka bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada.
4.      Equilibration
Selain proses asimilasi dan akomodasi, pada perkembangan kognitif seseorang juga memerlukan keseimbangan antara keduanya. Proses ini disebut equilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Untuk mengantisipasi dan mengatasi disequilibrium, maka perlu melakukan menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata).
5.      Teori Adaptasi Intelektual
Mengerti (mengetahui) adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh seseorang yang sedang belajar sebelumnya. Struktur pengetahuan awal (skemata), berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan pengalaman-pengalaman baru. Ini yang kemudian disebut adaptasi intelektual









[1] Nama lengkapnya Ernest von Glasersfeld, seorang ahli matematika. Dia adalah penganut konstruktivisme dari Amerika Serikat yang cukup banyak menulis tentang konstruktivisme, beberapa diantaranya adalah Construction of Knowledge, and Teaching (1988), Cognition, Knowing Without Metaphysics : Aspects of the Radical Constructivist Position (1989), Questions and Answers about Radical Construction (1992), Radical Constructivism: a way of knowing and learning (1995). Paul Suparno, Filsafat Konstruktvisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997)
[2] Dia terkenal sebagai tokoh psikologi perkembangan, yang sepanjang hidupnya didedikasikan untuk ilmu pengetahuan. Peaget dilahirkan di Neuchatel, Swiss, Italia. Sejak kecil dia sudah tertarik dengan ilmu pengetahuan. Mendapat gelar Ph.D pada tahun 1918 di Universitas Neuchatel dalam bidang ilmu hewan. Lihat: Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), cet. 3, hlm. 99.
[3] Ernst von Glasersfeld [Scientific Reasoning Research Institute-University of Massachusetts], “An Exposition of Constructivism: Why Some Like it Radical,” lihat situs website : http://www.oikos.org/constructivism.htm

[4] Paul Suparno (1997), op. cit., hlm. 24.
[5] Pernyataan tersebut di atas, bisa dianalogikan dengan pengetahuan tentang kursi misalnya. Seseorang yang mengaku bahwa dia ‘mengetahui’ tentang kursi, maka seorang tersebut harus benar-benar, paham bagaimana cara membuatnya, dari mana bahan-bahannya, sampai bentuk serta fungsinya. Pemahaman secara utuh tentang kursi itu yang disebut ‘pengetahuan’ tentang kursi. 
[6] Dalam karyanya, diantaranya Plato membahas tentang ideas. Kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog induktif seperti yang dilakukan oleh Socrates, akan tetapi pengertian umum itu sudah ada di alam ide (ide bawaan). Lihat: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal, Hati Sejak Thales-Capra, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), cet.11, hlm. 57.
[7] Kieron O’hara, Seri Filasafat Postmodern Plato dan Internet, (Yogyakarta: Jendela, 2002), cet. 1, hlm. 4.
[8] Yang dimaksud orang-orang skeptis itu antara lain; para Shopis (pencinta kebijaksanaan) di zaman abad ke lima Masehi, sebutan bagi seorang filsuf radikal yang mencoba menjelaskan alam semesta dari sudut proses munculnya alam semesta itu, lebih dari sekedar menyusun teori yang melandasi kemunculannya. Kaum skeptis biasanya lebih memfokuskan retorika (kemampuan verbal) dari pada menemukan kebenaran. Mereka hanya tertarik untuk memanfaatkan argumen demi tujuan-tujuan praktis (misalnya; dalam hukum pengadilan, atau dalam kehidupan demokrasi Athena saat itu) dan bukan demi pemikiran atau renungan metafisik murni. Ibid., hlm. 5-6.  
[9] Ibid, hlm. 12
[10] Kieron O’hara, Ibid., hlm. 14.
[11] Jika demikian, maka pengetahuan akan selalu merujuk pada struktur konsep yang dibentuk manusia sendiri. Bukan apa yang diterima dari alam dan lingkungan sebagaimana yang diyakini oleh para pengikut empirisme. Paul Suparno (1997), op. cit., hlm. 24.
[12] Dapat dipahami pula bahwa proses ‘mengetahui sesuatu’ dengan ‘membuat sesuatu’ bisa dianalogikan pada pengetahuan matematika. Matematika dianggap sebagai cabang pengetahuan yang cukup tinggi. Sebab di dalamnya, unsur-unsur dan segala aturan-aturannya diciptakan secara lengkap oleh manusia. Oleh karena, matematika merupakan hasil rekayasa dan ciptaan manusia, maka manusia sendiri yang mengerti sepenuhnya tentang matematika. Sangat berbeda dengan fisika maupun ilmu humaniora, manusia tidak dapat mengerti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat memahami secara keseluruhan, sebab Tuhan yang menciptakan itu semua. Dengan demikian, maka pengetahuan akan lebih bermakna ketika diperoleh dari proses kreatif dari pencari ilmu tersebut.
[13] Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. Kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Kuntowijoyo [Budayawan], Pragmatisme Religius, Kompas, 07 Juli 2004. Dikutip dari situs https://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/07/opini/1129962.htm
[14] Pada awalnya pragmatisme dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1910), kemudian diperluas oleh filsuf Amerika, sekaligus psikolog dan guru besar di Harvard yakni James. Pragmatisme mencoba mendamaikan konflik yang seolah muncul antara pengetahuan dan nilai. Bagi James, yang juga pengarang dari The Varieties of Religious Experience, kebenaran dari sebuah gagasa ditentukan oleh kegunaan dan nilai sosial atau etis gagasan tersebut, atau konsekwensi etisnya.  Christopher Philips, (2002), op. cit., hlm. 307.
[15] John Dewey adalah seorang filsuf intrumentalisme, filsuf pendidikan Amerika, dan pemikir yang paling berpengaruh pada masanya. Dia lahir tanggal 20 Oktober 1859 di sebuah daerah pertanian dekat Burlinton. Ia mengajar mulai tahun 1879 setelah menamatkan kuliahnya di Universitas Vermont. Kemudian dia melanjutkan program pasca sarjana di Universitas John Hopkins, dan mengangkat desertasi tentang The Psychology of Kant. Di tempat yang sama dia juga menyelesaikan program doktoral pada tahun 1884. Selain sebagai seorang pendidik profesional, dia juga seorang pemikir pendidikan yang cukup disegani. Democracy and education (1916), Experience and Education, merupakan beberepa karya perenungannya yang mengantarkan dia populer sebagai tokoh pragmatisme, yang bersemangat mengusung paradigma progresif dalam bidang pendidikan. John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, diterjemahkan dari judul asli “Experience and Education, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), cet. 1, hlm. vii-xvii.
[16] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, diterjemahkan dari judul asli “De Wijsbergeerte Van De 20e Eeuw,” (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001), cet. 2, hlm. 60.
[17] Ibid., hlm. 61.
[18] Ia terkenal sebagai tokoh psikologi perkembangan. Hampir sepanjang hidupnya didedikasikan untuk ilmu pengetahuan. Peaget lahir di Neuchatel, Swiss, Italia. Sejak kecil dia sudah tertarik dengan ilmu pengetahuan. Mendapat gelar Ph.D pada tahun 1918 di Universitas Neuchatel dalam bidang ilmu hewan. Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), cet. 3, hlm. 99.
[19] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 25.
[20] Ernst von Glasersfeld,  An Exposition of Constructivism: Why Some Like it Radical, (Scientific Reasoning Research Institute-University of Massachusetts), tulisan dari alamat web : http://www.oikos.org/constructivism.htm
[21] Konstruktivisme radikal mengemukakan dua klaim utama yang menjadi ciri khasnya: pertama, pengetahuan tidaklah diterima dengan pasif, tetapi dengan aktif dalam membangun pengetahuan. Kedua, fungsi pengamatan merupakan adaptasi dalam mengorganisasikan dunia pengalaman, bukan sekedar menemukan kenyataan sebuah nilai yang sudah mapan. Yang menarik dari Constructivisme radikal adalah bagaimana seseorang mengetahui banyak jalan. Sehingga memberikan kebebasan untuk sementara melepaskan ‘baju’ dari pengetahuan (dogma) metafisika. Dengan jalan ini tentunya menyajikan banyak cita rasa lebih. Namun yang perlu dipahami bahwa  konstruktivisme radikal sangat toleran dan mengajarkan berbagai alternatif klaim pengetahuan. Cornelius Holtorf, Radical Constructivism Knowing Beyond Epistemology. Lihat: https: //tspace.library.utoronto.ca/citd/holtorf/3.8.html
[22] Diterjemahkan sendiri oleh penulis, agar memudahkan dalam pemahaman dengan merujuk pada Transtol dan Kamus Inggris-Indonesia, karya John M. Echols dan Hassan Shadily, (Jakarta: PT. Gramedia).
[23] Ibid.
[24] Realisme adalah suatu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa konsep-konsep umum seperti manusia, binatang, pohon, keadilan, keindahan, dan sebagainya mewakili suatu realitas yang nyata di luar orang yang memikirkannya. Konsep ‘masyarakat’ juga mempunyai realitas dalam dirinya di luar pikiran manusia. K.J. Veeger, Realitas Sosioal; refleksi filsafat sosial atas hubungan individu dan masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), cet. 4, hlm. 10.
[25] Dia terkenal dengan ‘bapak positivisme’. Positivisme adalah paham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan metode ilmu pengetahuan alam (sains). K.J. Veeger, Ibid., hlm. 17-18.
[26] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 23.
[27] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 164.
[28] Fakta memiliki dimensi yang sangat luas, sehingga dapat didefiniskan dengan segala sesuatu yang berada atau terjadi di dunia ini. Matahari adalah suatu fakta, gerhana bulan juga termasuk fakta, orang yang berteriak-teriak karena sakit adalah fakta, pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan seseorang juga merupakan fakta. Jadi intinya bahwa ‘fakta’adalah segala sesuatu yang ada, terlepas dari pandangan setiap orang terhadap sesuatu itu berbeda atau tidak. Bertrand Russel, Fakta, Kepercayaan, Kebenaran, dan Pengetahuan, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Persepektif; kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, (Jakarta: PT.Gramedia, 1991), cet.9, hlm. 70.   
[29] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 26.
[30] Ketika itu dia sering mendapat tugas untuk mengembangkan tes penalaran. Dari pengalaman membuat tes tersebut, Piaget mendapatkan tiga pemikiran penting yang mempengaruhi cara berpikirnya di kemudian hari. Pertama, Piaget lebih tertarik pada anak-anak yang jawabannya salah dari pada yang jawabannya benar. Dia menemukan perbedaan pandangan antara anak yang lebih dewasa dengan yang lebih muda, yang mengantarkannya pada kesimpulan akhir bahwa ada tahapan-tahapan kognitif anak. Kedua, Piaget menemukan suatu metode yang berbeda untuk mempelajari intelegensi. Ia menolak standarisasi tes karena pendekatan ini terlalu kaku. Oleh karena itu ia lebih memilih dengan metode yang kurang terstruktur agar dapat memberi kebebasan untuk bertanya kepada anak. Ketiga, Piaget berpikir bahwa pemikiran logika abstrak mungkin relevan untuk memahami pemikiran anak. Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. 1, hlm. 13-14.
[31] Kesimpulan Piaget tentang konsep adaptasi, sebenarnya bukan karena didasari dia sebagai  ahli fisika, bukan sebagai psikolog, tetapi sebagai ahli ilmu biologi. Dia mengimpor teori evolusi ke dalam studi dan pengamatan-pengamatannya. Ernst von Glasersfeld, Homage to Jean Piaget (1896-1980), dalam http://www.iserp.lu/etudiants/2a/Even_Wojsischowski/glasersfeld.jpg
[32] Paul Suparno (2001), op. cit., hlm. 15.
[33] Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan konsep, informasi baru ke dalam skema kognitif pikirannya. Akomodasi adalah proses mental dimana pikiran pelajar membentuk skemata baru atau memodifikasi skemata yang sudah ada dalam pikirannya sedemikian sehingga cocok dengan informasi yang baru diterima. Don Kumanireng, “Konstruktivisme dan Pembelajaran Lima Level”, Opini dalam Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Kamis : 23 Jun 2004.
[34] Pengetahuan sosial dibentuk dan ditransmisikan antar generasi. Ibarat suatu organisme, manusia berkembang secara biologis dalam relasi dengan lingkungan. Manusia yang tergabung dalam sebuah masyarakat berfungsi sebagai penerus budaya dari generasi ke generasi selanjutnya secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat, melalui pendidikan dan interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan dengan proses sosialisasi.  Ari H Gunawan, Sosiologi Pendidikan; Suatu analisis sosiologi tentang berbagai problem pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 54.
[35] Paul Suparno (1997), loc.cit., hlm. 48.
[36] Nama aslinya adalah Lev Semenovich Vygotsky adalah seorang Psikolog asal Rusia yang mendirikan sekolah psikologi sociocultural, yang mana didasarkan hukum umum tentang pengembangan budaya. William Frawley, Vygotsky and Cognitive Science: Language and the Unification of the Social and Computational Mind, (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), hlm. 520. Lihat di wibesite : http://acl.ldc.upenn.edu/J/J98/J98-3010.pdf
[37] Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individu. Proses kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya, terlebih bahasa pada proses belajar. Baginya, belajar adalah suatu perkembangan pengertian. Penyesuaian-penyesuaian terjadi secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individu. Shaffer, David.R., Development Psychology Childhood and Adolescend, (Georgia: Cole Publishing Company, 1996), hlm. 274-275.
[38] Pengertian spontan adalah pengertian yang terbentuk dari pengalaman kehidupan sehari-hari anak dalam hubungannya dengan lingkungan keluarga, kawan bermain dan lain sebagainya. Sehingga cenderung tidak terdevinisi dan tidak terangkai secara sistematis dan logis.  
[39] Pengertian tersebut biasa lebih terstruktur, terjadi dalam lingkungan pendidikan formal. Pengertian ilmiah juga dapat dikatakan sebagai perkembangan dari pengertian spontan yang berlangsung setiap saat ketika anak-anak belajar merangkai kalimat dalam lingkungan non-formal dan lingkungan formal (sekolah). 
[40] Paul Suparno (1997), loc.cit., hlm. 45. 
[41]  Itulah sebabnya para sosiokulralis menekankan pentingnya interaksi sosial (selain peran aktif individu) dengan orang lain, terlebih yang punya pengetahuan dan yang secara kultural telah berkembang dengan baik. Sehingga mereka mengutamakan dialog dan komunikasi verbal dengan orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal dengan ‘orang dewasa’ anak lebih ditantang untuk lebih memahami pengertian ilmiah. Oleh karenanya dalam praktek, peserta didik dianjurkan untuk berinteraksi dengan para ahli, agar lebih tertantang untuk mengkonstruk pengetahuannya tersebut. Ibid, hlm. 46.
[42] Dia adalah putra bungsu dari seorang keluarga Athena yang kaya dan terkenal, nama sesungguhnya adalah Aristocles --“Plato” atau “Platon” adalah nama panggilan yang didapatkannya sejak lahir, karena bahunya yang mencong dan dahinya agak menonjol. Saat masih muda, dia menerima pendidikan standar layaknya seorang aristokrat muda dan pernah menjadi pemenang dalam kejuaraan gulat, di samping kecakapannya dalam bidang musik dan sastra. Dia juga pernah memperkuat barisan militer Athena (409-494 sM). Namun ketika dia menyadari telah terjadi ketidakadilan dalam dunia politik saat itu, dan diperkuat adanya eksekusi mati bagi gurunya (Socrates), dia membuang ambisinya pada persoalan politik. Kemudian dia mendirikan Akademia sebagai tempat penggodokan para bangsawan dan negarawan masa depan. Nicholas Fearn, Cara Mudah Berfilsafat [Ringkas dan Menghibur], diterjemahkan dari buku asli “Zeno and the Tortoise, How to Think Like a Philosopher,” (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), cet. 1, hlm. 50-51.
[43]  Dunia ide bersifat tetap, kekal, dan merupakan alam sesungguhnya. Sejak lahir manusia membawa ide bawaan. Dengan ide tersebut manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu. Maka, manusia tinggal “mengingat kembali” ide-ide bawaannya jika menginginkan memahami sesuatu. Epistemologi pada masa Plato bersifat rasional spekulatif. Maksudnya, pemikiran rasional Plato semata-mata didasarkan pada keyakinan pada dunia ide, yakni ide-ide bawaan manusia, tidak betul-betul didasarkan pada pemikiran yang bertumpu pada fakta-fakta empiris. Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. 1, hlm. 31-32.
[44] Nicholas Fearn, [Cara Mudah Berfilsafat], op. cit., hlm. 53
[45] Plato meminta kita untuk membayangkan bahwa ada manusia-manusia yang terpenjara di dalam gua sejak lahir dan tidak pernah melihat dunia luar. Mereka dirantai dan dipasung hingga tidak mampu bergerak sedikitpun dengan posisi membelakangi mulut gua. Cahaya yang berasal dari api unggun dari mulut gua menghasilkan bayangan pada dinding gua, berupa sosok yang berlalu lalang sambil berbicara. Maka, secara alamiah orang yang dipasung itu menganggap bahwa suara-suara yang memantul pada dinding gua tersebut berasal dari bayangan-bayangan itu. Kemudian, jika salah satu dari mereka terlepas dan berhasil melihat apa yang sesungguhnya, yang lebih nyata, malah dia tidak percaya bahwa yang dia lihat adalah dunia yang lebih nyata. Ibid., hlm. 51-55. 
[46] Dr. Paul Suparno (1997), loc.cit., hlm. 18.
[47] Descartes tidak sendiri, dalam barisannya ada Hobbes, Spinoza, Leibniz, yang ikut memperkuat barisan rasionalisme. Pada dataran praksis kaum rasionalis sangat menekankan pada subyektivitas. Sebab rasionalisme mengandalkan hasil pencapaian akal, sementara akal sangat terkait dengan person dan individualistiknya. Prestasi perenungan Descartes dengan skeptisismenya menghasilkan sebuah kesimpulan yang terkenal dengan “Cogito, ergo sum”--aku berfikir maka aku ada. Yang dimaksud berfikir ialah kesadaran secara umum, yang sudah tidak dapat diragukan lagi. Hector Hawton, Filsafat yang Menghibur: Penjelajahan memasuki ide-ide besar, (Yogyakarta : Ikon Teralitera, 2003), cet. 1, hlm. 41-42.
[48] Murtadha Muthahari Muthahhari, Mengenal Epistemologi; sebuah pembuktian terhadap rapuhnya pemikiran asing dan kokohnya pemikiran Islam, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 28.
[49] Secara etimologi, istilah empirismeberasal dari kata Yunani, emperia yang berarti pengalaman. Aliran ini muncul di Inggris. Pada awalnya dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776). Muhammad Muslih, op. cit., hlm. 62.
[50] Ada dua jenis pengalaman; lahiriah (sensation) dan batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas). Jiwa manusia bersifat pasif sama sekali dalam menerima ide-ide tersebut. Jiwa manusia dapat membentuk ide majemuk (compleks ideas), seperti ide substansi. Ibid., hlm. 63.
[51] Ibid.
[52] Melalui karya tersebut, Hume ingin mengenalkan metode eksperimental sebagai dasar menuju subyek-subyek moral. Buku tersebut terdiri dari tiga bagian. Pertama, mengupas problem-problem epistemologi. Kedua, membahas masalah emosi manusia. Ketiga, membicarakan prinsip-prinsip moral. Pada dasarnya dalam tulisannya ia hendak melawan rasionalisme (kausalitas dalam membuktikan ‘Tuhan’), serta mencounter empirismenya Locke dan Berkeley yang masih percaya adanya substansi. Hume meyakini bahwa seluruh isi pemikirannya berasal dari pengalaman, yang diistilahkan dengan “persepsi”. Persepsi sendiri ada dua tingkatan, yaitu kesan (immpresions) dan gagasan (ideas). Kesan bisa disebut dengan pengalaman inderawi yang ditangkap pada suatu obyek (materi), sedangkan gagasan lebih pada gambaran makna (konsep) tentang obyek tersebut dengan cara memanggilnya kembali untuk dipikirkan. Hume membedakan dua jenis kesan, yakni sensasi (muncul dari jiwa) dan refleksi (muncul dari gagasan), serta dua jenis gagasan yakni memory (lebih teratur) dan imaginasi (kombinasi ide yang berasal dari kesan-kesan).  Ibid., hlm. 64-65.
[53] Ibid., hlm. 66-67.
[54] Ia dilahirkan di Koenigsberg, dari seorang ayah keturunan Skotlandia. Kant digambarkan sebagai orang yang tekun belajar, pendiam dan sangat metodis. Dia juga seorang cendekiawan yang hidup sederhana. Hector Hawton, op. cit., hlm. 110.  
[55] Kritisisme adalah aliran filsafat yang memulai perjalanannya dengan dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisisme yang lakukan oleh Kant dimulai dengan melakukan kritik atas rasio murni, kemudian atas rasio praksis, dan terakhir kritik atas daya pertimbangan. 
[56] Hector Hawton, ibid., hlm. 118.
[57] Pada awalnya pragmatisme dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce, kemudian diperluas oleh filosuf Amerika, sekaligus psikolog dan guru besar di Harvard yakni James. Pragmatisme mencoba mendamaikan konflik yang seolah muncul antara pengetahuan dan nilai. Bagi James, yang juga pengarang dari The Varieties of Religious Experience, kebenaran dari sebuah gagasan ditentukan oleh kegunaan dan nilai sosial atau etis gagasan tersebut, atau konsekwensi etisnya.  Christopher Philips, (2002), op. cit., hlm. 307.
[58] William James, The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-Pengalaman Religius, (Yogyakarta: Jendela, 2003), cet. 1, hlm. 99.
[59] Ibid.
[60] Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,namun tetap harus mendasarkan pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan, kecuali disandarkan pada teks. Sehingga pada dataran perspektif keagamaan, sasaran bidik dari bayani adalah aspek eksoterik (syariat). A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1, hlm. 177.
[61] Ibid., hlm. 194.
[62] Menurut al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384-322 sM) yang dikenal dengan metode analitik (tahlili); suatu cara berpikir yang disandarkan pada proposisi tertentu dengan mengambil sepuluh kategori, sebagai objek kajian; kuantitas, kualitas, ruang, atau tempat, waktu, dan seterusnya. Cara berpikir analitik Aristoteles yang tadinya menggunakan istilah logika, setelah masuk ke dalam khasanah pemikiran Islam berganti nama dengan burhani. Transformasi tersebut adalah akibat dari program penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833). Ibid., hlm. 219.
[63] Dalam wacana filsafat ilmu namanya memang belum banyak dikenal, bahkan dalam khasah pemikiran Islam, sosok Suhrawardi masih tergolong problematik (untuk tidak mengatakan masih teka-teki). Dia adalah seorang filsuf Muslim besar yang, menurut Hasan Hanafi (tokoh revolusioner Mesir), filsafat Islam mencapai puncaknya, ketika ada di tangannya, namun pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja. Pertama, sebagai tokoh sejarah. Kedua, lebih tampil sebagai tokoh sufi yang sejajar dengan al-Hallaj (858-913), al-Ghazali (1058-1111), Ibn Arabi dan lain-lain. Muhammad Muslih, op. cit., hlm. 239-240.  
[64] Pemikiran Suhrawardi tentang Israqi, menurut Sayyed Hussein Nasr, dipengaruhi oleh lima aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj dan al-Ghazali, yang membicarakan nur (cahaya) dan iman. Kedua, pemikiran paripetetik filsafat Islam khususnya filsafat Ibn Sina. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum islam, yakni aliran Phythagoras (580-500 sM), Platonian dan Hermenian. Keempat, pemikiran-pemikiran hikmah (Iran kuno) sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes). Kelima, bersandar pada ajaran Zoroater dalam gunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian ditambah dengan istilah-istilah sendiri. A. Khudori Soleh, op. cit., hlm. 119-121. 
[65] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Penerbit J-Art, 2004), hlm. 593.
[66] Murthadha Muthahhari, op.cit., hlm. 81-82.
[67] Fritjof Capra, Menyatu dengan Semesta; Menyingkap batas antara Sains dan Spiritualitas, Judul Asli, Belonging to the University; Exploration to the Frontiersof Science and Spirituality,  (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1999), hlm. 213.
[68] A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London: Oxford University Press, 2000), hlm. 264.
[69] Teks ini diterjemahkan oleh penulis sendiri dengan bantuan transtool, agar memudahkan dalam memahami makna maupun isi. Pada baris berikutnya juga dituliskan, “construction” adalah the creating of sth from ideas, opinions and knowledge : the contruction of a new theory [terciptanya gagasan, pendapat dan pengetahuan: membentuk suatu teori baru]. Ibid
[70] Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 365.
[71] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajahmada Univercity Press, 1996), hlm. 37.
[72]André Kukla, Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm.vii-ix.
[73] Seorang dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia mendapat gelar BA pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Jakarta pada tahun 1975. Pada saat bersamaan dia berhasil meraih gelar Sarjana Ilmu pasti dan alam di USD (dulu IKIP Sanata Darma) dan Sarjana Filsafat Teologi pada Institut Filsafat Teologi Wedabhakti Yogyakarta tahun 1982. Sementara doktor Pendidikan Sains diraihnya di Boston University Amerika Serikat. Selain sebagai penulis lepas di berbagai media, dia juga pernah menjabat sebagai rektor USD. Tulisan-tulisannya cukup mewarnai diskursus seputar pendidikan di Indonesia. 
[74] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 18.
[75] Bagi Jonassen, yang dimaksud konstruktivisme dalam konteks belajar sebenarnya adalah […pelajar sendiri yang membangun pengetahuannya, bukan sekedar “mempercayai apa yang dikatakan seseorang adalah benar.” Pelajar sendiri yang berperan memproduksi pengertian / sejumlah pemahaman. Diskusi dan kerjasama menjadi kata kunci dari pendekatan pembelajaran konstruktivis. Intinya adalah orientasi pembelajaran berada pada student-centered]. Lihat: http://www.cwrl.utexas.edu/currents/fall99/melzer/ConstructivismDefined.htm.
[76] Pengikut aliran rekonstruksionalisme percaya bahwa telah tumbuh kesadaran dan sepakat untuk menciptakan satu dunia baru dengan kebudayaan baru, di bawah satu kedaulatan dunia dalam pengawasan mayoritas umat (subordinat) dan otoritas internasional. Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayu media, 2004), cet. 1, hlm. 189. Baca juga, Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 2, hlm. 29-30.   
[77] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), cet. 7, hlm. 47. 
[78] Bertrand Russell, Fakta Kepercayaan Kebenaran dan Pengetahuan, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), cet. 9, hlm. 82.
[79] Patung tersebut setidaknya melambangkan bahwa manusia sebagai makhluk berfikir (homo sapiens). Dengan berfikir itulah manusia menjadi benar-benar manusia. Sebab akal merupakan ciri dari kemanusiaan, bahkan manusia juga disebut hewan yang berfikir. Ibid.,, hlm, 1.
[80] Paul Suparno, Teori perkembangan kognitif Jean Peaget, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 124.
[81] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 22.
[82] Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif, Panduan Menemukan Tehnik Belajar Memilih Jurusan dan Menentukan Cita-cita, (Jakarta: Puspasuara, 2002), cet. 3, hlm. 1.   
[83] Paul Suparno (1997), loc.cit., hlm. 49-58.
[84] Setidaknya dalam pandangan O’Neil, beberapa ideologi tersebut yang mempengaruhi dunia pendidikan di berbagai negara. Setiap ideologi memiliki karakter dan corak tersendiri sehingga dalam dataran praksis juga akan berbeda-beda dalam merangkai sebuah sistem pendidikan yang dijalankan. Baca : William F. O’Neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, diterjemahkan dari judul asli “Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies”, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. 2, hlm. 104-111.
[85] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 122.
[86] Istilah itu dapat diartikan transfer belajar yaitu pemindahan hasil belajar dari mata pelajaran yang satu ke mata pelajaran yang lain, atau dari situasi satu ke situasi yang lain. Contoh, kemampuan menulis opini, akan membantu dalam belajar menulis artikel, esai dan sejenisnya. Tim Pengembangan MKDK IKIP, Psikologi Belajar, (Semarang: IKIP Press, 1990), hlm. 134.  
[87] Suatu proses pembelajaran berupa learner-centered dan learning in context. Konteks dalam pembelajaran adalah sebuah keadaan (situasi) yang mempengaruhi kehidupan nyata dari pelajar itu sendiri, misalnya keadaan keluarga, setting sosial dalam masyarakat dan lain sebagainya. Sederhananya, CTL juga dipahami sebagai konsep pembelajaran yang menekankan keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Baca : E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), cet. 2, hlm. 102.
[88] Nur Hadi, Kurikulum 2004, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), hlm. 104.
[89] Misalnya, skema tentang buku adalah lembaran kertas, yang bertuliskan huruf-huruf, kadang disertai dengan gambar-gambar. Skema itu juga dapat berkembang, bahwa buku bukan hanya lembaran kertas yang ditulisi, namun buku juga dapat dimaknai gerbang ilmu, jendela masa depan, dan lain sebagainya. Skema-skema semacam itu yang akan terus berkembang sepanjang waktu, jika dikehendaki oleh seseorang. 
[90] Paul Suparno, (2001), op.cit., hlm. 143
[91] Peristiwa anomali adalah peristiwa atau kejadian yang berlawanan dengan yang bisa dipikirkan murid. Anomali ini lebih diasosiasikan pada sebuah fakta yang berlawanan dengan pemahaman awal dari peserta didik. Bahasa yang mudah anomali adalah keanehan. Ketika peserta didik sudah merasa aneh dengan suatu hal, maka dia akan semakin penasaran. Keingintahuan mengusik ketenangannya untuk mencari tahu. Paul Suparno (2001), ibid., hlm. 144. 
[92] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 330-33.  

0 Response to "KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN"

Post a Comment