KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
A. Melihat
Perkembangan Konstruktivisme
1. Asal-usul dan
Perkembangannya
Menurut Glasersfeld,[1] sebagaimana yang
dituliskan oleh Paul Suparno bahwa istilah constructive-cognitive mulai
mengemuka pada abad 20-an, yang terdapat pada tulisan Mark Baldwin. Kemudian
dalam tahap berikutnya dikaji dan dikembangkan oleh seorang psikolog
perkembangan dari Swiss. Dialah Jean Peaget (1896-1980),[2] yang mulai intens
melakukan penelitian-penelitian mengenai perkembangan kognitif.
Dalam salah satu statement filsafatnya, dia
menyatakan, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan-Nya.”[4]
Selanjutnya dia juga menyatakan bahwa ‘mengetahui’ berarti mengetahui membuat
sesuatu.[5]Namun, jika
ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebagai bagian dari
diskursus epistemologi, sebenarnya telah diawali oleh Giambattista Vico,
seorang ahli filsafat Neopolitan dari Italia. Sekitar tahun 1710-1712, dia
memublikasikan hasil tulisannya mengenai konstruksi-pengetahuan, sebuah karya “The
Giornale de’ Letterati d’Italia” benar-benar kontroversi, yang diterbitkan
salah satu jurnal ilmiah yang paling bergengsi saat itu.[3] Sehingga banyak kalangan
menilai bahwa Vico itulah yang menjadi cikal bakal konstruktivisme.
Dalam pandangannya, seseorang tidak bisa disebut
mengetahui tentang ‘sesuatu’ jika dia tidak dapat menjelaskan unsur-unsur apa
yang terdapat pada ‘obyek yang diketahui’ tersebut. Jika demikian maka, dapat
dikatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang komputer, tidak bisa dianggap valid,
jika dia tidak dapat membuktikan serta mendeskripsikan komputer tersebut secara
komprehenship. Dari mulai perangkat keras hingga perangkat lunak.
Argumentasi Vico tersebut mengingatkan pada
seorang filsuf Yunani Kuno yang cukup ternama yakni Plato (428-347 sM).[6] Dia dikenal sebagai murid
(sekaligus kawan dialog) Socrates, yang banyak menulis tentang pemikiran dan
pandangan dari gurunya. Karya-karyanya banyak membahas tentang ide, negara,
kosmologi, termasuk epistemologi. Pemikiran-pemikiran cerdasnya, cukup banyak
mempengaruhi filsuf-filsuf sesudahnya, di mana banyak kajian epistemologi
diteruskan dalam suatu aliran yang kurang lebih sama dengan aliran Plato.[7] Karya-karya Plato banyak
membahas tentang epistemologi, di latar belakangi oleh serangan cukup serius
dari kaum ‘skeptis’[8]
yang diarahkan pada eksistensi pengetahuan objektif.
Ketika itu Plato melakukan banyak upaya guna
mengungkapkan perbedaan esensial antara ‘pengetahuan’ dan ‘keyakinan sejati’
khususnya dalam sebuah karya epistemologinya yang cukup terkenal yakni Theaetetus.
Di dalamnya banyak mengurai perbandingan antara pengetahuan dan keyakinan
sejati. Pembahasan Plato sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan adalah
keyakinan plus logos.[9] Logos sendiri, bagi para
filsuf diartikan, kurang lebih merupakan sebuah cara menjelaskan atau
memperoleh pemikiran rasional. Pengetahuan memiliki realibilitas, sementara
keyakinan sejati tidak. Untuk meyakini sebuah keyakinan sejati, maka harus
memunculkan sejumlah alasan pembenaran.
Untuk lebih memahami perbedaan antara
‘pengetahuan’ dengan ‘keyakinan sejati’ ala Plato dapat digambarkan
dengan dua perbedaan pernyataan berikut. Bandingkan antara; “orang yang
mengetahui bagaimana cara mengendarai mobil,” dengan “orang yang hanya meyakini
bahwa dia dapat mengendarai mobil.” Tentunya perbedaan yang dapat dilihat
adalah fakta pertama benar-benar melakukan pekerjaan itu. Jika fakta kedua
mampu menyetir, pasti dia juga mengerti bagaimana cara menyetir. Orang kedua
bisa saja meyakini (namun dengan sejumlah alasan tertentu tidak mengetahui)
bahwa dia mampu menyetir. Sekilas, memang tidak jelas bahwa pengetahuan tentang
menyetir semata-mata persoalan ‘keyakinan’.
Intinya, pengetahuan merupakan penjumlahan dari keyakinan
sejati dengan sesuatu, yakni sesuatu yang ‘semata-mata’ keyakinan
menjadi pengetahuan. Maka jelas bahwa pengetahuan merupakan sebuah keadaan
psikologis yang melibatkan seseorang dengan pengetahuan yang membenarkan atau
mendukung sebuah dalil. [10]
Terkait dengan pandangan Vico yang membahas
tentang ilmu pengetahuan, maka terlihat ada korelasi pemikiran di antara
keduanya. Mereka sama-sama mempersoalkan pengetahuan dan keyakinan. Menurut Vico, “hanya Tuhan sajalah yang
benar-benar dapat mengerti alam semesta, karena hanya Dia yang benar-benar
mengetahui secara pasti bagaimana alam raya ini diciptakan. Manusia hanya dapat
mengetahui apa yang telah dikonstruksikannya.[11]
Jika demikian, di benak Vico, pengetahuan manusia
terhadap alam semesta, tidak akan mampu mencapai titik yang paling sempurna.
Intinya dalam meletakkan dasar-dasar konstruktivisme, Vico berkeyakinan bahwa
pengetahuan tetap saja tidak bisa terlepas dari orang (subyek) yang tahu,
sehingga hasilnya merupakan struktur konsep dari pengamat itu sendiri.[12] Sehingga apapun deskripsi
manusia tentang segala sesuatu, akan terus mengalami proses perkembangan secara
terus menerus, hingga pengalaman itu membentuk pengetahuan ‘akhir’ yang lebih
komplit.
Rorty (dalam Glasersfeld, 1988) menilai
konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme,[13] terlebih dalam soal
pengetahuan dan kebenaran, sebab aliran yang dipelopori oleh William James
(1842-1910) tersebut hanya mementingkan pada aspek kegunaan (nilai).[14] Pada hakikatnya
pragmatisme merupakan filsafat Amerika, meskipun di Eropa dan Inggris juga
banyak ditemukan gaya-gaya berpikir yang bertautan dengan pragmatisme. Sebelum
ada James, pragmatisme diawali oleh Charles S.Peirce (1839-1914), baru kemudian
disusul John Dewey (1859-1952).[15] Pragmatisme sebenarnya
juga dikenal dengan istilah “empirisme radikal” yang cukup memberi pengaruh
besar terhadap pemikiran Eropa.
Dalam karya-karyanya, Pragmatism (1907), A
pluralistice Universe (1909), Eassays in radical Empiricism (1912),
James mengakui bahwa empirisme radikalnya adalah kelanjutan dari empirisme
Inggris yang di usung oleh Lokce dan Hume.[16] Walaupun James mengakui
bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari empirisme radikal, namun
empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasarkan
fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan.
Keradikalan empirisme yang diajarkannya terletak
pada keadaan yang menunjukkan bahwa di dalam konstruksi-konstruksinya, dia
tidak mengizinkan adanya satu unsur pun yang tidak secara langsung dialami,
atau tidak ada satu unsur pun yang dialami secara langsung diabaikan. Sehingga
hubungan-hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, sudah tentu
merupakan hubungan yang dialami, dan setiap hubungan yang dialami harus
dipandang sama ‘nyatanya’ seperti hal-hal lain yang terdapat dalam sistem ini.[17]
Kembali pada Vico, bahwa gagasannya cukup lama
tenggelam, dan seolah tidak diketahui orang. Sehingga pada akhirnya Jean Piaget
(1896-1980)[18]
menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif
dan juga epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan idenya tentang teori
adaptasi-kognitif dengan mendasarkan pada kenyataan berlangsungnya adaptasi
dari setiap organisme pada lingkungannya. Begitu juga dengan struktur kognitif
manusia, yang juga mengalami adaptasi-adaptasi tersebut.[19] Gagasan Piaget ini
rupanya lebih cepat diterima dan tersebar dari pada gagasan Vico yang
sebenarnya sudah lebih dahulu. Tidak jelas apakah pemikiran Piaget adalah
pengaruh pemikiran dari Vico apa tidak.
Merujuk pada Glasersfeld, Paul Suparno membedakan adanya tiga tingkatan (taraf)
konstruktivisme, yaitu; pertama,
konstruktivisme radikal. Konstruktivisme radikal menjadi bagian yang cukup
besar dalam pergerakan filsafat dan ilmu pengetahuan sosial. Penganjur dan
propagandis yang paling terkemuka adalah Psikolog Amerika yaitu Ernst von
Glasersfeld.[20]
Keradikalan dari aliran ini terbukti dengan pandangannya, bahwa “that all knowledge is
constructed rather than discovered, and that it is impossible to tell (and
quite unnecessary to know) if and to what degree knowledge reflects an
‘ontological’ reality.”[21]
[seluruh
pengetahuan itu dibangun, bukan ditemukan, dan mustahil untuk diberikan kepada
orang yang tidak perlu mengetahui, dan tingkat pengetahuan bukan refleksi dari
sebuah kenyataan ‘ontologis’][22]
Bagi para konstruktivis radikal, pengetahuan tidak
merefleksikan dan menggambarkan suatu kenyataan ontologis obyektif, akan tetapi
merupakan suatu pengaturan dan pengorganisasian dari realitas dunia yang
dibentuk dari pengalaman seseorang. Konstruktivisme radikal berpendirian bahwa
seseorang hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk oleh pikiran seseorang itu
sendiri.[23]
Hasil bentukan itu harus ‘jalan’ tidak harus
selalu merupakan representasi dari dunia nyata. Bisa diartikan bahwa sebuah
pandangan terhadap obyek yang sama, antara orang satu dengan yang lain belum
tentu seragam. Misalnya, pandangan seseorang mengenai waktu. Bagi orang yang
menunggu dan yang ditunggu, walaupun sama-sama 1 jam, tentunya bagi orang yang
menunggu waktu satu jam itu sangat lama, lain dengan yang ditunggu. Ini menunjukkan
ada dimensi subyektif yang dirasakan oleh seseorang dalam memandang sesuatu.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari
seseorang yang mengetahui, maka tidak akan ada transfer dari penerima pasif
yang tidak memiliki keinginan untuk mendapatnya. Penerima sendiri yang harus
membentuk pengetahuan itu. Semua yang ada, apakah itu objek maupun lingkungan,
hanyalah media untuk mengantarkan pada konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya
tidak ada konstruksi sosial, dimana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama,
karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan
orang lain tidak lebih sebagai bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan
dalam pengetahuan yang sudah dipunyai oleh orang itu sendiri.
Kedua, realisme-hipotesis. Menurut realisme[24]-hipotesis, pengetahuan
ilmiah dipandang sebagai suatu hipotesis (kesimpulan) dari suatu struktur
kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat
dengan realitas. Pengetahuan ilmiah sebenarnya berasal dari ‘tradisi’
positivistik yang diusung oleh August Comte (1798-1857).[25] Dalam pandangan Comte,
perkembangan pengetahuan manusia terjadi dalam tiga tahap, yaitu teologis,
metafisika, dan positivistik.[26]
Bagi kaum positivistik apapun yang didapatkan
dengan metode empiris-rasional juga dapat dikatakan sebagai realitas
pengetahuan. Pengetahuan ilmiah mempunyai syarat, bahwa ‘pengetahuan’ dapat
diterima manakala dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau
dengan menerapkan cara kerja atau metode ilmiah.[27] Sedangkan metode ilmiah
adalah prosedur atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan melalui
persepsi inderawi, kemudian diuji coba sehingga mendapatkan hipotesis (teori
sementara) secara terarah (sistematis).
Maka, pengetahuan ilmiah lebih merupakan hasil
akhir dari pengamatan-pengamatan terhadap fakta[28] yang ada di lapangan, dan
pada tahap selanjutnya harus dapat dibuktikan secara empiris-rasionalistik
untuk mendapatkan validitas atas hipotesis (kesimpulan) tersebut.
Dengan demikian pengetahuan manusia menurut
realisme-hipotesis, memiliki relasi yang sangat dekat dengan kenyataan, sebab
dilihat dari proses mendapatkannya tidak lepas dari subyektivitas individu yang
mengetahuinya. Ilmu pengetahuan tidak mungkin bebas dari pengaruh kondisi
psikologis, latar belakang (setting) sosio-historis yang mengetahui. Hal
ini yang menyebabkan hasil temuan ilmiah bersifat perspektifistik (ijtihadi),
sehingga sama sekali boleh dipertanyakan kembali.
Ketiga, konstruktivisme biasa. Aliran ini tidak
mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Pengetahuan, bagi aliran ini
merupakan gambaran dari realitas itu.
Pengetahuan manusia dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan
suatu obyek dalam diri sendiri.[29]
2. Beberapa Model
Konstruktivisme
Konstruktivisme dikenal memiliki beberapa model.
Model tersebut sebenarnya berangkat dari perdebatan siapa dan apa yang paling
dominan dalam mempengaruhi konstruksi seseorang dalam membentuk pengetahuan.
Apakah proses pembentukan kognitif seseorang sendiri atau lebih merupakan
proses inkulturasi dalam masyarakat. Apakah proses konstruksi pengetahuan
terjadi secara pribadi atau lebih bersifat sosial-kultural. Maka dari itu,
konstruktivisme dibedakan menjadi tiga tradisi besar, yakni konstruktivisme
psikologis-personal, konstruktivisme sosiologis dan konstruktivisme sosial (sosiokulturalisme).
a.
Konstruktivisme Psikologis
Personal
Konstruktivisme ini
didasarkan pada penelitian-penelitian Jean Peaget terhadap perkembangan kognisi
pada anak-anak. Piaget menyebutnya dengan istilah epistemologi-genetik.
Kecintaan pada anak-anak sebagai obyek penelitiannya bermula saat dia bekerja
di Laboratorium Binet di Paris bersama Theophile Simon pada tahun 1920.[30]
Selama di Paris tersebut,
Piaget mencoba mengintegrasikan minatnya pada bidang biologi dan epistemologi.
Dengan menggabungkan pemahamannya tentang psikologi intelegensi manusia, dengan
epistemologi yang lebih berbicara bagaimana kognisi manusia terbentuk, dia
mengambil hipotesis bahwa ada kesamaan antara adaptasi organisme terhadap
lingkungannya, dengan perkembangan kognisi manusia.[31]
Keyakinan adanya
tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak semakin bertambah, ketika Piaget
berkesempatan melakukan banyak penelitian-penelitian tentang persepsi anak
mengenai gejala alam, seperti; awan, sungai, bahasa, waktu, gerak, kecepatan
dan lain sebagai. Jabatannya waktu itu, sebagai direktur penelitian di Institut
Jean-Jaques Pousseau di Geneva, sangat mendukung aktivitasnya sebagai peneliti.
Pada tahun 1920-1930
keyakinan tersebut, direalisasikannya dengan melakukan penelitian bersama
istrinya terhadap ketiga anaknya yang lahir 1925, 1927, dan 1931. Hasil
pengamatannya kemudian dipublikasikan dalam The
Origins of Intelligence in Children dan Construction of reality in the Child, yang kemudian dikenal
dengan tahap-tahap perkembangan kognitif anak.[32]
Dalam epistemologi genetiknya Piaget tidak membahas manusia secara umum, akan
tetapi dia batasi pada anak-anak. Dia menyoroti bagaimana seorang anak
pelan-pelan membentuk dan mengubah skema dengan jalan asimilasi maupun
akomodasi.[33] Ia
menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana
maupun secara reflektif dalam membentuk pengetahuan, berdasarkan informasi
maupun fakta --baik secara fisis ataupun intuitif (rasa) – apapun yang
diperolehnya dari lingkungannya.
b.
Konstruktivisme Sosiologis
Pandangan ini lebih percaya pada anggapan bahwa
pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan
faktor dalam perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan
oleh faktor sosial juga. (Berger dan Luckmann, 1967). Berger mendasarkan
pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup
sehari-hari merupakan dunia yang dialami
bersama dengan orang lain. Dunia ini nyata bagi ‘saya’ dan bagi orang lain.[34]
Jelas bahwa proses menjadi manusia ada dalam
konteks interelasi dengan lingkungannya baik alamiah maupun manusiawi. Sehingga
ada ungkapan bahwa manusia menghasilkan ‘dirinya sendiri.’ Konstruktivisme
sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial,
bukan konstruksi individual. Kelompok ini sangat menghargai lingkungan,
masyarakat dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan.[35]
c.
Sosiokulturalisme
Aliran konstruktivisme model
ini, dinilai sebagai jalan tengah dari perdebatan antara konstruktivisme
psikologis personal yang menekankan pada otoritas individu dan konstruktivisme
sosial yang lebih mempercayai interaksi sosial lebih berpengaruh dalam
pembentukan pengetahuan. Sosiokulturalisme bersikap akomodatif, karena mengakui
kedua-duanya, baik peran individu maupun peran interaksi sosial sebagai wahana
dalam pembangunan pengetahuan seseorang.
Sosiokulturalisme yang dikembangkan oleh Vigotsky (1896-1934),[36]
mengakui faktor eksternal, yaitu dengan jalan; interaksi sosial, pergaulan dan
dialog-dialog seseorang dalam masyarakatnya. Oleh karenanya faktor bahasa,
sebagai alat komunikasi budaya sangat dominan mempengaruhi konstruksi pengetahuan.[37]
Belajar merupakan suatu
perkembangan pengertian. Sementara itu, pengertian dalam pandangan Vygotsky ada
dua jenis, yaitu pengertian spontan[38] dan
pengertian ilmiah.[39]
Pengertian (baik spontan dan ilmiah) dalam pandangan Vygotsky, bukan datang
dalam bentuk yang sudah matang (jadi). Akan tetapi pengertian tersebut selalu
mengalami perkembangan, dan sangat bergantung pada tingkat kemampuan anak dalam
menangkap sebuah makna dari persinggungannya dengan realitas.
Vygotsky menggunakan istilah
zo-ped yaitu suatu wilayah tempat
bertemu antara pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang
dewasa. Wilayah ini berbeda dari setiap anak dan ini menunjukkan kemampuan anak
dalam menangkap logika dari pengertian ilmiah.[40]
Penelitian Piaget tentang
bahasa anak-anak menyimpulkan bahwa bahasa anak bersifat egosentris. Mereka cenderung berbicara keras kepada diri sendiri
dari pada kepada orang lain. Bahasa adalah aspek sosial yang paling awal, dan
merupakan inner pseech (kemampuan
bicara yang pokok) yang nantinya akan digunakan sebagai alat berpikir. Oleh
karenanya anak terus berusaha mengungkapkan pengertian mereka dengan simbol
yang sesuai, untuk berkomunikasi dengan orang lain.[41]
Sosiokulturalisme
mempercayai bahwa aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi
seseorang dalam praktek-praktek sosial dan kultural yang ada, seperti; situasi
sekolah, masyarakat, teman, dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa
konstruktivisme model ini bersifat kontekstual, artinya bahwa pelajar selalu
membentuk pengetahuannya dalam situasi dan konteks khusus. Misalnya, dalam
situasi masyarakat yang berbeda, pengertian tentang kesehatan pun dapat
berbeda.
Sesungguhnya seorang
dilahirkan dalam suatu lingkungan sosial dan kultural dimana semua objek dan
kejadian yang ditemukan mempunyai arti yang khusus dan juga dikonstruksikan.
Melalui interaksi dengan unsur-unsur yang hidup dan yang tidak hidup dalam
lingkungan semua cara belajar berlangsung secara sosial.
Dengan cara seperti itu,
dalam pengetahuan ada komponen sosial dan tidak dapat dilihat sebagai
konstruksi individual melulu. Karena tidak mungkin seseorang memisahkan
unsur-unsur sosiokultural dari apa yang ia ketahui, konstruktivisme tidak dapat
dipikirkan sebagai suatu keyakinan yang lepas dari unsur sosial dan kultural.
Oleh karena itu studi tentang belajar dan mengajar perlu juga memperhatikan segi sosial dalam
pembentukan arti.
3.
Hubungan (posisi)
Konstruktivisme dengan Aliran Filsafat Lain
Sebagai bagian dari filsafat
ilmu pengetahuan, konstruktivisme tidak bisa mengelak dari perdebatan mengenai grand issue tentang “pengetahuan dan
kebenaran.” Term ini pula yang akan menunjukkan bagaimana sebenarnya hubungan
konstruktivisme dengan aliran filsafat yang lain.
Para pemikir sepanjang
sejarah menegaskan bahwa kenyataan itu terdiri dari dua dimensi, eksternal dan
internal. Dimensi eksternal menunjuk kepada dimensi objektif, sedangkan dimensi
internal menunjuk dimensi subyektif. Perlu diingat bahwa epistemologi bukanlah
cabang tertua filsafat, namun nyaris tertua. Salah satu filsuf pertama yang
karya epistemologinya dikenal adalah Plato (428-347 sM),[42]
dengan idealisme-nya yang kemudian
disebut rasionalisme ala Plato.
Menurut Plato hasil pengamatan inderawi tidak akan memberikan pengetahuan yang
kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah sehingga tidak dapat dipercaya
kebenarannya. Ia lebih percaya kepada apa yang ada dibalik wilayah pengamatan
indera, yaitu dunia ide.[43]
Dalam pandangan Plato,
seseorang dapat sungguh-sungguh mengetahui jika sesuatu itu sungguh nyata dan
kriteria ini hanya ada pada obyek-obyek yang sempurna dan tak pernah berubah.[44]
Melalui karyanya The Republik, dia
menganalogikan pengetahuan manusia dengan “Gua”,[45]
yang pada intinya menggambarkan bahwa pengetahuan manusia sangat terkait erat
dengan apa yang mereka alami, mereka rasakan, mereka tangkap dari realitas yang
ada. Ketika seseorang keluar gua dan melihat dunia luar dan memahaminya,
kemudian ia masuk dalam gua kembali dan menceritakan apa adanya yang dia lihat
di luar sana, bukan tidak mungkin teman-temannya mengira ia sudah gila.
Intinya bahwa dari ulasan
Plato tersebut ada kesamaan pandangan mengenai pengetahuan dengan keyakinan
kaum konstruktivis, yang menganggap
pengetahuan bukanlah suatu gambaran atau tiruan dari kenyataan (realitas) yang
ada, namun selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan
melalui kegiatan seseorang.[46]
Konstruktivisme nampaknya
juga tidak sepenuhnya menolak kaum rasionalis dalam mendapatkan pengetahuan.
Hanya saja mereka kurang sepakat jika ada dominasi peran rasio dalam hal
pengetahuan dan kebenaran. Rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan seseorang
menunjuk pada objek-objek dan bahwa kebenaran itu merupakan akibat dari deduksi
logis. Rene Descartes (1596-16550) melakukan perenungan filsafatnya dengan
menggunakan instrumen epistemologinya yaitu metode ‘skeptis’, yakni meragukan
segala yang ada.[47]
Cara itu menurut Descartes,
penting untuk mendapatkan pengetahuan yang progresif, oleh karenanya seseorang
harus bersedia menanggalkan ‘baju-baju’ yang selama ini dipakai, dengan cara
sementara waktu meragukannya. Dia meragukan kebenaran inderanya, karena dia
menilai bahwa indera sangat rapuh untuk mengantarkan pada kebenaran. Dia juga
tidak mau menyandarkan pada rasio, karena ia pun mempunyai banyak kelemahan.
Sehingga dalam puncak keraguannya, dia disadarkan oleh satu poin, bahwa
semuanya telah dapat diragukan, kecuali satu bahwa dia tidak bisa meragukan
tentang keraguannya sendiri. Dari situ, karena dia merasa ragu, maka dia ‘ada’.[48]
Selanjutnya, bagaimana
hubungan konstruktivisme dengan empirisme? Konstruktivisme merupakan salah
kajian epistemologi, maka dia memerlukan alat maupun instrumen. Prinsip dan
ajaran dari empirisme dalam metode membaca realitas oleh konstruktivisme
menjadi penting. Untuk mengkonstruk pengetahuan, sesuai keyakinan
konstruktivisme, seseorang membutuhkan seperangkat metode, salah satunya adalah
indera, selain akal (rasio). Empirisme di pahami sebagai aliran yang menentang
rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan.
Sedangkan empirisme lebih memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan,
baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.[49]
Hobbes (salah satu tokoh
empiris) menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan pengenalan.
Ajaran Hobbes dinilai sebagai sistem materialistis pertama dalam sejarah
filsafat modern. Dunia dan manusia sebagai obyek pengenalan merupakan sistem
materi, dan sekaligus sebagai suatu proses yang berlangsung tiada
henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme. Sementara itu, Locke mengagumi
Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurutnya, rasio
mula-mula harus dianggap “as a white
paper” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman.[50]
Locke juga mengakui bahwa dalam dunia luar ada substansi-substansi, tetapi
hanya dapat dikenal ciri-cirinya saja. Inilah yang kemudian disebut ‘substansi
material’.
Sedangkan Berkeley, dengan
tetap berangkat dari prinsip empirisme, merancang teori yang dinamakan “immaterialisme”. Berbeda dengan Locke
yang masih mentolelir adanya substandi dari luar manusia, bagi Berkeley, yang
ada hanyalah pengalaman dalam roh saja (ideas).
Ini artinya dunia materiil sama saja dengan dunia ide-ide yang dialami. Seperti
halnya gambar film pada bioskop, dilihat sebagai benda yang real dan hidup. Dia
mengakui bahwa “aku” merupakan substansi rohani. Tuhan menurutnya adalah
menjadi asal-usul dari ide yang aku lihat. Jika orang mengatakan Tuhan
menciptakan dunia diluar manusia, bukan berarti ada dunia diluar manusia,
melainkan Tuhan menunjukkan ide-ide pada manusia.[51]
Empirisme memuncak pada
David Hume, dengan menerapkan empirisme radikal. Karya besarnya adalah A Treatise of Human Nature,[52]
yang ia tulis ketika berusia 26 tahun. Menurut Hume pengalaman memberikan
kepada manusia, suatu kualitas khusus bukan suatu sub-stratum yang unik. Apa
yang sebenarnya dipahami oleh seseorang, hanyalah hasil persepsi. Tidak benar
kalau ide (gagasan) tentang substansi diturunkan dari hasil impresi (kesan). Sehingga dia,
menyimpulkan bahwa substansi adalah kosong. Hukum kausalitas oleh Hume juga
dibantah, dia lebih meyakini bahwa “hukum sebab akibat” merupakan suatu
kebiasaan berfikir.[53]
Pada intinya empirisme hanya percaya pada pengalaman, baik oleh inderawi maupun
batiniah.
Menurut Staver,
konstruktivisme merupakan sintesis
pandangan rasionalisme dan empirisme. Konstruktivisme menunjuk pada interaksi
objek dan subyek, antara realitas internal dan eksternal. Untuk memahami ini
ada baiknya, sedikit menengok pemikiran Immanuel Kant (1724-1804),[54]
karena dia yang menjembatasi pertengkaran antara rasionalis dan empiris, yang
kemudian dikenal dengan filsafat “kritisisme”.[55]
Beberapa karyanya adalah The Critique of
Pure Reason (1781), sebagai jalan tengah dari kebuntuan rasionalis dan
empiris. Selain itu ada The Critique of
Practical Reason (1788), dan The
Critique of Judgement (1790).
Terminologi yang digunakan
Kant adalah “bidang pertimbangan” untuk mewakili istilah pemahaman, dan “bidang
kesimpulan” mewakili akal budi. Kekuatan untuk menghasilkan pertimbangan memerlukan
kekuatan untuk menciptakan konsep, serta kekuatan membuat kesimpulan. Konsep
dalam bidang kesimpulan oleh Kant disebut Ide Akal Budi, yang tidak berhubungan
dengan representasi, sehingga pikiran memperoleh pola yang padu atas
fakta-fakta mentah dari yang diberikan. Ide akal budi biasanya untuk menyatakan
persoalan dan bersifat non-empiris. Kant hendak memperagakan bahwa ada unsur
konstruksi dan interpretasi dalam semua pengetahuan manusia.[56]
Berangkat analisa bahwa
konstruktivisme merupakan akibat dari sintesa dari rasionalisme dan empirisme,
maka bisa dikatakan juga bahwa ada kedekatan konstruktivisme dengan
pragmatisme.[57] Dengan
kata lain konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, yang lebih
mementingkan pada aspek kegunaan (nilai). Pragmatisme yang lebih condong pada
aspek pengalaman agama dipopulerkan oleh
William James (1842-1910) dengan karyanya The
Varieties of Religious Experience, sedangkan pada aspek pendidikan
dipublikasikan dengan Experience and
Education oleh John Dewey (1859-1952).
Dalam pembahasannya, James
mengawali tulisannya dengan sebuah pertanyaan, “apakah hal yang paling penting
dalam kehidupan manusia?” maka salah satu jawaban manusia yang diberikan adalah
“kebahagiaan”.[58] Bagaimana
cara mendapatkan, mempertahankan dan mencapai kebahagiaan, bagi setiap orang
sejak dulu adalah motif tersembunyi dari segala sesuatu yang dilakukan, dari
segala keinginan yang terpendam.
Pencapaian kebahagiaan atau
ditimpa kesengsaraan lebih pada konsekwensi dari segala perilaku. Setiap tindakan/perilaku
akan menghasilkan pengalaman. Sedangkan sumber pengalaman adalah salah satunya
indra, baik penglihatan, pendengaran termasuk indra batin (intuisi) yang mampu
merangkai serpihan-serpihan dari pengalaman inderawi untuk dikomunikasikan
dengan akan serta diproses yang akan menghasilkan rasa.[59]
Sedangkan Dewey, lebih fokus
pada kajiannya tentang peran penting pengalaman dalam proses pendidikan. Dia
mengkritik pendidikan tradisional yang hanya pada upaya pengembangan alamiah (kodrati) dari dalam. Keinginan pada
upaya pendidikan yang benar-benar mengembangkan bakat, juga harus dilakukan
dari luar diri manusia. Ide progresivitas mewarnai karya Dewey, terkait dengan
teori pengalaman dalam pendidikan.
Pertanyaan selanjutnya
bagaimana hubungan konstruktivisme dengan filsafat Islam, yang tentunya
memiliki corak tersendiri dengan filsafat barat yang cenderung empiris dan
rasionalis. Adakah korelasi dengan ajaran-ajaran Islam (misal dalam al-Qur’an)
yang terkait dengan konstruktivisme tersebut. Dalam Islam dikenal ada tiga
jenis epistemologi yakni Bayani (teks), Irfani (intuisi), Burhani (rasio), dan
Isyraqiyah (illunimnatif). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan pada otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung dan justifikasi oleh akal kebahasaan yang
digali lewat inferensi (istidlal).[60]
Sedangkan Irfani, berasal dari kata dasar ‘arafa (arab) semakna dengan makrifat,
berarti pengetahuan. Tetapi berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau makrifat ilmu yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experience), sedangkan
ilmu diperoleh melalui transformasi (naql)
dan rasionalitas (aql). Oleh karena
itu secara terminologis, Irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh dengan jalan penyinaran hakikat Tuhan kepada
hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah
ruhani (ryadlah) yang dilakukan atas
dasar cinta (love).[61]
Sementara Burhani (demonstrasi),[62]
berbeda dengan bayani dari irfani yang masih terkait erat dengan teks suci,
tetapi burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada
pengalaman. Burhani lebih
menyandarkan pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Menurut M. Jabid al-Jabiri, perbedaan dari ketiganya adalah bayani
menghasilkan pengetahuan melalui analogi realitas non-fisik (qiyas) atau furu’ kepada asalnya. Sementara irfani
menghasilkan pengetahuan dengan cara proses penyatuan ruhani pada Tuhan dengan
penyatuan universal (kulliyat),
sedangkan burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini keberadaannya.
Selain ketiga model
epistemologi Islam (tradisi berpikir / nalar arab) tersebut, ada satu metode
yang cukup terkenal yakni Isyraqiyyah
(illuminatif) yang digarap oleh Suhrawardi (1153-1191).[63] Kata
Israq mempunyai banyak arti yakni terbit, bersinar, berseri-seri, terang karena
disinari, dan menerangi. Istilah israqiyyah
dalam lisan Inggris adalah illuminiation yang berarti cahaya atau penerangan.
Sedangkan dalam wacana filsafat, illuminationalisme
berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk
mencapai tindakan harmoni. Bagi kaum israq
sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi
cahaya.[64]
Maka dapat digambarkan bahwa
hubungan maupun posisi konstruktivisme di antara filsafat lain (baik Barat
maupun Islam), merupakan sebuah dialektika maupun diskursus epistemologi. Yang
jelas kemunculan konstruktivisme juga dibidani oleh beberapa aliran filsafat
sebelumnya, dari mulai epistemologi ala
Plato, kemudian rasionalisme dan empirisme pada abad modern, hingga Kritisisme
Kant. Selain itu konstruktivisme juga mempunyai hubungan erat dengan
pragmatisme. Dan kesemuannya menunjukkan bahwa konstruktivisme merupakan
aktivitas dalam pencapaian pengetahuan yang sangat menghargai peran akal,
indra, dan konsepsi kreatif dari intuisi.
Selain dalam tradisi
filsafat Barat, sebenarnya embrio maupun cikal bakal pemikiran konstruktivisme
dalam Islam juga dikenalkan dalam al-Quran, seperti halnya dalam surat
al-Ghasyiah ;
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ *
وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ * وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ *
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ * فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرٌ (الغاشيه : 17-20)
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana
ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan,
karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang
memberi peringatan. (QS. Al-Ghasyiah : 17-20) [65]
Dari ayat di atas,
mengandung ajaran agar umat manusia memperhatikan alam semesta sebagai salah
satu sumber epistemologi. Yang dimaksud alam adalah alam materi, alam ruang dan
waktu, alam gerakan, alam yang sekarang menjadi tempat tinggal manusia. Alam
ini sangat terkait erat dengan instrumen manusia yang disebut inderawi.[66]
Sebagai salah satu alat epistemologi, manusia akan kehilangan salah satu ilmu,
jika inderanya tidak dapat berfungsi. Selain indera, dalam Islam juga dikenal
rasio sebagai alat epistemologi. Rasio ini yang berfungsi sebagai alat untuk
memilah dan memilih dan mempertimbangkan segala sesuatu yang ditangkap oleh
dunia empiris manusia.
Dalam konstruktivisme sangat
dibutuhkan kepekaan dalam mengamati dan merespon dunia sekitar, sebagaimana apa
yang diungkapkan oleh Fitjot Capra, “bahwa kita mengamati sebuah dunia yang
mengada secara obyektif dan kemudian disajikan ulang, akan tetapi lebih berupa
sebuah dunia yang diciptakan dalam proses mengetahui.”[67] Hal
itu dipertegas oleh Maturana dan Varela, bahwa dunia dihasilkan dalam proses
mengetahui.
B. Memahami Kembali
Konstruktivisme dalam Konsteks Pembelajaran
Konstruktivisme merupakan salah satu filsafat ilmu pengetahuan yang lebih
dari dua dasawarsa ini mempengaruhi sistem pendidikan di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Kurikulum berbasis kompetensi yang ditetapkan oleh
pemerintah sejak tahun 2004, untuk menggantikan kurikulum 1994, meskipun
perjalanannya tidak terlalu mulus karena berbagai kendala, baik konsep maupun
tehnis. Kurikulum yang lebih menekankan pada pertanyaan bagaimana, bukan apa.
Artinya bahwa pembelajaran itu harusnya menitikberatkan pada kebisaan-kebisaan
(kompetensi / kemampuan), bukan hanya puas pada sebatas mengerti dan memahami.
Untuk lebih memahami konstruktivisme dalam konteks pembelajaran, penulis
akan sedikit menguraikan pengertian dan beberapa pandangan konstruktivisme
khususnya terkait dengan pembelajaran atau pendidikan.
1.
Pengertian Konstruktivisme
Istilah konstruktivisme
berasal dari kata constructive dan
mendapat tambahan -ism (baca: paham). Dalam Oxford Advancd Learner’s Dictionary of Current English dituliskan, “to
form [sth] by putting different things together: you must learn how to
construct a logical argument, to construct a theory/...[68]
[membentuk dengan
cara meletakkan sesuatu yang berbeda secara bersama; kamu harus mempelajari
bagaimana cara menyusun suatu argumentasi yang logis, guna membangun sebuah
teori][69]
Sementara kata -isme yang
mengikutinya merupakan istilah menunjukkan sebuah aliran/ faham dalam filsafat.
Sehingga secara sederhana konstruktivisme dapat dipahami sebagai paham atau
aliran filsafat pengetahuan yang menganggap bahwa ide, gagasan, teori maupun
sejenisnya, termasuk pengetahuan itu sendiri dibentuk serta disusun oleh subyeknya
sendiri.
Secara etimologi, konstruktivisme oleh Pius A Partanto, diartikan sebagai
kehidupan merancang dan membangun, atau budaya membangun.[70]
Sedangkan Ali Mudhofir menuliskan, konstruktivisme merupakan pandangan yang
menyatakan bahwa hal matematis (rasio) hanya ada, jika hal itu dapat
dikonstruksikan atau secara intuitif menjadi ada (nilai guna).
Pernyataan-pernyataan matematis dikatakan benar kalau dapat diberikan
pembuktiannya secara konstruktif.[71]
Dengan kata lain konstruktivisme lebih mengutamakan hal-hal yang lebih bersifat
praksis (nilai praksis).
Sementara itu, dalam buku Konstruktivisme
Sosial dan Filsafat Ilmu, yang ditulis oleh André Kukla, menegaskan bahwa
konstruktivisme sebenarnya sebuah kajian filsafat ilmu yang hendak menjawab
beberapa pertanyaan; apakah realitas itu dibangun oleh aktivitas manusia,
apakah manusia secara kolektif menciptakan dunia, dan bukan menemukannya.
Mengapa bersemi anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan
penuh perasaan, sementara di sisi lain muncul pembenaran bahwa laki-laki itu
makhluk rasional dan mengandalkan kekuatan fisik.
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut melahirkan jawaban bahwa sesungguhnya
anggapan-anggapan semacam itu semata-mata hasil konstruksi sosial yang sudah
mempengaruhi mindset masyarakat
begitu lama. Pendapat itu secara eksplisit menjelaskan bahwa konstruksi adalah
sesuatu yang membagun kepercayaan kita berdasarkan klaim-klaim tertentu.[72]
Sedangkan dalam tulisan Paul
Suparno,[73]
dipaparkan bahwa konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan merupakan kontruksi (bentukan) dari pencari ilmu
itu sendiri.[74]
Konstruksi adalah suatu proses dimana pengetahuan dibangun dan diuji secara
kontinu. Individu tidak hanya mengkonstruksi pengetahuan, namun pengetahuan
mereka juga harus bekerja dan berfungsi secara aktif. Seperti apa yang
diterangkan oleh David Jonassen, dia mendeskripsikan konstruktivisme sebagai
berikut ;
[…as the individual student forming
knowledge herself, and not “relying
on what someone else says is true.”
In constructivism, the student acts as the creator of her own meaning.
According to Jonassen et.al., conversation and collaboration are also key words
in the constructivist approach to learning.][75]
Konstruktivisme sangat berbeda dengan rekonstruksionalisme yang sering
dibahas dalam aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran tersebut lebih pada
cita-cita bersama masyarakat yang ingin mengubah sebuah tatanan kehidupan. Dan
perubahan tersebut tidak mungkin dapat dilakukan, jika tanpa konsensus bersama.[76]
Pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan
tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan
melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu
equivalen dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni
melalui proses regulasi diri internal.
Para konstruktivis, lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar
gagasan antar individual. Maka dalam prakteknya, pendidikan selalu diarahkan
pada upaya bagaimana menciptakan sistem yang dapat menciptakan pada sebuah
kondisi yang mendukung terjadinya pengalaman belajar bagi peserta didik.
2.
Beberapa Pandangan
Konstruktivisme
a. Tentang Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan yang bisa disingkat ilmu, memiliki arti ekuivalen dengan science
dalam bahasa Inggris dan Perancis, wissenschaft (Jerman), wetenschap
(Belanda). Ketika dirunut lebih jauh istilah science berasal dari kata scio,
scire (bahasa Latin) yang berarti ‘tahu’, begitu pula ilmu berasal dari ‘alima
(bahasa arab) yang juga berarti ‘tahu’. Jadi baik science maupun ilmu
secara etimologi berarti pengetahuan.[77]
Bertrand
Russell menjelaskan pengetahuan sebagai suatu sub-kelas dari kepercayaan yang
benar: setiap hal yang mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan
yang benar tetapi tidak sebaliknya.[78] Pengetahuan juga dapat
bermakna berbeda-beda sesuai dengan jalan bagaimana mencapainya. Salah satunya
adalah hakekat ilmu yang dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri. Dia mengingatkan
pada sebuah patung karya Auguste Rodin (1840-1917) yang menggambarkan seorang
manusia yang sedang tekun berfikir.[79] Berfikir pada hakekatnya
sebuah proses membuahkan pengetahuan. Proses itu merupakan sebuah rangkaian
gerak pemikiran dalam aturan tertentu hingga akhirnya sampai pada sebuah
kesimpulan.
Dalam
pandangan konstruktivisme pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta.
Berangkat dari pandangannya mengenai cara memperolehnya, pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Terkait dengan ini, maka interaksi dengan obyek dan lingkungan
dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakan adalah pintu dalam
mendapatkan pengetahuan. Termasuk pengalaman juga merupakan faktor penentu
dalam proses konstruksi. Pengalaman tersebut tidak harus diartikan dengan
pengalaman fisik, akan tetapi juga dapat dimaknai dengan pengalaman kognitif
dan mental.
Secara
sederhana gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat diringkas sebagai
berikut :
(1) Pengetahuan bukanlah
merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi
kenyataan melalui kegiatan subyek.
(2) Subyek membentuk
skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
(3) Pengetahuan dibentuk
dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila
konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman seseorang.
b.
Tentang Kebenaran
Ketika pengetahuan itu adalah hasil dari bentukan seseorang sendiri,
persoalan yang muncul adalah “bagaimana kita mengetahui bahwa pengetahuan orang
itu benar. apa jaminannya, bagaimana kebenaran pengetahuan itu?” Piaget dalam
hal ini menerangkan bahwa pengetahuan itu disebut benar apabila pengetahuan itu
viable (jalan) untuk menjelaskan
persoalan terkait. Semakin pengetahuan itu dapat digunakan untuk menjelaskan
persoalan yang lebih luas, maka kebenaran itu semakin kuat.[80]
Intinya bahwa kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas,
yaitu kemapuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Pengetahuan
diposisikan sebagai sesuatu yang terus berkembang, bukan barang yang sudah jadi
(finish).[81]
Karena pengetahuan adalah bentukan seseorang sendiri, sebenarnya tidak
dapat dikatakan bahwa pengetahuan orang itu salah. Jadi yang boleh dikatakan adalah
barangkali pengetahuan itu tidak sesuai dengan pengetahuan para pakar dibidang
itu. Seringkali pengetahuan yang dianggap salah justru lebih berguna untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dengan kata lain, pengetahuan adalah
jalan meskipun mungkin terbatas.
c. Tentang Teori Belajar
Belajar
pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan dalam diri (fisik, dan
psikis) manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan
kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, sikap,
kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan kemampuan lainnya.[82]
Konstruktivisme
dalam aplikasi pembelajaran berpegang pada beberapa prinsip, yaitu pertama,
pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik sendiri, baik secara personal
maupun sosial. Kedua, pengetahuan tidak dapat dipindah dari pendidik
kepada peserta didik, kecuali dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk
menalar. Ketiga, Peserta didik aktif mengkonstruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep yang lebih rinci, lengkap
serta sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Keempat, pendidik sekedar membantu
menyediakan sarana dan situasi agar konstruksi berjalan dengan baik.
Melihat
dari beberapa prinsip tersebut, model belajar konstruktivisme ini memiliki hubungan
dengan beberapa teori belajar, seperti Teori perubahan konsep, teori belajar
bermakna ausubel, dan teori skema.[83]
1) Teori Perubahan
Konsep
Istilah
lain dari konsep adalah paradigma. Sedangkan paradigma itu sendiri bisa
dipahami sebagai kerangka berpikir. Deskripsi paradigma yang lain adalah suatu
skema konseptual yang mendasari seseorang memandang sesuatu (persoalan maupun
permasalahan) sesuai ideologi tertentu. Dalam konteks pendidikan ada beberapa
ideologi yang mempengaruhi cara kerja pendidikan, dari mulai pandangan tentang
makna, kurikulum, metode, bahan ajar, hingga sampai dataran praktis dalam
pembelajaran. Oleh William F. O’Neill ideologi pendidikan dibedakan menjadi
tiga, yakni konservatif, liberalis, dan liberasionis.[84]
Perubahan
konsep (paradigma), dalam situasi yang paling sederhana, khususnya pada proses
pembelajaran sangat dibutuhkan. Struktur konsep pada peserta didik, dapat
berubah ketika dihadapkan pada suatu kondisi yang konfliktual. Artinya bahwa
peserta didik akan lebih bersemangat ketika melihat, dan merasakan fenomena
yang sama sekali berbeda atau belum pernah di alami. Sehingga mereka secara
tidak langsung akan mengusahakan agar sesuatu yang baru itu dapat diterima,
walaupun kecenderungan bertentangan sangat terbuka.
Realitas
yang sangat berbeda dengan skema awal akan berusaha dikompromikan, yakni dengan
jalan asimilasi maupun akomodasi. Ini menandakan bahwa teori belajar perubahan
konsep ini juga mempunyai keterkaitan erat dengan filsafat konstruktivisme.
2) Teori Belajar
Bermakna Ausubel
Terdapat
dua grand teori belajar yakni belajar bermakna (meaningful learning)
dan belajar menghafal (rote learning). Meaningful learning
merupakan proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur
pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar model
ini, dapat terjadi apabila si pelajar mau menghubungkan fenomena baru ke dalam
struktur pengetahuan mereka.
Upaya
mengaitkan atau menganalogikan pengertian dan pemahaman tersebut, dilakukan
dengan cara asosiasi. Asosiasi adalah proses pembentukan hubungan antara
stimulus dan respon.[85] Jadi pemahaman peserta
didik tentang sesuatu (hasil belajar) di masa lalunya sangat mendukung proses
pemahaman di masa mendatang. Istilah lainnya adalah transfer of learning.[86]
Teori
belajar bermakna sangat menekankan pada pendekatan Contextual Teaching
Learning (CTL).[87] Intinya bahwa belajar
akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan hanya
‘mengetahui’-nya.[88]
3) Teori skema
Pengetahuan
disimpan dalam suatu paket informasi atau skema, yang terdiri dari konstruksi
mental gagasan seseorang. Skema bisa dipahami sebagai bagian-bagian terpenting
dari sebuah obyek. Skema juga dapat disebut dengan atribut yang melekat dan
menjelaskan kerangka pemikiran seseorang tentang sesuatu hal.[89]Skema dapat bekerja pada
sesuatu yang bersifat konkret, maupun abstrak.
Maka hal
ini, belajar diartikan sebagai proses bagaimana seseorang dapat membentuk dan
mengubah skema. Jadi seorang pelajar melakukan (restrukturisasi) pengaturan,
pengorganisasian, dan membangun skema baru, baik yang bersifat melengkapi, atau
mengeliminasi maupun mengembangkannya.
C. Proses Konstruksi
Kognitif dalam Pembelajar Konstruktivis
Pembelajaran
konstruktivis memprioritaskan pentingnya kegiatan seorang pelajar aktif dalam
mengkonstruksi pengetahuan. Karena hanya dengan keaktifan tersebut, pelajar
mampu melakukan investigasi terhadap fakta-fakta dalam belajar, bisa dengan
bertanya (wawancara), dan observasi, mengumpulkan serta memverifikasi, menelaah
secara kritis, sehingga pelajar lebih mampu menguasai bahan ajar dengan lebih
baik.
Jika
demikian, kedudukan pendidik adalah menjadi semacam sutradara yang mengusahakan
dan menyiapkan bahan-bahan, situasi-situasi, dan yang terpenting memberi
motivasi peserta didik agar tetap aktif.[90] Sehingga dengan sendiri
mereka dapat menemukan sendiri pemahaman dan pengertian serta makna-makna yang
ada dalam kegiatan belajar. Belajar akan lebih berarti bagi mereka yang merasa
dimanusiakan. Tidak dianggap anak kecil yang tidak mengerti apa-apa yang belum
saatnya tahu tentang berbagai hal.
Dalam
hal-hal tertentu, sebaiknya metode yang hanya melibatkan memori (hafalan)
sangat perlu untuk dikurangi. Karena sesuatu yang sudah dipaket (baca: matengan)
yang kemudian dipaksakan untuk diterima tanpa upaya kritis dari orang tidak
membutuhkannya akan membunuh semangat belajarnya. Kebiasaan njaga’ke
(baca: menunggu) bisa menjadi awal bagi peserta didik yang menyebabkan
keterpurukan masa depan mereka. Dengan membiarkan mereka mengungkapkan
pemikirannya, baik secara tertulis maupun lisan, menjadi salah satu tips atau
cara dalam memberi kepercayaan diri pada mereka, agar tetap termotivasi oleh
kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.
Motivasi dapat tercipta dari dalam (intrisik) dan
dari luar (ekstrisik). Untuk menciptakan motivasi intrinsik tersebut, beberapa
alternatif yang dapat dilakukan, menurut Piaget adalah : pertama,
usahakan adanya proses asimilasi. Kedua, adanya situasi konflik yang merangsang
seseorang mengadakan akomodasi. Agar proses adaptasi dengan asimilasi ini
berjalan baik, diperlukan kegiatan pengulangan dalam suatu latihan dan praktik.
Pengetahuan baru yang telah dikonstruksikan perlu dilatih dengan pengulangan
agar semakin berarti dan tertanam. Sebagian ahli sepakat bahwa peristiwa anomali[91] dapat menyebabkan konflik
dan ketidakseimbangan dalam proses berpikir peserta didik.
Sebagai seorang piskolog yang cukup ulet dalam
mengkaji epistemologi yang juga berangkat basiknya sebagai seorang ahli
biologi, dia membangun teori belajar dengan landasan konstruktivisme. Dia
percaya bahwa perkembangan intelektual (kognitif) anak, tidak jauh beda dengan
organisme (makhluk) hidup yang beradaptasi dengan lingkungannya. Berikut adalah
proses konstruksi seseorang dalam pembelajaran:[92]
1. Skema
Tubuh manusia mempunyai struktur tertentu, yang
berfungsi sebagai organ-organ yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan badan
itu sendiri, begitu pun dengan pikiran. Pikiran memiliki struktur yang disebut
skema atau skemata (jamak). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif
yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya. Skema itu akan terus beradaptasi dan berubah selama
perkembangan fisik ataupun mental masih berjalan.
Skemata bukanlah benda nyata yang dapat dilihat,
melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak
memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema adalah hasil kesimpulan
atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas,
kemampuan, dan naluri.
Skema juga dapat di nalar sebagai sebuah konsep
atau kategori. Orang dewasa mempunyai banyak skema. Skema ini digunakan untuk
memproses dan mengidentifikasi setiap rangsangan yang datang. Seorang anak yang
baru lahir punya sedikit skema, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi
lebih umum, lebih terperinci, dan lebih lengkap. Skema tidak pernah berhenti
berubah atau menjadi lebih rinci. Skemata seorang anak berkembang menjadi skema
orang dewasa.
2. Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema, yang
sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang
baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus-terus
menerus, sampai terjadi tingkat perkembangan yang paling kompleks.
3. Akomodasi
Akomodasi dapat terjadi, apabila menghadapi atau
mendapat rangsangan pengalaman baru. Pertentangan dari dalam diri seseorang
tidak bisa menyebabkan asimilasi terjadi, sebelum adanya proses akomodasi.
Sebab pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema
yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini seseorang akan mengadakan akomodasi,
yaitu; pertama, membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan baru.
Kedua, memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan
tersebut.
Skema seseorang dibentuk seseorang dengan
pengalaman sepanjang waktu. Skema menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan
seseorang sekarang tentang dunia sekitarnya. Karena skema ini suatu konstruksi,
maka bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada.
4. Equilibration
Selain proses asimilasi dan akomodasi, pada
perkembangan kognitif seseorang juga memerlukan keseimbangan antara keduanya.
Proses ini disebut equilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis
untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Untuk mengantisipasi
dan mengatasi disequilibrium, maka perlu melakukan menyatukan pengalaman
luar dengan struktur dalamnya (skemata).
5. Teori Adaptasi
Intelektual
Mengerti (mengetahui) adalah suatu proses adaptasi
intelektual yang dengannya pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru
diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh seseorang yang sedang
belajar sebelumnya. Struktur pengetahuan awal (skemata), berperan sebagai suatu
filter dan fasilitator bagi ide-ide dan pengalaman-pengalaman baru. Ini yang
kemudian disebut adaptasi intelektual
[1] Nama lengkapnya Ernest von Glasersfeld, seorang
ahli matematika. Dia adalah penganut konstruktivisme dari Amerika Serikat yang
cukup banyak menulis tentang konstruktivisme, beberapa diantaranya adalah Construction
of Knowledge, and Teaching (1988), Cognition, Knowing Without
Metaphysics : Aspects of the Radical Constructivist Position (1989), Questions
and Answers about Radical Construction (1992), Radical Constructivism: a
way of knowing and learning (1995). Paul Suparno, Filsafat
Konstruktvisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997)
[2] Dia terkenal sebagai tokoh psikologi
perkembangan, yang sepanjang hidupnya didedikasikan untuk ilmu pengetahuan.
Peaget dilahirkan di Neuchatel, Swiss, Italia. Sejak kecil dia sudah tertarik
dengan ilmu pengetahuan. Mendapat gelar Ph.D pada tahun 1918 di Universitas
Neuchatel dalam bidang ilmu hewan. Lihat: Sarlito W. Sarwono, Berkenalan
dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang,
2000), cet. 3, hlm. 99.
[3] Ernst von Glasersfeld [Scientific Reasoning Research
Institute-University of Massachusetts], “An Exposition of
Constructivism: Why Some Like it Radical,” lihat situs website : http://www.oikos.org/constructivism.htm
[4] Paul Suparno (1997), op. cit., hlm. 24.
[5] Pernyataan tersebut di atas, bisa dianalogikan
dengan pengetahuan tentang kursi misalnya. Seseorang yang mengaku bahwa dia
‘mengetahui’ tentang kursi, maka seorang tersebut harus benar-benar, paham
bagaimana cara membuatnya, dari mana bahan-bahannya, sampai bentuk serta
fungsinya. Pemahaman secara utuh tentang kursi itu yang disebut ‘pengetahuan’
tentang kursi.
[6] Dalam karyanya, diantaranya Plato membahas
tentang ideas. Kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara
dialog induktif seperti yang dilakukan oleh Socrates, akan tetapi pengertian
umum itu sudah ada di alam ide (ide bawaan). Lihat: Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum; Akal, Hati Sejak Thales-Capra, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003),
cet.11, hlm. 57.
[7] Kieron O’hara, Seri Filasafat Postmodern Plato
dan Internet, (Yogyakarta: Jendela, 2002), cet. 1, hlm. 4.
[8] Yang dimaksud orang-orang skeptis itu antara
lain; para Shopis (pencinta kebijaksanaan) di zaman abad ke lima Masehi,
sebutan bagi seorang filsuf radikal yang mencoba menjelaskan alam semesta dari
sudut proses munculnya alam semesta itu, lebih dari sekedar menyusun teori yang
melandasi kemunculannya. Kaum skeptis biasanya lebih memfokuskan retorika
(kemampuan verbal) dari pada menemukan kebenaran. Mereka hanya tertarik untuk
memanfaatkan argumen demi tujuan-tujuan praktis (misalnya; dalam hukum
pengadilan, atau dalam kehidupan demokrasi Athena saat itu) dan bukan demi
pemikiran atau renungan metafisik murni. Ibid., hlm. 5-6.
[9] Ibid, hlm. 12
[10] Kieron O’hara, Ibid., hlm. 14.
[11] Jika demikian, maka pengetahuan akan selalu merujuk
pada struktur konsep yang dibentuk manusia sendiri. Bukan apa yang diterima
dari alam dan lingkungan sebagaimana yang diyakini oleh para pengikut
empirisme. Paul Suparno (1997), op. cit., hlm. 24.
[12] Dapat dipahami pula bahwa proses ‘mengetahui
sesuatu’ dengan ‘membuat sesuatu’ bisa dianalogikan pada pengetahuan
matematika. Matematika dianggap sebagai cabang pengetahuan yang cukup tinggi.
Sebab di dalamnya, unsur-unsur dan segala aturan-aturannya diciptakan secara
lengkap oleh manusia. Oleh karena, matematika merupakan hasil rekayasa dan
ciptaan manusia, maka manusia sendiri yang mengerti sepenuhnya tentang
matematika. Sangat berbeda dengan fisika maupun ilmu humaniora, manusia tidak
dapat mengerti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat memahami secara keseluruhan,
sebab Tuhan yang menciptakan itu semua. Dengan demikian, maka pengetahuan akan
lebih bermakna ketika diperoleh dari proses kreatif dari pencari ilmu tersebut.
[13] Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan,
kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan
adalah kriteria bagi kebenaran. Kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya,
tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is
true, it is true because it is useful. Kuntowijoyo [Budayawan], Pragmatisme
Religius, Kompas, 07 Juli 2004. Dikutip dari situs
https://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/07/opini/1129962.htm
[14] Pada awalnya pragmatisme dikemukakan oleh Charles
Sanders Pierce (1839-1910), kemudian diperluas oleh filsuf Amerika, sekaligus
psikolog dan guru besar di Harvard yakni James. Pragmatisme mencoba mendamaikan
konflik yang seolah muncul antara pengetahuan dan nilai. Bagi James, yang juga
pengarang dari The Varieties of Religious Experience, kebenaran dari
sebuah gagasa ditentukan oleh kegunaan dan nilai sosial atau etis gagasan
tersebut, atau konsekwensi etisnya.
Christopher Philips, (2002), op. cit., hlm. 307.
[15] John Dewey adalah seorang filsuf intrumentalisme,
filsuf pendidikan Amerika, dan pemikir yang paling berpengaruh pada masanya.
Dia lahir tanggal 20 Oktober 1859 di sebuah daerah pertanian dekat Burlinton.
Ia mengajar mulai tahun 1879 setelah menamatkan kuliahnya di Universitas
Vermont. Kemudian dia melanjutkan program pasca sarjana di Universitas John
Hopkins, dan mengangkat desertasi tentang The Psychology of Kant. Di
tempat yang sama dia juga menyelesaikan program doktoral pada tahun 1884.
Selain sebagai seorang pendidik profesional, dia juga seorang pemikir
pendidikan yang cukup disegani. Democracy and education (1916), Experience
and Education, merupakan beberepa karya perenungannya yang mengantarkan dia
populer sebagai tokoh pragmatisme, yang bersemangat mengusung paradigma
progresif dalam bidang pendidikan. John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, diterjemahkan
dari judul asli “Experience and Education,” (Yogyakarta: Kepel
Press, 2002), cet. 1, hlm. vii-xvii.
[16] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, diterjemahkan
dari judul asli “De Wijsbergeerte Van De 20e Eeuw,” (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 2001), cet. 2, hlm. 60.
[17] Ibid., hlm. 61.
[18] Ia terkenal sebagai tokoh psikologi perkembangan.
Hampir sepanjang hidupnya didedikasikan untuk ilmu pengetahuan. Peaget lahir di
Neuchatel, Swiss, Italia. Sejak kecil dia sudah tertarik dengan ilmu
pengetahuan. Mendapat gelar Ph.D pada tahun 1918 di Universitas Neuchatel dalam
bidang ilmu hewan. Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan
Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), cet. 3, hlm. 99.
[19] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 25.
[20] Ernst von Glasersfeld, An Exposition of Constructivism: Why Some
Like it Radical, (Scientific Reasoning Research Institute-University of
Massachusetts), tulisan dari alamat web : http://www.oikos.org/constructivism.htm
[21] Konstruktivisme radikal mengemukakan dua klaim
utama yang menjadi ciri khasnya: pertama, pengetahuan tidaklah
diterima dengan pasif, tetapi dengan aktif dalam membangun pengetahuan. Kedua,
fungsi pengamatan merupakan adaptasi dalam mengorganisasikan dunia pengalaman,
bukan sekedar menemukan kenyataan sebuah nilai yang sudah mapan. Yang menarik
dari Constructivisme radikal adalah bagaimana seseorang mengetahui banyak
jalan. Sehingga memberikan kebebasan untuk sementara melepaskan ‘baju’ dari
pengetahuan (dogma) metafisika. Dengan jalan ini tentunya menyajikan banyak
cita rasa lebih. Namun yang perlu dipahami bahwa konstruktivisme radikal sangat toleran dan
mengajarkan berbagai alternatif klaim pengetahuan. Cornelius Holtorf,
Radical Constructivism Knowing Beyond Epistemology. Lihat: https:
//tspace.library.utoronto.ca/citd/holtorf/3.8.html
[22] Diterjemahkan sendiri oleh penulis, agar
memudahkan dalam pemahaman dengan merujuk pada Transtol dan Kamus
Inggris-Indonesia, karya John M. Echols dan Hassan Shadily, (Jakarta: PT. Gramedia).
[23] Ibid.
[24] Realisme adalah suatu aliran filsafat yang
mengajarkan bahwa konsep-konsep umum seperti manusia, binatang, pohon,
keadilan, keindahan, dan sebagainya mewakili suatu realitas yang nyata di luar
orang yang memikirkannya. Konsep ‘masyarakat’ juga mempunyai realitas dalam
dirinya di luar pikiran manusia. K.J. Veeger, Realitas Sosioal; refleksi
filsafat sosial atas hubungan individu dan masyarakat dalam cakrawala sejarah
sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), cet. 4, hlm. 10.
[25] Dia terkenal dengan ‘bapak positivisme’.
Positivisme adalah paham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan
benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan metode ilmu
pengetahuan alam (sains). K.J. Veeger, Ibid., hlm. 17-18.
[26] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian Atas
Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, 2004), hlm. 23.
[27] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 164.
[28] Fakta memiliki dimensi yang sangat luas, sehingga
dapat didefiniskan dengan segala sesuatu yang berada atau terjadi di dunia ini.
Matahari adalah suatu fakta, gerhana bulan juga termasuk fakta, orang yang
berteriak-teriak karena sakit adalah fakta, pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan seseorang juga merupakan fakta. Jadi intinya bahwa ‘fakta’adalah
segala sesuatu yang ada, terlepas dari pandangan setiap orang terhadap sesuatu
itu berbeda atau tidak. Bertrand Russel, Fakta, Kepercayaan, Kebenaran, dan
Pengetahuan, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Persepektif;
kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, (Jakarta: PT.Gramedia, 1991),
cet.9, hlm. 70.
[29] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm. 26.
[30] Ketika itu dia
sering mendapat tugas untuk mengembangkan tes penalaran. Dari pengalaman
membuat tes tersebut, Piaget mendapatkan tiga pemikiran penting yang
mempengaruhi cara berpikirnya di kemudian hari. Pertama, Piaget lebih
tertarik pada anak-anak yang jawabannya salah dari pada yang jawabannya benar.
Dia menemukan perbedaan pandangan antara anak yang lebih dewasa dengan yang
lebih muda, yang mengantarkannya pada kesimpulan akhir bahwa ada
tahapan-tahapan kognitif anak. Kedua, Piaget menemukan suatu metode
yang berbeda untuk mempelajari intelegensi. Ia menolak standarisasi tes karena
pendekatan ini terlalu kaku. Oleh karena itu ia lebih memilih dengan metode
yang kurang terstruktur agar dapat memberi kebebasan untuk bertanya kepada
anak. Ketiga, Piaget berpikir bahwa pemikiran logika abstrak mungkin
relevan untuk memahami pemikiran anak. Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget, (Yogyakarta: Kanisius,
2001), cet. 1, hlm. 13-14.
[31] Kesimpulan Piaget
tentang konsep adaptasi, sebenarnya
bukan karena didasari dia sebagai ahli
fisika, bukan sebagai psikolog, tetapi sebagai ahli ilmu biologi. Dia mengimpor
teori evolusi ke dalam studi dan pengamatan-pengamatannya. Ernst von
Glasersfeld, Homage to Jean Piaget
(1896-1980), dalam http://www.iserp.lu/etudiants/2a/Even_Wojsischowski/glasersfeld.jpg
[32] Paul Suparno
(2001), op. cit., hlm. 15.
[33] Asimilasi adalah proses kognitif dimana
seseorang mengintegrasikan konsep, informasi baru ke dalam skema kognitif
pikirannya. Akomodasi adalah proses
mental dimana pikiran pelajar membentuk skemata baru atau memodifikasi skemata
yang sudah ada dalam pikirannya sedemikian sehingga cocok dengan informasi yang
baru diterima. Don Kumanireng, “Konstruktivisme
dan Pembelajaran Lima Level”, Opini
dalam Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, Kamis : 23 Jun 2004.
[34] Pengetahuan sosial dibentuk dan ditransmisikan
antar generasi. Ibarat suatu organisme, manusia berkembang secara biologis
dalam relasi dengan lingkungan. Manusia yang tergabung dalam sebuah masyarakat
berfungsi sebagai penerus budaya dari generasi ke generasi selanjutnya secara
dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat, melalui
pendidikan dan interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan
dengan proses sosialisasi. Ari H
Gunawan, Sosiologi Pendidikan; Suatu analisis sosiologi tentang berbagai
problem pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 54.
[35] Paul Suparno (1997), loc.cit., hlm. 48.
[36] Nama aslinya adalah
Lev Semenovich Vygotsky adalah seorang Psikolog asal
Rusia yang mendirikan sekolah psikologi sociocultural, yang mana didasarkan
hukum umum tentang pengembangan budaya. William Frawley, Vygotsky and Cognitive Science: Language and
the Unification of the Social and Computational Mind, (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1997), hlm. 520. Lihat di wibesite :
http://acl.ldc.upenn.edu/J/J98/J98-3010.pdf
[37] Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individu. Proses kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks
sosial budaya, terlebih bahasa pada proses belajar. Baginya, belajar adalah
suatu perkembangan pengertian. Penyesuaian-penyesuaian terjadi secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para
konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar
gagasan antar individu. Shaffer, David.R., Development
Psychology Childhood and Adolescend, (Georgia: Cole Publishing Company,
1996), hlm. 274-275.
[38] Pengertian spontan
adalah pengertian yang terbentuk dari pengalaman kehidupan sehari-hari anak
dalam hubungannya dengan lingkungan keluarga, kawan bermain dan lain
sebagainya. Sehingga cenderung tidak terdevinisi dan tidak terangkai secara
sistematis dan logis.
[39] Pengertian tersebut
biasa lebih terstruktur, terjadi dalam lingkungan pendidikan formal. Pengertian
ilmiah juga dapat dikatakan sebagai perkembangan dari pengertian spontan yang
berlangsung setiap saat ketika anak-anak belajar merangkai kalimat dalam
lingkungan non-formal dan lingkungan formal (sekolah).
[40] Paul Suparno
(1997), loc.cit., hlm. 45.
[41] Itulah sebabnya para sosiokulralis menekankan
pentingnya interaksi sosial (selain peran aktif individu) dengan orang lain,
terlebih yang punya pengetahuan dan yang secara kultural telah berkembang
dengan baik. Sehingga mereka mengutamakan dialog dan komunikasi verbal dengan
orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal dengan
‘orang dewasa’ anak lebih ditantang untuk lebih memahami pengertian ilmiah.
Oleh karenanya dalam praktek, peserta didik dianjurkan untuk berinteraksi
dengan para ahli, agar lebih tertantang untuk mengkonstruk pengetahuannya
tersebut. Ibid, hlm. 46.
[42] Dia adalah putra
bungsu dari seorang keluarga Athena yang kaya dan terkenal, nama sesungguhnya
adalah Aristocles --“Plato” atau “Platon” adalah nama panggilan yang
didapatkannya sejak lahir, karena bahunya yang mencong dan dahinya agak
menonjol. Saat masih muda, dia menerima pendidikan standar layaknya seorang
aristokrat muda dan pernah menjadi pemenang dalam kejuaraan gulat, di samping
kecakapannya dalam bidang musik dan sastra. Dia juga pernah memperkuat barisan
militer Athena (409-494 sM). Namun ketika dia menyadari telah terjadi
ketidakadilan dalam dunia politik saat itu, dan diperkuat adanya eksekusi mati
bagi gurunya (Socrates), dia membuang ambisinya pada persoalan politik.
Kemudian dia mendirikan Akademia
sebagai tempat penggodokan para bangsawan dan negarawan masa depan. Nicholas
Fearn, Cara Mudah Berfilsafat [Ringkas
dan Menghibur], diterjemahkan dari buku asli “Zeno and the Tortoise, How to
Think Like a Philosopher,” (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2003), cet. 1, hlm. 50-51.
[43] Dunia ide bersifat tetap, kekal, dan
merupakan alam sesungguhnya. Sejak lahir manusia membawa ide bawaan. Dengan ide
tersebut manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu. Maka, manusia
tinggal “mengingat kembali” ide-ide bawaannya jika menginginkan memahami
sesuatu. Epistemologi pada masa Plato bersifat rasional spekulatif. Maksudnya,
pemikiran rasional Plato semata-mata didasarkan pada keyakinan pada dunia ide,
yakni ide-ide bawaan manusia, tidak betul-betul didasarkan pada pemikiran yang
bertumpu pada fakta-fakta empiris. Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. 1, hlm. 31-32.
[44] Nicholas Fearn, [Cara Mudah Berfilsafat], op. cit., hlm. 53
[45] Plato meminta kita
untuk membayangkan bahwa ada manusia-manusia yang terpenjara di dalam gua sejak
lahir dan tidak pernah melihat dunia luar. Mereka dirantai dan dipasung hingga
tidak mampu bergerak sedikitpun dengan posisi membelakangi mulut gua. Cahaya
yang berasal dari api unggun dari mulut gua menghasilkan bayangan pada dinding
gua, berupa sosok yang berlalu lalang sambil berbicara. Maka, secara alamiah
orang yang dipasung itu menganggap bahwa suara-suara yang memantul pada dinding
gua tersebut berasal dari bayangan-bayangan itu. Kemudian, jika salah satu dari
mereka terlepas dan berhasil melihat apa yang sesungguhnya, yang lebih nyata,
malah dia tidak percaya bahwa yang dia lihat adalah dunia yang lebih nyata. Ibid., hlm. 51-55.
[46] Dr. Paul Suparno
(1997), loc.cit., hlm. 18.
[47] Descartes tidak
sendiri, dalam barisannya ada Hobbes, Spinoza, Leibniz, yang ikut memperkuat
barisan rasionalisme. Pada dataran praksis kaum rasionalis sangat menekankan
pada subyektivitas. Sebab rasionalisme mengandalkan hasil pencapaian akal,
sementara akal sangat terkait dengan person dan individualistiknya. Prestasi
perenungan Descartes dengan skeptisismenya menghasilkan sebuah kesimpulan yang
terkenal dengan “Cogito, ergo sum”--aku berfikir maka aku ada. Yang dimaksud
berfikir ialah kesadaran secara umum, yang sudah tidak dapat diragukan lagi.
Hector Hawton, Filsafat yang Menghibur:
Penjelajahan memasuki ide-ide besar, (Yogyakarta : Ikon Teralitera, 2003),
cet. 1, hlm. 41-42.
[48] Murtadha Muthahari
Muthahhari, Mengenal Epistemologi; sebuah
pembuktian terhadap rapuhnya pemikiran asing dan kokohnya pemikiran Islam,
(Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 28.
[49] Secara etimologi,
istilah empirismeberasal dari kata Yunani, emperia
yang berarti pengalaman. Aliran ini muncul di Inggris. Pada awalnya dipelopori
oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca
Descartes, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley
(1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776). Muhammad
Muslih, op. cit., hlm. 62.
[50] Ada dua jenis
pengalaman; lahiriah (sensation) dan
batiniah (reflection). Kedua sumber
pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas). Jiwa manusia bersifat pasif sama sekali dalam
menerima ide-ide tersebut. Jiwa manusia dapat membentuk ide majemuk (compleks ideas), seperti ide substansi. Ibid., hlm. 63.
[51] Ibid.
[52] Melalui karya
tersebut, Hume ingin mengenalkan metode eksperimental sebagai dasar menuju
subyek-subyek moral. Buku tersebut terdiri dari tiga bagian. Pertama, mengupas problem-problem
epistemologi. Kedua, membahas masalah
emosi manusia. Ketiga, membicarakan
prinsip-prinsip moral. Pada dasarnya dalam tulisannya ia hendak melawan
rasionalisme (kausalitas dalam membuktikan ‘Tuhan’), serta mencounter
empirismenya Locke dan Berkeley yang masih percaya adanya substansi. Hume
meyakini bahwa seluruh isi pemikirannya berasal dari pengalaman, yang diistilahkan
dengan “persepsi”. Persepsi sendiri
ada dua tingkatan, yaitu kesan (immpresions)
dan gagasan (ideas). Kesan bisa
disebut dengan pengalaman inderawi yang ditangkap pada suatu obyek (materi),
sedangkan gagasan lebih pada gambaran makna (konsep) tentang obyek tersebut
dengan cara memanggilnya kembali untuk dipikirkan. Hume membedakan dua jenis
kesan, yakni sensasi (muncul dari
jiwa) dan refleksi (muncul dari
gagasan), serta dua jenis gagasan yakni memory
(lebih teratur) dan imaginasi
(kombinasi ide yang berasal dari kesan-kesan).
Ibid., hlm. 64-65.
[53] Ibid., hlm. 66-67.
[54] Ia dilahirkan di
Koenigsberg, dari seorang ayah keturunan Skotlandia. Kant digambarkan sebagai
orang yang tekun belajar, pendiam dan sangat metodis. Dia juga seorang
cendekiawan yang hidup sederhana. Hector Hawton, op. cit., hlm. 110.
[55] Kritisisme adalah
aliran filsafat yang memulai perjalanannya dengan dengan terlebih dahulu
menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisisme yang lakukan oleh
Kant dimulai dengan melakukan kritik atas rasio murni, kemudian atas rasio
praksis, dan terakhir kritik atas daya pertimbangan.
[56] Hector Hawton, ibid., hlm. 118.
[57] Pada awalnya
pragmatisme dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce, kemudian diperluas oleh
filosuf Amerika, sekaligus psikolog dan guru besar di Harvard yakni James.
Pragmatisme mencoba mendamaikan konflik yang seolah muncul antara pengetahuan
dan nilai. Bagi James, yang juga pengarang dari The Varieties of Religious Experience, kebenaran dari sebuah
gagasan ditentukan oleh kegunaan dan nilai sosial atau etis gagasan tersebut,
atau konsekwensi etisnya. Christopher
Philips, (2002), op. cit., hlm. 307.
[58] William James, The Varieties of Religious Experience:
Pengalaman-Pengalaman Religius, (Yogyakarta: Jendela, 2003), cet. 1, hlm.
99.
[59] Ibid.
[60] Secara langsung
artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya
tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini
tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,namun
tetap harus mendasarkan pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu
memberikan pengetahuan, kecuali disandarkan pada teks. Sehingga pada dataran
perspektif keagamaan, sasaran bidik dari bayani adalah aspek eksoterik
(syariat). A. Khudori Soleh, Wacana Baru
Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. 1, hlm. 177.
[61] Ibid., hlm. 194.
[62] Menurut al-Jabiri,
prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun pertama kali dibangun oleh
Aristoteles (384-322 sM) yang dikenal dengan metode analitik (tahlili); suatu
cara berpikir yang disandarkan pada proposisi tertentu dengan mengambil sepuluh
kategori, sebagai objek kajian; kuantitas, kualitas, ruang, atau tempat, waktu,
dan seterusnya. Cara berpikir analitik Aristoteles yang tadinya menggunakan
istilah logika, setelah masuk ke
dalam khasanah pemikiran Islam berganti nama dengan burhani. Transformasi tersebut adalah akibat dari program
penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan
al-Makmun (811-833). Ibid., hlm. 219.
[63] Dalam wacana
filsafat ilmu namanya memang belum banyak dikenal, bahkan dalam khasah
pemikiran Islam, sosok Suhrawardi masih tergolong problematik (untuk tidak
mengatakan masih teka-teki). Dia adalah seorang filsuf Muslim besar yang,
menurut Hasan Hanafi (tokoh revolusioner Mesir), filsafat Islam mencapai
puncaknya, ketika ada di tangannya, namun pembicaraan tentang dirinya masih
mencerminkan dua hal saja. Pertama, sebagai tokoh sejarah. Kedua,
lebih tampil sebagai tokoh sufi yang sejajar dengan al-Hallaj (858-913),
al-Ghazali (1058-1111), Ibn Arabi dan lain-lain. Muhammad Muslih, op. cit., hlm. 239-240.
[64] Pemikiran
Suhrawardi tentang Israqi, menurut Sayyed Hussein Nasr, dipengaruhi oleh lima
aliran. Pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya
al-Hallaj dan al-Ghazali, yang membicarakan nur
(cahaya) dan iman. Kedua, pemikiran paripetetik filsafat Islam khususnya filsafat
Ibn Sina. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum islam, yakni aliran
Phythagoras (580-500 sM), Platonian dan Hermenian. Keempat,
pemikiran-pemikiran hikmah (Iran kuno) sebagai pewaris langsung hikmah yang
turun sebelum bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes). Kelima,
bersandar pada ajaran Zoroater dalam gunakan lambang-lambang cahaya dan
kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian ditambah dengan
istilah-istilah sendiri. A. Khudori Soleh,
op. cit., hlm. 119-121.
[65] Departemen Agama
RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV. Penerbit J-Art, 2004), hlm. 593.
[66] Murthadha
Muthahhari, op.cit., hlm. 81-82.
[67] Fritjof Capra, Menyatu dengan Semesta; Menyingkap batas
antara Sains dan Spiritualitas, Judul Asli, Belonging to the University;
Exploration to the Frontiersof Science and Spirituality, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1999), hlm.
213.
[68] A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English, (London: Oxford University Press, 2000), hlm. 264.
[69] Teks ini
diterjemahkan oleh penulis sendiri dengan bantuan transtool, agar memudahkan
dalam memahami makna maupun isi. Pada baris berikutnya juga dituliskan,
“construction” adalah the creating of sth from ideas, opinions and knowledge : the
contruction of a new theory [terciptanya gagasan, pendapat dan pengetahuan:
membentuk suatu teori baru]. Ibid
[70] Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 365.
[71] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan
Teologi, (Yogyakarta: Gajahmada Univercity Press, 1996), hlm. 37.
[72]André Kukla, Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Jendela, 2003), hlm.vii-ix.
[73] Seorang dosen
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia mendapat gelar BA pada Sekolah Tinggi
Filsafat Driyakarya Jakarta pada tahun 1975. Pada saat bersamaan dia berhasil
meraih gelar Sarjana Ilmu pasti dan alam di USD (dulu IKIP Sanata Darma) dan
Sarjana Filsafat Teologi pada Institut Filsafat Teologi Wedabhakti Yogyakarta
tahun 1982. Sementara doktor Pendidikan Sains diraihnya di Boston University
Amerika Serikat. Selain sebagai penulis lepas di berbagai media, dia juga
pernah menjabat sebagai rektor USD. Tulisan-tulisannya cukup mewarnai diskursus
seputar pendidikan di Indonesia.
[74] Paul Suparno
(1997), loc. cit., hlm. 18.
[75] Bagi Jonassen, yang
dimaksud konstruktivisme dalam konteks belajar sebenarnya adalah […pelajar
sendiri yang membangun pengetahuannya, bukan sekedar “mempercayai apa yang
dikatakan seseorang adalah benar.” Pelajar sendiri yang berperan memproduksi
pengertian / sejumlah pemahaman. Diskusi dan kerjasama menjadi kata kunci dari
pendekatan pembelajaran konstruktivis. Intinya adalah orientasi pembelajaran
berada pada student-centered]. Lihat: http://www.cwrl.utexas.edu/currents/fall99/melzer/ConstructivismDefined.htm.
[76] Pengikut aliran
rekonstruksionalisme percaya bahwa telah tumbuh kesadaran dan sepakat untuk
menciptakan satu dunia baru dengan kebudayaan baru, di bawah satu kedaulatan
dunia dalam pengawasan mayoritas umat (subordinat) dan otoritas internasional.
Djumransjah, Pengantar Filsafat
Pendidikan, (Malang: Bayu media, 2004), cet. 1, hlm. 189. Baca juga,
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 2, hlm. 29-30.
[77] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan
Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), cet. 7, hlm. 47.
[78] Bertrand Russell, Fakta Kepercayaan Kebenaran
dan Pengetahuan, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991), cet. 9, hlm. 82.
[79] Patung tersebut setidaknya melambangkan bahwa
manusia sebagai makhluk berfikir (homo sapiens). Dengan berfikir itulah manusia
menjadi benar-benar manusia. Sebab akal merupakan ciri dari kemanusiaan, bahkan
manusia juga disebut hewan yang berfikir. Ibid.,, hlm, 1.
[80] Paul Suparno, Teori perkembangan kognitif Jean Peaget, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 124.
[81] Paul Suparno
(1997), loc. cit., hlm. 22.
[82] Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif, Panduan
Menemukan Tehnik Belajar Memilih Jurusan dan Menentukan Cita-cita, (Jakarta:
Puspasuara, 2002), cet. 3, hlm. 1.
[83] Paul Suparno (1997), loc.cit., hlm. 49-58.
[84] Setidaknya dalam pandangan O’Neil, beberapa
ideologi tersebut yang mempengaruhi dunia pendidikan di berbagai negara. Setiap
ideologi memiliki karakter dan corak tersendiri sehingga dalam dataran praksis
juga akan berbeda-beda dalam merangkai sebuah sistem pendidikan yang
dijalankan. Baca : William F. O’Neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, diterjemahkan
dari judul asli “Educational Ideologies: Contemporary Expressions of
Educational Philosophies”, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. 2, hlm.
104-111.
[85] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 122.
[86] Istilah itu dapat diartikan transfer belajar yaitu
pemindahan hasil belajar dari mata pelajaran yang satu ke mata pelajaran yang
lain, atau dari situasi satu ke situasi yang lain. Contoh, kemampuan menulis
opini, akan membantu dalam belajar menulis artikel, esai dan sejenisnya. Tim
Pengembangan MKDK IKIP, Psikologi Belajar, (Semarang: IKIP Press, 1990),
hlm. 134.
[87] Suatu proses pembelajaran berupa learner-centered
dan learning in context. Konteks dalam pembelajaran adalah sebuah
keadaan (situasi) yang mempengaruhi kehidupan nyata dari pelajar itu sendiri,
misalnya keadaan keluarga, setting sosial dalam masyarakat dan lain
sebagainya. Sederhananya, CTL juga dipahami sebagai konsep pembelajaran yang
menekankan keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan
peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan
menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Baca : E.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), cet. 2, hlm. 102.
[88] Nur Hadi, Kurikulum 2004, (Jakarta: PT
Grasindo, 2004), hlm. 104.
[89] Misalnya, skema tentang buku adalah lembaran
kertas, yang bertuliskan huruf-huruf, kadang disertai dengan gambar-gambar.
Skema itu juga dapat berkembang, bahwa buku bukan hanya lembaran kertas yang
ditulisi, namun buku juga dapat dimaknai gerbang ilmu, jendela masa depan, dan
lain sebagainya. Skema-skema semacam itu yang akan terus berkembang sepanjang
waktu, jika dikehendaki oleh seseorang.
[90] Paul Suparno, (2001), op.cit., hlm. 143
[91] Peristiwa anomali adalah peristiwa atau kejadian
yang berlawanan dengan yang bisa dipikirkan murid. Anomali ini lebih
diasosiasikan pada sebuah fakta yang berlawanan dengan pemahaman awal dari
peserta didik. Bahasa yang mudah anomali adalah keanehan. Ketika peserta didik
sudah merasa aneh dengan suatu hal, maka dia akan semakin penasaran. Keingintahuan
mengusik ketenangannya untuk mencari tahu. Paul Suparno (2001), ibid.,
hlm. 144.
[92] Paul Suparno (1997), loc. cit., hlm.
330-33.
0 Response to "KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN"
Post a Comment