KEMISKINAN
AGAMA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PENDIDIKAN
A.
Kemiskinan Agama
1.
Pengertian Kemiskinan Agama
Agama
secara terminology berasal dari bahasa Inggris yaitu religion, bahasa belanda
Religie dan bahasa arab Din. Menurut Prof. DR. Mukti Ali, berangkali tidak ada
kata paling sulit diberikan pengertian dan definisiselain dari kata “agama” ada
tiga alasan yang mendasari. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah
pengalaman bathini dan subyektif, juga sangat individualistis. Kedua,
bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan
emosional lebih dari pada membicarakan agama, maka dalam membahas tentang arti
agama selalu ada emosi yang kuat sekali sehingga sulit memberikan arti kalimat
agama itu. Ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh
tujuan orang yang memberikan pengertian agama.[1]
Sebagai
keyakinan dan kepercayaan agama menjadi sumber kebenaran yang mutlak dari
Tuhan.[2]
Maka iman merupakan bagian pokok dalam agama, sesuatu yang diakui kebenarannya,
seperti rukun Iman yang enam dalam agama Islam. Jika dikatakan bahwa agama itu
adalah masalah iman, berarti agama berurusan dengan akal fikiran. Agama
berhubungan dengan manusia dan kemanusiaan seutuhnya. Manusia itu terbangun
dari faktor jasmani dan rohani, dimana akal fikiran berperan untuk lebih
mengokohkan manusia mengenai agama yang telah dipeluknya, yang semula telah
diterimanya semata-mata dengan iman.[3]
Mengutip
pemikiran M. Natsir yang mendefinisikan agama adalah di sebut juga problem
of ultimate concern, suatu problem yang mengenai kepentingan mutlak, yang
berarti jika seseorang membicarakan soal agama maka ia tidak dapat tawar
menawar.[4]
Dalam
konteks sekarang kemiskinan agama bisa dilihat dalam masyarakat
awam/tradisional, dimana aspek intensitas keberagamaan masih awam, cara atau
metode dalam beragama lebih menekankan pada aspek emosional, pola kelakuan
beragamaannya cenderung pada kelakuan lahiriyah (eksoteris) dan sikap dalam
beragama kental dengan nuansa tradisonal.[5]
Dalam
rumusan sosiologi yang paling terkenal luas, Chifford Greetz membedakan 3 macam
Islam Jawa yaitu :
a.
Abangan digambarkan sebagai
campuran sinkretik dan unsur animisme, hindu-budha dan Islam yang menonjol
dikalangan masyarakat pedesaan.
b.
Santri di identifikasi sebagai
varian Islam yang lebih ortodeks terutama tersebar luas dikalangan para
pedagang dan petani kaya.
c.
Priyayi diidentifikasi sebagai
warisan elite yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hindu budha kraton jawa
sebelumnya dan kekuatan dengan golongan bangsawan tradisional jawa dan
birokrasi pemerintah yang menggantikannya pada era modern.[6]
Menurut
istilah Geetz di atas maka, menafsirkan kemiskinan agama, dipersepsikan sama
dengan abangan yakni ritual dan mistik. Ia menggambarkan mengenai Islam lebih
bernuansa Jawa daripada Islam. Dalam istilahnya adalah abangan atau santri yang
sangat kolot, meskipun kenyataannya sering disebut ortodoks, dimana unsur-unsur
animisme dan dinanisme atau hindhu budha masih ditemukan.[7]
2.
Latar belakang manusia beragama
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi manusia
beragama diantaranya adalah :
a.
Agama adalah produk rasa takut.
Rasa
takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari
luasnya lautan dan debur ombaknya yang menggulung serta gejala-gejala alamiah
lainnya. Sebagai akibat rasa takut ini terlintaslah agama dalam benak manusia.
Lucretius, seorang filosof Yunani, menyebutkan nenek moyang pertama adalah para
dewa ialah dewa ketakutan. Di masa kita kini pun ada sebagian orang yang
berpegang padanya dengan mengeklem bahwa itu merupakan teori yang baru.
b.
Agama adalah produk kebodohan
Sebagian
orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia,
sesuai dengan wataknya, selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan
hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi
di dalamnya. Mungkin ini di sebabkan tidak berhasil mengenalnya, ia lalu
menisbahkan hal itu kepada sesuatu yang bersifat metafisis.
c.
Perdambaan akan keadilan dan
keteraturan
Sebagian
orang memperkirakan bahwa motivasi keterkaitan manusia kepada agama ialah
pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Yaitu ketika manusia menyaksikan
kezaliman dann tiadanya keadilan dalam masyarakat dan alam. Karena itu, ia
menciptakan agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan
penderitaan-penderitaan kejiwaannya.[8]
3.
Potensi-potensi dalam diri manusia
untuk beragama.
Sebagaimana telah
dikemukan bahwa agama dan kehidupan beragama telah ada dan tumbuh serta
berkembang sejak tahap awal manusia berbudaya dimuka bumi ini. Agama dan
kehidupan agam tersebut merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan
sosial budaya tahap awal manusia. Boleh dikatakan bahwa agama dan kehidupan
beragama tersebut merupakan pembawaan atau fitrah bagi manusia. Artinya bahwa
dalam diri manusia, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok, terdapat
kecenderungan dan dorongan itu tumbuh serta berkembang bersama dengan
kecenderungan dan dorongan-dorongan lainnya, yang dalam kehidupna bersama suatu
masyarakat yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu, membentuk suatu sistem
budaya tertentu.
Potensi fitrah
manusia yang dibawa sejak lahir diantaranya :
a.
Fitrah Beragama
b.
Fitrah Berakal
c.
Fitrah Belajar
d.
Fritrah Sosial
e.
Fitrah Susila
f.
Fitrah Berekonomi
g.
Fitrah Berpolitik
h.
Fitrah Seksual
Fitrah
beragama merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu tunduk
dan patuh kepada Tuhan atau kekuatan mutlak yang menguasai dan mengatur
kehidupan manusia serta merujuk kepadNya dalam segala aspek kehidupannya.
Fitarh berakal mendorong manusia untuk berfikir memahami persoalan dan
tantangan hidup yang dihadapinya dan berdaya untuk memecahkannya. Fitrah
belajar mendorong manusia untuk berdaya upaya mengembangkan kemampuan diri.
Fitrah sosial mendorong manusia untuk berasama, bergotong royong, saling
membantu dan sebagainya. Dengan fitrah susila manusia berdaya upaya untuk
berkehidupan sesuai/menurut norma-norma atau nilai-nilai serta aturan-atuarn
tertentu yang berlaku. Dengan fitarah ekonomi, manusia berupaya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara budaya. Dengan fitah politik, manusia
berupaya untuk menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang mampu melindungi
kepentingan bersama. Dengan fitrah seksual manusia berbudidaya untuk berkembang
biak, melanjutkan keturunan dan wariskan tugas-tugas budaya kepada generasi
mudanya. Dan masih banyak lagi fitarh lainnya yang mendorong manusia untuk
berdaya upaya agar berkehidupan yang baik, berkeadilan, atas dasar persamaan,
persatuan dan kesatuan, kebebasan, dinamis, mandiri dan sebagainya.[9]
Dalam Q.S. Ar Rum ayat 30, konsep dien (agama)
berkaitan dengan konsep tentang fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan
penciptaan manusia, sebagaimana ayat berikut :
فاقم وجهك للدين
حنيفا. فطرت الله التى فطرالناس عليهالاتبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن اكثرالناس لا
يعلمون (الروم :30)
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut Fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[10]
4.
Penyebab Kemiskinan Agama.
Menggambarkan tipologi masyarakat
Jawa hasil penelitian Clifford Geertz di Mojokuto,[11]
ia telah membagi orang Jawa menjadi tiga jenis budayawi utama ; Abangan yang
mewakili sikap menitikberatkan segi-segi sinkritisme Jawa yang menyeluruh, dan
secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani diantara penduduk. Santri
yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dan sikritisme
tersebut ; pada umumnya berhubungan pada unsur pedagang (maupun juga
diantaranya petani). Dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi
Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.[12]
Dari ketiga golongan diatas
golongan abangan termasuk yang paling dominan dalam masyarakat Jawa waktu itu,
sering disebut wong cilik (orang kecil) adalah petani yang tinggal di
desa-desa yang merupakan satuan-satuan sosial, moral dan ekonomi. Kebanyakan
petani menggarap sebidang tanah kecil. Namun ada juga wong licik yang tinggal
di kota. Di situ mereka merupakan tingkat bawah penduduk, bekerja sebagai
pengemudi mobil dan truk, pemangkas rambut, tukang becak, tukang batu dan
tukang kayu serta pembantu rumah tangga.[13]
Abangan secara harfiah berarti
“yang merah” yang diturunkan dari pangkat kata abang (merah). Istilah ini
mengenai orang muslim Jawa yang tidak sebarapa memperhatikan perintah-perintah
agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama.[14]
Dalam tahapan aliran kepercayaan
ada beberapa pemikiran diantaranya. Pertama, tahap Fetisyisme, yaitu
bentuk kehidupan masyarakat yang di dasari pemikiran-pemikiran yang beranggapan
bahwa segala sesuatu yang ada disekeliling manusia (alam sekitar) mempunyai
kehidupan yang sama seperti manusia, dan bahkan mempunyai pengaruh yang
menentukan terhadap kehidupan manusia. Kedua, tahap politeisme, yaitu
suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang
beranggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penetu bagi kehidupan manusia
tidak lagi berasal dari benda-benda yang berada sekeliling manusia. Karena
itulah maka segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia harus
disesuaikan serta diabadikan kepada kehendak para mahkluk yang tidak kelihatan
tersebut.
Ketiga, tahap monoteisme,
yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran yang
beranggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu kehidupan manusia itu tidak
lagi berasal dari dewa-dewa yang menguasai dan mengatur benda-benda atau
kejala-kejala alam, melainkan berasal dari kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan suatu satu-satunya penentu, sebab pertama
dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Karena itu segala fikiran, tingkah
laku dan perbuatan manusia harus selalu diorentasikan kepada Tuhan sejalan
dengan dogma-dogma agama yang dianut manusia.[15]
Faktor penyebab kemiskinan agama
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dari luar dan dalam. Dari luar diantara
ekonomi, sosial, politik, budaya. Dari dalam diantaranya: dangkalnya ilmu
pengetahuan agama, malas menuntut ilmu agama, dsb. Lebih-lebih dari faktor dari
luar yang kadag sangat mempengaruhinya. Sehingga masyarakat lebih mementingkan
hal-hal yang bersifat materi dari pada hal-hal yang bersifat trasendental.
Kesibukkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menyebabkan waktu mereka terkurang
habis dan kesempatan mempelajari agama kurang, maka keberagamaan mereka lebih
bersifat partenalistik (mengandalkan pada figure/tokoh kunci).[16]
Kemiskinan agama juga disebabkan
budaya yang telah mengakar pada masyarakat setempat dimana orang peran orang
tua lebih dominan dan tidak memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk
belajar, belajar bagi mereka adalah ancaman budaya yang mereka anut selama ini,
semakin banyak orang pinter maka budaya akan menghilangkan budaya setempat, ini
dialami oleh masyarakat samin, dimana anak keturunannya tidakdiperbolehkan
sekolah dan agama yang mereka anut adalah agama nenek moyang yakni turun
temurun.
5.
Teori-teori agama
Pengaruh agama akan semakin
berkurang seiring dengan semakin meningkatnya modernisasi. Hal ini sejalan
dengan pandangan yang dikemukakan oleh para filosof agama, antara lain :
a. Hipotesis Kaum Marxis
Kaum marxisme percaya bahwa agama
di wujudkan agar kelas penindas tetap dapat mempertahankan privelese, kedudukan
dan kekuasaan dikalangan bangsa-bangsa. Pada tahap pertama timbullah
komune-komune, agama belum sama sekali terwujud. Disebabkan beberapa faktor
terwujudlah pemilikan pribadi dan kelas-kelas tertentu, termasuk kelas penguasa
dan prolentar, kemudian tahap timbulnya tuan tanah dan pemilik modal (kaum
kapitalis), kelas penguasa menghidupkan teori agama agar kaum prolentar tidak
melancarkan pemberontakan terhadapnya, sebab agama dapat mengekang kendali
kemarahan kaum prolentar dan merupakan candu yang membius mereka agar tetap
dalam kelelapan dan ketidaksadaran.
b. Hipotesis Freud
Semua kejala sosial termasuk agama
telah ditafsirkan oleh Freud sesuai dengan naluri seksual. Menurutnya bila
lingkungan atau kondisi-kondisi sosial bertindak membatasi kejolak naluri
seksual, maka naluri ini akan mengalami penekanan dan pencegahan (larangan).
Akan tetapi hal ini tidak berarti ia hilang dengan sendirinya. Naluri itu akan
tetap bersemanyam di bawah sadar manusia selama aktivitasnya teralang oleh
ikatan-ikatan sosial, dan akan menyatakan kehadirannya secara lahiriah dalam
beranekaragam kelainan mental dan gejala, di antaranya agama.
Jadi faktor yang mendorong
timbulnya agama adalah penekanan dan pelarangan seksual. akar-akar pertama
munculnya akhlak, ilmu pengetahuan dan segala sesuatu adalah seksual.
c. Carl Gustav Jung
Seorang ahli psikologi terkenal
dan murid Freud, menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan konsep Freud, yang
menggap agama sebagai bentuk-bentuk penekanan dan larangan seksual yang lari
dari kesadaran. Jung berpendapat bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah
ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami.[17]
d. William James
Seorang filosof dan ilmuwan
terkenal di Amirika menyatakan bahwa kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal
fisis dan material merupakan sumber timbulnya berbagai keinginan batin, namun
banyak pula keinginan yang timbul dari alam material ini. Buktinya, banyak
perbuatan manusia yang tidak bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan
material. Pada setiap keadaan dan perbuatan kita selalu melihat berbagai bentuk
sifat seperti ketulusan, kerinduan, keramahan, kecintaan dan pengorbanan.
Gejala-gejala kejiwaan yang
bersifat keagamaan memiliki berbagai kepribadian dan khasiat (karakteristik)
yang tidak selaras semua kejala pada umumnya kejiwaan manusia.naluri-naluri
spiritual yang menghubungkan kita dengan alam yang lainnya.
e. Alexis Carell
Pada batin manusia ada seberkas
sinar yang menunjukkan kapada manusia, kesalahan-kesalahan dan
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan manusia. Sinar inilah yang mencegah
manusia dari terjerumus kedalam perbuatan dosa dan penyimpangan. Adakalanya
manusia pada keadaan rohaninya, merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan.
f.
Einstein
Bermacam-macam perasaan kejiwaan
yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula berbagai faktor yang
telah mendorong berbagai kelompok untuk berpegang teguh pada agama. Ia
berpendapat bahwa sifat sosial manusialah yang pada gilirannya merupakan salah
satu faktor yang mendorong terwujudnya agama.
Misalnya manusia menyaksikan maut
merenggut ayah, ibu, pemimpin dan kerabatnya, mereka satu per satu hingga
manusia merasa kesepian dikala dunianya telah kosong dari mereka. Jadi harapan
akan ada sesuatu yang akan memberikan petunjuk dan pengarahan, harapan menjadi
pecinta atau orang yang dicintai, keinginan bersandar pada orang lain dan
terlepas dari perasaan putus asa semua itu membentuk, dalam dirinya sendiri,
dasar kejiwaan untuk menerima keimanan kepada Tuhan.[18]
B.
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan
1.
Pengertian Pendidikan
Dalam
kajian dan pemikiran tentang pendidikan terlebih dahulu perlu diketahui 2
istilah yang hampir sama bentuknya dan sering dipergunakan dalam dunia
pendidikan, yaitu: pedagogi dan pedagoik. Pedagogi berarti “pendidikan”
sedangkan pedagoie artinya “ilmu pendidikan”.
Pedagonik
atau ilmu pendidikan ialah yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala
perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dari kata “pedagogia” (Yunani) yang
berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan yang sering dignakan istilah
pedagogos adalah seorang pelayan (bujang) pada zaman Yunani Kuno yang
pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paedagogos
berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).
Perkataan
Pedagogos yang pada mulanya berarti pelayanan kemudian berubah menjadi
pekerjaan mulia. Karena pengertian Pedagoog (dari Pedagogos) berarti seorang
yang tugasnya, membimbing ana di dalam pertumbuhannya ke daerah berdiri sendiri
dan bertanggung jawab.
Dalam
pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
tersebut serta mewariskannya kepada generasi berikunya untuk dikembangkan dalam
hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan. Karenanya
bagaimanapun peradaban suatu masyarakat, didalamnya berlangsung dan terjadi
suatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya. Atau
dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban
bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai
dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau
sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya. Sekaligus juga
menunjukkan sesuatu bagaiman warg negara bangsanya berfikir dan berperilaku
secara turun-temurun hingga kepada generasi berikutnya yang dalam perkembangannya
akan sampai pada tingkat peradaban yang maju atau meningkatnya nilai-nilai
kehidupan yang lebih baik.
Seperti
definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli antara lain :
a.
Driyarkara mengatakan bahwa
pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ketaraf
insani itulah yang disebut mendidik. Pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda.
(Ditjen Dikti, 1983/1984: 19).
b.
Dictionary of Education
menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan
kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam masyarakat
dimana ia hidup, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan
yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia
dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan
individu yang optimum. (Ditjen Dikti, 1983/1984: 19).
c.
Crow and Crow menyebut
pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi
individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya
serta kelembagaan sosial dan generasi ke generasi (Suprapto, 1957).
d.
Ki Hajar Dewantara dalam Kongres
Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 menyebutkan: Pendidikan umumnya
berarti daya upaya untuk memajukan memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak
boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
dunianya.
e.
Di dalam GBHN tahun 1973
disebutkan bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan
berlangsung seumur hidup.
Dari
uraian diatas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai berikut :
a.
Suatu proses pertumbuhan yang
menyesuaikan dengan lingkungan;
b.
Suatu pengarahan dan bimbingan
yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya;
c.
Suatu usaha sadar untuk
menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh
masyarakat;
d.
Suatu pembentukan kepribadian dan
kemampuan anak dalam menuju kedewasaan. [19]
2.
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Saat
ini di Indonesia, prakarsa ke arah MBS mulia ditetapkan untuk SLTP dan SMA pada
tahun 1999, dan diberi nama manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah atau
disingkat MPMBS.
MPMBS
merupakan suatu model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah untuk mrlibatkan segenap warga sekolah. Prinsip-prinsip utama
yang ingin dikembangkan pada pendekatan MPMBS adalah focus pada mutu, bottom-up
planning and decision making, manajemen yang tranparan, pemberdayaan
masyarakat, dan peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Tujuan
MPMBS, seperti diartikulasikan pada buku manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah terbitan direktorat pendidikan menengah umum tahun 2001, adalah sebagai
berikut :
a.
Meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam pengelola dan memberdayakan
sumberdaya yang bersedia.
b.
Meningkatkan kependulian warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan
keputusan bersama.
c.
Meningkatkan tangung jawab sekolah
kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d.
Meningkatkan kompetisi yang sehat
antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut diperlukan upaya sadar dan sistematis dari setiap
pihak yang berkepentingan terhadap sekolah (school-stakeholders), semua
pihak tersebut perlu memberikan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya.
Masyarakat
bagian dari stakeholders sekolah melalui komite sekolah partisipasi masyarakat
dalam pendidikan yang sepenuhnya tergantung kepada inisiatif sekolah dan
dorongan dari pemerintah. Untuk memulainya agar kepedulian masyarakat meningkat
maka sekolah dan pemerintah harus terlebih dahulu peduli kepada masyarakat.
Dalam
konteks otonomi pendidikan sekolah harus dijadikan sebagai mini society, direpresentasikan
atau dicirikan oleh watak para penghuninya yaitu para pengelola sekolah,
terdiri dari kepala sekolah, guru, dan tenaga teknis/adminitratif sekolah.[20]
3.
Kesadaran Masyarakat Akan
Pendidikan
Pendidikan
bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia
dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju,
sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Salah
satu naluri manusia yang terbentuk dalam jiwanya secara individual adalah
kemampuan dasar yang disebut para ahli psikologi sosial sebagai instink gregorius
(naluri untuk hidup berkelopok) atau hidup bermasyarakat. Dan dengan naluri
ini, tiap manusia secara individual ditinjau dari segi antropologi sosial
disebut homo socius artinya makhluk yang bermasyarakat, saling tolong-menolong
dalam rangka mengembangkan kehidupannya disegala bidang.
Untuk
memajukan kehidupan mereka itulah, maka pendidikan menjadi sarana utama yang
perlu dikelola, secara sistematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan
teoretikal dan praktikal sepanjang waktu sesuai dengan lingkungan hidup manusia
itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dan bercita-cita ingin meraih
kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam arti yang luas, baik lahiriah maupun
maupun sejahtera dan bahagia dalam arti yang luas, baik lahiriah maupun batiniah,
duniawi dan ukhrawi. Namun cita-cita demikian tak mungkin dicapai jika manusia
itu sendiri tidak berusaha keras meningkatkan kemampuan seoptimal mungkin
melalui proses kependidikan, akrena proses kependidikan adalah suatu kegiatan
secara bertahap berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan atau
cita-cita tersebut.. [21]
C. Pengaruh Kemiskinan Agama Terhadap Partisipasi
Masyarakat Dalam Pendidikan.
Partisipasi mempunyai banyak
arti. Secara sederhana, partisipasi berarti masyarakat menggunakan pelayanan
secara mudah. Partisipasi dapat pula berarti keputusan masyarakat terlibat
dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang ketrampilan, barang, bahan
dan jasa. Maka partisipasi dalam pendidikan adalah keterlibatan langsung
masyarakat dalam perencanaan, pengawasan, dan pembiayaan.[22]
Sedangkan kemiskinan agama
berdampak pada pemahaman akan pentingnya ilmu pengetahuan, dan kurangnya
penyiapan kader yang berkualitas sehingga yang terjadi adalah budaya pragmatis
dan kepentingan sesaat, sehingga peran agama belum mampu menjadi teologi
pembebasan.
Mengutip pemikiran Gustavo
Gutierez tokoh teologi pembebasan, justru menamakan ajaran teologinya bagi
pembebasan spiritual dan sosio kultural yang dimarginalkan pembangunan. Oleh
karena itu bagi Gutierez konsep pembebasan diberi pengertian lebih sebagai
ekspresi dari spirasi rakyat miskin kaum tertindas, yang dikaitkan sebagai
akibat dari proses relasi konflik ekonomi, sosial politik yang tidak adil
dengan negara-negara kaya dan kelas elit dinegara pinggiran. Jelas paham
pembebasan seperti ini erat kaitannya dengan refleksi dan analisis sosial
terhadap formasi sosial yang dianggap memiskinkan rakyat jelata di dunia
selatan.[23]
Untuk mewujudkan peran masyarakat
yang dipengaruhi oleh relasi sosial, sehingga kesempatan guna berperan aktif
dalam pendidikan menjadi sempit sebab rakyat masih dalam kesadaran magis takni
menganggap takdir sebagai penyebab semua, dan ada sebagaian yang mencapai
kesadaran naïf yakin menggap bahwa akar persaolan adalah manusia sendiri yang
malas, bodoh sehingga terjadilah budaya bisu,[24]
dimana masyarakat menganggap bahwa pendidikan adalah taggung jawab pemerintah
mereka menganggap semua selesai kalau anak mereka sudah sekolah. Ada juga
sebagaian kecil masyarakat yang sudah mencapai kesadaran kritisnya bahwa
pendidikan adalah tenggung jawab bersama, dan pendidikan tidak bisa terlepas
dari kepentingan dan relasi sosial maka pendidikan harus dijaga kenetralannya
biar tetap independen sehingga mampu melahirkan putra bangsa yang terbaik.[25]
Peluang untuk menyenyam
pendidikan yang begitu sempit ditambah lagi dengan pengetahuan agama masyarakat
yang minim menyebabkan kesadaran masyarakat rendah dalam bidang pendidikan,
apalagi golongan masyarakat kebawa yang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena
biaya sekolah yang begitu mahal. Sehingga dalam komunitas masyarakat petani
yang terjadi hanyalah regenerasi kepada anak turunnya, di didik dengan ilmu
yang sama sehingga kesadaran untuk berkembang atau melakukan perubahan
sangatlah lambat.
[1]H.
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat Agama, hlm. 115.
[2]Ibid,
hlm. 143.
[3]Ibid,
hlm. 141.
[4]Muhaimin,
et. al, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Adbitama, Surabaya, 1994, hlm. 33.
[5]Hasil
Kuliah Kerja Nyata Berbasis Kompetensi Keberagamaan (KKN BKK) Angkatan 2000.
[6]Robert
W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, LkiS, Yogyakarta, 2000, hlm. 92.
[7]Mark
R Woodward, Islam Jawa, LkiS, Yogyakarta, 1999, hlm. 117.
[8]Murtdha
Muthahahhari, Perspektif Al Qur’an Tentang Manusia Dan Agama, Mizan,
Bandung, 1992, cet. VI, hlm. 45-46.
[9]Muhaimin,
et. al, Op.Cit, hlm. 49-50.
[10]Al-Qur’an,
Surat Al-Rum Ayat 30, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran A-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1992, hlm. 645.
[11]Mojokuto
adalah nama rekaan untuk kota Pare di Jawa Timur tempat Clifford Geertz
melakukan penelitian lapangan mulai Mei 1953 sampai bulan September 1954.
[12]Zaini
Muctarom, Islam Di Jawa Dalam Perspektif Santri Dan Abangan, Salemba
Diniyah, Jakarta, 2002, hlm. 4.
[13] Ibid,
hlm. 9.
[14] Ibid,
hlm. 11.
[15]
Muhaimin, et. al, op. cit, hlm. 60.
[16]Zaini
Muchtarom, op. cit, hlm. 73.
[17]Istilah
Fitrah untuk manusia. Fitrah merupakan bawaan alami. Artinya ia merupakan
sesuatu yang melekat pada diri manusia dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui
usaha. Fitrah mirip dengan kesadaran. Sebab, manusia mengetahui bahwa dirinya
mengatahui apa yang dia ketahui. Lihat : Muthadha Muthahhari, Fitrah,
Lentera, Jakarta, 1998, hlm. 20. fitah dalam bahasa barat adalah Tabula Rasa
(di ibaratkan sebagai kertas puth yang pada ditulisi apa saja yang dikehendaki.
Lihat : Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 118.
[18]
Murtadha Muthahhari, op. cit, hlm. 48-50.
[19] Drs. H.
Fuad Ihan, Dasar-dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 1
[20]
Pimpinan Lembaga Ma’arif NU Jawa Tengah, Panduan Rapat Kerja Dinas
Madrasah/Sekolah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Sejawa Tengah, Semarang,
2002, hlm. 11.
[21] Drs. H.
Fuad Ihan, Dasar-dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm.
2.
[22]
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah, Adicita Karya Nusa, yogyakarta, 2001, hlm. 200-201.
[23]
Toto Raharjo, Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis, Read Book
kerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 31.
[24]
William, A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire,
Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Read Book, Yogyakarta, 2001, hlm. 69.
[25]
Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Insist Press, Yogyakarta,
2004, hlm. 77.
0 Response to "KEMISKINAN AGAMA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN"
Post a Comment