PENDIDIKAN AKAL MENURUT KONSEP ISLAM
Secara deduksi Islam
hadir dengan konsep yang demikian lengkap tentang keteraturan dan cara
pengaturan jalinan sistem di alam ini. Sebagai bagian dari keseluruhan sistem
alam, kehidupan manusiapun tak luput diperhatikannya. Perhatian yang dimaksud,
salah satu yang terpenting ialah manusia ditetapkan berpredikat khusus sebagai
hewan rasional atau makhluk berakal. Dengan akalnya, manusia ditempatkan dalam
status istimewa, selaku pengatur jagat raya.[1]
Dengan kata lain akallah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang
memperbedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya. Karena
akalnyalah manusia bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal yang
ada pada diri manusia itulah yang Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan
pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang. Makhluk selain manusia, karena
tidak mempunyai akal, tidak bertanggung jawab dan tidak menerima hukuman atau
pahala atas perbuatan-perbuatannya.[2]
Akal yang merupakan
potensi rohaniah itu telah menjadi obyek pembahasan, namun belum diketemukan
pembahasan yang pasti tentang akal tersebut. Bahkan persoalan ini bertambah
rumit ketika muncul istilah-istilah baru, seperti: rasio, intelek, pikiran,
penalaran, kecerdasan dan semacamnya yang semua itu bisa disandingkan
pengertiannya dengan akal.[3]
A. A. Pengertian Akal dan Pendidikan
Akal
1.
Pengertian Akal
Belum diketemukannya pengertian yang pasti atau
perbedaan pendapat tentang pengertian akal dan hakekatnya. Al-Qur’an
menghadirkan kata Al ‘Aql hanya dalam bentuk kata kerja, bukan kata benda,
yaitu عقلوه
satu ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 75; تعقلون 24 ayat; misalnya; dalam surat
Al-Baqarah ayat 242; يعقلون 22
ayat; misalnya dalam surat Al Hajj ayat 46; يعقل 1 ayat pada surat Al-Mulk ayat 10
dan يعقلها
1 ayat, dalam surat Al-Ankabut ayat 43.[4]
Akal secara etimologi, artinya mengikat atau menahan.
Orang Arab menjelaskan bahwa akal berarti Al-Hijr الحجر) ) menahan.[5]
Louwis Ma’luf dalam kamusnya menyatakan akal adalah nur rohaniyah yang
dengannya jiwa atau nafsu akan menemukan sesuatu tanpa adanya keraguan. Akal
dikatakan akal karena memikirkan pemiliknya dari kekacauan dan keresahan”.[6]
Kata kata yang berasal dari ‘aqala sendiri terdapat
dalam lebih dari 45 ayat dan selain yang dijelaskan dapat dikemukakan dalam
salah satu ayat Al-Qur'an surat Yusuf ayat 111 :
لقد كان فى قصصهم عبرة لاولى الالباب ط ما كان حديثا يفترى ولكن تصديق الّذى بين يديه وتفصيل كلّ شىء وهدى ورحمة
لقوم يؤمنون.
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur'an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman”.[7]
Adapun secara terminologi, banyak terjadi perbedaan
para ahli pendidikan dalam memberikan batasan tentang akal.
a.
Imam Bawani menyimpulkan bahwa
akal merupakan substansi rohaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan
membedakan kebenaran dan kepalsuan.[8]
b.
Musa Asy’ari mengartikan akal
dengan daya rohani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak dan kebenaran
relatif.[9]
c.
Alexander sebagaimana dikutip M.M.
Syarief menyebutkan tiga bagian; akal materi, akal terbiasa dan akal
agen.
1)
Akal materi adalah daya murni yang
dapat rusak, ia merupakan daya untuk dapat menerima bentuk-bentuk.
2)
Akal terbiasa adalah akal yang
memperoleh dan memiliki pengetahuan yaitu akal yang berlaku dari daya menjadi
aktual.
d. Harun
Nasution dalam bukunya akal dan wahyu dalam Islam, membagi akal menjadi dua
akal; praktis dan akal teoritis.
1)
Akal praktis yang menerima
arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada pada jiwa
binatang.
e. R.
Pariyana membagi akal menjadi dua bagian juga yaitu: akal lahir dan akal batin.
Sebagaimana berikut :
1)
Akal lahir dibedakan menjadi 3
akal yaitu akal ajiji dan akal kasabi serta akal atoi.
2)
Akal batin dibedakan menjadi 2
akal juhud dan akal syarofi. Akal juhud tumbuh dari akal atoi,
akal juhud tidak tertarik pada dunia kenyataan, seperti harta, tahta dan
wanita. Sedangkan akal syarofi adalah akal sempurna atau yang disebut
dengan ulul albab. [12]
f. Sedangkan
menurut Al-Ghazali, akal mempunyai empat pengertian, yaitu:
1)
Akal adalah sesuatu sifat yang
membedakan manusia dengan hewan.
2)
Hakekat akal itu adalah ilmu
pengetahuan yang timbul ke alam wujud daripada diri anak kecil yang dapat
membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustakhilan barang
yang mustakhil.
3)
Akal adalah ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya bermacam-macam keadaan.
4)
Akal adalah kekuatan dari gharizah
yang berpenghabisan sampai pada mengetahui akibat dari sebagian hal dan
mencegah hawa nafsu yang mengajak pada kesenangan.[13]
Dari beberapa pengertian dan batasan di atas telah
jelas dan dapat disimpulkan, bahwa; akal adalah suatu unsur rohaniyah manusia
yang dengannya manusia dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk,
sekaligus merupakan kemampuan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dalam
mekanismenya, terutama untuk memperoleh pengetahuan dan ma’rifat, pikiran dan
qalbu berada dalam dada. Qalbu sendiri mempunyai dua pengertian: pertama
dalam bentuk materi ia sering disebut qalbu/hati atau jantung. Sedang dalam
pengertian yang lain adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan
rohaniah yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian,
berpengetahuan dan arif.[14]
Dengan demikian qalbu juga merupakan alat untuk
mengingat atau dzikir kepada tuhan, sehingga pengetahuan yang diperolehnya
lewat akal pikiran dan kalbu yang tidak terlepas dari mengingat Tuhan akan
menghantarkan seseorang kepada keimanan.
2.
Pendidikan Akal
Manusia yang pada waktu dilahirkan tidak tahu apa-apa
sebagaimana makhluk lain, tidak cukup hanya menggantungkan kepada alam untuk
mencapai kesejahteraan hidupnya. Bagi hewan, naluri atau insting yang
menentukan adaptasinya terhadap hukum-hukum alam, mereka tidak memerlukan
pendidikan dan latihan untuk mengatur kehidupannya. Naluri pada manusia tidak
mampu melakukan pengaturan fungsinya seperti pada hewan, sehingga manusia hanya
menggantungkan pada nalurinya saja. Hal ini karena kebutuhan manusia beda
dengan kebutuhan hewan. Pada manusia akal pikiran yang merupakan petunjuk utama
bagi kesejahteraan hidupnya. Melalui akal ini manusia dapat mengenal jalan
kebahagiaan.[15]
Berkaitan dengan kehidupan, Islam datang dengan
berbagai konsepnya. Dan sesuai dengan keuniversalannya, Islam akan tetap mampu
menjadi alternatif petunjuk yang benar dalam kehidupan. Dengan Al-Qur’an dan
hadis sebagai sumber utama, Islam mengatur segala kehidupan. Dalam mengatur
kehidupan ini ada yang dijelaskan secara rinci dan ada yang hanya disebutkan
secara global. Salah satu yang diatur secara global adalah tentang pendidikan.[16]
Karena akal yang diberikan pada manusia ketika
dianugerahkan berupa potensi yang belum siap pakai, maka pendidikan akal
berarti mengusahakan agar akal tersebut menjadi aktual.[17]
Potensi ini akan berkembang menjadi baik jika disertai dengan pendidikan yang
baik pula. Sebaliknya bila potensi dibiarkan akibatnya bisa fatal. Disebutkan
dalam surat An-Nahl : 12
وسخرلكم اليل والنهار والشمس والقمرط والنجوم
مسخرت بأمره ان فى ذلك لأيت لقوم يعقلون (النحل: 12)
Artinya
: “Dan Dia menundukkan untukmu malam dan siang, matahari dan bulan,
bintang-bintang di langit itu tunduk di bawah perintah-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
menggunakan akal”.[18]
Dari ayat ini tampak jelas bahwa dengan menggunakan
akal, manusia dapat menyelidiki alam, karena hal ini menjadi titik tolak untuk
memahami dan mengkaji alam juga untuk membuktikan kebenaran adanya yang Maha
Pencipta.
Di depan telah disebutkan, bahwa manusia, terdiri dari
unsur jasmani dan rohani, dimana rohani itu sendiri terdiri beberapa
unsur-unsur yang lain. Islam sebagai agama fitrah menghormati tenaga-tenaga
tersebut secara keseluruhan yang merupakan karunia dari Allah.[19]
Dengan demikian, akal yang merupakan tenaga terbesar bagi manusia juga termasuk
di dalamnya.
Dalam memberikan bimbingan terhadap akal ini, Islam
memberikan batasan-batasan tertentu pada hal-hal yang kongkrit saja, dan kontak
akal dengan kebenaran, yaitu menyerahkan yang kongkrit pada indera untuk
dipikirkan oleh akal.[20]
Bimbingan Islam kepada akal yang mula-mula diberikan adalah untuk memperhatikan
kejadian alam, dari sini akan ditemukan adanya yang kuasa. Bukti adalah argumen
yang sangat penting dalam menetapkan batas-batas kepastian suatu persoalan.
Disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 15 :
هؤلإ قومنا اتخذوا من دونه الهة ط لولا يأتون
عليهم بسلطا ن بين .... (الكهف: 15)
Artinya:
“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai Tuhan-Tuhan (untuk dismbah).
Mengapa mereka tidak mengemukakan bukti dengan jelas”.[21]
B.
Tujuan Pendidikan Akal
Pendidikan secara umum adalah usaha secara sadar yang
mengarah kepada kedewasaan. Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi; yaitu dari
segi masyarakat dan dari segi individu.[22]
Dari segi masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan kepada generasi
muda agar hidup tetap berlangsung. Sedangkan dari segi individu, pendidikan
adalah pengembangan potensi-potensi yang terpendam.[23]
Dari pengertian di atas ternyata pendidikan bertugas
mengembangkan potensi dasar yang ketika dibiarkan belum digunakan secara
optimal. Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses itu akan
berakhir pada tercapainya tujuan. Tujuan yang akan dicapai oleh pendidikan pada
hakekatnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam
pribadi manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam GBHN, bahwa :
“Pendidikan
nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan
kepada Tuhan YME, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat keimanan kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
membuahkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan”.[24]
Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam dirumuskan
dalam surat Adz Dzariat ayat 56 :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبد ون (الذاريت:56)
Artinya:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu”.[25]
Menyembah kepada Allah dalam arti luas, bukan sekedar
dzikir, sholat, puasa, zakat dan haji. Namun, juga beramal shaleh yang perwujudannya
memerlukan pemikiran.[26]
Kedudukan khalifah di bumi memaksa manusia untuk selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan segala macam peristiwanya yang menuntut suatu kekuatan, baik
kekuatan fisik atau kekuatan mental. Jika kekuatan fisik merupakan bagian pokok
dari tujuan pendidikan, maka pendidikan Islam juga harus mempunyai tujuan yang
mengarah kesana. Tujuan ini ditunjukkan oleh Rasulullah dalam sabdanya :
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صعم
المؤمن القوى خير واحب الى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خيراحرص علىماينفعك
واستعن باالله ولا تعجر
Artinya
: “Dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasul bersabda; orang mukmin yang kuat
itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ketimbang orang yang lemah. Dan
pada masing-masing itu terdapat kebaikan, maka bersemangatlah dalam hal
yang dapat mendatangkan manfaat bagi kamu dan mintalah pertolongan pada Allah,
janganlah kamu menjadi orang yang lemah”. (HR. Muslim).[27]
Di samping itu kebiasaan-kebiasaan yang mengarah
pada perkembangan dan pertumbuhan fisik, seperti kebersihan, latihan jasmani
dan juga penampilan yang baik dapat dicatat sebagai hal yang sangat diharapkan.
Pendidikan Islam dalam hal pendidikan jasmani mengacu pada pemberian fakta
terhadap jasmani yang relevan dengan kekuatan jasmani.
Suatu kewajiban yang tak boleh dilupakan dalam
mendidik anak adalah mengarahkan mereka kepada hidayah Allah (Al-Qur’an) dan
menanamkan ajaran-ajarannya ke dalam hati sanubari mereka. Tiada alasan yang
meragukan, sebab dari kemerosotan moral masyarakat adalah lemahnya pendidikan
agama baik di dalam keluarga, masyarakat atau sekolah.[28]
Telah diakui, bahwa orang yang benar-benar menerima
ajaran agama akan dapat menerima tujuan-tujuan yang terdapat dalam Al-Qur’an
sebagai pengisian dan peningkatan jiwa kesetiaan pada Allah. Rohani yang
merupakan bagian dalam dari manusia tidak boleh kosong, ia harus diisi dengan
nilai-nilai qur’ani dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai top figur.[29]
Terhadap pemasalahan rohani atau roh, sulit kiranya
untuk memahami hakekat dasar ruh yang sesungguhnya, karena hal itu merupakan
permasalahan Tuhan. Walaupun demikian, tujuan-tujuan rohaniah dalam Al Qur’an
harus dirumuskan tersendiri untuk segera ditanam dalam diri anak didik, karena
persatuan antara badan dan rohani yang terisi. Oleh tujuan rohaniah akan
membawa pada perubahan yang mendasar. Sebab untuk mengerjakan suatu perbuatan
harus terlebih dulu percaya akan ajaran yang diyakininya, baru timbullah amalan
yang dikerjakan oleh anggota lahir. Kalau hati telah tunduk, diiringi oleh
perbuatan iman dan Islam.[30]
Manusia yang terdiri dari tiga komponen; badan ruh
dan akal, masing-masing membutuhkan pendidikan, dua yang pertama telah
dibicarakan. Tentang pendidikan akal perhatian utama adalah perkembangan
intelegensi.[31] Karena
dengan kemajuan akalnya seseorang akan dapat menemukan kebenaran. Pendidikan
yang dapat membantu tercapainya tujuan akal ini, seharusnya disertai dengan
bukti yang relevan dan dapat diterima oleh akal.
Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan
potensi dasar itu sudah ada sejak manusia lahir di atas bumi, tetapi masih
berada dalam alternatif, berkembang menjadi akal yang baik. Atau sebaliknya
tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan pendidikan yang baik, akal yang
masih berupa potensi akhirnya menjadi akal yang siap dipergunakan, sebaliknya
membiarkan potensi akal tersebut tanpa pengarahan yang positif, akibatnya bisa
fatal sekali, karena pendidikan memiliki arti yang penting. Berkaitan dengan
pendidikan ini, Islam hadir dengan konsepnya antara lain menyangkut masalah
tujuan pendidikan akal, berdasarkan semangat ajaran Islam secara utuh adalah
terciptanya akal yang sempurna. Menurut ukuran ilmu dan takwa.[32]
Setelah mendapatkan didikan, diharapkan akal dapat mencapai perkembangan yang
optimal, sehingga sampai pada keseimbangan antara pikir dan dzikir atau dapat
menyeimbangkan pemikiran yang bersifat duniawi dan ukhrawi.[33]
Menurut Hamka dalam Tasawuf Modern, kesempurnaan
ibadat seseorang tergantung pada kesempurnaan budi dan otak (akal).
Kesempurnaan orang terletak dalam dua arti, yaitu keutamaan otak dan keutamaan
budi.[34]
Orang yang dapat mencapai keutamaan otak adalah mereka yang telah dapat
membedakan jalan kebahagiaan dari jalan kehinaan. Sedangkan keutamaan budi
mampu menghilangkan perangai buruk, adat istiadat yang rendah diganti dengan
perangai terpuji.
C.
Kedudukan Akal dalam Islam
Akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi
merupakan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya yang di dalam
Al-Qur’an. digambarkan memperoleh ilmu pengetahuan dengan memperhatikan
alam sekitarnya.[35]
Akal adalah potensi gaib yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain, yang mampu menuntun kepada pemahaman diri dan alam. Ia juga mampu
melawan hawa nafsu. Sehingga dengan akalnya manusia bersedia menerima berbagai
macam ilmu pengetahuan yang memerlukan pemikiran. Ilmu akal ini meliputi ilmu
yang duniawi dan ilmu ukhrawi. Oleh karena itu ada sebuah hadits yang dikutip
oleh Imam Ghozali yang berbunyi :
ما خلق الله عز وجل خلقا أكرم عليه من العقل
Artinya
: “Tidak dijadikan oleh Allah suatu
makhluk yang lebih mulia dari padanya kecuali daripada akal”.[36]
Juga pada hadits yang lain :
اذا تقرب الناس بأبواب البر والا عمال الصا لحة فتقرب
انت بعقلك
Artinya
: “Apabila manusia menghendaki Tuhan
dengan pintu-pintu kebajikan dan amal shaleh, maka dekatilah Tuhanmu dengan
akalmu”.[37]
Selain itu banyak ayat Al-Qur’an yang menyatakan
betapa pentingnya akal bagi pemahaman agama, alam, ilmu pengetahuan dan
hubungan diantaranya. Diantara ayat itu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat
164 :
ان فى خلق السموات والارض واختلا ف اليل والنهاروالفلك التي تجرى فى البحر بما ينفع الناس
وما انزل الله من السماء من ماء فأحيا به الارض بعد موتها وبث فيها من كل دابه
وتصر يف الرياح والسحا ب المسخر بين السماء والارض لأيت لقوم يعقلون.
Artinya
: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan
malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan ia sebarkan di muka bumi berbagai
jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan”.[38]
Dengan hadis dan ayat di atas menjadi jelas, bahwa
kedudukan akal dalam Islam sangat penting untuk realitas baik yang kongkrit
ataupun yang gaib seperti hidup sesudah mati. Surga, neraka, jin dan yang
lainnya. Akal dalam unsur kerjanya tidak terlepas dari unsur yang lain. Kalbu
yang merupakan bagian rohani ikut juga membantu akal dalam memahami rahasia
alam. Akal pikiran untuk mencari pemahaman realitas yang kongkrit sedang kalbu
untuk memahami realitas spiritual.
Manusia sebagai satu kesatuan jasmani dan rohani
secara garis besar kehidupannya banyak dipengaruhi oleh pikiran dan kemampuan
akalnya. Bagaimana ia mengarahkan akal dan kepada siapa akal tersebut
disandarkan, akan menentukan jalan hidupnya. Karena akal sebagai anugerah Tuhan
yang terbesar bagi manusia pada dasarnnya adalah bebas, dan kebebasannya hampir
mutlak. Oleh karena itu anugerah itu agar digunakan sebaik-baiknya, biar
manusia tidak kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Akal tidak difungsikan
dengan baik akan mudah terjatuh kekuasaan hawa nafsu.[39]
1.
Akal Merdeka
Bebas atau merdeka bukan berarti tanpa batas. Dalam
kehidupan sehari-hari kita bebas untuk berbuat, tetapi banyak hal yang harus
kita perhatikan ketika kita hendak berbuat sesuatu. Kebebasan untuk berbuat
bukan berarti bebas sama sekali sehingga orang lain harus terganggu, dan orang
lain juga bebas untuk mengganggu kita. Untuk itu harus ada peraturan yang
membatasi kebebasan tersebut. Peraturan ini bukan untuk membatasi kemerdekaan,
bahkan untuk menjamin kebebasan itu sendiri. Sebab kebebasan yang tanpa batas
akan membawa pada kekacauan dan bahkan memusnahkan kebebasan itu sendiri.
Bagimana dengan kebebasan akal ?
Sebagaimana telah dijelaskan di depan akal adalah daya
rohani untuk memahami kebenaran, baik relatif atau yang mutlak. Kebenaran
relatif merupakan hasil pemikiran akal. Sedangkan untuk kebenaran mutlak, masih
butuh bantuan atau guide.
Akal merdeka ada pada sisi si pintar, juga si bodoh.
Si pintar berakal merdeka secara pintar, si bodoh berakal merdeka secara bodoh.[40]
Akal merdeka akan memperdalam dan memperteguh iman kita, menambah khusyu’
tawadhu kita terhadap kebenaran Illahi, mungkin bisa membantu kita mencari
rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita memahamkan hikmah-hikmah suruhan
dan ajaran agama, mempertinggi dan memperhalus perasaan keimanan kita.[41]
Demikian halnya pencarian terhadap Tuhan, akal merdeka
akan mencari tuhan yang dapat dirasionalkan, ia tidak mau menerima tuhan yang
tidak dapat dirasionalkan akal. Sebagaimana dikatakan R. Paryana dalam “alam
pikirannya”, sebagai berikut :
“ ….akan
tetapi alat yang dipakai untuk mencari tuhan adalah akal, dan tujuan akal
adalah yang riil dan korporil, maka hasilnya adalah tuhan yang
mempunyai rupa dan bentuk. Ketuhanan yang didasarkan pada akal dengan
sendirinya akan mencari tuhan yang mempunyai bentuk dan rupa manusia (anthromorphic
religion). Apabila dengan intelektualis dan logika bukti tuhan tidak
diketemukan, maka tuhan dianggap tidak ada”.[42]
Pendapat ini kiranya cukup beralasan, karena
disebutkan juga dalam Al- Qur’an surat Al-Jatsiyah ayat 23 :
افرأيت من اتخذ الهه هوه واضله الله على علم وختم على
سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله افلا تذكرون.
Artinya
: “Maka apakah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhan dan Allah membiarkan sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya, maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkan sesat. Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.[43]
Dengan akal bebas itu pula mereka lemparkan
hukum-hukum Islam, sehingga tidak dapat membedakan mana yang manfaat dan mana
yang mudhorat, tertutup pintu hatinya untuk memperoleh hidayah yang membawanya
kepada kebenaran sejati. Tidak selayaknya jika akal pikiran berdiri sendiri
dalam mencari kebenaran.
2.
Akal Bebas yang Terpimpin
Apabila kita berpikir semata-mata hanya dengan
pikiran, seperti telah disebutkan, hasilnya adalah kekacauan dan kesesatan.
Keberhasilan yang menyilaukan mata itu membuat manusia tidak dapat membuat
manusia mengetahui keadaan halus di depan matanya. Sesungguhnya di dalam diri
manusia itu terdapat hal-hal halus yang sangat rumit seperti; ruh, hati, kalbu
dan akal yang kesemuanya saling terkait.
Ahli-ahli pikir adalah mereka yang tergabung dalam
kalangan para filosof. Aliran-aliran filsafat dalam pemikirannya hanya sampai
pada tingkatan intuisi, artinya ilmu filsafat baru mengetahui bahwa berpikir
sebenarnya harus menggunakan bagian pusat akal yang menerima ilham atau
intuisi.[44]
Bagian pusat akal yang mengarah kepada kalbu atau budi
merupakan sumber iman yang juga menjadi mistik. Mistik yang tidak ditujukan
kearah kalbu atau budi akan menghasilkan pendapat yang dipengaruhi oleh hawa
nafsu syetan.[45]
Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran yang berdasarkan
semua ini membuktikan pada intuisi beliau dinamakan pikiran yang benar. Menurut
Al Ghozali dalam ‘ajaibul qulub, yang dikutip oleh R. Paryana menyatakan
:
“Apabila
pikiran kita dialirkan ke arah budi, (keinginan) maka keinginan akan berubah
menjadi daya yang dinamakan iradat, yakni kemauan (karsa) yang tinggi
derajatnya, sedangkan ghodlob (nafsu marah) akan berubah menjadi kodrat,
yakni kekuasaan berupa budi luhurnya”.[46]
Dalam ajaran Islam, akal tidak dibiarkan lepas begitu
saja bagaikan binatang ternak yang dilepaskan di padang rumput, sehingga ia
dapat bebas berkeliaran di alam pikiran. Dalam berbagai hal Islam datang kepada
akal sebagai suplemen atau pelurus dan penyambung kekuatan, dimana akal tidak
lagi mampu bekerja dalam arti mencari kebenaran. Bahwa jika seseorang mengatakan
akal dapat mencapai semua kebenaran, bukanlah ia termasuk orang yang
menggunakan akal dengan sesungguhnya.[47]
Dari golongan mutakkalimin, Mu’tazilah adalah aliran
yang terkenal dengan kekuatan rasionalnya, banyak argumen yang ia keluarkan
tentang berbagai hal dan semua bisa diterima oleh akal. Menurut Mu’tazilah
seperti Al-Juba’i sebagai tokoh kalangan atas dari alirannya, terpaksa harus
mengaku ketika mendapat permasalahan dari seorang murid tentang tiga orang
bersaudara yang nasibnya berlainan, bahwa banyak hal yang tidak mungkin
dicampuri oleh akal merdeka.[48]
Dan akhirnya ia hanya dapat berkata “Wallahu a’alam”.
Masih banyak lagi tokoh pemikir yang akhirnya
membantah ketakwaan terbatasan akal. Betapa terkenalnya nama Immanuel Kant
sebagaimana dikutip M. Natsir, seorang ahli akal besar, namun ia pula membantah
faham, bahwa semua permasalahan dapat dikembalikan pada akal dan diputuskan
berdasarkan kemauan akal semata.[49]
Sejalan dengan hal di atas Al-Ghozali menyatakan :
“….akal
pikiran tidak berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya. Oleh karena itu,
orang yang mendukung taklid dengan tanpa memakai ilmu pengetahuan, intelektual
adalah orang yang bodoh dan hanya puas dengan ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya
dari Al-Qur’an dan sunnah, adalah orang yang sombong”.[50]
Betapapun demikian pendapat dari para tokoh berbagai
golongan, namun dalam kenyataan bagai para pencari kebenaran, kedua sumber yang
saling melengkapi itu masih sering dipertentangkan. Seperti yang dialami oleh
Imam Ghozali sendiri, pada suatu saat ia percaya penuh pada doktrin agama, dan
disaat lain ia berpaling kepada kekuatan akal semesta, sehingga ia sempat
menjadi orang yang skeptis. Ajaran Islam tidak membenarkan penempatan
kedua kekuatan ini saling terpisah. Untuk apa agama diturunkan jika tidak untuk
membimbing manusia sebagai makhluk yang berakal.[51]
D.
Keterbatasan Akal
Pembicaraan tentang tuhan dan sifatnya nampaknya
sulit dijangkau oleh akal. Allah bukanlah obyek pengenalan sebagaimana
benda-benda yang ada. Satu-satunya kemungkinan yang dapat mengenal Allah adalah
Allah sendiri. Dan kalau kita ingin mengetahui Allah, satu-satunya jalan adalah
pernyataan Allah sendiri (Al-Qur’an). Terhadap permasalahan ini yang patut bagi
manusia adalah mendengar, mempercayai dan patuh kepadaNya.
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas, yang dikutip
oleh Abdullah Salim Mukrim dalam pemikiran Islam antara akal dan wahyu,
dinyatakan berpikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berpikir tentang
zat Allah. Setiap apa yang terlintas di benakmu tentang Allah, sungguh Dia berbeda
dari hal itu.[52]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh David Hume,
sebagaimana dikutip M. Natsir diungkapkan bahwa kesudahan semua keyakinan kita
kembali kepada rasa. Akal semata-mata tidak memberi keyakinan yang sebenarnya,
walaupun dimana dan kapan saja”.[53]
Juga cerita Ibnu Sina
bila ia bertemu dengan suatu masalah yang sulit, sangat susah dipikirkan, ia
terus pergi berwudlu’ dan pergi ke Masjid dan berdo’a, mudah-mudahan Allah
memberinya hidayah, karena ia tetap insaf akan kelemahannya sebagai manusia, dan
memerlukan petunjuk dan hidayah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.[54]
Firman Allah dalam surat Al-Fathir : 28
.... انما يخشى الله من عباده العلماءقلى ......
Artinya
: “… Sesungguhnya yang takut kepada Allah
diantara hamba-hambaNya, hanyalah Ulama …”.[55]
Alasan-alasan di atas
menunjukkan kepada kita bahwa walaupun manusia dianugerahi akal sebagai suatu
kelebihan, namun akal juga tetap mempunyai keterbatasan cakrawala pandang
terhadap fenomena alam. Sehingga, akan menjadi kebohongan belaka bila
ada yang beranggapan akal adalah segalanya.
Menurut DC. Mulder,
sebagaimana dikutip Mukti Ali, bahwa hanya ada dan tiadanya Allah bukan suatu
yang dapat dibuktikan, dengan pernyataannya :
“Hal ini melebihi akal manusia, tidak
dapat dibuktikan Allah itu ada (dan bukti-bukti yang dikemukakan itu tidak
meyakinkan orang yang belum yakin dahulu); tetapi juga tidak dapat dibuktikan
bahwa Allah itu tidak ada. Inilah soal keyakinan, bukan soal akal, ilmu atau
bukti. Allah diterima manusia dengan kepercayaan, akan tetapi janganlah
disimpulkan: Jadi kepercayaan itu bertentangan dengan akal bukan demikian
soalnya, kepercayaan itu tidak bertentangan dengan akal, melainkan kepercayaan
itu melebihi akal dan mendahului akal; apalagi kepercayaan atau keyakinan itu
mempengaruhi akal”.[56]
Dari pendapat ini
jelaslah, bahwa sesungguhnya jika hanya filsafat saja yang dipergunakan untuk
mengungkap kebenaran. Dalam mencari hakekat segala sesuatu yang merujuk kepada
Tuhan sebagai sumber terakhir dan sebab pertama, hendaknya akal dipergunakan
sebagai alat untuk menganalisa dan menimbang akan bukti alam raya yang ada di
dunia ini.
Sejalan dengan ini, permasalahan
agama tidak dapat dipecahkan dan dikupas secara tuntas oleh akal saja, namun
dokma agama juga tidak membunuh serta memperbudak kreativitas akal, sehingga
akal menjadi buta dan tidak berkembang. Sabda Nabi :
Artinya
: “Apabila ada dari permasalahan agamamu
maka kembalikanlah kepadaKu”. (HR. Muslim).
Berdasarkan
telaah hadis ini, Islam menentukan bahwa segala yang berkaitan dengan agama
menjadi wewenang akal. Dan terhadap masalah agama ini akal hanya berfungsi
untuk memahami yang datang dari wahyu yang diturunkan pada rasul untuk
selanjutnya diamalkan sebagaimana adanya. Lalu dimanakah medan juang akal…? Di
bawah ini dijelaskan oleh rasul dalam sabdanya :
Artinya
: “ ….. dan apabila ada dari permasalahan duniamu, maka engkau lebih tahu
tentang persoalan-persoalan duniamu”. (HR. Muslim).
Begitu jelas dan
tegasnya ajaran Islam tentang medan juang akal, oleh karenanya akal dalam
ajaran Islam diarahkan dalam melakukan aktifitas untuk mengurus dan membentuk
serta mengolah dunia agar dapat diambil manfaat yang sebesar-besarnya. Jadi,
lengkaplah ajaran Islam, di satu sisi dijelaskan tentang agama dan
permasalahannya yang tidak boleh dicampuri oleh akal.
E.
Pengembangan Ilmu Pengetahuan
dalam Islam Atas Pengaruh Ajaran Pemakaian Akal
Sebelum melangkah
lebih jauh tentang hal ini, terlebih dahulu diungkap akan arti ilmu pengetahuan
agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ilmu dalam bahasa Inggris disebut dengan science,
dan pengetahuan berasal dari knowledge. Namun pada dasarnya ilmu dan
pengetahuan mengandung muatan yang sama yaitu kepandaian, baik tentang segala
sesuatu yang berjenis kebatinan ataupun yang berkenaan dengan keadaan alam, melalui
suatu proses melihat, mengalami ataupun diajar.[59]
Kalau ditinjau
dari bahasa Arab, ilmu; adalah bentuk madly, sedangkan masdarnya adalah ‘ilman
yang artinya pengetahuan. Jadi, antara ilmu dan pengetahun tidak ada perbedaan
yang prinsipil. Dalam rekomendasi konferensi I tentang pendidikan Islam,
diklasifikasikan ilmu sebagaimana berikut :
1.
Ilmu Abadi (Perennial Knowledge)
yang berdasar pada wahyu Ilahi yang tertera pada Al-Qur’an hadis.
2.
Ilmu Dicari (Acquired Knowledge),
termasuk sains kealaman dan terapan, yang berkembang secara kuantitatif dan
penggandaan, variasi terbatas dan pinjaman antara budaya selama tidak
bertentangan dengan syari’ah sebagai sumber nilai.[60]
Dalam hal ini
yang akan dibicarakan adalah ilmu jenis kedua yang dapat berkembang sedangkan ilmu
jenis pertama sudah tetap dan mutlak, tinggal memahaminya saja. Dalam jenis
ilmu yang kedua (ilmu dicari) yang dianggap penting adalah daya kreatifitas
yang terdapat dalam akal, yang memang merupakan salah satu potensi akal untuk
menjaga kelangsungan hidup peradaban manusia. Malah Tonybee menganggap
kelanjutan suatu peradaban adalah wujudnya minoritas kreatifitas yang terdapat
pada umat manusia, berakhir pada kehancuran kehidupan manusia itu sendiri.[61]
Kreatifitas
sendiri, dalam bahasa barat creativity yang berarti kesanggupan mencipta
atau daya cipta.[62] Di mana
kemampuan yang terdapat pada diri manusia membawa pada perbaikan kehidupan
manusia itu sendiri, sebab kemakmuran suatu masyarakat bergantung pada
kesanggupan masyarakat tersebut menggarap kekayaan yang terpendam pada setiap
individu.[63] Sebuah
bukti terhadap pemakaian akal dalam ilmu pengetahuan, perlu kiranya dipaparkan
sekilas perkembangan Islam dengan pemanfaatan akal tersebut.
Setelah
Rasulullah wafat, pucuk pimpinan Islam dipegang oleh Khulafaurrasyidin
berturut-turut: Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali
bin Thalib. Pada masa sahabat ini, belum begitu nampak perkembangan ilmu
pengetahuan pada umat Islam. Karena fokus perhatian masih dicurahkan pada
perkembangan perluasan wilayah penyebaran ajaran agama. Kemajuan pengetahuan
nampak setelah berakhirnya abad pertama hijriah, saat itulah wilayah Islam
menjadi mapan dan kuat di Timur dan Barat. Maka akhir abad ketiga hijriah
dianggap sebagai batas waktu untuk kesempurnaan dan kemampuan pertumbuhan alam
pikiran Islam.[64]
Teknologi Islam
muncul dimulai dari masa Bani Umayyah. Dimana Mu’awiyah sebagai penguasa
pertama adalah seorang yang ahli pidato, administrator sekaligus seorang
politikus yang handal.[65]
Perkembangan ilmu pengetahuan Islam tetap berlanjut hingga masa Islam pasca
Mongol, rentang waktu mulai masa Mu’awiyah hingga pasca Mongol ini (661-1211 M)
banyak berkembang ilmu pengetahuan yang dicapai oleh umat Islam.[66]
Sejalan dengan perkembangan umat Islam itulah hingga banyak
muncul rekayasa ilmu pengetahuan yang diwujudkan dalam bentuk teknologi. Ini
dapat terjadi karena Islam sejak konsepsinya telah menghadapi dan menjawab
tantangan-tantangan intelektual dan spiritual.
[67]
Dengan demikian tanpa dituntut oleh Al-Qur’an sebagai wahyu Illahi.
[1]Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam,
Al-Ikhlas, Surabaya, 1987, hlm. 203.
[2]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm. 49.
[3]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 204.
[4]Harun Nasution, Op.cit., hlm. 5-6.
[5]Ibid, hlm. 6
[6]Louwis Ma’luf, Kamus Munjid, Al-Mathaba’an,
Al-Katsuliyah, Beirut, 1956, hlm. 520.
[7]Al-Qur'an, Surat Yusuf Ayat 111, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI., Jakarta,
1987, hlm. 366.
[8]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 205.
[9]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayan dalam
Al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 1992, hlm. 122.
[10]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan,
Jakarta, 1989, hlm. 26.
[11]Harun Nasution, Op.cit., hlm. 10.
[12]R. Pariyana Suryadipura, Alam Pikiran, Bumi
Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 180-181.
[13]Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz I, Isa al-Babi
al-Halabi, Kairo, t.th., hlm. 313-315.
[14] Musa Ay’arie, Op.cit, hlm. 109.
[15]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 211.
[16]Ibid, hlm.
208.
[17]Ibid, hlm.
209.
[18]Al-Qur'an, Surat An-Nahl Ayat 24, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag.
RI., Jakarta, 1987, hlm. 405.
[19]Imam Bawani, Loc.cit., hlm. 209.
[20]Ibid, hlm.
210.
[21]Al-Qur'an, Surat Al-Kahfi Ayat 15, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag.
RI., Jakarta, 1987, hlm. 445.
[22]Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,
Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1987, hal. 3.
[23]Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam
(Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), Trigenda Karya,
Bandung, 1993, hlm. 80.
[24]Garis-garis Besar Haluan Negara, 1993, hlm. 4.
[25]Al-Qur'an, Surat Al-Kahfi Ayat 15, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag.
RI., Jakarta, 1987, hlm. 826.
[26]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 109.
[27]Ibnu Hajar Asqolani, Bulughul Maram, Darul
Ihya’, Indonesia, t.th, hlm. 308.
[28]Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 65.
[29]Muhaimin Abdul Mujib, Op.cit, hlm. 25.
[30]Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panji Mas,
Jakarta, Tahun 1990, hlm. 59.
[31]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan Al Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, Tahun 1990, hlm. 144.
[32]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 208.
[33]A. Syafi’ie, Pendidikan Islam di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1991, hlm. 35.
[34]Hamka, Op.cit, hlm. 116.
[35]Harun Nasution, Op.cit., hlm. 13.
[36]Imam Ghozali, Ihya Ulumuddin, Juz. 4, hlm. 102.
[37]Ibid.
[38]Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah Ayat 164, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI., Jakarta,
1987, hlm. 40.
[39]Musa Asy’arie, Op.cit, hlm. 99.
[40]M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif
Sejarah, Giri Mukti Pustaka, Bandung, 1988, hlm. 243.
[41]M. Natsir, Op.cit., hlm. 240.
[42]R. Paryana Suryadipura, Op.cit., hlm. 193.
[43]Al-Qur'an, Surat Al-Jatsiyah Ayat 23, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag.
RI., Jakarta, 1987, hlm. 818.
[44]R. Paryana Suryadipura, Op.cit., hlm. 195.
[45]Ibid, hlm. 195.
[46]Ibid, hlm.
196.
[47]M. Natsir, Op.cit., hlm. 236.
[48]Ibid, hlm.
243.
[49]Ibid, hlm.
244.
[50]Imam Ghozali, Op.cit., hlm. 137.
[51]Zainuddin, Seluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali,
Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 120.
[52]Abdul Al-Salim Mukrim, Pemikiran Islam Antara Akal
dan Wahyu, Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta, 1987, hlm. 27.
[53]M. Natsir, Op.cit., hlm. 172.
[54]Ibid, hlm.
168.
[55]Al-Qur'an, Surat Al-Fathir Ayat 28, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag.
RI., Jakarta, 1987, hlm. 700.
[56]Mukti Ali, Filsafat Islam tentang Sejarah,
Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 226-227.
[57]Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz. II., Dar
Al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 130.
[58]Ibid, hlm.
131.
[59]WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 993.
[60]Hasan Langgulung, Op.cit., hlm. 354.
[61]Ibid, hlm.
355.
[62]Hasan Langgulung, Op.cit., hlm. 356.
[63]Ibid, hlm.
4.
[64]Muhammad Al-Bahiy, Alam Pikiran Islam dan
Perkembangan, Bulan Bintang, 1987, hlm. 20.
[65]Syed Mahmud Natsir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya,
Terj. Adang Affandi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1991, hlm. 203.
[66]Ibid, hlm.
322.
[67]Fazlur Rahman, Islam, Pustaka Setia,
Yogyakarta, 1984, hlm. 311.
0 Response to "PENDIDIKAN AKAL MENURUT KONSEP ISLAM"
Post a Comment