PENDEKATAN KETRAMPILAN PROSES, SIKAP BELAJAR DAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A.
Pendekatan Ketrampilan Proses
1.
Pengertian Pendekatan
Ketrampilan Proses (PKP)
Proses belajar mengajar
selain mengacu pada hasil belajar hendaknya memperhatikan proses juga proses
mendapatkan hasil belajarnya. Bagaimana cara belajar siswa dalam memperoleh,
mengelola, menggunakan, menilai dan mengkomunikasikan hasil perolehannya. Jadi
yang perlu disadari bahwa yang belajar adalah siswa, karenanya kepada mereka
harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk aktif mendapatkan serta
mengembangkan hasil perolehannya itu. Pendekatan ketrampilan proses adalah
memandang siswa sebagia manusia seutuhnya. Cara memandang ini diterjemahkan
dalam kegiatan belajar mengajar yang sekaligus memperhatikan pengembangan
pengetahuan, sikap dan nilai serta ketrampilan. Ketiga itu menyatu dan tampil
dalam bentuk kreativitas.
Pendekatan ketrampilan proses dilaksanakan dengan
menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa mengelola
perolehannya, sehingga menjadi miliknya, dipahami, dimengerti, dan dapat
diterapkan sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat sesuai kebutuhannya.
Yang dimaksud dengan perolehannya adalah hasil belajar
siswa dari pengelolaan dan pengamatan lingkungan yang diolah menjadi suatu
konsep yang diperoleh dengan cara belajar siswa aktif melalui ketrampilan
proses.
Jadi dengan demikian pendekatan ketrampilan proses
adalah suatu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berorientasi tidak
saja kepada pencapaian tujuan, akan tetapi lebih berorientasi kepada proses
yang dilalui oleh siswa dalam mencapa tujuan tersebut, yang selanjutnya mampu
mengelola atau mengembangkan perolehannya tersebut. Orientasi yang dipahami
dalam pendekatan belajar ini terdiri atas tiga bagian utama :
1.
Pencapaian tujuan (hasil belajar)
2.
Cara mencapai tujuan (proses
memperoleh hasil belajar)
3.
Mampu mengelola tujuan yang sudah
dicapai (mampu mengembangkan yang sudah dicapai dalam kondisi baru).[1]
Sedangkan dalam buku belajar dan pembelajaran karangan
Dimyati dan Mudjiono, menyatakan bahwa pendekatan ketrampilan proses diartikan
sebagai wawasan atau anutan pengembagan ketampilan-ketrampilan intelektual,
sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada
prinsipnya telah ada dalam diri siswa.[2]
Dari batasan pendekatan ketrampilan proses tersebut
memperoleh suatu gambaran bahwa pendekatan ketrampilan proses bukanlah tindakan
instruksional yang berada di luar kemampuan siswa, justru pendekatan
ketrampilan proses dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang
dimiliki oleh siswa. Dalam pendekatan ketrampilan proses menghendaki agar
konsep-konsep yang diharapkan dapat diperoleh dari proses belajar mengajar yang
tidak didapatkan secara langsung dalam dalam bentuk jadi, tetspi siswa diharapkan
dapat mengelola sendiri bahan-bahan penyusun konsep itu dapat ditemukan sendiri
melalui interaksi dengan obyek belajar atau interaksi siswa dengan guru.
Interaksi siswa dengan obyek belajar memberikan
konsekwensi keterlibatan pengindraan siswa, sedangkan interaksi siswa dengan
guru memberikan konskwensi terbentuknya petunjuk-petunjuk atau harapan-harapan
dari guru kepada siswa dalam rangka mewujudkan bangun konsep (ilmu).
Prinsip ketrampilan proses sekaligus dikembangkan
sikap-sikap, misalnya teliti, kreatif, tekun mengerjakan tugas, terbuka, mau
bekerjasama, kritis, bertanggung jawab, rajin, lebih mengutamakan kepentingan
umum, jujur, disiplin dan asli. Sikap-sikap yang dikembangkan sesuai dengan
penekanan mata pelajaran atau bidang pengembangan yang bersangkutan, sedangkan
konsep-konsep yang hendak ditemukan dan dikembangkan adalah konsep-konsep dalam
mata pelajaran atau bidang pengembangan yang bersangkutan.[3]
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uaraian tentang
pendekatan ketrampilan proses ini adalah :
a.
Pendekatan ketrampilan proses
sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep dan prinsip ilmu
pengetahuan bagi diri siswa.
b.
Fakta, konsep, dan prinsip ilmu
pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan pula menunjang
pengembangan ketrampilan proses pada diri siswa.
c.
Interaksi antara pengembangan
ketrampilan proses dengan fakta, konsep, serta prinsip ilmu pengetahuan, pada
akhirnya akan mengembangkan sikap dan nilai ilmuwan pada diri siswa.
2.
Tujuan Pendekatan
Ketrampilan Proses
Tujuan dari ketrampilan proses adalah mengembangkan
kreativitas anak didik dalam belajar, sehingga anak didik secara aktif dapat
mengembangkan dan menerapkan kemampuan-kemampuannya.[4]
3.
Asas Pelaksanaan Pendekatan
Ketrampilan Proses
Dalam pelaksanaan ketrampilan proses perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
Harus sesuai dan selalu berpegang
pada tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran.
b.
Harus berpegang pada dasar
pemikiran bahwa semua anak didik mempunyai kemampuan (potensi) sesuai dengan
kodratnya.
c.
Harus memberikan kesempatan,
dorongan dan penghargaan kepada anak didik untuk mengungkapkan perasaan dari
pikiran mereka.
d.
Semua pembinaan harus berdasarkan
pengalaman belajar anak didik.
e.
Perlu pengupayakan agar pembinaan
mengarah pada kemampuan anak didik untuk mengalah hasil temuannya.
f.
Harus berpegang pada prinsip “Tut
Wuri Handayani”.[5]
4.
Langkah-langkah Pelaksanaan
Ketrampilan Proses
a.
Pemanasan (apersepsi)
Tujuan dari kegiatan itu untuk mengarahkan siswa pada
pokok permasalahan agar siswa siap, baik secara mental, emosional maupun fisik.
Kegiatan ini antara lain dapat berupa :
1)
Pengulasan langsung pengalaman
yang pernah dialami siswa ataupun guru.
2)
Pengulasan bahan pengajaran yang
pernah dipelajari pada waktu sebelumnya.
3)
Kegiatan-kegiatan yang menggugah
dan mengarahkan perhatian siswa antara lain meminta pendapat atau saran siswa,
menunjukkan gambar, slide, film atau benda lain.
b.
Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar hendaknya selalu mengikatkan
siswa secara aktif guna mengambangkan kemampuan-kemampuan siswa antara lain
kemampuan mengamati, menginterpretasikan, meramalkan, mengaplikasikan konsep,
merencanakan dan melaksanakan penelitian serta mengkomunikasikan hasil
penemuannya.
1)
Pengamatan
Tujuan kegiatan ini untuk melakukan pengamatan yang
terarah tentang gejala atau fenomena sehingga mampu membedakan yang sesuai dan
yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan. Yang dimaksud pengamatan disini
adalah penggunaan indra secara optimal dalam rangka memperoleh informasi yang
memadai. Untuk itu perlu ditingkatkan peragaan melalui gambaran ataupun bagan
dan membatasi peragaan dengan kata-kata.[6]
Dalam buku belajar dan pembelajaran karya Dimyati dan
Mudjiono mengamati memiliki dua sifat utama, yakni sifat kualitatif dan sifat
kuantitatif. Mengamati bersifat kualitatif apabila dalam pelaksanaanya hanya
menggunakan panca indera untuk memperoleh informasi, contoh kegaiatan mengamati
yang bersifat kualitatif ialah menentukan warna (penglihatan), mengenali suara
jangkrik (pendengaran), membandingkan rasa manis gula dengan sakarin (pengecap),
menentukan kasar halus suara objek (perabaan), membedakan bau jahe dan bau
lengkuas (penciuman).
Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam
pelaksanaannya selain menggunakan panca indra, juga menggunakan peralatan lain
yang memberikan informasi khusus dan tepat. Contoh kegiatan mengamati yang kuantitatif ialah menghitung panjang ruangan kelas dengan
satuan ukuran tegel, menentukan suhu air yang mendidih dengan bantuan
termometer, membedakan luas daerah satu dengan daerah lain, dan kegiatan lain
yang sejenis.[7]
2)
Interpretasi hasil pengamatan
Interpretasi hasil pengamatan adalah kemampuan
menafsirkan sesuatu benda, kenyataan, peristiwa, konsep data atau informasi
yang telah didekati atau dikumpulkan melalui pengamatan, perhitungan,
penelitian sederhana atau ekspedisi. Yang tercakup dalam ketrampilan ini adalah
mencakup kemampuan menafsirkan, memberi arti atau mengartikan, menemukan pola
dan menarik kesimpulan.
Memberikan arti atau mengartikan adalah merumuskan
pengertian berdasarkan penalaran terhadap data fakta atau pengalaman yang
dimiliki. Menggeneralisasikan adalah menarik kesimpulan umum melalaui
serangkaian induktif salah satu bentuknya adalah membuat definisi.[8]
3)
Peramalan
Hasil intepretasi dari suatu pengamatan kemudian
digunakan untuk meramalkan atau memperkirakan kejadian yang belum diamati atau
akan datang. Ada perbedaan antara ramalan dan terkaan, ramalan didasarkan atas
hubungan logis dari hasil pengamatan yang telah diketahui, sedangkan terkaan
kurang didasarkan pada hasil pengamatan.
4)
Aplikasi Konsep
Yang dimaksud aplikasi konsep adalah menggunakan
konsep yang telah diketahui atau dipelajari dalam situasi baru atau dalam
menyelesaikan masalah, misalnya memberikan tugas mengarang tentang suatu
masalah yang dibicarakan dalam mata pelajaran lain.[9]
5)
Perencanaan Penelitian
Ketrampilan ini adalah sangat penting karena dapat
menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian. Hal ini anak didik perlu
dilatih karena selama ini pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang dibina,
pada awalnya ditentukan obyek, tujuan, ruang lingkup, sumber data, cara
menganalisis, alat dan bahan sumber kepustakaan, pengumpulan dan pengolahan
data lalu cara melakukan penelitian.[10]
6)
Pelaksanaan Penelitian
Tujuan dari kegiatan ini adalah agar siswa lebih
memahami pengaruh variabel yang satu pada variabel yang lain. Cara belajar yang
mengasyikkkan akan terjadi dan kreativitas siswa akan terlatihkan.
7)
Komunikasi
Kegiatan ini bertujuan mengkomunikasikan proses dan
hasil penelitian kepada berbagai pihak yang berkepentingan, baik dalam bentuk
kata-kata, grafik, bagan maupun tabel, secara lesan dan tertulis.[11]
c.
Penutup
1)
Mengkaji ulang kegiatan yang
dilaksanakan dan merumuskan hasil yang diperoleh melalaui kegiatan tersebut.
2)
Mengadakan tes akhir.
3)
Memberikan tugas-tugas lain.
5.
Bentuk Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan ketrampilan
proses dapat dilaksanakan dengan bentuk-bentuk berikut :
a.
Mengamati
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses :
1)
Melihat.
2)
Mendengarkan.
3)
Merasa (kulit meraba).
4)
Mencium atau membau.
5)
Mencicip atau mengecap.
6)
Mengukur.
7)
Mengmpulkan data atau informasi.
b.
Mengklasifikasikan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses :
1)
Mencari persamaan, menyamakan.
2)
Mencari perbedaan, membedakan.
3)
Membandingkan.
4)
Mengontraskan.
5)
Menggalangkan, mengelompokan.
c.
Menafsirkan (menginterpretasikan)
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses :
1)
Menafsir.
2)
Memberi arti, mengaitkan.
3)
Menarik kesimpulan.
4)
Membuat inferensi.
5)
Menggeneralisasikan.
6)
Mencari hubungan antara dua hal
(misalnya ruang dan waktu).
7)
Menemukan pola.
d.
Meramalkan (Memprediksikan)
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses : mengantisipasi (berdasarkan kecenderungannya atau pola
hubungan antara data atau hubungan antara informasi.
e.
Menerapkan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses :
1)
Menggunakan (informasi,
kesimpulan, konsep, hukum teori, sikap, nilai atau ketrampilan dalam situasi
baru atau situasi lain).
2)
Menghitung.
3)
Mendeteksi.
4)
Menghubungkan konsep.
5)
Memfokuskan pertanyaan penelitian.
6)
Menyusun hipotesis.
7)
Membuat model.
f.
Merencanakan Penelitian
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses :
1)
Menentukan masalah atau obyek yang
akan diteliti.
2)
Menentukan tujuan penelitian
3)
Menentukan ruang lingkup
penelitian
4)
Menentukan sumber data atau
informasi
5)
Menentukan cara analisis
6)
Menentukan langkah-langkah untuk
memperoleh data informasi
7)
Menentukan alat atau bahan dan
sumber kepustakaan
8)
Menentukan cara melakukan
penelitian.
g.
Mengkomunikasikan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar
melalui proses :
1)
Berdiskusi.
2)
Mendeklamasikan.
3)
Mendramakan.
4)
Bertanya.
5)
Mengarang.
6)
Memeragakan.
7)
Mengekspresikan dan melaporkan
dalam bentuk lisan, tulisan, gambar atau penampilan.[12]
B.
Sikap Belajar
Masalah sikap adalah merupakan masalah yang terdapat
pada lapangan ilmu jiwa atau psikologi, baik dalam psikologi sosial, psikologi
pendidikan, psikologi perkembangan dan psikologi kepribadian. Manusia dalam
menghadapi sesuatu masalah itu antara yang satu dengan yang lainnya mempunyai
sikap yang berbeda, walaupun masalah yang dihadapi sama, namun ketika manusia
menghadapinya dengan sikap yang tidak sama. Ada yang bersikap masalah itu baik
dan ada yang bersikap masalah itu buruk.
1.
Pengertian Sikap
Dalam buku “Evaluasi Pendidikan” karya Wayan
Nurkandana dan Sumartana, sikap dapat didefinisikan sebagai suatu predisposisi
atau kecenderungan untuk melakukan suatu respon dengan cara-cara tertentu
terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun obyek-obyek
tertentu.[13]
Sikap ini akan memberikan arah suatu perbuatan atau
suatu tindakan, tapi dalam hal ini tidak berarti bahwa semua tindakan atau
perbuatan seseorang itu sama dengan sikap yang ada padanya, mungkin ada sesuatu
tindakan atau perbuatan itu tidak sama dengan sikap yang sebenarnya.
Dari buku “Psikologi Pedidikan dengan Pendekatan Baru”
sikap adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespon (response tendensy) dengan cara yang relatif
tetapi terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun
negatif.[14]
Menurut pengertian di atas, maka sikap ini ada yang
bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Sikap siswa yang positif,
misalnya kecenderungan tindakannya adalah memperhatikan, mendekati, menyenangi,
mengharapkan obyek tertentu dan menerima. Adapun sikap positif ini mengharapkan
sesuatu yang diinginkan sesuai dengan obyek yang ada dan ia tidak akan menolak,
selalu menerima. Sebaliknya sikap siswa yang negatif kecenderungan tindakannya
adalah tidak memperhatikan, menjauhi, membenci, tidak mengharapkan sesuatu yang
diinginkan sesuai sesuai dengan obyek yang ada dan ia akan menolak. Semua itu
dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Adapaun sikap negatif ini,
baik mengharapkan sesuatu yang diingini sesuai dengan obyek yang ada dan ia
akan menolakdan tidak ingin menerima.
Menurut Ngalim Purwanto, dalam bukunya yang berjudul
“Psikologi Pendidikan” menjelaskan bahwa sikap atau dalam bahasa Inggris
disebut attitude adalah sesuatu cara tertentu terhadap suatu perangsang
atau situasi yang dihadapi, baik mengenai orang, benda-benda atau
situasi-situasi yang mengenai dirinya.[15]
Selanjutnya menurut Gerungan, menjelaskan bahwa sikap
atau attitude merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi
sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap
terhadap obyek tadi itu.[16]
Kemudian dalam buku “Psikologi Dahwah” karya M.
Arifin, Charles Bird mengartikan sikap sebagai suatu yeng berhubungan dengan
penyesuaian diri seseorang kepada aspek-aspek lingkungan sekitar yang dipilih
atau kepada tindakannya sendiri. Bahkan lebih luas lagi, sikap dapat diartikan
sebagai kecenderungan jiwa atau orientasi kepada suatu masalah, institusi dan
orang-orang lain.[17]
Sedangkan dalam arti yang sempit sikap adalah
pandangan atau kecenderungan mental. Definisi-definisi sikap yang dikemukakan
para ahli di atas pada umumnya memliki kesamaan walaupun diungkapkan dengan
redaksi yang berbeda-beda. Kesamaan tersebut adalah adanya reaksi dan obyek
dari sikap. Jadi pada dasarnya sikap merupakan reaksi yang ditujukan seseorang
terhadap suatu obyek yang ada di sekitarnya.
Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat kita
anggap suatu kecenderungan siswa itu bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal
ini, perwujudan sikap belajar siswa akan ditandai dengan munculnya
kecenderungan-kecenderungan bara yang telah berubah (lebih maju atau lebih
mundur) terhadap suatu obyek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya.
Dari berbagai pengertian tentag sikap di atas, dapat diambil
suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan sikap adalah sesuatu tindakan atau
tingkah laku sebagai reaksi atau respon terhadap suatu rangsangan atau stimulus
yang disertai suatu pendirian atau perasaan. Dalam beberapa hal, keberadaan
sikap merupakan penentu dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi sikap, maka
sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang atau tidak senang,
menerima atau menolak, mendekati atau menjauhi dan sebagainya. Maka tiap-tiap
orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap suatu stimulus yang sama.
2.
Ciri-ciri Sikap dalam
Belajar
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa sikap merupakan
kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan obyek yang dihadapi, dengan
demikian attitude atau sikap itu senantiasa terarah terhadap suatu
obyek. Tidak ada sikap tanpa obyek.
Sikap atau attitude berbeda dengan motif, kalau
motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan-alasan atau
dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu
sedangkan sikap merupakan pandangan atau perasaan terhadap suatu obyek. Untuk
membedakan antara dorongan dengan sikap itu, berikut ini penulis akan
mengemukakan tentang ciri-ciri sikap.
Adapun ciri-ciri sikap menurut Sarlito Wirawan Sarwana
adalah sebagai berikut :
a.
Dalam sikap selalu terdapat hubungan
subyek-obyek. Jadi tak mungkin ada sikap tanpa ada obyek (benda, orang,
sekelompok orang, nilai-nilai sosial, pandangan hidup dan sebagainya).
b.
Sikap bukan bersifat bawaan,
melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dialami sepanjang
hayatnya.
c.
Karena sikap dapat berubah-ubah
sesuai dengan keadaan lingkungan dan keadaan fisik, jiwa atau emosi yang
bersangkutan.
d.
Dalam sikap tersangkut tiga
komponen yang menandai sikap yang dipelajari, sebagai keadaan-keadaaan
internal.
e.
Sikap tidak menghilangkan
sekaligus kebutuhan sudah dipenuhi.
f. Sikap itu
bersifat majemuk sesuai dengan banyaknya obyek yang dihadapi.[18]
Menurut Gerungan, ciri-ciri attitude atau sikap
adalah :
a. Attitude
bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk atau dipelajarinya
sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan obyeknya.
b. Attitude
dapat berubah-ubah, karena itu attitude dapat dipelajari seseorang atau
sebaliknya, attitude-attitude dapat dipelajari, karena itu attitude dapat
berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat
tertentu yang mempermudah berubahnya attitude pada orang itu.
c. Attitude
itu tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu
terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, attitude dapat dipelajari atau berubah
senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan
jelas.
d.
Obyek attitude itu dapat merupakan
satu hal tertentu, tetapi juga dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut,
jadi attitude itu dapat berkenaan dengan satu obyek saja, tetapi juga berkenaan
dengan sederetan obyek-obyek yang serupa.
e.
Attitude mempunyai segi-segi
motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membedakan attitude dari
kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.[19]
Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut :
a.
Sikap selalu terdapat hubungan
subyek-obyek.
b.
Sikap tidak dibawa sejak lahir.
c.
Sikap dapat dipelajari, maka sikap
dapat berubah-ubah sesuai dengan keaadaan lingkungan.
3.
Macam-macam Sikap dalam
Belajar
Manusia itu tidak dilahirkan dengan sikap pandangan
ataupun sikap perasaan tertentu, tetapi sikap-sikap tersebut dibentuk sepanjang
perkembangan. Perasaan sikap di dalam kehidupan manusia adalah besar, sebab
apabila sudah dibentuk pada diri manusia, maka sikap-sikap itu akan turut
menentukan cara-cara bertingkah laku terhadap obyek-obyek sikapnya. Adanya
sikap-sikap menyebabkan bertindak secara khas terhadap obyek-obyeknya.
Maka dari situ sikap dapat dibedakan ke dalam sikap
sosial dan sikap individual.
a.
Sikap sosial
Dalam buku “Psikologi” karya Gerungan, attitude sosial
dirumuskan sebagai berikut “Suatu attitude sosial dinyatakan oleh cara-cara
kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial. Attitude
sosial menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan
berulang-ulang terhadap obyek sosial, dan biasanya attitude sosial itu
dinyatakan tidak hanya oleh seseorang saja, tetapi juga oleh orang-orang lain
yang sekelompok atau semasyarakat.[20]
Sikap sosial itu sebelumnya selalu didahului oleh
suatu cara kelompok orang yang mana antara orang yang satu dengan orang yang
lainnya saling mengadakan hubungan sehingga timbullah sikap sosial. Di dalam
memberikan reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan
keserasian dengan tindakan-tindakan yang ada pada orang lain. Karena sejak
lahir manusia sudah mempunyai keinginan pokok yaitu untuk hidup bermasyarakat.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Soerjana Soekamto, yaitu :
1)
Keinginan untuk menjadi satu
dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat).
2)
Keinginan untuk menjadi satu
dengan suasana alam sekelilingnya.[21]
Agar manusia dapat menghadapi dan menyesuaikan diri
dengan kedua lingkungan tersebut, maka manusia menggunakan pikiran, perasaan
dan kehendaknya, manusia mampu untuk hidup berkelompok dan di dalam kelompok
itu akan mengakibatkan timbulnya sikap sosial sebagai suatu yang dipegangi.
Sikap sosial juga menyebabkan terjadinya tingkah laku
yang khas dan berulang-ulang terhadap obyek sosial. Oleh karena itu sikap
sosial merupakan suatu faktor penggerak di dalam pribadi individu untuk
bertingkah laku secara tertentu, sehingga sikap sosial dan sikap pada umumnya
itu mempunyai sifat dinamis yang sama yaitu merupakan salah satu penggerak
intern di dalam pribadi orang yang mendorongnya berbuat sesuatu dengan cara
tertentu.
b.
Sikap individual
Sikap individual adalah sikap yang dimiliki oleh
seseorang demi seseorang saja dan merupakan sikap yang berkenaan dengan
obyek-obyek yang bukan merupakan obyek perhatian sosial.[22]
Memang dilihat dari namanya saja individual, yaitu perseorangan, maka sikap ini
hanya dimiliki oleh seseorang. Apabila beberapa orang dihadapkan pada suatu
obyek sikap yang sama, maka orang tadi dapat disatukan. Sebaliknya apabila
beberapa orang dihadapkan pada satu obyek sikap yang berbeda, maka orang tadi
tidak dapat disatukan. Apabila seseorang tadi suatu lingkungan yang jauh
berbeda. Ini sudah barang tentu sikapnya akan berbeda pula.
Di samping ada sikap sosial dan sikap individual, maka
sikap itu juga ada yang bersikap menuju kepada kebaikan dan ada juga yang
bersikap untuk menuju kepada keburukan. Dalam hal ini pada pokoknya sikap dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.
Sikap yang bersifat positif
Mengenai sikap yang bersifat positif,
maka tindakan yang ditampakkan oleh seseorang dalam berbuat adalah cenderung
berbuat yang mendekati, menyenangkan, mengharapkan obyek tertentu. Ini
mengandung arti bahwa orang itu selalu menerima dan mengakui terhadap obyek
yang ada dan orang tadi tetap tidak akan menolak.
b.
Sikap yang bersifat negatif
Mengenai sikap yang bersifat negatif,
maka tindakan yang ditampakkan oleh seseorang dalam berbuat adalah cenderung
berbuat untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai obyek
tertentu. Jadi sikap yang bersifat negatif itu selalu menjauhi, menolak dan
kadang-kadang sampai membenci terhadap obyek tertentu.
4.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Sikap dalam Belajar
Pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui suatu proses tertentu, yaitu melalui kontak sosial yang berlangsung
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, individu dengan
lingkungan dan lain-lain sekitarnya. Sikap mempunyai peranan yang penting dalam
interaksi manusia. Jadi adanya proses sosialisasi dari individu dalam
kehiduapan bermasyarakat itu sebagian besar adalah terdiri atau terbentuk dari
sikap-sikap sosial yang ada pada dirinya. Mengenai pembentukan sikap atau
attitude itu ada beberapa faktor yang turut mempengaruhinya. Faktor-faktor
tersebut yaitu :
a.
Faktor intern
Faktor intern adalah faktor-faktor yang terdapat dalam
diri orang yang bersangkutan. Seseorang tidak dapat menangkap seluruh
rangsangan dari luar melalui persepsinya. Oleh sebab itu, melalui sekitarnya
dia harus memilih stimulus mana yang akan menjauhi. Pilihan ini ditentukan oleh
motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada dirinya, karena harus
memiliki inilah maka seseorang membentuk sikap positif terhadap sesuatu hal dan
menyusun sikap negatif terhadap lainnya.
Dalam hal ini faktor intern yang terdapat dalam diri
manusia yaitu perasaan sebagai suatu hal yang mempengaruhi sikap. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Robert Ellis, yang dikuti oleh Ngalim Purwanto
dalam buku “Psikologi Pendidikan” bahwa yang memegang peranan penting dalam
sikap ialah faktor perasaan dan emosi.[23]
Dari keterangan di atas, dapat dimengerti bahwa sikap
seseorang itu sangat dipengaruhi oleh perasaannya, karena seseorang akan
bertindak pada mulanya sudah memiliki suatu rencana dari dalam dirinya baik
rencanya dilaksanakan atau tidak namun di dalam hatinya sudah memiliki kehendak
untuk bersikap, untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu tujuan. Suatu
tujuan itu (belajar) akan sangat ditentukan oleh faktor dari dalam diri
seseorang itu.
b.
Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berasal dari
luar individu (luar diri seseorang). Adapun faktor-faktor ekstern yang ikut
menentukan sikap itu antara lain :
1)
Faktor penguat (reinforcement)
2)
Komunikasi persuasif
3)
Harapan yang diinginkan.[24]
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gerungan,
faktor-faktor ekstern yang turut mempengaruhi terbentuknya sikap adalah ;
“Dalam pembentukan dan perubahan attitude selain dari faktor-faktor intern maka
yang turut menentukannya juga ialah, antara lain, sifat, isi pandangan baru
yang diberikan itu, siapa yang mengemukakannya dan siapa yang menyokong
pandangan baru tersebut, dengan cara bagaimana pandangan itu diterangkan, dan
dalam situasi bagaimana attitude baru itu diperbindangkan (situasi interaksi
kelompokkah, situsi orang sendiriankah dan lain-lain)”.[25]
Sementara itu, menurut penelitian, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan karena keberadaannya dapat mempengaruhi seseorang. Hal
tersebut adalah :
a.
Sikap merupakan hasil belajar
Sebagai hasil belajar, sikap telah
diperoleh melalui pengalaman yang mempunyai unsur-unsur emosional, seringkali
unsur-unsur sikap itu melalui proses interaksi sejak seseorang masih kecil.
b.
Sikap itu mempunyai unsur yang
bersikap perseptual dan afektif
Maksudnya bahwa sikap itu bukan saja
menentukan hal-hal apa yang diamati oleh seseorang, melainkan juga bagaimana
cara ia mengamatinya. Seorang murid yang memiliki sikap negatif terhadap
seseorang guru misalnya, sikap yang demikian itu pada dasarnya telah diperoleh
dari orang tuanya atau dari temannya, lingkungan dan lain sebagainya. Bila anak
itu telah memiliki sikap negatif terhadap gurunya maka gerak-gerik guru yang
terlihat oleh anak itu akan ditafsirkan negatif pula. Dan sikap itu bukan saja
diperoleh melalui proses imitasi, melainkan juga dari pengalaman-pengalaman
yang kurang menyenangkan.
c.
Sikap mempengaruhi pengajaran
lainnya
Apabila seseorang mempunyai sikap yang positif
terhadap gurunya, maka siswa tersebut akan senang terhadap pengajaran yang
disampaikan oleh guru tersebut, situasi ini akan memberi jalan kearah
pengalaman belajar yang sukses.[26]
5.
Komponen Sikap
Sebagai suatu reaksi terhadap suatu stimulus, sikap
terdiri dari tiga kemampuan yang saling berkaitan satu sama lain. Ketiga
komponen tersebut adalah kemampuan kognisi (cognitif component),
kemampuan afeksi (affective component) dan kemampuan konasi (behavioral
component).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
komponen kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang obyek atau
stimulus yang dihadapinya. Komponen ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan apa
yang dipikirkan atau yang dipersepsikan tentang obyek tersebut. Dengan komponen
kognisi ini seseorang seseorang memberikan penilaian itu dengan sikap positif,
jika dia menganggap bahwa obyek tersebut berguna maka dia mau menerimanya.
Sebaliknya bila dia menganggap bahwa obyek tersebut tidak berguna, maka sikap
negatiflah yang muncul.
Sementara itu komponen afeksi adalah komponen sikap
yang meyangkut kehidupan emosional. Ia akan menjawab pertanyaan apa yang
dirasakan seseorang tentang obyek atau stimulus yang datang kepadanya. Dengan
komponen ini individu memberikan penilaian terhadap obyek psikologis
berdasarkan emosinya sehingga menimbulkan perasaan senang atau tidak senang.
Adapun komponen konasi merupakan kecenderungan untuk
bertingkah laku. Komponen ini akan menjawab pertanyaan bagaimana persiapan atau
kesediaan untuk bertindak terhadap obyek atau stimulus. Dengan demikian apa
yang dipikirkan oleh komponen kognisi dan apa yang dirasakan komponen afeksi
akan menentukan bagaimana komponen konasi mewujudkannya dalam perilaku yang
nyata.
Masing-msing kemampuan tersebut di atas tidak dapat
berdiri sendiri namun merupakan sesuatu yang saling berinteraksi secara
kompleks. Mar’at menggambarkan keterkaitan ketiga komponen tersebut sebagai
berikut :
“Manusia mengamati suatu obyek psikologik dengan
kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh penilaian kepribadiannya. Faktor
pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur
terhadap obyek psikologik tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul
ide kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai akan timbul
ide kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang
dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap
obyek tersebut. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosionalnya
sehingga timbullah rasa senang atau tidak senang. Pada tahap selanjutnya,
berperan komponen konasi yang akan menentukan kesediaan atau kesiapan jawaban
berupa tindakan terhadap obyek tersebut”.[27]
Walaupun ketiga komponen tersebut tidak bersiri
sendiri, namun demikian komponen kognisi lebih dominan dalam pembentukan sikap
seseorang. Ini berarti sikap individu terhadap suatu obyek tertentu banyak
ditentukan oleh daya yang dimilikinya dan pengalaman yang berhubungan dengan
obyek tersebut di samping adanya konsep yang jelas tentang obyek berikut. Oleh
sebab itu pada individu yang tingkat kecerdasannya rendah dan kurang memiliki
daya penalaran yang baik serta dalam evaluasinya pun kurang adanya kehalusan,
maka cenderung mengakibatkan tingkah laku yang kurang serasi.[28]
6. Perubahan
Sikap dalam Belajar
Sebagaimana diungkapkan di muka, komponen afektif dari
sikap yang menjadi penekanan disini menghsilkan perasaan senang atau tidak
senang terhadap stimulus yang datang pada seseorang. Jika stimulus itu dihayati
sebagai suatu yang berharga, maka timbul perasaan yang senang. Sebaliknya jika
stimulus tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak berharga, maka akan
timbul perasaan tidak senang.
Obyek yang dinilai dan dihayati oleh seseorang siswa
di sekolah adalah keseluruhan pengalaman belajar yang dialaminya, termasuk
masing-masing bidang studi bersama dengan tenaga pengajarnya. Perasaan-perasaan
senang yang dimiliki siswa tersebut sangat berperan terhadap gairah dan
semangat belajarnya. Penilaian secara spontan melalui perasaan inilah yang
berperan sebagai komponen afektif dalam pembentukan sikap. Dengan demikian
menjadi tugas gurulah untuk merubah sikap yang tidak senang dan mempertahankan
atau meningkatkan sikap siswa yang sudah senang.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sikap
seseorang itu dapat berubah atau diubah. Salah satu teori yang membahas tentang
perubahan sikap adalah teori stimulus-respon dan reinforment (penguatan).[29]
Teori ini menitik beratkan pada penyebab yang dapat merubah pada penyebab yang
dapat merubah sikap seseorang yaitu tergantung kualitas rangsang yang
berkomunikasi dengan organisme karakteristik dari komunikator (sumber)
menentukan keberhasilan pengubahan sikap tersebut seperti kredibilitasnya,
kepemimpinannya dan gaya komunikasinya.
Teori ini beranggapan bahwa proses dari perubahan
sikap adalah serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap ada tiga
variabel penting yang menunjang proses belajar tersebut, yaitu perhatian,
pengertian dan penerimaan. Ketiga variabel tersebut prosesnya tergantung pada
proses yang terjadi pada individu. Hal ini dapat dilakukan sebagai berikut :
a.
Stimulus yang diberikan kepada organisme
dapat diterima atau dapat ditolak, maka proses selanjutnya terhenti. Ini
berarti bahwa stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi organisme,
maka tidak ada komunikasi perhatian (attention) dari organisme. Dalam
hal ini stimulus adalah efektif dan ada korelasi.
b.
Langkah selanjutnya juga stimulus
telah mendapat perhatian dari organisme, inilah yang dapat melanjutkan ke
proses selanjutnya, yaitu :
c.
Organisme dapat menerima secara
baik apa yang telah diolah sehingga dapat terjadi kesediaan untuk memperoleh
sikap.[30]
Dalam proses perubahan ini terlihat bahwa sikap dapat
berubah hanya jika stimulus yang diberikan benar-benar melebihi stimulus yang
sebelumnya. Dalam hal ini penguatan stimulus awal sehingga dapat terjadi
perubahan. Dalam memberikan penguatan dan menyakinkan organisme, maka faktor
komunikasi sangat penting, dan komunikasi yang efektif tergantug dari
aspek-aspek sebagai berikut :
a.
Sumber komunikasi (source of
comunication) atau sender yang memberikan informasi.
b.
Informasi sendiri disebut massage.
c.
Saluran yang menyampaikan
“massage” ini disebut comunication channel.
d.
Subyek yang menerima massage
ini disebut receiver (penerimaan).[31]
Berdasarkan teori-teori tersebut di atas dapatlah
disimpulkan bahwa guru sebagai seorang komunikator yang berusaha mentransfer
apa yang diajarkannya kepada siswanya harus memiliki kepribadian yang dapat
“digugu dan ditiru” agar komunikasinya efektif. Hal ini karena ketika seorang
komunikator berkomunikasi yang berpengaruh bukan saja dikatakan, tetapi juga
keadaan dia sendiri.
Sementara itu menurut Sarlito Wiraman Sarwana, sikap
itu dapat dibentuk atau diubah melalui empat macam cara, yaitu :
a. Adopsi
Kejadian yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus,
lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi
terbentuknya sikap.
b.
Diferensiasi
Dengan perkembangan intelegensi, bertambahnya pengalaman sejalan dengan
bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, kini
pandangan tersendiri, lepas dari jenisnya. Terdapat sikap tersebut dapat
terbentuk sikap tersendiri pula.
c.
Integrasi
Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai
pengalaman dan informasi yang berhubungan dengan suatu hal tertentu, sehingga
akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d.
Trauma
Trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang meninggalkan
kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Jadi pengalaman-pengalaman
yang traumatis juga mengakibatkan timbulnya sikap.[32]
Ada lain lagi faktor-faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan
dan pembentukan sikap anak-anak yang perlu diperhatikan di dalam pendidikan
ialah “kematangan (maturation) keadaan fisik anak, pengaruh keluarga,
lingkungan sosial, kehidupan sekolah, di bioskop, guru, kurikulum sekolah dan
cara guru mengajar.[33]
Sehubungan dengan teori-teori di atas, maka sangatlah
penting bagi seorang guru untuk memperhatikan hal-hal yang menyebabkan
terbentuknya atau berubahnya suatu sikap. Dngan demikian diharapkan guru
tersebut akan dapat membimbing dan mengarahkannya siswanya kepada sikap yang
positif baik terhadap dirinya maupun terhadap pelajaran yang diajarkannya.
C.
Pendidikan Agama Islam
Bahwa suatu kewajiban bagi setiap manusia adalah
melaksanakan pendidikan agama Islam baik sebagai subyek maupun obyek. Sebab
dengan pendidikan agama Islam inilah manusia dapat mengerti hal-hal yang
diperintahkan dan yang dilarang, sehingga manusia itu menjadi taat kepada
Tuhannya. Dengan ketaatannya itu dia akan berbuat kebaikan dan meninggalkan
kejelekan di dunia, dalam rangka mengabdi kepada Tuhan supaya tercapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
1.
Pengertian Pendidikan Agama
Islam
Sebelum mendefinisikan pengertian pendidikan agama
Islam terlebih dahulu dikemukakan beberapa pendapat para ahli mengenai
pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memahami pengertian pendidikan
agama Islam tersebut.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke
arah kedewasaan.[34]
Ahmad D. Marimba memberikan pengertian pendidikan
sebagai berikut : “Bimbingan atau pimpinan scara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.[35]
Sedangkan menurut Zahara Idris, menjelaskan bahwa :
“Pendidikan
adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa
dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam
rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti
supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin agar menjadi manusia
yang bertanggung jawab. Potensi disini ialah potensi fisik, emosi sosial,
sikap, moral, pengetahuan dan ketrampilan”.[36]
Dari pengertian di atas penulis dapat simpulkan bahwa
pendidikan adalah proses bimbingan atau pimpinan secara sadar terhadap
potensi-potensi jasmani dan rohani si terdidik untuk mempersiapkan kehidupan
yang mulia, menuju terbentuknya kepribadian uatama yang tercermin dalam
berfikir, bersikap, dan bertingkah laku sehari-hari.
Setelah diketahui definisi pendidikan, selanjutnya
penulis akan menyampaikan definisi-definisi pendidikan agama Islam. dalam hal
ini akan penulis kemukakan beberapa pendapat yang disampaikan oleh para ahli,
di antaranya adalah :
a.
Zuhairini, memberikan pengertian
pendidikan agama Islam yaitu “usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam
membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.[37]
b.
Athiyah Al-Abrasyi dalam buku
“Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam” menjelaskan bahwa : Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang ideal, dimana ilmu diajarkan karena ia mengandung
kelezatan-kelezatan rohaniah, untuk dapat sampai kepada hakekat ilmiah dan
akhlak yang terpuji.[38]
c.
Ahmad D. Marimba, yang dimaksud
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama
Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[39]
d.
Menurut Muhammad Daud Ali, yang
dimaksud dengan pendidikan agama Islam adalah “Proses penyampaian informasi
dalam rangka pembentukaan insan yang beriman dan bertaqwa agar manusia
menyadari kedudukan, tugas dan fungsinya di dunia ini baik sebagai abdi maupun
sebagai kholifah-Nya di bumi, dengan selalu taqwa dalam makna memelihara
hubungan dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekiratnya serta
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia (termasuk dirinya
sendiri) dan lingkungan hidupnya.[40]
Sedangkan yang dimaksud dengan kepribadian yang
utama adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai
agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam
dan bertanggung jawab ssuai dengan nilai-nilai Islam.[41]
e.
Utsman Said yang dikutip oleh Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam buku “Ilmu Pendidikan” menjelaskan bahwa
pendidikan agama Islam ialah segala usaha untuk membentuk, membimbing dan
menuntun rohani jasmani seseorang menurut ajaran Islam.[42]
f.
Abdul Rahman Shaleh yang dikutip
oleh Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, menjelaskan bahwa pendidikan agama Islam
ialah segala usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang
sesuai dengan ajaran Islam.[43]
Dari beberapa pendapat tersebut jelaslah kiranya bahwa
pendidikan agama Islam ialah merupakan suatu usaha untuk membimbing dan
mengasuh terhadap anak didik agar memahami dan meyakini serta mengamalkan
ajaran-ajaran Islam dalam kehidupannya sehingga menjadi manusia yang memiliki
kepribadian utama yaitu muslim yang benar-benar taqwa.
2.
Dasar Pendidikan Agama
Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja
untuk mencapai satu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan tempat berpijak
yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan tersebut dapat terlaksana sesuai
dengan yang direncakan. Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia mempunyai
dasar-dasar yang cukup kuat. Dasar-dasar tersebut dapat ditinjau dari segi :
a.
Segi Yuridis atau Hukum
Adapun dasar dari segi yuridis atau hukum ada tiga
macam yaitu :
1)
Dasar Ideal
Dasar ideal yaitu dasar dari falsafah negara
Pancasila, uatamanya sila peratama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung
arti bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
atau tegasnya harus beragama. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa
Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusian
yang adil dan beradab.
Untuk merealisir hal tersebut, maka diperlukan adanya
pendidikan agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama, akan
sulit untuk mewujudkan sila pertama dari Pancasila tersebut.
2)
Dasar Struktural atau
Konstitusional
Dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam bab XI Pasal
29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi :
(1)
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
(2)
Negara Menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memluk agama masing-masing da beribadah menurut agama
dan kepercayaannya itu.[44]
Bunyi UUD 1945 tersebut di atas adalah mengandung
pengertian bahwa bangsa Indonesia harus beragama. Dalam arti orang-orang atheis
dilarang hidup di negara Indonesia. Di samping itu negara melindungi umat
beragama, untuk menunaikan ajaran agamanya dan beribadah menurut agamanya
masing-masing. Karena itu agar supaya umat beragama tersebut dapat menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing diperlukan adanya pendidikan
agama.
3)
Dasar Operasional
Dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan
agama di sekolah-sekolah di Indonesia tersebut pada peraturan perundangan yang
pada pokoknya dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung
dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar
sampai dengan Universitas-universitas negeri.[45]
Dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Bab IX Pasal 39 ayat 2 misalnya dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis,
jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan
agama dan pendidikan kewarganegaraan.[46]
b.
Dasar Religius
Dasar religius dalam uraian ini adalah dasar-dasar
yang bersumber dari ajaran agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an maupun
Al-Hadits. Menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah
merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan
adanya peritantah tersebut, antara lain :
1) Dalam
surat At-Tahrim ayat 6, yang berbunyi :
ياايهاالذ
ين امنوا قواانفسكم نارا....
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari siksa api neraka …………….”.[47]
2)
Dalam Surat Ali Imron ayat 104,
yang berbunyi :
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويأمرون
بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون.
Artinya : “Hendaklah di antara kamu segolongan umat yang mengajak
kepada kebaikan, menyuruh berbuat bik dan mencegah dari perbuatan yang munkar”.[48]
Selain ayat-ayat tersebut, juga disebutkan dalam hadits antara lain :
تركت
فيكم شيئين لن تضلوا بعد هما كتاب الله وسنتى.
Artinya : “Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara, kamu semua
niscaya tidak akan tersesat sedudahnya, selama kamu berpegang teguh kepada
keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah-Ku” (HR. Bukhari).[49]
c.
Segi Social Pshycologis
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu
membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan
dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa,
tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya.[50]
Hal ini disebabkan agama merupakan kebutuhan jiwa yang akan mengatur dan
mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap
masalah. Itulah sebabnya, bagi orang-orang muslim diperlaukan adanya pendidikan
agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar
sehingga mereka dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, Zakiyah Daradjat
menjelaskan bahwa; “pendidikan agama dalam artian pembinaan kepribadian
sebenarnya telah mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan.
Keadaan orang tua, ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang
akan lahir nanti, hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa.[51]
Dengan demikian sikap orang tua terhadap agama, akan
memantul kepada si anak. Jika sikap orang tua terhadap agama positif, maka akan
tumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula sebaliknya, jika
sikap tua terhadap agama itu negatif, acuh tak acuh, atau meremehkan, maka itu
pulalah sikap yang akan tumbuh pada anak.
3.
Tujuan Pendidikan Agama
Islam
Pada dasarnya tujuan akhir pendidikan agama Islam itu
identik dengan tujuan hidup orang Islam. Hal ini selaras dengan tujuan
diciptakannya manusia sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Al-Qur’an bahwa :
وما
خلقت الجن والانس الا ليعبدون.
Artinya : “Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku” (Q.S Adz-Dzariyat : 56).[52]
Makna penyembahan dalam Islam sebagaimana tersebut
tidak terbatas pada pelaksanaan fisik dan ritual saja, melainkan juga mencakup
seluruh aspek aktivitas iman, fikiran, perasaan dan perbuatan. Adapun secara
definitif tujuan pendidikan agama Islam adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh
beberapa tokoh pendidikan agama, antara lain sebagai berikut :
Athiyah Al-Abrasyi mengemukakan :
“… tujuan
pokok dan utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan
pendidikan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran
akhlak, setiap guru haruslah memikirkan akhlak, setiap juru didik haruslah
memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena akhlak keagamaan
adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari
pendidikan Islam.[53]
Jadi pendidikan agama Islam itu tidak keluar dari pendidikan akhlak.
Menurut Zuhairini, tujuan umum pendidikan agama ialah
membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal
sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama dan negara.[54]
Menurut Muhammad Daud Ali, tujuan pendidikan Islam
ialah untuk membina insan yang beriman dan bertaqwa yang mengabdikan dirinya
hanya kepada Allah, membina serta memelihara alam sesuai dengan syari’ah serta
memanfaatkannya sesuai dengan aqidah dan akhlak Islam.[55]
Rumusan hasil keputusan seminar pendidikan Islam
se-Indonesia tanggal 7 – 11 Mei 1960, di Cipayung Bogor adalah sebagai berikut
: “tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan
kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur
menurut ajaran Islam.[56]
Sedangkan dalam buku “PBM PAI di Eksistensi dan Proses
Belajar Mengajar”, tujuan pendidikan agama Islam yaitu :
Meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT,
serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Selanjutnya pendidikan agama Islam pada sekolah umum bertujuan untuk
meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, pengamalan tentang agama Islam,
sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara serta
untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[57]
Tujuan pendidikan agama Islam juga merupakan sub
sistem dari tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini pendidikan nasional
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin,
beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif serta jahat jasmani
dan rohani.[58]
Dari berbagai keterangan dan uraian di atas tentang
pendidikan agama Islam, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama
Islam adalah agara peserta didik menjadi muslim sejati yang memiliki
pengetahuan luas, nilai, sikap, tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan Islam,
bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama yang mendapat ridho Allah
SWT.
4.
Kurikulum Pendidikan Agama
Islam
Pendidikan agama Islam sebagai salah satu mata
pelajaran di sekolah adalah merupakan bagian dari kurikulum yang tidak
dipisahkan dari mata pelajaran lain.
Adapun yang dimaksud dengan kurikulum menurut konsepsi
yang baru adalah sebagai berikut : “Kurikulum adalah semua pengetahuan,
kegiatan-kegiatan atau pengalaman-pengalaman belajar yang diatur dengan
sistematis metodis, yang diterima anak untuk mencapai suatu tujuan”.[59]
Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sedangkan definisi kurikulum yang populer
ialah segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah.[60]
Sesuai dengan pengertian kurikulum secara umum, maka
dapatlah diambil suatu pengertian kurikulum pendidikan agama Islam yaitu
bahan-bahan pendidikan agama Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman
yang dengan sengaja dan sistematis yang diberikan kepada anak didik dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
Dengan demikian kurikulum pendidikan agama Islam
adalah totalitas dari suatu pendidikan, baik di dalam kelas maupun di luar
kelas yang berdasarkan ajaran agama Islam.
5.
Metode Pendidikan Agama
Islam
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan etimologi tersebut, metode pendidikan agama Islam adalah cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan pengajaran agama Islam guna
mencapai tujuan yang ditentukan.[61]
Dalam proses pendidikan agama Islam, metode mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi
sarana yang memberikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum
pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh terdidik
menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.
Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat
berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju
tujuan pendidikan. Selainitu metode pendidikan yang tidak tepat akan menjadi
penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga
dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan oleh seorang
guru baru berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.[62]
Menurut M. Arifin, dalam buku “Metodologi Pengajaran
Agama” karya Muhammad Zain, menjelaskan bahwa metode dalam pendidikan agama
Islam itu antara lain :
a.
Metode situsional yang mendorong
manusia didik untuk belajar dengan perasaan gembira dalam berbagai tempat dan
keadaan.
b.
Metode terchib wat terghieb,
yang mendorong manusia didik untuk belajar sesuatu bahan pelajaran atas dasar
minat (motif) yang berkesadaran pribadi, terlepas dari paksaan atau tekanan
mental.
c.
Metode belajar yang berdasarkan conditioning
yang dapat menimbulkan konsentrasi perhatian manusia didik ke arah bahan-bahan
pelajaran yang diberikan oleh guru (pendidik).
d.
Metode yang berdasarkan prinsip
kebermaknaan, menjadikan manusia didik menyukai dan bergairah untuk mempelajari
bahan pelajaran yang diberikan oleh guru.
e.
Metode dialogis yang melahirkan
sikap saling keterbukaan antara guru dan murid, akan mendorong untuk saling
memberi dan mengambil antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar.
f.
Dari prinsip kebaharuan dalam PBM,
manusia didik diberi pelajaran ilmu-ilmu pengetahuan baru yang dapat menarik
minat mereka.
g.
Metode pemberian contoh teladan
yang baik (uswatun khasanah) terhadap manusia didik, terutama anak-anak
yang belum mampu berfikir kritis, akan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka
dalam perbuatan sehari-hari.
h.
Metode yang menitik beratkan pada
membimbing berdasarkan rasa kasih sayang terhadap anak didik akan menghasilkan
kedayagunaan PBM.[63]
6.
Evaluasi Pendidikan Agama
Islam
Menurut Wand dan Brown yang dikutip oleh Wayan
Nurkancana dan Sumartana dalam buku “Evaluasi Pendidikan”, bahwa evaluasi
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.[64]
Sedangkan menurut Monroe, yang dikutip oleh Arifin
dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam” bahwa evaluasi adalah suatu penilaian
yang lebih menitik beratkan pada perubahan kepribadian secara luas dan terhadap
sasaran-sasaran umum dari program kependidikan.[65]
Sedangkan yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan
agama Islam ialah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu
pekerjaan di dalam pendidikan agama. Evaluasi adalah alat untuk mengukur sampai
dimana penguasaan murid terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan.[66]
Di sekolah, evaluasi diadakan untuk mengetahui sejauh
mana tingkat kemajuan penguasaan bahan pelajaran murid, di samping juga
ketrampilan dan sikap evaluasi juga untuk mengetahui hambatan-hambatan yang
terdapat dalam rangka mencapai tujua pendidikan, sehingga dengan itu dapat
diberikan bimbingan bantuan.[67]
Jadi jelaslah, bahwa evaluasi mementingkan penilaian
tentang pertumbuhan dan perkembangan yang menyeluruh pada seseorang individu
atau pada kelompok. Dan evaluasi bukanlah hanya sekedar gejala yang dapat
dicapai dengan mudah dan berlaku begitu saja, tetapi ia merupakan suatu
keharusan, merupakan suatu keperluan dalam setiap proses pendidikan. Dengan
demikian evaluasi secara keseluruhan dalam pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah bukan hanya sekedar menilai hasil belajar siswa saja, tetapi
juga bagaimana guru mengajar, bagaimana situasi dan perlengkapan sekolah yang
tersedia, sesuai tidaknya materi yang diberikan, kecerdasan dan minat anak. Dan
menginat bahwa penilaian ini dilakukan pada program pengajaran di sekolah,
dimana waktu belajar cukup panjang dan lama serta kegiatan belajarpun sudah
banyak dilakukan, maka penilaian hasil belajar itu harus diarahkan secara
lengkap kepada semua aspek tingkah laku. Penilaian itu dilakukan terhadap
aspek-aspek pengetahuan, aspek ketrampilan, serta aspek nilai dan sikap yang
telah diperoleh atau dikuasai siswa-siswi setelah mereka mengalami kegiatan
belajar mengajar.
D.
Pentingnya Penggunaan
Pendekatan ketrampilan proses dalam Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Dalam sistem belajar megajar yang sifatnya klasikal
(bersama-sama dalam suatu kelas), guru harus berusaha agar proses belajar
mengajar mencerminkan komunikasi dua arah. Mengajar bukan semata-mata merupakan
pemberian informasi seraya tanpa mengembangkan kemampuan mental, fisik dan
penampilan diri.
Oleh karena itu proses belajar mengajar di kelas harus
dapat mengembangkan cara belajar siswa untuk mendapatkan, mengelola,
menggunakan dan mengkomunikasikan apa yang telah diperoleh dalam proses belajar
tersebut.
Guru dalam menyajikan bahan pelajaran (terutama berupa
konsep-konsep atau pengertian-pengertian yang esensial) harus mengikut sertakan
para siswanya secara aktif baik individual maupun kelompok.
Keaktifan siswa ini antara lain tampak dalam kegiatan
:
1.
Bebuat sesuatu untuk memahami
materi pelajaran dengan penuh keyakinan.
2.
Mempelajari, mengalami dan
menemukan sendiri bagaimana memperoleh situasi pengetahuan.
3.
Merasakan sendiri bagaimana
tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepadanya.
4.
Belajar dalam kelompok.
5.
Mencobakan sendiri konsep-konsep
tertentu.
6.
Mengkomunikasikan hasil pikiran,
penemuan, dan penghayatan nilai-nilai seseorang secara lisan atau penampilan.[68]
Dengan keaktifan siswa itu ada pada proses belajar
mengajar dengan pendekatan ketrampilan proses. Alasan pentingnya penggunaan
pendekatan ketrampilan proses dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
pendidikan agama Islam antara lain :
- Kecepatan perkembangan ilmu menuntut perubahan cara
mengajar guru-guru tidak mungkin lagi menjadi satu-satunya sumber belajar,
dengan menuangkan semua informasi dan konsep yang diperlukan. Guru
dituntut membimbing siswa untuk menemukan informasi dan konsep serta
selanjutnya mengulas perolehannya tersebut. Dengan kata lain pendekatan
menjejalkan “ikan” perlu diarahkan kepada pendekatan memberikan kail
kepada anak didik agar mampu mengail dan mendapatkan ikan sendiri
sepanjang hidupnya.
- Pada siswa lebih menghayati hal-hal yang dipelajari
melalui percobaan dan praktek langsung, melalui pengalaman lapangan,
melalui perlakuan terhadap keyataan wajar dalam lingkungannya, melalui
perlakuan terhadap benda-benda nyata, melalui kegiatan membaca dan
menyimak dan atau melalui penugasan melakukan kegiatan tertentu.
- Kreativitas siswa dibina dan dikembangkan secara
terus menerus, antara lain melalui latiha bertanya, berfikir kritis dan
mengupayakan berbagai kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah. Hal itu
dilakukan karena kreativitas adalah inti penyatukaitan demi hasil
pengembangan pengetahuan, ketrampilan, serta sikap dan nilai dapat
dipadukan dalam kegiatan belajar mengajar.
- Melalui pendekatan proses, perbedaan individu dapat
ditangani dalam kegiatan belajar mengajar.
- Melalui pendekatan ketrampilan proses, seluruh
citarasa (perasaan siswa terlibat dalam proses belajar mengajar dan sangat
membantu menyentuh perkembangan kehidupan siswa seutuhnya.[69]
Menurut Dimyati dan Mudjiono bahwa penetapan PKP dalam
kegiatan pembelajaran sangat perlu karena didasarkan pada hal-hal berikut :
- Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
percepatan perubahan IPTEK ini, tidak memungkinkan bagi guru bertindak
sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori-teori
untuk mengatasi hal ini perlu pengembangan ketrampilan memperoleh dan
memproses semua fakta, konsep, dan prinsip pada diri sendiri.
- Pengalaman intelektual, emosional, dan fisik
dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar yang optimal. Ini berarti
kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa
memperlihatkan unjuk kerja melalui sejumlah ketrampilan, memproses semua
fakta, konsep, dan prinsip sangat dibutuhkan.
- Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi
pencarian abadi kebenaran ilmu. Hal ini menuntut adanya pengenalan
terhadap tatacara pemprosesan dan pemerolehan kebenaran ilmu yang bersifat
kesementaraan. Hal ini akan mengarahkan siswa pada kesadaran keterbatasan
menusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan
keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.[70]
Sedangkan menurut Conny Semiawan dkk, alasan yang
melandasi perlunya diterapkan pendekatan ketrampilan proses dalam kegiatan
proses belajar mengajar setiap hari adalah :
- Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin
cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan
konsep kepada siswa. Jika guru masih bersikap “mau mengajarkan” semua
fakta dan konsep dari berbagai cabang ilmu, maka sudah jelas target itu
tak akan tercapai. Jika guru bersikeras pada sikap ini, maka satu-satunya
jalan pemecahan yang umum dilakukan ialah menjejalkan semua fakta dan
konsep itu kepada siswa. Dengan demikian guru akan bertindak sebagai
satu-satunya sumber informasi yang maha penting, karena terdesak waktu
untukmengejar pencapaian kurikulum maka guru akan memilih jalan yang
termudah, yakni menginformasikan fakta dan konsep melalui metode ceramah.
Akibatnya para siswa memiliki banyak pengetahuan tetapi tidak dilatihuntuk
menemukan pengetahuan, tidak dilatih menemukan konsep, tidak dilatih untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
- Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa
anak-anak mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika
disertai dengan contoh-contoh kongkrit, contoh yang wajar sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan mempraktekkan upaya penemuan
konsep melalui perlakuan terhadap kenyaatan fisik melalui penanganan
benda-benda yang benar nyata. Perkembangan fikiran (kognitif) anak
sesungguhnya dilandasi oleh gerakan dan perbuatan. Anak harus bergerak dan
berbuat sesuatu terhadap obyek yang nyata.
- Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak
benar seratus persen, penemuannya bersifat relatif. Suatu teori mungkin
terbantah dan ditolak setelah orang mendapatkan data baru yang mampu
membuktikan kekeliruan teori yang dianut. Muncul lagi teori baru, yang
pada prinsipnya mengandung kebenaran yang relatif. Semua konsep ditemukan
melalaui penyelidikan ilmiah yang masih tetap terbuka untuk dipertanyakan,
dipersoalkan dan diperbaiki. Jika kita hendak menanamkan sikap ilmiah yang
demikian dalam diri siswa, maka cara menuangkan informasi ke dalam otak
anak tidak sesuai dengan maksud pendidikan. Anak perlu dilatih untuk
selalu bertanya berfikir kritis dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan
jawaban terhadap satu masalah.
- Dalam proses belajar mengajar seyogyanya
pengembangan konsep tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai
dalam diri anak didik. Konsep di satu pihak serta sikap dan nilai dilain
pihak harus disatukaitkan. Jika yang ditekankan pengembangan tanpa
memadukannya dengan pengambangan sikap dan nilai, akibatnya adalah
intelektualisme yang “gersang” tanpa humanisme.[71]
Berdasarkan pendapat di atas dapatlah penulis
simpulkan alasan penggunaan pendekatan ketrampilan proses menjadi dua yaitu :
- Alasan secara umum. Pada abad ke-20 (duapuluh) ini
perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, sehingga dikenal dengan
istilah ledakan ilmu. Seluruh ilmu itu dikomunikasikan (dinampakkan)
melalui buku-buku, majalah-majalah, ceramah maupun diterapkan dalam
tekhnologi.
Dari sini timbullah pertanyaan dapatkah guru mengajar semua fakta itu
kepada anak didik selama mereka duduk dibangku sekolah ? tentunya jawabannya
adalah mustahil ilmu atau fakta sebanyak itu dapat dituangkan ke dalam otak
anak didik.
Salah satu alternatif yang paling tepat ialah mengajarkan kepada mereka
ketrampilan-ketrampilan proses keilmuan yang akan digunakan untuk mengembangkan
pengetahuan mereka. anak didik bukanlah suatu bejana yang harus diisi melainkan
sebuah lilin yang dinyalakan dan mereka sendiri akan terus menyala, anak didik
dibuat sebagai seorang ilmuawan.
Mereka akan mengembangkan pengetahuannya dengan menggunakan ketrampilan-ketrampilan
atau melalui proses yang biasa dilalui oleh para ilmuwan
- Alasan secara khusus (di Indonesia)
Pembaharuan pendidikan yang pernah dilakukan di Indonesia yang kemudian
menghasilkan kurikulum 1975 mengandalkan prosedur pengembangan sistem instruksional
(PPSI) dan model satuan pelajaran sebagai sistem pendekatannya kepada siswa
yang berorientasi pada tujuan semata-mata (yang penting tujuan tercapai) tanpa
mementingkan bagaimana cara atau proses siswa tersebut mencapai tujuan dan
bagaimana hasil tujuan tersebut. Pada hal proses pencapaian tujuan demikianpula
kelanjutan pencapaian tujuan merupakan dua hal yang sangat penting dalam
membentuk karakter haus ilmu dan pengembangan ilmu pada diri siswa.
Demikian pula prinsip CBSA yang sudah dicanangkan sejak lahirnya
kurikulum 1984 itu ternyata bisa dilaksanakan dengan baik, karena itulah maka
dalampembaharuan pendidikan berikutnya dirasa perlu adanya koreksi dan revisi
terhadap kelemahan-kelemahan di atas. Kedua orientasi yang tertinggal perlu
diperhatikan, demikian pula prinsip CBSA yang belum dilaksanakan secara
sempurna perlu disempurnakan.
[1]Zuhairini, et.al, Metodologi Pendidikan Agama,
Ramadlani, Solo, 1993, hlm. 124-125.
[2]Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,
Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 138.
[3]Zuharini, et.al, Op.cit, hlm. 126.
[4]Ibid, hlm.
134.
[5]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 88.
[6]Suryasubrata, Proses Belajar Mengajar di Sekolah,
Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 73.
[7]Dimyati dan Mudjiono, Op.cit, hlm. 142.
[8]Zuharini, et.al, Op.cit, hlm. 132.
[9]Suryasubrata, Op.cit, hlm. 74.
[10]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 133.
[11]Suryasubrata, Op.cit, hlm. 75.
[12]Syaiful Bahri Djamarah, Op.cit, hlm. 89-91.
[13]Wayan Nurkancana dan Sumartana, Evaluasi Pendidikan,
Usaha Nasional, Surabaya, 1986, hlm. 275.
[14]Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1997, hlm. 135.
[15]Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja
Rosda Karya, Bandung, 1997, hlm. 141.
[16]Gerungan, Psikologi Sosial, Eresco, Bandung,
1991, hlm. 149.
[17]M. Arifin, Psikologi Dakwah suatu Pengantar Studi,
Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 104.
[18]Abdul Rachman Abror, Psikologi Pendidikan,
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, hlm. 110.
[19]Gerungan, Op.cit, hlm. 151-152.
[20]Ibid, hlm.
150.
[21]Soerjana Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar,
Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 111.
[22]Gerungan, Loc.cit.
[23]Ngalim Purwanto, Op.cit, hlm. 141.
[24]Jalaluddin, Psikologi Agama, Cet. 3, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 196.
[25]Gerungan, Op.cit, hlm. 156.
[26]Solahuddin Mahfudh, Pengantar Psikologi Pendidikan,
Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 99.
[27]Mar’at, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 22-23.
[28]Ibid, hlm.
14.
[29]Mar’at, Op.cit, hlm. 26.
[30]Ibid, hlm.
27.
[31]Ibid, hlm.
103.
[32]Abdurrahman Abror, Op.cit, hlm. 111.
[33]Ngalim Purwanto, Op.cit, hlm. 142.
[34]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1989, hlm. 11.
[35]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989, hlm. 19.
[36]Zahra Idris, Dasar-dasar Kependidikan, Angkasa
Raya, Padang, 1981, hlm. 10-11.
[37]Zuhairini, et.al, Metodik Khusus Pendidikan Agama,
Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, 1983, hlm. 27.
[38]Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 4.
[39]Ahmad D. Marimba, Op.cit, hlm. 23.
[40]Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 1998, hlm. 181.
[41]Ahmad D. Marimba, Op.cit, hlm. 23-24.
[42]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 110.
[43]Ibid, hlm.
111.
[44]Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UUD dengan
Penjelasannya, Apollo, Surabaya, t.th, hlm. 9.
[45]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 21-23.
[46]Ibid, hlm.
19.
[47]Al-Qur’an, Surat At-Tahrim Ayat 6, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag.
RI, 1992, hlm. 951.
[48]Al-Qur’an, Surat Al-Imron Ayat 104, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag.
RI, 1992, hlm. 93.
[49]Al-Hadits, Shohih Bukhori, Jilid I, Darul Kutub
Al-Arabiyah, Kairo, t.th, hlm. 130.
[50]Zuhairini, et.al. Op.cit, hlm. 25.
[51]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan
Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 130.
[52]Al-Qur’an, Surat Adz-Dzariyah Ayat 56, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag.
RI, 1992, hlm. 862.
[53]Athiyah Al-Abrasyi, Op.cit, hlm. 1-2.
[54]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 45.
[55]Muhammad Daud Ali, Op.cit, hlm. 181-182.
[56]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 1991, hlm. 41.
[57]Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, PBM PAI di Sekolah
Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1998, hlm. 179.
[58]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 14.
[59]Ibid, hlm.
59.
[60]Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan
Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 131.
[61]Departemen Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Metodologi Pendidikan Agama Islam,
Jakarta, 2001, hlm. 19.
[62] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit, hlm.
197.
[63]Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, AK
Group dan Indra Buana, Yogyakarta, 1990, hlm. 251.
[64]Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, Op.cit,
hlm. 1.
[65]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit, hlm.
245.
[66]Zuhairini, et.al, Metodik Khusus Pendidikan Agama,
Op.cit, hlm. 154.
[67]Mansyur dan Moehammad, Evaluasi Pendidikan Agama,
Songo Abadi Inti, Jakarta, 1982, hlm. 1.
[68]Suryasubrata, Op.cit, hlm. 72.
[69]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 126.
[70]Dimyati Mudjiono, Op.cit, hlm. 138.
[71]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 127-128.
0 Response to "PENDEKATAN KETRAMPILAN PROSES"
Post a Comment