PENDEKATAN KETRAMPILAN PROSES

PENDEKATAN KETRAMPILAN PROSES, SIKAP BELAJAR DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


A.    Pendekatan Ketrampilan Proses

     1.      Pengertian Pendekatan Ketrampilan Proses (PKP)
Proses belajar mengajar selain mengacu pada hasil belajar hendaknya memperhatikan proses juga proses mendapatkan hasil belajarnya. Bagaimana cara belajar siswa dalam memperoleh, mengelola, menggunakan, menilai dan mengkomunikasikan hasil perolehannya. Jadi yang perlu disadari bahwa yang belajar adalah siswa, karenanya kepada mereka harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk aktif mendapatkan serta mengembangkan hasil perolehannya itu. Pendekatan ketrampilan proses adalah memandang siswa sebagia manusia seutuhnya. Cara memandang ini diterjemahkan dalam kegiatan belajar mengajar yang sekaligus memperhatikan pengembangan pengetahuan, sikap dan nilai serta ketrampilan. Ketiga itu menyatu dan tampil dalam bentuk kreativitas.
Pendekatan ketrampilan proses dilaksanakan dengan menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa mengelola perolehannya, sehingga menjadi miliknya, dipahami, dimengerti, dan dapat diterapkan sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat sesuai kebutuhannya.
Yang dimaksud dengan perolehannya adalah hasil belajar siswa dari pengelolaan dan pengamatan lingkungan yang diolah menjadi suatu konsep yang diperoleh dengan cara belajar siswa aktif melalui ketrampilan proses.
Jadi dengan demikian pendekatan ketrampilan proses adalah suatu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berorientasi tidak saja kepada pencapaian tujuan, akan tetapi lebih berorientasi kepada proses yang dilalui oleh siswa dalam mencapa tujuan tersebut, yang selanjutnya mampu mengelola atau mengembangkan perolehannya tersebut. Orientasi yang dipahami dalam pendekatan belajar ini terdiri atas tiga bagian utama :
1.      Pencapaian tujuan (hasil belajar)
2.      Cara mencapai tujuan (proses memperoleh hasil belajar)
3.      Mampu mengelola tujuan yang sudah dicapai (mampu mengembangkan yang sudah dicapai dalam kondisi baru).[1]
Sedangkan dalam buku belajar dan pembelajaran karangan Dimyati dan Mudjiono, menyatakan bahwa pendekatan ketrampilan proses diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembagan ketampilan-ketrampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa.[2]
Dari batasan pendekatan ketrampilan proses tersebut memperoleh suatu gambaran bahwa pendekatan ketrampilan proses bukanlah tindakan instruksional yang berada di luar kemampuan siswa, justru pendekatan ketrampilan proses dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Dalam pendekatan ketrampilan proses menghendaki agar konsep-konsep yang diharapkan dapat diperoleh dari proses belajar mengajar yang tidak didapatkan secara langsung dalam dalam bentuk jadi, tetspi siswa diharapkan dapat mengelola sendiri bahan-bahan penyusun konsep itu dapat ditemukan sendiri melalui interaksi dengan obyek belajar atau interaksi siswa dengan guru.
Interaksi siswa dengan obyek belajar memberikan konsekwensi keterlibatan pengindraan siswa, sedangkan interaksi siswa dengan guru memberikan konskwensi terbentuknya petunjuk-petunjuk atau harapan-harapan dari guru kepada siswa dalam rangka mewujudkan bangun konsep (ilmu).
Prinsip ketrampilan proses sekaligus dikembangkan sikap-sikap, misalnya teliti, kreatif, tekun mengerjakan tugas, terbuka, mau bekerjasama, kritis, bertanggung jawab, rajin, lebih mengutamakan kepentingan umum, jujur, disiplin dan asli. Sikap-sikap yang dikembangkan sesuai dengan penekanan mata pelajaran atau bidang pengembangan yang bersangkutan, sedangkan konsep-konsep yang hendak ditemukan dan dikembangkan adalah konsep-konsep dalam mata pelajaran atau bidang pengembangan yang bersangkutan.[3]
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uaraian tentang pendekatan ketrampilan proses ini adalah :
a.       Pendekatan ketrampilan proses sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan bagi diri siswa.
b.      Fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan pula menunjang pengembangan ketrampilan proses pada diri siswa.
c.       Interaksi antara pengembangan ketrampilan proses dengan fakta, konsep, serta prinsip ilmu pengetahuan, pada akhirnya akan mengembangkan sikap dan nilai ilmuwan pada diri siswa.
2.      Tujuan Pendekatan Ketrampilan Proses
Tujuan dari ketrampilan proses adalah mengembangkan kreativitas anak didik dalam belajar, sehingga anak didik secara aktif dapat mengembangkan dan menerapkan kemampuan-kemampuannya.[4]
3.      Asas Pelaksanaan Pendekatan Ketrampilan Proses
Dalam pelaksanaan ketrampilan proses perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.       Harus sesuai dan selalu berpegang pada tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran.
b.      Harus berpegang pada dasar pemikiran bahwa semua anak didik mempunyai kemampuan (potensi) sesuai dengan kodratnya.
c.       Harus memberikan kesempatan, dorongan dan penghargaan kepada anak didik untuk mengungkapkan perasaan dari pikiran mereka.
d.      Semua pembinaan harus berdasarkan pengalaman belajar anak didik.
e.       Perlu pengupayakan agar pembinaan mengarah pada kemampuan anak didik untuk mengalah hasil temuannya.
f.       Harus berpegang pada prinsip “Tut Wuri Handayani”.[5]
4.      Langkah-langkah Pelaksanaan Ketrampilan Proses
a.       Pemanasan (apersepsi)
Tujuan dari kegiatan itu untuk mengarahkan siswa pada pokok permasalahan agar siswa siap, baik secara mental, emosional maupun fisik. Kegiatan ini antara lain dapat berupa :
1)      Pengulasan langsung pengalaman yang pernah dialami siswa ataupun guru.
2)      Pengulasan bahan pengajaran yang pernah dipelajari pada waktu sebelumnya.
3)      Kegiatan-kegiatan yang menggugah dan mengarahkan perhatian siswa antara lain meminta pendapat atau saran siswa, menunjukkan gambar, slide, film atau benda lain.
b.      Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar hendaknya selalu mengikatkan siswa secara aktif guna mengambangkan kemampuan-kemampuan siswa antara lain kemampuan mengamati, menginterpretasikan, meramalkan, mengaplikasikan konsep, merencanakan dan melaksanakan penelitian serta mengkomunikasikan hasil penemuannya.
1)      Pengamatan
Tujuan kegiatan ini untuk melakukan pengamatan yang terarah tentang gejala atau fenomena sehingga mampu membedakan yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan. Yang dimaksud pengamatan disini adalah penggunaan indra secara optimal dalam rangka memperoleh informasi yang memadai. Untuk itu perlu ditingkatkan peragaan melalui gambaran ataupun bagan dan membatasi peragaan dengan kata-kata.[6]
Dalam buku belajar dan pembelajaran karya Dimyati dan Mudjiono mengamati memiliki dua sifat utama, yakni sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Mengamati bersifat kualitatif apabila dalam pelaksanaanya hanya menggunakan panca indera untuk memperoleh informasi, contoh kegaiatan mengamati yang bersifat kualitatif ialah menentukan warna (penglihatan), mengenali suara jangkrik (pendengaran), membandingkan rasa manis gula dengan sakarin (pengecap), menentukan kasar halus suara objek (perabaan), membedakan bau jahe dan bau lengkuas (penciuman).
Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam pelaksanaannya selain menggunakan panca indra, juga menggunakan peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan tepat. Contoh kegiatan  mengamati yang kuantitatif  ialah menghitung panjang ruangan kelas dengan satuan ukuran tegel, menentukan suhu air yang mendidih dengan bantuan termometer, membedakan luas daerah satu dengan daerah lain, dan kegiatan lain yang sejenis.[7]
2)      Interpretasi hasil pengamatan
Interpretasi hasil pengamatan adalah kemampuan menafsirkan sesuatu benda, kenyataan, peristiwa, konsep data atau informasi yang telah didekati atau dikumpulkan melalui pengamatan, perhitungan, penelitian sederhana atau ekspedisi. Yang tercakup dalam ketrampilan ini adalah mencakup kemampuan menafsirkan, memberi arti atau mengartikan, menemukan pola dan menarik kesimpulan.
Memberikan arti atau mengartikan adalah merumuskan pengertian berdasarkan penalaran terhadap data fakta atau pengalaman yang dimiliki. Menggeneralisasikan adalah menarik kesimpulan umum melalaui serangkaian induktif salah satu bentuknya adalah membuat definisi.[8]
3)      Peramalan
Hasil intepretasi dari suatu pengamatan kemudian digunakan untuk meramalkan atau memperkirakan kejadian yang belum diamati atau akan datang. Ada perbedaan antara ramalan dan terkaan, ramalan didasarkan atas hubungan logis dari hasil pengamatan yang telah diketahui, sedangkan terkaan kurang didasarkan pada hasil pengamatan.
4)      Aplikasi Konsep
Yang dimaksud aplikasi konsep adalah menggunakan konsep yang telah diketahui atau dipelajari dalam situasi baru atau dalam menyelesaikan masalah, misalnya memberikan tugas mengarang tentang suatu masalah yang dibicarakan dalam mata pelajaran lain.[9]
5)      Perencanaan Penelitian
Ketrampilan ini adalah sangat penting karena dapat menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian. Hal ini anak didik perlu dilatih karena selama ini pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang dibina, pada awalnya ditentukan obyek, tujuan, ruang lingkup, sumber data, cara menganalisis, alat dan bahan sumber kepustakaan, pengumpulan dan pengolahan data lalu cara melakukan penelitian.[10]
6)      Pelaksanaan Penelitian
Tujuan dari kegiatan ini adalah agar siswa lebih memahami pengaruh variabel yang satu pada variabel yang lain. Cara belajar yang mengasyikkkan akan terjadi dan kreativitas siswa akan terlatihkan.
7)      Komunikasi
Kegiatan ini bertujuan mengkomunikasikan proses dan hasil penelitian kepada berbagai pihak yang berkepentingan, baik dalam bentuk kata-kata, grafik, bagan maupun tabel, secara lesan dan tertulis.[11]
c.       Penutup
1)      Mengkaji ulang kegiatan yang dilaksanakan dan merumuskan hasil yang diperoleh melalaui kegiatan tersebut.
2)      Mengadakan tes akhir.
3)      Memberikan tugas-tugas lain.
5.      Bentuk Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan ketrampilan proses dapat dilaksanakan dengan bentuk-bentuk berikut :
a.       Mengamati
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses :
1)      Melihat.
2)      Mendengarkan.
3)      Merasa (kulit meraba).
4)      Mencium atau membau.
5)      Mencicip atau mengecap.
6)      Mengukur.
7)      Mengmpulkan data atau informasi.
b.      Mengklasifikasikan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses :
1)      Mencari persamaan, menyamakan.
2)      Mencari perbedaan, membedakan.
3)      Membandingkan.
4)      Mengontraskan.
5)      Menggalangkan, mengelompokan.
c.       Menafsirkan (menginterpretasikan)
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses :
1)      Menafsir.
2)      Memberi arti, mengaitkan.
3)      Menarik kesimpulan.
4)      Membuat inferensi.
5)      Menggeneralisasikan.
6)      Mencari hubungan antara dua hal (misalnya ruang dan waktu).
7)      Menemukan pola.
d.      Meramalkan (Memprediksikan)
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses : mengantisipasi (berdasarkan kecenderungannya atau pola hubungan antara data atau hubungan antara informasi.
e.       Menerapkan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses :
1)      Menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep, hukum teori, sikap, nilai atau ketrampilan dalam situasi baru atau situasi lain).
2)      Menghitung.
3)      Mendeteksi.
4)      Menghubungkan konsep.
5)      Memfokuskan pertanyaan penelitian.
6)      Menyusun hipotesis.
7)      Membuat model.
f.       Merencanakan Penelitian
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses :
1)      Menentukan masalah atau obyek yang akan diteliti.
2)      Menentukan tujuan penelitian
3)      Menentukan ruang lingkup penelitian
4)      Menentukan sumber data atau informasi
5)      Menentukan cara analisis
6)      Menentukan langkah-langkah untuk memperoleh data informasi
7)      Menentukan alat atau bahan dan sumber kepustakaan
8)      Menentukan cara melakukan penelitian.
g.      Mengkomunikasikan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses :
1)      Berdiskusi.
2)      Mendeklamasikan.
3)      Mendramakan.
4)      Bertanya.
5)      Mengarang.
6)      Memeragakan.
7)      Mengekspresikan dan melaporkan dalam bentuk lisan, tulisan, gambar atau penampilan.[12]

B.     Sikap Belajar
Masalah sikap adalah merupakan masalah yang terdapat pada lapangan ilmu jiwa atau psikologi, baik dalam psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi perkembangan dan psikologi kepribadian. Manusia dalam menghadapi sesuatu masalah itu antara yang satu dengan yang lainnya mempunyai sikap yang berbeda, walaupun masalah yang dihadapi sama, namun ketika manusia menghadapinya dengan sikap yang tidak sama. Ada yang bersikap masalah itu baik dan ada yang bersikap masalah itu buruk.
1.      Pengertian Sikap
Dalam buku “Evaluasi Pendidikan” karya Wayan Nurkandana dan Sumartana, sikap dapat didefinisikan sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan untuk melakukan suatu respon dengan cara-cara tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun obyek-obyek tertentu.[13]
Sikap ini akan memberikan arah suatu perbuatan atau suatu tindakan, tapi dalam hal ini tidak berarti bahwa semua tindakan atau perbuatan seseorang itu sama dengan sikap yang ada padanya, mungkin ada sesuatu tindakan atau perbuatan itu tidak sama dengan sikap yang sebenarnya.
Dari buku “Psikologi Pedidikan dengan Pendekatan Baru” sikap adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (response tendensy) dengan cara yang relatif tetapi terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.[14]
Menurut pengertian di atas, maka sikap ini ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Sikap siswa yang positif, misalnya kecenderungan tindakannya adalah memperhatikan, mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu dan menerima. Adapun sikap positif ini mengharapkan sesuatu yang diinginkan sesuai dengan obyek yang ada dan ia tidak akan menolak, selalu menerima. Sebaliknya sikap siswa yang negatif kecenderungan tindakannya adalah tidak memperhatikan, menjauhi, membenci, tidak mengharapkan sesuatu yang diinginkan sesuai sesuai dengan obyek yang ada dan ia akan menolak. Semua itu dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Adapaun sikap negatif ini, baik mengharapkan sesuatu yang diingini sesuai dengan obyek yang ada dan ia akan menolakdan tidak ingin menerima.
Menurut Ngalim Purwanto, dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Pendidikan” menjelaskan bahwa sikap atau dalam bahasa Inggris disebut attitude adalah sesuatu cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi, baik mengenai orang, benda-benda atau situasi-situasi yang mengenai dirinya.[15]
Selanjutnya menurut Gerungan, menjelaskan bahwa sikap atau attitude merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap obyek tadi itu.[16]
Kemudian dalam buku “Psikologi Dahwah” karya M. Arifin, Charles Bird mengartikan sikap sebagai suatu yeng berhubungan dengan penyesuaian diri seseorang kepada aspek-aspek lingkungan sekitar yang dipilih atau kepada tindakannya sendiri. Bahkan lebih luas lagi, sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan jiwa atau orientasi kepada suatu masalah, institusi dan orang-orang lain.[17]
Sedangkan dalam arti yang sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Definisi-definisi sikap yang dikemukakan para ahli di atas pada umumnya memliki kesamaan walaupun diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Kesamaan tersebut adalah adanya reaksi dan obyek dari sikap. Jadi pada dasarnya sikap merupakan reaksi yang ditujukan seseorang terhadap suatu obyek yang ada di sekitarnya.
Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecenderungan siswa itu bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan sikap belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan bara yang telah berubah (lebih maju atau lebih mundur) terhadap suatu obyek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya.
Dari berbagai pengertian tentag sikap di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan sikap adalah sesuatu tindakan atau tingkah laku sebagai reaksi atau respon terhadap suatu rangsangan atau stimulus yang disertai suatu pendirian atau perasaan. Dalam beberapa hal, keberadaan sikap merupakan penentu dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi sikap, maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang atau tidak senang, menerima atau menolak, mendekati atau menjauhi dan sebagainya. Maka tiap-tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap suatu stimulus yang sama.
2.      Ciri-ciri Sikap dalam Belajar
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan obyek yang dihadapi, dengan demikian attitude atau sikap itu senantiasa terarah terhadap suatu obyek. Tidak ada sikap tanpa obyek.
Sikap atau attitude berbeda dengan motif, kalau motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu sedangkan sikap merupakan pandangan atau perasaan terhadap suatu obyek. Untuk membedakan antara dorongan dengan sikap itu, berikut ini penulis akan mengemukakan tentang ciri-ciri sikap.
Adapun ciri-ciri sikap menurut Sarlito Wirawan Sarwana adalah  sebagai berikut :
a.       Dalam sikap selalu terdapat hubungan subyek-obyek. Jadi tak mungkin ada sikap tanpa ada obyek (benda, orang, sekelompok orang, nilai-nilai sosial, pandangan hidup dan sebagainya).
b.      Sikap bukan bersifat bawaan, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dialami sepanjang hayatnya.
c.       Karena sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan dan keadaan fisik, jiwa atau emosi yang bersangkutan.
d.      Dalam sikap tersangkut tiga komponen yang menandai sikap yang dipelajari, sebagai keadaan-keadaaan internal.
e.       Sikap tidak menghilangkan sekaligus kebutuhan sudah dipenuhi.
f.    Sikap itu bersifat majemuk sesuai dengan banyaknya obyek yang dihadapi.[18]
Menurut Gerungan, ciri-ciri attitude atau sikap adalah :
a.   Attitude bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan obyeknya.
b.   Attitude dapat berubah-ubah, karena itu attitude dapat dipelajari seseorang atau sebaliknya, attitude-attitude dapat dipelajari, karena itu attitude dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya attitude pada orang itu.
c.   Attitude itu tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, attitude dapat dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
d.      Obyek attitude itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi juga dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut, jadi attitude itu dapat berkenaan dengan satu obyek saja, tetapi juga berkenaan dengan sederetan obyek-obyek yang serupa.
e.       Attitude mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membedakan attitude dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.[19]
Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut :
a.       Sikap selalu terdapat hubungan subyek-obyek.
b.      Sikap tidak dibawa sejak lahir.
c.       Sikap dapat dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan keaadaan lingkungan.
3.      Macam-macam Sikap dalam Belajar
Manusia itu tidak dilahirkan dengan sikap pandangan ataupun sikap perasaan tertentu, tetapi sikap-sikap tersebut dibentuk sepanjang perkembangan. Perasaan sikap di dalam kehidupan manusia adalah besar, sebab apabila sudah dibentuk pada diri manusia, maka sikap-sikap itu akan turut menentukan cara-cara bertingkah laku terhadap obyek-obyek sikapnya. Adanya sikap-sikap menyebabkan bertindak secara khas terhadap obyek-obyeknya.
Maka dari situ sikap dapat dibedakan ke dalam sikap sosial dan sikap individual.
a.       Sikap sosial
Dalam buku “Psikologi” karya Gerungan, attitude sosial dirumuskan sebagai berikut “Suatu attitude sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial. Attitude sosial menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap obyek sosial, dan biasanya attitude sosial itu dinyatakan tidak hanya oleh seseorang saja, tetapi juga oleh orang-orang lain yang sekelompok atau semasyarakat.[20]
Sikap sosial itu sebelumnya selalu didahului oleh suatu cara kelompok orang yang mana antara orang yang satu dengan orang yang lainnya saling mengadakan hubungan sehingga timbullah sikap sosial. Di dalam memberikan reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan yang ada pada orang lain. Karena sejak lahir manusia sudah mempunyai keinginan pokok yaitu untuk hidup bermasyarakat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Soerjana Soekamto, yaitu :
1)      Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat).
2)      Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.[21]
Agar manusia dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut, maka manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya, manusia mampu untuk hidup berkelompok dan di dalam kelompok itu akan mengakibatkan timbulnya sikap sosial sebagai suatu yang dipegangi.
Sikap sosial juga menyebabkan terjadinya tingkah laku yang khas dan berulang-ulang terhadap obyek sosial. Oleh karena itu sikap sosial merupakan suatu faktor penggerak di dalam pribadi individu untuk bertingkah laku secara tertentu, sehingga sikap sosial dan sikap pada umumnya itu mempunyai sifat dinamis yang sama yaitu merupakan salah satu penggerak intern di dalam pribadi orang yang mendorongnya berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
b.      Sikap individual
Sikap individual adalah sikap yang dimiliki oleh seseorang demi seseorang saja dan merupakan sikap yang berkenaan dengan obyek-obyek yang bukan merupakan obyek perhatian sosial.[22] Memang dilihat dari namanya saja individual, yaitu perseorangan, maka sikap ini hanya dimiliki oleh seseorang. Apabila beberapa orang dihadapkan pada suatu obyek sikap yang sama, maka orang tadi dapat disatukan. Sebaliknya apabila beberapa orang dihadapkan pada satu obyek sikap yang berbeda, maka orang tadi tidak dapat disatukan. Apabila seseorang tadi suatu lingkungan yang jauh berbeda. Ini sudah barang tentu sikapnya akan berbeda pula.
Di samping ada sikap sosial dan sikap individual, maka sikap itu juga ada yang bersikap menuju kepada kebaikan dan ada juga yang bersikap untuk menuju kepada keburukan. Dalam hal ini pada pokoknya sikap dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.       Sikap yang bersifat positif
Mengenai sikap yang bersifat positif, maka tindakan yang ditampakkan oleh seseorang dalam berbuat adalah cenderung berbuat yang mendekati, menyenangkan, mengharapkan obyek tertentu. Ini mengandung arti bahwa orang itu selalu menerima dan mengakui terhadap obyek yang ada dan orang tadi tetap tidak akan menolak.
b.      Sikap yang bersifat negatif
Mengenai sikap yang bersifat negatif, maka tindakan yang ditampakkan oleh seseorang dalam berbuat adalah cenderung berbuat untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai obyek tertentu. Jadi sikap yang bersifat negatif itu selalu menjauhi, menolak dan kadang-kadang sampai membenci terhadap obyek tertentu.
4.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap dalam Belajar
Pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu, yaitu melalui kontak sosial yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, individu dengan lingkungan dan lain-lain sekitarnya. Sikap mempunyai peranan yang penting dalam interaksi manusia. Jadi adanya proses sosialisasi dari individu dalam kehiduapan bermasyarakat itu sebagian besar adalah terdiri atau terbentuk dari sikap-sikap sosial yang ada pada dirinya. Mengenai pembentukan sikap atau attitude itu ada beberapa faktor yang turut mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yaitu :
a.       Faktor intern
Faktor intern adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan. Seseorang tidak dapat menangkap seluruh rangsangan dari luar melalui persepsinya. Oleh sebab itu, melalui sekitarnya dia harus memilih stimulus mana yang akan menjauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada dirinya, karena harus memiliki inilah maka seseorang membentuk sikap positif terhadap sesuatu hal dan menyusun sikap negatif terhadap lainnya.
Dalam hal ini faktor intern yang terdapat dalam diri manusia yaitu perasaan sebagai suatu hal yang mempengaruhi sikap. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Robert Ellis, yang dikuti oleh Ngalim Purwanto dalam buku “Psikologi Pendidikan” bahwa yang memegang peranan penting dalam sikap ialah faktor perasaan dan emosi.[23]
Dari keterangan di atas, dapat dimengerti bahwa sikap seseorang itu sangat dipengaruhi oleh perasaannya, karena seseorang akan bertindak pada mulanya sudah memiliki suatu rencana dari dalam dirinya baik rencanya dilaksanakan atau tidak namun di dalam hatinya sudah memiliki kehendak untuk bersikap, untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu tujuan. Suatu tujuan itu (belajar) akan sangat ditentukan oleh faktor dari dalam diri seseorang itu.
b.      Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu (luar diri seseorang). Adapun faktor-faktor ekstern yang ikut menentukan sikap itu antara lain :
1)   Faktor penguat (reinforcement)
2)   Komunikasi persuasif
3)   Harapan yang diinginkan.[24]
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gerungan, faktor-faktor ekstern yang turut mempengaruhi terbentuknya sikap adalah ; “Dalam pembentukan dan perubahan attitude selain dari faktor-faktor intern maka yang turut menentukannya juga ialah, antara lain, sifat, isi pandangan baru yang diberikan itu, siapa yang mengemukakannya dan siapa yang menyokong pandangan baru tersebut, dengan cara bagaimana pandangan itu diterangkan, dan dalam situasi bagaimana attitude baru itu diperbindangkan (situasi interaksi kelompokkah, situsi orang sendiriankah dan lain-lain)”.[25]
Sementara itu, menurut penelitian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan karena keberadaannya dapat mempengaruhi seseorang. Hal tersebut adalah :
a.       Sikap merupakan hasil belajar
Sebagai hasil belajar, sikap telah diperoleh melalui pengalaman yang mempunyai unsur-unsur emosional, seringkali unsur-unsur sikap itu melalui proses interaksi sejak seseorang masih kecil.
b.      Sikap itu mempunyai unsur yang bersikap perseptual dan afektif
Maksudnya bahwa sikap itu bukan saja menentukan hal-hal apa yang diamati oleh seseorang, melainkan juga bagaimana cara ia mengamatinya. Seorang murid yang memiliki sikap negatif terhadap seseorang guru misalnya, sikap yang demikian itu pada dasarnya telah diperoleh dari orang tuanya atau dari temannya, lingkungan dan lain sebagainya. Bila anak itu telah memiliki sikap negatif terhadap gurunya maka gerak-gerik guru yang terlihat oleh anak itu akan ditafsirkan negatif pula. Dan sikap itu bukan saja diperoleh melalui proses imitasi, melainkan juga dari pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan.
c.       Sikap mempengaruhi pengajaran lainnya
Apabila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap gurunya, maka siswa tersebut akan senang terhadap pengajaran yang disampaikan oleh guru tersebut, situasi ini akan memberi jalan kearah pengalaman belajar yang sukses.[26]



5.      Komponen Sikap
Sebagai suatu reaksi terhadap suatu stimulus, sikap terdiri dari tiga kemampuan yang saling berkaitan satu sama lain. Ketiga komponen tersebut adalah kemampuan kognisi (cognitif component), kemampuan afeksi (affective component) dan kemampuan konasi (behavioral component).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa komponen kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang obyek atau stimulus yang dihadapinya. Komponen ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan apa yang dipikirkan atau yang dipersepsikan tentang obyek tersebut. Dengan komponen kognisi ini seseorang seseorang memberikan penilaian itu dengan sikap positif, jika dia menganggap bahwa obyek tersebut berguna maka dia mau menerimanya. Sebaliknya bila dia menganggap bahwa obyek tersebut tidak berguna, maka sikap negatiflah yang muncul.
Sementara itu komponen afeksi adalah komponen sikap yang meyangkut kehidupan emosional. Ia akan menjawab pertanyaan apa yang dirasakan seseorang tentang obyek atau stimulus yang datang kepadanya. Dengan komponen ini individu memberikan penilaian terhadap obyek psikologis berdasarkan emosinya sehingga menimbulkan perasaan senang atau tidak senang.
Adapun komponen konasi merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku. Komponen ini akan menjawab pertanyaan bagaimana persiapan atau kesediaan untuk bertindak terhadap obyek atau stimulus. Dengan demikian apa yang dipikirkan oleh komponen kognisi dan apa yang dirasakan komponen afeksi akan menentukan bagaimana komponen konasi mewujudkannya dalam perilaku yang nyata.
Masing-msing kemampuan tersebut di atas tidak dapat berdiri sendiri namun merupakan sesuatu yang saling berinteraksi secara kompleks. Mar’at menggambarkan keterkaitan ketiga komponen tersebut sebagai berikut :
“Manusia mengamati suatu obyek psikologik dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh penilaian kepribadiannya. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap obyek psikologik tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai akan timbul ide kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap obyek tersebut. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosionalnya sehingga timbullah rasa senang atau tidak senang. Pada tahap selanjutnya, berperan komponen konasi yang akan menentukan kesediaan atau kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap obyek tersebut”.[27]
Walaupun ketiga komponen tersebut tidak bersiri sendiri, namun demikian komponen kognisi lebih dominan dalam pembentukan sikap seseorang. Ini berarti sikap individu terhadap suatu obyek tertentu banyak ditentukan oleh daya yang dimilikinya dan pengalaman yang berhubungan dengan obyek tersebut di samping adanya konsep yang jelas tentang obyek berikut. Oleh sebab itu pada individu yang tingkat kecerdasannya rendah dan kurang memiliki daya penalaran yang baik serta dalam evaluasinya pun kurang adanya kehalusan, maka cenderung mengakibatkan tingkah laku yang kurang serasi.[28]
6.   Perubahan Sikap dalam Belajar
Sebagaimana diungkapkan di muka, komponen afektif dari sikap yang menjadi penekanan disini menghsilkan perasaan senang atau tidak senang terhadap stimulus yang datang pada seseorang. Jika stimulus itu dihayati sebagai suatu yang berharga, maka timbul perasaan yang senang. Sebaliknya jika stimulus tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak berharga, maka akan timbul perasaan tidak senang.
Obyek yang dinilai dan dihayati oleh seseorang siswa di sekolah adalah keseluruhan pengalaman belajar yang dialaminya, termasuk masing-masing bidang studi bersama dengan tenaga pengajarnya. Perasaan-perasaan senang yang dimiliki siswa tersebut sangat berperan terhadap gairah dan semangat belajarnya. Penilaian secara spontan melalui perasaan inilah yang berperan sebagai komponen afektif dalam pembentukan sikap. Dengan demikian menjadi tugas gurulah untuk merubah sikap yang tidak senang dan mempertahankan atau meningkatkan sikap siswa yang sudah senang.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sikap seseorang itu dapat berubah atau diubah. Salah satu teori yang membahas tentang perubahan sikap adalah teori stimulus-respon dan reinforment (penguatan).[29] Teori ini menitik beratkan pada penyebab yang dapat merubah pada penyebab yang dapat merubah sikap seseorang yaitu tergantung kualitas rangsang yang berkomunikasi dengan organisme karakteristik dari komunikator (sumber) menentukan keberhasilan pengubahan sikap tersebut seperti kredibilitasnya, kepemimpinannya dan gaya komunikasinya.
Teori ini beranggapan bahwa proses dari perubahan sikap adalah serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap ada tiga variabel penting yang menunjang proses belajar tersebut, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan. Ketiga variabel tersebut prosesnya tergantung pada proses yang terjadi pada individu. Hal ini dapat dilakukan sebagai berikut :
a.       Stimulus yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau dapat ditolak, maka proses selanjutnya terhenti. Ini berarti bahwa stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi organisme, maka tidak ada komunikasi perhatian (attention) dari organisme. Dalam hal ini stimulus adalah efektif dan ada korelasi.
b.      Langkah selanjutnya juga stimulus telah mendapat perhatian dari organisme, inilah yang dapat melanjutkan ke proses selanjutnya, yaitu :
c.       Organisme dapat menerima secara baik apa yang telah diolah sehingga dapat terjadi kesediaan untuk memperoleh sikap.[30]
Dalam proses perubahan ini terlihat bahwa sikap dapat berubah hanya jika stimulus yang diberikan benar-benar melebihi stimulus yang sebelumnya. Dalam hal ini penguatan stimulus awal sehingga dapat terjadi perubahan. Dalam memberikan penguatan dan menyakinkan organisme, maka faktor komunikasi sangat penting, dan komunikasi yang efektif tergantug dari aspek-aspek sebagai berikut :
a.       Sumber komunikasi (source of comunication) atau sender yang memberikan informasi.
b.      Informasi sendiri disebut massage.
c.       Saluran yang menyampaikan “massage” ini disebut comunication channel.
d.      Subyek yang menerima massage ini disebut receiver (penerimaan).[31]
Berdasarkan teori-teori tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa guru sebagai seorang komunikator yang berusaha mentransfer apa yang diajarkannya kepada siswanya harus memiliki kepribadian yang dapat “digugu dan ditiru” agar komunikasinya efektif. Hal ini karena ketika seorang komunikator berkomunikasi yang berpengaruh bukan saja dikatakan, tetapi juga keadaan dia sendiri.
Sementara itu menurut Sarlito Wiraman Sarwana, sikap itu dapat dibentuk atau diubah melalui empat macam cara, yaitu :
a.   Adopsi
Kejadian yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap.
b.      Diferensiasi
Dengan perkembangan intelegensi, bertambahnya pengalaman sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, kini pandangan tersendiri, lepas dari jenisnya. Terdapat sikap tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula.

c.       Integrasi
Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman dan informasi yang berhubungan dengan suatu hal tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d.      Trauma
Trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Jadi pengalaman-pengalaman yang traumatis juga mengakibatkan timbulnya sikap.[32]
Ada lain lagi faktor-faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan sikap anak-anak yang perlu diperhatikan di dalam pendidikan ialah “kematangan (maturation) keadaan fisik anak, pengaruh keluarga, lingkungan sosial, kehidupan sekolah, di bioskop, guru, kurikulum sekolah dan cara guru mengajar.[33]
Sehubungan dengan teori-teori di atas, maka sangatlah penting bagi seorang guru untuk memperhatikan hal-hal yang menyebabkan terbentuknya atau berubahnya suatu sikap. Dngan demikian diharapkan guru tersebut akan dapat membimbing dan mengarahkannya siswanya kepada sikap yang positif baik terhadap dirinya maupun terhadap pelajaran yang diajarkannya.

C.    Pendidikan Agama Islam
Bahwa suatu kewajiban bagi setiap manusia adalah melaksanakan pendidikan agama Islam baik sebagai subyek maupun obyek. Sebab dengan pendidikan agama Islam inilah manusia dapat mengerti hal-hal yang diperintahkan dan yang dilarang, sehingga manusia itu menjadi taat kepada Tuhannya. Dengan ketaatannya itu dia akan berbuat kebaikan dan meninggalkan kejelekan di dunia, dalam rangka mengabdi kepada Tuhan supaya tercapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Sebelum mendefinisikan pengertian pendidikan agama Islam terlebih dahulu dikemukakan beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memahami pengertian pendidikan agama Islam tersebut.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[34]
Ahmad D. Marimba memberikan pengertian pendidikan sebagai berikut : “Bimbingan atau pimpinan scara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[35]
Sedangkan menurut Zahara Idris, menjelaskan bahwa :
“Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin agar menjadi manusia yang bertanggung jawab. Potensi disini ialah potensi fisik, emosi sosial, sikap, moral, pengetahuan dan ketrampilan”.[36]

Dari pengertian di atas penulis dapat simpulkan bahwa pendidikan adalah proses bimbingan atau pimpinan secara sadar terhadap potensi-potensi jasmani dan rohani si terdidik untuk mempersiapkan kehidupan yang mulia, menuju terbentuknya kepribadian uatama yang tercermin dalam berfikir, bersikap, dan bertingkah laku sehari-hari.
Setelah diketahui definisi pendidikan, selanjutnya penulis akan menyampaikan definisi-definisi pendidikan agama Islam. dalam hal ini akan penulis kemukakan beberapa pendapat yang disampaikan oleh para ahli, di antaranya adalah :
a.       Zuhairini, memberikan pengertian pendidikan agama Islam yaitu “usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.[37]
b.      Athiyah Al-Abrasyi dalam buku “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam” menjelaskan bahwa : Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, dimana ilmu diajarkan karena ia mengandung kelezatan-kelezatan rohaniah, untuk dapat sampai kepada hakekat ilmiah dan akhlak yang terpuji.[38]
c.       Ahmad D. Marimba, yang dimaksud pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[39]
d.      Menurut Muhammad Daud Ali, yang dimaksud dengan pendidikan agama Islam adalah “Proses penyampaian informasi dalam rangka pembentukaan insan yang beriman dan bertaqwa agar manusia menyadari kedudukan, tugas dan fungsinya di dunia ini baik sebagai abdi maupun sebagai kholifah-Nya di bumi, dengan selalu taqwa dalam makna memelihara hubungan dengan Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan alam sekiratnya serta bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia (termasuk dirinya sendiri) dan lingkungan hidupnya.[40]
Sedangkan yang dimaksud dengan kepribadian yang utama adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab ssuai dengan nilai-nilai Islam.[41]
e.       Utsman Said yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam buku “Ilmu Pendidikan” menjelaskan bahwa pendidikan agama Islam ialah segala usaha untuk membentuk, membimbing dan menuntun rohani jasmani seseorang menurut ajaran Islam.[42]
f.       Abdul Rahman Shaleh yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, menjelaskan bahwa pendidikan agama Islam ialah segala usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam.[43]
Dari beberapa pendapat tersebut jelaslah kiranya bahwa pendidikan agama Islam ialah merupakan suatu usaha untuk membimbing dan mengasuh terhadap anak didik agar memahami dan meyakini serta mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupannya sehingga menjadi manusia yang memiliki kepribadian utama yaitu muslim yang benar-benar taqwa.
2.      Dasar Pendidikan Agama Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai satu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan tempat berpijak yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan tersebut dapat terlaksana sesuai dengan yang direncakan. Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia mempunyai dasar-dasar yang cukup kuat. Dasar-dasar tersebut dapat ditinjau dari segi :
a.       Segi Yuridis atau Hukum
Adapun dasar dari segi yuridis atau hukum ada tiga macam yaitu :
1)      Dasar Ideal
Dasar ideal yaitu dasar dari falsafah negara Pancasila, uatamanya sila peratama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau tegasnya harus beragama. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
Untuk merealisir hal tersebut, maka diperlukan adanya pendidikan agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama, akan sulit untuk mewujudkan sila pertama dari Pancasila tersebut.
2)      Dasar Struktural atau Konstitusional
Dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi :
(1)   Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)   Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memluk agama masing-masing da beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.[44]

Bunyi UUD 1945 tersebut di atas adalah mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia harus beragama. Dalam arti orang-orang atheis dilarang hidup di negara Indonesia. Di samping itu negara melindungi umat beragama, untuk menunaikan ajaran agamanya dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Karena itu agar supaya umat beragama tersebut dapat menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing diperlukan adanya pendidikan agama.
3)      Dasar Operasional
Dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia tersebut pada peraturan perundangan yang pada pokoknya dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai dengan Universitas-universitas negeri.[45] Dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab IX Pasal 39 ayat 2 misalnya dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.[46]
b.      Dasar Religius
Dasar religius dalam uraian ini adalah dasar-dasar yang bersumber dari ajaran agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan adanya peritantah tersebut, antara lain :
1)   Dalam surat At-Tahrim ayat 6, yang berbunyi :
ياايهاالذ ين امنوا قواانفسكم نارا....

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka …………….”.[47]

2)      Dalam Surat Ali Imron ayat 104, yang berbunyi :
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون.

Artinya : “Hendaklah di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat bik dan mencegah dari perbuatan yang munkar”.[48]
Selain ayat-ayat tersebut, juga disebutkan dalam hadits antara lain :
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعد هما كتاب الله وسنتى.

Artinya : “Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara, kamu semua niscaya tidak akan tersesat sedudahnya, selama kamu berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah-Ku” (HR. Bukhari).[49]

c.       Segi Social Pshycologis
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya.[50] Hal ini disebabkan agama merupakan kebutuhan jiwa yang akan mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap masalah. Itulah sebabnya, bagi orang-orang muslim diperlaukan adanya pendidikan agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar sehingga mereka dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, Zakiyah Daradjat menjelaskan bahwa; “pendidikan agama dalam artian pembinaan kepribadian sebenarnya telah mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti, hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa.[51]
Dengan demikian sikap orang tua terhadap agama, akan memantul kepada si anak. Jika sikap orang tua terhadap agama positif, maka akan tumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula sebaliknya, jika sikap tua terhadap agama itu negatif, acuh tak acuh, atau meremehkan, maka itu pulalah sikap yang akan tumbuh pada anak.
3.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pada dasarnya tujuan akhir pendidikan agama Islam itu identik dengan tujuan hidup orang Islam. Hal ini selaras dengan tujuan diciptakannya manusia sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون.

Artinya : “Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Q.S Adz-Dzariyat : 56).[52]

Makna penyembahan dalam Islam sebagaimana tersebut tidak terbatas pada pelaksanaan fisik dan ritual saja, melainkan juga mencakup seluruh aspek aktivitas iman, fikiran, perasaan dan perbuatan. Adapun secara definitif tujuan pendidikan agama Islam adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa tokoh pendidikan agama, antara lain sebagai berikut :
Athiyah Al-Abrasyi mengemukakan :
“… tujuan pokok dan utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap guru haruslah memikirkan akhlak, setiap juru didik haruslah memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.[53] Jadi pendidikan agama Islam itu tidak keluar dari pendidikan akhlak.

Menurut Zuhairini, tujuan umum pendidikan agama ialah membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama dan negara.[54]
Menurut Muhammad Daud Ali, tujuan pendidikan Islam ialah untuk membina insan yang beriman dan bertaqwa yang mengabdikan dirinya hanya kepada Allah, membina serta memelihara alam sesuai dengan syari’ah serta memanfaatkannya sesuai dengan aqidah dan akhlak Islam.[55]
Rumusan hasil keputusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 – 11 Mei 1960, di Cipayung Bogor adalah sebagai berikut : “tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.[56]
Sedangkan dalam buku “PBM PAI di Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar”, tujuan pendidikan agama Islam yaitu :
Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pendidikan agama Islam pada sekolah umum bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, pengamalan tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[57]

Tujuan pendidikan agama Islam juga merupakan sub sistem dari tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif serta jahat jasmani dan rohani.[58]
Dari berbagai keterangan dan uraian di atas tentang pendidikan agama Islam, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah agara peserta didik menjadi muslim sejati yang memiliki pengetahuan luas, nilai, sikap, tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan Islam, bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama yang mendapat ridho Allah SWT.
4.      Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah adalah merupakan bagian dari kurikulum yang tidak dipisahkan dari mata pelajaran lain.
Adapun yang dimaksud dengan kurikulum menurut konsepsi yang baru adalah sebagai berikut : “Kurikulum adalah semua pengetahuan, kegiatan-kegiatan atau pengalaman-pengalaman belajar yang diatur dengan sistematis metodis, yang diterima anak untuk mencapai suatu tujuan”.[59]
Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sedangkan definisi kurikulum yang populer ialah segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah.[60]
Sesuai dengan pengertian kurikulum secara umum, maka dapatlah diambil suatu pengertian kurikulum pendidikan agama Islam yaitu bahan-bahan pendidikan agama Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis yang diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
Dengan demikian kurikulum pendidikan agama Islam adalah totalitas dari suatu pendidikan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas yang berdasarkan ajaran agama Islam.
5.      Metode Pendidikan Agama Islam
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Berdasarkan etimologi tersebut, metode pendidikan agama Islam adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan pengajaran agama Islam guna mencapai tujuan yang ditentukan.[61]
Dalam proses pendidikan agama Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang memberikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh terdidik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.
Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Selainitu metode pendidikan yang tidak tepat akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan oleh seorang guru baru berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.[62]
Menurut M. Arifin, dalam buku “Metodologi Pengajaran Agama” karya Muhammad Zain, menjelaskan bahwa metode dalam pendidikan agama Islam itu antara lain :
a.       Metode situsional yang mendorong manusia didik untuk belajar dengan perasaan gembira dalam berbagai tempat dan keadaan.
b.      Metode terchib wat terghieb, yang mendorong manusia didik untuk belajar sesuatu bahan pelajaran atas dasar minat (motif) yang berkesadaran pribadi, terlepas dari paksaan atau tekanan mental.
c.       Metode belajar yang berdasarkan conditioning yang dapat menimbulkan konsentrasi perhatian manusia didik ke arah bahan-bahan pelajaran yang diberikan oleh guru (pendidik).
d.      Metode yang berdasarkan prinsip kebermaknaan, menjadikan manusia didik menyukai dan bergairah untuk mempelajari bahan pelajaran yang diberikan oleh guru.
e.       Metode dialogis yang melahirkan sikap saling keterbukaan antara guru dan murid, akan mendorong untuk saling memberi dan mengambil antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar.
f.       Dari prinsip kebaharuan dalam PBM, manusia didik diberi pelajaran ilmu-ilmu pengetahuan baru yang dapat menarik minat mereka.
g.      Metode pemberian contoh teladan yang baik (uswatun khasanah) terhadap manusia didik, terutama anak-anak yang belum mampu berfikir kritis, akan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka dalam perbuatan sehari-hari.
h.      Metode yang menitik beratkan pada membimbing berdasarkan rasa kasih sayang terhadap anak didik akan menghasilkan kedayagunaan PBM.[63]
6.      Evaluasi Pendidikan Agama Islam
Menurut Wand dan Brown yang dikutip oleh Wayan Nurkancana dan Sumartana dalam buku “Evaluasi Pendidikan”, bahwa evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.[64]
Sedangkan menurut Monroe, yang dikutip oleh Arifin dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam” bahwa evaluasi adalah suatu penilaian yang lebih menitik beratkan pada perubahan kepribadian secara luas dan terhadap sasaran-sasaran umum dari program kependidikan.[65]
Sedangkan yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan agama Islam ialah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam pendidikan agama. Evaluasi adalah alat untuk mengukur sampai dimana penguasaan murid terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan.[66]
Di sekolah, evaluasi diadakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemajuan penguasaan bahan pelajaran murid, di samping juga ketrampilan dan sikap evaluasi juga untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terdapat dalam rangka mencapai tujua pendidikan, sehingga dengan itu dapat diberikan bimbingan bantuan.[67]
Jadi jelaslah, bahwa evaluasi mementingkan penilaian tentang pertumbuhan dan perkembangan yang menyeluruh pada seseorang individu atau pada kelompok. Dan evaluasi bukanlah hanya sekedar gejala yang dapat dicapai dengan mudah dan berlaku begitu saja, tetapi ia merupakan suatu keharusan, merupakan suatu keperluan dalam setiap proses pendidikan. Dengan demikian evaluasi secara keseluruhan dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah bukan hanya sekedar menilai hasil belajar siswa saja, tetapi juga bagaimana guru mengajar, bagaimana situasi dan perlengkapan sekolah yang tersedia, sesuai tidaknya materi yang diberikan, kecerdasan dan minat anak. Dan menginat bahwa penilaian ini dilakukan pada program pengajaran di sekolah, dimana waktu belajar cukup panjang dan lama serta kegiatan belajarpun sudah banyak dilakukan, maka penilaian hasil belajar itu harus diarahkan secara lengkap kepada semua aspek tingkah laku. Penilaian itu dilakukan terhadap aspek-aspek pengetahuan, aspek ketrampilan, serta aspek nilai dan sikap yang telah diperoleh atau dikuasai siswa-siswi setelah mereka mengalami kegiatan belajar mengajar.

D.    Pentingnya Penggunaan Pendekatan ketrampilan proses dalam Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Dalam sistem belajar megajar yang sifatnya klasikal (bersama-sama dalam suatu kelas), guru harus berusaha agar proses belajar mengajar mencerminkan komunikasi dua arah. Mengajar bukan semata-mata merupakan pemberian informasi seraya tanpa mengembangkan kemampuan mental, fisik dan penampilan diri.
Oleh karena itu proses belajar mengajar di kelas harus dapat mengembangkan cara belajar siswa untuk mendapatkan, mengelola, menggunakan dan mengkomunikasikan apa yang telah diperoleh dalam proses belajar tersebut.
Guru dalam menyajikan bahan pelajaran (terutama berupa konsep-konsep atau pengertian-pengertian yang esensial) harus mengikut sertakan para siswanya secara aktif baik individual maupun kelompok.
Keaktifan siswa ini antara lain tampak dalam kegiatan :
1.      Bebuat sesuatu untuk memahami materi pelajaran dengan penuh keyakinan.
2.      Mempelajari, mengalami dan menemukan sendiri bagaimana memperoleh situasi pengetahuan.
3.      Merasakan sendiri bagaimana tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepadanya.
4.      Belajar dalam kelompok.
5.      Mencobakan sendiri konsep-konsep tertentu.
6.      Mengkomunikasikan hasil pikiran, penemuan, dan penghayatan nilai-nilai seseorang secara lisan atau penampilan.[68]
Dengan keaktifan siswa itu ada pada proses belajar mengajar dengan pendekatan ketrampilan proses. Alasan pentingnya penggunaan pendekatan ketrampilan proses dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pendidikan agama Islam antara lain :
  1. Kecepatan perkembangan ilmu menuntut perubahan cara mengajar guru-guru tidak mungkin lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, dengan menuangkan semua informasi dan konsep yang diperlukan. Guru dituntut membimbing siswa untuk menemukan informasi dan konsep serta selanjutnya mengulas perolehannya tersebut. Dengan kata lain pendekatan menjejalkan “ikan” perlu diarahkan kepada pendekatan memberikan kail kepada anak didik agar mampu mengail dan mendapatkan ikan sendiri sepanjang hidupnya.
  2. Pada siswa lebih menghayati hal-hal yang dipelajari melalui percobaan dan praktek langsung, melalui pengalaman lapangan, melalui perlakuan terhadap keyataan wajar dalam lingkungannya, melalui perlakuan terhadap benda-benda nyata, melalui kegiatan membaca dan menyimak dan atau melalui penugasan melakukan kegiatan tertentu.
  3. Kreativitas siswa dibina dan dikembangkan secara terus menerus, antara lain melalui latiha bertanya, berfikir kritis dan mengupayakan berbagai kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah. Hal itu dilakukan karena kreativitas adalah inti penyatukaitan demi hasil pengembangan pengetahuan, ketrampilan, serta sikap dan nilai dapat dipadukan dalam kegiatan belajar mengajar.
  4. Melalui pendekatan proses, perbedaan individu dapat ditangani dalam kegiatan belajar mengajar.
  5. Melalui pendekatan ketrampilan proses, seluruh citarasa (perasaan siswa terlibat dalam proses belajar mengajar dan sangat membantu menyentuh perkembangan kehidupan siswa seutuhnya.[69]
Menurut Dimyati dan Mudjiono bahwa penetapan PKP dalam kegiatan pembelajaran sangat perlu karena didasarkan pada hal-hal berikut :
  1. Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi percepatan perubahan IPTEK ini, tidak memungkinkan bagi guru bertindak sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori-teori untuk mengatasi hal ini perlu pengembangan ketrampilan memperoleh dan memproses semua fakta, konsep, dan prinsip pada diri sendiri.
  2. Pengalaman intelektual, emosional, dan fisik dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar yang optimal. Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa memperlihatkan unjuk kerja melalui sejumlah ketrampilan, memproses semua fakta, konsep, dan prinsip sangat dibutuhkan.
  3. Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu. Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tatacara pemprosesan dan pemerolehan kebenaran ilmu yang bersifat kesementaraan. Hal ini akan mengarahkan siswa pada kesadaran keterbatasan menusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.[70]
Sedangkan menurut Conny Semiawan dkk, alasan yang melandasi perlunya diterapkan pendekatan ketrampilan proses dalam kegiatan proses belajar mengajar setiap hari adalah :
  1. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan konsep kepada siswa. Jika guru masih bersikap “mau mengajarkan” semua fakta dan konsep dari berbagai cabang ilmu, maka sudah jelas target itu tak akan tercapai. Jika guru bersikeras pada sikap ini, maka satu-satunya jalan pemecahan yang umum dilakukan ialah menjejalkan semua fakta dan konsep itu kepada siswa. Dengan demikian guru akan bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi yang maha penting, karena terdesak waktu untukmengejar pencapaian kurikulum maka guru akan memilih jalan yang termudah, yakni menginformasikan fakta dan konsep melalui metode ceramah. Akibatnya para siswa memiliki banyak pengetahuan tetapi tidak dilatihuntuk menemukan pengetahuan, tidak dilatih menemukan konsep, tidak dilatih untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
  2. Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa anak-anak mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh kongkrit, contoh yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan mempraktekkan upaya penemuan konsep melalui perlakuan terhadap kenyaatan fisik melalui penanganan benda-benda yang benar nyata. Perkembangan fikiran (kognitif) anak sesungguhnya dilandasi oleh gerakan dan perbuatan. Anak harus bergerak dan berbuat sesuatu terhadap obyek yang nyata.
  3. Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak benar seratus persen, penemuannya bersifat relatif. Suatu teori mungkin terbantah dan ditolak setelah orang mendapatkan data baru yang mampu membuktikan kekeliruan teori yang dianut. Muncul lagi teori baru, yang pada prinsipnya mengandung kebenaran yang relatif. Semua konsep ditemukan melalaui penyelidikan ilmiah yang masih tetap terbuka untuk dipertanyakan, dipersoalkan dan diperbaiki. Jika kita hendak menanamkan sikap ilmiah yang demikian dalam diri siswa, maka cara menuangkan informasi ke dalam otak anak tidak sesuai dengan maksud pendidikan. Anak perlu dilatih untuk selalu bertanya berfikir kritis dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban terhadap satu masalah.
  4. Dalam proses belajar mengajar seyogyanya pengembangan konsep tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik. Konsep di satu pihak serta sikap dan nilai dilain pihak harus disatukaitkan. Jika yang ditekankan pengembangan tanpa memadukannya dengan pengambangan sikap dan nilai, akibatnya adalah intelektualisme yang “gersang” tanpa humanisme.[71]
Berdasarkan pendapat di atas dapatlah penulis simpulkan alasan penggunaan pendekatan ketrampilan proses menjadi dua yaitu :
  1. Alasan secara umum. Pada abad ke-20 (duapuluh) ini perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, sehingga dikenal dengan istilah ledakan ilmu. Seluruh ilmu itu dikomunikasikan (dinampakkan) melalui buku-buku, majalah-majalah, ceramah maupun diterapkan dalam tekhnologi.
Dari sini timbullah pertanyaan dapatkah guru mengajar semua fakta itu kepada anak didik selama mereka duduk dibangku sekolah ? tentunya jawabannya adalah mustahil ilmu atau fakta sebanyak itu dapat dituangkan ke dalam otak anak didik.
Salah satu alternatif yang paling tepat ialah mengajarkan kepada mereka ketrampilan-ketrampilan proses keilmuan yang akan digunakan untuk mengembangkan pengetahuan mereka. anak didik bukanlah suatu bejana yang harus diisi melainkan sebuah lilin yang dinyalakan dan mereka sendiri akan terus menyala, anak didik dibuat sebagai seorang ilmuawan.
Mereka akan mengembangkan pengetahuannya dengan menggunakan ketrampilan-ketrampilan atau melalui proses yang biasa dilalui oleh para ilmuwan
  1. Alasan secara khusus (di Indonesia)
Pembaharuan pendidikan yang pernah dilakukan di Indonesia yang kemudian menghasilkan kurikulum 1975 mengandalkan prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI) dan model satuan pelajaran sebagai sistem pendekatannya kepada siswa yang berorientasi pada tujuan semata-mata (yang penting tujuan tercapai) tanpa mementingkan bagaimana cara atau proses siswa tersebut mencapai tujuan dan bagaimana hasil tujuan tersebut. Pada hal proses pencapaian tujuan demikianpula kelanjutan pencapaian tujuan merupakan dua hal yang sangat penting dalam membentuk karakter haus ilmu dan pengembangan ilmu pada diri siswa.
Demikian pula prinsip CBSA yang sudah dicanangkan sejak lahirnya kurikulum 1984 itu ternyata bisa dilaksanakan dengan baik, karena itulah maka dalampembaharuan pendidikan berikutnya dirasa perlu adanya koreksi dan revisi terhadap kelemahan-kelemahan di atas. Kedua orientasi yang tertinggal perlu diperhatikan, demikian pula prinsip CBSA yang belum dilaksanakan secara sempurna perlu disempurnakan.



[1]Zuhairini, et.al, Metodologi Pendidikan Agama, Ramadlani, Solo, 1993, hlm. 124-125.

[2]Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 138.
[3]Zuharini, et.al, Op.cit, hlm. 126.

[4]Ibid, hlm. 134.
[5]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 88.
[6]Suryasubrata, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 73.

[7]Dimyati dan Mudjiono, Op.cit, hlm. 142.
[8]Zuharini, et.al, Op.cit, hlm. 132.

[9]Suryasubrata, Op.cit, hlm. 74.

[10]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 133.
[11]Suryasubrata, Op.cit, hlm. 75.
[12]Syaiful Bahri Djamarah, Op.cit, hlm. 89-91.
[13]Wayan Nurkancana dan Sumartana, Evaluasi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1986, hlm. 275.

[14]Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1997, hlm. 135. 
[15]Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1997, hlm. 141.

[16]Gerungan, Psikologi Sosial, Eresco, Bandung, 1991, hlm. 149.

[17]M. Arifin, Psikologi Dakwah suatu Pengantar Studi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 104.
[18]Abdul Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, hlm. 110.

[19]Gerungan, Op.cit, hlm. 151-152.
[20]Ibid, hlm. 150.
[21]Soerjana Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 111.

[22]Gerungan, Loc.cit.
[23]Ngalim Purwanto, Op.cit, hlm. 141.

[24]Jalaluddin, Psikologi Agama, Cet. 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 196.
[25]Gerungan, Op.cit, hlm. 156.

[26]Solahuddin Mahfudh, Pengantar Psikologi Pendidikan, Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 99.
[27]Mar’at, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 22-23.

[28]Ibid, hlm. 14.
[29]Mar’at, Op.cit, hlm. 26.

[30]Ibid, hlm. 27.
[31]Ibid, hlm. 103.
[32]Abdurrahman Abror, Op.cit, hlm. 111.

[33]Ngalim Purwanto, Op.cit, hlm. 142.
[34]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1989, hlm. 11.

[35]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989, hlm. 19.

[36]Zahra Idris, Dasar-dasar Kependidikan, Angkasa Raya, Padang, 1981, hlm. 10-11.
[37]Zuhairini, et.al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, 1983, hlm. 27.

[38]Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 4.

[39]Ahmad D. Marimba, Op.cit, hlm. 23.

[40]Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1998, hlm. 181.
[41]Ahmad D. Marimba, Op.cit, hlm. 23-24.

[42]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 110.

[43]Ibid, hlm. 111.
[44]Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UUD dengan Penjelasannya, Apollo, Surabaya, t.th, hlm. 9.
[45]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 21-23.

[46]Ibid, hlm. 19.

[47]Al-Qur’an, Surat At-Tahrim Ayat 6, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1992, hlm. 951.

[48]Al-Qur’an, Surat Al-Imron Ayat 104, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1992, hlm. 93.
[49]Al-Hadits, Shohih Bukhori, Jilid I, Darul Kutub Al-Arabiyah, Kairo, t.th, hlm. 130.

[50]Zuhairini, et.al. Op.cit, hlm. 25.

[51]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 130.
[52]Al-Qur’an, Surat Adz-Dzariyah Ayat 56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1992, hlm. 862.

[53]Athiyah Al-Abrasyi, Op.cit, hlm. 1-2.

[54]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 45.
[55]Muhammad Daud Ali, Op.cit, hlm. 181-182.

[56]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 41.

[57]Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, PBM PAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 179.
[58]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 14.

[59]Ibid, hlm. 59.

[60]Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 131.
[61]Departemen Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta, 2001, hlm. 19.

[62] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit, hlm. 197.
[63]Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, AK Group dan Indra Buana, Yogyakarta, 1990, hlm. 251.

[64]Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, Op.cit, hlm. 1.
[65]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit, hlm. 245.

[66]Zuhairini, et.al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Op.cit, hlm. 154.

[67]Mansyur dan Moehammad, Evaluasi Pendidikan Agama, Songo Abadi Inti, Jakarta, 1982, hlm. 1.
[68]Suryasubrata, Op.cit, hlm. 72.
[69]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 126.
[70]Dimyati Mudjiono, Op.cit, hlm. 138.
[71]Zuhairini, et.al, Op.cit, hlm. 127-128. 

0 Response to "PENDEKATAN KETRAMPILAN PROSES"

Post a Comment