MATA
PELAJARAN AQIDAH AKHLAK DAN PROBLEMATIKA REMAJA DALAM KELUARGA
A. Mata
Pelajaran Aqidah Akhlak
1. Pengertian
Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Aqidah
menurut bahasa berasal dari kata عَقِدَ يَعْقِدُ عَقِيْدَةَ yang
berarti ikatan. Sedangkan arti aqidah menurut istilah adalah :
اَلْعَقِيْدَةُاْلاِسْلاَمِيَّةُهِيَ
اْلاُمُوْرُالَّتِىيَعْتَقِدُهَااَهْلُ اْلاِسْلاَم اَيُ يَجْزُ هُوْنَ
بِصِحَّتِهَا
Artinya :
"Aqidah Islam ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam artinya
mereka menetapkannya atas kebenarannya”.[1]
Menurut
syara’ kepercayaan (aqidah) ialah iman yang kokoh terhadap segala sesuatu yang
disebut secara tegas oleh Al-Qur'an dan hadits shahih.
Sebagian
ulama fiqih mendefinisikan aqidah sebagai sesuatu yang diyakini dan dipegang
teguh, sukar sekali untuk dirubahnya. Ia beriman sesuai dengan dalil-dalil yang
sesuai dengan kenyataan, seperti iman kepada Allah SWT, hari akhirat,
kitab-kitab Allah dan rasul-rasul Allah SWT.[2]
M.
Rifa’i memberi batasan bahwa aqidah ialah sesuatu yang harus dibenarkan oleh
hati yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin dan
mantap tidak dipengaruhi oleh syak wasangka.[3]
Berdasarkan
pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aqidah adalah dasar-dasar
pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber ajaran
Islam yang wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang
mengikat.
Kata
akhlak berasal dari Bahasa Arab yaitu خُلُقْ jamaknya اَخْلاَقْ yang artinya tingkah laku, perangai,
tabiat, watak, moral atau budi pekerti.
Sedangkan
akhlak menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
a. Ibnu Maskawaih
mendefinisikan
حَالُ النَّفْسِ
داَعِيَةٌ لَهَا اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
Artinya : "Sikap
jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan (terlebih dahulu).”
b. Prof Dr. Ahmad
Amin menjelaskan
عَرَّفَ بَعْضُهُمُ
الْخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ اْلاِرَادَةِ يَعْنِيْ أَنَّ اْلاِرَادَةَ
اِذَاعْتَادَتْ شَيْئًا فَعَادَتُهَا هِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ
Artinya :
"Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak adalah
kehendak yang dibiasakan artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu,
maka kebiasaan itu dinamai akhlak.”
c. Imam Al-Ghazali
mengemukakan
اَْلاَخْلاَقُ هِيَ
صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِىالْقَلْبِ تَصْدُرُ عَنْهَا اَفْعَالٌ بِسُهُوْلَةٍ
وَتَسِيْرُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍوَرُءْيَةٍ
Artinya :
"Akhlak ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan segala
perbuatan yang dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan fikiran dan
pertimbangan”.
Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sumber dari segala
perbuatan yang sewajarnya artinya sesuatu perbuatan atau sumber tindak tanduk
manusia yang tidak dibuat-buat dan perbuatan yang dapat dilihat adalah gambaran
dari sifat-sifatnya yang tertanam dalam jiwa, jahat atau baiknya.[4]
Mata
pelajaran Aqidah Akhlak ialah suatu usaha mata pelajaran yang menjajarkan dan
membimbing siswa untuk dapat mengetahui, memahami dan meyakini ajaran Islam
serta dapat membentuk dan mengamalkan tingkah laku yang baik yang sesuai dengan
ajaran Islam.[5]
Mata
pelajaran Aqidah Akhlak merupakan suatu mata pelajaran yang harus
direalisasikan dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan yang harmonis pada
siswa, sebab pelajaran Aqidah Akhlak bukan hanya bersifat kognitif semata
melainkan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seorang
guru dalam melaksanakan pengajaran Aqidah Akhlak harus senantiasa memberi
tauladan yang baik bagi siswa saat berada di lingkungan sekolah maupun di luar
sekolah. Dengan demikian pengajaran Aqidah Akhlak yang disampaikan oleh guru
dapat diterima oleh siswa semaksimal mungkin sehingga tujuan yang telah
diprogramkan dapat tercapai.
2. Fungsi dan
Tujuan Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Mata
pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah
Aliyah berfungsi sebagai:
a. Memberikan
pengetahuan dan bimbingan kepada siswa agar mau menghayati dan meyakini dengan
keyakinan yang benar tentang Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,
rasul-rasulNya, hari akhirat dan qadla qadarNya.
b. Memberikan
pengetahuan dan bimbingan kepada siswa agar mau menghayati dan mengamalkan
ajaran agama Islam tentang akhlak baik yang berhubungan dengan manusia dengan
Allah, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesama manusia dan
manusia dengan alam lingkungan.
Adapun
tujuan mata pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah adalah :
a. Agar siswa
memiliki pengetahuan, penghayatan dan keyakinan yang benar terhadap hal-hal
yang harus diimani sehingga keyakinan itu tercermin dalam sikap dan tingkah
lakunya sehari-hari agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT.
b. Agar siswa
memiliki pengetahuan, penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan
akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk baik dalam hubungannya
dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia maupun dengan
lingkungan sehingga menjadi manusia yang berakhlak manusia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Agar siswa
memiliki aqidah yang benar serta akhlak yang baik untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi.[6]
3. Ruang
Lingkup Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Secara
garis besar, pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah meliputi keserasian,
kesetaraan dan keseimbangan yang bermateri pokok sebagai berikut :
a. Hubungan
vertikal antara manusia dengan Allah SWT, mencakup segi aqidah yang meliputi :
iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari
akhirat dan qadla qadarnya.[7]
Hubungan horizontal
antara manusia dengan manusia mencakup segi akhlak yang meliputi kewajiban
membiasakan akhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain serta
menjauhi akhlak yang buruk.[8]
b. Hubungan
manusia dengan alam lingkungan yang bersifat pelestarian alam, hewan,
tumbuh-tumbuhan sebagai kebutuhan hidup manusia.[9]
4. Metode
Mengajar Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Bertitik
tolak kepada pengertian metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan
pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka prinsip metode mengajar
tidak dapat diabaikan karena metode mengajar tersebut turut menentukan berhasil
tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian integral dalam
suatu sistem pengajaran. Oleh karena itu pemakaian metode harus sesuai dan
selaras dengan karakteristik siswa, materi, kondisi lingkungan (setting) di
mana pelajaran berlangsung.
Adapun
metode mengajar dalam mata pelajaran Aqidah Akhlak adalah sebagai berikut:
a. Metode ceramah
Metode
ceramah diartikan sebagai suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru
di muka kelas. Peran murid di sini sebagai penerima pesan, mendengarkan,
memperhatikan dan mencatat keterangan-keterangan guru bilamana diperlukan.
Keunggulan
metode ceramah ini adalah :
1) Penggunaan waktu
yang efisien dan pesan yang disampaikan dapat sebanyak-banyaknya.
2) Pengorganisasian
kelas lebih sederhana.
3) Dapat
memberikan motivasi dan dorongan terhadap siswa dalam belajar.
4) Fleksibel dalam
penggunaan waktu dan bahan.
Kelemahan metode ceramah
ini adalah :
1) Guru seringkali
mengalami kesulitan dan mengukur pemahaman siswa tentang materi yang
diceramahkan.
2) Siswa cenderung
bersifat pasif dan sering keliru dalam menyimpulkan penjelasan guru.
3) Bilamana guru
menyampaikan bahan yang sebanyak-banyaknya dalam tempo yang terbatas
menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kemampuan siswa.
4) Cenderung
membosankan dan perhatian siswa berkurang.
b. Metode diskusi
Metode
diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan
masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan
obyektif.
Keunggulan
metode diskusi ini adalah :
1) Suasana kelas
menjadi bergairah.
2) Dapat menjalin
hubungan sosial antar individu siswa.
3) Hasil diskusi
dapat dipahami oleh siswa karena mereka secara aktif mengikuti perdebatan yang
berlangsung dalam diskusi.
4) Melatih siswa
untuk disiplin dan menghargai pendapat orang lain.
Kelemahan-kelemahan
metode diskusi adalah :
1) Adanya sebagian
siswa yang kurang berpartisipasi secara aktif dalam diskusi dapat menimbulkan
sikap acuh tak acuh dan tidak bertanggung jawab terhadap hasil diskusi.
2) Sulit
meramalkan hasil yang ingin dicapai karena penggunaan waktu yang terlalu
panjang.
3) Para siswa
kesulitan mengeluarkan ide-ide atau pendapat mereka secara ilmiah atau
sistematis.
c. Metode tanya
jawab
Metode
tanya jawab ialah penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau sebaliknya siswa
diberi kesempatan bertanya dan guru menjawab pertanyaan.
Keunggulan
metode ini adalah :
1) Kelas akan menjadi
hidup.
2) Siswa terlatih
berani mengemukakan pertanyaan atau jawaban.
3) Dapat
mengaktifkan retensi siswa terhadap perilaku yang telah lalu.
Sedangkan
kelemahan metode ini adalah :
1) Waktu yang
digunakan dalam pelajaran tersita.
2) Kemungkinan
terjadi penyimpangan perhatian siswa bilamana terdapat pertanyaan atau jawaban
yang tidak berkenaan dengan sasaran yang dibicarakan.
3) Jalannya
pengajaran kurang dapat terkoordinir secara baik, karena timbulnya
pertanyaan-pertanyaan dari siswa yang mungkin tidak dapat dijawab secara tepat
baik oleh guru maupun oleh siswa.
d. Metode
sosio-drama dan bermain peranan
Metode
sosio-drama dan bermain peranan merupakan teknik mengajar yang banyak kaitannya
dengan pendemonstrasian kejadian-kejadian yang bersifat sosial.
Keunggulan
metode sosio-drama dan bermain peranan ini adalah :
1) Siswa terlatih
untuk mendramatisasikan sesuatu dan juga melatih keberanian mereka.
2) Kelas akan
menjadi hidup.
3) Siswa dapat
menghayati sesuatu peristiwa sehingga mudah mengambil sesuatu kesimpulan
berdasarkan penghayatannya sendiri.
Adapun
kelemahan metode ini adalah :
1) Banyak menyita
waktu atau jam pelajaran.
2) Memerlukan
persiapan yang teliti dan matang.
3) Kadang-kadang
siswa berkeberatan untuk melakukan peranan yang diberikan karena alasan
psikologis.
e. Metode drill
Metode
drill atau disebut latihan dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau
ketrampilan latihan terhadap apa yang dipelajari, karena hanya melakukannya
suatu praktis suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan disiap siagakan.
Keunggulan
metode siap (drill) ini antara lain :
1) Siswa akan
memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dipelajarinya.
2) Dapat
menimbulkan rasa percaya diri bahwa para siswa yang berhasil dalam belajarnya
telah memiliki suatu ketrampilan khusus yang berguna kelak di kemudian hari.
3) Guru lebih
mudah mengontrol dan dapat membedakan mana siswa yang disiplin dalam belajarnya
dan mana yang kurang.
Kelemahan
metode latihan ini antara lain :
1) Dapat
menghambat inisiatif siswa, di mana inisiatif dan minat siswa yang berbeda
dengan petunjuk guru dianggap suatu penyimpangan dan pelanggaran dalam
pengajaran yang diberikannya.
2) Menimbulkan
penyesuaian secara statis kepada lingkungan dalam kondisi belajar ini
pertimbangan inisiatif siswa selalu disorot dan tidak diberikan keleluasaan.
3) Menimbulkan
verbalisme terutama pelajaran yang bersifat menghafal.[10]
f.
Metode resitasi
Metode
resitasi adalah cara menyajikan bahan pelajaran di mana guru memberikan
sejumlah tugas terhadap murid-muridnya untuk mempelajari sesuatu kemudian mereka
disuruh untuk mempertanggungjawabkannya. Metode ini populer dengan sebutan PR.
Kelebihan metode ini adalah :
1) Pengetahuan
yang diperoleh murid banyak berhubungan dengan minat dan banyak berguna untuk
hidup mereka dan akan lebih lama diingat.
2) Apabila tugas
tersebut dalam bentuk kelompok, murid dapat saling bekerja sama dan saling
membantu.
3) Murid
berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian berkreatif, berinisiatif,
bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
Adapun
kekurangan pada metode ini adalah :
1) Tugas rumah
sering dikerjakan oleh orang lain.
2) Tugas yang
sukar dapat mempengaruhi ketenangan mental murid.
3) Sukar
memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individual dan murid suka
menyalin pekerjaan teman.[11]
5. Evaluasi
Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
a. Pengertian dan
Kegunaan Evaluasi
Rangkaian
akhir dari suatu proses kependidikan Islam adalah evaluasi atau penilaian.
Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat
setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya. Jika hasilnya
sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam tujuan pendidikan Islam maka
usaha pendidikan itu dinilai berhasil. Tetapi jika sebaliknya, maka ia dinilai
gagal.[12]
Istilah
evaluasi berasal dari Bahasa Inggris “evaluation” yang berarti tindakan atau
proses yang menentukan nilai sesuatu dengan pendidikan.[13]
Dalam pendidikan, evaluasi mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1) Dari segi
pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah
sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
2) Dari segi
peserta didik, evaluasi berguna membantu untuk mengubah atau mengembangkan
tingkah lakunya secara sadar ke arah lebih baik.
3) Dari segi ahli
fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna membantu para pemikir pendidikan Islam
mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam
merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus
dinamika zaman yang senantiasa berubah.
4) Dari segi
politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna
untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan pertimbangan
kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam).[14]
b. Prinsip
Evaluasi
Dalam
pelaksanaan evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai dasar
pelaksanaan penilaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Prinsip
berkelanjutan
Prinsip
ini dimaksudkan bahwa evaluasi tidak hanya dilakukan dalam satu jenjang
pendidikan, setahun, catur wulan atau per bulan, akan tetapi harus dilakukan
setiap saat dan setiap waktu. Pada saat membuka pelajaran, menyajikan pelajaran
apalagi menutup pelajaran, ditambah lagi pemberian tugas yang harus
diselesaikan peserta didik. Dengan evaluasi secara kontinyu ini perkembangan
anak didik dapat terkontrol dengan baik.
2) Prinsip
universal
Prinsip
ini maksudnya adalah evaluasi hendaknya dilakukan untuk semua aspek sasaran
pendidikan, apakah afektif, kognitif dan psikomotor.
3) Prinsip
keikhlasan
Dalam
segala hal keikhlasan pendidik harus tercermin dari segi aktivitasnya dalam
mendidik, termasuk diantaranya dalam mengadakan evaluasi pendidikan, guru atau
pendidik yang ikhlas dalam mengavaluasi terlihat dalam sikapnya yang transparan
dan obyektif. Pendidik tidak hanya mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan siswa,
tetapi juga dapat menunjukkan jalan keluarnya, sehingga siswa tidak merasa
bahwa ia dipersulit oleh guru.[15]
c. Teknik Evaluasi
Sebelum
penulis menjelaskan tentang teknik evaluasi, penulis akan menjelaskan tentang
jenis penilaian dan tujuannya sebagai berikut:
1) Penilaian
formatif yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah
menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada suatu mata pelajaran
tertentu. Tujuan dari penilaian formatif ini adalah untuk mengetahui hingga
sejauh mana penguasaan murid terhadap bahan pendidikan agama yang diajarkan
dalam satu program satuan pelajaran serta sesuai tidaknya dengan tujuan.
Aspek-aspek yang dinilai meliputi : hasil kemajuan belajar murid yaitu :
pengetahuan, ketrampilan dan sikap terhadap bahan pendidikan agama yang
disajikan.
2) Penilaian
sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar murid yang telah
selesai mengikuti pelajaran dalam satu cawu, semester atau akhir tahun.
Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai oleh murid
selama satu cawu semester pada suatu unit pendidikan tertentu. Adapun aspek
yang dinilai mempunyai kesamaan dengan penilaian formatif.
3) Penilaian
penempatan yaitu penilaian terhadap pribadi anak untuk kepentingan penempatan
di dalam situasi belajar mengajar yang sesuai dengan anak didik tersebut.
Tujuannya adalah untuk menempatkan anak didik pada tempat yang sebenarnya
berdasarkan pada minat, bakat, kemampuan dan keadaan diri anak. Sehingga anak
tidak mengalami hambatan di dalam mengikuti pelajaran yang disajikan guru. Aspek
yang dinilai adalah keadaan fisik dan psikologis, bakat, kemampuan,
pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspek lainnya yang dianggap perlu bagi
kepentingan pendidikan anak.
4) Penilaian
diagnostik, yaitu penilaian terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan anak
didik baik berupa kesulitan belajar atau hambatan dalam situasi belajar
mengajar maupun untuk mengatasi hambatan yang dialami anak didik waktu
mengikuti belajar mengajar. Aspek yang dinilai adalah hasil belajar mengajar
dan latar belakang kehidupannya.[16]
Setelah
penulis menjabarkan beberapa jenis penilaian serta tujuannya, kemudian penulis
akan mencoba gambaran mengenai teknik-teknik evaluasi :
1) Teknik tes
yaitu penilaian yang menggunakan tes yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Tujuannya untuk mengukur dan memberikan terhadap hasil belajar yang dicapai
oleh murid. Meliputi kesanggupan mental, achivement (tes penguasaan hasil
belajar), ketrampilan, koordinasi, motorik dan bakat, baik secara individu
maupun kelompok.
2) Teknik non tes
adalah penilaian yang tidak menggunakan soal-soal tes dan bertujuan untuk
mengetahui sifat dan sikap kepribadian murid yang berkaitan dengan kiat belajar
atau pendidikan obyek. Penilaian non tes
ini meliputi perbuatan, ucapan, kegiatan, pengalaman, keadaan tingkah
laku, riwayat hidup dan lainnya baik bersifat individu maupun kelompok.
Dalam
evaluasi pengajaran agama, penguraiannya dibatasi hanya terhadap teknik tes,
khususnya achievement yang dipergunakan untuk menilai hasil-hasil belajar murid
setelah diajar oleh guru baik berupa penguasaan bahan, perkembangan kecerdasan,
perkembangan ketrampilan dan perubahan sikap.
Tes
hasil belajar ini dapat pula dibagi dua :
1) Tes essay yaitu
tes yang disusun sedemikian rupa sehingga jawabannya terdiri dari beberapa
kalimat. Untuk menjawab pertanyaan sangat memerlukan waktu yang banyak dan
murid boleh menjawab sepuas-puasnya dan seluas-luasnya.
2) Tes obyektif
Suatu
tes disebut tes obyektif apabila :
-
Hanya
satu jawaban yang benar untuk setiap alternatif jawaban.
-
Dalam
menskor tidak ada perbedaan walaupun diperiksa oleh lebih dari satu orang.
-
Dalam
menjawab, testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk.
-
Norma
pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu.
Tes obyektif ada
beberapa macam yaitu :
a) True-false test
yaitu tes yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mengandung salah satu
kemungkinan jawaban, salah atau benar.
b) Multiple choice
(tes pilihan ganda)
Pada
jenis tes ini testee diminta memilih jawaban yang benar dari beberapa jawaban
yang telah ada. Biasanya terdiri dari 3 – 5 pilihan jawabany tersedia, yang
benar hanya satu.
c) Tes bahasa
yaitu tes yang dapat dijawab dengan bahasa baik bahasa lisan maupun tulisan.
d) Tes perbuatan
yaitu tes yang dipergunakan untuk menilai berbagai macam perintah yang harus
dilaksanakan, seperti : mengafani mayat, berwudhu, sholat, cara melaksanakan
thawaf, dan sebagainya.[17]
B. Problematika
Remaja dalam Keluarga
1. Pengertian
Remaja
Istilah
Adolescense atau remaja berasal dari kata Latin adelescere (kata bendanya
adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi
dewasa.[18]
Zakiyah
Daradjat mengemukakan bahwa :
Remaja adalah anak yang ada pada
masa peralihan di antara masa anak-anak dan masa dewasa, di mana anak-anak
mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak baik
bentuk bada, sikap dan cara berpikir, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah
matang.[19]
Y.
Singgih Dirgagunarsa menguraikan pendapat Anna Freud tentang remaja adalah :
Adolesensia merupakan suatu masa
yang meliputi proses perkembangan di mana terjadi perubahan dalam hal motivasi
seksual, organisasi daripada ego, dalam hubungan dengan orang tua, orang lain
dan cita-cita yang dikejarnya.[20]
Pendapat
yang lain mengemukakan bahwa :
Remaja adalah suatu masa dari umat
manusia, di masa itu paling banyak mengalami perubahan (panca roba). Di mana
masa yang membawa pindah dari masa kanak-kanak menuju kepada masa kematangan
atau dewasa.[21]
Rentangan
usia dalam masa remaja tampak ada berbagai pendapat, walaupun tidak ada terjadi
pertentangan. Bigot, Konstam, Palland mengemukakan bahwa masa pubertas berada
dalam usia 15-18 tahun dan masa adolescence dalam usia 18-21 tahun. Menurut
Hurlock dan Zakiyah Daradjat, rentangan usia remaja itu antara 13-21 tahun.
WHO
menetapkan batas usia 19-20 tahun sebagai batasan usia remaja dan Perserikatan
Bangsa-bangsa sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth).
Sedangkan di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang
pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun.[22]
2. Perkembangan
Pada Masa Remaja
a. Perkembangan fisik
Masalah
penting yang sedang dihadapi oleh remaja cukup banyak dan yang paling kelihatan
adalah pertumbuhan jasmani cepat. Badannya berubah dari kanak-kanak menjadi
dewasa dalam masa empat tahun (usia 13-16 tahun). Perubahan tubuhnya tidak
serentak dan kadang-kadang tidak ada imbang, sehingga keserasian gerak tulang.[23]
Hal ini terutama tampak jelas pada hidung, kaki dan tangan.[24]
Di
samping itu terjadi pula perubahan di dalam tubuhnya, yaitu kelenjar
kanak-kanaknya telah teratur dan berganti dengan kelenjar endokrin yang
memproduksi hormon dan mempengaruhi pertumbuhan, termasuk organisasi seks, yang
berakibat anak perempuan mengalami haid, dan anak laki-laki mimpi basah yang
biasa disebut dengan masa puber atau baligh. Terjadi pula perubahan pada bagian
tubuh luar yang menyebabkan makin jelasnya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan,[25]
yaitu berupa tumbuh rambut pubik atau bulu kapok disekitar kemaluan dan ketiak,
bertambah besar buah dada dan bertambah besarnya pinggul perempuan. Sedangkan
pada laki-laki tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan atau
ketiak, terjadi perubahan suara, tumbuh kumis dan tumbuh gondok laki (jakun).[26]
b. Perkembangan
emosi
Masa
remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi.
Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya
emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami
sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu dan keinginan untuk berkenalan lebih
intim dengan lawan jenis. Pada usia remaja awal perkembangan emosinya
menunjukkan sikap yang sensitif dan reaktif sangat kuat terhadap berbagai
peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental
(mudah tersinggung/marah atau mudah sedih/murung). Sedangkan remaja akhir sudah
mampu mengendalikan emosinya.
Proses
pencapaian kematangan emosional sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional
lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila
lingkungan tersebut cukup kondusif dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan
yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai dan penuh tanggung jawab,
maka remaja cederung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya apabila
kurang dipersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapat perhatian
dan kasih sayang dari orang tua dan pengakuan dari teman sebaya, mereka
cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan
emosional.[27]
c. Perkembangan
kognitif (intelektual)
Masa
remaja awal adalah masa perkembangan kecerdasan yang akan mencapai puncaknya.
Pada umur kira-kira 14 tahun mereka telah mampu mengambil kesimpulan abstrak
dari kenyataan yang ditemukannya. Pada umur antara 16-16 tahun perkembangan
kecerdasan dapat dikatakan selesai. Karena itu mereka telah mampu mengkritik orang
tuanya, guru dan para pemimpin yang menurut penilaian obyektif kurang baik atau
bijaksana. Maka suasana demokrasi di dalam keluarga, sekolah dan lingkungan
akan membantu semoga menjadi orang yang kritis dan berpikiran matang.[28]
d. Perkembangan
sosial
Untuk
mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak
penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan
meningkatnya pengaruh kelompok sebaya pada sikap, pembicaraan, minat,
penampilan dan perilaku mereka yang lebih besar daripada pengaruh keluarga
karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman
sebaya sebagai kelompok.
Selain
itu juga terjadi perubahan yang menonjol di bidang hubungan heteroseksual.
Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak
menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan
jenisnya daripada teman sejenis.[29]
e. Perkembangan
moral
Melalui
pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau
orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika
dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai
moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan dan
kedisiplinan.
Pada
masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai
baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan
fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian
positif dari orang lain tentang perbuatannya).[30]
f.
Perkembangan kesadaran beragama
Pada
masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat sehingga memungkinkan terjadinya
kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatiran. Bahkan kepercayaan agama yang
telah tumbuh pada umur sebelumnya mungkin pula mengalami kegoncangan.
Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat akan tetapi kadang-kadang
menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas.
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptis (was-was) sehingga muncul keengganan
dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (seperti ibadah sholat)
yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Hal
itu disebabkan oleh matangnya organ seks, sikap independen yaitu keinginan
untuk bebas tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga (orang tua),
perkembangan budaya dalam masyarakat yang tidak jarang bertentangan dengan
nilai-nilai agama seperti beredarnya film-film porno, minuman keras dan lain
sebagainya. Mungkin remaja melihat bahwa banyak masyarakat yang kurang
mempedulikan agama, kurangnya bimbingan keagamaan dalam keluarga serta berteman
dengan kelompok teman sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka
kondisi di atas akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja
yang kurang baik atau asusila.[31]
3. Kebutuhan
Remaja
Kebutuhan
primer atau kebutuhan fisik remaja pada umumnya tidak banyak bedanya dari
kebutuhan anak-anak, seperti makan dan minum. Namun kebutuhan sekunder atau
kebutuhan kejiwaan remaja agak berbeda dari anak-anak baik dipandang dari segi
jenis maupun kualitas kebutuhan. Sebetulnya remaja memerlukan
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang sesuai dengan perkembangan emosinya
sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini:
Pertama
kebutuhan akan pengendalian diri. Remaja membutuhkan pengendalian terhadap
kelakuan dan tindakannya agar sesuai dengan ajaran agama dan tuntutan
masyarakat.
Kedua
kebutuhan akan kebebasan. Kematangan fisik mendorong remaja untuk berusaha
mandiri dan bebas mengambil keputusan untuk dirinya terlepas dari emosi orang
tua dan keluarganya.
Ketiga
kebutuhan akan rasa kekeluargaan, kebutuhan remaja yang bertentangan satu sama
lain menyebabkan akan rasa tidak aman, di mana keinginannya untuk mandiri dan
bebas berlawanan dengan kebutuhan untuk bergantung kepada orang tua. Hilangnya
rasa aman menimbulkan suatu dorongan baru yaitu kebutuhan akan rasa
kekeluargaan, artinya dia adalah bagian dari keluarganya dan bangga dengan
keluarga tersebut.
Keempat
kebutuhan akan penerimaan sosial. Remaja membutuhkan rasa diterima oleh
orang-orang dalam lingkungannya, di rumah, di sekolah, atau dalam masyarakat di
mana dia tinggal. Hal ini menjamin rasa aman bagi remaja karena ia merasa bahwa
ada dukungan dan perhatian dari mereka sehingga menjadi motivasi untuk lebih
sukses dan berhasil.
Kelima
kebutuhan akan penyesuaian diri. Penyesuaian diri sangat dibutuhkan pada usia
remaja baik di dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat karena pada masa
ini remaja banyak mengalami kegoncangan dan perubahan pada dirinya.
Keenam
kebutuhan akan agama dan nilai-nilai. Remaja membutuhkan pemahaman akan ajaran
agama, nilai-nilai akhlak serta nilai-nilai sosial untuk membantunnya dalam
melawan pengaruh dan dorongan buruk.[32]
4. Problematika
Remaja
Sebagai
manusia anak remaja mempunyai berbagai kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi
dan merupakan pula sumber daripada timbulnya berbagai problema dalam dirinya
terutama dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Yang
dimaksud dengan problema remaja ialah masalah-masalah yang dihadapi para remaja
sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan mereka dalam rangka penyesuaian
diri terhadap lingkungan remaja itu hidup dan berkembang.[33]
Untuk
mengetahui problem-problem yang dialami remaja telah banyak dilakukan riset di
beberapa negara termasuk Indonesia. Terbukti dari hasil riset itu bahwa ada
problem-problem yang umum dialami oleh semua remaja di mana saja mereka hidup,
diantaranya adalah :
a. Masalah sekolah
b. Masalah
keluarga
c. Masalah
kesehatan
d. Memilih
pekerjaan dan kesempatan belajar
e. Pertumbuhan
pribadi dan sosial
f.
Perkembangan jiwa (watak)
g. Masalah
pengisian waktu terluang
h. Masalah seks
i.
Masalah keuangan
j.
Masalah persiapan untuk berkeluarga
k. Kehidupan
masyarakat (civic)
l.
Masalah agama dan akhlak[34]
5. Relasi Orang
Tua dengan Remaja
Keluarga
mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam
bidang pendidikan keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena segala
pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari
orang tua dan anggota keluarganya sendiri. Setiap anggota keluarga dibutuhkan
dan saling membutuhkan satu sama lain supaya mereka dapat hidup lebih senang
dan tenang.[35]
Sebelum
masa remaja anak-anak tergantung secara mutlak pada orang tua. Anak diasuh dan
dirawat oleh orang tua. Tingkah laku anak banyak dipengaruhi dan ditentukan
oleh orang tua. Hubungan orang tua dengan anak begitu erat sehingga orang tua
pada umumnya mengetahui suasana hati dan jalan pikiran anaknya. Seolah-olah
setiap persoalan anak langsung dapat ditebaknya.
Pada
masa remaja terlihat merenggangnya hubungan antara orang tua dengan remaja. Di
antara mereka sulit dilakukan komunikasi, akhirnya hubungan tersebut sedemikian
renggangnya sehingga kesan yang diperoleh dari mereka berupa usaha melepaskan
diri ingin berdiri sendiri. Di sini mulailah masa penuh kotradiksi antara orang
tua dan remaja. Di satu pihak para remaja merasa tidak dimengerti oleh orang
tua. Sebaliknya orang tua tidak mengetahui isi hati para remaja.[36]
Namun demikian masih banyak orang tua yang berhasil untuk berhubungan baik
dengan anaknya yang sudah remaja. Semua itu kembali kepada pola hubungan antara
anak dengan orang tua yang terdapat dalam keluarga yang akan mempunyai pengaruh
terhadap proses penyesuaian diri anak-anak.[37]
Beberapa pola hubungan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri antara lain :
a. Over-possesive
atau otoriter yaitu orang tua yang ingin menguasai anak-anaknya. Di sini orang
tualah yang mempunyai dominasi dalam relasinya dengan anak. Orang tua ini
bersemboyan : “Ini adalah anak saya, karena itu dia harus mengerjakan apa saja
yang saya inginkan”.[38]
Orang tua tidak mendukung anak dalam memperkembangkan keinginannya bertindak
sendiri atau mungkin sama sekali menentang keinginan anak untuk bertindak
sendiri.[39]
Orang tua merasa berkuasa di rumah tangga sehingga segala tindakannya terlihat
keras, kata-katanya kepada anak-anak tajam dan menyakitkan hati, banyak
memerintah, kurang mendengarkan keluhan atau usul-usul anak-anaknya terlalu
disiplin.[40]
Anak
yang hidup dalam suasana demikian akan memiliki sifat submisif (nerima) dan
sensitif (perasa)[41]
apatis (masa bodoh), rasa takut dan dendam. Biasanya anak berusaha untuk
menentang kekuasaan orang tua dan pada gilirannya ia akan cenderung otoriter
terhadap teman-temannya dan cenderung menentang otoritas yang ada di sekolah
maupun di masyarakat.[42]
Selain
menentang anak cenderung memburukkan nama orang tua di luar, tidak ada rasa
kasih sayang terhadap orang tua dan sanak saudara, mencuri barang dan uang
orang tua dan sebagainya. Jika ia anak orang kaya, maka rasa dendam pada orang
tua ialah dengan bentuk suka berpakaian jelek atau mencuri di luar sehingga merugikan nama orang tuanya
yang terpandang itu.
Jika
orang tuanya kebetulan orang yang terpandang, maka sebagai rasa balas dendam
terhadap orang tuanya ialah malas belajar, sehingga orang tuanya yang
terpandang dan berpangkat tinggi itu mendapat malu karena mempunyai anak yang
malas belajar. Jika kebetulan bapaknya seorang ulama maka anaknya yang
pendendam itu tidak mau sembahyang atau mengaji atau melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang bertentangan dengan agama sehingga memberi malu kepada orang tuanya.
Rasa
takut yang disebabkan otoriter orang tua akan menyebabkan anak tidak berkembang
daya kreatifnya dan menjadi orang yang penakut dan penggugup nantinya di masyarakat.
Selanjutnya sikap apatis yang ditimbulkan oleh otoreter orang tua akan
mengakibatkan anak menjadi pendiam, memencilkan diri, tak sanggup bergaul
dengan orang lain.[43]
b. Over indulgent
yaitu sikap orang tua yang sangat memanjakan dan menurutkan kehendak anaknya.
Orang tua ini berpendapat : “Saya adalah orang tua anakmu”. Karena itu saya
akan mengerjakan dan meluluskan apa yang menjadi keinginan anak saya. Di sini
relasi ditandai oleh adanya dominasi anak.[44]
Disiplin, koreksi dan hukuman ditiadakan berdasarkan anggapan palsu bahwa
self-expressive itu selalu benar.
Orang
tua pemanja ini bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang dikerjakan, apa yang
dikatakan dan dipikirkan oleh anaknya, dan membolehkan anaknya pergi dan pulang
sembarang waktu. Mereka bertahan pada pikirannya bahwa seperti halnya dengan
bunga-bunga di hutan tumbuh dan berkembang tanpa ada frustasi, maka anaknya
tidak boleh dihalang-halangi dalam keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya.[45]
Anak
yang hidup dalam keadaan yang demikian dapat memiliki sifat-sifat agresif,
nakal, keras kepala.[46]
Perasaan tidak aman, cemburu, rendah diri, canggung,[47]
agresif, bohong, bertindak melampiaskan hawa nafsu tanpa kekangan sehingga
merusak harga diri dan masyarakat sekitarnya.[48]
Ia selalu mengharapkan bantuan dan perhatian dari orang lain dan ia berusaha
menarik perhatian mereka, serta menyangka bahwa perhatian seperti itu adalah
haknya.[49]
Secara
sadar dan tidak sadar orang tua pemanja mendorong anaknya pada disposisi tiga
bentuk kejahatan:
1) Yang
menggemparkan.
Remaja yang pada masa kecilnya diberi apa saja yang diinginkan, akan selalu
mencari hal-hal baru yang menggemparkan yang memberi kepuasan pada egonya yang
sakit, misalnya: minum alkohol, ganja, bahkan membunuh, menyiksa anak lain,
sehingga cacat sampai meninggal hanya demi kepuasan hewannya. Kalau anak
penggede atau anak kaya atau kebetulan dapat berlindung dalam organisasi yang
kuat, kejahatan-kejahatan ini dapat ditutup-tutupi, akan tetapi hal ini akan
menambah kebuasan-kebuasannya saja.
2) Pencurian
dan penodongan.
Karena tidak pernah diajari disiplin, egonya menjadi lebih imperatif dalam
menuntut tidak apa yang mereka butuhkan, tetapi apa yang mereka inginkan.
Anak-anak jahat sedikit sekali yang muncuri pakaian atau makanan, mereka
mencuri hanya untuk memuaskan egonya yang manja. Kita ingat saja, bahwa tidak
hanya yang miskin kekurangan saja yang mencuri, tetapi anak-anak muda dari kaum
menengah bahkan anak-anak dari golongan kaya.
Karena
tidak pernah belajar tentang hubungan antara usaha dan pujian, anak-anak itu
menganggap kebobrokan moral sebagai pujian. Hak untuk berusaha mencapai
kebahagiaan, bagi mereka menjadi hak untuk mempunyai kebahagiaan, tidak peduli
apakah itu merugikan orang lain, yang penting puas.
3) Tidak
bertanggung jawab.
Karena sejak kecil sudah dimanja, anak-anak ini masuk penghidupannya tanpa
mempunyai sense of mission, tujuan hidup. Dari pengalaman-pengalamannya
dengan orang tuanya, mereka beranggapan bahwa dunia ini berhutang kepadanya
suatu penghidupan. Terlatih tanpa tanggung jawab sejak tahun-tahun permulaan,
mereka tidak disiapkan untuk memainkan peranan yang bertanggung jawab dalam
penghidupan yang riil dan nyata. Misalnya si remaja ngebut di jalan raya hanya
untuk merasakan kepuasan.[50]
c. Sikap orang tua
yang acuh tak acuh kepada anak yaitu, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengadakan serta menikmati hubungan-hubungan kasih sayang dengan orang tuanya.[51]
Orang tua kurang memperhatikan anaknya yang sudah remaja. Anaknya dibiarkannya
tanpa bimbingan pendidikan dan pengawasan atau pengawasan itu dilimpahkan
kepada pembantu. Boleh jadi mereka tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan
anaknya karena dia sibuk dengan di luar rumah. Mungkin saja mereka ada di
rumah, akan tetapi mereka tidak memberikan perhatian kepada anaknya karena ia
sibuk dengan dirinya sendiri atau mempunyai masalah dalam keluarga.
Orang
tua membiarkan anaknya tumbuh dan berkembang tanpa hambatan, anaknya diberi
fasilitas yang dapat disediakannya, bahkan ada di antara orang tua yang
berpendirian bahwa anak laki-laki boleh berbuat apapun. Sampai-sampai anaknya
diberi uang yang berlebihan. Remaja yang mendapat fasilitas seperti itu
biasanya menggunakan kesempatan itu tanpa memikirkan baik buruknya. Tidak
jarang terjadi pelanggaran-pelanggaran agama dan nilai-nilai akhlak pada remaja
di umur yang sangat muda itu. Akibat lebih jauh, si remaja menjadi malas
belajar dan biasanya gagal menjadi orang dewasa yang matang. Si anak akan
merasa tidak terikat kepada orang tuanya dan mudah terpengaruh oleh orang-orang
di luar keluarganya.[52]
Bila ia tidak menemukan pengganti orang tua yang dapat memberikan kasih sayang
di luar rumah, itu sangatlah berat baginya dan berbahaya. Maka ia akan
menghadapi kehidupan ini serba tidak menentu dan akan menderita sakit tanpa
pertolongan orang lain.[53]
d. Sikap orang tua
yang demokratis, artinya orang tua memberikan kesempatan kepada setiap anaknya
menyatakan pendapat, keluhan, kegelisahannya dan oleh orang tua ditanggapi
secara wajar dibimbing seperlunya. Orang tua yang seperti ini memahami akan
hakikat perkembangan anak yakni mencapai kedewasaan fisik, mental, emosional
dan sosial anak. Terutama pada masa remaja, sikap demokratis orang tua amat
dibutuhkan karena anak sudah mulai merasakan bahwa ia juga akan sanggup
berfikir dan berbuat seperti orang dewasa, walaupun sikap kekanak-kanakan masih
terlihat nyata. Dalam periode usia ini hendaknya orang tua tidak menganggap
anak remajanya sebagai anak kecil yang bisa dibentak, diperintah dan dimarahi
seenaknya. Tetapi sebaiknya diajak bermusyawarah, terutama hal-hal yang berhubungan
dengan kepentingan dirinya.[54]
Remaja
mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan
orang tua, menentukan dan mengaambil keputusan akan tetapi orang tua masih
melakukan pengawasan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan
persetujuan orang tua.[55]
Remaja
sangat membutuhkan sikap orang tua yang dekat dan bisa memahami dirinya, bukan
sikap orang tua yang layaknya seperti orang asing, selalu menjaga jarak dengan
anak-anaknya. Dan juga anak remaja lebih aman bila tinggal di lingkungan
keluarga yang ada aturan dan ditegakkannya kedisiplinan oleh seluruh anggota
keluarganya.
Ada
hubungan yang harmonis serta terbukanya komunikasi dua arah antara anak dengan
orang tua tentu akan menimbulkan sikap keterbukaan dan saling pengertian antara
keduanya. Alangkah baiknya lagi bila pihak remaja juga bersedia menyampaikan
masalah atau kesulitan yang dialaminya secara fair kepada orang tua, sehingga
endapan-endapan perasaan yang akan berdampak negatif bisa dicairkan.[56]
Kasih
sayang yang didasari oleh rasa persahabatan yang sewajarnya akan
orang tua dengan anak, kesediaan menerima, keterbukaan merupakan ciri dari
hubungan yang akrab antara orang tua dan anak-anaknya.[57]
Anak-anak
yang merasa bebas untuk mempercayai orang tuanya memperlihatkan cara-cara
penyesuaian diri yang lebih baik daripada anak-anak yang tidak mempercayai
orang tuanya, apabila penyesuaian diri ini ditentukan oleh kriteria seperti
kestabilan emosi, kepatuhan sosial, ciri-ciri pribadi yang disenangi dan
dipatuhi di sekolah. Penelitian ini menunjukkan bahwa, anak-anak yang percaya
pada orang tuanya cenderung menjadi conformer. Beberapa bukti juga
menunjukkan, sekalipun tidak konklusif, bahwa anak-anak yang suka memberontak
berasal dari keluarga di mana tidak terdapat rasa saling mempercayai antara
orang tua dengan anaknya.
Adalah
sangat penting bagi para remaja mempunyai seseorang yang dapat dipercayainya.
Hal ini akan membawa keberhasilan pada perkembangan para remaja.[58]
C. Kontribusi
Mata Pelajaran Aqidah Akhlak Terhadap Problematika Remaja dalam Keluarga
Hidup
keberagamaan remaja kecuali merupakan proses kelanjutan dari pengaruh
pendidikan yang diterima pada masa kanak-kanak, juga mengandung
implikasi-implikasi yang psikologis yang khas remaja, yang disebut puber atau
adolesen yang perlu mendapat perhatian dan pengatanan khusus.[59]
Para
pendidik harus selalu memikirkan moral, tingkah laku dan sikap yang harus
ditumbuhkan dan dibina pada anak didik. Ia tidak cukup sekedar menuangkan
pengetahuan ke otak anak-anak atau hanya memikirkan peningkatan ilmuah dan
kecakapan anak-anak saja. Jika pembinaan kepribadian dan moral tidak disertakan
dalam pendidikan anak-anak, maka akan lahirlah sarjana yang tinggi
pengetahuannya, tetapi tidak dapat memberikan manfaat yang betul-betul kepada
masyarakat. Karena mereka hanya akan memikirkan diri sendiri, menggunakan ilmu
dan kepandaiannya untuk mencari keuntungan dan kesenangan dirinya pribadi,
tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi kepada orang banyak. Maka dalam setiap
pendidikan pengetahuan, harus ada pendidikan moral dan pembinaan kepribadian
yang sehat.[60]
Dengan
pembinaan akhlak ingin dicapai terwujudnya manusia yang ideal, anak yang
bertaqwa kepada Allah SWT dan cerdas. Pendidikan akhlak bertujuan untuk
menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan ajaran Islam yang taat
beribadah dan sanggup hidup bermasyarakat yang baik.
Di
dunia pendidikan, pembinaan akhlak tersebut dititikberatkan pada pembentukan
mental anak atau remaja agar tidak mengalami penyimpangan. Dengan demikian akan
mencegah terjadinya juvenle delinquency, sebab pembinaan akhlak
berarti bahwa anak remaja dituntun agar belajar memiliki rasa tanggung jawab.[61]
Menurut Drs. Agus Suyanto :
Yang dimaksud dengan ia telah mulai
dapat bertanggung jawab bahwa ia telah mengerti tentang perbedaan antara yang
benar dengan yang salah, yang boleh dan yang dilarang, yang dianjurkan dan yang
dicegah, yang baik dan yang buruk, dan ia sadar bahwa ia harus menjauhi segala
yang bersifat negatif dan mencoba membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal
yang positif … Bila suatu ketika bahwa ia berbuat salah, serta ia sendiri
menyadari akan kesalahannya itu, maka ia harus secepatnya berhenti dari
kesalahannya itu dan segera kembali ke jalan yang semestinya.[62]
Pada
dasarnya pembinaan akhlak akan mampu menuntun anak-anak remaja menjadi manusia
dewasa dalam arti dewasa secara sosial, emosional dan intelektual.[63]
Kecerdasan tersebut dapat dilihat bahwa:
… Ia menjadi seorang manusia yang
dengan kemampuan sendiri, memikirkan berbagai persoalan, mengambil kesimpulan,
menentukan suatu keputusan, melaksanakan keputusan itu dengan cermat dan
bijaksana, serta mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya secara individual
dan sosial. Ia berpartisipasi secara aktif dan konstruktif di dalam berbagai segi
kehidupan yang menyangkut kesejahteraan sesama manusia. Ia menjalani pendidikan
dan tidak berhenti mendidik diri sendiri. ia mempunyai pekerjaan yang
dilaksanakan sungguh-sungguh bertanggung jawab dan jujur … ia menjadi manusia
bermoral, sholeh dan beriman, ia toleran. Ia tidak mengingkari tugasnya sebagai
warga negara dan ia menghormati hukum dan kaidah sosial.[64]
Kegunaan
lain yang dapat dipetik dari hasil pembinaan akhlak, yakni: terhindarnya
anak-anak remaja dari tabi’at-tabi’at tercela dan sebagai langkah
penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja. Dengan demikian pembinaan
akhlak dapat memberi sumbangan positif bagi ketentraman dan keamanan masyarakat
dari kejahatan pada umumnya; terutama gangguan dari kenakalan remaja. Sebab
pada hakikatnya penjahat yang sudah dewasa merupakan perkembangan lebih lanjut
dari kebiasaan melakukan kejahatan di waktu kecil, pada masa-masa perkembangan
mental, yakni: masa remaja.
Prof. W.A. Bonger dalam kitab
kecilnya “Inleiding Tot de Criminologi” antara lain mengemukakan : kejahatan
anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan,
lagi pula kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak kecil.
Siapa menyelidiki kejahatan anak-anak yang dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan
anak-anak yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan
kejahatan orang dewasa.
Berdasarkan
pendapat Prof. W.A. Bonger tersebut dapat dipahami bahwa: penanggulangan
kejahatan pada umumnya dapat melalui penanggulangan kenakalan remaja bik secara
“moralistik” maupun “abolisionistik”.
Secara
moralistik, pembinaan akhlak merupakan salah satu cara untuk membentuk mental
manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan
bersusila, berarti pula cara tersebut sangat tepat untuk membina mental anak
remaja. Dalam proses ini tersimpul indikator bahwa pembinaan akhlak merupakan
penuntun bagi umat manusia untuk memiliki sikap mental dan kepribadian sebaik
yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, perbinaan,
pendidikan dan penanaman nilai-nilai akhlakqulkarimah sangat tepat bagi anak
remaja agar di dalam perkembangan mentalnya tidak mengalami hambatan dan
pengamatan ke arah negatif. Media yang dapat digunakan yakni lewat
contoh-contoh, latihan-latihan dan praktik-praktik nyata yang dilakukan oleh
kedua orang tua di dalam kehidupan keluarga, oleh para guru di lingkungan
sekolah, juga guru-guru didik selain orang tua dan guru di dalam kelas.
Dalam
kaitannya dengan konsep pendidikan nasional, pendidikan akhalk dapat dijadikan
salah satu alternatif materiil, dengan demikian tujuan pendidikan nasional akan
dapat disentuh, kemudian dicapai dalam arti yang sesungguhnya. Jika menghadapi
kenakalan remaja (juvenile delinquency) maka pendidikan akhlak dapat dijadikan
salah satu metode penanggulangan atau dapat digunakan secara bersama-sama
sebagai metode “moralistik" yaitu menyebarluaskan di kalangan anak-anak
remaja beberapa sarana untuk memperteguh moral dan mental anak remaja agar
dapat terhindar dari dorongan nafsu ingin berbuat jahat, sarana tersebut adalah
ajaran-ajaran agama, etika budi pekerti, norma-norma sosial. Dan metode
“abolisionistik” yaitu berusaha mencegah kemungkinan timbulnya kenakalan remaja
dengan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya
kenakalan remaja. Misalnya: memperbaiki ekonomi rakyat untuk mencegah kenakalan
remaja yang disebabkan tekanan ekonomi (pengangguran, kemiskinan dan
kelaparan), mempertinggi kebudayaan dan memperbaiki peradaban. Pendidikan
akhlak dapat mencerdaskan manusia, secara psikologis dapat menyehatkan mental
remaja.[65]
[1]Moh. Rifa’i, Aqidah Akhlak untuk MTs Kelas I,
CV Wicaksana, Semarang, 1994, hlm 16-17.
[2]Mohammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran
Agama Islam, Dirjen Bimbaga, Jakarta, 1985, hlm 115.
[3]M. Rifa’i, Aqidah Akhlak untuk MA Kelas I,
Wicaksana, Semarang, 1989, hlm 7.
[4] Ibid, hlm 35-36.
[5] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Dirjen Bimbaga,
1984/1985, hlm 134.
[6] Depag RI, GBPPI, Mata Pelajaran Aqidah Akhlak,
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1994, hlm 1-2.
[7] Ibid, hlm 2.
[8] Depag RI, Loc. Cit.
[9] Depag RI, Loc. Cit.
[10] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran
Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 31-58.
[11] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 164-167.
[12] Syamsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 41.
[13] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos,
Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm 45.
[14] Syamsu Nizar, Op. Cit, hlm 78.
[15] Ibid, hlm 56-57.
[16] Ibid, hlm 60-62.
[17] Ibid, hlm 62-67.
[18] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan,
Erlangga, Jakarta, hlm 206.
[19]Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, PT Gunung
Agung, Jakarta, 1975, hlm 106.
[20]Sarlito Wirawan Sarwono, Seksualitas dan Fertilitas
Remaja, PT Rajawali, Jakarta, 1981, hlm 26.
[21]Akhmad Azhar Abu Miqdad, Pendidikan Seks Bagi
Remaja Menurut Hukum Islam, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm 34.
[22]Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka
Cipta, Jakarta, 1999, 57-58.
[23]Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga
dan Sekolah, CV Ruhama, Jakarta, 1998, hlm 87.
[24]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm 193.
[25]Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 88.
[26]Syamsu Yusuf, Op. Cit, hlm 194.
[27] Ibid, hlm 196-197.
[28] Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 90.
[29] Elizabeth B. Hurlock, Op. Cit, hlm 213-214.
[30] Syamsu Yusuf, Op. Cit, hlm 199.
[31] Ibid, hlm 204-205.
[32] Zakiyah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan,
Ruhana, Jakarta, 1995, hlm 17-20.
[33] Sofyan S. Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya,
Angkasa, Bandung, 1981, hlm 32.
[34] Zakiyah Daradjat, Problema Remaja di Indonesia,
Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm 48.
[35] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga,
Gunung Mulai, Jakarta, 1979, hlm 9.
[36]Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, PT Gunung
Mulia, Jakarta, 1988, hlm 119.
[37]Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 21.
[38]Melly Sri Sulastri Rifa’i, Psikologi Perkembangan
Remaja dari Segi Kehidupan Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 32.
[39]Singgih D. Gunarsa, Op. Cit, hlm 29.
[40] Sofyan S. Willis, Op. Cit, hlm 44.
[41] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Loc. Cit.
[42] Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka
Cipta, Jakarta, 2002, hlm 237.
[43] Sofyan S. Willis, Loc. Cit.
[44] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Loc. Cit.
[45] Koestoer, P, Dinamika dalam Psikologi Pendidikan,
Erlangga, Jakarta, 1983, hlm 65-66.
[46] Melly Sri Sulastri Rifai, Loc. Cit.
[47] Sunarto, Op. Cit, hlm 234.
[48] Sofyan S. Willis, Op. Cit, hlm 46.
[49] Sunarto, Op. Cit, hlm 237.
[50] Koestoer P. Op. Cit, hlm 66-67.
[51] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Op. Cit, hlm 33.
[52] Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 22-23.
[53] Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja Dimensi-dimensi
Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm 77-78.
[54] Sofyan S. Willis, Op. Cit, hlm 46.
[55] Singgih D. Gunarsa, Op. Cit, hlm 116-117.
[56] Akhmad Suyuti, Op. Cit, hlm 169-170.
[57] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Loc. Cit.
[58] Dadang Sulaeman, Op. Cit, hlm 80-81.
[59] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan
Umum), Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm 215.
[60] Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 126.
[61] Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja,
Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm 148.
[62] Agus Suyanto, Psikologi Perkembangan, Aksara
Baru, Jakarta, 1981, hlm 290.
[63] Sudarsono, Op. Cit, hlm 62-149.
[64] Winarno Surahmad, Psikologi Pemuda, Jemmars,
Bandung, 1980, hlm 207.
[65] Sudarsono, Op. Cit, hlm 150-152.
0 Response to "MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAK DAN PROBLEMATIKA REMAJA DALAM KELUARGA"
Post a Comment