MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAK DAN PROBLEMATIKA REMAJA DALAM KELUARGA

MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAK DAN PROBLEMATIKA REMAJA DALAM KELUARGA



   A.    Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
  1.      Pengertian Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata عَقِدَ يَعْقِدُ عَقِيْدَةَ yang berarti ikatan. Sedangkan arti aqidah menurut istilah adalah :
اَلْعَقِيْدَةُاْلاِسْلاَمِيَّةُهِيَ اْلاُمُوْرُالَّتِىيَعْتَقِدُهَااَهْلُ اْلاِسْلاَم اَيُ يَجْزُ هُوْنَ بِصِحَّتِهَا

Artinya : "Aqidah Islam ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam artinya mereka menetapkannya atas kebenarannya”.[1]

Menurut syara’ kepercayaan (aqidah) ialah iman yang kokoh terhadap segala sesuatu yang disebut secara tegas oleh Al-Qur'an dan hadits shahih.
Sebagian ulama fiqih mendefinisikan aqidah sebagai sesuatu yang diyakini dan dipegang teguh, sukar sekali untuk dirubahnya. Ia beriman sesuai dengan dalil-dalil yang sesuai dengan kenyataan, seperti iman kepada Allah SWT, hari akhirat, kitab-kitab Allah dan rasul-rasul Allah SWT.[2]
M. Rifa’i memberi batasan bahwa aqidah ialah sesuatu yang harus dibenarkan oleh hati yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin dan mantap tidak dipengaruhi oleh syak wasangka.[3]
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aqidah adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber ajaran Islam yang wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Kata akhlak berasal dari Bahasa Arab yaitu خُلُقْ jamaknya اَخْلاَقْ yang artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral atau budi pekerti.
Sedangkan akhlak menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
a.      Ibnu Maskawaih mendefinisikan
حَالُ النَّفْسِ داَعِيَةٌ لَهَا اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ

Artinya : "Sikap jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu).”

b.      Prof Dr. Ahmad Amin menjelaskan
عَرَّفَ بَعْضُهُمُ الْخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ اْلاِرَادَةِ يَعْنِيْ أَنَّ اْلاِرَادَةَ اِذَاعْتَادَتْ شَيْئًا فَعَادَتُهَا هِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ

Artinya : "Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak adalah kehendak yang dibiasakan artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamai akhlak.”

c.       Imam Al-Ghazali mengemukakan
اَْلاَخْلاَقُ هِيَ صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِىالْقَلْبِ تَصْدُرُ عَنْهَا اَفْعَالٌ بِسُهُوْلَةٍ وَتَسِيْرُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍوَرُءْيَةٍ

Artinya : "Akhlak ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan segala perbuatan yang dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan fikiran dan pertimbangan”.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya artinya sesuatu perbuatan atau sumber tindak tanduk manusia yang tidak dibuat-buat dan perbuatan yang dapat dilihat adalah gambaran dari sifat-sifatnya yang tertanam dalam jiwa, jahat atau baiknya.[4]
Mata pelajaran Aqidah Akhlak ialah suatu usaha mata pelajaran yang menjajarkan dan membimbing siswa untuk dapat mengetahui, memahami dan meyakini ajaran Islam serta dapat membentuk dan mengamalkan tingkah laku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam.[5]
Mata pelajaran Aqidah Akhlak merupakan suatu mata pelajaran yang harus direalisasikan dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan yang harmonis pada siswa, sebab pelajaran Aqidah Akhlak bukan hanya bersifat kognitif semata melainkan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seorang guru dalam melaksanakan pengajaran Aqidah Akhlak harus senantiasa memberi tauladan yang baik bagi siswa saat berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian pengajaran Aqidah Akhlak yang disampaikan oleh guru dapat diterima oleh siswa semaksimal mungkin sehingga tujuan yang telah diprogramkan dapat tercapai.

2.      Fungsi dan Tujuan Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Mata pelajaran  Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah berfungsi sebagai:
a.      Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada siswa agar mau menghayati dan meyakini dengan keyakinan yang benar tentang Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhirat dan qadla qadarNya.
b.      Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada siswa agar mau menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam tentang akhlak baik yang berhubungan dengan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungan.
Adapun tujuan mata pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah adalah :
a.      Agar siswa memiliki pengetahuan, penghayatan dan keyakinan yang benar terhadap hal-hal yang harus diimani sehingga keyakinan itu tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
b.      Agar siswa memiliki pengetahuan, penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan sehingga menjadi manusia yang berakhlak manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.       Agar siswa memiliki aqidah yang benar serta akhlak yang baik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[6]

3.      Ruang Lingkup Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Secara garis besar, pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah meliputi keserasian, kesetaraan dan keseimbangan yang bermateri pokok sebagai berikut :
a.      Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT, mencakup segi aqidah yang meliputi : iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari akhirat dan qadla qadarnya.[7]
Hubungan horizontal antara manusia dengan manusia mencakup segi akhlak yang meliputi kewajiban membiasakan akhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain serta menjauhi akhlak yang buruk.[8]
b.      Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang bersifat pelestarian alam, hewan, tumbuh-tumbuhan sebagai kebutuhan hidup manusia.[9]

4.      Metode Mengajar Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
Bertitik tolak kepada pengertian metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka prinsip metode mengajar tidak dapat diabaikan karena metode mengajar tersebut turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian integral dalam suatu sistem pengajaran. Oleh karena itu pemakaian metode harus sesuai dan selaras dengan karakteristik siswa, materi, kondisi lingkungan (setting) di mana pelajaran berlangsung.
Adapun metode mengajar dalam mata pelajaran Aqidah Akhlak adalah sebagai berikut:
a.      Metode ceramah
Metode ceramah diartikan sebagai suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru di muka kelas. Peran murid di sini sebagai penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan dan mencatat keterangan-keterangan guru bilamana diperlukan.
Keunggulan metode ceramah ini adalah :
1)      Penggunaan waktu yang efisien dan pesan yang disampaikan dapat sebanyak-banyaknya.
2)      Pengorganisasian kelas lebih sederhana.
3)      Dapat memberikan motivasi dan dorongan terhadap siswa dalam belajar.
4)      Fleksibel dalam penggunaan waktu dan bahan.
Kelemahan metode ceramah ini adalah :
1)      Guru seringkali mengalami kesulitan dan mengukur pemahaman siswa tentang materi yang diceramahkan.
2)      Siswa cenderung bersifat pasif dan sering keliru dalam menyimpulkan penjelasan guru.
3)      Bilamana guru menyampaikan bahan yang sebanyak-banyaknya dalam tempo yang terbatas menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kemampuan siswa.
4)      Cenderung membosankan dan perhatian siswa berkurang.

b.      Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan obyektif.
Keunggulan metode diskusi ini adalah :
1)      Suasana kelas menjadi bergairah.
2)      Dapat menjalin hubungan sosial antar individu siswa.
3)      Hasil diskusi dapat dipahami oleh siswa karena mereka secara aktif mengikuti perdebatan yang berlangsung dalam diskusi.
4)      Melatih siswa untuk disiplin dan menghargai pendapat orang lain.
Kelemahan-kelemahan metode diskusi adalah :
1)      Adanya sebagian siswa yang kurang berpartisipasi secara aktif dalam diskusi dapat menimbulkan sikap acuh tak acuh dan tidak bertanggung jawab terhadap hasil diskusi.
2)      Sulit meramalkan hasil yang ingin dicapai karena penggunaan waktu yang terlalu panjang.
3)      Para siswa kesulitan mengeluarkan ide-ide atau pendapat mereka secara ilmiah atau sistematis.
c.       Metode tanya jawab
Metode tanya jawab ialah penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau sebaliknya siswa diberi kesempatan bertanya dan guru menjawab pertanyaan.
Keunggulan metode ini adalah :
1)      Kelas akan menjadi hidup.
2)      Siswa terlatih berani mengemukakan pertanyaan atau jawaban.
3)      Dapat mengaktifkan retensi siswa terhadap perilaku yang telah lalu.
Sedangkan kelemahan metode ini adalah :
1)      Waktu yang digunakan dalam pelajaran tersita.
2)      Kemungkinan terjadi penyimpangan perhatian siswa bilamana terdapat pertanyaan atau jawaban yang tidak berkenaan dengan sasaran yang dibicarakan.
3)      Jalannya pengajaran kurang dapat terkoordinir secara baik, karena timbulnya pertanyaan-pertanyaan dari siswa yang mungkin tidak dapat dijawab secara tepat baik oleh guru maupun oleh siswa.
d.     Metode sosio-drama dan bermain peranan
Metode sosio-drama dan bermain peranan merupakan teknik mengajar yang banyak kaitannya dengan pendemonstrasian kejadian-kejadian yang bersifat sosial.
Keunggulan metode sosio-drama dan bermain peranan ini adalah :
1)      Siswa terlatih untuk mendramatisasikan sesuatu dan juga melatih keberanian mereka.
2)      Kelas akan menjadi hidup.
3)      Siswa dapat menghayati sesuatu peristiwa sehingga mudah mengambil sesuatu kesimpulan berdasarkan penghayatannya sendiri.
Adapun kelemahan metode ini adalah :
1)      Banyak menyita waktu atau jam pelajaran.
2)      Memerlukan persiapan yang teliti dan matang.
3)      Kadang-kadang siswa berkeberatan untuk melakukan peranan yang diberikan karena alasan psikologis.
e.      Metode drill
Metode drill atau disebut latihan dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau ketrampilan latihan terhadap apa yang dipelajari, karena hanya melakukannya suatu praktis suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan disiap siagakan.
Keunggulan metode siap (drill) ini antara lain :
1)      Siswa akan memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
2)      Dapat menimbulkan rasa percaya diri bahwa para siswa yang berhasil dalam belajarnya telah memiliki suatu ketrampilan khusus yang berguna kelak di kemudian hari.
3)      Guru lebih mudah mengontrol dan dapat membedakan mana siswa yang disiplin dalam belajarnya dan mana yang kurang.
Kelemahan metode latihan ini antara lain :
1)      Dapat menghambat inisiatif siswa, di mana inisiatif dan minat siswa yang berbeda dengan petunjuk guru dianggap suatu penyimpangan dan pelanggaran dalam pengajaran yang diberikannya.
2)      Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan dalam kondisi belajar ini pertimbangan inisiatif siswa selalu disorot dan tidak diberikan keleluasaan.
3)      Menimbulkan verbalisme terutama pelajaran yang bersifat menghafal.[10]
f.        Metode resitasi
Metode resitasi adalah cara menyajikan bahan pelajaran di mana guru memberikan sejumlah tugas terhadap murid-muridnya untuk mempelajari sesuatu kemudian mereka disuruh untuk mempertanggungjawabkannya. Metode ini populer dengan sebutan PR. Kelebihan metode ini adalah :
1)      Pengetahuan yang diperoleh murid banyak berhubungan dengan minat dan banyak berguna untuk hidup mereka dan akan lebih lama diingat.
2)      Apabila tugas tersebut dalam bentuk kelompok, murid dapat saling bekerja sama dan saling membantu.
3)      Murid berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian berkreatif, berinisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
Adapun kekurangan pada metode ini adalah :
1)      Tugas rumah sering dikerjakan oleh orang lain.
2)      Tugas yang sukar dapat mempengaruhi ketenangan mental murid.
3)      Sukar memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individual dan murid suka menyalin pekerjaan teman.[11]

5.      Evaluasi Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
a.      Pengertian dan Kegunaan Evaluasi
Rangkaian akhir dari suatu proses kependidikan Islam adalah evaluasi atau penilaian. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam tujuan pendidikan Islam maka usaha pendidikan itu dinilai berhasil. Tetapi jika sebaliknya, maka ia dinilai gagal.[12]
Istilah evaluasi berasal dari Bahasa Inggris “evaluation” yang berarti tindakan atau proses yang menentukan nilai sesuatu dengan pendidikan.[13] Dalam pendidikan, evaluasi mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1)      Dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
2)      Dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu untuk mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah lebih baik.
3)      Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna membantu para pemikir pendidikan Islam mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
4)      Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan pertimbangan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam).[14]
b.      Prinsip Evaluasi
Dalam pelaksanaan evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai dasar pelaksanaan penilaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)      Prinsip berkelanjutan
Prinsip ini dimaksudkan bahwa evaluasi tidak hanya dilakukan dalam satu jenjang pendidikan, setahun, catur wulan atau per bulan, akan tetapi harus dilakukan setiap saat dan setiap waktu. Pada saat membuka pelajaran, menyajikan pelajaran apalagi menutup pelajaran, ditambah lagi pemberian tugas yang harus diselesaikan peserta didik. Dengan evaluasi secara kontinyu ini perkembangan anak didik dapat terkontrol dengan baik.
2)      Prinsip universal
Prinsip ini maksudnya adalah evaluasi hendaknya dilakukan untuk semua aspek sasaran pendidikan, apakah afektif, kognitif dan psikomotor.
3)      Prinsip keikhlasan
Dalam segala hal keikhlasan pendidik harus tercermin dari segi aktivitasnya dalam mendidik, termasuk diantaranya dalam mengadakan evaluasi pendidikan, guru atau pendidik yang ikhlas dalam mengavaluasi terlihat dalam sikapnya yang transparan dan obyektif. Pendidik tidak hanya mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan siswa, tetapi juga dapat menunjukkan jalan keluarnya, sehingga siswa tidak merasa bahwa ia dipersulit oleh guru.[15]
c.       Teknik Evaluasi
Sebelum penulis menjelaskan tentang teknik evaluasi, penulis akan menjelaskan tentang jenis penilaian dan tujuannya sebagai berikut:
1)      Penilaian formatif yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada suatu mata pelajaran tertentu. Tujuan dari penilaian formatif ini adalah untuk mengetahui hingga sejauh mana penguasaan murid terhadap bahan pendidikan agama yang diajarkan dalam satu program satuan pelajaran serta sesuai tidaknya dengan tujuan. Aspek-aspek yang dinilai meliputi : hasil kemajuan belajar murid yaitu : pengetahuan, ketrampilan dan sikap terhadap bahan pendidikan agama yang disajikan.
2)      Penilaian sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar murid yang telah selesai mengikuti pelajaran dalam satu cawu, semester atau akhir tahun. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai oleh murid selama satu cawu semester pada suatu unit pendidikan tertentu. Adapun aspek yang dinilai mempunyai kesamaan dengan penilaian formatif.
3)      Penilaian penempatan yaitu penilaian terhadap pribadi anak untuk kepentingan penempatan di dalam situasi belajar mengajar yang sesuai dengan anak didik tersebut. Tujuannya adalah untuk menempatkan anak didik pada tempat yang sebenarnya berdasarkan pada minat, bakat, kemampuan dan keadaan diri anak. Sehingga anak tidak mengalami hambatan di dalam mengikuti pelajaran yang disajikan guru. Aspek yang dinilai adalah keadaan fisik dan psikologis, bakat, kemampuan, pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspek lainnya yang dianggap perlu bagi kepentingan pendidikan anak.
4)      Penilaian diagnostik, yaitu penilaian terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan anak didik baik berupa kesulitan belajar atau hambatan dalam situasi belajar mengajar maupun untuk mengatasi hambatan yang dialami anak didik waktu mengikuti belajar mengajar. Aspek yang dinilai adalah hasil belajar mengajar dan latar belakang kehidupannya.[16]
Setelah penulis menjabarkan beberapa jenis penilaian serta tujuannya, kemudian penulis akan mencoba gambaran mengenai teknik-teknik evaluasi :
1)      Teknik tes yaitu penilaian yang menggunakan tes yang telah ditentukan terlebih dahulu. Tujuannya untuk mengukur dan memberikan terhadap hasil belajar yang dicapai oleh murid. Meliputi kesanggupan mental, achivement (tes penguasaan hasil belajar), ketrampilan, koordinasi, motorik dan bakat, baik secara individu maupun kelompok.
2)      Teknik non tes adalah penilaian yang tidak menggunakan soal-soal tes dan bertujuan untuk mengetahui sifat dan sikap kepribadian murid yang berkaitan dengan kiat belajar atau pendidikan obyek. Penilaian non tes  ini meliputi perbuatan, ucapan, kegiatan, pengalaman, keadaan tingkah laku, riwayat hidup dan lainnya baik bersifat individu maupun kelompok.
Dalam evaluasi pengajaran agama, penguraiannya dibatasi hanya terhadap teknik tes, khususnya achievement yang dipergunakan untuk menilai hasil-hasil belajar murid setelah diajar oleh guru baik berupa penguasaan bahan, perkembangan kecerdasan, perkembangan ketrampilan dan perubahan sikap.
Tes hasil belajar ini dapat pula dibagi dua :
1)      Tes essay yaitu tes yang disusun sedemikian rupa sehingga jawabannya terdiri dari beberapa kalimat. Untuk menjawab pertanyaan sangat memerlukan waktu yang banyak dan murid boleh menjawab sepuas-puasnya dan seluas-luasnya.
2)      Tes obyektif
Suatu tes disebut tes obyektif apabila :
-          Hanya satu jawaban yang benar untuk setiap alternatif jawaban.
-          Dalam menskor tidak ada perbedaan walaupun diperiksa oleh lebih dari satu orang.
-          Dalam menjawab, testee tinggal hanya melakukan pilihan sesuai dengan petunjuk.
-          Norma pilihan sudah ditentukan terlebih dahulu.
Tes obyektif ada beberapa macam yaitu :
a)      True-false test yaitu tes yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mengandung salah satu kemungkinan jawaban, salah atau benar.
b)     Multiple choice (tes pilihan ganda)
Pada jenis tes ini testee diminta memilih jawaban yang benar dari beberapa jawaban yang telah ada. Biasanya terdiri dari 3 – 5 pilihan jawabany tersedia, yang benar hanya satu.
c)      Tes bahasa yaitu tes yang dapat dijawab dengan bahasa baik bahasa lisan maupun tulisan.
d)     Tes perbuatan yaitu tes yang dipergunakan untuk menilai berbagai macam perintah yang harus dilaksanakan, seperti : mengafani mayat, berwudhu, sholat, cara melaksanakan thawaf, dan sebagainya.[17]

B.     Problematika Remaja dalam Keluarga
1.      Pengertian Remaja
Istilah Adolescense atau remaja berasal dari kata Latin adelescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa.[18]
Zakiyah Daradjat mengemukakan bahwa :
Remaja adalah anak yang ada pada masa peralihan di antara masa anak-anak dan masa dewasa, di mana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak baik bentuk bada, sikap dan cara berpikir, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.[19]

Y. Singgih Dirgagunarsa menguraikan pendapat Anna Freud tentang remaja adalah :
Adolesensia merupakan suatu masa yang meliputi proses perkembangan di mana terjadi perubahan dalam hal motivasi seksual, organisasi daripada ego, dalam hubungan dengan orang tua, orang lain dan cita-cita yang dikejarnya.[20]

Pendapat yang lain mengemukakan bahwa :
Remaja adalah suatu masa dari umat manusia, di masa itu paling banyak mengalami perubahan (panca roba). Di mana masa yang membawa pindah dari masa kanak-kanak menuju kepada masa kematangan atau dewasa.[21]

Rentangan usia dalam masa remaja tampak ada berbagai pendapat, walaupun tidak ada terjadi pertentangan. Bigot, Konstam, Palland mengemukakan bahwa masa pubertas berada dalam usia 15-18 tahun dan masa adolescence dalam usia 18-21 tahun. Menurut Hurlock dan Zakiyah Daradjat, rentangan usia remaja itu antara 13-21 tahun.
WHO menetapkan batas usia 19-20 tahun sebagai batasan usia remaja dan Perserikatan Bangsa-bangsa sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth). Sedangkan di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun.[22]


2.      Perkembangan Pada Masa Remaja
a.      Perkembangan fisik
Masalah penting yang sedang dihadapi oleh remaja cukup banyak dan yang paling kelihatan adalah pertumbuhan jasmani cepat. Badannya berubah dari kanak-kanak menjadi dewasa dalam masa empat tahun (usia 13-16 tahun). Perubahan tubuhnya tidak serentak dan kadang-kadang tidak ada imbang, sehingga keserasian gerak tulang.[23] Hal ini terutama tampak jelas pada hidung, kaki dan tangan.[24]
Di samping itu terjadi pula perubahan di dalam tubuhnya, yaitu kelenjar kanak-kanaknya telah teratur dan berganti dengan kelenjar endokrin yang memproduksi hormon dan mempengaruhi pertumbuhan, termasuk organisasi seks, yang berakibat anak perempuan mengalami haid, dan anak laki-laki mimpi basah yang biasa disebut dengan masa puber atau baligh. Terjadi pula perubahan pada bagian tubuh luar yang menyebabkan makin jelasnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan,[25] yaitu berupa tumbuh rambut pubik atau bulu kapok disekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besar buah dada dan bertambah besarnya pinggul perempuan. Sedangkan pada laki-laki tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan atau ketiak, terjadi perubahan suara, tumbuh kumis dan tumbuh gondok laki (jakun).[26]
b.      Perkembangan emosi
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada usia remaja awal perkembangan emosinya menunjukkan sikap yang sensitif dan reaktif sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung/marah atau mudah sedih/murung). Sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya.
Proses pencapaian kematangan emosional sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai dan penuh tanggung jawab, maka remaja cederung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya apabila kurang dipersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan pengakuan dari teman sebaya, mereka cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional.[27]
c.       Perkembangan kognitif (intelektual)
Masa remaja awal adalah masa perkembangan kecerdasan yang akan mencapai puncaknya. Pada umur kira-kira 14 tahun mereka telah mampu mengambil kesimpulan abstrak dari kenyataan yang ditemukannya. Pada umur antara 16-16 tahun perkembangan kecerdasan dapat dikatakan selesai. Karena itu mereka telah mampu mengkritik orang tuanya, guru dan para pemimpin yang menurut penilaian obyektif kurang baik atau bijaksana. Maka suasana demokrasi di dalam keluarga, sekolah dan lingkungan akan membantu semoga menjadi orang yang kritis dan berpikiran matang.[28]

d.     Perkembangan sosial
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku mereka yang lebih besar daripada pengaruh keluarga karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok.
Selain itu juga terjadi perubahan yang menonjol di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenis.[29]
e.      Perkembangan moral
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan dan kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).[30]
f.        Perkembangan kesadaran beragama
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatiran. Bahkan kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang  kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptis (was-was) sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (seperti ibadah sholat) yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Hal itu disebabkan oleh matangnya organ seks, sikap independen yaitu keinginan untuk bebas tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga (orang tua), perkembangan budaya dalam masyarakat yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama seperti beredarnya film-film porno, minuman keras dan lain sebagainya. Mungkin remaja melihat bahwa banyak masyarakat yang kurang mempedulikan agama, kurangnya bimbingan keagamaan dalam keluarga serta berteman dengan kelompok teman sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi di atas akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang  baik atau asusila.[31]

3.      Kebutuhan Remaja
Kebutuhan primer atau kebutuhan fisik remaja pada umumnya tidak banyak bedanya dari kebutuhan anak-anak, seperti makan dan minum. Namun kebutuhan sekunder atau kebutuhan kejiwaan remaja agak berbeda dari anak-anak baik dipandang dari segi jenis maupun kualitas kebutuhan. Sebetulnya remaja memerlukan kebutuhan-kebutuhan tertentu yang sesuai dengan perkembangan emosinya sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini:
Pertama kebutuhan akan pengendalian diri. Remaja membutuhkan pengendalian terhadap kelakuan dan tindakannya agar sesuai dengan ajaran agama dan tuntutan masyarakat.
Kedua kebutuhan akan kebebasan. Kematangan fisik mendorong remaja untuk berusaha mandiri dan bebas mengambil keputusan untuk dirinya terlepas dari emosi orang tua dan keluarganya.
Ketiga kebutuhan akan rasa kekeluargaan, kebutuhan remaja yang bertentangan satu sama lain menyebabkan akan rasa tidak aman, di mana keinginannya untuk mandiri dan bebas berlawanan dengan kebutuhan untuk bergantung kepada orang tua. Hilangnya rasa aman menimbulkan suatu dorongan baru yaitu kebutuhan akan rasa kekeluargaan, artinya dia adalah bagian dari keluarganya dan bangga dengan keluarga tersebut.
Keempat kebutuhan akan penerimaan sosial. Remaja membutuhkan rasa diterima oleh orang-orang dalam lingkungannya, di rumah, di sekolah, atau dalam masyarakat di mana dia tinggal. Hal ini menjamin rasa aman bagi remaja karena ia merasa bahwa ada dukungan dan perhatian dari mereka sehingga menjadi motivasi untuk lebih sukses dan berhasil.
Kelima kebutuhan akan penyesuaian diri. Penyesuaian diri sangat dibutuhkan pada usia remaja baik di dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat karena pada masa ini remaja banyak mengalami kegoncangan dan perubahan pada dirinya.
Keenam kebutuhan akan agama dan nilai-nilai. Remaja membutuhkan pemahaman akan ajaran agama, nilai-nilai akhlak serta nilai-nilai sosial untuk membantunnya dalam melawan pengaruh dan dorongan buruk.[32]
4.      Problematika Remaja
Sebagai manusia anak remaja mempunyai berbagai kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi dan merupakan pula sumber daripada timbulnya berbagai problema dalam dirinya terutama dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Yang dimaksud dengan problema remaja ialah masalah-masalah yang dihadapi para remaja sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan mereka dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan remaja itu hidup dan berkembang.[33]
Untuk mengetahui problem-problem yang dialami remaja telah banyak dilakukan riset di beberapa negara termasuk Indonesia. Terbukti dari hasil riset itu bahwa ada problem-problem yang umum dialami oleh semua remaja di mana saja mereka hidup, diantaranya adalah :
a.      Masalah sekolah
b.      Masalah keluarga
c.       Masalah kesehatan
d.     Memilih pekerjaan dan kesempatan belajar
e.      Pertumbuhan pribadi dan sosial
f.        Perkembangan jiwa (watak)
g.      Masalah pengisian waktu terluang
h.      Masalah seks
i.        Masalah keuangan
j.        Masalah persiapan untuk berkeluarga
k.      Kehidupan masyarakat (civic)
l.        Masalah agama dan akhlak[34]

5.      Relasi Orang Tua dengan Remaja
Keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri. Setiap anggota keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.[35]
Sebelum masa remaja anak-anak tergantung secara mutlak pada orang tua. Anak diasuh dan dirawat oleh orang tua. Tingkah laku anak banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh orang tua. Hubungan orang tua dengan anak begitu erat sehingga orang tua pada umumnya mengetahui suasana hati dan jalan pikiran anaknya. Seolah-olah setiap persoalan anak langsung dapat ditebaknya.
Pada masa remaja terlihat merenggangnya hubungan antara orang tua dengan remaja. Di antara mereka sulit dilakukan komunikasi, akhirnya hubungan tersebut sedemikian renggangnya sehingga kesan yang diperoleh dari mereka berupa usaha melepaskan diri ingin berdiri sendiri. Di sini mulailah masa penuh kotradiksi antara orang tua dan remaja. Di satu pihak para remaja merasa tidak dimengerti oleh orang tua. Sebaliknya orang tua tidak mengetahui isi hati para remaja.[36] Namun demikian masih banyak orang tua yang berhasil untuk berhubungan baik dengan anaknya yang sudah remaja. Semua itu kembali kepada pola hubungan antara anak dengan orang tua yang terdapat dalam keluarga yang akan mempunyai pengaruh terhadap proses penyesuaian diri anak-anak.[37] Beberapa pola hubungan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri antara lain :
a.      Over-possesive atau otoriter yaitu orang tua yang ingin menguasai anak-anaknya. Di sini orang tualah yang mempunyai dominasi dalam relasinya dengan anak. Orang tua ini bersemboyan : “Ini adalah anak saya, karena itu dia harus mengerjakan apa saja yang saya inginkan”.[38] Orang tua tidak mendukung anak dalam memperkembangkan keinginannya bertindak sendiri atau mungkin sama sekali menentang keinginan anak untuk bertindak sendiri.[39] Orang tua merasa berkuasa di rumah tangga sehingga segala tindakannya terlihat keras, kata-katanya kepada anak-anak tajam dan menyakitkan hati, banyak memerintah, kurang mendengarkan keluhan atau usul-usul anak-anaknya terlalu disiplin.[40]
Anak yang hidup dalam suasana demikian akan memiliki sifat submisif (nerima) dan sensitif (perasa)[41] apatis (masa bodoh), rasa takut dan dendam. Biasanya anak berusaha untuk menentang kekuasaan orang tua dan pada gilirannya ia akan cenderung otoriter terhadap teman-temannya dan cenderung menentang otoritas yang ada di sekolah maupun di masyarakat.[42]
Selain menentang anak cenderung memburukkan nama orang tua di luar, tidak ada rasa kasih sayang terhadap orang tua dan sanak saudara, mencuri barang dan uang orang tua dan sebagainya. Jika ia anak orang kaya, maka rasa dendam pada orang tua ialah dengan bentuk suka berpakaian jelek atau mencuri di  luar sehingga merugikan nama orang tuanya yang terpandang itu.
Jika orang tuanya kebetulan orang yang terpandang, maka sebagai rasa balas dendam terhadap orang tuanya ialah malas belajar, sehingga orang tuanya yang terpandang dan berpangkat tinggi itu mendapat malu karena mempunyai anak yang malas belajar. Jika kebetulan bapaknya seorang ulama maka anaknya yang pendendam itu tidak mau sembahyang atau mengaji atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bertentangan dengan agama sehingga memberi malu kepada orang tuanya.
Rasa takut yang disebabkan otoriter orang tua akan menyebabkan anak tidak berkembang daya kreatifnya dan menjadi orang yang penakut dan penggugup nantinya di masyarakat. Selanjutnya sikap apatis yang ditimbulkan oleh otoreter orang tua akan mengakibatkan anak menjadi pendiam, memencilkan diri, tak sanggup bergaul dengan orang lain.[43]
b.      Over indulgent yaitu sikap orang tua yang sangat memanjakan dan menurutkan kehendak anaknya. Orang tua ini berpendapat : “Saya adalah orang tua anakmu”. Karena itu saya akan mengerjakan dan meluluskan apa yang menjadi keinginan anak saya. Di sini relasi ditandai oleh adanya dominasi anak.[44] Disiplin, koreksi dan hukuman ditiadakan berdasarkan anggapan palsu bahwa self-expressive itu selalu benar.
Orang tua pemanja ini bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang dikerjakan, apa yang dikatakan dan dipikirkan oleh anaknya, dan membolehkan anaknya pergi dan pulang sembarang waktu. Mereka bertahan pada pikirannya bahwa seperti halnya dengan bunga-bunga di hutan tumbuh dan berkembang tanpa ada frustasi, maka anaknya tidak boleh dihalang-halangi dalam keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya.[45]
Anak yang hidup dalam keadaan yang demikian dapat memiliki sifat-sifat agresif, nakal, keras kepala.[46] Perasaan tidak aman, cemburu, rendah diri, canggung,[47] agresif, bohong, bertindak melampiaskan hawa nafsu tanpa kekangan sehingga merusak harga diri dan masyarakat sekitarnya.[48] Ia selalu mengharapkan bantuan dan perhatian dari orang lain dan ia berusaha menarik perhatian mereka, serta menyangka bahwa perhatian seperti itu adalah haknya.[49]
Secara sadar dan tidak sadar orang tua pemanja mendorong anaknya pada disposisi tiga bentuk kejahatan:
1)      Yang menggemparkan. Remaja yang pada masa kecilnya diberi apa saja yang diinginkan, akan selalu mencari hal-hal baru yang menggemparkan yang memberi kepuasan pada egonya yang sakit, misalnya: minum alkohol, ganja, bahkan membunuh, menyiksa anak lain, sehingga cacat sampai meninggal hanya demi kepuasan hewannya. Kalau anak penggede atau anak kaya atau kebetulan dapat berlindung dalam organisasi yang kuat, kejahatan-kejahatan ini dapat ditutup-tutupi, akan tetapi hal ini akan menambah kebuasan-kebuasannya saja.
2)      Pencurian dan penodongan. Karena tidak pernah diajari disiplin, egonya menjadi lebih imperatif dalam menuntut tidak apa yang mereka butuhkan, tetapi apa yang mereka inginkan. Anak-anak jahat sedikit sekali yang muncuri pakaian atau makanan, mereka mencuri hanya untuk memuaskan egonya yang manja. Kita ingat saja, bahwa tidak hanya yang miskin kekurangan saja yang mencuri, tetapi anak-anak muda dari kaum menengah bahkan anak-anak dari golongan kaya.
Karena tidak pernah belajar tentang hubungan antara usaha dan pujian, anak-anak itu menganggap kebobrokan moral sebagai pujian. Hak untuk berusaha mencapai kebahagiaan, bagi mereka menjadi hak untuk mempunyai kebahagiaan, tidak peduli apakah itu merugikan orang lain, yang penting puas.
3)      Tidak bertanggung jawab. Karena sejak kecil sudah dimanja, anak-anak ini masuk penghidupannya tanpa mempunyai sense of mission, tujuan hidup. Dari pengalaman-pengalamannya dengan orang tuanya, mereka beranggapan bahwa dunia ini berhutang kepadanya suatu penghidupan. Terlatih tanpa tanggung jawab sejak tahun-tahun permulaan, mereka tidak disiapkan untuk memainkan peranan yang bertanggung jawab dalam penghidupan yang riil dan nyata. Misalnya si remaja ngebut di jalan raya hanya untuk merasakan kepuasan.[50]

c.       Sikap orang tua yang acuh tak acuh kepada anak yaitu, anak tidak diberi kesempatan untuk mengadakan serta menikmati hubungan-hubungan kasih sayang dengan orang tuanya.[51] Orang tua kurang memperhatikan anaknya yang sudah remaja. Anaknya dibiarkannya tanpa bimbingan pendidikan dan pengawasan atau pengawasan itu dilimpahkan kepada pembantu. Boleh jadi mereka tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan anaknya karena dia sibuk dengan di luar rumah. Mungkin saja mereka ada di rumah, akan tetapi mereka tidak memberikan perhatian kepada anaknya karena ia sibuk dengan dirinya sendiri atau mempunyai masalah dalam keluarga.
Orang tua membiarkan anaknya tumbuh dan berkembang tanpa hambatan, anaknya diberi fasilitas yang dapat disediakannya, bahkan ada di antara orang tua yang berpendirian bahwa anak laki-laki boleh berbuat apapun. Sampai-sampai anaknya diberi uang yang berlebihan. Remaja yang mendapat fasilitas seperti itu biasanya menggunakan kesempatan itu tanpa memikirkan baik buruknya. Tidak jarang terjadi pelanggaran-pelanggaran agama dan nilai-nilai akhlak pada remaja di umur yang sangat muda itu. Akibat lebih jauh, si remaja menjadi malas belajar dan biasanya gagal menjadi orang dewasa yang matang. Si anak akan merasa tidak terikat kepada orang tuanya dan mudah terpengaruh oleh orang-orang di luar keluarganya.[52] Bila ia tidak menemukan pengganti orang tua yang dapat memberikan kasih sayang di luar rumah, itu sangatlah berat baginya dan berbahaya. Maka ia akan menghadapi kehidupan ini serba tidak menentu dan akan menderita sakit tanpa pertolongan orang lain.[53]
d.     Sikap orang tua yang demokratis, artinya orang tua memberikan kesempatan kepada setiap anaknya menyatakan pendapat, keluhan, kegelisahannya dan oleh orang tua ditanggapi secara wajar dibimbing seperlunya. Orang tua yang seperti ini memahami akan hakikat perkembangan anak yakni mencapai kedewasaan fisik, mental, emosional dan sosial anak. Terutama pada masa remaja, sikap demokratis orang tua amat dibutuhkan karena anak sudah mulai merasakan bahwa ia juga akan sanggup berfikir dan berbuat seperti orang dewasa, walaupun sikap kekanak-kanakan masih terlihat nyata. Dalam periode usia ini hendaknya orang tua tidak menganggap anak remajanya sebagai anak kecil yang bisa dibentak, diperintah dan dimarahi seenaknya. Tetapi sebaiknya diajak bermusyawarah, terutama hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dirinya.[54]
Remaja mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengaambil keputusan akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan orang tua.[55]
Remaja sangat membutuhkan sikap orang tua yang dekat dan bisa memahami dirinya, bukan sikap orang tua yang layaknya seperti orang asing, selalu menjaga jarak dengan anak-anaknya. Dan juga anak remaja lebih aman bila tinggal di lingkungan keluarga yang ada aturan dan ditegakkannya kedisiplinan oleh seluruh anggota keluarganya.
Ada hubungan yang harmonis serta terbukanya komunikasi dua arah antara anak dengan orang tua tentu akan menimbulkan sikap keterbukaan dan saling pengertian antara keduanya. Alangkah baiknya lagi bila pihak remaja juga bersedia menyampaikan masalah atau kesulitan yang dialaminya secara fair kepada orang tua, sehingga endapan-endapan perasaan yang akan berdampak negatif bisa dicairkan.[56]
Kasih sayang yang didasari oleh rasa persahabatan yang sewajarnya akan orang tua dengan anak, kesediaan menerima, keterbukaan merupakan ciri dari hubungan yang akrab antara orang tua dan anak-anaknya.[57]
Anak-anak yang merasa bebas untuk mempercayai orang tuanya memperlihatkan cara-cara penyesuaian diri yang lebih baik daripada anak-anak yang tidak mempercayai orang tuanya, apabila penyesuaian diri ini ditentukan oleh kriteria seperti kestabilan emosi, kepatuhan sosial, ciri-ciri pribadi yang disenangi dan dipatuhi di sekolah. Penelitian ini menunjukkan bahwa, anak-anak yang percaya pada orang tuanya cenderung menjadi conformer. Beberapa bukti juga menunjukkan, sekalipun tidak konklusif, bahwa anak-anak yang suka memberontak berasal dari keluarga di mana tidak terdapat rasa saling mempercayai antara orang tua dengan anaknya.
Adalah sangat penting bagi para remaja mempunyai seseorang yang dapat dipercayainya. Hal ini akan membawa keberhasilan pada perkembangan para remaja.[58]




C.    Kontribusi Mata Pelajaran Aqidah Akhlak Terhadap Problematika Remaja dalam Keluarga
Hidup keberagamaan remaja kecuali merupakan proses kelanjutan dari pengaruh pendidikan yang diterima pada masa kanak-kanak, juga mengandung implikasi-implikasi yang psikologis yang khas remaja, yang disebut puber atau adolesen yang perlu mendapat perhatian dan pengatanan khusus.[59]
Para pendidik harus selalu memikirkan moral, tingkah laku dan sikap yang harus ditumbuhkan dan dibina pada anak didik. Ia tidak cukup sekedar menuangkan pengetahuan ke otak anak-anak atau hanya memikirkan peningkatan ilmuah dan kecakapan anak-anak saja. Jika pembinaan kepribadian dan moral tidak disertakan dalam pendidikan anak-anak, maka akan lahirlah sarjana yang tinggi pengetahuannya, tetapi tidak dapat memberikan manfaat yang betul-betul kepada masyarakat. Karena mereka hanya akan memikirkan diri sendiri, menggunakan ilmu dan kepandaiannya untuk mencari keuntungan dan kesenangan dirinya pribadi, tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi kepada orang banyak. Maka dalam setiap pendidikan pengetahuan, harus ada pendidikan moral dan pembinaan kepribadian yang sehat.[60]
Dengan pembinaan akhlak ingin dicapai terwujudnya manusia yang ideal, anak yang bertaqwa kepada Allah SWT dan cerdas. Pendidikan akhlak bertujuan untuk menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan ajaran Islam yang taat beribadah dan sanggup hidup bermasyarakat yang baik.
Di dunia pendidikan, pembinaan akhlak tersebut dititikberatkan pada pembentukan mental anak atau remaja agar tidak mengalami penyimpangan. Dengan demikian akan mencegah terjadinya juvenle delinquency, sebab pembinaan akhlak berarti bahwa anak remaja dituntun agar belajar memiliki rasa tanggung jawab.[61] Menurut Drs. Agus Suyanto :

Yang dimaksud dengan ia telah mulai dapat bertanggung jawab bahwa ia telah mengerti tentang perbedaan antara yang benar dengan yang salah, yang boleh dan yang dilarang, yang dianjurkan dan yang dicegah, yang baik dan yang buruk, dan ia sadar bahwa ia harus menjauhi segala yang bersifat negatif dan mencoba membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal yang positif … Bila suatu ketika bahwa ia berbuat salah, serta ia sendiri menyadari akan kesalahannya itu, maka ia harus secepatnya berhenti dari kesalahannya itu dan segera kembali ke jalan yang semestinya.[62]

Pada dasarnya pembinaan akhlak akan mampu menuntun anak-anak remaja menjadi manusia dewasa dalam arti dewasa secara sosial, emosional dan intelektual.[63] Kecerdasan tersebut dapat dilihat bahwa:
… Ia menjadi seorang manusia yang dengan kemampuan sendiri, memikirkan berbagai persoalan, mengambil kesimpulan, menentukan suatu keputusan, melaksanakan keputusan itu dengan cermat dan bijaksana, serta mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya secara individual dan sosial. Ia berpartisipasi secara aktif dan konstruktif di dalam berbagai segi kehidupan yang menyangkut kesejahteraan sesama manusia. Ia menjalani pendidikan dan tidak berhenti mendidik diri sendiri. ia mempunyai pekerjaan yang dilaksanakan sungguh-sungguh bertanggung jawab dan jujur … ia menjadi manusia bermoral, sholeh dan beriman, ia toleran. Ia tidak mengingkari tugasnya sebagai warga negara dan ia menghormati hukum dan kaidah sosial.[64]


Kegunaan lain yang dapat dipetik dari hasil pembinaan akhlak, yakni: terhindarnya anak-anak remaja dari tabi’at-tabi’at tercela dan sebagai langkah penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja. Dengan demikian pembinaan akhlak dapat memberi sumbangan positif bagi ketentraman dan keamanan masyarakat dari kejahatan pada umumnya; terutama gangguan dari kenakalan remaja. Sebab pada hakikatnya penjahat yang sudah dewasa merupakan perkembangan lebih lanjut dari kebiasaan melakukan kejahatan di waktu kecil, pada masa-masa perkembangan mental, yakni: masa remaja.
Prof. W.A. Bonger dalam kitab kecilnya “Inleiding Tot de Criminologi” antara lain mengemukakan : kejahatan anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan, lagi pula kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak kecil. Siapa menyelidiki kejahatan anak-anak yang dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan anak-anak yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan kejahatan orang dewasa.

Berdasarkan pendapat Prof. W.A. Bonger tersebut dapat dipahami bahwa: penanggulangan kejahatan pada umumnya dapat melalui penanggulangan kenakalan remaja bik secara “moralistik” maupun “abolisionistik”.
Secara moralistik, pembinaan akhlak merupakan salah satu cara untuk membentuk mental manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila, berarti pula cara tersebut sangat tepat untuk membina mental anak remaja. Dalam proses ini tersimpul indikator bahwa pembinaan akhlak merupakan penuntun bagi umat manusia untuk memiliki sikap mental dan kepribadian sebaik yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, perbinaan, pendidikan dan penanaman nilai-nilai akhlakqulkarimah sangat tepat bagi anak remaja agar di dalam perkembangan mentalnya tidak mengalami hambatan dan pengamatan ke arah negatif. Media yang dapat digunakan yakni lewat contoh-contoh, latihan-latihan dan praktik-praktik nyata yang dilakukan oleh kedua orang tua di dalam kehidupan keluarga, oleh para guru di lingkungan sekolah, juga guru-guru didik selain orang tua dan guru di dalam kelas.
Dalam kaitannya dengan konsep pendidikan nasional, pendidikan akhalk dapat dijadikan salah satu alternatif materiil, dengan demikian tujuan pendidikan nasional akan dapat disentuh, kemudian dicapai dalam arti yang sesungguhnya. Jika menghadapi kenakalan remaja (juvenile delinquency) maka pendidikan akhlak dapat dijadikan salah satu metode penanggulangan atau dapat digunakan secara bersama-sama sebagai metode “moralistik" yaitu menyebarluaskan di kalangan anak-anak remaja beberapa sarana untuk memperteguh moral dan mental anak remaja agar dapat terhindar dari dorongan nafsu ingin berbuat jahat, sarana tersebut adalah ajaran-ajaran agama, etika budi pekerti, norma-norma sosial. Dan metode “abolisionistik” yaitu berusaha mencegah kemungkinan timbulnya kenakalan remaja dengan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kenakalan remaja. Misalnya: memperbaiki ekonomi rakyat untuk mencegah kenakalan remaja yang disebabkan tekanan ekonomi (pengangguran, kemiskinan dan kelaparan), mempertinggi kebudayaan dan memperbaiki peradaban. Pendidikan akhlak dapat mencerdaskan manusia, secara psikologis dapat menyehatkan mental remaja.[65]




[1]Moh. Rifa’i, Aqidah Akhlak untuk MTs Kelas I, CV Wicaksana, Semarang, 1994, hlm 16-17.

[2]Mohammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Dirjen Bimbaga, Jakarta, 1985, hlm 115.

[3]M. Rifa’i, Aqidah Akhlak untuk MA Kelas I, Wicaksana, Semarang, 1989, hlm 7.
[4] Ibid, hlm 35-36.
[5] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Dirjen Bimbaga, 1984/1985, hlm 134.
[6] Depag RI, GBPPI, Mata Pelajaran Aqidah Akhlak, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1994, hlm 1-2.

[7] Ibid, hlm 2.

[8] Depag RI, Loc. Cit.

[9] Depag RI, Loc. Cit.
[10] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 31-58.
[11] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 164-167.

[12] Syamsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 41.

[13] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos, Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm 45.
[14] Syamsu Nizar, Op. Cit, hlm 78.
[15] Ibid, hlm 56-57.
[16] Ibid, hlm 60-62.
[17] Ibid, hlm 62-67.

[18] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta, hlm 206.
[19]Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, PT Gunung Agung, Jakarta, 1975, hlm 106.

[20]Sarlito Wirawan Sarwono, Seksualitas dan Fertilitas Remaja, PT Rajawali, Jakarta, 1981, hlm 26.

[21]Akhmad Azhar Abu Miqdad, Pendidikan Seks Bagi Remaja Menurut Hukum Islam, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm 34.

[22]Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, 57-58.
[23]Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, CV Ruhama, Jakarta, 1998, hlm 87.

[24]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm 193.

[25]Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 88.

[26]Syamsu Yusuf, Op. Cit, hlm 194.
[27] Ibid, hlm 196-197.

[28] Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 90.
[29] Elizabeth B. Hurlock, Op. Cit, hlm 213-214.

[30] Syamsu Yusuf, Op. Cit, hlm 199.
[31] Ibid, hlm 204-205.
[32] Zakiyah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, Ruhana, Jakarta, 1995, hlm 17-20.

[33] Sofyan S. Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya, Angkasa, Bandung, 1981, hlm 32.
[34] Zakiyah Daradjat, Problema Remaja di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm 48.

[35] Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, Gunung Mulai, Jakarta, 1979, hlm 9.
[36]Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, PT Gunung Mulia, Jakarta, 1988, hlm 119.

[37]Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 21.

[38]Melly Sri Sulastri Rifa’i, Psikologi Perkembangan Remaja dari Segi Kehidupan Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 32.

[39]Singgih D. Gunarsa, Op. Cit, hlm 29.
[40] Sofyan S. Willis, Op. Cit, hlm 44.

[41] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Loc. Cit. 

[42] Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 237.

[43] Sofyan S. Willis, Loc. Cit.

[44] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Loc. Cit.

[45] Koestoer, P, Dinamika dalam Psikologi Pendidikan, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm 65-66.

[46] Melly Sri Sulastri Rifai, Loc. Cit.

[47] Sunarto, Op. Cit, hlm 234.

[48] Sofyan S. Willis, Op. Cit, hlm 46.

[49] Sunarto, Op. Cit, hlm 237.
[50] Koestoer P. Op. Cit, hlm 66-67.

[51] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Op. Cit, hlm 33.

[52] Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 22-23.
[53] Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja Dimensi-dimensi Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm 77-78.

[54] Sofyan S. Willis, Op. Cit, hlm 46.

[55] Singgih D. Gunarsa, Op. Cit, hlm 116-117.
[56] Akhmad Suyuti, Op. Cit, hlm 169-170.

[57] Melly Sri Sulastri Rifa’i, Loc. Cit.

[58] Dadang Sulaeman, Op. Cit, hlm 80-81.
[59] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm 215.

[60] Zakiyah Daradjat, Op. Cit, hlm 126.

[61] Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm 148.

[62] Agus Suyanto, Psikologi Perkembangan, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hlm 290.

[63] Sudarsono, Op. Cit, hlm 62-149.

[64] Winarno Surahmad, Psikologi Pemuda, Jemmars, Bandung, 1980, hlm 207.
[65] Sudarsono, Op. Cit, hlm 150-152.

0 Response to "MATA PELAJARAN AQIDAH AKHLAK DAN PROBLEMATIKA REMAJA DALAM KELUARGA"

Post a Comment