KONDISI TENTANG KELUARGA BROKEN HOME DAN PRESTASI BELAJAR

KONDISI TENTANG KELUARGA BROKEN HOME 
DAN PRESTASI BELAJAR


    A. Penegasan Arti Keluarga Broken Home
  1. Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial, sebagaimana berikut:
  a.       Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
b.      Keluarga dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagogis.[1]
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin, sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri.[2]



 
Menurut David yang dikutip dari buku yang berjudul “Pola Asuh Orang Tua untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri” karangan M. Shochib, mengkategorikan keluarga dalam pengertian sebagai keluarga seimbang, keluarga kuasa, keluarga protektif, keluarga kacau dan keluarga simbiotis:
a.       Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggungjawab dan dapat dipercaya.
b.      Keluarga kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis.
c.       Keluarga protektif lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari, karena lebih menyukai suasana kedamaian.
d.      Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam, karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Orang tua sering berperilaku kasar terhadap anak. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan.
e.       Keluarga simbiotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat, bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja.[3]

Menurut WJS. Poerwadarminta, keluarga adalah sebagai sanak keluarga, kaum kerabat.[4] Sedangkan menurut Abu Ahmadi berpendapat bahwa, keluarga adalah sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita. Perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan (mengasuh) anak-anak. Keluarga di sini merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa.[5]


2.   Kondisi-Kondisi Keluarga
Banyak sekali kondisi-kondisi keluarga yang justru menjadi hazard (hancur) bagi setiap anggota keluarga yang dan tentunya beresiko bagi tergangunya mental bagi para anggotanya.
Kondisi-kondisi keluarga yang dapat menjadi hazard (hancur) diantaranya adalah :
a.       Perceraian dan Perpisahan
Perceraian dan perpisahan karena berbagai sebab antara anak dengan orang menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Kesimpulan umum dapat dipetik bahwa perceraian dan perpisahan dapat berakibat buruk bagi perkembangan kepribadian anak.[6]
b.      Keluarga yang Tidak Fungsional
Keluarga yang tidak berfungsi menunjuk pada keadaan keluarga tetap utuh (intake) terdiri dari kedua orang tua dari anak-anaknya. Mereka masih menetap dalam satu rumah. Jadi strukturnya tidak mengalami perubahan, hanya fungsional yang tidak berjalan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh tetapi tidak fungsional lebih berakibat buruk pada anak.[7] 
c.       Perlakuan dan Pengasuhan
Perlakuan orang tua kepada anak berkaitan dengan apa yang dilakukan orang tua atau anggota keluarga lain kepada anak. Apakah dibiarkan (meghlect) diperlakukan secara kasar (violence) atau dimanfaatkan secara salah (abuse), atau diperlakukan secara penuh toleransi dan menciptakan iklim yang sehat. Semunaya mempengaruhi perkembangan anak dan mungkin juga berpengaruh pada anggota keluarga secara keseluruhan. Tindakan keluarga yang membiarkan anak diperlukan secara kasar atau diperlakukan yang semestinya tidak perlu, akan mempengaruhi perkembangan mental anak.
Kondisi keluarga yang “sehat” dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, kondisi keluarga yang tidak kondusif dapat berakibat gangguan mental bagi anak, diantaranya adalah gangguan tingkah laku, kecemasan, minder, sedih, takut, bimbang, sulit dan beberapa gangguan mental lainnya.[8]
3.   Arti Keluarga bagi Anak
Keluarga mempunyai arti yang penting bagi anak kehidupan keluarga tidak hanya berfungsi memberikan jaminan makan kepad anak, dengan demikian hanya meperhatikan perkembangan fisik anak, melainkan juga memegang fungsi lain yang penting bagi perkembangan mental anak, diantaranya adalah :
a.       Sosiologi Anak
Anak bersosialisasi yaitu belajar dalam pergaulan, pertama-tama dilakukan dalam keluarga.[9] Mengingat pentingya peran keluarga bagi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi anak, maka keluarga perlu menyediakan waktu untuk berkumpul sambil minum dan makan bersama-sama yang disebut family lable talk.
Jadi family table talk mempunyai peranan yang penting karena dia tidak hanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeluarkan keluhan-keluhannya juga memberikan bimbingan.
b.   Tata Cara Kehidupan Keluarga
Tata cara kehidupan keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan kepribadian anak yang tertentu pula. Kita akan meninjau tiga jenis tata cara kehidupan keluarga, yaitu :


1)      Tata cara kehidupan keluarga yang demokratis
Tata cara kehidupan keluarga yang demokratis itu membuat anak mudah bergaul, aktif dn ramah tamah. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan segala-galanya tanpa bimbingan dari keluarganya (orang tua).
2)      Tata cara kehidupan keluarga yang membiarkan
Keluarga yang sering membiarkan tindakan anak akan membuat anak tidak aktif dalam kehidupan sosial dan dapat dikatakan anak menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini anak mengalami banyak frustasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci orang lain.
3)   Tata cara kehidupan keluarga yang otoriter
Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter ini biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan, tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang berkuasa, orang tua).
Dengan demikian kreatifitas anak akan berkurang, daya fantasinya juga kurang. Hal ini mengurangi kemampuan anak untuk berfikir abstrak.[10]
Dari tiga jenis tata cara kehidupan di atas Baldwin mengatakan bahwa lingkungan keluarga yang demokratis merupakan tata cara yang terbaik untuk memberikan kemampuan penyesuaian diri.
Namun demikian tata cara susunan keluarga ini kenyatannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan ciri-ciri keluarga, yaitu tata cara kehidupan keluarga yang demokratis, membiarkan dan tata cara kehidupan keluarga yang otoriter.
4.   Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Mengenai kewajiban seorang ayah dan ibu terhadap anak sudah diatur dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

والوالدت يرضعن اولادهنّ حولين كا ملين لمن اراد ان يّتمّ الرّضاعة وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف صلى لاتكلف نفس الاّ وسعها ج لا تضا رّوالدة بولدها ولا مولود لّه بولده وعلى الوارث مثل ذلك ج فان ارد فصالا عن تراض مّنهما وتشا ور فلا جناح عليهما قلى وان ارد تّم ان تسترضعوا اولاد كم فلا جناح عليكم اذا سلّمتم مّا اتيتم بالمعروف قلى واتّقوا الله واعلموا انّ الله بما تعملون بصير.

Artinya :    “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan, karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu, apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al-Baqarah : 233).[11]

Kewajiban ayah terhadap anak, yaitu antara lain:
a.       Mencukupi kebutuhan ekonomi, baik pangan maupun sandang, perumahan dan kesehatan.
b.      Mendidik anak secara benar dan baik.
c.       Mengasuh anak-anak.
d.      Menentukan masa depan anak.[12]
5.   Hak-Hak Anak
Hak adalah sesuatu yang harus diterima. Seorang anak mempunyai hak dari orang tuanya, diantaranya sebagai berikut :
a.       Hak anak dalam nasab. Hak anak untuk ditetapkan atau diakui dalam susunan nasab bukanlah hak dia sendiri sebagai satu-satunya hak yang harus dimiliki.[13]
b.      Hak mendapatkan makanan dan minuman yang dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang, yakni hak untuk disusui.[14]
c.       Hak mendapatkan nama yang pantas hingga dia bisa dipanggil berbeda dengan orang lain. Syari’at Islam menganjurkan bahwa memberi nama kepada anak harus nama yang baik.[15]
d.      Hak untuk ditebus dengan menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya, dalam ilmu fiqih disebut aqiqah.[16]
e.       Hak untuk dihilangkan penyakitnya, seperti dikhitan, dicukur dan selalu dijaga kebersihannya. Syari’at Islam mengajak pada kebersihan, maka tidaklah aneh bila menghilangkan kotoran dan penyakit dari anak itu merupakan suatu kewajiban.[17]
f.       Hak untuk diasuh, dirawat dalam arti dilindungi dan dijaga. Dalam hal ini lebih dikenal dengan sebutan hadhanah. Syariat Islam telah memberi perlindungan terhadap keluarga dan meresmikan jalan yang lurus agar kejernihan itu tetap langgeng dan berlanjutlah kelembutan dan kasih sayang, hingga anak-anak hidup dalam pemeliharaan ayah dan ibu dengan penghidupan yang mulia, jauh dari kekurangan dan ketidaklurusan.[18]
g.      Hak untuk diberi nafkah hingga dewasa dan mampu mendapatkan rizki sendiri.[19]
h.      Hak untuk mendapatkan pengajaran, pendidikan dan budi pekerti yang luhur. Hal ini merupakan fase sendiri dan penyempurna terhadap kesiapan anak untuk mengarungi samudera kehidupan.[20]
6.   Pengertian Broken Home
Broken home berasal dari dua kata yaitu broken dan home. Broken berasal dari kata break yang berarti keretakan, sedangkan home mempunyai arti rumah atau rumah tangga.[21] Jadi broken home adalah keluarga atau rumah tangga yang retak. Hal ini dapat disebut juga dengan istilah konflik atau krisis rumah tangga.
Diantara krisis yang terjadi dalam rumah tangga adalah :
a.       Ketegangan hubungan atau konflik suami istri.
b.      Konflik orang tua dengan anak
c.       Konflik dengan mertua.
d.      Bahkan konflik sesama anak.[22]
Ketegangan suami istri merupakan krisis yang amat mendasar dan harus segera mendapat penyelesaian, dan mengupayakan pencegahan sebelum terjadinya konflik.
Menurut David, keluarga retak atau broken home dinamakan dengan istilah keluarga kacau. Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah), dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara tidak wajar atau kejam, karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Keluarga kacau selalu tidak rukun. Orang tua sering berperilaku kasar terhadap relasi (anak). Orang tua menggambarkan kemarahan satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi antara orang tua dengan anak-anaknya. Anak terasa terancam dan tidak disayang. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan. Anak-anak mendapatkan kesan bahwa mereka tidak diinginkan keluarga. Dinamika keluarga dalam hanyak hal sering menimbulkan kontradiksi, karena pada hakekatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.[23] 
Adakalanya suami terlalu sibuk dengan berbagai urusan di luar rumah dan tidak mau memberikan empati (perhatian) terhadap kesibukan istri. Suami hanya ingin memberikan hak-hak istri berupa pemenuhan materi dan kebutuhan biologis. Namun lebih dari itu, istri memerlukan perhatian, kasih sayang dan kemesraan hubungan.
Adakalanya istri menuntut, istri menjadi uring-uringan dan bersikap tidak hormat lagi kepada suami, yang kemudian memiliki sikap “permusuhan” secara diam-diam atau tertampakkan.[24]
Berbagai ketegangan dalam hidup suami istri, bisa jadi termasuk bagian dari bumbu kehidupan rumah tangga. Tetapi bila bumbu itu berlebihan, akan mengakibatkan masakan menjadi tidak enak atau bisa menjadi racun yang membunuh, artinya jika ketegangan itu berlebihan bisa mengakibatkan hancurnya sebuah keluarga.
7.      Mengatasi Konflik Keluarga (Rumah Tangga)
Untuk mencegah munculnya konflik yang berkepanjangan dan mengatasi berbagai ketegangan dalam kehidupan suami istri, ada berbagai upaya yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:



a.   Kembalikan seluruh masalah pada aturan Allah dan Rosul-Nya.[25] Jika ada masalah, maka kembalinya kepada pihak yang memberi perintah dan tuntunan yaitu Allah SWT dan Rosul, sesuai dengan Firman Allah SWT:
ياايّها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعو الرّسول واولي الامر منكم فان تنازعتم فى شيئ فردّوه الى الله والرّسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر طى ذلك خير وّاحسن تأويلا. (النساء : 59)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59)[26] 

b.      Mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak
Islam telah meentapkan batas-batas hak serta kewajiban dengan adil dan bijaksana. Apabila suami telah memenuhi kewajiban terhadap istri dengan sebaik-baiknya, maka hak istri tertunaikan, dan demikian juga sebaliknya, maka suasana harmonis akan lebih mudah dibangun dalam kondisi seperti ini.[27]
c.       Jangan mengabaikan masalah yang dianggap kecil
Salah satu bagian kemesraan dalam keluarga, ia dibangun di atas verbalitas. Istri memerlukan ungkapan verbal atas kasih sayang dan perhatian suami terhadapnya.
Hal kecil lainnya adalah disanjung, ungkapan terima kasih dan maaf, maka saling memberi hadiah secara berkala, pada waktu-waktu tertentu, atau membawakan istri oleh-oleh saat suami datang dari bepergian jauh.[28]
d.      Berduaan, mengasingkan diri dari rutinitas
Suami istri bisa saling melakukan evaluasi berduaan terhadap rumah tangga selama ini tanpa diganggu keributan anak-anak.[29]
e.       Jangan senantiasa berfikir hitam putih
Dalam prinsip ini, tidak menjadi masalah bahwa seseorang yang tidak bersalah mendahului minta maaf, hendaklah berfikir secara positif.[30]
f.       Berbohong, jika memang diperlukan untuk ishlah
Pada dasarnya berbohong adalah perbuatan dosa dan terlarang, sikap dasar muslim adalah jujur, terpercaya dan tidak berdusta.
Sekalipun berbohong antara suami dan istri diperbolehkan, tentu saja itu adalah sikap pengecualiannya. Bohong hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, untuk melakukan ishlah (perbaikan) dan membuat suasana harmonis dalam rumah tangga, tetapi tidak untuk saling menipu, mendustai dan mengkhianati.[31]
g.      Mendatangkan pihak ketiga yang dipercaya keduanya
Apabila ketegangan tak terselesaikan dengan cara-cara persuasif, bahkan meningkat, maka bisa ditempuh cara menghadirkan sesorang yang dipercaya oleh keduanya. Bisa jadi seorang ustadz yang dikenal kearifannya, atau seorang yang dipercaya bisa menyimpan rahasia.
Suami istri mengadukan masalah dan perasaan hatinya masing-masing, untuk didengarkan dan diselesaikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan izin Allah, pihak ketiga akan memberikan saran, pandangan, ataupun alternatif pemecahan masalah.[32]

B. Pendidikan dalam Keluarga
Sesunguhnya pendidikan adalah masalah penting yang aktual sepanjang zaman. Karena pendidikan, orang menjadi maju, dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi, orang mampu mengolah alam yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia. Islam mewajibkan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu.
Pendidikan dalam keluarga antara lain sebagai berikut:
1.      Keluarga Sebagai Wadah Utama Pendidikan
Tentang pendidikan dalam keluarga khususnya keluarga muslim mestinya telah di mulai jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut baligh berakal.[33]
2.      Pembentukan Kepribadian Anak
Berbahagialah anak yang lahir dan dibesarkan oleh ibu yang saleh. Penyayang dan bijaksana. Karena pertumbuhan anak terjadi melalui seluruh pengalaman yang diterimanya dalam kandungan.
Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang yang mampu dan mau membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya, terutama dalam mengajarkan berbagai ilmu dan ketrampilan yang selalu berkembang dan dituntut pengembangannya bagi kepentingan manusia.


3.      Pendidikan Agama dalam Keluarga
Dalam Islam penyemaian rasa agama di mulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang membuahkan janin dalam kandungan, yang di mulai dengan do’a kepada Allah SWT. Selanjutnya memanjat do’a dan harapan kepada Allah agar janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak yang saleh.
Perlu diketahui, bahwa kualitas hubungan anak dan orang tuanya akan mempengaruhi keyakinan beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika jika terjadi sebaliknya, maka ia menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, tidak zakat, tidak puasa dan sebagainya.[34]
4.      Pembentukan Sikap-Sikap Terpuji
Di dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisah-pisahkan dari iman. Iman merupakan pengakuan hati dan akhlak adalah pantulan iman itu pada perilaku, ucapan dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam perbuatan yang dilakukannya dengan kesadaran dan karena Allah semata.
Kita harus menghayati, memahami dan menerapkan akhlakul mahmudah dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi para pendidik (orang tua) amat penting. Sebab penampilan, perkataan, akhlak dan apa saja yang terdapat padanya dilihat, di dengar dan diketahui oleh para anak didik, akan mereka serap dan tiru dan lebih jauh akan mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak mereka.
Jika pengaruh yang terjadi adalah yang tidak baik, maka kerusakan yang terjadi hanya pada diri anak didik itu saja, tetapi mempengaruhi anak cucu dan keturunannya serta anak didiknya bila kelak ia menjadi pendidik.[35]

5.      Pendidikan Anak Secara Umum
Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa didasari oleh orang tua, namun pengaruh dan akibatnya amat besar. Terutama pada tahun pertama dari kehidupan anak atau pada masa balita (di bawah lima tahun).
Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait panca indranya yang belum bertumbuh pemikiran logis atau maknawi (abstrak) atau dapat kita katakan bahwa anak masih berfikir indrawi.[36]

 

C. Prestasi Belajar Siswa

1.      Pengertian Prestasi Belajar
Proses belajar anak merupakan suatu perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Dalam psikologi, proses belajar berarti cara-cara untuk atau langkah-langkah khusus yaitu perubahan tingkah laku yang ditimbulkan hingga tercapai hasil-hasil tertentu.[37]
Dalam teori Reber, tahapan perubahan dapat kita pakai sebagai padan kata proses. Jadi proses dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa.
Prestasi belajar secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu prestasi dan belajar. Menurut kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan atau dikerjakan).[38]
Dengan demikian prestasi menunjukkan adanya tingkat keberhasilan akibat melakukan aktivitas. Sedangkan belajar menurut Oemar Hamalik adalah suatu bentuk pertumbuhan demi perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.[39] Jadi perstasi belajar merupakan indikator sebagai tingkat keberhasilan seorang siswa atau anak didik setelah mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini relevan dengan apa yang diistilahkan oleh Buchori yang menyatakan bahwa prestasi belajar itu merupakan hasil yang dicapai atau hasil yang sebenarnya dicapai.[40]
 Belajar merupakan interaksi dan proses adaptasi yang tak pernah selesai antara individu dan masyarakat. Perkembangan dan proses belajar seseorang tidak dapat terjadi tanpa kehadiran pengaruh lingkungan masyarakat. Proses kognitif ilmu pengetahuan dan keragaman pengalaman tidak hanya memiliki pengaruh terhadap penilaian diri (self apparaisal) dan pengembangan harga diri (self esteem), tapi juga mempengaruhi proses pencarian makna aspek-aspek diri dan pengembangan konsep diri (self concept).[41]
Banyak contoh menunjukkan bahwa siswa yang mencari tujuan-tujuan sosial tertentu di sekolah meraih kesuksesan secara akademik. Wentzel mengemukakan bahwa siswa yang berprestasi dan kurang berprestasi dapat dibedakan atas dasar apakah mereka memiliki tujuan yang dicari atau tidak di dalam sekolah. Siswa yang berprestasi baik seringkali mencari tujuan-tujuan yang berorientasi kognitif dan kemampuan kognitif. Sebaliknya, siswa yang berprestasi kurang baik seringkali mencari tujuan-tujuan berupa standar-standar sosial dan norma kelas yang menghambat perkembangan kemampuan intelektual dan kognitif mereka.[42] 

2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa
Di samping kemampuan intelektual bawaan setiap individu dan latar belakang keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik siswa adalah :
a.       Kepercayaan (trust) dan hubungan yang sehat (healthy relationship) dalam lingkungan sekolah.
b.      Sikap guru seperti menunjukkan perhatian, rasa hormat dan kasih sayang kepada siswa., mudah ditemui dan terlibat secara total dalam pembelajaran.
c.       Kesiapan dan kemampuan menyampaikan materi pelajaran merupakan aspek-aspek yang menentukan kesuksesan dan kegagalan siswa.
d.      Kepala Sekolah juga memberi pengaruh yang tidak langsung terhadap efektifitas sekolah dan keberhasilan siswa melalui visi, misi, tujuan, dan strategi yang dikembangkan dalam menjalankan roda aktivitas sekolah.
e.       Keadilan yang dirasakan siswa dan kepuasan yang mereka rasakan terhadap sekolah.[43]
3.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Belajar sebagai proses atau aktivitas disyaratkan oleh banyak sekali hal-hal atau faktor-faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu banyak sekali macamnya, terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Untuk memudahkan pembicaraan dapat dilakukan klasifikasi sebagai berikut :
a.       Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar dan ini masih lagi dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu faktor-faktor non-sosial dan faktor-faktor sosial.
b.   Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar, dan faktor ini dibagi lagi menjadi dua golongan yaitu faktor-faktor fisiologis, dan faktor-faktor psikologis.


1)   Faktor-faktor non-sosial dalam belajar
Kelompok faktor-faktor ini misalnya : keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, atau siang, ataupun malam), tepat (letak/ gedung), alat-alat yang dipakai untuk belajar.[44]  
Faktor-faktor tersebut di atas harus diatur dengan baik, sehingga dapat membantu (menguntungkan) proses/ perbuatan belajar secara maksimal.
Letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi syarat-syarat seprti di tempat yang tidak terlalu dekat kepada kebisingan atau jalan ramai, bangunan juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ilmu kesehatan. Demikian pula alat-alat pelajaran harus memenuhi syarat-syarat menurut pertimbangan didaktis, psikologis, dan paedagogis.
2)   Faktor-faktor sosial dalam belajar
Yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial adalah faktor manusia (sesama manusia), baik mausia itu ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan (tidak langusng hadir). Kehadiran orang atau orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak sekali mengganggu belajar. Terdengar banyak anak-anak lain bercakap-cakap (gaduh) atau seseorang/ siswa sedang belajar di kamar, tiba-tiba ada satu atau dua orang hilir mudik ke luar masuk kamar belajar. Kecuali orang itu hadir tidak langsung seperti potret dapat merupakan representasi dari seseorang, suara nyanyian lewat radio atau tape recorder.[45]
Faktor-faktor sosial seperti itu dikemukakan di atas pada umumnya bersifat mengganggu proses belajar dan prestasi-prestasi belajar.

3)   Faktor-faktor fisiologis dalam belajar
Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Tonus jasmani pada umumnya.
b.      Keadaan fungsi-fungsi fisiologis tertentu.
a)      Keadaan Tonus jasmani pada umumnya
Keadaan tonus jasmani pada umumnya dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar; keadan jasmani yang lelah, lain pengaruhnya daripada yang tidak lelah.
1).    Nutrisi harus cukup karena kekurangan keadaan makanan ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk dan lekas leleh. Terlebih-lebih bagi anak-anak yang masih sangat muda, pengaruh itu besar sekali. Hasil-hasil penyelidikan Danziger, et.al., yang dikutip oleh Ch. Buhler.
2).    Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar seperti pilek, influensa, sakit gigi, batuk dan yang sejenis dengan itu bisanya diabaikan. Akan tetapi dalam kenyatanya penyakit-penyakit semacam itu sangat mengganggu aktivitas belajar.[46]  
b)      Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama fungsi-fungsi pancaindra
Orang mengenal dunia sekitarnya dan belajar dengan mempergunakan panca indranya yang berfungsi sebagai syarat dapatnya belajar dengan baik.
Dalam sistem persekolahan dewasa ini diantara panca indra itu yang paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Karena itu sebagai pendidik berkewajiban untuk menjaga dengan baik.[47]
4)   Faktor-faktor Psikologi dalam belajar
Perlunya memberikan perhatian khusus kepada salah satu hal, yaitu hal yang mendorong aktivitas beajar, hal yang merupakan alasan dilakukan perbuatan belajar itu. Menurut Arden N. Frandsen sebagaimana dikutip oleh Sumadi Suryabrata dalam buku “Psikologi Pendidikan” dijelaskan bahwa menjalankan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar dan motif-motif untuk belajar adalah sebagai berikut :
a.   Yang mendorong seseorang untuk belajar adalah sebagai berikut :
-          Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyeleidiki dunia lebih luas.
-          Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
-          Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru dan teman-teman.
-          Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetisi.
-          Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
-          Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir daipada belajar.
b.   Motif-motif untuk belajar itu adalah sebagai berikut:
-          Adanya kebutuhan fisik.
-          Adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran.
-          Adanya keutuhan akan kecintaan dan penerimaan.
-          Adanya kebutuhan untuk mendapat keharmonisan dari masyarakat.
-          Sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri.[48]

Apa yang telah dikemukakan itu hanyalah sekedar penyebutan sejumlah kebtuhan-kebutuhan saja, yang dapat ditambah lagi. Kebutuhan-kebuthan tersebut tidaklah lepas satu dengan yang lain, tetapi sebagai suatu keseluruhan (kompleks) mendorong belajarnya anak.
Selanjutnya suatu pendorong yang biasanya besar pengaruhnya dalam belajarnya anak-anak didik kita ialah cita-cita.[49]
4.   Tujuan Belajar
Setiap individu atau anak yang belajar menuntut ilmu pada dasarnya harus mempunyai cita-cita yang diperjuangkan dengan baik dalam berbagai kegiatan belajar.
Tujuan belajar di sekolah itu berhubungan dengan tujuan hidupnya. Belajar tanpa motif tertentu, maka belajarnya akan lemah dan tidak menentu sehingga semangat belajar akan mudah merasa padam dan tidak bersemangat lagi. Karena anak merasa tidak mempunyai sautu kebutuhan dan keinginan atau kepentingan yang harus diperjuangkan melalui belajar.
Belajar menurut The Liang Gie, seperti yang disalin dalam buku karangan Arijo, bahwa belajar berarti :
a.       Memperkuat kedudukan ekonomi dikemudian hari.
b.      Menciptakan kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat.
c.       Menimbulkan kepuasan bagi diri sendiri karena bertambah ilmu.[50]
Dengan demikian setelah memahami batasan-batasan di atas dapat diketahui tujuan dari belajar itu sendiri adalah sebagai berikut :
a.       Belajar memperkuat kedudukan ekonomi dikemudian hari sebab dengan belajar sampai tercapai apa yang dicita-citakan berarti kita dapat mencapai kedudukan yang tinggi dan ekonomi terjamin.
b.      Dengan belajar sebenarnya kita telah membuat kesempatan dikemudian hari, kesempatan menjadi seorang yang dipercaya oleh masyarakat. Sebab dengan keberhasilannya dalam belajar, maka semakin mantap ilmu yang dimilikinya dengan harapan dapat menjadi teladan seperti yang menjadi pedoman bagi setiap pemimpin, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani.
c.       Dengan belajar, seorang akan memperoleh ilmu sesuai dengan yang dicita-citakan. Dengan ilmu yang memadai, maka kepuasan pribadi akan tercapai. Dan rasa paling bahagia seseorang adalah karena telah dapat mencapai ilmu yang optimal. 





[1]M. Shochib, Pola Asuh Orang Tua untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 17.

[2]Ibid.
[3]Ibid, hlm. 20.

[4]WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1984, hlm. 471.

[5]Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, Ramadhani, Solo, 1985, hlm. 75. 
[6]Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2001, hlm. 122.

[7]Ibid, hlm. 23.
[8]Ibid, hlm. 123.

[9]Ibid, hlm. 198.
[10]Ibid, hlm. 201.
[11]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 233, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Departemen Agama, 1989, hlm. 57.

[12]Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah, Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hlm. 208.
[13]Abu Hadian Shafiyarrahman, Hak-Hak Anak dalam Syari’at Islam, al-Manar, Yogyakarta, 2003, hlm. 47.

[14]Ibid.

[15]Ibid, hlm. 58.

[16]Ibid, hlm. 64.

[17]Ibid, hlm. 70.

[18]Ibid, hlm. 91.
[19]Ibid, hlm. 97.

[20]Ibid, hlm. 99.

[21]John M. Echols & Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 81.

[22]Cahyadi Takariawan, Pernik-Pernik Rumah Tangga Islami Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat, Intermedia, Solo, 1997, hlm. 183.
[23]M. Shohib, Op. Cit, hlm. 20.

[24]Cahyadi Takariawan, Op. Cit, hlm. 184.
[25]Ibid. 185.

[26]Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ Ayat 59, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Departemen Agama, 1989, hlm. 128.

[27]Cahyadi Takariawan, Op. Cit, hlm. 186.
[28]Ibid, hlm. 187.

[29]Ibid, hlm. 188.

[30]Ibid, hlm. 189.

[31]Ibid. hlm. 190.

[32]Ibid, hlm. 191.

[33]Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Ruhama, Jakarta, 1995, hlm. 41.
[34]Zakiah Daradjat, Op. Cit, hlm. 64.

[35]Ibid, hlm. 67.
[36]Ibid, hlm. 71.

[37]Reber, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995, hlm. 263.

[38]W.J.S. Poerwadarminta, Op. Cit, hlm. 784.
[39]Oemar Hamalik, Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar, Tarsito, Bandung, 1990, hlm. 21.

[40]Buchori, Tehnik-tehnik Evaluasi dalam Pendidikan, Jemmars, Bandung, 1983, hlm. 178.

[41]Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa, Jakarta, 2002, hlm. 50.

[42]Ibid, hlm. 50.
[43]Ibid, hlm. 13.
[44]Sumadi Suryabarta, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 233.

[45] Ibid, hlm. 234.
[46]Ibid, hlm. 235.
[47]Ibid, hlm. 236.

[48]Ibid. hlm. 237.
[49]Ibid, hlm. 238.

[50]Arijo, Cara Belajar yang Efisien, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1980, hlm. 9. 

0 Response to "KONDISI TENTANG KELUARGA BROKEN HOME DAN PRESTASI BELAJAR"

Post a Comment