KONDISI TENTANG KELUARGA BROKEN HOME
DAN PRESTASI BELAJAR
A. Penegasan Arti Keluarga Broken Home
- Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga
dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial, sebagaimana
berikut:
a.
Keluarga dalam dimensi hubungan
darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara
satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat
dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
b.
Keluarga dalam dimensi hubungan
sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling
berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya,
walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan
dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga
pedagogis.[1]
Dalam pengertian
psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat
tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin,
sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling
menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu”
persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis
manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan yang bermaksud untuk saling
menyempurnakan diri.[2]
|
Menurut David yang dikutip dari buku yang berjudul “Pola Asuh
Orang Tua untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri” karangan M. Shochib,
mengkategorikan keluarga dalam pengertian sebagai keluarga seimbang, keluarga
kuasa, keluarga protektif, keluarga kacau dan keluarga simbiotis:
a. Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh
keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta
ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggungjawab dan dapat
dipercaya.
b. Keluarga kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada
keluarga ini anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan,
ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis.
c. Keluarga protektif lebih menekankan pada tugas dan saling
menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat
dihindari, karena lebih menyukai suasana kedamaian.
d. Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua.
Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi
kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam,
karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Orang tua sering
berperilaku kasar terhadap anak. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau
ditekan.
e. Keluarga simbiotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian
keluarga yang kuat, bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga
ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua banyak menghabiskan waktu
untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Dalam kesehariannya,
dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja.[3]
Menurut WJS.
Poerwadarminta, keluarga adalah sebagai sanak keluarga, kaum kerabat.[4]
Sedangkan menurut Abu Ahmadi berpendapat bahwa, keluarga adalah sebuah group
yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita. Perhubungan mana sedikit
banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan (mengasuh) anak-anak.
Keluarga di sini merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri,
dan anak-anak yang belum dewasa.[5]
2.
Kondisi-Kondisi Keluarga
Banyak sekali
kondisi-kondisi keluarga yang justru menjadi hazard (hancur) bagi setiap
anggota keluarga yang dan tentunya beresiko bagi tergangunya mental bagi para
anggotanya.
Kondisi-kondisi
keluarga yang dapat menjadi hazard (hancur) diantaranya adalah :
a.
Perceraian dan Perpisahan
Perceraian dan
perpisahan karena berbagai sebab antara anak dengan orang menjadi faktor yang
sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Kesimpulan
umum dapat dipetik bahwa perceraian dan perpisahan dapat berakibat buruk bagi
perkembangan kepribadian anak.[6]
b.
Keluarga yang Tidak Fungsional
Keluarga yang tidak
berfungsi menunjuk pada keadaan keluarga tetap utuh (intake) terdiri
dari kedua orang tua dari anak-anaknya. Mereka masih menetap dalam satu rumah.
Jadi strukturnya tidak mengalami perubahan, hanya fungsional yang tidak
berjalan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh tetapi tidak
fungsional lebih berakibat buruk pada anak.[7]
c.
Perlakuan dan Pengasuhan
Perlakuan orang tua
kepada anak berkaitan dengan apa yang dilakukan orang tua atau anggota keluarga
lain kepada anak. Apakah dibiarkan (meghlect) diperlakukan secara kasar
(violence) atau dimanfaatkan secara salah (abuse), atau diperlakukan
secara penuh toleransi dan menciptakan iklim yang sehat. Semunaya mempengaruhi
perkembangan anak dan mungkin juga berpengaruh pada anggota keluarga secara
keseluruhan. Tindakan keluarga yang membiarkan anak diperlukan secara kasar
atau diperlakukan yang semestinya tidak perlu, akan mempengaruhi perkembangan
mental anak.
Kondisi keluarga yang
“sehat” dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan anggota keluarga lainnya.
Sebaliknya, kondisi keluarga yang tidak kondusif dapat berakibat gangguan
mental bagi anak, diantaranya adalah gangguan tingkah laku, kecemasan, minder,
sedih, takut, bimbang, sulit dan beberapa gangguan mental lainnya.[8]
3. Arti Keluarga bagi Anak
Keluarga mempunyai
arti yang penting bagi anak kehidupan keluarga tidak hanya berfungsi memberikan
jaminan makan kepad anak, dengan demikian hanya meperhatikan perkembangan fisik
anak, melainkan juga memegang fungsi lain yang penting bagi perkembangan mental
anak, diantaranya adalah :
a.
Sosiologi Anak
Anak bersosialisasi
yaitu belajar dalam pergaulan, pertama-tama dilakukan dalam keluarga.[9]
Mengingat pentingya peran keluarga bagi penyelesaian berbagai masalah yang
dihadapi anak, maka keluarga perlu menyediakan waktu untuk berkumpul sambil
minum dan makan bersama-sama yang disebut family lable talk.
Jadi family table
talk mempunyai peranan yang penting karena dia tidak hanya memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengeluarkan keluhan-keluhannya juga memberikan
bimbingan.
b. Tata Cara Kehidupan Keluarga
Tata cara kehidupan
keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan kepribadian anak yang
tertentu pula. Kita akan meninjau tiga jenis tata cara kehidupan keluarga,
yaitu :
1) Tata cara kehidupan keluarga yang demokratis
Tata cara kehidupan
keluarga yang demokratis itu membuat anak mudah bergaul, aktif dn ramah tamah.
Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan segala-galanya tanpa bimbingan
dari keluarganya (orang tua).
2)
Tata cara kehidupan keluarga yang
membiarkan
Keluarga yang sering
membiarkan tindakan anak akan membuat anak tidak aktif dalam kehidupan sosial
dan dapat dikatakan anak menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini anak
mengalami banyak frustasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci
orang lain.
3) Tata cara kehidupan keluarga yang otoriter
Anak yang dibesarkan
dalam keluarga yang otoriter ini biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan,
tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha
menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang berkuasa, orang
tua).
Dengan demikian kreatifitas
anak akan berkurang, daya fantasinya juga kurang. Hal ini mengurangi kemampuan
anak untuk berfikir abstrak.[10]
Dari tiga jenis tata
cara kehidupan di atas Baldwin mengatakan bahwa lingkungan keluarga yang
demokratis merupakan tata cara yang terbaik untuk memberikan kemampuan
penyesuaian diri.
Namun demikian tata
cara susunan keluarga ini kenyatannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan
ciri-ciri keluarga, yaitu tata cara kehidupan keluarga yang demokratis,
membiarkan dan tata cara kehidupan keluarga yang otoriter.
4. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Mengenai
kewajiban seorang ayah dan ibu terhadap anak sudah diatur dalam Al-Qur’an yang
berbunyi :
والوالدت يرضعن
اولادهنّ حولين كا ملين لمن اراد ان يّتمّ الرّضاعة وعلى المولود له رزقهنّ
وكسوتهنّ بالمعروف صلى لاتكلف نفس الاّ
وسعها ج لا تضا رّوالدة
بولدها ولا مولود لّه بولده وعلى الوارث مثل ذلك ج فان ارد فصالا عن تراض
مّنهما وتشا ور فلا جناح عليهما قلى وان ارد تّم ان تسترضعوا اولاد كم فلا جناح عليكم اذا سلّمتم مّا اتيتم
بالمعروف قلى واتّقوا الله
واعلموا انّ الله بما تعملون بصير.
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan, karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu, apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”. (Al-Baqarah : 233).[11]
Kewajiban
ayah terhadap anak, yaitu antara lain:
a.
Mencukupi kebutuhan ekonomi, baik
pangan maupun sandang, perumahan dan kesehatan.
b.
Mendidik anak secara benar dan
baik.
c.
Mengasuh anak-anak.
d.
Menentukan masa depan anak.[12]
5. Hak-Hak Anak
Hak
adalah sesuatu yang harus diterima. Seorang anak mempunyai hak dari orang
tuanya, diantaranya sebagai berikut :
a.
Hak anak dalam nasab. Hak anak
untuk ditetapkan atau diakui dalam susunan nasab bukanlah hak dia sendiri
sebagai satu-satunya hak yang harus dimiliki.[13]
b.
Hak mendapatkan makanan dan
minuman yang dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang, yakni hak untuk
disusui.[14]
c.
Hak mendapatkan nama yang pantas
hingga dia bisa dipanggil berbeda dengan orang lain. Syari’at Islam menganjurkan
bahwa memberi nama kepada anak harus nama yang baik.[15]
d.
Hak untuk ditebus dengan
menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya, dalam ilmu fiqih
disebut aqiqah.[16]
e.
Hak untuk dihilangkan penyakitnya,
seperti dikhitan, dicukur dan selalu dijaga kebersihannya. Syari’at Islam
mengajak pada kebersihan, maka tidaklah aneh bila menghilangkan kotoran dan
penyakit dari anak itu merupakan suatu kewajiban.[17]
f.
Hak untuk diasuh, dirawat dalam
arti dilindungi dan dijaga. Dalam hal ini lebih dikenal dengan sebutan hadhanah.
Syariat Islam telah memberi perlindungan terhadap keluarga dan meresmikan jalan
yang lurus agar kejernihan itu tetap langgeng dan berlanjutlah kelembutan dan
kasih sayang, hingga anak-anak hidup dalam pemeliharaan ayah dan ibu dengan penghidupan
yang mulia, jauh dari kekurangan dan ketidaklurusan.[18]
g.
Hak untuk diberi nafkah hingga
dewasa dan mampu mendapatkan rizki sendiri.[19]
h.
Hak untuk mendapatkan pengajaran,
pendidikan dan budi pekerti yang luhur. Hal ini merupakan fase sendiri dan
penyempurna terhadap kesiapan anak untuk mengarungi samudera kehidupan.[20]
6. Pengertian Broken Home
7. Mengatasi Konflik Keluarga (Rumah Tangga)
Untuk mencegah
munculnya konflik yang berkepanjangan dan mengatasi berbagai ketegangan dalam
kehidupan suami istri, ada berbagai upaya yang dapat dilakukan yaitu sebagai
berikut:
a. Kembalikan seluruh masalah pada aturan Allah
dan Rosul-Nya.[25] Jika
ada masalah, maka kembalinya kepada pihak yang memberi perintah dan tuntunan
yaitu Allah SWT dan Rosul, sesuai dengan Firman Allah SWT:
ياايّها الذين
امنوا اطيعوا الله واطيعو الرّسول واولي الامر منكم فان تنازعتم فى شيئ فردّوه الى
الله والرّسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر طى ذلك خير وّاحسن تأويلا.
(النساء : 59)
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul (Sunnah-Nya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59)[26]
b. Mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak
Islam
telah meentapkan batas-batas hak serta kewajiban dengan adil dan bijaksana.
Apabila suami telah memenuhi kewajiban terhadap istri dengan sebaik-baiknya,
maka hak istri tertunaikan, dan demikian juga sebaliknya, maka suasana harmonis
akan lebih mudah dibangun dalam kondisi seperti ini.[27]
c. Jangan mengabaikan masalah yang dianggap kecil
Salah satu bagian
kemesraan dalam keluarga, ia dibangun di atas verbalitas. Istri memerlukan
ungkapan verbal atas kasih sayang dan perhatian suami terhadapnya.
Hal kecil lainnya
adalah disanjung, ungkapan terima kasih dan maaf, maka saling memberi hadiah
secara berkala, pada waktu-waktu tertentu, atau membawakan istri oleh-oleh saat
suami datang dari bepergian jauh.[28]
d. Berduaan, mengasingkan diri dari rutinitas
Suami istri bisa
saling melakukan evaluasi berduaan terhadap rumah tangga selama ini tanpa
diganggu keributan anak-anak.[29]
e. Jangan senantiasa berfikir hitam putih
Dalam prinsip ini,
tidak menjadi masalah bahwa seseorang yang tidak bersalah mendahului minta
maaf, hendaklah berfikir secara positif.[30]
f. Berbohong, jika memang diperlukan untuk ishlah
Pada dasarnya
berbohong adalah perbuatan dosa dan terlarang, sikap dasar muslim adalah jujur,
terpercaya dan tidak berdusta.
Sekalipun berbohong
antara suami dan istri diperbolehkan, tentu saja itu adalah sikap pengecualiannya.
Bohong hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, untuk melakukan ishlah
(perbaikan) dan membuat suasana harmonis dalam rumah tangga, tetapi tidak untuk
saling menipu, mendustai dan mengkhianati.[31]
g. Mendatangkan pihak ketiga yang dipercaya keduanya
Apabila ketegangan
tak terselesaikan dengan cara-cara persuasif, bahkan meningkat, maka bisa
ditempuh cara menghadirkan sesorang yang dipercaya oleh keduanya. Bisa jadi
seorang ustadz yang dikenal kearifannya, atau seorang yang dipercaya bisa
menyimpan rahasia.
Suami istri
mengadukan masalah dan perasaan hatinya masing-masing, untuk didengarkan dan
diselesaikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan izin Allah, pihak ketiga akan
memberikan saran, pandangan, ataupun alternatif pemecahan masalah.[32]
B. Pendidikan dalam
Keluarga
Sesunguhnya
pendidikan adalah masalah penting yang aktual sepanjang zaman. Karena
pendidikan, orang menjadi maju, dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi,
orang mampu mengolah alam yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia. Islam
mewajibkan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu.
Pendidikan
dalam keluarga antara lain sebagai berikut:
1.
Keluarga Sebagai Wadah
Utama Pendidikan
Tentang
pendidikan dalam keluarga khususnya keluarga muslim mestinya telah di mulai
jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan
ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai
umur tertentu yang disebut baligh berakal.[33]
2.
Pembentukan Kepribadian
Anak
Berbahagialah
anak yang lahir dan dibesarkan oleh ibu yang saleh. Penyayang dan bijaksana.
Karena pertumbuhan anak terjadi melalui seluruh pengalaman yang diterimanya
dalam kandungan.
Pendidikan
anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Hanya karena keterbatasan
kemampuan orang tua, maka perlu adanya bantuan dari orang yang mampu dan mau
membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya, terutama dalam mengajarkan
berbagai ilmu dan ketrampilan yang selalu berkembang dan dituntut
pengembangannya bagi kepentingan manusia.
3.
Pendidikan Agama dalam
Keluarga
Dalam
Islam penyemaian rasa agama di mulai sejak pertemuan ibu dan bapak yang
membuahkan janin dalam kandungan, yang di mulai dengan do’a kepada Allah SWT.
Selanjutnya memanjat do’a dan harapan kepada Allah agar janinnya kelak lahir
dan besar menjadi anak yang saleh.
Perlu
diketahui, bahwa kualitas hubungan anak dan orang tuanya akan mempengaruhi
keyakinan beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan
diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai
yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika jika terjadi sebaliknya, maka ia
menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan
ajaran agama dalam hidupnya, tidak zakat, tidak puasa dan sebagainya.[34]
4.
Pembentukan Sikap-Sikap
Terpuji
Di
dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisah-pisahkan dari iman. Iman
merupakan pengakuan hati dan akhlak adalah pantulan iman itu pada perilaku,
ucapan dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti keimanan
dalam perbuatan yang dilakukannya dengan kesadaran dan karena Allah semata.
Kita
harus menghayati, memahami dan menerapkan akhlakul mahmudah dalam kehidupan
sehari-hari, terutama bagi para pendidik (orang tua) amat penting. Sebab
penampilan, perkataan, akhlak dan apa saja yang terdapat padanya dilihat, di
dengar dan diketahui oleh para anak didik, akan mereka serap dan tiru dan lebih
jauh akan mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak mereka.
Jika
pengaruh yang terjadi adalah yang tidak baik, maka kerusakan yang terjadi hanya
pada diri anak didik itu saja, tetapi mempengaruhi anak cucu dan keturunannya
serta anak didiknya bila kelak ia menjadi pendidik.[35]
5.
Pendidikan Anak Secara Umum
Pendidikan anak
secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa didasari oleh orang
tua, namun pengaruh dan akibatnya amat besar. Terutama pada tahun pertama dari
kehidupan anak atau pada masa balita (di bawah lima tahun).
Pada umur tersebut
pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait panca indranya yang belum bertumbuh
pemikiran logis atau maknawi (abstrak) atau dapat kita katakan bahwa anak masih
berfikir indrawi.[36]
C. Prestasi Belajar Siswa
1.
Pengertian Prestasi Belajar
Proses belajar anak
merupakan suatu perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Dalam
psikologi, proses belajar berarti cara-cara untuk atau langkah-langkah khusus
yaitu perubahan tingkah laku yang ditimbulkan hingga tercapai hasil-hasil
tertentu.[37]
Dalam teori Reber,
tahapan perubahan dapat kita pakai sebagai padan kata proses. Jadi proses dapat
diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa.
Prestasi belajar
secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu prestasi dan belajar. Menurut
kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa prestasi adalah hasil yang telah
dicapai (dilakukan atau dikerjakan).[38]
Dengan demikian
prestasi menunjukkan adanya tingkat keberhasilan akibat melakukan aktivitas.
Sedangkan belajar menurut Oemar Hamalik adalah suatu bentuk pertumbuhan demi
perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku
yang baru berkat pengalaman dan latihan.[39]
Jadi perstasi belajar merupakan indikator sebagai tingkat keberhasilan seorang
siswa atau anak didik setelah mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini
relevan dengan apa yang diistilahkan oleh Buchori yang menyatakan bahwa
prestasi belajar itu merupakan hasil yang dicapai atau hasil yang sebenarnya
dicapai.[40]
Belajar merupakan interaksi dan proses
adaptasi yang tak pernah selesai antara individu dan masyarakat. Perkembangan
dan proses belajar seseorang tidak dapat terjadi tanpa kehadiran pengaruh
lingkungan masyarakat. Proses kognitif ilmu pengetahuan dan keragaman
pengalaman tidak hanya memiliki pengaruh terhadap penilaian diri (self apparaisal)
dan pengembangan harga diri (self esteem), tapi juga mempengaruhi
proses pencarian makna aspek-aspek diri dan pengembangan konsep diri (self
concept).[41]
Banyak contoh
menunjukkan bahwa siswa yang mencari tujuan-tujuan sosial tertentu di sekolah
meraih kesuksesan secara akademik. Wentzel mengemukakan bahwa siswa yang
berprestasi dan kurang berprestasi dapat dibedakan atas dasar apakah mereka
memiliki tujuan yang dicari atau tidak di dalam sekolah. Siswa yang berprestasi
baik seringkali mencari tujuan-tujuan yang berorientasi kognitif dan kemampuan
kognitif. Sebaliknya, siswa yang berprestasi kurang baik seringkali mencari
tujuan-tujuan berupa standar-standar sosial dan norma kelas yang menghambat
perkembangan kemampuan intelektual dan kognitif mereka.[42]
2.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Prestasi Siswa
Di
samping kemampuan intelektual bawaan setiap individu dan latar belakang
keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik siswa adalah :
a.
Kepercayaan (trust) dan
hubungan yang sehat (healthy relationship) dalam lingkungan
sekolah.
b.
Sikap guru seperti menunjukkan
perhatian, rasa hormat dan kasih sayang kepada siswa., mudah ditemui dan
terlibat secara total dalam pembelajaran.
c.
Kesiapan dan kemampuan
menyampaikan materi pelajaran merupakan aspek-aspek yang menentukan kesuksesan
dan kegagalan siswa.
d.
Kepala Sekolah juga memberi
pengaruh yang tidak langsung terhadap efektifitas sekolah dan keberhasilan
siswa melalui visi, misi, tujuan, dan strategi yang dikembangkan dalam
menjalankan roda aktivitas sekolah.
e.
Keadilan yang dirasakan siswa dan
kepuasan yang mereka rasakan terhadap sekolah.[43]
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Belajar sebagai
proses atau aktivitas disyaratkan oleh banyak sekali hal-hal atau
faktor-faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu banyak sekali macamnya,
terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Untuk memudahkan pembicaraan
dapat dilakukan klasifikasi sebagai berikut :
a.
Faktor-faktor yang berasal dari
luar diri pelajar dan ini masih lagi dapat digolongkan menjadi dua golongan
yaitu faktor-faktor non-sosial dan faktor-faktor sosial.
b.
Faktor-faktor yang berasal dari dalam
diri si pelajar, dan faktor ini dibagi lagi menjadi dua golongan yaitu
faktor-faktor fisiologis, dan faktor-faktor psikologis.
1) Faktor-faktor non-sosial dalam belajar
Kelompok
faktor-faktor ini misalnya : keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi,
atau siang, ataupun malam), tepat (letak/ gedung), alat-alat yang dipakai untuk
belajar.[44]
Faktor-faktor
tersebut di atas harus diatur dengan baik, sehingga dapat membantu (menguntungkan)
proses/ perbuatan belajar secara maksimal.
Letak sekolah atau
tempat belajar harus memenuhi syarat-syarat seprti di tempat yang tidak terlalu
dekat kepada kebisingan atau jalan ramai, bangunan juga harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam ilmu kesehatan. Demikian pula alat-alat
pelajaran harus memenuhi syarat-syarat menurut pertimbangan didaktis,
psikologis, dan paedagogis.
2) Faktor-faktor sosial dalam belajar
Yang dimaksud dengan
faktor-faktor sosial adalah faktor manusia (sesama manusia), baik mausia itu
ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan (tidak langusng hadir).
Kehadiran orang atau orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak
sekali mengganggu belajar. Terdengar banyak anak-anak lain bercakap-cakap (gaduh)
atau seseorang/ siswa sedang belajar di kamar, tiba-tiba ada satu atau dua
orang hilir mudik ke luar masuk kamar belajar. Kecuali orang itu hadir tidak
langsung seperti potret dapat merupakan representasi dari seseorang, suara
nyanyian lewat radio atau tape recorder.[45]
Faktor-faktor sosial
seperti itu dikemukakan di atas pada umumnya bersifat mengganggu proses belajar
dan prestasi-prestasi belajar.
3) Faktor-faktor fisiologis dalam belajar
Faktor-faktor ini
dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.
Tonus jasmani pada umumnya.
b.
Keadaan fungsi-fungsi fisiologis
tertentu.
a)
Keadaan Tonus jasmani pada umumnya
Keadaan tonus jasmani
pada umumnya dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar, keadaan
jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang
segar; keadan jasmani yang lelah, lain pengaruhnya daripada yang tidak lelah.
1). Nutrisi harus cukup karena kekurangan keadaan makanan ini akan
mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan,
lekas mengantuk dan lekas leleh. Terlebih-lebih bagi anak-anak yang masih
sangat muda, pengaruh itu besar sekali. Hasil-hasil penyelidikan Danziger,
et.al., yang dikutip oleh Ch. Buhler.
2). Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar seperti
pilek, influensa, sakit gigi, batuk dan yang sejenis dengan itu bisanya
diabaikan. Akan tetapi dalam kenyatanya penyakit-penyakit semacam itu sangat
mengganggu aktivitas belajar.[46]
b)
Keadaan fungsi-fungsi jasmani
tertentu terutama fungsi-fungsi pancaindra
Orang mengenal dunia
sekitarnya dan belajar dengan mempergunakan panca indranya yang berfungsi
sebagai syarat dapatnya belajar dengan baik.
Dalam sistem
persekolahan dewasa ini diantara panca indra itu yang paling memegang peranan
dalam belajar adalah mata dan telinga. Karena itu sebagai pendidik berkewajiban
untuk menjaga dengan baik.[47]
4) Faktor-faktor Psikologi dalam belajar
Perlunya memberikan
perhatian khusus kepada salah satu hal, yaitu hal yang mendorong aktivitas
beajar, hal yang merupakan alasan dilakukan perbuatan belajar itu. Menurut
Arden N. Frandsen sebagaimana dikutip oleh Sumadi Suryabrata dalam buku
“Psikologi Pendidikan” dijelaskan bahwa menjalankan bahwa hal yang mendorong
seseorang untuk belajar dan motif-motif untuk belajar adalah sebagai berikut :
a. Yang mendorong seseorang untuk belajar adalah
sebagai berikut :
-
Adanya sifat ingin tahu dan ingin
menyeleidiki dunia lebih luas.
-
Adanya sifat yang kreatif yang ada
pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
-
Adanya keinginan untuk mendapatkan
simpati dari orang tua, guru dan teman-teman.
-
Adanya keinginan untuk memperbaiki
kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan
kompetisi.
-
Adanya keinginan untuk mendapatkan
rasa aman bila menguasai pelajaran.
-
Adanya ganjaran atau hukuman
sebagai akhir daipada belajar.
b. Motif-motif untuk belajar itu adalah sebagai
berikut:
-
Adanya kebutuhan fisik.
-
Adanya kebutuhan akan rasa aman,
bebas dari kekhawatiran.
-
Adanya keutuhan akan kecintaan dan
penerimaan.
-
Adanya kebutuhan untuk mendapat
keharmonisan dari masyarakat.
-
Sesuai dengan sifat untuk
mengemukakan atau mengetengahkan diri.[48]
Apa yang telah
dikemukakan itu hanyalah sekedar penyebutan sejumlah kebtuhan-kebutuhan saja,
yang dapat ditambah lagi. Kebutuhan-kebuthan tersebut tidaklah lepas satu dengan
yang lain, tetapi sebagai suatu keseluruhan (kompleks) mendorong belajarnya
anak.
Selanjutnya suatu
pendorong yang biasanya besar pengaruhnya dalam belajarnya anak-anak didik kita
ialah cita-cita.[49]
4. Tujuan Belajar
Setiap
individu atau anak yang belajar menuntut ilmu pada dasarnya harus mempunyai
cita-cita yang diperjuangkan dengan baik dalam berbagai kegiatan belajar.
Tujuan
belajar di sekolah itu berhubungan dengan tujuan hidupnya. Belajar tanpa motif
tertentu, maka belajarnya akan lemah dan tidak menentu sehingga semangat
belajar akan mudah merasa padam dan tidak bersemangat lagi. Karena anak merasa
tidak mempunyai sautu kebutuhan dan keinginan atau kepentingan yang harus
diperjuangkan melalui belajar.
Belajar
menurut The Liang Gie, seperti yang disalin dalam buku karangan Arijo, bahwa
belajar berarti :
a.
Memperkuat kedudukan ekonomi
dikemudian hari.
b.
Menciptakan kesempatan untuk
menjadi pemimpin dalam masyarakat.
c.
Menimbulkan kepuasan bagi diri
sendiri karena bertambah ilmu.[50]
Dengan
demikian setelah memahami batasan-batasan di atas dapat diketahui tujuan dari
belajar itu sendiri adalah sebagai berikut :
a.
Belajar memperkuat kedudukan
ekonomi dikemudian hari sebab dengan belajar sampai tercapai apa yang
dicita-citakan berarti kita dapat mencapai kedudukan yang tinggi dan ekonomi
terjamin.
b.
Dengan belajar sebenarnya kita
telah membuat kesempatan dikemudian hari, kesempatan menjadi seorang yang
dipercaya oleh masyarakat. Sebab dengan keberhasilannya dalam belajar, maka
semakin mantap ilmu yang dimilikinya dengan harapan dapat menjadi teladan
seperti yang menjadi pedoman bagi setiap pemimpin, yaitu ing ngarso sung
tulodo, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani.
c.
Dengan belajar, seorang akan
memperoleh ilmu sesuai dengan yang dicita-citakan. Dengan ilmu yang memadai,
maka kepuasan pribadi akan tercapai. Dan rasa paling bahagia seseorang adalah
karena telah dapat mencapai ilmu yang optimal.
[1]M. Shochib, Pola Asuh Orang Tua untuk Membantu Anak
Mengembangkan Disiplin Diri, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 17.
[2]Ibid.
[3]Ibid, hlm.
20.
[4]WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, 1984, hlm. 471.
[5]Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, Ramadhani,
Solo, 1985, hlm. 75.
[6]Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep dan
Penerapan, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2001, hlm.
122.
[7]Ibid, hlm.
23.
[8]Ibid, hlm.
123.
[9]Ibid, hlm.
198.
[10]Ibid, hlm.
201.
[11]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 233, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hlm. 57.
[12]Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah, Bina
Ilmu, Surabaya, 1995, hlm. 208.
[13]Abu Hadian Shafiyarrahman, Hak-Hak Anak dalam
Syari’at Islam, al-Manar, Yogyakarta, 2003, hlm. 47.
[14]Ibid.
[15]Ibid, hlm.
58.
[16]Ibid, hlm.
64.
[17]Ibid, hlm.
70.
[18]Ibid, hlm.
91.
[19]Ibid, hlm.
97.
[20]Ibid, hlm.
99.
[21]John M. Echols & Hasan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 81.
[22]Cahyadi Takariawan, Pernik-Pernik Rumah Tangga
Islami Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat, Intermedia, Solo, 1997,
hlm. 183.
[23]M. Shohib, Op. Cit, hlm. 20.
[24]Cahyadi Takariawan, Op. Cit, hlm. 184.
[25]Ibid. 185.
[26]Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ Ayat 59, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hlm. 128.
[27]Cahyadi Takariawan, Op. Cit, hlm. 186.
[28]Ibid, hlm.
187.
[29]Ibid, hlm.
188.
[30]Ibid, hlm.
189.
[31]Ibid. hlm.
190.
[32]Ibid, hlm.
191.
[33]Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga
dan Sekolah, Ruhama, Jakarta, 1995, hlm. 41.
[34]Zakiah Daradjat, Op. Cit, hlm. 64.
[35]Ibid, hlm.
67.
[36]Ibid, hlm.
71.
[37]Reber, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosda
Karya, Bandung, 1995, hlm. 263.
[38]W.J.S. Poerwadarminta, Op. Cit, hlm. 784.
[39]Oemar Hamalik, Metode Belajar dan
Kesulitan-kesulitan Belajar, Tarsito, Bandung, 1990, hlm. 21.
[40]Buchori, Tehnik-tehnik Evaluasi dalam Pendidikan,
Jemmars, Bandung, 1983, hlm. 178.
[41]Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Prestasi Siswa, Jakarta, 2002, hlm. 50.
[42]Ibid, hlm.
50.
[43]Ibid, hlm.
13.
[44]Sumadi Suryabarta, Psikologi Pendidikan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 233.
[45] Ibid, hlm. 234.
[46]Ibid, hlm.
235.
[47]Ibid, hlm.
236.
[48]Ibid. hlm.
237.
[49]Ibid, hlm.
238.
0 Response to "KONDISI TENTANG KELUARGA BROKEN HOME DAN PRESTASI BELAJAR"
Post a Comment