METODE PEMBELAJARAN DAN PELAKSANAAN IBADAH

METODE PEMBELAJARAN DAN PELAKSANAAN IBADAH



      A.    Metode Pembelajaran
    1.      Pengertian Metode Pembelajaran
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Greek yaitu methodos. Kata ini terdiri dari dua kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Dengan demikian metode adalah jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.[1]
Sedangkan metode menurut pandangan ahli dalam pendidikan antara lain:
a.      Menurut Armai Arief metode dalam bahasa Arab disebut “thariqat” yang berarti: suatu cara, jalan yang teratur dan terpikir baik-baik yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tujuan pengajaran yang ditentukan tercapai.[2]
b.      Menurut M. Subana dan Sunarti metode adalah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan approach tertentu.[3]
c.       Menurut Yusuf Amir Faisol metode adalah suatu upaya yang bermaksud untuk membantu seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya, di mana metode disusun berdasarkan pendekatan materi bahasan, agar tujuan pembelajaran tercapai.[4]
d.     Menurut Al Syaibany metode adalah segala segi kegiatan yang terarah, teratur yang dikerjakan oleh seorang guru dalam rangka kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya dan suasana alam sekitarnya serta bertujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.[5]
Merujuk pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode merupakan suatu cara jalan yang teratur dan terencana yang dipergunakan seorang pendidik dalam menyampaikan atau mentransformasikan materi pelajaran kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran yang ditentukan dapat tercapai dengan disertai adanya perubahan tingkah laku pada peserta didik.
Sementara pembelajaran  berasal dari kata belajar. Belajar merupakan suatu usaha keras untuk memahami sesuatu melalui pendengaran, penglihatan, pengamatan, penulisan, bacaan dan reproduksi.[6] Muhibbin Syah mengartikan belajar sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[7]
Menurut Sardiman pengertian belajar dibagi dua yaitu pengertian luas dan sempit. Pengertian luas belajar diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit belajar diartikan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.[8]
Sedangkan menurut M. Arifin belajar adalah kegiatan peserta didik dalam menerima, menanggapi serta menganalisa bahan pelajaran yang disajikan guru yang berakhir dengan kemampuan peserta didik dalam menanggapi dan menguasai bahan yang disajikan.[9]
Subyek atau  pelaku inti dalam pembelajaran terdiri dari pebelajar dan pembelajar. Pebelajar adalah subyek yang belajar yaitu siswa, dan pembelajar adalah subyek yang membelajarkan pebelajar (siswa) yaitu guru. Pembelajaran sendiri merupakan kegiatan guru secara terencana dan terprogram dalam desain instruksional yang menjadikan siswa belajar secara aktif.[10]
Aktivitas manusia pada dasarnya dilandasi dengan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai termasuk aktivitas belajar. Tujuan adalah segala sesuatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan itu selesai.[11] Sedangkan tujuan belajar adalah melatih peserta didik agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi baik masalah intelektualitas maupun kecakapan yang bersifat formal sehingga terwujud manusia yang berkepribadian utuh. Oleh karena itu tujuan belajar menurut Winarno Surahmad adalah:
a.      Pengumpulan pengetahuan
b.      Penanaman konsep dan kecakapan
c.       Pembentukan sikap dan perbuatan[12]
Merujuk dari pengertian itu, disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran adalah adanya perubahan pemikiran dan tingkah laku pada pribadi peserta didik yang dapat diamati dan diukur. Oleh sebab itu tujuan pembelajaran dijadikan arah penentu dan pengukur keberhasilan dalam proses belajar mengajar serta sebagai motivasi bagi peserta didik dalam mengikuti pelajaran secara serius.

2.      Macam-macam Metode Pembelajaran
Permasalahan yang seringkali dijumpai dalam pembelajaran adalah bagaimana cara seorang pendidik dalam menyajikan atau menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik secara baik sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Disamping itu masalah lain yang sering dijumpai adalah kurangnya perhatian guru terhadap variasi penggunaan metode mengajar dalam upaya peningkatan mutu pengajaran secara baik.
Berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran, salah satunya tergantung pada metode yang digunakan. Seorang pendidik harus mampu memilih metode mengajar yang tepat, efektif dan efisien untuk disuguhkan kepada peserta didik. Namun sebaliknya pemilihan metode yang salah akan menghambat pencapaian tujuan pembelajaran. Untuk itu pendidik jangan sesuka hati memilih metode, ia harus berpedoman dan berorientasi pada metode pembelajaran.[13]
Menurut Djamaluddin Darwis metode yang sering digunakan dalam pengajaran adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, drill, demonstrasi, resitasi, kerja kelompok, sosiodrama dan karya wisata.[14]
Di bawah ini peneliti jelaskan sebagian dari metode pembelajaran yang dikemukakan Djamaluddin Darwis yaitu:
a.      Metode ceramah
Metode ceramah merupakan suatu metode di dalam pendidikan, di mana cara menyampaikan pengertian-pengertian materi kepada peserta didik dengan jalan penerangan dan penuturan secara lisan.[15]
Winarno Surakhmad mengartikan metode ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan secara lisan oleh seseorang terhadap kelompok pendengar. Dalam pelaksanaannya dapat mempergunakan alat-alat bantu untuk menjelaskan uraiannya, namun alat utama yang digunakan dalam interaksi ini adalah bahasa lisan.[16]
Jadi metode ceramah diartikan sebuah metode dalam penyampaian materi pelajaran yang pelaksanaannya menggunakan penuturan secara lisan, di mana subyek yang berperan aktif adalah guru (penyampai materi). Sedangkan peserta didik bersifat pasif yakni mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan guru.
Pemberian materi pelajaran dengan berceramah dapat memberi keuntungan (kelebihan) sebagai berikut:
1)      Guru dapat menguasai arah kelas dengan mudah
Hal ini terjadi karena guru semata-mata berbicara langsung pada peserta didik, sehingga ia dapat menentukan arah pengajaran dengan jalan menetapkan sendiri apa yang akan dibicarakan.
2)      Organisasi kelas lebih sederhana
Dengan ceramah persiapan satu-satunya yang diperlukan guru ialah buku catatan atau bahan pelajaran dan penyampaiannya disampaikan dengan duduk atau berdiri, sedangkan siswa duduk diam mendengarkan.
3)      Dalam waktu relatif singkat guru dapat menyampaikan materi sebanyak-banyaknya karena yang berperan aktif adalah guru
4)      Apabila guru penceramah yang baik, maka dapat menimbulkan semangat dan kreasi yang konstruktif bagi peserta didiknya.[17]
Kelemahan metode ceramah dalam proses belajar mengajar dipandang dari segi kepentingan belajar siswa adalah:
1)      Guru sukar mengetahui sampai di mana siswa  telah mengerti atau menguasai materi yang telah disampaikan.
2)      Siswa seringkali memberi pengertian lain dari hal yang dimaksudkan guru.
3)      Bagi Sekolah Dasar, tidak baik jika metode ceramah digunakan 100 % karena segala sesuatu yang disampaikan akan ditelannya tanpa kritik bahkan kemungkinan besar siswa tidak mengerti apa yang diceramahkan oleh gurunya.[18]
Metode ceramah merupakan metode yang sering digunakan dalam proses belajar mengajar karena metode ini dianggap paling baik untuk menyajikan sebuah informasi. Namun metode ini akan berhasil baik jika didukung atau dibantu dengan metode-metode yang lain misalnya: tanya jawab, latihan-latihan.[19]

b.      Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan obyektif.[20] Menurut B. Suryo Subroto, metode diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran, di mana guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok siswa) untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau penyusunan berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah.[21]
Metode diskusi digunakan untuk merangsang siswa, berpikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya secara rasional dan obyektif dalam pemecahan suatu masalah. Peran guru di sini adalah memberikan bantuan berupa penyajian masalah yang akan didiskusikan, memberi bimbingan dan pengarahan sebelum atau selama berlangsungnya diskusi.[22]
Kelebihan metode diskusi antara lain :
1)      Merangsang kreativitas siswa dalam bentuk ide, gagasan dalam pemecahan masalah.
2)      Membina siswa untuk terbiasa musyawarah mufakat dalam memecahkan masalah.
3)      Membentuk siswa belajar menilai logika, bukti dan hujjah, baik pendapatnya sendiri maupun pendapat orang lain.
4)      Memanfaatkan keahlian (sumber belajar) yang ada pada anggota kelompok.[23]
Adapun kelemahan metode diskusi antara lain :
1)      Suatu diskusi tidak dapat diramalkan sebelumnya mengenai hasilnya.
2)      Jalannya diskusi hanya dikuasai (dominasi) oleh beberapa siswa yang suka berbicara.
3)      Jumlah siswa yang terlalu besar akan mempengaruhi kesempatan setiap siswa untuk mengemukakan pendapatnya.[24]
c.       Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic, sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa.[25]
Menurut Zuhairini metode tanya jawab adalah penyampaian pelajaran dengan jalan guru mengajukan pertanyaan dan siswa menjawab. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana materi yang dikuasai siswa.[26]
Maksud metode tanya jawab, ialah guru memberikan pertanyaan atau siswa diberi kesempatan untuk bertanya terlebih dahulu pada saat permulaan, pertengahan maupun akhir pelajaran sehingga dapat meningkatkan perhatian siswa untuk belajar secara aktif.

d.     Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah suatu metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran.[27] Penggunaan metode demonstrasi menghendaki guru untuk berperan lebih aktif karena yang melakukan kegiatan memperagakan (mendemonstrasikan) suatu proses atau cara kerja suatu benda adalah guru.
Di lain waktu siswa juga bisa melakukan demonstrasi baik secara berkelompok atau individu. Walaupun begitu bimbingan dan pengawasan guru tetap diperlukan.


e.      Metode drill
Metode drill merupakan metode pengajaran yang dilaksanakan dengan cara diulang-ulang dan terus-menerus, sehingga menghasilkan ketangkasan, keterampilan dan profesionalisme.[28] Dalam hal ini siswa tidak hanya memiliki pengetahuan dan pemahaman saja tetapi juga diimbangi dengan keterampilan dan ketangkasan.
Dengan demikian metode drill ini menekankan pelatihan-pelatihan yang diulang-ulang dan terus-menerus, dengan tujuan agar siswa terbiasa melakukan sendiri. Untuk itu setiap individu siswa dituntut rajin berlatih secara terus-menerus.

3.      Media Pembelajaran
Media pendidikan (pembelajaran) dapat diartikan semua aktivitas yang ada hubungannya dengan materi pendidikan, baik berupa alat teknik atau metode yang efektif digunakan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam menyebarkan agama pada kaum (umat), para Nabi bertindak sebagai guru yang baik dan sebagai pendidik keagamaan yang agung. Melalui media yang tepat usaha (dakwah) Nabi dalam menanamkan akidah agama yang dibawanya dapat diterima dengan mudah oleh umatnya. Media yang digunakan antara lain media perkataan dan perbuatan Nabi sendiri serta memberikan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah).[29] Sebagaimana firman Allah, surat Al Ahzab ayat 21 :
لقدكان لكم فىرسول الله أسوةحسنةلمن كان يرجواالله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا (الأحزاب: 21)
Artinya : "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al Ahzab : 21).
Contoh teladan yang baik mempunyai peran yang besar dalam keberhasilan misi (dakwah) Islam, serta dapat menjadi faktor yang menentukan dalam keberhasilan dan pencapaian tujuan pendidikan secara luas.
Adapun segala sesuatu atau benda yang dapat dipakai sebagai media pembelajaran antara lain papan tulis, buku pelajaran, ruang kelas, puletur boad, film, radio pendidikan, televisi pendidikan, komputer, karya wisata dan lain-lain.[30]

4.      Sikap Guru
Peranan guru sebagai pembimbing bertolak dari cukup banyaknya siswa yang bermasalah. Dalam belajar ada siswa yang cepat, sedang dan lambat dalam mencerna materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi bagi siswa. Agar terjadi interaksi yang kondusif, guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses belajar mengajar, sehingga guru adalah tokoh yang dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh siswa.[31]
Oleh karena itu setiap guru harus mempunyai kompetensi dalam bidang studi yang akan diajarkannya. Ia dituntut untuk harus mengetahui dan menguasai materi bidang studi serta menggunakan media yang tepat dalam proses belajar mengajar. Kompetensi meliputi penguasaan dan pengembangan materi keterampilan mengajarkannya, pemilihan metode penyampaiannya, kesanggupan menggunakan media pengajaran dan mencari atau menciptakan alat pengajaran darurat.[32]
Berkaitan dengan peran, tugas tanya jawab guru yang profesional, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal sebagai berikut:
a.      Guru sebagai orang tua kedua bagi siswa
Seorang guru harus mempunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang kepada siswanya sebagaimana orang tua terhadap anaknya.
b.      Guru sebagai pewaris ilmu Nabi
Seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan harus mengarah kepada tujuan hidup siswanya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat.
c.       Guru sebagai penunjuk dan pembimbing keagamaan siswa
d.     Guru sebagai sentral figur bagi siswa
Dalam hal ini al-Ghazali menasehatkan pada setiap guru agar senantiasa menjadi teladan yang baik dan pusat perhatian bagi siswanya.[33]

B.     Pelaksanaan Ibadah

1.      Pengertian Ibadah
Ibadah dalam Kamus Bahasa Arab berasal dari kata akar :            عبد, يعبد, عبادة  yang artinya menyembah, mengabdi, menghinakan diri kepada Allah.[34] Sedangkan secara istilah pengertian ibadah peneliti jelaskan sebagai berikut:
a.      Menurut Nasruddin Razak ibadah adalah:
العبادة هي التقرب الى الله بامتثال اوامره واجتناب نواهيه والعمل بما اذن به الشارع
Artinya :    "Ibadah adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mengatasi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan mengamalkan segala yang diijinkan”.[35]
b.      Menurut Teungku Hasbi As-Shiddieqy ibadah adalah: meliputi segala sesuatu yang disukai Allah dan diridloi-Nya, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan baik terang-terangan maupun tersembunyi.[36]
c.       Menurut Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin, ibadah berarti penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan jalan tunduk dan merendahkan diri serendah-rendahnya yang dilakukan secara hati ikhlas menurut tata cara yang ditentukan oleh agama.[37]
Merujuk pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah segala perkataan, perbuatan, baik terang-terangan maupun sembunyi yang merupakan sebagai bukti penyembahan seorang hamba pada Tuhannya dengan niat bertaqarrub pada-Nya serta dilakukan dengan jalan tunduk merendahkan diri dan hati yang ikhlas karena-Nya.
Pelaksanaan ibadah belum sempurna apabila hanya dengan perbuatan saja, sedangkan perasaan tunduk dan hina diri belum bangkit dari hati. Untuk itu agar ibadah diterima Allah harus dimiliki sikap ikhlas, tidak riya, muqorrobah serta dilaksanakan pada waktunya.[38]

2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibadah Anak
Pelaksanaan (perilaku) ibadah seseorang dalam kehidupannya dipengaruhi oleh dua faktor dominan yaitu faktor indogen dan eksogen. Faktor indogen adalah faktor atau sifat yang dibawa sejak dalam kandungan hingga kelahiran. Faktor ini sering disebut faktor pembawaan. Sedangkan faktor eksogen adalah faktor yang datang dari luar individu, seperti pendidikan, pergaulan. Faktor ini disebut dengan faktor lingkungan.[39]
Berikut ini peneliti jelaskan dua macam faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ibadah anak yaitu :
a.      Faktor internal
Faktor ini berkaitan langsung dengan diri pribadi seseorang, di mana faktor ini meliputi faktor biologis dan psikologis. Faktor internal diartikan sebagai daya pilih, minat dan pelatihan seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh yang datang dari luar (lingkungan). Dengan demikian pelaksanaan ibadah seseorang dipengaruhi oleh keadaan fisik, intelegensi, bakat, minat, keadaan emosi serta gangguan psikis lainnya.[40]

b.      Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang atau berasal dari luar pribadi seseorang, faktor ini meliputi :
1)      Keluarga
Keluarga adalah satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia dan merupakan masyarakat yang pertama kali dijumpai anak. Kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.[41] Untuk itu orang tua harus berperilaku ibadah yang baik karena anak cenderung meniru sikap dan tingkah laku orang tuanya.
Konsep ajaran Islam memandang bahwa anak adalah amanat yang harus dijaga oleh orang tua. Secara umum tanggung jawab orang tua adalah berusaha membimbing anak menuju kedewasaan. Dalam mendewasakan anak yang terpenting adalah menanamkan nilai-nilai ibadah yang akan mewarnai perilaku anak di masa selanjutnya.[42] Jadi tanggung jawab orang tua adalah menjaga keselamatan keluarganya dari kesesatan. Sebagaimana firman Allah surat At-Tahrim ayat 6 :
يايها الذين امنوا قواانفسكم واهليكم نارا (التحريم: 6)

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (At Tahrim : 6).

Tidak diragukan lagi keluarga merupakan tempat yang pertama dasar dan utama bagi pembentukan ibadah anak khususnya shalat dan puasa.

2)      Sekolah
Kesatuan sosial yang juga berperan membentuk ibadah anak adalah sekolah. Sekolah dalam arti sempit diartikan sebagai tempat belajar, penuangan pengetahuan, pemindahan materi pelajaran oleh guru. Namun sesungguhnya sekolah bertujuan membina pribadi dari segala segi yaitu kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga hal ini menjadi program terpenting dari pendidikan sekolah.[43]
Hal ini mengingatkan guru agama bahwa tugasnya bukan hanya menyampaikan pengetahuan saja, tetapi juga pengetahuan keagamaan yang disampaikan harus benar-benar terwujud dalam sikap tingkah laku dan gerak perbuatan pada anak didiknya.

3)      Masyarakat
Pada umumnya pergaulan di masyarakat kurang menekankan pendidikan atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat, berbeda dengan situasi di rumah dan sekolah. Meskipun nampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh norma-norma dan nilai-nilai yang didukung warganya.[44] Sehingga perilaku seseorang tidak lepas dari pengaruh lingkungan setempat.
Pengaruh lingkungan masyarakat diantaranya adalah teman sebaya, orang dewasa dan sebagainya. Terutama pengaruh teman sebaya atau teman bergaul, tidak jarang anak lebih cenderung memilih meniru teman sebaya atau teman bergaul daripada orang tuanya.
Dengan demikian pelaksanaan ibadah seseorang dipengaruhi oleh rangsangan dari dirinya dan dari luar dirinya yakni melalui interaksi dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.

3.      Macam-macam Ibadah Anak
Ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ibadah dapat dilihat dari segi khusus umum dan dari segi pelaksanaannya.[45]
            Dari segi umum khususnya ibadah dibagi dua, yaitu:
a.      Ibadah khusus adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash al-Qur'an dan al-Hadits, seperti shalat, puasa.
b.      Ibadah umum adalah semua perbuatan yang dilakukan dengan niat ibadah dan dilakukan semata-mata karena Allah.
Dari segi pelaksanaannya ibadah dibagi tiga, yaitu:
a.      Ibadah jasmaniah dan ruhaniah, seperti shalat dan puasa.
b.      Ibadah ruhaniah dan maliyah, seperti zakat.
c.       Ibadah jasmaniah, ruhaniah dan maliyah, seperti haji.
Pembahasan ibadah pada penelitian ini difokuskan pada ibadah khusus yaitu ibadah shalat dan puasa. Untuk itu peneliti paparkan tentang shalat dan puasa berikut ini:
a.      Shalat
Shalat menurut bahasa adalah “doa” sebagaimana dalam fathul qarib :
الصلاة وهي لغة الدعاء وشرعا كما قال الرا فعى اقوال وافعال مفتتحة بالتكبير ومختتمة بالتسليم بشرائط مخصوصة
Artinya :  "Shalat menurut bahasa berarti doa (permohonan), menurut syara’ (agama) seperti yang dikatakan oleh Rafi’i adalah beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu”.[46]

Shalat merupakan ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam serta diikuti oleh hati, hanya mengingat Allah. Karena tujuan dari shalat adalah mengingat Allah.
اننى انا الله لااله الا انا فاعبدنى واقم الصلاة لذكري (طه: 14)

Artinya :  "Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Thoha : 14)”.

Amal (perkara) yang pertama kali dihitung oleh Allah di hari kiamat adalah shalat. Mengingat begitu pentingnya shalat, maka sudah semestinya pendidikan shalat diberikan kepada anak sejak masih kecil yakni sebelum akal baligh (mukallaf). Dalam ajaran Islam anak diajarkan shalat ketika anak berumur 7 tahun dan ketika umur 10 tahun anak meninggalkan shalat maka anak harus diajar sebagai sanksi.[47]
Pada hakikatnya suatu ibadah itu mendatangkan hikmah dan manfaat jika dilaksanakan dengan khusyuk dan ikhlas bukan dengan paksaan. Adapun hikmah shalat antara lain :
-          Shalat menjadikan ketentraman jiwa, tidak gelisah, kikir dan sombong.
Dengan mendirikan shalat secara terus-menerus seseorang akan mendapat ketentraman batin dan ketentraman jiwa dalam menghadapi masalah keduniaan.
-          Shalat dapat mencegah dari perbuatan mungkar dan keji.
Dengan hati yang selalu ingat kepada Allah, akan merasa malu melakukan perbuatan yang mungkar dan keji karena percaya bahwa Allah melihat segala perbuatan manusia.
-          Melatih kedisiplinan dalam menjalankan tugas pada waktu yang ditentukan.[48]
b.      Puasa
Puasa (shiyam) menurut bahasa adalah menahan diri. Menurut syara’ adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri dalam sehari penuh, mulai terbitnya fajar sodiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib) dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah.[49]
Puasa merupakan ibadah yang dirasakan berat bagi sementara orang lebih-lebih bila ibadah ini tidak dibiasakan sejak masih anak-anak. Oleh karena itu penting sekali mendidik dan membiasakan anak berpuasa sebagai latihan, walaupun anak-anak dibebaskan dari kewajiban berpuasa mengingat tubuhnya masih benar-benar membutuhkan makanan.
Islam tidak mensyariatkan sesuatu, melainkan pasti mengandung hikmah yang besar. Hikmah dari ketaatan seorang hamba akan kembali kepada kemaslahatan orang mukallaf itu sendiri. Begitu juga dengan puasa, di dalamnya terdapat sejumlah hikmah dan maslahat yaitu :
1)      Membentuk manusia takwa, sebagaimana firmah Allah surat        Al-Baqarah
يايهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة: 183)

Artinya : "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah : 183).

2)      Puasa mendidik iradah (kemauan), mengendalikan hawa nafsu, membiasakan bersifat sabar dan dapat membangkitkan semangat.
3)      Menambah kesehatan jasmani. Menahan makan dan minum dari fajar sampai terbenamnya matahari adalah proses pengistirahatan organ dalam perut.
4)      Menanamkan ijtimaiyah (rasa sosial) yang kuat. Puasa mengajarkan kaum agniya’ (kaya) merasakan apa yang diderita oleh kaum dhuafa’ (fakir miskin) dalam menghadapi problema perut.[50]



[1] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 125.
[2] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 40.
[3] M. Subana dan Sunarti, Strategi Belajar dan Mengajar Bahasa Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, t.th., hlm. 20.
[4] Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani, Jakarta, 1995, hlm. 390.
[5] Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, CV As Syifa’, Semarang, 1981, hlm. 66.
[6] Abu Bakar Muhammad, Hadits Tarbiyah, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hlm. 234.
[7] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 92.
[8] Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 20.
[9] M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1971, hlm. 162.
[10] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 1999,     hlm. 37.
[11] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 29.
[12] Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar, Tarsito, Bandung, 1984, hlm. 65.
[13] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 185.
[14] Djamaluddin Darwis, Proses Belajar Mengajar PAI di Sekolah, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang, 1996, hlm. 226.
[15] Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, Usaha Nasional, Surabaya, 1983, hlm. 28.
[16] Winarno Surakhmad, Op. Cit., hlm. 99.
[17] Abu Ahmadi, Metodik Khusus Mengajar Agama, Toha Putra, Semarang, 1976, hlm. 36.
[18] Usman Said et all, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Proyek Pembinaan PTAI, Jakarta, hlm. 227.
[19] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru, Bandung, 1989, hlm. 77.
[20] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 36.
[21] B. Suryo Subroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 179.
[22] M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., hlm. 38.
[23] Hisyam Zaini dkk, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, CTSD IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002, hlm. 135.
[24] B. Suryo Subroto, Op. Cit., hlm. 186.
[25] Nana Sudjana, Op. Cit., hlm. 78.
[26] Zuhairini, dkk, Op. Cit., hlm. 86.
[27] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 201.
[28] Djamaluddin Darwis, Op. Cit., hlm.
[29] Asnawir dan Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 117.
[30] Ibid., hlm. 177.
[31] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 47.
[32] Zakiyah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta,      hlm. 202.
[33] Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 98.
[34] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 252.
[35] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1993, hlm. 47.
[36] Teungku M. Hasbi As-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000, hlm. 7.
[37] Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i 1, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 17.
[38] Ibid., hlm. 20.
[39] Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 200.
[40] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm. 27.
[41] Jalaluddin, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 220.
[42] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995, hlm. 135.
[43] Jalaluddin, Op. Cit., hlm. 221.
[44] Ibid., hlm. 222.
[45] Baihaqi AK, Fiqih Ibadah, M2S, Bandung, 1996, hlm. 14.
[46] M. Ibnu Qasim Al Ghaziyyi, Fathul Qaribul Mujib, Toha Putra, Semarang, t.th., hlm. 11.1
[47] Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., hlm. 153.
[48] Nasruddin Razak, Op. Cit., hlm. 181.
[49] Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, Era Intermedia, Solo, 1998, hlm. 20.
[50] Ibid., hlm. 29.

0 Response to "METODE PEMBELAJARAN DAN PELAKSANAAN IBADAH"

Post a Comment