A. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan
dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena
pendidikan hanya untuk manusia dan manusia menjadi manusia karena adanya
pendidikan. Untuk itu akan dikaji pengertian pendidikan itu dari dua aspek
yaitu aspek etimologis dan aspek
terminologis.
Menurut mu'jam
(Kamus) kebahasaan sebagaimana dikutif Ramayulis, kata tarbiyat memiliki tiga akar
kebahasaan, yaitu:
a. :yang memiliki
arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian'ini
didasarkan atas Q.S. al-Rum ayat 39.
b. :yang
memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra'a).
c. : yang memiliki
arti memperbaiki (ashalaha), menguasai urusan, memelihara, merawat,
menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan
menjaga kelestarian dan eksistensinya.[1]
Menurut Abdur
Rahman An Nahlawi, kata tarbiyah ditemukan dalam tiga akar kata
yaitu: pertama, raba – yarbu, yang artinya bertambah dan tumbuh. Ini di dasarkan kepada surat Ar Rum: 39. kedua, rabiya-yarba,'
dengan wazn (bentuk) khafiya yakhfa, artinya menjadi besar.
Ketiga, rabba-yarubbu, dengan wazn (bentuk) madda yamuddu,
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.[2]
Imam Baidowi;
ar-Rab itu bermakna tarbiyah, yang makna lengkapnya adalah
menyampaikan. sesuatu hingga mencapai kesempurnaan. Kemudian kata itu dijadikan
sifat Allah SWT sebagai mubalaghah (penekanan)[3]
Zahara Idris yang dikutif Abu Ahmadi dan Nur
Uhbiyati telah mengumpulkan definisi pendidikan menurut para tokoh pendidikan.[4] Ahmad D.Marimba memberi
pengertian pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.[5]
Syaiful Bahri Djamarah, memberi pengertian juga,
pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas
manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam
pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap
jenis dan jenjang pendidikan.[6] Sedangkan dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[7]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu
mengembangkan potensi yang ada pada setiap anak didik. Semuanya bermuara kepada
manusia, sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan secara wajar dalam
masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pendidikan
adalah suatu proses alih generasi, yang mampu mengadakan transformasi
nilai-nilai ilmu pengetahuan dan budaya
kepada generasi berikutnya agar dapat menatap hari esok yang lebih baik.
Adapun pendidikan Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut
Arifin, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan
yang bersifat progresif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang
berlangsung di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.[8]
Sementara Achmadi memberi pengertian, pendidikan Islam adalah segala usaha
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia
yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam.[9]
Abdur
Rahman Saleh memberi pengertian juga tentang pendidikan Islam yaitu usaha sadar
untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang
dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung
jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.[10]
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam adalah penataan individual dan
sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan
menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Pendidikan Islam merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Berdasarkan makna ini, maka pendidikan
Islam mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan
kepadanya. Ini berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama,
yakni yang terpenting, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[11]
Dilihat
dari konsep dasar dan operasionalnya serta praktek penyelenggaraannya, maka
pendidikan Islam pada dasarnya mengandung tiga pengertian:
Pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut
Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang difahami dan dikembangkan
dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya,
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan
Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau
dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut atau bertolak dari
spirit Islam.
Kedua,
pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam,
yakni upaya mendidikkan agama Islam atau
ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap
hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan islam dapat
berwujud (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk
membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan
dan/menumbuh-kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; (2) segenap fenomena
atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya adalah
tetanamnya dan/atau tumbuh-kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada
salah satu atau beberapa pihak.[12]
Ketiga,
pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas
sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas
sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut
benar-benar dekat dengan idealitas Islam/atau mungkin mengandung jarak atau
kesenjangan dengan idealitas Islam.[13]
Walaupun
istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara berbeda, namun pada
hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu
sistem yang utuh. Konsep dan teori kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun
atau dipahami dan dikembangkan dari al-Qur’an dan As-sunnah, mendapatkan
justifikasi dan perwujudan secara
operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran
agama, budaya dan peradaban Islam dari generasi ke generasi, yang berlangsung
sepanjang sejarah umat Islam.[14]
Kalau definisi-definisi itu dipadukan tersusunlah
suatu rumusan pen- didikan Islam,
yaitu:
Pendidikan Islam ialah mempersiapkan dan menumbuhkan anak
didik atau individu manusia yang prosesnya berlangsung secara terus-menerus
sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Yang dipersiapkan dan ditumbuhkan itu
meliputi aspek jasmani, akal, dan ruhani sebagai suatu kesatuan tanpa
mengesampingkan salah satu aspek, dan melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan
pertumbuhan itu diarahkan agar ia
menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna bagi dirinya dan bagi umatnya, serta
dapat memperoleh suatu kehidupan yang
sempurna.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara tentang
tujuan pendidikan, tidak dapat tidak akan membawa kita kepada tujuan hidup.
Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia.[15] Tujuan pendidikan Islam
dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam
filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikannya maka tujuan
pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Hal ini sempat
menimbulkan pandangan yang kontraversial dari para ahli didik terhadap
pendidikan Islam. Seakan mereka kurang dapat menerima penjelasan yang demikian
itu.[16]
Dalam perumusan
tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang
meliputi beberapa aspeknya misalnya tentang [17] :
1. Tujuan dan tugas hidup manusia,
manusia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu, tujuan
manusia diciptakan hanya untuk Allah, tugasnya berupa ibadah dan tugas sebagai
wakil Allah dimuka bumi.
2. Memperhatikan sifat-sifat dasar
manusia, ia tercipta sebagai khalifah dimuka untuk beribadah, yang dibekali
dengan banyak fitrah yang berkecenderungan pada kebenaran dari tuhan sebatas
kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada.
3. Mengkondisikan dan menyesuaikan
apa yang berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat, sebagai upaya untuk
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut.
4. Dimensi-dimensi kehidupan
idealitas Islam, dimensi nilai-nilai Islam yang menekankan keseimbangan dan
keselarasan hidup duniawi dan ukhrawi.
Hampir semua cendikiawan muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah pembentukan pribadi muslin yang sempurna sebagai khalifah dimuka
bumi yang beriman dan beramal sholeh serta bahagia di dunia dan di akhirat.
Ibnu Khaldun merumuskan tujuan pendidikan adalah pertama, Memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan
kematangan individu, kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat. Kedua, untuk memperoleh berbagai
ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan
berbudaya. Ketiga, Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk
memperoleh rizki. Ada beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan
tujuan pendidikan yaitu
1). Pengaruh filsafat
sosiologi, yang tidak bisa memisahkan
antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan
kebutuhan masyarakat.
2). Perencanaan ilmu
pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
3). Pendidikan sebagai
aktivitas akal insani, merupakan salah
satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap
individu.[18]
Rumusan tujuan
pendidikan dan faktor-faktor yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh
Ibnu Khaldun dalam menentukan tujuan pendidikan, nampaknya masih ada kesesuaian
dengan pendidikan pada masa kini.
Menurut Al Ghazali,
tujuan pendidikan Islam adalah mendekatkan diri pada Allah dan kesempurnaan
insani yang tujuannya adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[19]
Hasan Langgulung,
dalam memberikan arah tujuan pendidikan Islam, menyunting sebuah ayat Al Qur’an
surat At Tiin ayat 4 yang darinya dapat disimpulkan bahwa manusia dengan
sebaik-baik bentuk (struktur fisik, mental dan spiritual). Karenanya tujuan
pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang beriman serta beramal
sholeh. Diuraikan sebagai berikut.[20]
a. Iman : adalah
sesuatu yang hadir dalam kesadaran manusia dan menjadi motivasi untuk segala perilaku manusia.
b. Amal : perbuatan,
perilaku, pekerjaan, pengkhidmatan, serta segala yang menunjukkan aktifitas manusia.
c. Sholeh : baik,
relevan, bermanfaat, meningkatkan mutu, berguna, pragmatis dan praktis.
Dalam hubungannya
dengan tujuan pendidikan Islam, Umar Muhammad Al Toumy Al Syaibani membaginya
menjadi tiga jenis tujuan yang merupakan pertahapan utama, yaitu tujuan
tertinggi dan tujuan terakhir, tujuan umum, serta tujuan khusus.[21] Tujuan tertinggi dan
terakhir merupakan tujuan yang tidak terikat oleh satuan, yaitu jenis dan
jenjang pendidikan tertentu atau pada masa dan umur tertentu. Sedangkan tujuan
umum dan tujuan khusus terikat oleh institusi-institusi tersebut. Jenis-jenis
tujuan ini, selanjutnya dijadikan rujukan dalam memaparkan apa sebenarnya yang
menjadi tujuan pendidikan Islam dengan tetap mengacu pada pengertian pendidikan
Islam di atas.
Sebelum pendidikan
Islam mencapai tujuan yang tertinggi dan terakhir, yakni terbentuknya
kepribadian muslim, maka akan terlebih dahulu melalui tujuan-tujuan sementara,
yaitu seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca-menulis, pengetahuan dan
ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan dan agama, kedewasaan jasmani dan rohani
dan sebagainya, yang merupakan satu garis linear.[22]
Setelah
mengkombinasikan dari beberapa pendapat dan pandangan dari para pakar
pendidikan, maka Muhaimin dan Abdul Mujib dalam kesimpulannya mengatakan bahwa
pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam terfokus dalam tiga hal sebagai berikut
: [23]
1.
Terbentuknya “Insan Kamil” (manusia universal) yang
mempunyai wujud-wujud Qur’ani.
2.
Terciptanya “Insan Kaffah” yang memiliki dimensi-dimensi
religius, budaya dan ilmiah.
3.
Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifatullah serta sebagai
warasatul anbiya’ dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan
fungsi tersebut.
Jadi dengan demikian
tujuan akhir pendidikan Islam adalah mewujudkan khalifatullah fil ardhl (manusia
sempurna dan berkepribadian muslim). Tujuan umum pendidikan Islam adalah
membentuk kholifatullah fil ardhl. Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam adalah
mengusahakan terbentuknya pribadi khalifatullah fil ardhl melalui
berbagai aktifitas pendidikan yang bisa mengembangkan bagian dari aspek-aspek
pribadi manusia. Tujuan khusus diusahakan dalam rangka untuk mencapai tujuan
akhir. Ketiga tujuan tersebut merupakan rangkaian proses yang tidak bisa
dipisahkan.[24]
Tujuan pendidikan
islam yang dipaparkan di atas hanyalah sebatas gambaran global. Sementara
standar untuk mengetahui dan mengevaluasi keberhasilan tujuan pendidikan Islam
tersebut sangatlah relatif abstrak, karena ukuran yang dipahami bukan
menggunakan angka-angka (logika).
C. Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara
harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan
demikian, Insan Kamil berarti
manusia yang sempurna.[25] Menurut Jamil Shaliba sebagaimana dikutif
Abuddin Nata bahwa kata insan
menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia
dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat
manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan
digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti
manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi
intelektual, rohani dan fisik yang ada
pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya. [26]
Adapun kata kamil
dapat pula berarti suatu keadaan yang
sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui
terkumpulnya sejumlah potensi dan
kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya. Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam
al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan
jamaknya kata al-nas. Kata insan
mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal
dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya
yang artinya lupa. Yang ketiga berasal
dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa,
maka insan mengandung arti
melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan
kemampuan manusia dalam bidang
penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.[27]
Sedikitnya ada tiga
kelompok istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan manusia secara
totalitas, baik fisik maupun psikis. Pertama, kelompok kata al-basyar, kedua,
kelompok kata al-ins, al-insan, al-nas, dan al-unas, dan ketiga kata bani adam.
Masing-masing istilah ini memiliki intens makna yang beragam dalam menjelaskan
manusia. Perbedaan itu dapat dilihat dari konteks-konteks ayat yang menggunakan
istilah-istilah tersebut.[28]
Selanjutnya dengan
bertumpu pada akar kata nasiya, insan
mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu
karena ia kehilangan kesadaran terhadap
hal tersebut. Orang. yang lupa dalam agama
dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah. Sedangkan kata insan jika dilihat dari
asalnya al-uns, atau anisa
yang artinya jinak, mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat
hidup berdampingan dan dapat dipelihara,
jinak.
Dilihat dari sudut
kata insan yang berasal dari kata al-uns, an-nisa, nasiya dan anasa maka
dapatlah dikatakan bahwa kata insan
menunjuk pada suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran
penalaran. Selain itu sebagai insan manusia pada dasarnya jinak, dapat
menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia
mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup
tinggi, untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial, maupun
alamiah. Manusia menghargai tata aturan
etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudi, ia tidak liar, baik secara sosial maupun secara
alamiah.[29]
Kata insan
dalam al-Qur' an disebut sebanyak 65
kali dalam 63 ayat, dan digunakan untuk menyatakan manusia dalam
lapangan kegiatan yang amat luas. Musa Asy'ari
menyebutkan ada beberapa cara atau metode yang dapat ditempuh untuk
memahami hakikat manusia, dan cara atau metode itu antara lain, yang pertama,
ialah melalui pendekatan bahasa. Yang kedua, melalui cara keberadaannya yang
sekaligus membedakannya secara nyata dengan cara keberadaan makhluk yang
lainnya. Ketiga, melalui karya yang dihasilkannya.[30] Pertama untuk menyatakan bahwa manusia menerima
pelajaran dari Tuhan tentang apa yang
tidak diketahuinya. (QS.96:1-5). Kedua, manusia
mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan. (QS.12:5). Ketiga, manusia memikul amanat dari Tuhan.
(QS.33:72). Keempat, manusia harus
menggunakan waktu dengan baik (QS.105:1-3).
Kelima manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang yang telah dikerjakannya. (QS.53:39). Keenam,
manusia mempunyai keterikatan dengan
moral atau sopan santun. (QS.29:8).[31]
Berdasarkan petunjuk
ayat-ayat tersebut manusia digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan sebagai
makhluk yang dapat belajar, mempunyai
musuh (setan), dapat menggunakan waktu, dapat
memikul amanat, punya keterkaitan dengan moral, dapat beternak
(QS.28:23), menguasai lautan (QS.2:124), dapat mengolah biji besi dan logam (QS.57:25), melakukan
perubahan sosial (QS.3:140), memimpin
(QS.2:124), menguasai ruang angkasa
(QS.55:33), beribadah (QS.2:21), akan dihidupkan di akhirat (QS.17:71).
Semua kegiatan yang
disebutkan al-Qur'an di atas, dikaitkan
dengan penggunaan kata insan di dalamnya, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah
kegiatan yang disadari dan berkaitan
dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam
kehidupan konkret, yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang ditimbulkannya.[32]
Berdasarkan
keterangan tersebut istilah insan ternyata menunjukkan kepada makhluk
yang dapat melakukan berbagai kegiatan
karena memiliki berbagai potensi baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual. Manusia yang dapat
mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut
itulah yang selanjutnya disebut insan
kamil. Kata insan lebih mengacu kepada manusia yang
dapat melakukan berbagai kegiatan yang
bersifat moral, intelektual, sosial dan rohaniah. Dan unsur insaniyah inilah
yang selanjutnya disebut sebagai makhluk
yang memiliki intuisi, sifat lahut, dan
sifat ini pula yang dapat baqa dan bersatu secara rohaniah dengan Tuhan dalam tasawuf, sebagaimana telah
diuraikan di atas.
Adapun istilah basyar
digunakan untuk menyebut pada semua
makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu
adalah kenyataan lahiriahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat
oleh hukum-hukum alamnya. Manusia dalam
pengertian basyar adalah manusia
seperti yang tampak pada lahiriahnya, mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan
dan minum dari bahan yang sama yang ada
di alam ini, dan oleh pertambahan usianya, kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan
akhirnya ajal pun menjemputnya.
Manusia dalam
pengertian basyar tergantung sepenuhnya
pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan dan diminumnya.
Selanjutnya di dalam al-Qur'an kata basyar disebut sebanyak 36 kali, dan
digunakan untuk menggambarkan dimensi fisik manusia seperti kulit tubuh
manusia(QS.74:27), suka makan, minum dan
berjalan-jalan (QS.23:23), suka berhubungan seksual (QS.19:20), menunjukkan pada proses
penciptaannya dari tanah (QS.38:71-76),
dan menerima kematian (QS.21:34-35).[33]
Pengertian basyar
tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang berkaitan dengan
aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi
oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, berhubungan seksual dan
akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.
Unsur basyariah inilah yang dalam kajian tasawuf di atas sebagai unsur yang dapat dilenyapkan
dengan fana, dalam rangka mencapai ittihad,
hulul dan wahdatul wujud sebagaimana
disebutkan di atas.
Selanjutnya istilah al-nas
digunakan al-Qur'an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat
yang mempunyai berbagai kegiatan untuk
mengembangkan kehidupannya, seperti
kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan
kepemimpinan.[34]
Berdasarkan
keterangan tersebut kita melihat bahwa Islam
dengan sumber ajarannya al-Qur'an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan
menyeluruh. Seluruh sisi dan aspek dari
kehidupan manusia dipotret dengan cara yang
amat akurat, dan barangkali tidak ada kitab lain di dunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain
al-Qur'an. Apa yang dikemukakan
al-Qur'an ini jelas sangat membantu untuk
menjelaskan konsep Insan Kamil. Dan apa yang dikemukakan al-Qur'
an itu menunjukkan bahwa Insan Kamil lebih mengacu kepada manusia yang sempurna dari segi rohaniah,
intelektual, intuisi, sosial, dan
aktivitas kemanusiaannya. Untuk mencapai tingkat yang demikian itu, tasawuf sebagaimana telah
diuraikan di atas jelas sangat membantu.
Di sinilah letak relevansinya pembahasan
Insan Kamil dalam kajian tasawuf.
Dengan demikian, Insan
Kamil lebih ditujukan kepada manusia
yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah,
intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari
dimensi basyariah-nya. Pembinaan
kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan
perpaduan fikih dan tasawuf inilah Insan
Kamil akan lebih terbina lagi. Namun Insan Kamil lebih ditekankan pada manusia
yang sempurna dari segi insaniyahnya,
atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insan Kamil
juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat
berfungsi secara optimal dan dapat
berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak
Islami. Manusia yang selamat rohaniah
itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil. Manusia
yang demikian inilah yang akan selamat
hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT.:
(yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak
berguna lagi, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.
(QS-Asy'-Syu'ara, 26:88-89).
Ayat di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan manusia adalah
batin, rohani, hati dan perbuatan yang
baik. Orang yang demikian itulah yang dapat
disebut sebagai Insan Kamil. Pada ayat lain di dalam
al-Qur'an banyak dijumpai bahwa yang
kelak akan dipanggil masuk surga adalah
jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
Sebutan Insan Kamil
agaknya dimunculkan pertama kali oleh Ibnu Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham
wahdat al-wujud (kesatuan wujud). la mengikuti paham al-Hallaj, yang
menyatakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau
Ruh Muhammad; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh
Ibnu Arabi dengan sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah, Akal Pertama,
Hakikat Insaniyah dan Insan Kamil. Dengan demikian Ibnu Arabi telah mengacukan
sebutan Insan Kamil bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan
Adam," tapi juga kepada Nur
Muhammad yang kadim dan bersifat imateri, ciptaan pertama dari Tuhan. Insan Kamil dengan pengertian
yang mengacu kepada ciptaan pertama itu,
diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jili dalam bukunya, al-Insan
al-Kamil fi Ma'rifat al-Awakhir wa
al-Awal, dan para pengikut paham
kesatuan wujud lainnya. Dalam pandangan Yunasril Ali, bahwa istilah insan
kamil, seperti telah dijelaskan, muncul dalam literatur Islam pada abad
ke-7H/13 M dan dipergunakan pertama sekali oleh Ibn Arabi. Kemudian istilah itu
segera menyebar melalui pengikut-pengikut Ibn Arabi.[36]
Insan Kamil yang
mengacu kepada makhluk pertama,
merupakan hakikat yang menghimpun segala
hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris. la juga merupakan wadah
tajalli, pancaran, atau manifestasi
segenap nama dan sifat yang memancar
dari Wujud Mutlak (Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insan Kamil merupakan Akal
Pertama atau Wujud Ilmi, yang
memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan
sumber segala ilmu. la sumber ilmu bagi
para nabi atau rasul, para sufi, atau
para wali. Penyebutan para nabi atau
rasul, para sufi, atau para wali dengan
sebutan Insan Kamil, tidak lain adalah
karena merekalah orang-orang yang
merasakan sungguh-sungguh kehadiran Insan Kamil (makhluk pertama itu)
dalam jiwa mereka, dan menerima limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin
menerima kehadiran atau pancaran Insan
Kamil itu, bila hati atau jiwa mereka
tidak suci.
Manusia-manusia
turunan Adam, yang termasuk kategori Insan Kamil, merupakan wadah yang paling
sempurna dalam dunia empiris, untuk menerima tajalli (penampakan secara tidak
langsung segenap sifat dan nama Tuhan).
Dengan kata lain merekalah yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau
membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Manusia lain
yang bukan Insan Kamil, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda empiris lainnya, kendati
juga berfungsi sebagai wadah tajalli
Tuhan, tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan
Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Insya Allah (Insya' Allah) mengandung
arti jika Allah menghendaki. Kata ini dianjurkan untuk diucapkan oleh seseorang
apabila ia menghadapi urusan atau mengikat suatu perjanjian dengan orang lain yang akan dipenuhi atau ditepati besok atau
pada jangka waktu kemudian yang telah ditetapkan. Mengucapkan kata tersebut pada hakikatnya
merupakan pendidikan mental bagi seorang muslim untuk selalu berada dalam
kesadaran ketuhanan. Bahwa apa yang telah direncanakan oleh manusia dan apa
yang akan dia lakukan besok, tidaklah dapat dipastikan akan berlaku sepenuhnya.
Mungkin akan ada halangan dan rintangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya
yang membuat urusan dan perjanjian itu
menjadi gagal.
Kedalaman dimensi esoterik di kalangan kaum sufi,
melahirkan konsep Insan Kamil (the perfect man). Yang dimaksud dengan
Insan Kamil ialah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu
yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat
tertentu, yakni yang baik dan yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut
ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri kepada sifat sempurna
dari Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya.[37]
Berbicara tentang insan kamil tidak
bisa melepaskan diri dari Ibn Arabi, dan berbicara tentang konsep Ibn Arabi
tidak bisa terlepas dari konsep wahdatul wujudnya. Filsafat ibn Arabi tentang
manusia dikenal dengan konsep al-Insan al-Kamil (manusia sempurna). Ia
disimbolisasikan oleh Adam, yang diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya sebagai
khalifah di muka bumi. Ciri utama antropologinya adalah antroposentrisme yang
dibangun di atas ontologi. Dia menggunakan tema dan motif yang sudah lazim
dalam sufisme awal. Tentu saja, antroposentrisme itu sendiri sama sekali bukan
sesuatu yang baru, baik dalam tradisi Islam maupun dalam tradisi Yudeo-Kristen.[38]
Dalam
teorinya ini, Insan Kamil adalah duplikasi Tuhan (nuskhah al-Haqq),
yaitu Nur Muhammad yang merupakan "tempat penjelmaan" (tajalli)
asma', dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai
khalifah-Nya di muka bumi. Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya mempunyai dua
dimensi hubungan; yang pertama adalah dimensi kealaman sebagai asas pertama
bagi penciptaan alam, dan yang kedua dimensi kemanusiaan yaitu sebagai hakikat
manusia. Dari dimensi kealaman maka hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan
yang diciptakan oleh Allah SWT. lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun
ini tidak mengandung makna pencapaian-tujuan dari tujuan diciptakannya
kenyataan-kenyataan yang ada. Sebab, kenyataan-kenyataan tersebut masih
merupakan tempat penampakan (tajalli) diri yang masih kabur. la belum cukup
dapat memantulkan Asma dan Dzat Allah SWT. yang ditajallikan atasnya. Melalui
dimensi kemanusiaan maka hakikat Muhammad merupakan insan kamil yang dalam
dirinya terkandung himpun- an realitas. Pada tahap inilah penampakan Asma Dzat
Tuhan menjadi sempurna.[39]
Manusia Sempurna adalah suatu miniatur Realitas
(Tuhan dan Alam). Dalam tubuhnya terdapat kesamaan-kesamaan yang ditarik di
antara mikrokosmos dan makrokosmos. Essensi dari Manusia Sempurna adalah suatu
ragam dari Ruh universal. Tubuhnya merupakan ragam dari tubuh universal.
Manusia Sempurna adalah Sebab dari Alam. Dengan
cinta yang mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka
Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia Fenomena. Sebagai landasan kaum
sufi, khususnya Ibn Arabi ialah hadits Qudsi (sebagaimana telah disebutkan di
depan) yang artinya: "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku
senang untuk diketahui maka Aku menciptakan makhluk, yang dengannya Aku dikenal
mereka. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa dengan cinta abadi dari Yang Esa
untuk memandang Kecantikan dan Kesempurnaan Dirinya dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk,
dan di samping agar diketahui oleh dirinya sendiri di dalam dan me- lalui
Dirinya Sendiri, dijumpai pula realisasi paling sempurna dalam diri Manusia
Sempurna, yang hanya dia saja yang mengenal Dia, dan yang mampu
memanifestasikan Atribut-atribut-Nya secara sempurna. la ketahui Dia,
"dengan cara yang tak bisa diragukan lagi," dan ia lihat Dia dengan
"mata" paling dalam dari jiwanya. "la bagi Tuhan seperti biji
mata bagi mata (fisik).[40]
Kesempurnaan manusia terletak pada perpaduan yang
memberinya hak istimewa untuk menjadi khalifah. Bagi Ibn al-Arabi, manusia yang
tidak mencapai tingkat kesempurnaan adalah binatang yang bentuk lahirnya
menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah. Dalam
terminologi Ibn al-Arabi, yang berhak disebut manusia dalam arti sebenarnya
adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan. Barang siapa yang tidak
mencapai tingkat ini tidak berhak menyandang nama “manusia” dan tidak berhak
menjadi khalifah karena ia adalah binatang yang secara lahiriah menyerupai
manusia.[41]
Menurut Ibn Arabi, Manusia Sempurna adalah penyebab
dari penciptaan, karena di dalam "Manusia Sempurna" tersebut obyek
penciptaan itu disadari. Andaikata bukan karena dia (manusia sempurna), maka
penciptaan itu tentu saja tidak akan berarti apa-apa, karena Tuhan tentunya
tidak akan dikenal. Jadi karena dia maka seluruh penciptaan itu dibuat, yakni
Tuhan memanifestasikan Diri-Nya di dalam dunia dan di dalam Manusia Sempurna
itu. Oleh karena itu dia menduduki tempat mulia, dan karena itu seluruh isi
alam dikuasakan padanya. Dan alam ini akan dipelihara terns menerus selama dia
masih ada di dalamnya.
Sebenarnya pemikiran Ibn Arabi tersebut
mengembangkan rintisan al-Hallaj, yang dapat dikatakan sebagai salah satu
gurunya. Al-Hallaj telah merintis jalan bagi pemikiran tasawuf berikutnya. Dia
telah mengisyaratkan sesuatu semacam Logos Islam, dan menekankan kekudusan
Muhammad, dan bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Menurut dia,
"Eksistensi Muhammad" telah terjadi bahkan sebelum non-eksistensi dan
namanya pun sebelum 'pena'. la telah dikenal sebelum substansi-substansi,
kejadian-kejadian, dan sebelum realitas-realitas yang 'belum' maupun yang
'sudah'. la datang dari suatu 'suku' yang bukan timur maupun barat. (al-Hallaj,
1913). Muhammad adalah Cahaya yang tak pernah padam yang terus- menerus
menerangi hati para sufi. Semua Nabi-nabi (dan para wali) mendapatkan cahaya
dari Cahaya Muhammad. Cahayanya lebih cemerlang dan lebih abadi (aqdam)
daripada Cahaya Pena.[42]
Rintisan al-Hallaj tersebut kemudian
disistimatisasikan oleh Ibn Arabi, dan teorinya ini banyak pengaruhnya kepada
para sufi berikutnya, ambil saja sebagai sample Abd al-Karim al-Jili, dan
Nuruddin al-Raniri. Dan di Indonesia secara tidak disadari sangat populer di
kalangan muslim pedesaan, seperti tertuang dalam kitab bacaan rakyat,
al-Barzanji yang berisi sya'ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan prosa
tentang sejarah beliau. Al-Jili menulis buku monumental yang khusus
membicarakan insan kamil dengan judul al-Insan al-Kamil fi Ma'rifati
al-Awakhir wa al-Awa'il. Kupasan tentang insan kamil dituangkan dalam bab
ke 60. Insan Kamil dipersonifikasikan oleh al-Jili dengan diri Muhammad.
Al-Kamal
(kesempurnaan) menurut al-Jili mungkin dimiliki manusia secara potensial (bil
quwwah), dan mungkin pula secara aktual (bil fi'li) seperti yang terdapat
dalam diri wali dan Nabi, walaupun intensitasnya berbeda-beda. Intensitas yang
tertinggi, menurut al-Jili terdapat dalam diri Muhammad, sehingga manusia lain
-baik Nabi-nabi maupun wali-wali dibandingkan dengan Muhammad, bagaikan
al-kamil dengan al-akmal, atau al-fadhil dengan al-afdhal. Menurut al-Jili,
Muhammad adalah al-quthb (poros, sumbu) bagi beredarnya alam semesta (aflak
al-wujud), dari awalnya. hingga akhir, sejak adanya wujud untuk
selama-lamanya (abad al-abidin), dan bahkan Muhammad dapat menjelma dalam ber-
bagai bentuk, yang hanya diketahui oleh ahl al-kasyf.
Al-Jili menandaskan bahwa insan kamil merupakan
mikrokosmos dan makrokosmos, jami' al-haqa 'iq al-wujudiyyah, qalbnya = arasy,
aqlnya = qalam, nafsnya = lauh al-mahfuzh, mudrikahnya = kaukab,
al-qawiy al-muharrikahnya = asy-syams, dan sebagainya. Lebih jauh
ditandaskan oleh al-Jili -sebagaimana Ibn Arabi bahwa insan kamil laksana
cermin di hadapan Allah untuk mengenal nama-nama (al-asma'), dan sifat-sifat
(al- shifat) Diri-Nya, baik yang terletak di kanan seperti: al-hayat,
al-'Ilm, al-qudrah, al-sama', al-bashar, dan sebagainya, maupun yang ada di
sebelah kiri, seperti al-azaliyah, al-abadiyah, al-awaliyah, al-akhiriyah,
dan lain sebagainya.
Di samping al-Jili, Nuruddin ar-Raniri juga
mempunyai konsep insan kamil yang intinya tidak jauh berbeda dengan konsep para
pendahulunya. Insan Kamil bagi Nuruddin ialah hakikat Muhammad, merupakan
hakikat pertama yang lahir dari proses tajalli satu dzat kepada dzat yang lain
(Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat Muhammad itu menghimpun seluruh kenyataan
yang ada, karena seluruh kenyataan alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat
Allah. Dari sini posisi insan kamil menjadi penting bagi keberadaan semua alam
ini dan sekaligus sebagai cermin Allah untuk melihat hasil perjalanannya.
Ringkasnya dalam insan kamil terhimpun semua hal yang alami dan yang ilahi, ia
dapat disebut sebagai mikro- kosmos yang menghimpun makrokosmos. Hanya dia yang
sanggup menerima tajalli-Nya, dan dalam qalbunya tersimpan segala rahasia-Nya
dengan segala sifat jamal dan jalal-Nya, yang kemudian diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dia merupakan sumber ilmu bagi ahli
sufi, sehingga ia merupakan makhluk yang azali dan abadi yang lahir dalam
bentuk manusia. Walau demikian, keseluruhan ilmu dan rahasia ketuhanan akan
dapat terungkap (seluruhnya) pada diri Imam Mahdi dan Nabi Isa dalam
kehadirannya yang kedua di bumi ini.[43]
Insan kamil baginya juga disebut sebagai khalifah
Tuhan. Oleh karena itu ia merupakan pengganti-Nya, baik secara dzat maupun
sifat-Nya. Hal ini merupakan konsekuensi Tuhan menciptakan insan kamil dengan
citra-Nya, dan dari segi bentuk- Nya .
Menurut Al-Jilli dirumuskan sebagai berikut,
Artinya:
"Insan Kamil pertama sejak adanya wujud hingga akhir lamanya,
yang mengkristal pada setiap
zaman" "Dan Insan Kamil adalah
Nabi Muhammad SAW." "Maka
Insan Kamil merupakan asalnya wujud, atau menjadi poros yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari
awal hingga akhirnya.[44]
Pengertian akhir dari Insan Kamil adalah Roh Nabi Muhammad SAW. yang mengkristal dalam diri
para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu para wall dan orang-orang
saleh, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran
nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Al-Jilli melihat bahwa Insan Kamil (manusia sempurna) merupakan nuskhah atau kopi Tuhan, seperti
disebutkan dalam hadis (artinya),
"Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman." Hadis lain
menyebutkan (artinya), "Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya." Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki
sifat-sifat seperti hidup, pandai,
berkehendak, mendengar, dan sebagainya,
Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan
menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan
dihadapkan dengan Huzuiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam,
dan Dzat-Nya dihadapkan pada Dzat Adam,
dan akhirnya Adam berhadapan dengan
Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[45]
Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam dilihat dari sisi penciptanya merupakan salah seorang Insan Kamil
dengan segala kesempurnaannya sebab pada
dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik Insan
Kamil sebagai suatu kemestian yang
inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki
tempatberwujud, melainkan pada Insan
Kamil.[46] Lebih lanjut, Al-Jilli mengemukakan bahwa
perumpamaan hubungan Tuhan dengan. Insan
Kamil adalah bagaikan cermin yang
seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui cermin itu.
Demikian pula halnya dengan Insan Kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan,
sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat
diri-Nya, kecuali melalui cermin Insan Kamil. Lebih lanjut, ia berkata bahwa duplikasi
al-Kamal (kesempurnaan) adalah sama dengan yang dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang sating berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan
oleh hal-hal yang bersifat 'ardhi, termasuk
manusia berada dalam kandungan ibunya.[47] Al-Kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin
dimiliki oleh manusia secara profesional
(bi al-quwwah) dan mungkin pula
secara aktual (bi al-fi'il), seperti yang terdapat dalam
wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam
intensitas yang berbeda. Intensitas
al-Kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW. sehingga manusia lain, baik nabi-nabi maupun
wali-wali, bila dibandingkan dengan
Muhammad bagaikan al-kamil dengan
al-akmal atau al-fadhil dengan al-afdhal. Insan Kamil menurut konsep Al-Jilli
ialah perencanaan Dzat Allah (Nuktah
Al-Haqa) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat
yang terhimpun dalam diri Muhammad
SAW.
Menurut Arberry, konsep Insan Kamil Al-Jilli dekat
dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep
ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat
Lahut dan Nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nnr Muhammad. Adapun Ibn 'Arabi mentransfer
konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan Insan Kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh
Nur Muhammad SAW.
Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang memopulerkan konsep Insan
Kamilnya, sesungguhnya konsep Insan Kamil ini sudah disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi.
Menurut Ibnu 'Arabi, Insan Kamil
adalah mikrokosmos yang sesungguhnya,
sebab Dia.memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan Ilahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna
tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki
dengan Tuhan. Insan Kamil adalah
miniatur dari kenyataan. Oleh karena itu, konsepsi yang disodorkan oleh Al-Jilli merupakan pelengkap
dari konsep yang ada sebelumnya walaupun
dalam pemaparannya terdapat juga
perbedaannya. Dalam konsep Insan Kamil dari sudut pandang manusia
Tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat diri-Nya. la tidak mungkin melihat dirinya tanpa cermin
itu. Sebaliknya, karena Tuhan
mengharuskan diri-Nya agar sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan
menciptakan Insan Kamil sebagai
cermin bagi diri-Nya. Dari sini tampak bahwa ada hubungan antara Tuhan dan Insan Kamil.[48]
Insan Kamil bagi Al-Jilli merupakan
proses tempat beredamya segala yang
wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu (wahid) sejak wujud dan
untuk selamanya. Di samping itu Insan
Kamil dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. la diberi nama dengan nama
yang tidak diberikan kepada orang lain;
nama aslinya adalah Muhammad, nama
kehormatannya Abu Al-Qasim, dan gelarnya Syamsu Ad-Din.[49]
Dari uraian di atas, Al-Jilli menunjukkan penghargaan dan penghormatan yang tinggi kepada Nabi Muhammad
sebagai insan kamil yang paling
sempurna. Sebab, meskipun beliau telah wafat, nur-nya akan tetap abadi dan
mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian,
ketika Nur Muhammad itu mengambil bentuk
menampakkan diri pada seseorang, ia
dipanggil dengan nama yang sesuai dengan bentuk itu. Nabi Muhammad SAW
sebagai sosok insan kamil memiliki akhlak yang yang mulia. Pribadinya dan
akhlaknya yang baik diakui oleh semua kalangan yang berpikir obyektif.
Sempurnanya pribadi Nabi SAW dapat dikaji dari sejarah perjalan dan hidupnya
dan beberapa hadits dapat dijadikan sebagai salah satu pembuktiannya. Kitab
suci Al-Qur’an adalah sumber akhlak Rasulullah SAW. Sa’ad bin Hisyam berkata,
aku menghadap Aisyah ra., dan aku bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah
SAW. Sayyidah aisyah berkata, apakah kamu membaca Al-Qur’an? Aku menjawab, ya,
aku membacanya.lalu aisyah ra., berkata:[50]
Artinya: Akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an (HR.Muslim)
D. Syarat-syarat Menjadi
Insan Kamil
Sebagai seorang sufi, dengan membawa filsafat Insan Kamil, Al-Jilli
merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya disebut
al-martabat atau jenjang/ tingkat. Dengan kata lain, menurut Al-Jilli, syarat
menjadi Insan Kamil harus menempuh tujuh tingkatan, yaitu:
Pertama, Islam;
Kedua, Iman; Ketiga, Shalah; Keempat,
Ihsan, Kelima, Syahadah,
Keenam, Shiddiqiyah;
Ketujuh, Qurbah.[51]
Pertama: Islam, (
), yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi,
yang tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipaharni dan
dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa,
menurut Al-Jilli, ia merupakan isyarat
untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim (pelaksana puasa) memiliki sifat-sifat
ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan
kemanusiaan maka terisilah jiwa oleh
sifat-sifat ketuhanan.
Kedua: Iman (
), yakni membenarkan dengan sepenuh
keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman
merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir
alain gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman
menunjukkan sampainya hati mengetahui
sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal. Sebab, sesuatu yang diketahui akal tidak selalu
membawa keimanan.
Ketiga: Ash-shalat ( ), yakni dengan maqam ini,
seorang sufi mencapai tingkat
menyaksikan efek (atsar) dari nama dan
sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya ia merasa seakan-akan berada di hadapannya. Persyaratan yang harus
ditempuh dalam maqam ini adalah sikap istiqamah
dan tobat, inabah, zuhud, tawakal,
tafwidh, rida, dan ikhlas.
Keempat: Ihsan (
), Persyaratan yang harus ditempuh
dalam maqam mi adalah sikap istiqamah dan tobat, inabah,
zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima: Syahadah (
), seorang sufi dalam maqam ini telah
mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus,
dan meninggalkan hal-hal yang menjadi
keinginan pribadi. Syahadah ini terbagi atas dua tingkatan, yaitu: mencapai mahanah
kepada Tuhan tanpa pamrih ini adalah
tingkat yang paling rendah dan menyaksikan
Tuhan pada semua makhluknya secara 'ainul yaqin. Ini adalah tingkat yang paling tinggi.
Keenam: Shiddiqiyah ( ), menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang ma'rifat yang
diperoleh secara bertahap dari ilmu
al-yaqin, 'am al-yaqin, dan sampai haqq al-yaqin. Ketiga tingkat ma'rifat itu diaiami oleh seorang
sufi secara bertahap. Jadi, menurut
Ai-Jilli, seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang gaib, kemudian
melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Setelah mengalami fana', ia
memperoleh baqa Ilahi. Apabila ia telah. baqa
dengan Tuhan, ia akan diikuti dengan penampakan nama-nama. Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin.[52]
Selanjutnya, ketika penampakan sifat-sifat itu terjadi, ia akan memperoleh ma'rifat Dzat dari segi sifat.
Demikian berlangsung selanjutnya, sampai
mencapai ma'rifat dzat dengan dzat. Akan
tetapi, karena tidak merasa puas dengan ma'rifat dzat dengan dzat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat Rububiyah
sehingga akhirnya ia dapat terhiasi
dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat
semacam inilah yang dinamakan haqq al-yaqin.
Ketujuh: Qurbah (
). Maqam ini merupakan maqam yang
memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[53]
Demikianlah, maqan-maqam yang dirumuskan Al-Jilli dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun,
satu hal yang kita ketahui bahwa
Al-Jilli mengatakan, "Mengetahui Dzat Yang
Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi; kamu di hadapan-Nya dan Dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab,
hamba adalah hamba dan Tuhan adalah
Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin
hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya."[54] Dengan
pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa sungguh pun manusia berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap
tidak dapat menyamai sifat dan
nama-nama-Nya.
Bagaimana pun harus dicatat bahwa pemikiran tentang Insan Kamil Al-Jilli hingga zaman selanjutnya
terus berkembang. Muhammad Iqbal (w.
1938 M), misalnya, seorang tokoh modern
berhasil melahirkan konsep tentang Higher Selfhood (Pribadi Luhur).[55]
Perlu dicatat di sini bahwa pemikiran Insan Kamil
Al-Jilli ternyata banyak juga
mendapatkan kritikan atau reaksi dari
beberapa kalangan. Muhammad Al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, misalnya, menilai pemikiran Al-Jilli
sangat ekstrem, bahkan dianggap kufur
karena berlebih-lebihan dalam menempatkan
kedudukan Nabi Muhammad SAW. Mereka
menolak keyakinan Al-Jilli yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai makhluk pertama dan sebagai
quthb (poros) yang diciptakan oleh Allah
SWT, yang dari Nabi Muhammad ini seluruh
falak yang ada dari yang pertama sampai yang terakhir berputar di bawah kendali beliau. Mereka
menilai keyakinan seperti ini merupakan
pengaruh dari filsafat Yunani dan ajaran
agama Kristen yang telah memberi tambahan sifat ketuhanan kepada Nabi Isa a.s.[56]
E. Ciri-ciri Insan Kamil
Untuk mengetahui
ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama
yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Berfungsi Akalnya Secara Optimal.
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tazilah.
Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi
secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan
essensinya dan merasa wajib melakukan
semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh
wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia
yang demikianlah yang dapat mendekati
tingkat Insan Kamil. Dengan demikian
Insan Kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah
terkandung pada essensi perbuatan
tersebut.[57]
2.
Berfungsi Intuisinya. Insan
Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam
pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia
(rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia
adalah jiwa manusianya, maka orang itu
hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.[58]
3.
Mampu Menciptakan Budaya. Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai
potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempuma
adalah manusia yang mampu mendayagunakan
seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia
tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna
hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.[59] Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun
kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja,
melainkan melalui suatu proses tertentu.
Proses tersebut dewasa ini dikenal
dengan evolusi.[60]
4.
Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan. Pada uraian tentang arti insan tersebut di
atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri
ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan
mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia
sebagai khalifah yang demikian itu
merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia
yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok
masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena
memiliki daya kehendak yang bebas.
Manusia yang ideal itulah yang disebut Insan Kamil, yaitu manusia yang
dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada
pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain.[61] Sebagai khalifah Allah di
muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan
dengan melaksanakan perintah-Nya.
5.
Berakhlak Mulia. Sejalan dengan ciri keempat di atas, Insan Kamil
juga adalah manusia yang berakhlak
mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat
Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran,
kebajikan dan keindahan. Dengan kata
lain ia memiliki pengetahuan, etika dan
seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas.
Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan
sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil dengan kemampuan otaknya
mampu menciptakan peradaban yang tinggi
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan,
kemiskinan, kebodohan dan kelemahan.[62]
6.
Berjiwa Seimbang. Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat,
bahwa manusia modern sekarang ini tidak
jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa
hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini
tengah bereksistensi sebagai bagian dari
perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari
mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern
mengabaikan kebutuhannya yang paling
mendasar, yang bersifat ruhiyah,
sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri,
terlebih lagi bila tekanannya pada
kebutuhan materi kian meningkat, maka
keseimbangan akan semakin rusak.[63]
Kutipan tersebut mengisyaratkan
tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara
pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti
perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi
dengan pengamalan syariat Islam,
terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
Uraian di atas diyakini
belum menjelaskan ciri-ciri Insan Kamil secara keseluruhan. Tetapi
ciri-ciri itu saja jika diamalkan secara konsisten dipastikan akan mewujudkan Insan
Kamil dimaksud. Seluruh ciri
tersebut menunjukkan bahwa Insan Kamil lebih menunjukkan pada manusia
yang segenap potensi intelektual, intuisi,
rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik. Jika demikian halnya, maka upaya
mewujudkan Insan Kamil perlu
diarahkan melalui pembinaan intelektual,
kepribadian, akhlak, ibadah, pengalaman tasawuf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya. Dimana semua
unsur tersebut dapat diperoleh dengan jalan pendidikan Islam. Dan hal yang
terpenting dalam pencapaian Insan Kamil adalah campur “Tangan” dari sang
khaliq yaitu Allah SWT.
[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2002), hlm. 2.
[2]Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan
Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di
Sekolah, dan di Masyarakat,
alih bahasa, Herry Noer Ali, (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hlm. 30-31.
[3] Ibid.
[4] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2001), hlm. 69-70
[5] Ahmad D.Marimba,
Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1998), hlm. 20.
[6] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik
dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: Rineka cipta, 200) hlm. 22.
[7] Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, (Jakarta:
BP.Cipta Jaya, 2003), hlm. 4. (DEPDIKNAS, 2003: 163)
[8] M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2003), hlm. 4.
[9] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 28-29
[10] Abdur Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa,
2000), hlm. 2-3.
[11] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda
Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung:
CV.Diponegoro, 1996), hlm. 41.
[12] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 hlm. 23-24.
[13] Ibid
[14]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 30.
[15]Asnely Ilyas, Mendambakan Anak Saleh,
Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: al-Bayan,
1997), hlm. 26.
[16] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 91.
[17] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung:PT.Tri
Genda Karya, 1993), hlm.153-154
[18] Ibnu Khaldun, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun,
Suatu Analisa Fenomenologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 41-42.
[19] Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al
Ghozali, Alih bahasa Andi Hakim dan M Imam Aziz, (Jakarta:CV.Guna Aksara,
1990), cet.II, hlm.31
[20] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam,
(Jakarta:Grafindo, 1985), hlm.38
[21] Umar Muhammad Al Toumy Al Syaibani, Filsafat
Pendidikan Islam, (Surabaya:Bulan Bintang, 1979), hlm.405
[22] Ahmad D Marimba, Pengantar Filasafat Pendidikan
Islam, (Bandung:PT.Al Ma’arif, 1989), cet.VII, Hlm.46
[23] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit, hlm.164-166
[24]Imam Bawani dkk, Cendekiawan Muslim dalam
Prespektif Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991),, hlm.94
[25] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm. 51 - 383
[26] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
PT;Raja Grafindo, 2003) hlm. 257.
[27] Ibid, hlm. 258
[28] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Studi
Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,
hlm. 64
[29] Abuddin Nata, op. cit, hlm. 258-259..
[30] Musa Asy’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam
Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 214-216.
[31] Ibid.
[32] Ibid, hlm. 30
[33] Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hlm. 19-20.
[34] Ibid, hlm. 25-27.
[35] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1978,
hlm. 580.
[36] Yunasril ali, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan
Konsep Insan Kamil Ibn Arabi oleh al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997),
hlm. 111
[37] Hari Zamharir, dalam Dawam Rahardjo, Konsepsi
Manusia Menurut Islam, (Jakarta: PT Pustaka Grafitipers, 1987), hlm. 110
[38] Masataka Takeshita, Manusia Sempurna Menurut
Konsepsi Ibn Arabi, terj. Moh.Hefni, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
hlm. 11.
[39] Amin Syukur,
Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
70-71
[40] Ibid, hlm. 71-72.
[41]Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi Wahdat al-Wujud
dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 134.
[42] Amin Syukur, op. cit, hlm. 72.
[43] Bachtiar Effendi
dalam Dawam Rahardjo, op. cit, hlm. 110.
[44] M.Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema
Penting Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2003), hlm. 100-101.
[45] Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam ,
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hlm. 77
[46] Ibid.
[47] Reynold .A. Nicholson, Mistik Dalam Islam,
alih bahasa, Tim Penerjemah BA, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hlm. 60
[48] Solihin, Op. Cit, hlm. 103
[49] Amin Syukur,
Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tth), hlm. 74.
[50] Ahmad Muhammad Al-Hufiy, Keteladanan Akhlaq Nabi
Muhammad SAW, ter.abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: CV.Pustaka Setia,
2000), hlm. 80.
[51] Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jilli. Al-insan
al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il, Kairo: Dar al-Fikr, juz 2,
hlm. 130.
[52] Ibid, 130-131.
[53] Ibid.
[54] M.Solihin, op. cit, hlm. 108..
[55] Reynold A.Nicholson, Op. Cit, hlm. 87
[56] Abuddin Nata,
op. cit, hlm. 265.
[57] Azyumardi Azra, Antara Kebebasan dan
Keterpaksaan Manusia: Pemikiran Islam
tentang Perbuatan Manusia, dalam Dawam Rahardjo (ed), Insan Kamil
Konsepsi Manusia Menurut Islam , (Jakarta: Grafiti Press, 1987), hlm.
43.
[58] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
hlm. 56-74.
[59] Formulasi di atas diambil secara bebas dari
M.Sastrapartedja, Cultur and Religion, hlm. 25.
[60] Fachry ali, Realitas Manusia: Pandangan
Sosiologis ibn Khaldun, dalam Dawam Rahardjo (ed), Op. Cit, hlm 175-176.
[61] Hadimulyo, Manusia dalam perspektif Humanisme Agama: Pandangan
Ali Syari’ati, dalam Dawam Rahardjo (ed), Op. Cit., hlm. 175-176
[62] Ibid, hlm. 176.
[63] Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama
Masa depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta; PT.Gramedia Pustaka
Utama) hlm. 192.
0 Response to "INSAN KAMIL DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM"
Post a Comment